Laman

Pengikut

Selasa, 26 Juni 2012

Membangun Akhlakul Karimah

oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
agusmulyadiutomo@yahoo.co.id 

Saat menjadi pembicara pada diskusi panel yang digagas Panitia Muktamar V Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia di IICC Bogor, Mendikbud RI mengatakan, pengembangan kurikulum berbasis akhlak mulia dirasakan sangat mendesak untuk memberikan pendidikan karakter bagi generasi bangsa."Kurikulum berbasis akhlak mulia dikembangkan untuk menanamkan karakter bagi anak-anak Indonesia," kata M Nuh. Menurut dia, pendidikan karakter penting ditanamkan di sekolah sehingga lulusan yang dihasilkan menjadi generasi masa depan bangsa yang memiliki karakter kuat."Kemajuan dan kemandirian sebuah bangsa antara lain dibangun melalui karakter yang kuat," kata M Nuh yang juga a`wan Syuriah PWNU Jawa Timur. Oleh karena itu, lanjut M Nuh, mulai 2011 Kemdiknas mengembangkan kurikulum berbasis akhlak mulia sebagai upaya membangun karakter bangsa. Ia mengatakan, pengembangan kurikulum berbasis akhlak mulia dilakukan dengan menanamkan moralitas dan akhlak mulia dalam berbagai mata pelajaran yang diajarkan di kelas. "Akhlak dan moralitas harus masuk dalam semua mata pelajaran yang diajarkan pada peserta didik," demikian Mendikbud M Nuh. 
"Akhlak mulia harus menjadi ruh pendidikan nasional kita," katanya di sela-sela mengikuti Diskusi Panel dengan tema "Membangun Indonesia Madani Berbasis Akhlak Mulia" yang digagas Panitia Muktamar-V ICMI di IPB di Bogor. Muktamar-V Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang berlangsung pada 4-7 Desember dipusatkan di IICC Kota Bogor dan Pembukaannya dilakukan Wakil Presiden (Wapres) Boediono. Menurut M Nuh, akhlak mulia harus menjadi perhatian besar para pemangku kepentingan pendidikan nasional. Dia mengajak guru, dosen, ahli dan pemerhati pendidikan, agar menjadikan akhlak mulia sebagai spirit dalam membangun dunia pendidikan."Akhlak mulia harus menjadi ruh pendidikan nasional kita, agar luaran yang dihasilkan memiliki karakter yang baik," paparnya. Dia menambahkan, akhlak mulia harus dijadikan seperti oksigen. Ia harus dimasukkan dalam semua mata pelajaran. Dengan menjadikan akhlak sebagai oksigen yang masuk dalam semua mata pelajaran, ia berharap para peserta didik akan menginternalisasi nilai-nilai moralitas dan akhlak mulia dalam kehidupannya."Penanaman akhlak sebagai ruh dan oksigen pendidikan, diharapkan akan mendorong terwujudnya luaran yang berkarakter," demikian M Nuh
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. (Al-A’raaf: 199)

Ayat ini menurut Az-Zamaksyari dan Ibnu Asyur termasuk kategori “Ajma’u Ayatin fi Makarimil Akhlak”, ayat yang paling komprehensif dan lengkap tentang bangunan akhlak yang mulia, karena bangunan sebuah akhlak yang terpuji tidak lepas dari tiga hal yang disebutkan oleh ayat diatas, yaitu mema’afkan atas tindakan dan prilaku yang tidak terpuji dari orang lain, senantiasa berusaha melakukan dan menyebarkan kebaikan, serta berpaling dari tindakan yang tidak patut.

Imam Ar-Razi pula memahami ayat ini sebagai manhaj yang lurus dalam bermu’amalah dengan sesama manusia yang jelas menggambarkan sebuah nilai akhlak yang luhur sebagai cermin akan keluhuran ajaran Islam, terutama di tengah ketidak menentuan bangunan akhlak umat ini.

