Laman

Pengikut

Senin, 29 Februari 2016

APAKAH ITU SENI ?
oleh 
Agus Mulyadi Utomo


 Seni adalah penjelmaan dari rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Misalnya  indra pendengar yang melahirkan seni suara dan seni musik, lalu indra penglihatan dan perabaan melahirkan seni rupa 2 dimensi (dwimatra) dan 3 dimensi (trimatra). Ada yang dilahirkan dengan perantaraan gerakan, peran dan bunyi-bunyian menjadi seni pentas atau seni pertunjukan, juga seni tari, dan seni kerawitan. Disamping itu,  juga ada dengan gaya tulis-menulis dan pembacaan menjadi seni sastra dan seni kaligrafi. Sebenarnya apa yang dilahirkan seni dengan suatu perantaraan bahan atau materi dan peralatan serta ide tertentu untuk bisa dimengerti atau dirasakan manusia lainnya. Kemudian dikembangkan lagi sebagai suatu strategi dan keahlian tertentu atau kesenangan, misalnya seperti seni pertahanan, seni berhitung, seni bela diri, seni memasak, seni rancang bangun (arsitektur), senirupa dan desain, seni bercocok tanam, seni pertamanan, seni lingkungan dan sebagainya.

Pada kehidupan masyarakat agraris tradisional di masa yang lampau, sesungguhnya tidaklah membedakan antara seni, ilmu pengetahuan, teknologi dan keagamaan, melainkan lebih banyak menyatu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan itu sendiri. Indonesia pada peralihan zaman Batu ke zaman Perunggu, dikenal sebagai masa “Perundagian” yaitu suatu masa “kemahiran teknik”, sebagai cikal-bakal industri terutama dalam mengolah bahan dan mengukir logam, kemudian para ahli ketukangan itu disebut sebagai “Undagi”, dan sebutan ini masih di kenal di Bali. Sementara itu orang-orang “cerdik pandai” atau “orang bijaksana” atau “ahli-ahli” pada masa lampau di Indonesia sering pula disebut sebagai “Empu”, yaitu sebagai orang yang menguasai akan ilmunya atau “mumpuni”. Pada masa sejarah kerajaan Hindu ada disebut Empu Gandring sebagai ahli pembuat keris, Empu Tantular sebagai cerdik pandai dengan kitab sastra “Sutasoma”, Empu Prapanca dengan kitab “Negara Kertagama”  dan lain-lain. Empu, di masa kini diberikan kepada seniman dan budayawan yang telah mumpuni, disetarakan dengan tingkat master atau maestro atau Doktor sampai Guru Besar, yakni orang sebagai tempat bertanya yang dianggap ahli di bidangnya. Pada bidang seni pada umumya, utamanya senirupa yang tentunya ada karyanya yang tergolong masterpiece.

Bali di masa lalu, yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Majapahit, pernah memperoleh sekotak wayang dari Raja Hayam Wuruk, yang diterima oleh Raja Gelgel, yaitu Dalem Semara Kepakisan, seusai upacara pensucian roh (Srada) dari Rajapatni, nenek Hayam Wuruk, pada tahun 1362. Saat itu tersebutlah sebuah nama Raden Sangging Prabangkara, Putra Brawijaya terakhir, yang telah melakukan perubahan dan penyempurnaan warna-warna pada pakaian wayang sesuai dengan martabat ketokohannya, sehingga dianggap sebagai ahli senirupa atau desainer zaman Majapahit. Dan kemudian  namanya sering dipakai sebagai gelar atau sebutan untuk para ahli seni rupa atau perancang desain dengan sebutan “Sangging”  atau “Sungging”   atau “Prabangkara yang di kenal di Bali. Dalam bahasa dan kebudayaan Jawa Sunggingberarti menggambar atau istilah ini sanat erat kaitannya dengan menggambar illustrasi buku. Juru Sungging atau juru gambar biasanya mengerjakan manuskrip-manuskrip kraton zaman dulu dan mengisahkan cerita atau kisah pewayangan, seperti Ramayana dan Mahabharata.

Di masyarakat Bali, yang didominasi oleh pemeluk agama Hindu, mempunyai konsep penciptaan seni yang sejalan dengan konsep makro dan mikro kosmos dalam kepercayaan magis, berlandaskan Tri Hitha Karana yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya, juga hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya, untuk mencapai suatu keseimbangan lahir dan batin. Dan ornamen tradisional Bali, merupakan salah satu bagian penting dari kehidupan masyarakat Bali terutama yang beragama Hindu, untuk hal khusus dalam hias-menghias berbagai perlengkapan upacara, adat-istiadat, bangunan, Pura, juga untuk menghias diri (pakaian) maupun lingkungan tertentu agar tampak indah, sebagai suatu persembahan kepada Tuhannya.

