Laman

Pengikut

Senin, 15 Oktober 2012

CATATAN TERCECER DISKUSI KRIYA

Catatan Hasil Diskusi Kriya Seni, FSRD-ISI Denpasar di Paros Gallery
REPOSISI  PENDIDIKAN  TINGGI  KRIYA  SENI
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Kamis tgl, 8/6/06 di Paros Gallery diadakan sarasehan atau diskusi masalah kriya seni, serangkaian acara penutupan pameran kriya seni, FSRD-ISI Denpasar. Pameran yang dilaksanakan di dua tempat secara bersamaan yaitu di Museum Sidik Jari (pembukaan) dan Paros Gallery (penutupan). Hadir 3 pembicara pada diskusi tersebut terdiri dari akademisi, praktisi / pengusaha dan curator yaitu Drs. I Made Yasana, M.Erg.; 
Ir. Ngurah Pratama Citra, MM.;  Dan Wayan Kun Adnyana, S.Sn. Diskusi ini dimoderatori oleh Drs. I Made Supartha, M.Hum.  Sejumlah 60-an orang hadir dalam diskusi terdiri dari para alumni, dosen, mahasiswa dan pengusaha serta perajin dalam suasana hangat dan bersahaja duduk dilantai.

Perlu Reposisi
I Made Yasana, akademisi berpengalaman pendidikan desain keramik di Jepang dan Advanced Profesional Design Produk di Jerman serta mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Seni Keramik dan Porselin Bali ini, pembicara pertama yang membawa makalah berjudul: “Dimensi dan Keragaman Produk Kriya”, mengulas dari persoalan bahasa sebagai start awal bahwa “kriya” dari kata “kerja” yang sepadan dengan kata Craft dan benda guna dengan ciri dan tujuan yang jelas, ada ketergantungan proses sentuhan tangan, dapat diproduksi (jumlah tertentu) dan dapat menjawab persoalan dari luar (masyarakat, bisa pribadi / golongan tertentu, kesenian / art, dll) dimana struktur dan bentuknya bisa bersifat fungsional atau dekoratif.  Yasana juga merunut perkembangan kriya mulai zaman purba, masa penjajahan hingga masa merdeka sekarang ini, yang dalam perkembangannya tidak hanya bersifat simbolik, peralatan, persembahan, souvenir, tetapi juga sebagai komoditas (eksport) dan untuk sesuatu yang bersifat pribadi atau keilmuan. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa Bali kaya akan potensi kriya yang bersumber dari senirupa dan budaya Bali, tarian, aksara dan suara dan sebagainya menjadi rancangan interior maupun eksterior menyesuaikan dengan iklim perubahan abad ke abad atau dari decade ke decade dengan cara berfikir baru bukan sekedar rasional tapi juga ekspresi. Umumnya dasar untuk membeli / memiliki produk kriya adalah karena perlu, murah, desain menarik, merek terkenal, buatan luar negeri/dalam negeri/khas daerah, juga bisa karena iklan dan promosi, pun juga karena status symbol (kebanggaan). Intinya ada keindahan, ada ciri khas,  murah, terjangkau dan berkepribadian. Pembicara ke dua, Wayan Kun Adnyana, kritikus yang curator ini membawakan judul tulisan “Kriya Seni: Mengayuh Antara Dua Tegangan”. Ia menyoal tentang “kriya seni” dikaitkan dengan terminology  “seni rupa murni” untuk mensetarakan kedudukan (modernisme) ataupun konteks kriya seni yang diimpor dari Barat dengan istilah “kriya kontemporer  yang tidak mengakui pembagian seni dan menganggap semua cabang seni sederajat. Ia menyayangkan adanya pembagian program studi kriya seni dan program seni murni pada ranah yang berbeda. Sementara peluang pluralisme ekspresi  dan medium dalam seni kontemporer dimungkinkan bersatu. Penggunaan istilah kriya seni atau kriya kontemporer hanyalah untuk membedakan dengan hasil karya tradisi, seolah olah ada perbedaan hasil karya (Seni rendah vs seni tinggi) dan usaha pembebasan anti katagori medium, disamping belum mampu mereposisi kriya dari katagori marginal. Ia menangkap dua arus kecenderungan karya kriya seni seperti yang dipamerkan, pertama hanya untuk membedakannya dengan kerajinan rakyat dan kedua mengikuti arus kriya kontemporer namun tetap bersikukuh dengan citra tradisional, sehingga ada tegangan teoritik yang meliputi term kriya seni, sehingga terkesan ambiguitas sebagai seni rupa dua dunia: kriya yang berarti kerajinan tangan dan sekaligus senirupa sadar konsep ? Pembicara ke tiga adalah Ngurah Pratama Citra, praktisi dan Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI Bali) yang berkator di Disperindag Prov. Bali ini membawakan makalah berjudul” Pengembanagn dalam Keragaman”. Ia mengungkap persepsi awal bahwa kriya tak lebih merupakan seni terapan, seni dekoratif bahkan kerajinan, karena mengabdi pada kaidah ketrampilan penanganan teknis yang nilainya tidak sepadan dengan senirupa murni dimana dikotomi fine art diwariskan oleh seni modern Barat. Perlu adanya reposisi untuk menjawab tantangan zaman, termasuk mengisi permintaan pasar, walaupun tetap ada idealisme atau identitas (cirri khas). Lebih jauh Citra mengharapkan perguruan tinggi penghasil sarjana kriya memiliki output expected yang jelas, setelah pameran lalu mau apa? Harapannya juga kurikulumnya harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dengan penelitian, memanfaatkan tenaga praktisi dan program magang, yang menghasilkan lulusan siap kerja atau kelebihannya apa?. Strateginya adalah dengan revitalisasi persepsi dari stakeholders, menambah bekal ilmu pariwisata (cenderamata dan pasar eksport), kombinasi bahan, fasilitasi kegiatan pameran dalam & luar negeri, kolaborasi dengan lembaga di luar ISI, asosiasi, instasi lain, kriyawan / perajin dalam dan luar Bali. Kriyawan juga sebagai wirausahawan yang tertarik dengan imbalan berupa laba, kebebasan dan kepuasan hidup. Disini para mahasiswa diberi bekal ilmu kewiraswataan atau berwirausaha, sehingga memiliki kemampuan untuk menemukan dan mengevaluasi peluang, mengumpulkan sumber daya,. Bertindak memperoleh keuntungan dari peluang itu. Esensinya untuk memperoleh nilai tambah di pasar melalui proses  pengkombinasian sumber daya, cara-cara baru atau berbeda (pengembangan teknologi, penemuan pengetahuan baru, perbaikan produk dan jasa), efisiensi dan lainnya  untuk dapat bersaing.  Dengan rangkuman nilai kewirausahaan: 1) berani mengambil resiko; 2) kemampuan menangkap peluang,; 3) berorientasi ke masa depan; 4) tidak cepat puas; 5) semangat untuk bersaing; 6) kemampuan melakukan inovasi; 7) kemampuan dalam memimpin.  Citra sebagai ketua asosiasi ASEPHI Bali mengaku menampung keluhan anggotanya (32 eksportir) di lapangan dan masyarakat, bahwa sementara ini sarjana kriya jarang ada yang berperanan dan sangat sedikit sekali yang mengisi peluang kerja (tidak dimanfaatkan alumni kriya-ISI Denpasar), kebanyakan desainer kriya terdiri orang asing (sekitar 38 orang) dengan bayaran cukup menggiurkan dengan hasil karya yang tak jauh berbeda dengan kriyawan ISI, dimana sekarang ini eksport Bali 80 % (nilai pulus).  Sampai kini ada masalah-masalah yang harus terjawab mau apa dan bagaimana, sehingga kesenjangan yang ada diperkecil dan dapat membangun publikan serta minat untuk menekuni kriya yang dapat memberi kesejahteraan. Dunia usaha sangat membutuhkan sarjana kriya, ada segmen pasar tertentu dan karier di Luar Negeri dan ISI mau mendengar keluhan-keluhan yang ada. Menurutnya perut lapar tidak bisa ditunda-tunda, menurutnya pula hampir kriyawan yang eksis tidak sarjana kriya. Sebagai Ketua ASEPHI, Citra berjanji untuk bisa bekerjasama (membantu) atau mengadakan M.O.U. dengan Kriya ISI Denpasar, dalam hal magang atau kerja praktek, pameran (buku / katalogus) dalam bentuk legal-formal atau maju secara institusi bukan individual. Ia menganggap fihak ISI yang belum bisa masuk ke wilayah yang berkembang di masyarakat (seperti menara gading) dimana handicraft merupakan andalan Bali, belum sepenuhnya dipahami para akademisi dan dicari solusi pengembangannya, sehingga perlu menggandeng praktisi dilapangan untuk menjembatani kesenjangan yang terjadi.