Secara tematis, mayoritas tema surah Al-A’raaf memang berbicara tentang prilaku dan perbuatan tidak bermoral dan jahil orang-orang musyrik, maka menurut Ibnu ‘Asyur, sesungguhnya ayat ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an atas perilaku umumnya orang-orang musyrik. Bahkan posisi ayat ini yang berada di akhir surah Al-A’raaf sangat tepat dijadikan sebagai penutup surah dalam pandangan Sayid Quthb dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an karena merupakan arahan dan taujih langsung Allah swt kepada Rasul-Nya Muhammad saw dan orang-orang yang beriman bersama beliau saat mereka berada di Makkah dalam menghadapi kebodohan dan kesesatan orang-orang jahiliyah di Makkah pada periode awal perkembangan Islam.

Berdasarkan tematisasi ayat yang berbicara tentang akhlak mema’afkan, maka ayat yang mengandung perintah mema’afkan ternyata ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW sebagai teladan dalam sifat ini. Dalam surah Al-Baqarah: 109 misalnya, Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw agar tetap menjunjung tinggi akhlak mema’afkan kepada setiap yang beliau temui dalam perjalanan dakwahnya. Allah swt berfirman, “Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Bahkan dalam surah Ali Imran: 159, Allah menggambarkan rahasia sukses dakwah Rasulullah saw yang dianugerahi nikmat yang teragung dari Allah swt yaitu nikmat senantiasa bersikap lemah lembut, lapang dada dan mema’afkan terhadap perilaku kasar orang lain , “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Secara redaksional, perintah mema’afkan dalam ayat Makarimil Akhlak di atas bersifat umum dalam segala bentuknya. Ibnu ‘Asyur menyimpulkan hal tersebut berdasarkan analisa bahasa pada kata “Al-Afwu” yang merupakan lafadz umum dalam bentuk “ta’riful jinsi” (keumuman dalam jenis dan bentuk mema’afkan). Mema’afkan disini bisa diartikan sebagai sikap berlapang dada, tidak membalas prilaku buruk orang, bahkan mendoakan kebaikan untuk mereka. Namun tetap keumuman Al-Afwu disini tidak mutlak dalam setiap keadaan dan setiap waktu, seperti terhadap orang yang membunuh sesama muslim dengan sengaja tanpa alasan yang benar, atau terhadap orang yang melanggar aturan Allah swt secara terang-terangan berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits yang mengecualikan keumuman tersebut.

Demi keutamaan dan keagungan kandungan ayat diatas, Rasulullah saw menjelaskannya sendiri dalam bentuk tafsir nabawi yang tersebut dalam musnad Imam Ahmad dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah saw pernah memberitahukan kepadanya tentang kemuliaan akhlak penghuni dunia. Rasulullah saw berpesan: “Hendaklah kamu menghubungkan tali silaturahim dengan orang yang justru berusaha memutuskannya, memberi kepada orang yang selalu berusaha menghalangi kebaikan itu datang kepadamu, serta bersedia mema’afkan terhadap orang yang mendzalimimu”.

Penafsiran Rasulullah saw terhadap ayat diatas sangat jelas korelasinya. Seseorang yang menghubungkan silaturahim kepada orang yang memutuskannya berarti ia telah mema’afkan. Seseorang yang memberi kepada orang yang mengharamkan pemberian berarti ia telah datang kepadanya dengan sesuatu yang ma’ruf. Serta seseorang yang memaafkan kepada orang yang telah berbuat aniaya berarti ia telah berpaling dari orang-orang yang jahil.

Bahkan secara aplikatif, perintah ayat ini mampu membendung emosi Umar bin Khattab saat mendengar kritikan pedas Uyainah bin Hishn atas kepemimpinan Umar. Uyainah berkata kepada Umar, “Wahai Ibnu Khattab, sesungguhnya engkau tidak pernah memberi kebaikan kepada kami dan tidak pernah memutuskan perkara kami dengan adil”. Melihat reaksi kemarahan Umar yang hendak memukul Uyainah, Al-Hurr bin Qays yang mendampingi saudaranya Uyainah mengingatkan umar dengan ayat Makarimil Akhlak, “Ingatlah wahai Umar, Allah telah memerintahkan nabi-Nya agar mampu menahan amarah dan mema’afkan orang lain. Sungguh tindakan engkau termasuk prilaku orang-orang jahil”. Kemudian Al-Hurr membacakan ayat ini. Seketika Umar terdiam merenungkan ayat yang disampaikan oleh saudaranya. Dan semenjak peristiwa ini, Umar sangat mudah tersentuh dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menegur tindakan atau prilakunya yang kurang terpuji. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas).