Dalam seni Islam, khusus ornamentasi memiliki nilai dan arti yang lebih luas serta mempunyai nilai tambah yang lain. Pengertian yang lebih luas, bahwa ornamentasi memiliki fungsi sebagai motivasi dasar dalam berkarya dan juga mempunyai kelebihan sebagai lintasan ideologi dan cara bersikap (trans-ideologi). Seni ornamen tidak hanya sekedar hiasan permukaan, tetapi berfungsi sebagai pengingat akan tauhid (transedensi Ilahi), tranfigurasi bahan (perpaduan bahan dengan penggunaan pola ornamen) dan transfigurasi struktur.

Pengertian Awal Seni

           Pengertian “seni” bagi orang Jawa adalah “kencing” atau buang “air kecil” dan air kencing itu  sering pula disebut sebagai “air seni”. Perkataan “seni” juga untuk menyatakan suatu benda berukuran “kecil” atau “mungil” atau “Jlimet” atau “rumit”.  Orang Jawa sering pula menyebut suatu produk hasil dari kehalusan jiwa manusia yang indah-indah dengan istilah “kagunan” sebagai sesuatu yang bermanfaat. Sering pula disebut “ngrawit”, dimana pada umumnya produk yang dihasilkan memang mempunyai tekanan pada “halus” atau “remitan” atau “rumit” dalam pengerjaannya, yang umumnya disebut “kerajinan” atau “kriya yang memerlukan ketrampilan atau “keprigelan”.

Ada pemikiran yang lain, bahwa istilah “art dalam bahasa Inggris telah mengadopsi dari pemikiran zaman kebudayaan Yunani Kuno (500 SM) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, yaitu mousike` techne` adalah aktivitas mental yang dibedakan dari aktivitas kerja secara fisik, yang dibedakan pula dengan aktivitas berfikir rasional dan berhubungan dengan ilmu pengetahuan atau epite`me`. Kata ‘technic” atau “teknik” yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “techne” dipadankan dengan kata “ars, arte”, dan artista dalam bahasa Latin, memiliki arti atau makna “kecakapan” atau “ketrampilan” atau “kemahiran” dalam mengerjakan sesuatu yang berguna, ini merupakan cikal-bakal dari sebutan “seni”, “ilmu pengetahuan” dan “teknologi” yang ada kemiripannya dengan arti “kagunan” dalam bahasa Jawa atau sesuatu yang berguna atau bermanfaat dalam arti luas, kini di Indonesia lazim disebut IPTEKS (Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni). Istilah latin ada “ars magna” yang berarti seni yang agung, dipadankan dengan arsitektur besar dan tinggi serta dinilai sebagai “bangunan agung”. Istilah “ars” ini berkembang ke Eropa, di Italia menjadi l’arte”, di Perancis menjadi l’art”, di Spanyol menjadi el arte dan di Inggris menjadi art”. Di Belanda disebut kunst untuk seni, dan di Jerman juga dikenal istilah die Kunst disamping die Art yang berarti ‘jalan’, ‘cara’ atau ‘modus’. Orang Belanda sering menyebut “kepintaran” sebagai “Genie” atau “Jenius” yang mirip dengan “ketangkasan” atau “kemahiran”, seperti istilah “techne” atau “ars” yang sepadan pula dengan pengertian “seni- kagunan” di Jawa. Sehingga sampai masa kini pun  pengertian “seni-kagunan sebagai “kepandaian” atau “kepintaran” atau “ketangkasan” atau “kemahiran” dan “ketrampilan” masih sering dipergunakan seperti istilah “seni mengajar”, “seni memasak”, “seni bela diri”, “seni berhitung”, “seni bercocok tanam”, “seni membaca” , “seni bangunan” dan lain sebagainya. Kata “artisan” yang berasal dari kata Latin “artigiano” diserap dari kata “artitus”, “artier” yang berarti “mengintruksikan dalam seni” dan dipadankan pula dengan pengertian “tukang” (pekerja bagian produksi yang bersifat teknis) seperti tradisi Beaux Arts abad 17 di Prancis,  dipersepsikan sebagai tukang yang lahir atas kerja seniman yang memiliki ide kreatif dari suatu karya seni. Sedangkan kata artistik berhubungan dengan penampilan wujud karya seni atau hasil karya seniman yang memiliki nilai-nilai tertentu (keindahan relatif) atau mungkin unik dan bersifat personal.

