Laman

Pengikut

Selasa, 21 Juni 2016


WAWASAN  DAN  PEMAHAMAN  SENI  KRIYA
Oleh Agus Mulyadi Utomo

Abstrak
Bagaimanakah kelanjutan benda-benda kriya dengan wacana kekinian dengan wawasan intelektual (ilmiah) sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern di era global ? Untuk menjawabnya diperlukan pemahaman dan wawasan tentang kekriyaan, terutama bagi para kriyawan muda, pengusaha, pelaku pasar, mahasiswa dan perajin untuk dapat memberikan arah dalam pengembangan kriya masa depan. Apalagi kini berkembang wacana perdebatan  dikalangan praktisi dan akademisi, tentang berbagai hal hasil kriya dan konsep pengembangan serta  pendidikan di perguruan tinggi seni. Kriya memiliki flesibilitas yang tinggi, bisa berupa kecendrungan-kecendrungan, bisa perpaduan atau tergantung dari kedudukan serta  wawasan yang dipergunakan oleh seniman atau kriyawan atau desainer. Pemahaman tentang kriya perlu dipertegas dan terarah, sehingga sesuai dengan kebutuhan yang berkembang dan kompleks seperti saat kini di masyarakat. Pengembangan seni menuju spesialisasi kriya, adalah wacana keilmuan yang khas dan agar bisa eksis secara mandiri tidak dalam pengertian senirupa umum (awam) yang sepertinya tumpang- tindih (overlaping). Wawasan dan pengertian yang jelas akan kekriyaan sangat dibutuhkan untuk dapat menentukan sikap yang profesional bagi mereka yang menekuni kriya.

Kata Kunci:  Kriya , Senirupa, Seni Murni dan Desain




I. PENDAHULUAN
                     Manusia dalam kehidupannya merupakan serangkaian dari masalah-masalah, dimulai sejak kelahirannya telah dihadapkan pada berbagai macam tantangan hidup yang timbul bisa bersumber dari dalam dirinya, lingkungan alam dan sosial serta budaya, atau saling mempengaruhi atau saling berhubungan satu dengan lainnya.  Dengan menggunakan akal, pikiran dan ketrampilannya, manusia pada akhirnya mampu mengatasi dan memecahkan berbagai masalah betapapun rumit dan peliknya, sehingga membuahkan hasil yang bermanfaat ke arah tingkat kemajuan hidup yang lebih tinggi dan layak.
                     Setiap saat manusia dihadapkan pada suatu sikap untuk bisa mengambil keputusan  atau tindakan sebagai suatu reaksi terhadap keadaan dilingkungan kehidupannya. Bereaksi itulah yang menyebabkan manusia melangkah untuk lebih maju dan berkembang, Tindakan bereaksi juga merupakan tanggapan dari sesuatu akan kebutuhan, yang bisa saja timbul dari individu atau kelompok masyarakat, baik sebagai makhluk biologis maupun sebagai makhluk sosial-budaya. Bisa dengan reaksi intelektual (akal-ilmiah) atau  emosional (rasa-ekspresi) yang didorong oleh kemauan atau kehendak (karsa) untuk senantiasa berusaha memenuhi akan kebutuhan dan memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui. Tindakan  berupa kegiatan yang dimulai dari merancang hingga mewujudkan benda-benda bernilai sebenarnya untuk memenuhi suatu kebutuhan adalah sebagai hasil dari olah cipta, olah akal, olah rasa dan karsa. Setiap orang tentu ada keinginan untuk mengungkapkan tentang perasaannya, gagasannya, tanggapannya, pendapatnya, sikap dan pengalamannya adalah naluri yang sebenarnya telah diwarisi secara turun-temurun.
Tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1974); Pertama sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;  Kedua sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat yang disebut sistem sosial;  Dan ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia yang biasa disebut kebudayaan fisik. Berupa hasil aktivitas manusia seperti benda-benda nyata atau kasat mata, dapat diraba, dan difoto, mulai benda bangunan besar dan kolosal, lalu candi-candi serta patung atau arca-arca, pakaian, perhiasan, hingga benda yang kecil peralatan hidup sehari-hari, benda magis-spiritual, juga sampai pada benda seni yang murni emosional.  Pandangan Koentjaraningrat tersebut dalam kenyataan hidup masyarakat sehari-hari tampak sulit dibedakan satu dengan lainnya, karena bisa terjalin menjadi suatu rangkaian yang tidak terpisahkan. Adat-istiadat kebiasaan dan kepercayaan serta agama turut pula mengatur atau memberi arah kepada perbuatan yang menghasilkan benda-benda fisik nyata sebagai wujud dari konsep yang dianggap bernilai atau ideal. Kehadiran benda tentu akan berakibat munculnya ide atau gagasan baru atau benda-benda yang baru pula, demikian seterusnya dan  bisa merupakan serangkaian sebab-akibat atau sebagai proses pembelajaran menuju suatu yang lebih baik dan berkembang.
Benda-benda fisik yang mempunyai nilai fungsi atau bermanfaat ganda baik untuk perlengkapan hidup sehari-hari maupun untuk keperluan khusus misalnya untuk  tujuan keindahan atau dekoratif  (pajangan) pada awalnya disebut sebagai benda-benda kriya. Benda-benda  kriya yang berasal dari daerah-daerah merupakan lambang atau  citra dan cita rasa masyarakat daerah tersebut, sesuai dengan kepribadian masyarakat dilingkungannya yang tentunya ada perbedaan sedikit atau banyak dengan masyarakat daerah lainnya, karena adat kebiasaan atau kepercayan-agama atau kompleks sistem referensi yang bisa juga berbeda satu dengan yang lain. Semakin khusus dan khas gaya yang dimiliki benda kriya maka semakin mudah dikenali dan mentradisi serta berkembang mencapai puncak mutu dan kejayaan serta menjadi bersifat klasik. Lalu bagaimanakah kelanjutan benda-benda kriya dengan wacana kekinian dengan wawasan intelektual (ilmiah) sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern di era global ? Untuk menjawabnya diperlukan pemahaman dan wawasan tentang kekriyaan itu sendiri, terutama bagi para kriyawan muda, pengusaha, pelaku pasar, mahasiswa dan perajin untuk dapat memberikan arah dalam pengembangan kriya masa depan. Apalagi kini berkembang wacana dan perdebatan-perdebatan dikalangan praktisi dan akademisi, tentang berbagai hal tentang hasil karya dan konsep pengembangan serta  pendidikan di perguruan tinggi seni.