Sungguh dalam keseharian kita, di sekeliling kita, tipologi orang-orang jahil, orang-orang yang mengabaikan aturan, norma dan nilai-nilai kebaikan Islam akan sering kita temui. Jika sikap yang kita tunjukkan kepada mereka juga mengabaikan aturan Allah swt, maka bisa jadi kita memang termasuk kelompok orang-orang jahil seperti mereka. Namun kita berharap, mudah-mudahan nilai spritualitas dan moralitas yang telah tertanam selama proses madrasah Ramadhan masih tetap membekas dan mewarnai sikap dan prilaku kehidupan kita, sehingga tampilan akhlak yang mulia senantiasa menyertai ucapan, sikap dan tindakan kita terhadap sesama, untuk kebaikan bersama umat. Allahu A’lam
 
AKHLAQUL KARIMAH
  Manusia yang sempurna: Muhammad SAW
         Lahir 20 April 571 Masehi.Bermula sebagai manusia biasa, pengembala, buta huruf & pedagang. Menikah dengan Siti Khadijah, ketika sempurna akhlaqnya berpredikat sebagai “Al-Amin  Sebagai Nabi berumur 25 tahun. Butuh waktu selama 15 tahun ( proses pendidikan ruhani) hingga menjadi Nabi Agung atau Rasul (umur 40 tahun, 6 bulan dan 8 hari menurut tahun Qamariyah), yaitu pada tanggal 6 Agustus, 17 Ramadhan 610 Masehi (Dep.Agama RI,1984), ditandai dengan turunnya 5 ayat perintah untuk membaca dan memahami asal kejadian manusia.  Selama 13 tahun berikutnya beliau memasuki proses lanjutan penyempurnaan hingga ditandai suatu peristiwa bersifat ruhani atau metafisik dalam peristiwa “Isra Mi’raj” pada hari Kamis, 26 Saffar 1 Hijriah, bulan September 622 Masehi, untuk menerima perintah sholat.
         Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu ada suri tauladan yang sempurna (ahlaqul karimah), yaitu bagi orang yang mengharap rahmat pada hari akhir dan yang banyak ber-dzikir
     Akhlaq (plural) dari kata khuluq atau khulq, arti ‘perangai’ atau ‘tabiat’ atau budi pekerti atau tingkah laku. Khalaq berarti kejadian atau buatan. Secara etimologi akhlaq adalah perangai atau budi pekerti atau tingkah laku atau tabiat,  bisa juga sebagai sistem prilaku yang dibuat (QS. Asy Syuara 137). 
         Secara terminologis akhlaq adalah ilmu yang menentukan batas antara yang baik dan yang buruk, antara yang terbaik dan yang tercela, baik itu tentang perkataan maupun perbuatan manusia lahir dan batin.
           Akhlaq itu bisa saja baik dan bisa juga buruk, tergantung dari tata nilai yang dipakai sebagai pedomannya. Ahklaq yang baik biasa disebut ahlaqul karimah, akhlaq mahmudah (budi pekerti mulia atau terpuji,      akhlaq sayyi’ah / akhlaq madmumah (budi pekerti jahat / tercela).
 
    Akhlaq bersifat fitriyah yaitu sifat bawaan yang melekat dalam fitrah seseorang, yang dengannya ia diciptakan, baik fisik maupun mental kejiwaanya.
         Akhlaq muktasabah yaitu sifat yang sebelumnya tidak ada namun kemudian diperoleh atau dipengaruhi oleh lingkungan alam dan sosial, pendidikan, pelatihan dan pengalaman.
         Pengembangan akhlaq dalam kehidupan meliputi kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, organisasi, bisnis, profesi, berbangsa dan bernegara, lingkungan alam dan sosial, ilmu  pengetahuan dan teknologi, pendidikan, seni dan budaya.
 