Berbagai tanggapan muncul dari diskusi ini, seperti Radiawan yang menekankan pada stuktur dan profesionalisme kekriyaan serta trend produk. Lalu Cok Udiyana menekankan pada nalar dan gagasan cemerlang “Naga saksaka” sebagai strategi terbaik. Anom mengemukakan pengalamannya sebagai rangkaian proses belajar dari mahasiswa hingga menjadi pengusaha dan eksportir. Ia mengharapkan pihak swasta, pemerintah dan perguruan tinggi ada dialog yang membangun memperkuat sector kriya ini. Kemudian Jana dengan arah pembelajaran sebagai fine art dan produk / desain. Yang tak kalah seru pernyataan Wirakesuma, bahwa semua kegiatan jangan disamakan, tidak bisa digeneralisasikan, disamakan seperti seni / art semua terkadang menggunakan perasaan / ekspresi, baik itu fotografi, kriya atau patung maupun lukis. Pembuatan kriya di ISI sudah baik, cuma payungnya adalah Seni Rupa dan Desain. Jangan hanya mengekor pemikiran Barat, lalu mengekor dan terus mengekor lagi, disini diperlukan idealisme membangun kepercayaan diri yang kuat.  Seni Bali dahulu sebagai prilaku yang hidup dan bukan teoritik dari Barat. Muka menganjurkan dalam kurikulum ada pengetahuan pariwisata, desain, art dan wuirausaha dalam prosentase yang tepat.
Pada akhirnya menjadi PR Kriya ISI Denpasar untuk Reposisi, diperlukan menghimpun masukan stakeholders, tracer study dan membuat kurikulum yang tepat dan mengikuti perkembangan zaman. Berikanlah semua ilmu yang bersifat ilmiah kepada mahasiswa dalam menunjang kesarjanaan kekriyaan itu sendiri, sehingga memiliki bekal dan juga berhak untuk menentukan arah (wawasan) pilihan hidup nantinya, apakah sebagai seniman, kriyawan, atau desainer produk, bahkan sebagai wirausahawan atau praktisi atau pengusaha. Seperti pernyataan Sekjen Depdiknas, Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS, ketika mengunjungi pameran kriya seni “Dimensi Kriya dalam Keragaman” di Museum Sidik Jari, tanggal 29 Mei 2006 lalu didampingi Rektor ISI Denpasar yang mengatakan: “Jika kita berpikiran jernih, sebenarnya “seni”lah yang merupakan keunggulan bangsa kita, bukan teknologi. Ya, Seni sebagai unggulan bangsa memang sudah sangat layak mendapatkan prioritas utama dalam dunia pendidikan karena sudah menjadi identitas bangsa”. Secara pribadi Ia kagum akan karya-karya yang ditampilkan oleh Jurusan Kriya, FSRD-ISI Denpasar. Dan karya kriya perlu sering ditampilkan dalam pameran seperti ini, agar dikenal luas masyarakat dan mampu menjadi unggulan pilihan calon mahasiswa / kriyawan.


Sabtu, 13 Oktober 2012

PEMATUNG BALI ASOSIASI


Pemeran Patung Bali-Indonesia Sculptors Association
Jalinan Generasi Pematung di Bali
Oleh Agus Mulyadi Utomo
agusmulyadiutomo@yahoo.co.id
goesmul@gmail.com
Bali, Indonesia Sculptors Association yang disingkat B.I.A.S.A., menggelar pameran perdana seni patung dari tanggal 29 Agustus s/d 10 September 2004 di Museum Patung Wayan Pendet, Nyuh Kuning Ubud, Gianyar. Pameran yang bertajuk “Jalinan Benang Merah Generasi Pematung di Bali” yang dibuka oleh Prof. DR. I Wayan Rai S, MA, Rektor ISI Denpasar itu menampilkan puluhan karya pematung  dan didukung oleh beberapa pematung asing yang berada di Bali.

 
Pematung yang tergabung dalam kelompok B.I.A.S.A. (berdiri tgl 22 Januari 2004 di Satria Art Gallery) beranggotakan para pematung  dari generasi 1960 dan 1970-an sampai dengan generasi muda dan mahasiswa yang ingin menyambung dan menjalin hubungan benang merah  yang selama ini komunikasinya dianggap terputus. Menurut Tjok Udiana Nindia, staff pengajar Program Studi Patung, ISI Denpasar,yang juga Ketua Harian kelompok ini, menyatakan terdapat tiga generasi pematung di Bali yang perlu dipertemukan serta dipersatukan didalam bentuk Association yang bersifat independen disamping  untuk memperkenalkan mereka lebih baik kepada khalayak. Ia juga berusaha mencarikan peluang-peluang pameran patung secara konkrit dan berkala dimasa mendatang. Dan hadir pula disini sebagai konsultan Mr. Johan Hensen (dari Belanda), Mr. Roy Thompson (dari Amerika Serikat), Yasco Kanehera (dari Jepang) dan Gde Dananjaya Siadja B. COM pengusaha/eksportir dari Ubud-Gianyar. untuk bisa menjembatani pematung kelompok ini memasuki dunia global (pergaulan nasional - internasional).