II.  PENGERTIAN  KRIYA
1)      Arti Kata
                  Kata ‘kriya’ atau ‘kria’ berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “kerja” yang dalam bahasa Jawa disebut “Pakaryan” , adalah merupakan  suatu “pekerjaan” yang pada umumnya hasil dari pekerjaan itu sering disebut sebagai “karya”. Orang Jawa sering menyebut sesuatu produk hasil dari kehalusan jiwa manusia yang indah-indah dengan istilah “kagunan” sebagai sesuatu yang bermanfaat atau berguna. Juga sering disebut dengan “kerawitan” atau “ngrawit”, umumnya produk yang dihasilkan memang mempunyai tekanan ‘jlimet’ atau ‘remitan’ atau ‘halus’ dan ‘rumit’ pengerjaannya sebagai hasil dari ketrampilan tangan atau ‘ke-prigel-an’ (Inggris: handicraft). Banyak orang makin tersesat apabila tidak berani menyebut kriyawan adalah seorang kreator atau penggubah, sebab menurut asal kata ‘creat’ sama dengan ‘kria’ yang sama-sama berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya ‘kerja’ (Sudjoko, 1983).  
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kriya diartikan sebagai ‘pekerjaan tangan’. Demikian juga dalam Kamus Bahasa Kawi-Indonesia, kriya diartikan sebagai ‘pekerjaan’ atau ‘perbuatan’ (Wojowasito, 1994).  Dan orang yang membuat benda-benda kriya disebut sebagai ‘kriyawan’ atau ‘karyawan’, namun ada sedikit perbedaannya dari kedua sebutan itu. Pada kriyawan lebih tertuju kepada konseptor pelaksana penciptaan, sedangkan karyawan adalah sebagai pekerja. Tampaknya di Indonesia masih belum memasyarakat dalam penggunaan kata ‘kriya’ dibandingkan dengan kata ‘kerajinan’ dikarenakan penonjolan pada hal-hal yang bersifat rajin dan telaten.  Demikian pula pada instansi pemerintah yang cenderung menyebut benda-benda hasil kerajinan untuk benda-benda kriya.
 Beberapa sumber menyebut konsep kriya memiliki pengertian yang mirip dengan ‘craft’, istilah tersebut dipergunakan dalam menyebut suatu cabang seni yang mengutamakan ketrampilan dibanding dengan ekspresi  (Feldman, Edmund Burk, 1967). Kriya juga dipandang sebagai seni terapan (applied art) yang dibuat dengan teknik ketrampilan tinggi untuk mencapai suatu ciri-ciri dekoratif (A.S. Homby, 1963). Dalam bahasa Inggris makna kriya ditemukan dalam pengertian “handicraft” yang berarti pertukangan / ketrampilan tangan / keprigelan. Sedangkan kata ‘craft’ itu sendiri berarti suatu keahlian atau ketrampilan yang menghasilkan benda. Untuk kata ‘craftsman’ yang berarti tukang, ahli, juru, seniman yang memiliki ketrampilan teknik, yang menunjuk kepada seseorang yang dapat menghasilkan benda-benda kriya. Disamping itu ada juga disebut sebagai ‘craftsmanship’ yang berarti keahlian atau ketrampilan (John M. Echolss dan Hassan S, 1993).  Dalam buku Word Book Multimedia Encyclopedia, pendapat tentang ‘craft’ adalah sebagai benda kriya yang diciptakan untuk keperluan dekorasi, atau sebagai sarana ungkapan imajinasi pembuat  atau ekspresi seni ( Lois Moren, 1977 ).

2) Sejarah Kriya Indonesia
                  Ditilik dari sudut manapun tentang  evolusi manusia, ternyata manusia sejak awal mulanya telah memiliki akal budi dan memiliki sejumlah kebutuhan material dan spiritual. Kebutuhan hidup dan kehidupan manusia terus berlangsung dari waktu ke waktu, dari tidak memiliki apa-apa, dengan berbekal akal dan pikiran mulai berburu, menghindari ancaman musuh, menyelamatkan diri, berpakaian, berteduh, mencari ketenangan, kenyamanan, kesenangan dan sebagainya. Tidak hanya sekedar mencari makan, tetapi kemudian menetap dan bertani, berkumpul atau bermasyarakat, berbudaya dan berbudi luhur. Perjalanan hidup manusia selanjutnya menunjukkan akan peningkatan cara berfikir dan tingkat kecerdasan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan yang semakin kompleks, bahkan kemudian membayangkan, memperkirakan, memperhitungkan dan merencanakan kebutuhan hidup serta kehidupan yang akan dijalani di masa mendatang.