Akhlaqul karimah = pola prilaku yg dilandasi (memanifestasikan) nilai-nilai iman, islam dan ikhsan.
Di Indonesia kata-akhlaq secara sosiologis mengandung nilai dan konotasi baik.
Jika seseorang dikatakan ber-akhlaq, itu berarti orang tsb telah berbudi-pekerti baik.
            “Orang yang paling baik ke-Islamannya ialah orang yang paling baik akhlaqnya” (HR. HR. Ahmad).
. Dalam riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan ”Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang terbaik akhlaqnya”
Apa yg dikehendaki ajaran Islam yg demikian luas dan dalam ? Jawabnya pendek atau sederhana saja, yakni Islam menghendaki agar menjadi orang yg baik dan ber-akhlaqul karimah !
Untuk maksud itulah Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT ke permukaan bumi, sesuai sabda Rasulullah SAW  yg artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlaq / budi pekerti yang luhur / mulia” (HR. Ahmad, Baihaqi dan Malik).
. Akhlaq punya nilai yg tinggi dan utama.
         Sudah sepantasnya setiap muslim mengambil akhlaq sebagai perhiasan dlm kehidupannya.    Rasulullah  pernah ditanya tentang kriteria orang yg paling banyak masuk surga. Beliau  menjawab : “Taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik” (HR.Tirmizi).
         Dalam sabdanya Nabi SAW menegaskan bahwa:” Orang mu’min yg paling sempurna imannya, adalah orang yg paling baik akhlaq  / budi pekertinya” (HR. Tirmizi).
         Dari Jabir r.a berkata, Rasulullah SAW  bersabda: “ Sesungguhnya orang yg paling saya kasihi dan yg paling dekat padaku majelisnya di hari kiamat ialah yg terbaik budi pekertinya” (HR. Tirmizi).
Dalam hadits yg artinya: ”Taqwa kepada Allah dan akhlaq yg baik adalah sesuatu yg paling banyak membawa manusia ke dalam surga” (HR. Tirmizi).  Juga hadits yg artinya: ”Tidak ada sesuatu yg lebih berat dari timbangan orang Mukmin pada hari kiamat daripada akhlaq yg baik” (HR. Tirmizi).  Sabda Rasul  “Sesuatu yg berat dalam mizan adalah akhlaq yg baik” (HR. Abu Daud dan Ahmad). “Sesungguhnya sesuatu yg paling utama dalam timbangan (mizan) pada hari kiamat adalah akhlaq yg baik” (HR. Ahmad). Dengan demikian, maka semua ajaran dan amalan serta peribadatan dalam Islam, jelas semuanya bermuara pada akhlaq.   Islam memandang bahwa akhlaq yg mulia dan utama adalah sebagian dari iman, bahkan merupakan “buahnya” yg manis. Syari’at Islam menggariskan laku perbuatan bernilai akhlaq, selalu mengajak kepada ‘amar bil ma’ruf dan nahyi m’anil munkar’, dan ketaqwaan memerintahkan kepada yg baik dan mencegah ke yg buruk.

       Akhlaqul Karimah adalah akhlaq yg terpuji  Allah SWT ,QS. Al Qalam : 4 yg artinya:   “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.  Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk menyampaikan risalah Al-Islam, sekaligus sebagai Rahmatan-lil ‘alamin , sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta bukan untuk kebahagiaan ummat Islam saja, juga untuk seluruh ummat manusia.
         Norma dan peraturan diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan, sedangkan akhlaq-nya berfungsi sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik), sebagai contohan dari para pribadi ummat muslim khususnya untuk ditiru, juga oleh ummat manusia lainnya.

    Nabi Muhammad SAW sejak mula kehidupannya terkenal berbudi pekerti baik dan tanpa cela. Sejak usia muda beliau telah memperoleh gelar kehormatan dari kaumnya sebagai Al-Amin (yang jujur dan sangat dapat dipercaya).
        ‘Aisyah sendiri, ketika ditanya tentang apa dan bagaimana akhlaq Rasulullah SAW , beliau menjawab bahwa ”Akhlaq Rasulullah itu adalah Al Qur’an”.
         Meneladani Rasul melalui pemahaman Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah cara mencapai derajat akhlaq mulia.