Ajeg Bali dalam Seni Patung
Seni patung tradisional di Bali ada yang berupa arca ( pahatan dan  relief ) yang biasa  dipergunakan dalam upacara keagamaan (pratima) dan disucikan (dipasupati) serta dikeramatkan; Juga ada pula yang tidak difungsikan untuk keagamaan tetapi sebagai benda dekoratif / hiasan dan benda yang bernilai ungkap/ekspresi atau bahkan sebagai benda wisata (souvenir) yang bernilai ekonomi. Sehingga pembuatan patung tradisional yang mengambil tokoh atau bentuk yang disakralkan dan menyangkut agama Hindu, tentu membuat para seniman harus ekstra hati-hati  terutama dalam mengambil tema dan makna serta penerapannya pada karya, yaitu dari bentuk-bentuk yang bersifat religius menjadi individual atau konsumsi umum, agar dikemudian hari tidak dipermasalahkan / diprotes oleh masyarakat yang beragama Hindu , seperti cover majalah, kaset, lirik lagu, cerita TV, sastra dan sebagainya yang menyinggung sentimen keagamaan dalam rangka inventarisasi dan pelestarian serta pengembangan budaya Bali itu sendiri. Untuk mengantisipasi pada penerapan motif/bentuk/hiasan/makna/symbol yang menyangkut sentimen keagamaan, tentu perlu dikaji secara terinci dan dibuat pedomannya oleh para agamawan agar masyarakat mengetahui mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dimanfaatkan oleh individu-individu tertentu, terutama para seniman diluar Bali atau asing yang mengadopsinya menjadi bentuk pengembangan/baru atau bahkan bisa salah dalam memaknainya. Sudut pandang setiap individu memang bisa berbeda, akan tetapi perlu pedoman khusus dalam rangka pelestarian dan pengembangan Budaya Bali, yang perwujudannya perlu dibahas secara khusus, perubahan makna dan fungsi serta simbolisnya yang diakibatkan perubahan zaman, termasuk sebagai pendidikan dan filsafat dalam konteks pendidikan seni dan penciptaan karya seni. Barangkali kelompok ini idealnya bisa mengadakan sarasehan seni patung dengan tema  yang menyangkut hal tersebut.
Patung sesungguhnya sudah memasyarakat di Bali dan terutama pembuatan patung-patung tradisional yang dibuat dan dipasarkan di daerah kantong-kantong kunjungan wisata. Namun demikian pameran patung secara “khusus” masih dirasakan langka, apalagi yang memperlihatkan seni patung kontemporer. Peristiwa ini perlu dicatat sebagai sebagai suatu langkah awal yang bagus untuk menuju kesadaran baru dan tekad kebersamaan yang tumbuh dari pematung Bali atas prakarsa para pematung-pematung muda untuk menjalin hubungan benang merah dengan generasi pendahulunya. Suatu bentuk keakraban bersama dalam penghayatan karya kreatif dengan segala tantangannya. Suatu kemajuan dan sekaligus himbauan bagi pematung untuk bisa merangsang kreativitas serta menggemakan seni dibidang trimatra ini memasuki era-global yang penuh persaingan.

Berbicara mengenai karya-karya patung yang digelar, tampaknya pematung Bali masih kuat dipengaruhi seni tradisi dalam perwujudan bentuk karya, dan menjaga ajeg Bali seperti karya I Nyoman Rubig yang menampilkan “Kijang Terpanah”, Made Sudiarta dengan “Durma”, I Gst Made Lod dengan “Bagawanta” I Wayan Ariana dengan karya “Pertarungan Ganesha dengan Niludraka”, I Made Kisid dengan “Rama Sita dan Kijang”, I Wayan Kencana berjudul “Ganesha”, Tjok Udiana yang berjudul “Kala”, I Wayan Pugug dengan judul “Sita Kepundung”, I Made Sutedja dengan “Dewa Ruci”, I Made Sudarma dengan “Balinese Style”, I Kt Maria Wungsu dengan judul “Topeng”, Nyoman Sudiarta dengan karya “Kaliyuga” , I Nyoman Mawi dengan karya berjudul “Babi Menyusui”, Ni wayan Simin dengan judul “Sang Budha” dan I wayan Patra dengan karya yang berjudul “Kera”, terutama dalam teknik sederhana seperti pemanfaatan teknik pahatan yang sebagian besar  mengggunakan bahan dengan berbagai jenis kayu dan batu padas.

Belum Spektakuler
Dari keseluruhan karya yang ditampilkan belum begitu tampak inovasi baru dalam hal teknologi dan belum bisa dikatakan spektakuler, kreativitas terbatas pada mengubah bentuk dengan teknik sederhana saja sebatas cakrawala tradisional Bali, hal tersebut dapat dipahami sebagai langkah awal dan masih dalam rangka wacana ke depan yang harus digarap para pematung kelompok ini nantinya. Hal ini jelas terlihat dari sebagian besar karya masih bertumpu dan bergantung pada bahan kayu dan masih langka yang memanfaatkan metal / besi dan bahan-bahan lainnya. Namun demikian sedikit ada yang sudah mulai memanfaatkan Resycling paper ( kertas) seperti karya Udiana yang berjudul “Kala”, lalu karya I Wayan Gawiartha yang berjudul “Rokmu Menyambut” yang memanfaatkan serbuk gergajian kayu, Dewi Rani dan Ketut Muka dengan media tanah liat/keramik sebagai bahan – materialnya,  Karya-karya yang bentuknya sudah lebih bebas seperti I Wayan Jana dengan karya yang berjudul “Bulging Fantasy”.dan karya lainnya yang berjudul “Duri” dibuat oleh Carola Vooges memperlihatkan kontradiksi dari ketajaman dengan kelembutan atau duri yang tidak berkesan tajam seperti kerang laut dengan tekstur halus. Juga Pande Wayan Mataram dengan karya yang berjudul “Satu Kesatuan”. Kepekaan sosial ditampilkan oleh I Made Sukanta Wahyu dalam karya yang berjudul “Anak Cacat”, juga  Made Bratayasa dengan karya berjudul “Rungu”.  Imajinasi dari hubungan kasih sayang dan keintiman ditampilkan para pematung seperti IB Warsaka dengan judul “Ibu dan Anak”, I Wayan Mudana dengan “Kasih Bunda”, I Kt Putrayasa dengan “Kasih”, IB Nyoman Mahayana dengan “Keindahan Cinta” dan I Made Rema dengan “Bermesraan”. Ada patung yang menarik yaitu pada karya I Made Sujana sebagai kritik dari kehidupan kasih sayang yang berlebihan dengan judul “Satu lobang Rame-rame” terbuat dari kayu buni yang digambarkan didalam satu batang kayu terdapat seolah-olah ada banyak bayi tersembul mau keluar dan kaki-kaki bayi dibahagian bawah seolah akar-akar pohon. Merngisyaratkan apakah suatu kenyataan yang demikian sudah sedemikian berakarnya dikalangan masyarakat,  terutama kebebasan seksual masa kini tanpa rambu-rambu keagamaan ? 


Pameran Patung  Kelompok B.I.A.S.A. di Krane Gallery

Citra Patung Bali Dalam Lingkup Tradisi

 Bali, Indonesia Sculptors Association yang disingkat B.I.A.S.A., menggelar pameran seni patung dari tanggal 27 Desember 2004 s/d 5 Januari 2005 di Krene Gallery, Lungsiakan- Ubud, Gianyar. Pameran yang  dibuka oleh Ida Bagus Marka, pemilik Gallery Marka dari Kemenuh, Sukawati Gianyar ini, menampilkan sekitar 33 patung dari 11 karya pematung, dan 1 diantaranya adalah pematung wanita asing yang tinggal di Bali.