                  Uraian tentang sejarah kapan mulai adanya kriya itu  sulit ditentukan, baik urutan kronologis, waktu dan jenis benda yang dihasilkan. Sumber-sumber yang menolong untuk memperjelas hal tersebut adalah buku-buku tentang sejarah kebudayaan, sejarah seni rupa, antropologi dan sebagainya.  Berdasarkan sejarah kebudayaan menunjukkan bahwa kriya sudah ada sejak zaman dahulu. Permulaan adanya benda-benda guna diperkirakan sejak Zaman Batu Awal, dengan pembuatan perlengkapan sehari-hari seperti ‘kapak batu’ atau ‘kapak genggam’ yang sederhana, alat berburu seperti tombak, alat menangkap ikan, selain dari batu juga terbuat dari tulang-belulang, tanduk, kayu, pada umumnya masih berbentuk sederhana. Masa ini orang masih berpindah-pindah dan mengembara. Pada Zaman Batu Tengah, orang mulai menetap di goa-goa dan mulai bercocok tanam serta menjinakkan binatang. Perlengkapan sehari-hari sudah mulai dihaluskan dan  kapak batu sudah mulai dibentuk lebih rapi dan mulai diberi “leher” atau pegangan agar lebih mudah dipakai. Tempat penyimpanan makanan dan minuman dari buah-buahan berkulit tebal dan pakaian dari kulit kayu atau binatang serta dedaunan untuk alas dan atap tempat berteduh merupakan keterampilan yang mulai terus dikembangkan. Benda-benda kriya guna untuk tempat makanan dan minuman seperti pembuatan gerabah dari tanah liat juga telah dimulai sejak zaman ini. Pada Zaman Batu Baru, kapak batu yang disebut sebagai ‘kapak persegi bergagang’ ini telah dibentuk dan digosok halus serta diberi tangkai atau gagang. Penemuan ini menunjukkan bahwa pembuatan benda telah berdasarkan pada sebuah “konsep” yang mencakup aspek bentuk, keamanan pemakaian, teknik dan kegunaan sebagai tujuan dari pembuatan kapak tersebut.  Indonesia pada masa ini kedatangan beberapa gelombang bangsa baru ras Mongol Tua atau Palae-Mongoloid menyebar di kepulauan yang ada di Indonesia dengan membawa peradaban yang lebih tinggi dalam bercocok tanam dan membentuk kelompok-kelompok masyarakat atau suku-suku. Kebudayaan Melayu Purba yang dipengaruhi kebudayaan Perunggu Tiongkok yang disebut kebudayaan Dongson ini mempengaruhi hasil kriya Indonesia yaitu dengan pembuatan ‘kapak perunggu’ yang disebut dengan ‘kapak corong’ atau ‘kapak sepatu’. Bentuk kapak ini mempunyai corong kelompang tempat memasang gagang atau seperti lubang sepatu. Kapak perunggu yang ditemukan di Indonesia ada yang berukuran besar, sedang dan kecil, ada yang polos dan ada yang diberi hiasan, ada yang pendek dan ada yang panjang yang disebut Candrasa. Kapak berukuran besar diperkirakan sebagai alat perlengkapan upacara, seperti halnya candrasa dipergunakan sebagai tanda kebesaran atau kekuasaan, bukan untuk bekerja biasa. Kapak perunggu ditemukan dibeberapa tempat seperti pulau Roti, Sulewesi dan Yogyakarta. Mereka sudah mengenal akan busana lebih baik dan perhiasan, seperti cincin, gelang, anting-anting, binggel, kalung dan manik-manik , berdekorasi motif sederhana. Munculnya tokoh-tokoh pemimpin suku dan adanya kekuatan alam serta kehadiran benda ciptaan yang dianggap memiliki kekuatan gaib serta dapat melindungi mereka melahirkan suatu bentuk kepercayaan pemujaan terhadap roh para pemimpin atau nenek moyang. Sehubungan dengan kepercayaan tersebut, manusia bekerja keras untuk menciptakan lambang-lambang tradisi spiritual yang bersifat magis untuk keperluan ritual (upacara) atau mempersembahkan hasil karya terbaik sebagai suatu persembahan kepada para pemimpin dan bekal kubur bagi yang meninggal. Kepercayan akan adanya kekuatan gaib dan pemujaan terhadap nenek moyang serta berbagai ketrampilan diwariskan kepada generasi berikutnya. Pembuatan benda keperluan sehari-hari meningkat jumlah dan mutu serta keindahannya. Di tepi danau Kerinci, di pulau Madura, ditemukan bejana perunggu yang sudah dihias dengan ukiran burung merak, rusa, bentuk segi tiga, spiral dan bentuk geometris.                                                                                                  Selain itu,  pada masa ini juga dibuat nekara perunggu, mata uang, pisau atau belati dan sebagainya.  Nekara-nekara  kemudian seolah-olah penuh dengan hiasan seperti perahu jenazah, bentuk manusia, bentuk binatang seperti burung enggang, katak, gajah, rusa, juga tumbuh-tumbuhan dan garis-garis geometris (Suwaji Bastomi, 1986). Pada masa ini ketrampilan teknik mengolah bahan logam terutama perunggu sudah tinggi, tercermin pada dekorasi atau hiasan yang begitu rumit yang terdapat pada nekara. Nekara perunggu ditemukan di beberapa daerah di Indonesia yaitu di pegunungan Dieng, desa Pejeng-Bali, Jawa Tengah, Cibadak, Banten Selatan, Bima, Pulau Selayar, Pulau Alor dan sebagainya.
                  Bangsa Indonesia sejak zaman Neolitik atau pra-sejarah sudah pandai mengukir, membuat bejana dan membuat patung, baik berbahan batu, logam maupun dari tulang dan kayu serta dari tanah liat (gerabah).  Sejalan dengan kemajuan teknik di masa yang disebut sebagai ‘prundagian” (kemahiran teknik) tersebut, produksi anyaman rerumputan, bambu, rotan untuk keranjang, dinding dan jaring-jaring, serta kain tenun dari kulit kayu sudah dimulai, dengan ditemukannya bekas-bekas anyaman, motif kain dan jaring-jaring pada benda-benda dari tanah liat (gerabah).