           Pengertian atau definisi istilah ‘seni’ memang beragam dikalangan pakar pemerhati kesenian. I Gusti Bagus Sugriwa dalam tulisannya Dasar-dasar Kesenian Bali,  mengatakan bahwa “seni” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “sani”, yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan atau pencarian yang jujur (IGB Sugriwa, 1957:219-233). Seni menurut WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) yaitu suatu karya yang dibuat atau diciptakan dengan kecakapan yang luar biasa seperti sanjak, lukisan, dan sebagainya. Atau kecakapan menciptakan sesuatu yang elok dan indah. Definisi seni menurut Ki Hadjar Dewantara (1962:330), adalah “Segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya”. Menurut Akhdiyat Kartha Miharja (1961), mengatakan sebagai kegiatan rohani manusia yang merekfeksikan realited (kenyataan) dalam suatu karya yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani penerimanya. Pelukis S. Sudjojono, mengatakan bahwa seni adalah jiwo kethok  (jiwa tampak). Lalu Sudarso Sp, menganggap bahwa seni adalah karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman batin; pengalaman batin tersebut disajikan secara indah atau menarik sehingga merangsang timbulnya pengalaman batin pula pada manusia lain yang menghayatinya. Kelahirannya tidak didorong oleh hasrat memenuhi kebutuhan pokok, melainkan merupakan usaha melengkapi dan menyempurnakan derajat kemanusiaannya memenuhi kebutuhan yang sifatnya spiritual. Sejalan dengan itu, Everyman Encyclopedia, menyebut segala sesuatu yang dilakukan oleh bukan atas dorongan kebutuhan pokoknya, melainkan adalah apa saja yang dilakukan semata-mata karena kehendak akan kemewahan, kenikmatan atau pun karena dorongan kebutuhan spiritual. Leo Tolstoy (1960), menyebut seni adalah sebagai transmission of feeling. Dan Aristoteles, berpendapat bahwa seni adalah imitasi atau realistis tiruan dari alam atau ilahi. Sedangkan Thomas Munro mengatakan: “Seni adalah alat buatan manusia  untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lainnya yang melihat. Efek tersebut mencakup tanggapan-tanggapan yang berujud pengamatan, pengenalan imajinasi, rasional maupun emosional” (1963:419). Lebih lanjut Herbert Read (1962), mengatakan bahwa lahirnya sebuah karya seni melalui beberapa tahapan sebagai suatu proses. Tahapan yang pertama adalah pengamatan kualitas-kualitas bahan seperti tekstur, warna dan banyak lagi kualitas fisik lainnya yang sulit untuk didefinisikan. Tahapan kedua yaitu adanya penyusunan hasil daripada pengamatan kualitas tadi dan menatanya menjadi suatu susunan. Dan ketiga yaitu proses suatu obyektifikasi dari tahapan-tahapan di atas yang berhubungan dengan keadaan sebelumnya. Keindahan yang berakhir pada tahapan pertama belum dapat disebut seni, karena seni jauh  telah melangkah ke arah emosi atau perasaan. Seni telah mengarah pada ungkapan sebagai “peng-ekspresian” dengan tujuan untuk komunikasi perasaan. Pengertian yang dikembangkan oleh Fredrich Schiller dan Herbert Spencer, yakni bahwa seni lahir dilatarbelakangi adanya dorongan bermain-main (play impuls) yang ada dalam diri seniman.

Berdasarkan uraian sebelumnya dan pengertian secara umum seni dapatlah pula diterjemahkan (diinterpretasikan) sebagai ungkapan atau ekspresi, bentuk atau wujud, arti, simbol, abstraksi, indah, guna atau pakai atau fungsi, kepandaian atau kepintaran atau kemahiran atau ketangkasan, wakilan (representatif), cantik, molek, mungil atau kecil, rumit, halus, fungsi, kreasi, imajinasi, intuisi, menyenangkan, khas, menarik, teknik atau metode dan lain sebagainya. Semua itu, di dalam ranah seni rupa terdapat elemen visual atau unsur-unsur sat-mata yang terdiri dari garis, warna, bidang atau ruang, tekstur atau kesan permukaan bahan, kesan gelap-terang atau cahaya, yang wujud visualnya bisa berupa dua dimensi atau tiga dimensi.               
           