 
Seni patung sebagai bagian dari senirupa mempunyai sejarah yang sama tuanya dengan ummat manusia. Patung memang mempunyai nilai budaya yang cukup tinggi, baik dalam kehidupan bangsa-bangsa kuno di Dunia ini, maupun di Indonesia termasuk di Bali. Terutama patung untuk sarana penghormatan,  pemujaan dan upacara keagamaan seperti yang terdapat pada candi-candi, pura, monumen, rumah tinggal dan sebagainya,  bisa dalam perwujudan bentuk nenekmoyang , bentuk Dewa-dewi, bentuk para pahlawan atau pemimpin atau tokoh masyarakat, perlambangan-perlambangan khusus, pratima-pratima, bentuk buta kala, bentuk-bentuk mytologis dan bentuk sakral lainnya yang diambil dari legenda.  Sejak mula dalam pembuatan patung-patung memang mengarah pada kepentingan tertentu, terutama pada masyarakat yang terikat dengan kepercayaan tertentu yang sama pula. Sang pematung tentunya terpengaruh atau mendapat inspirasi dalam kaitannya dengan menganut kepercayaan tersebut, seperti dalam kepercaayaan animisme, agama Hindu dan Budha serta Kristen/Katholik.; Maka makna dari perwujudan yang dibuat bagi pematung tentu bersifat komunikatif, dapat memenuhi fungsinya dengan baik,  mudah dimengerti dalam kelompok masyarakatnya. Misalnya patung yang berada di gereja, kuil, candi, pura dan sebagainya.



Sisi lain yang yang menarik dari telaah seni patung Bali , bahwa bentuk tradisi lama atau yang diciptakan ratusan tahun silam masih digarap oleh sebagian kelompok masyarakat Bali di abad ini. Hal ini bisa saja terjadi disebabkan kehidupan di daerah ini tidak banyak berubah terutama dalam kepercayaan masyarakatnya yang mayoritas masih memeluk agama Hindu, yang dirasakan sebagai museum “hidup” yang melanggengkan dari kepercayaan tersebut, disamping mempercayai akan kekuatan-kekuatan gaib dan nilai sakral-magis dari bentuk perlambangan tertentu, disamping untuk tolak bala juga sebagai pelengkap ritual dan persembahan. Disamping itu ada realitas lain yang menunjukkan pelestarian nilai-nilai  tradisional berjalan secara alami,  berjalan lintas waktu yang sedikit toleran terhadap pengaruh luar atau bersifat ekonomis akibat system komunikasi modern dan perkembangan pariwisata, pendidikan  serta apresiasi masyarakat Bali sendiri.



Masih Citra Tradisi Bali

Seni patung di Bali sepertinya sudah menjadi bagian penting perjalanan kesenian yang sejalan dengan kehidupan masyarakatnya, terutama patung tradisional baik yang berupa arca (pahatan dan relief) yang biasa dipergunakan dalam upacara keagamaan (pratima) dan disucikan (dipasupati) serta dikeramatkan. Ada pula yang berfungsi sebagai benda dekoratif atau hiasan dan benda yang bernilai ungkap sebagai benda wisata (cenderamata) yang bernilai ekonomi.  Pada proses pembuatan patung yang mengambil tokoh atau bentuk yang disakralkan dan menyangkut agama Hindu, tentu seniman harus ekstra hati-hati, agar dikemudian hari tidak menuai protes sebagaimana kasus-kasus “pelecehan” symbol-simbol agama yang terjadi belakangan ini.  Sudut pandang setiap individu memang bisa berbeda, tetapi diperlukan pedoman khusus dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya Bali itu sendiri.



Kemampuan mengukir atau memahat patung bagi orang Bali sudah tidak diragukan lagi, tidak memerlukan sekolah khusus, bahkan hanya melihat saja sudah bisa meniru. Namun demikian dalam mengolah ide yang bernilai “seni” dan menuangkan ekspresi menjadi bentuk tertentu dengan bahan tertentu pula memerlukan pengetahuan tersendiri.