                  Pada abad pertama berakhirnya zaman Logam, Indonesia kedatangan bangsa yang membawa ajaran Hindu. Terjadilah kemudian alkulturasi kebudayaan Hindu dan kebudayaan asli. Kebudayan yang lebih tinggi akan mempengaruhi kebudayaan yang lebih rendah. Selama 15 abad bangsa Indonesia dapat menerima kebudayaan baru tersebut berlangsung secara damai.  H. Kern berpendapat bahwa bangsa Hindu tel;ah memasukkan 10 unsur  kebudayaan ke Indonesia, yakni: gamelan, wayang, metrum, ilmu pelayaran, astronomi, mencetak uang logam, pertanian, pemerintahan, bahasa dan tulisan (Suwaji Bustomi, 1986: 66). Sejak saat itu dikenal pemerintahan yang dipimpin oleh Raja (sistem kerajaan) yang dianggap sebagai titisan dewa, mengenal ajaran agama dan kebangsawanan atau tingkatan kasta-kasta (feodalisme).  Benda-benda kriya yang dipergunakan oleh Raja tidak sama yang dipergunakan oleh bawahannya apalagi oleh rakyat biasa. Ada perlakuan khusus pada benda yang diperuntukkan untuk Raja harus lebih baik, lebih indah, baik kualitas bahan maupun pengerjaannya, sebagai wujud persembahan dan darma-bakti serta penghormatan kepada Sang Raja.  Percampuran kebudayaan asli dan Hindu, menghadirkan karya seni bangunan sebagai tempat tinggal Raja (istana) dan candi-candi yang hasilnya lebih baik dari sumber aslinya di India. Dinding candi dibuat relief oleh tangan trampil menunjukkan mutu yang bagus, menggambarkan adegan ceritera dengan nilai sastra yang tinggi. Candi-candi juga sebagai tempat makam raja-raja yang juga sekaligus sebagai tempat pemujaan, dilengkapi dengan perlengkapan upacara dan pada bagian tertentu di hiasi dengan patung-patung batu atau arca logam .  Busana para Raja dan kerabatnya dibuat penuh dengan hiasan atau dekorasi yang indah tercermin pada patung dan relief yang menggambarkan keadaan saat itu.  Keris juga dibuat memperlihatkan tanda kebesaran bagi yang mengenakannya, juga dianggap bertuah yang dibubuhi pamor seperti nekel, seng, monel, batu meteor, emas dan perak, yang dibuat oleh para empu sebagai prestasi kemahiran yang membanggakan. Empu yang terkenal seperti Empu Gandring dan Empu Supa. Pada akhir masa Hindu-Budha di daerah gunung Wilis terkenal pula nama Empu Kriyasana yang menurunkan Empu Kriyaguna dengan hasil karya berupa keris dengan ‘tilam putih’ yang dikenal hingga akhir kolonial Belanda (Suwaji Bustomi, 1986: 69).
                  Pada zaman kerajaan Singasari dan Majapahit, motif relief beralih dari bentuk realistis pada candi Jawa Tengah menjadi seperti bentuk seperti ‘wayang’ di daerah Jawa Timur. Bentuk manusia, binatang dan tumbuhan berubah stilistis-dekoratif, melepaskan diri dari ikonografi seni India, menjadi seperti prototype wayang yang kemudian dalam perkembangannya disebut wayang purwa ( Wiyoso Yudoseputro, 1978 : 38).
                  Selama masuknya kebudayaan  Islam ke Indonesia tidak banyak mempengaruhi akan bentuk dari benda-benda kriya, Benda kriya produksinya lebih ditujukan untuk tujuan perdagangan, yang kemudian mengalami perubahan dan perkembangan setelah masuknya pengaruh Eropa sekitar tahun 1522 yakni hadirnya bangsa Portugis di daerah Banten dan Ternate. Bandar-bandar kerajaan Islam ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing seperti Spanyol, Inggris, Cina, Arab, Turki, Melayu, Vietnam, Jepang, Benggala dan Belanda. Selain rempah-rempah, yang diperdagangkan adalah kain sutera, tembikar (keramik/porselin), kapur barus, perhiasan dan lain sebagainya. Kekayaan alam Indonesia menjadi perebutan bangsa asing, yang akhirnya menjadi daerah jajahan Portugis, lalu Belanda, tentara sekutu dan terakhir Jepang. Pada tahun 1619, Belanda membangun kota Batavia dan mendirikan benteng istana besar  yang didalamnya terdapat sekitar 65 opsir, ahli-ahli pertukangan (kriyawan), 70 serdadu dan 80 orang budak. Para tukang diwajibkan membuat perkakas rumah tangga, pakaian, sepatu dan sebagainya. Kemajuan bidang produksi dan teknologi baru di Eropa mempengaruhi pembuatan benda kriya di Indonesia, tenaga manusia digantikan oleh mesin-mesin (mekanisasi) atau pabrikasi. Namun demikian benda-benda kriya yang dikerjakan dengan tangan trampil masih berlangsung dan tumbuh. Sekitar tahun 1903 Pemerintah Penjajah Belanda mendirikan Departemen Van Landbouw, Niyverheid en Handel (Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan).  Hasilnya benda-benda kriya-guna meningkat dan di eksport ke Paris serta Amsterdam, seperti porselin atau keramik tiruan China dan topi bambu yang juga tiruan orang China dari Manila yang tinggal di Cilingok-Tangerang.  Juga ada diproduksi payung tiruan dari Siam oleh penduduk Tasikmalaya, yang kemudian dikembangkan khusus payung wanita dengan hiasan bunga-bungaan dan motif lain yang dianggap indah yang diberi nama ‘payung Euis’, payung ini lalu dipamerkan di San Francisco pada Wold Fair tahun 1935. Yang tak kalah terkenalnya dan nilai komersialnya tinggi adalah kain batik, dengan teknik tutup-celup, bagian yang ditutup menggunakan ‘nasi pulut’ dan bahan pewarna dari tumbuhan batang daun ‘tom’ untuk warna biru tua dan ‘soga’ untuk coklat. Kemudian berkembang dengan teknik ‘batik tulis’, menggunakan alat yang disebut ‘canthing’ dengan menggunakan bahan lilin (malam) atau wax yang jenisnya bermacam-macam.  Hingga akhirnya menggunakan teknik cap yang terbuat dari logam tembaga yang disebut ‘batik cap’, sehingga semakin meningkat produksi kain batik sebagai  industri massa, apalagi kemudian ditemukan bahan pewarna kimia (naftol).
Di daerah Jepara juga merupakan pelabuhan penting bagi masuknya pengaruh kebudayaan asing seperti dari Campa, Cina, India dan Arab serta Negara Eropa Barat. Industri mebel kayu berkembang,  motif ornamen yang dikembangkan yaitu dari motif yang ada di candi-candi, benda logam dan meniru gambar-gambar dari barang yang masuk ke Indonesia, seperti motif suluran daun anggur Belanda, geometris Mesir, karpet Persia dan keramik Cina.