        •Al Qur’an QS. Al-Ahzab : 21 yg artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yg baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yg mengharap (rahmat) Allah dan (keselamatan di) hari kiamat dan banyak menyebut Allah”. Sifat-sifat inilah yang menjadi panutan bagi para ummat muslim seluruhnya. Karena akhlaqul karimah inilah kemudian Rasulullah sangat dihormati dan disegani baik lawan (musuh dalam perang) maupun kawan (para sahabat).
        •Sifat-sifat utama ada pada diri Rasulullah SAW. seperti lemah lembut, rendah hati, jujur, terpercaya, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk sanjungan (pujian). Rasulullah tidak pernah berputus asa dalam berusaha dan dgn cepat melupakan hal-hal yg tidak berkenan dalam hatinya serta tidak mendendam.
        •Akhlaq adalah suatu perbuatan yg dilakukan berulang kali sehingga menjadi adat kebiasaan dengan suatu kesadaran dan bukan tanpa kesengajaan atau karena paksaan. Kesadaran tersebut terbit dari dalam diri atau dari jiwa-batinnya (ruhani) yg diikuti oleh badan-jasmaninya (fisiknya).

        •Sumber akhlaq yg Islami (adab) bisa dari nilai-nilai keagamaan itu sendiri yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
        •Akhlaq juga merupakan “buah”  dari pelaksanaan ilmu amaliyah dan ibadah. Orang yg telah menjalankan Islam secara lengkap (kaffah), tentu akan tercermin dan terpancar suatu akhlaq yg baik dalam segala tingkah laku dan perbuatannya. Ibarat seperti buah yg penampilannya mengundang selera atau ranum, bersih, segar dan cerah, tentu saja kulit penampilan luar itu akan atau dapat menggambarkan “rasa” dari isi buah tersebut. 
        •Akhlaq yg tidak bersumber dari unsur keagamaan (sekuler) bisa juga terlihat baik karena adanya kepatuhan kepada adat-istiadat, seni-budaya, peraturan atau kebiasaan tertentu yg merujuk pada unsur perasaan dan tatalaku yg bersifat umum (universal), yg umumnya termasuk dalam ilmu etika, budi pekerti, kesopan-santunan / tata krama dan sebagainya.  Namun demikian, bisa saja kita tertipu akan penampilan luarnya, namun di dalam hati ternyata tidak demikian.
        •Banyak hal yg dapat mempengaruhi prilaku seseorang, bisa dari keluarga terdekatnya, adat istiadat, keturunan, bakat, kesukuan, lingkungan dan kehidupan itu sendiri yg dialami dan sebagainya.

Macam-macam Akhlaq
1. Akhlaq Terpuji:
      a. Qana’ah, yaitu rela menerima apa adanya serta menjauhkan diri dari sikap tidak puas.
      b. Zuhud, yaitu menghindari / meninggalkan / menjauhi sifat mencintai ke-duniawian (yg berlebih-lebihan), karena semua itu tidak kekal tapi semata-mata karena ibadah kepada Allah SWT dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat, berkeluarga dan kehidupan pribadi.
      c. Iffah, yaitu menjauhkan (menahan) diri dari yg tidak halal / memelihara dari meminta-minta. 
      d. Syaja’ah, yaitu keberanian diri untuk menegakkan kebenaran dan menyingkirkan kemungkaran.

2. Akhlaq Tercela:
     a. Hasud / dengki, yaitu sifat iri hati terhadap nikmat Allah SWT yang diberikan kepada orang lain.
     b. Ghibah, yaitu menceritakan aib dan kejelekan orang lain sehingga menurunkan martabat dan kehormatan.
     c. Naminah, yaitu mengadu domba dua orang atau lebih dengan tujuan agar saling bermusuhan.
     d. Tahassus, yaitu menyiarkan kesalahan dan kejelekan orang lain.
     e. Munafik, yaitu menyembunyikan kekafiran dalam hatinya dan menampakkan iman dengan lidahnya.
     f.  Memaki / menista, yaitu penghinaan dengan kata-kata yg busuk dengan maksud untuk menghinakan.
     g. Qattah, yaitu menyadap pembicaraan orang lain kemudian hasil pendengarannya yg tidak lengkap ini setelah ditambah dan dikurangi disiarkan kepada masyarakat luas.