Hasil karya patung di Bali, banyak dikembangkan didaerah-daerah tertentu dan kantong-kantong seni yang kemudian dipasarkan di gallery-gallery, toko-toko patung / seni pahat yang banyak berjajar dipinggiran jalan protokol atau jalur-jalur wisata, yang pada umumnya dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi yang merupakan dampak dari perkembangan pariwisata. Sebagian masyarakat sendiri dalam pembuatan patung sudah tidak asing lagi dan sudah mentradisi yang sumbernya tentu berakar dari perkembangan patung sederhana zaman prasejarah dan Hindu Bali kuno. Pengembangan dari bentuk seni patung tradisi, yang semula dirintis oleh I Nyoman Tjokot (awalnya tidak dikenal dan dibina oleh seniman R. Bonnet dan Walter Spies sekitar tahun 1940-an),  memanfaatkan akar-akar kayu yang diambil dari bekas tebangan di hutan yang tidak terpakai untuk bahan patungnya dan difinishing dengan warna arang serta kapur. Gaya yang dikembangkan I Tjokot tersebut sebagai sesuatu yang original dan imajinatif-reaktif dari pola dasar bentuk yang diperolehnya dari bonggol akar-akar kayu yang bervariasi. Kala itu cara yang ditempuh dianggap tidak lazim dan nyeleneh atau menyimpang dari kebiasaan pematung tradisional. Karya patung Tjokot mulai dipasarkan ke Amerika Serikat sejak tahun 1952-an. Dan I Tjokot pun akhirnya memperoleh penghargaan semacam maestro pada tahun 1960-an di Colorado-Amerika Serikat. Barulah pada tahun 1969 I Tjokot ini memperoleh Anugrah Seni Wijaya Kusuma dari pemerintah Indonesia dan wafat 1 Oktober 1971. Kini seni patung di Bali, setelah  I Tjokot, baik bentuk patung yang baru dan original sekalipun (modern), maupun bentuk patung tradisional yang telah meningkat jumlah dan variasinya itu ternyata belum mampu untuk mengubah “citra” patung tradisional Bali serta sepi dari wacana. Walaupun hasil karya seni tersebut sudah banyak menyebar ke Mancanegara--- bahkan ada yang diakui sebagai karya orang asing dengan menunjukkan hak cipta/patennya. Kebanyakan karya lukis dan patung Bali, baru terkenal setelah ditulis dan dibahas dalam buku-buku oleh orang asing. Akhirnya seni patung Bali dalam perkembangannya kemudian nyaris tak terdengar gaungnya, tenggelam dalam arus bisnis / ekspor serta hiruk-pikuknya seni kerajinan dan budaya kerja semata. Peniruan-peniruan dalam produksi patung tradisional memang sudah dianggap biasa yang dilakukan oleh masyarakat perajin di Bali, bahkan penciptanya merasa “bangga” kalau bentuk tersebut ditiru / disenangi dan berguna bagi orang lain, apalagi bentuk ciptaan tersebut laku dijual dipasaran. Tentu dampaknya pun akan berbeda dengan kebutuhan yang bersifat individual dan dari sudut pandang ekonomi modern yang berkembang kemudian (tentu dengan adanya HaKI). Hal-hal yang bersifat original dan inovasi baru tidak selalu mendapat perhatian masyarakat perajin dan belum menjadi suatu “kebutuhan” yang mutlak bagi para perajin dan pematung tradisional dalam upaya melindungi hasil karyanya, disamping biaya pendaftaran HaKI dirasakan cukup tinggi, juga prosedur atau tatacara pengajuan, klasifikasi dan detail secara administratif dianggap agak rumit dan belum terbiasa. Apalagi penelitian dan pembuatan buku mengenai hal tersebut masih sebatas wacana. Literatur tentang pematung Bali pun baik yang bernuansa modern maupun tradisional sampai saat ini belum meyakinkan dan masih langka. Tidak seperti halnya dengan perkembangan Seni Patung Indonesia Baru yakni semenjak 1940-an, yang mengawali pertumbuhannya dengan berbagai penafsiran dan pandangan yang bersifat individual serta tidak sambung atau tidak berhubungan  dengan seni tradisional manapun, telah merujuk pada perkembangan seni patung modern yang berasal dari Barat dan dari Perguruan Tinggi Seni yang ada program seni patung, seperti ITB Bandung dan “ASRI” Yogyakarta (ISI). Sehingga perkembangan seni patung Indonesia pun dapat terdeteksi dengan cukup baik. Para pengamat seni patung di Indonesia memang merasa ‘enggan’ atau ‘sengaja’ tidak memasukkan seni patung di Bali sebagai bagian dari perkembangan seni patung Indonesia, atau dianggap tidak ‘layak’ dibahas dikarenakan “sarat” dengan unsur ‘tradisi’, yang notabene memerlukan pembahasan atau “kacamata” khusus yang terkait dengan agama dan budaya Hindu Bali atau pembahasan yang berbeda serta perlu pengetahuan tersendiri akan hal itu. Satu-satunya pada masa kini yang dapat mengangkat citra patung tradisi Bali secara nasional dan internasional adalah Garuda Wisnu Kencana  (GWK) karya I Nyoman Nuarta (alumni ITB) yang spektakular dilihat dari ukuran, biaya dan fungsi sosialnya. Adanya Bali, Indonesia Sculptors Association yang disingkat B.I.A.S.A. yang terbentuk pada 22 Januari 2004, didirikan atas kesepakatan dan keinginan untuk bersatu melestarikan konsep dan nilai-nilai tradisi dalam menatap perkembangan seni patung Bali ke depan, diantara para konseptornya adalah pematung Ida Bagus Alit, I Made Suthedja, Tjok Udiana, IB Warsaka, IB Mahayana, I Wayan Jana, para mahasiswa Patung PSSRD Unud (Sekarang ISI Denpasar); dan pecinta seni patung seperti I Made Yudha dan IB Putu Gde Sutama. Pendirian B.I.A.S.A. kemudian mendapat dukungan luas dari pematung Bali dalam pertemuan tanggal 2 Mei 2004 di Museum Patung I Wayan Pendet, Nyuh Kuning,Mas, Ubud-Gianyar seperti I Ketut Muja, I Ketut Widia, I Nyoman Mawi, I Made Kakul, I Nyoman Rubig mewakili generasi 1940-an; Lalu, Made Bratayasa, Nyoman Sudarta mewakili pematung tahun 1950-an; Dan I Wayan Sudarma, I Made Sujana, I Ketut Muka Pendet, Ida Bagus Manik Kencana mewakili pematung 1960-1970-an. Dilanjutkan dengan menggelar pameran perdananya ditempat yang sama pada tanggal 29 Agustus s/d 10 September 2004 lalu, yang juga didukung oleh pematung asing diantaranya Carola Vooges dan konsultan asing seperti Johan Hensen dari Belanda, Roy Thompson dari Amerika Serikat, Yasco Kanehira dari Jepang, Friedrich Demolsky dari Austria, Coco Ma dari Taiwan serta Gallery Siadja, Gallery Marka, Nyana Tilem Gallery, Manis Gallery dan Uma Dewi Gallery serta lainnya. Kini B.I.A.S.A. diketuai oleh Ida Bagus Alit dan Ketua Pelaksana  Harian oleh Tjok Udiana. Tentu pembentukan asosiasi pematung Bali ini dapat memberi harapan untuk nantinya bisa mendata, meneliti dan membukukan perkembangan seni patung di Bali secara khusus dan berkala pula. Apalagi banyak pihak yang mendukung akan hal tersebut seperti gallery-gallery, kolektor, konsultan luarnegeri dan  ISI Denpasar untuk dapat terwujudkan di masa mendatang, yang nantinya sangat berguna untuk literatur dan pendidikan seni patung Bali.



Kesebelas pematung yang berpameran  di Krane Gallery Ubud kali ini, memajang sekitar 33 karya dan mereka itu  adalah Ida Bagus Alit, I Md Brata Yasa, I Gst Md Lod, Pande Wy Mataram, I Wy Mudana, I Kt Muja, I Md Sukanta Wahyu, I Md Sujana, Made Sudiarta, Tjok Udiana dan Corola Vooges. Menyimak karya para pematung secara keseluruhan masih banyak yang menggarap bahan tradisional seperti kayu, dimulai dari kayu waru, sonokeling, suar, jati,  belalu, mahoni, frangipani wood, ketapang, sea hibiscus wood dan ada juga yang mengolah bahan recycling paper (kertas bekas) seperti Tjok Udiana.  Para pematung masih banyak berkutat pada teknik pahatan tradisional, mengikuti alur dan struktur kayu yang memanfaatkan karakter dan tekstur yang natural, seperti bonggol, serat, akar, cabang, kayu yang lapuk / seperti rusak (borok) / bolong dan yang bergelombang dalam membentuk ide seninya, seperti I Kt Muja, I Wy Mudana dan lainnya.  Beberapa diantaranya seperti I Md Bratayasa, Pande Wayan Mataram dan I Made Sujana memanfaatkan sisa-sisa kayu potongan (recycle) yang dirakit / disusun sedemikian rupa menjadikan sinyal-sinyal untuk direspon daya imajinasi mereka menjadi bentuk ungkapan / ekspresi. Berbeda dengan I Md Sukanta Wahyu, ia terkadang juga memanfaatkan kayu yang setengah terbakar untuk memperoleh efek-efek tertentu seperti kesan magis atau menyeramkan dalam mengusung symbol-simbol ritual / kehidupan. Made Sudiarta, pematung otodidak ini, mewujudkan patungnya menggunakan kayu yang telah usang (waste recycle) yang umurnya cukup tua dan Ia tidak mau memotong kayu yang masih hidup/muda untuk berkarya, semuanya itu didasari oleh kepercayaan atau ajaran tertentu untuk menjaga keharmonisan dengan alam semesta. Secara menyeluruh bentuk patung masih menyisakan unsur tradisi, baik teknik dan finishing, maupun bentuk atau  wujud patung-patungnya. Satu-satunya yang berbeda adalah wanita pematung asing yang tinggal di Bali yakni Carola Vooges, perwujudan patungnya murni dari olah pikir dan rasa seni yang bersifat individual (modern). Ia memperhatikan kejadian-kejadian disekitar atau adanya sebab-akibat dari suatu hukum alam maupun keadaan alam itu sendiri yang diserasikan dengan unsur bahasa “rupa” universal kemudian disusun berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan, ritme, komposisi, tekstur dan bahannya menjadikan ekspresi tersendiri. 