3)  Senirupa  dan Desain                       
                   Pada masyarakat agraris tradisional di masa yang lampau tidaklah membedakan antara seni, ilmu pengetahuan, teknologi dan keagamaan, melainkan lebih banyak menyatu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan itu sendiri. Indonesia pada peralihan zaman Batu ke zaman Perunggu, dikenal sebagai masa “Perundagian” yaitu suatu masa “kemahiran teknik” mengolah bahan dan mengukir logam, dan para ahli ketukangan disebut sebagai “Undagi”. Orang-orang “cerdik pandai” atau “orang bijaksana” atau “ahli-ahli” pada masa lampau di Indonesia sering pula disebut sebagai “Empu”, yaitu sebagai orang yang menguasai akan ilmunya atau “mumpuni”. Pada masa di kerajaan Hindu ada disebut Empu Gandring sebagai ahli pembuat keris, Empu Tantular sebagai cerdik pandai dengan kitab sastra “Sutasoma”, Empu Prapanca dengan kitab “Negara Kertagama”  dan lain-lain. Bali yang merupakan bagian dari wilayah Majapahit, pernah memperoleh sekotak wayang dari Raja Hayam Wuruk, yang diterima oleh Raja Gelgel, Dalem Semara Kepakisan, seusai upacara pensucian roh (Srada) dari Rajapatni, nenek Hayam Wuruk, pada tahun 1362. Tersebutlan nama Raden Sangging Prabangkara (Putra Brawijaya terakhir), yang telah melakukan perubahan dan penyempurnaan warna-warna pada pakaian wayang sesuai dengan martabat ketokohannya, sehingga ahli senirupa atau desainer zaman Majapahit ini,  namanya sering dipakai sebagai gelar atau sebutan untuk para ahli seni rupa atau perancang desain dengan sebutan “Sangging”  atau “Sungging”   atau “Prabangkara”.
                     Pengertian “seni” bagi orang Jawa adalah “kencing” atau buang “air kecil” dan air kencing itu  sering pula disebut sebagai “air seni”. Juga perkatan “seni” juga untuk menyatakan suatu benda berukuran “kecil” atau “mungil” atau “Jlimet” atau “rumit”.  Orang Jawa sering pula menyebut suatu produk hasil dari kehalusan jiwa manusia yang indah-indah dengan istilah “kagunan” sebagai sesuatu yang bermanfaat. Sering pula disebut “ngrawit”, dimana pada umumnya produk yang dihasilkan memang mempunyai tekanan pada “halus” atau “remitan” atau “rumit” dalam pengerjaannya, yang umumnya disebut “kerajinan” atau “kriya’ yang memerlukan ketrampilan atau “keprigelan”.
Cikal bakal senirupa dan industri yang bersumber dari Barat, dimulai dari kata ‘technic” atau “teknik” yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “techne” dipadankan dengan kata “ars” bahasa Latin, memiliki arti  atau makna “kecakapan” atau “ketrampilan” yang berguna, merupakan cikal-bakal dari sebutan “seni”, “ilmu pengetahuan” dan “teknologi” yang ada kemiripannya dengan arti “kagunan” dalam bahasa Jawa atau sesuatu yang berguna atau bermanfaat dalam arti luas. Orang Belanda sering menyebut “kepintaran” sebagai “Genie” atau “Jenius” yang mirip dengan “ketangkasan” atau “kemahiran” seperti istilah “techne” atau “ars” yang sepadan pula dengan pengertian “seni- kagunan” di Jawa. Sehingga sampai masa kini pun  pengertian “seni-kagunan“ sebagai “kepandaian” atau “kepintaran” atau “ketangkasan” atau “kemahiran” dan “ketrampilan” masih sering dipergunakan seperti istilah “seni mengajar”, “seni memasak”, “seni bela diri”, “seni berhitung”, “seni bercocok tanam”, “seni membaca” , “seni bangunan” dan lain sebagainya.
            Sebelum Revolusi Industri di Eropa kata “ars” mencakup disiplin ilmu tata bahasa, logika, dan astrologi. Pada abad pertengahan di Eropa terjadi pembedaan kelompok ars  yaitu “artes liberales” atau kelompok “seni tinggi”  yang terdiri dari bidang tata bahasa, dialektika, retorika, aritmatika, geometri, musik dan astronomi; Dan “artes serviles” atau kelompok “seni rendah” yang mengandalkan tenaga kasar dan berkonotasi “pertukangan”. Dari tujuh bidang bidang keahlian hanya musik yang masuk “seni tinggi” , sedangkan lukis, patung, arsitektur, pembuatan senjata dan alat-alat transpor termasuk katagori “seni rendah”.  Kemudian Leonardo da Vinci (1452-1519), pelukis Italia dari masa Renaissance, mempelopori perjuangan dan berhasil memasukkan atau menaikkan seni lukis ke dalam status “seni tinggi”. Sebagai orang yang serba bisa dan memiliki kemampuan sebagai arsitek dan ilmuwan itu, Leonardo, beragumentasi bahwa melukis juga memerlukan pengetahuan “teoritis” seperti matematika, perspektif dan anatomi serta mempunyai tujuan moral seperti puisi lewat penggambaran sikap dan ekspresi wajah dalam lukisan. Suatu fenomena  kemudian terjadi bersamaan dengan Revolusi Industri di Eropa akhir abad ke 18 sampai awal abad ke 19, dimana masyarakat industri yang baru tumbuh menuntut adanya pembagian kerja dan spesialisasi kerja dalam mengembangkan proses produksi. Dalam masyarakat industri status “seni” menjadi tiga kelompok yaitu “seni tinggi” (high art), “seni menengah” (middle art), dan “seni rendah” (low art). Katagori ini masih memperlihatkan kelanjutan tradisi klasik, yaitu semakin tinggi kedudukan seni apabila semakin dekat atau tinggi tingkat integrasinya dengan industri, demikian pula sebaliknya semakin jauh tingkat hubungannya dengan industri maka semakin rendah pula kedudukan seninya. Pertemuan seni dan industri ini mengakibatkan banyak benturan, dimana penemuan-penemuan mesin-mesin produksi massal mendorong kalangan industri untuk mengembangkan teknik produksi dan hanya “menempelkan” reproduksi karya-karya seni klasik yang berstandar pada bentuk produk yang dihasilkan. Sehingga menimbulkan reaksi keras dan serius dari kalangan seniman, sebab standariasi dan mekanisasi serta penempelan begitu saja karya-karya klasik pada produk merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup seni, disamping tidak sesuai bentuk dan dengan motif dekorasi yang ditempelkan tersebut. Sehingga akhirnya seni harus memutuskan hubungan dengan ikatan-ikatan seni masa lalu yang dianggap membelenggu dan membatasi perkembangan seni, karena tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai estetika. Otonomi seni diharapkan dapat mempertegas  dan meningkatkan standar nilai estetik secara terus-menerus atau berkelanjutan. Pada akhirnya seni selalu melahirkan norma yang menjunjung nilai kebaruan, nilai keaslian dan nilai kreativitas yang lebih lanjut mendasari pandangan seni modern pada abad ke 19 – 20. Ketika seni telah menjadi komoditi dan tunduk pada hukum permintaan dan penawaran ekonomi, maka seni dianggap jatuh pada selera massa yang rendah dan seni itu menjadi seni “picisan” atau kitsch. Status rendah ini dikarenakan seni telah kehilangan “roh seni” atau “jiwa seni”. Jelaslah kiranya pengertian “seni” yang sekarang dan sepadan dengan “art” adalah datangnya dari Dunia Barat yang terbentuk pada abad ke 18 sampai abad 20.