        •Ditegaskan dalam QS. Al-An’aam: 132  “Wa li kullin darajaatum mim maa’amil;uu wa maa rabbuka bi ghaafilin‘ammaa ya’maluun”, artinya: “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (yg sesuai) dengan apa yg dikerjakannya. Dan Tuhanmu (Allah) tidak lengah dari apa yg mereka kerjakan “.
        •Dalam QS. Az-Zalzalah: 7 - 8  “Fa may ya’mal mitsqaala dzarratin khairay yarah. Wa may ya’mal mitsqaala dzarratin syarray yarah”, artinya:” Barangsiapa yg mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa yg mengerjakan kejahatan seberat zarrah (atom) pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula”.

        •Islam tidak mengajarkan perbuatan-perbuatan yg keji dan yg mungkar-mungkar, seperti: memerangi / membunuh atau mencelakai (nge-bom, menteror, kekerasan, main hakim sendiri, dll) terhadap orang lain yg tidak seagama atau tidak se-iman atau mereka yg tersesat, terkecuali bila dalam keadaan terdesak dan tertindas serta tiada jalan lain untuk berdamai lagi.
        •Nabi Muhammad SAW bersabda yg artinya : ”Kekejian dan perbuatan keji, sama sekali bukan dari ajaran Islam. Sesungguhnya orang yang terbaik ke-Islam-annya adalah yang  terbaik budi pekertinya” (HR. Tirmizi).

        •Akhlaq yg baik dapat mencairkan, atau sebagai penebus dosa, bahkan prilaku yg baik tersebut dapat menutupi kelemahan dalam beribadah dan meninggikan derajat seseorang muslim.
        •Anjuran dan Sabda Rasulullah SAW yg artinya: ”Ber-taqwa-lah kepada Allah di manapun kamu berada. Ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapusnya. Dan ber-akhlaq-lah yg baik terhadap sesama manusia” (HR. Thabrani).
        •Sabda Rasulullah SAW yg artinya: “Budi pekerti yg baik dapat mencairkan dosa seperti air mencairkan gumpalan salju. Sedangkan perangai buruk dapat merusak amal shaleh sebagaimana cuka merusak madu” (HR. Baihaqi).
        •Budi pekerti ini ternyata tinggi nilainya. Sabda Rasulullah SAW yg artinya:” Tidak ada sesuatu yg lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat kelak, dibandingkan budi pekerti yg baik. Orang yg berbudi pekerti luhur dapat mencapai martabat orang yg ber-puasa dan mendirikan sholat” (HR. Ahmad bin Hambal).
        •Rasulullah SAW bersabda: ” Budi pekerti yg baik, manusia dapat mencapai martabat yang tinggi dan kedudukan mulia di akherat, sekalipun ibadahnya lemah. Dengan perangai buruk orang akan menempati kedudukan paling bawah di dalam neraka jahanam” (HR. Thabrani).
        •Sabda Rasulullah SAW , artinya: ”Seorang muslim yg biasa-biasa saja dalam beribadah, namun memiliki budi pekerti yg baik dan terpuji akan mencapai derajat setaraf dengan orang-orang yg banyak sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an” (HR. Ahmad bin Hambal).
        •Dua amal (perbuatan) baik tinggikan derajat seseorang: Ibnu Umar r.a. mengungkapkan, Rasullullah SAW bersabda: “ Carilah oleh kalian derajat yg tinggi di sisi Allah, yakni dengan cara:  Pertama, bersikap penyantun terhadap orang yg tidak mengetahui tentang dirimu. Kedua, memberi kepada orang yg tidak pernah memberi kepadamu” (HR. ‘Addi).
        •Akhlaq yang tidak bersumber dari unsur keagamaan (sekuler) bisa juga terlihat baik karena adanya kepatuhan kepada adat-istiadat, seni-budaya, peraturan atau kebiasaan tertentu yang merujuk pada unsur perasaan dan tatalaku yang bersifat umum (universal), yang umumnya termasuk dalam ilmu etika, budi pekerti, kesopan-santunan atau tata krama dan sebagainya.  Namun demikian, bisa saja kita tertipu akan penampilan luarnya, namun di dalam hati ternyata tidak demikian. 
        •Banyak hal yang dapat mempengaruhi prilaku seseorang, bisa dari keluarga terdekatnya, adat istiadat, keturunan, bakat, kesukuan, lingkungan dan kehidupan itu sendiri yang dialami dan sebagainya.