Pameran Patung  Kelompok B.I.A.S.A. di Bali Zoo Park-Singapadu

Beragam Bentuk, Citra dan Makna Karya Tri Matra
 
Bali, Indonesia Sculptors Association yang disingkat B.I.A.S.A., menggelar pameran seni patung dari tanggal 9 April  s/d  9 Mei 2005 di Bali Zoo Park, Singapadu, Sukawati, Gianyar. Ir. Anak Agung Gede Putra, pimpinan Bali Zoo Park,  dalam sambutannya menganggap tepat Bali Zoo Park turut ambil bagian dalam pengembangan dan pelestarian alam serta kegiatan seni mulai dari yang terkait issue politik, budaya dan kejadian-kejadian tertentu seperti bencana alam yang akhir-akhir ini kerap terjadi di Indonesia dan bahkan di Dunia. Pameran yang  keempat kalinya ini dibuka oleh Pemred Majalah Seni “Suardi”,   I Wayan Suardika, sabtu sore 9/4/05,  yang mengatakan bahwa alam sudah sejak dulu kala telah menjadi bagian dari inspirasi para seniman. Pada acara pembukaan pameran dimeriahkan oleh geliat 3 penari kontemporer yang meniru gerakan dan suara binatang serta kehidupan yang ada di alam pimpinan I Wayan Sura, S.Sn. Pameran yang mengusung tema “Inspirasi Alam” ini menampilkan puluhan karya tiga dimensi dan beberapa lukisan dari 45 karya pematung, Pecinta seni Ratnawati mengatakan akan membawa beberapa karya untuk dipamerkan di Singapura dalam Be Bali Expo, Suntec-Singapore 26 May – 29 May 2005 mendatang.
 
Alam yang terdiri dari binatang, tumbuh-tumbuhan, manusia, pemandangan alam, alam benda dan lain sebagainya,  memang telah menjadi sumber inspirasi terbesar bagi para perupa / seniman di Dunia sejak adanya lukisan-lukisan di goa-goa, patung / candi batu dan keramik zaman pra-sejarah, lalu karya-karya seni zaman sejarah hingga kesenian zaman modern dan post-modern saat ini.  Mulai dari yang primitif, mimesis, naturalis, realis, ekspresionis sampai yang abstrak hingga yang kontemporer, alam dan kejadian-kejadian yang ada di jagat raya ini tetap menarik untuk digali dan menjadi bagian yang tak habis-habisnya memberikan inspirasi dan kontribusi sebagai sumber pemikiran untuk lahirnya karya-karya seni.



Seni patung (dari to sculpt =memahat), pada masa kini pengertiannya telah meluas, bukan saja membentuk dengan teknik pahatan, tetapi juga bisa mencetak, menempel, meniup, membakar dan memanaskan sampai mengeksploitir kemungkinan-kemungkinan lain seperti dalam bidang teknologi kimia, fisika, konstruksi, elektronik dan komputer. Sampai saat ini boleh dikata bahwa patung adalah merupakan hasil perwujudan idea perupa / seniman dalam bentuk tri-matra yang secara kasat mata terlihat mempunyai kedalaman, ruang, volume, massa, yang dapat diraba. Pada hakekatnya semua seniman sama, yakni berusaha secara kreatif menciptakan karya berdasarkan dorongan jiwa / batinnya, melalui media yang dianggap paling dekat dengan dirinya, apakah itu kayu,  batu, metal / logam / besi, tanah liat (lempung), serat, semen-pasir, padas, kertas atau apa saja, yang kesemuanya merupakan semata-mata sebagai ungkapan batin atau ekspresi tentang sesuatu hal yang dianggap penting atau bermakna.



Alam binatang dan tumbuhan

Mengamati hasil karya pematung yang bertajuk ” Nature Inspiration” ini terlihat sebagian dari mereka menampilkan aneka bentuk satwa. Diantaranya adalah  I Kt Santika dengan “Kanguru”, I Nyoman Rubig dengan harimau dan kijang. Tjok Udiana Nindhia P dengan burung,  I Nyoman Mawi dengan kera berjudul”Bojog 1-2”, lalu  I Made Kakul menampilkan “Ikan Arwana”, IG Pt Diarya Raditya menampilkan “Penyu”, IGM Lod dengan “Bebek” nya, I Kt Muka Pendet dengan “Kodok” dan “Orang Hutan”, IM Sujana dengan ayam, dan I Wayan Mawi menampilkan “Buaya” dan “Fauna Laut”. Bentuk  karya patung mereka bervariasi ada yang realis,  ada pula yang digayakan dan disederhanakan, juga ada yang menjadikan symbol dan mengusung makna tertentu. Misalnya karya dari IB Manik Kencana yang mencoba menggayakan gajah dengan mengambil esensi dari bentuk “Ganesha”. Lalu karya Sujana yang berjudul ”Konflik Sosial”  berupa adu ayam, “Flu Burung” dari IGM Lod berupa ayam yang sekarat, karya I N Rubig yang menampilkan perkelahian / perburuan harimau memangsa kijang berjudul “ Yang Lemah Tetap Mati”, suatu sindiran situasi sosial. Lalu Tjok Udiana menggambarkan “kebebasan” dengan sekelompok burung terbang. Beda dengan Suardina yang menampilkan dua binatang ulat bulu yang menjijikkan seolah mengusung telur bermahkota yang berukuran lebih besar dari ukuran tubuhnya dengan judul “Rakus”, suatu sindiran lagi yang mengarah pada kritik sosial-budaya. Lain lagi dengan Pande Mataran, Ia mengambil bentuk daun yang digantung dengan ukuran besar yang ditengahnya ada lubang yang digantungi pula dengan bentuk jantung-hati diberi judul ”Cinta Alam”.



Citra tradisi

Citra tradisi Bali masih secara konsisten ditampilkan bahkan menjadi cirri khas dari kelompok B.I.A.S.A. harus ada anggotanya yang terus-menerus mengusungnya. Interaksi  pematung tradisional dengan pematung modern, kontempotrer dan yang bersifat akademis serta lainnya justru akan memberikan nilai positif bagi pengembangan jenis patung ini ke depan dan memperkaya khasanah seni patung Bali itu sendiri. Mereka-mereka itu adalah Cok Raka dengan karya “Bidadari”, I Kt Widya dengan menampilkan “Sita Lebuh Geni” dan “Tantri”, I W Yasna dengan karya berjudul “Dewi Kadru” dan “Peniup Serul;ing”. Kemudian I W Mudana menampilkan bentuk patung yang seolah melar atau memanjang berjudul “Sri Kidang” dan “Dewi Kadru”, Windu Maya Segara memajang karya berjudul “Rama Hanoman” dan”Garuda”. Juga dengan I W Rupik yang menampilkan “Impian Rahwana”, I M Surawan dengan karya “Krena Mukti”,  I K Adi Kusuma dengan patung berjudul “Ratih”. Pematung seperti Puja Natih dan Sukanta Wahyu memperlihatkan suatu kecendrungan untuk mempertahankan citra tradisi Bali yang kuat.