            Istilah “senirupa” di Indonesia muncul dalam surat-surat kabar untuk pertama kali pada masa pendudukan Jepang, dalam laporan dan resensi tentang pameran lukisan. Oleh pemerintah pendudukan secara resmi istilah itu dipakai dalam sebutan “bagian senirupa” yaitu nama bagian Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan) yang berurusan terutama dalam lukis-melukis (Sanento Yuliman, 1983). Para seniman sebelumnya tidak begitu populer menggunakan istilah “seni” atau “seniman” yang sepadan dengan “ art ” atau “artis” yakni masih mempergunakan istilah “ahli gambar” pada nama PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar (kini menjadi FSRD-ITB) dan sebagainya.  Kamus Modern Bahasa Indonesia dari Mohammad Zain, terbit sekitar tahun 1950, menerangkan bahwa yang masuk senirupa ialah seni lukis, seni pahat dan seni patung. Memang hingga kini dalam pemakaian populer, istilah “senirupa” sering digunakan dengan lingkup pengertian yang terbatas pada seni lukis, dan seni pahat atau seni patung. Akan tetapi pendidikan formal senirupa di Indonesia dalam perkembangannya telah memperluas lingkup pengertian istilah itu. Pendidikan tinggi seni rupa dapat menyelenggarakan sejumlah keahlian seperti seni grafis atau desain grafis atau komunikasi visual, desain industri atau desain produk, desain interior atau arsitektur interior, desain tekstil, seni keramik, seni lukis, seni patung dan seni kriya (kriya seni) kayu-logam-kulit-keramik dan sebagainya.          
              .I Gusti Bagus Sugriwa dalam tulisannya Dasar-dasar Kesenian Bali,  mengatakan bahwa “seni” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “sani”, yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan atau pencarian yang jujur (IGB Sugriwa, 1957: 219-233). Seni menurut WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) yaitu suatu karya yang dibuat atau diciptakan dengan kecakapan yang luar biasa seperti sanjak,  lukisan, dan sebagainya. Atau kecakapan menciptakan sesuatu yang elok dan indah. Definisi seni menurut Ki Hadjar Dewantara adalah : “Segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya” (1962: 330). Sedangkan Thomas Munro mengatakan: “Seni adalah alat buatan manusia  untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lainnya yang melihat. Efek tersebut mencakup tanggapan-tanggapan yang berujud pengamatan, pengenalan imajinasi, rasional maupun emosional” (1963: 419).  Lebih lanjut Herbert Read  (1962), mengatakan bahwa lahirnya sebuah karya seni melalui beberapa tahapan sebagai suatu proses. Tahapan yang pertama adalah pengamatan kualitas-kualitas bahan seperti tekstur, warna dan banyak lagi kualitas fisik lainnya yang sulit untuk didefinisikan. Tahapan kedua yaitu adanya penyusunan hasil daripada pengamatan kualitas tadi dan menatanya menjadi suatu susunan. Dan ketiga yaitu proses suatu obyektifikasi dari tahapan-tahapan di atas yang berhubungan dengan keadaan sebelumnya. Keindahan yang berakhir pada tahapan pertama belum dapat disebut seni, karena seni jauh  telah melangkah ke arah emosi atau perasaan. Seni telah mengarah pada ungkapan sebagai “peng-ekspresian” dengan tujuan untuk komunikasi perasaan. 
            Berdasarkan uraian di atas dan pengertian secara umum senirupa dapat diterjemahkan (diinterpretasikan) sebagai ungkapan atau ekspresi, bentuk, arti, simbol, abstrak, indah, guna atau pakai, kepandaian atau kepintaran atau kemahiran atau ketangkasan, wakilan (representatif), cantik, molek, mungil atau kecil, rumit, halus, fungsi, kreasi, imajinasi, intuisi dan lain sebagainya yang dapat dilihat secara visual (memiliki rupa) tampak 2 atau 3 dimensional.