Sebelum Revolusi Industri di Eropa, kata “ars” mencakup disiplin ilmu tata bahasa, logika, dan astrologi. Pada abad pertengahan di Eropa terjadi pembedaan kelompok ars  yaitu “artes liberales” atau kelompok “seni tinggi” yang terdiri dari bidang tata bahasa, dialektika, retorika, aritmatika, geometri, musik dan astronomi; Dan “artes serviles” atau kelompok “seni rendah” yang mengandalkan tenaga kasar dan berkonotasi “pertukangan”. Dari tujuh bidang-bidang keahlian hanya musik yang masuk “seni tinggi”, sedangkan untuk lukis, patung, arsitektur, pembuatan senjata dan alat-alat transpor termasuk katagori “seni rendah”.  Kemudian Leonardo da Vinci (1452-1519), pelukis Italia dari masa Renaissance ini, mempelopori perjuangan dan berhasil memasukkan atau menaikkan seni lukis ke dalam status “seni tinggi”. Sebagai orang yang serba bisa dan memiliki kemampuan sebagai arsitek dan ilmuwan itu, Leonardo, beragumentasi bahwa melukis juga memerlukan pengetahuan “teoritis” seperti matematika, perspektif dan anatomi serta mempunyai tujuan moral seperti puisi lewat penggambaran sikap dan ekspresi wajah dalam lukisan. Suatu fenomena kemudian terjadi bersamaan dengan Revolusi Industri di Eropa akhir abad ke 18 sampai awal abad ke 19, dimana masyarakat industri yang baru tumbuh menuntut adanya pembagian kerja dan spesialisasi kerja dalam mengembangkan proses produksi. Dalam masyarakat industri status “seni” menjadi tiga kelompok yaitu “seni tinggi” (high art), “seni menengah” (middle art), dan “seni rendah” (low art). Katagori ini masih memperlihatkan kelanjutan tradisi klasik, yaitu semakin tinggi kedudukan seni apabila semakin dekat atau tinggi tingkat integrasinya dengan industri, demikian pula sebaliknya semakin jauh tingkat hubungannya dengan industri maka semakin rendah pula kedudukan seninya. Pertemuan seni dan industri ini telah mengakibatkan banyak benturan, dimana penemuan-penemuan mesin-mesin produksi massal mendorong kalangan industri untuk mengembangkan teknik produksi dan hanya “menempelkan senidari reproduksi karya-karya seni klasik yang berstandar pada bentuk produk yang dihasilkan mesin. Sehingga menimbulkan reaksi keras dan serius dari kalangan seniman, sebab standariasi dan mekanisasi serta penempelan begitu saja karya-karya klasik pada produk merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup seni, disamping tidak ada kesesuaian antara bentuk dan dengan motif dekorasi yang ditempelkan tersebut. Sehingga akhirnya seni pun harus memutuskan hubungan dengan ikatan-ikatan seni masa lalu, yang dianggap membelenggu dan membatasi perkembangan seni, karena tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai estetika. Otonomi seni diharapkan dapat mempertegas dan meningkatkan standar nilai estetik secara terus-menerus atau berkelanjutan. Pada akhirnya seni selalu melahirkan norma yang menjunjung nilai kebaruan, nilai keaslian dan nilai kreativitas yang lebih lanjut mendasari pandangan pada seni modern pada abad ke 19 – 20. Ketika seni telah menjadi komoditi dan tunduk pada hukum permintaan dan penawaran ekonomi, maka seni dianggap telah jatuh pada selera massa yang rendah dan seni itu menjadi seni “picisan” atau kitsch. Seni kitsch (bahasa Jerman), berarti trash atau “sampah”, secara harfiah berarti “memungut sampah dari jalan” atau “selera rendah” atau “seni palsu” (pseudo art). Kritikus Clemen Greenberg, awal keberadaan kitsch sangat didorong oleh semangat reproduksi sebagai akibat berkembangnya industri, produksi, konsumsi dan komunikasi massa serta lemahnya ukuran kriteria estetik. Status rendah ini dikarenakan seni telah kehilangan “roh seni” atau “jiwa seni”. Jelaslah kiranya pengertian “seni” yang sekarang dan sepadan dengan “art” adalah datangnya dari Dunia Barat yang terbentuk pada abad ke 18 sampai abad 20.

(Hidup dan Seni / goesmul@gmail.com)