Ekspresi dan kontemporer

Mereka seperti I Ketut Muja, I Wy Gawiartha, AM Utomo, Sukanta Wahyu, IB Alit, Astawa, I W Budarma, I W Gawiarta, IW Jana, I Kt Muja, IB Manik Kencana, Rani, Ayu Srijati, Suardina, IB Pt Gd Sutama, I Md Surawan, I Kt Lukiana, I M Kisid dan Sudiarta, mereka semua telah mulai cenderung melihat hal-hal yang agak berbeda dari rekannya lain. Katakanlah seperti IB Ari Munarta dengan menampilkan bentuk abstrak yang diberi judul “Alam Maya”, demikian pula dengan I W Jana dengan karya yang berjudul “Pertemuan”. Lalu Gawiarta dengan karya kontemporer yang berjudul “ Mengejar Impian” dan “Pergi Ke Pesta” terbuat dari karung goni dan lapisan / serat pelepah pohon yang diberi lapisan resin dan serbuk gergaji agar kaku berbentuk pakaian pria dan wanita (baju, jas, celana dan rok panjang). Pakaian yang terbuat dari karung goni ini mengingatkan pada masa-masa penjajahan Jepang dulu, bentuk dibuat Gawiarta tersebut seolah-olah ada yang mengenakannya yang sedang berlari / berjalan dan cukup menarik perhatian bila digantung serta terkena angin berputar-putar. Suatu gambaran ekspresi kecemasan tersendiri dari pematung I Ketut Muja dengan karyanya yang berjudul “Tawa dan Tangis Berada di Mulut Singa dan Buaya”. Lain dengan Sukanta Wahyu yang  menampilkan bentuk patung agak  magis, berwarna gelap kehitam-hitaman dan bentuknya agak seram, berbentuk seperti sosok manusia langka atau bentuk yang tidak biasa. Ia juga berimajinasi tentang sesuatu bentuk mahluk “aneh” dengan karya yang diberi judul “ Langka I – IV” dan ”Lingga Yoni” merupakan suatu kekuatan ekspresi tersendiri.  



Karya patung yang mengingatkan kita kepada Tuhan YME digarap oleh Adi Kusuma yang menampilkan tokoh spiritual agama Hindu yang berjudul” Pedanda”. Lalu Puja Natih dengan karya berwujud manusia setengah badan dengan posisi memuja cara agama Hindu yang berjudul “Menuju Yang Kuasa” . Berbeda dengan Puja Natih, A M Utomo mencoba memberi peringatan dengan pandangan secara agama Islam (Sufi: Tasauf Islam / Tarekatullah) dengan karya berjudul “ Hidup Sesudah Mati” dan “Bencana”. Dengan mengingat “Allah  atau dzikir menurutnya hati akan terasa lebih tenang, lunak dan damai. A.M. Utomo terobsesi agar hidup ini bisa damai di hati, di dunia dan di akherat, mengingat akan peringatan Allah SWT  memasuki kurun 15 Hijriah yang menurutnya terdapat banyak bencana alam (Aceh,Nias,dll), huru-hara, wabah penyakit yang menyerang ternak dan manusia (fisik dan rohani), dan sebagainya. 

Pameran Patung Kelompok B.I.A.S.A. dan Lukisan Kelompok B.A.P.A. di Melia Bali

MEMBANGUN  EKSISTENSI  PERUPA  BALI  DALAM  ASOSIASI
 
Sejumlah 70 seniman, terdiri dari 38 pematung dan 32 pelukis yang tergabung dalam kelompok Bali Indonesia Sculptor Association (B.I.A.S.A.) dan Bali Artist Painters Association (B.A.P.A.) bekerjasama dengan Melia Bali Villas & Spa Resort menggelar karya dalam pameran di Hotel Melia Bali Villas & Spa Resort, Nusa Dua,  dalam rangka memperingati HUT. Hotel tersebut ke-20 dan HUT Ke-60 RI, mulai dari tanggal 8 s/d 17 Agustus 2005. Karya-karya yang tampil dalam pameran  yang dibuka oleh Alfonso Romero, General Manager Melia Bali tersebut berjumlah sekitar 350 itu menurut John Raja, Ast. Director of Human Resources disesuaikan dengan jumlah Hotel Melia di seluruh Dunia. Ada suatu seleksi yang diterapkan di Hotel Melia, terutama karya yang berbau politik dan keagamaan, dan lebih suka yang bersifat universal, disebabkan untuk kenyamanan para tamu hotel. Kehadiran karya cukup beragam, baik corak dan  maupun gayanya, ada yang mengajegkan pola tradisi Bali dan ada yang cenderung bebas ekspresi serta modern-kontemporer.


Untuk pertama kalinya Hotel Melia Bali di Kawasan Nusa Dua melirik para seniman Bali dan mengundang mereka untuk berpameran di Hotel, yang sebelumnya di kawasan Nusa Dua sejak tahun 1996, BTDC menyelenggarakan kegiatan Festifal Nusa Dua secara berkesinambungan. Pada tahun 2000,  khususnya Hotel Grant Hyatt dan Club Med juga sudah memulainya. Bagi Hotel Melia Bali hal ini untuk pertama kalinya diselenggarakan dengan mengundang sekaligus dua Asosiasi, kelompok  pematung dan pelukis. Sebagai suatu yang menggembirakan adalah adanya perhatian pihak Hotel berbintang lima tersebut, namun karena belum adanya pengertian yang memadai tentang nilai sebuah pameran, maka pameran kali pertama ini, karya para seniman dipajang pada tempat yang kurang memadai atau kurang pas sehingga penampilan karya tidak maksimal. Dipajang sebagian pada jalan-jalan, yang terkadang terganggu dengan pantulan sinar matahari (siluet), serta pencahayaan diwaktu malam yang kurang pas, disamping itu efeknya terlihat menjadi murahan bak pasar seni. Semestinya ada suatu ruang yang khusus disediakan untuk itu. Namun demikian kepedulian Hotel tentang kehadiran seniman untuk berpameran tersebut menjadi suatu yang harus ditiru bagi hotel lainnya, yaitu memberi pelayanan kepada wisatawan tentang informasi dan perkembangan seni-budaya yang ada di Bali.