Revolusi Industri ( 1745-1770 M) di Eropa, dimana industri massal ini kemudian menghasilkan barang-barang pakai yang menjadi murah baik dalam mutu maupun ekonomi. Memasuki suatu masa spesialisasi dan otonomi seni, dimana bidang teknik dipisahkan dengan bidang seni, sehingga seni bukan lagi bagian penting dalam keteknikan. Kejenuhan akan hasil industri, membuat orang – orang tertentu mulai menolak buatan mesin yang dianggap kaku dan polos tanpa sentuhan tangan manusia. Hal inilah yang membuat para pengusaha dan pemilik modal kembali menarik seni disaat barang atau produk pabrik tidak laku dan menjadi murah. Dalam hal ini agar supaya produk terjual atau dapat menarik pembeli kemudian para pengusaha atau industriawan membeli seni seperti barang lepas yang tidak ada hubungannya dengan produksi, kemudian menempelkan begitu saja pada benda produksinya. Mereka membeli seni dari berbagai masa seperti zaman klasik Yunani, gaya Neo-clasic, seni Barok, Rococo dan Renaissance dengan menerapkannya pada produk industri dengan seenaknya saja. Tindakkan yang keliru ini menunjukkan belum adanya  pengertian terhadap persoalan yang sebenarnya dan beranggapan bahwa seni tidak ada hubungannya dengan mesin. Saat itu belum disadari bahwa masalah tersebut dapat di atasi dengan “perencanaan” bentuk yang akan dihasilkan oleh mesin yang dikenal sekarang sebagai industrial design atau desain produk. William Morris (1870) adalah salah seorang yang mempertanyakan kembali hasil industri, dan menganjurkan untuk kembali kepada ketrampilan atau kriya atau kerajinan  tangan, yaitu mencari kemungkinan baru dengan memadukan atau mempertemukan antara fungsi yang praktis dengan seni sebagai unsur keindahan. Pertemuan antara seni dan industri sebagai “seni tengah”, yang awal kemunculannya disebut sebagai “seni industri” atau “seni dekoratif” atau “seni terapan” dan pada akhirnya disebut sebagai “desain”. Melalui gerakan “Art & Craft”  (seni dan kerajinan) memberikan nafas baru kepada barang pakai dengan menekankan pada faktor fungsi dan dekorasi sesuai dengan metode industri atau sistem  pembuatan produk dalam jumlah banyak. Selain “desain” juga “kriya”  yang termasuk “seni tengah” ini memiliki persamaan yang berkaitan dengan proses penciptaan obyek pakai. Sedangkan perbedaannya, desain menghasilkan rancangan yang berupa gambar-sketsa, foto, diagram, model, spesifikasi verbal dan numerik, maka kriya hasil akhirnya adalah benda pakai. Dalam proses desain industri realisasi produk dilakukan dengan proses manufaktur. Sedangkan kriya, produk dikerjakan secara tradisional dan manual mulai dari bahan mentah hingga menjadi produk benda pakai, sebagai tradisi techne di masa lalu. Muncullah kemudian suatu istilah “machine art” atau “Seni Mesin” yang menunjukkan perlunya unsur seni diterapkan pada produk yang dihasilkan mesin. Kemudian “seni industri” atau “industrial art” terjadi ketika mekanisasi semakin berkembang di berbagai industri manukfakturing. Sistem tersebut ternyata menuntut ketrampilan ketukangan dan wawasan industri si seniman dalam merangcang produk. Baru setelah Perang Dunia ke II tatkala bisnis modern yang mencanangkan modal, pemasaran dan industrialisasi melanda Eropa Barat dan Amerika, persaingan tak terelakkan lagi dan konsekuensinya setiap industriawan atau pengusaha harus menyusun strategi untuk menjawab dan menjabarkan kebutuhan konsumen yang beraneka ragam, dari daya beli, latar belakang sosial-budaya, cita-rasa dan tuntutan lainnya. Dan mengangkat perancang yang disebut sebagai “desainer” yang berprofesi menelaah bentuk fisik produk dan memikirkan pula kelayakan psikologis, fisiologis-ergonomis, sosial, ekonomis,  estetis, fungsi dan teknis.
Victor Papanek, seorang pemikir desain terkenal merumuskan, bahwa tujuan desain sebagai “pengubah lingkungan manusia dan peralatannya, bahkan lebih jauh lagi mengubah manusia itu sendiri”.
            Selama perjalanan sejarah kriya dan desain, dimana teknologi telah diterima dan dipahami  oleh umat manusia serta menjadikan desain sebagai suatu kegiatan “khusus” atau “tersendiri” dari bagian kegiatan industri. Desain merupakan juga bagian dari aktifitas suatu penelitian dan pengembangan bentuk yang direncanakan, yang kemudian menjadi bagian tersendiri dari proses kerja untuk dapat merealisasikannya.
            Pengertian desain menurut terminologinya dari bahasa Latin yaitu “designare” atau bahasa Inggris “design” (to mark out). John Echols (1975) dalam kamusnya mengatakan sebagai potongan, pola, model, mode, konstruksi, tujuan dan rencana. Sedangkan Kamus Webster (1974), pengertiannya adalah gagasan awal, rancangan, perencanaan, pola, susunan, rencana, proyek, hasil yang tepat, produksi, membuat, mencipta, menyiapkan, meningkatkan, pikiran, maksud, kejelasan dan sterusnya. Demikian Webster berfikir jauh lebih luas akan beban makna. Khusus dalam seni rupa, desain dapat diartikan sebagai pengorganisasian atau penyusunan elemen-elemen visual sedemikian rupa menjadi kesatuan organik dan harmonis antara bagian-bagian serta secara keseluruhan. Dalam proses desain dikenal beberapa “prinsip desain” atau principles of design sebagai berikut:
1) Kesatuan (unity); 2) Keseimbangan (balance); 3) Perbandingan (proportion); 4) Tekanan (center of interest / point of emphasis); 5) Irama (rhytme);  Dan  6) Keselarasan (harmony).