Patung

Setahun sudah kelompok B.I.A.S.A membangun eksistesinya, sejak pameran perdananya di bulan Agustus 2004 lalu. Sebagai kelompok yang bersifat terbuka, asosiasi ini tentu suatu saat akan tumbuh menjadi organisasi yang cukup besar dan banyak seniman akan bergantung padanya. Untuk itu perlu dikelola sedemikian rupa dan professional. Sampai saat ini menurut Ketua Harian asosiasi ini, Cok Udiana NP, banyak permintaan dan tawaran untuk mengikuti berbagai pameran, baik di dalam negeri maupun luar negeri, sehingga agak kewalahan untuk menjadwalkannya. Disamping itu, Udiana juga menginformasikan bahwa para anggota asosiasi ini juga dapat memanfaatkan informasi dan promosi melalui jaringan internet bekerjasama dengan pihak tertentu, yakni pertamakali dengan menyerahkan profil seniman dan beberapa foto karya dilihat dari 4 sisi selama setahun untuk kemudian diperbaharuai lagi.  B.I.A.S.A. mencoba membangun kerjasama dengan pihak lain sebagai link untuk pemasaran karya patung di dalam dan luar negeri.  Pameran di Melia Bali, patung yang tampil ada yang terbuat dari kayu, batu, beton, mixed media, keramik dan lain sebagainya. Tetapi yang dominan masih terbuat dari berbagai jenis kayu. Simak karya beberapa pematung, diantaranya  “Tertawa” dari I Md. Sukanta Wahyu  yang menampilkan bentuk agak magis dan terkadang jenaka karena adanya distorsi pada bagian tertentu  memperkuat karakter eksprersi yang diangkat sekaligus dengan menonjolkan efek pembakaran serta penyemiran. Lalu karya Cokorda Raka, mencoba mengangkat mitos, apakah itu muncul dalam serial cerita di Televisi atau CD yang beredar dipasaran, atau merupakan imajinasinya tentang “Istana Dewi Ular” yang terlihat dinamis dalam memperlakukan dan memanfaatkan kondisi kayu. Juga Wayan Budarma dengan karya yang mirip “Putri Duyung”. Berbeda dengan I Nyoman Suardina, karyanya tampak lebih terlihat formal, suatu bentuk yang mirip pyramid atau segi tiga yang tegas dikombinasi dengan bentuk organis seperti serangga cukup harmonis. Karya yang sedikit modern-kontemporer, adalah dari I B Dharma Putra dengan judul “Broken Home”, I B Ari  Munartha dengan karya”Love Forever”, bentuk keduanya cenderung abstrak atau terkadaf sedikit figurative, namun masih terlihat sifat bentuk dasarnya. I Ketut Muja, mencoba mempertemukan dunia sekala dan niskala, mempertemukan realitas-realitas yang ada baik realitas rekaan semata maupun dari sastra, legenda atau dongeng sekalipun, yang terkadang mewujudkan secara kasatmata seolah bentuk abstrak namun karakter bahan seperti kayu masih tetap dipertahankan. I Wayan Mudana menampilkan bentuk yang begitu ramai akan gerakan dan komposisi dari figur-figur gubahannya yang bentuknya menyesuaikan dengan bentuk dasar kayu pilihannya. Lain lagi dengan AM Utomo, dengan karya yang berjudul “Menahan Angin Ribut”, menampilkan citra Indonesia merdeka dengan pengorbanan para pahlawan bangsa, dengan darah, keringat dan do’a membangun Indonesia bersatu, semuanya seolah bendera yang sedang berkibar menonjolkan warna merah-putih melawan angin, namun dibalik itu ada banyak noda mewarnainya, memberi citra negative, suara sumbang yang bisa mencemarkan nilai-nilai luhur yang dibangun bangsa ini seperti korupsi, terorisme, penindasan, perjudian, narkoba, prostitusi dan lain sebagainya. Suatu kritik sosial, mencoba mengajak untuk introspeksi diri agar semuanya kembali sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Karya patung-keramik yang hadir dari Anton Dharmawan, Ni Pt Eka Arisanti, IGAM Dewi Rani M, I A Gd Artayani dari ISI Denpasar. Disampin itu pematung lain yang hadir adalah IB. Alit, Kt. Muka Pendet, Pande Wayan Mataram, IB Pt Sutama, I M Sujana, I Gst Md Lod, Parwata Siman, Kisid, Kakul, Raditya Sumantra, Yasna, Suamba, Sudiarta, Surawan, Mudana, Gawiartha, Yefta, Pujanatih, Rubig dan Rupik, Nyoman Mawi dan Junko Hasumi ( dari Jepang) dll.



Lukisan

Bali Artist Painters Association (B.A.P.A.), terbentuk akhir Juli lalu di prakarsai oleh beberapa nama diantaranya adalah IB Alit, Udiana, Cok Raka, Agus MU dan lainnya. Pameran di Melia Bali ini untuk pertama kalinya, selanjutnya menurut pemrakarsa akan dijajagi kemungkinan untuk membuat Balai Lelang karya dengan persyaratan yang mudah dengan mencari sponsor dan bekerja sama dengan pihak lain, bisa dalam negeri maupun luar negeri untuk memberikan kemudahan bagi seniman melanjutkan kerja profesinya dan bisa hidup layak dengan karyanya secara terbuka (transparan). Tentu gagasan ini cukup menantang dan ini pernah digagas oleh ISSRI (Ikatan Sarjana Seni Rupa) Bali namun hingga sekarang tidak ada gaungnya. Bahkan kalau mungkin nantinya bisa membentuk kampung seniman, seperti yang digagas Gung Tjidera (PSSRD Unud). Seperti halnya B.I.A.S.A. diperlukan penanganan yang professional dan pelayanan yang adil kepada anggotanya, yang diperkirakan B.A.P.A. ini akan eksis dan banyak seniman bergabung. Apalagi dalam waktu dekat ini akan meluncurkan buku yang berisikan informasi tentang seniman dan karya-karyanya serta akan disebar ke kalangan tertentu baik dalam negeri maupun luar negeri. Suatu gagasan cemerlang, namun perlu diperjuangkan. Bagaimanapun baiknya suatu karya kalau tidak dipublikasikan tentu bukanlah apa-apa, menjadi benda tak berarti dan kesepian.



Menyimak karya-lukisan yang tampil di Hotel Melia Bali, memang masih beragam corak dan gaya, mulai dari yang realis, natural, figuratif, naif, ekspresif sampai dengan yang abstrak. Beberapa karya realis seperti karya I Nyoman Wijaya yang berjudul “Mimpi” dan I Wy Hendra Kusma berjudul ”Pasar Kintamani”, juga dari I Wy Beratha Yasa. Agus menampilkan beberapa karya berjudul “Transparansi”, “Menari Di Atas Penderitaan & Kesuksesan”, “Embryo”, “Menembus Batas” dan “Dunia Relung Ornamen”.  Ida Bagus Alit menampilkan karya yang menjurus figuratif agak naif, dengan warna-warna cerah/terang dan warna dasar yang disusun sedemikian rupa cukup dinamis sebagai komposisi warna yang kontras. Nama-nama pelukis yang turut serta memajang karya diantaranya adalah Ketut Mantra, Sutama, Yoshiko (dari Jepang), Beratha Yasa, Cundrawan, Sarantika, Endrawan, Budarta, Tirtayasa, Kembang Adnyana, Partama, Tarka, Paramahita, Haryadi, Ega, Apriani, Muka Pendet, Muja, Sukadana, Tjok Mas Astiti, Supriyatini, Sunama, Mandiyoga, Doni Duarsa dan Arthana. Namun disayangkan banyak karya yang kurang bisa dinikmati dengan baik, karena pemajangannya di tempat yang tidak semestinya, terganggu oleh sinar matahari yang masuk dan sehingga mengganggu penglihatan, ada terawang disana dan siluet.

Beberapa karya patung modern dari Agus Mulyadi Utomo