III. KONSEP PENCIPTAAN KRIYA
       
 Pandangan dan pengertian dalam masyarakat awam terhadap kriya sampai saat ini masih dirasakan “tumpang tindih” (overlaping) atau “terpadu” yang masuk pada pengertian senirupa. Umumnya masyarakat belum banyak mempersoalkan ciri khas, perbedaan, kecenderungan-kecenderungan dalam pembuatan kriya. Konsep penciptaan kriya seperti yang diuraikan di atas, memiliki tiga arah pengembangan — pertama sebagai seni murni (ekspresi / ungkapan);  Kedua, sebagai seni kriya (craftsmanship / handicraft / craft);  Dan ketiga, sebagai seni pakai (fungsi-guna-desain). Berdasarkan kecenderungan yang melatarbelakangi sifat-sifatnya dapat digambarkan pada bagan berikut ini:


Pada dasarnya ketiga bagian seni tersebut mempunyai ciri khas dan penonjolan masing-masing secara terpisah. Apabila ciri khas dikembangkan, simak dalam analisis pada bagan 2 & 3,  harus ditarik keluar untuk memiliki ciri khas, maka konsep penciptaan seni dapat berdiri sendiri tanpa ada unsur kecenderungan dan keterpaduan dalam senirupa. Disamping itu suasana tumpang tindih memang kurang mendukung perkembangan seni itu sendiri. Kedudukan seni kriya yang berada ditengah-tengah menunjukkan seni ini umumnya lebih berupa kecenderungan, baik ke seni murni atau ke seni pakai, tergantung dari wawasan para kriyawan itu sendiri dan bila ingin memiliki ciri khas haruslah berdiri sendiri.
 Pengembangan seni diperlukan semacam spesialisasi, karena penyempitan bidang garapan akan memudahkan didalam mempelajari serta mendalaminya. Dengan arah pengembangan yang jelas tentu mutunya akan meningkat dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat yang juga semakin berkembang. Sikap yang semakin jelas dalam pengembangan seni sangat diperlukan, khususnya dalam dunia pendidikan yang bersifat formal dan pembinaan seni di masyarakat pada umumnya.
1)  Seni Murni
Benda-benda kriya yang dibuat untuk tujuan yang murni bernilai ungkap termasuk sebagai “seni murni” atau fine art, yang lazim disebut sebagai “ seni ekspresi” karena identitas dan emosi penciptaannya menonjol serta tidak mengulang-ulang (tidak digandakan secara massal) yang dibuat oleh individu atau pribadi yang bebas tidak terikat (merdeka). Karya jenis ini melayani kebutuhan atau kehidupan jiwa seperti adanya suasana hati atau batin atau perasaan, hasrat  dan ekspresi atau ungkapan serta emosi, secara sadar atau tidak merupakan perwujudan nilai-nilai tertentu dari kehidupan manusia itu sendiri.  Bisa dikatakan ini sebagai “seni bebas”  yang pembuatannya tidak terikat oleh kegunaan  atau fungsi pakai tertentu, tetapi muncul sebagai karya itu sendiri. 
               Pencetus gaya ini, seperti L’art pour l’art  atau “seni untuk seni”  adalah seorang Perancis yang bernama Thephile Gautier (Lionella Venturi, 1964:237-266). Gautier bereaksi terhadap keadaan zamannya, dimana seni dimanfaatkan  untuk tujuan dan tendensi politik, komersial materialistik maupun moralistik. Ia menginginkan agar seni “dimurrnikan”, dinikmati dan dihargai bukan karena alasan lain diluar seni itu sendiri. Demikian pula yang terjadi pada zaman LEKRA, dimana politik adalah sebagai panglima, maka seni harus mengabdi kepadanya. Seni yang “murni” harus bebas propaganda dan tendensi di luar seni. Demikian pula kehadiran “seni murni” dalam kriya, merupakan suatu perwujudan yang original dan mengandung kejujuran emosional secara individual, berdiri sendiri, secara khusus bereksistensi mandiri, merupakan proyeksi preferensi, apresiasi dan kesadaran akan nilai-nilai kehidupan dan kepribadian, baik secara rasional maupun irasional (intuitif).
               Pembuatan kriya “seni murni” mempunyai maksud untuk mengkomunikasikan pemikiran atau penyampaian ekspresi melalui bahasa rupa, lewat bahan, tekstur, warna, bentuk, ruang, bidang, garis, simbol, teknik dan lain sebagainya, yang menjadi suatu susunan dan dapat membangkitkan masyarakat apresiasi. Pembuatan karya jenis ini atas dasar kesenangan dan telah menjadi ciri khas yakni dibuat dalam jumlah terbatas, bahkan sebagai benda satu-satunya di Dunia. Dengan demikian kehadiran “seni murni” ini patut untuk diperhitungkan dan direnungi sebagai manifestasi kebudayaan bangsa, sebagai bagian dari kehidupan, yang juga ikut berperan dalam mencerdaskan masyarakat, dapat sebagai media untuk menyalurkan hasrat, emosi atau ekspresi atau pikiran sehingga kehidupan menjadi selaras  dan seimbang, baik material maupun spiritual.  Lebih lanjut pada perkembangannya, seni murni tidak lagi terkotak-kotak, bersifat universal, plural, bebas dan hidup dalam dinamika masyarakatnya.
Pada karya Kimiyo Mishima, dari Jepang, yang  merupakan keramik kontemporer Jepang, yaitu dengan mencetak berbagai bahan seakan realistis mengingatkan akan kejadian dan kehidupan sehari-hari seperti  adanya sobekan kertas koran dan majalah serta kadus bekas  yang berantakan, telah berhasil melepaskan diri dari bentuk keramik tradisional yang terikat fungsi. Suatu peniruan yang lihai dari Kimiyo, terlihat ketelitiannya dari tulisan, iklan serta karakter kertas dan karton sangat kuat ditampilkan, menunjukkan Ia sangat dekat dengan kehidupan lingkungan sehari-hari. Penguasaan teknologi dikuasai Kimiyo sehingga mendukung karya-karyanya sebagai ungkapan atau ekspresi pribadi yang selanjutnya untuk direnungi bersama. Keramikus Jepang lainnya, seperti Takako Araki, yang mencoba mengekspresikan citra dari sebuah kitab suci injil, sebagai simbol, yang digambarkan lapuk dimakan waktu atau usia pada era-nuklir dan komputerisasi. Ia mencoba mengkomunikasikan pandangannya terhadap suatu keadaan di zamannya, dimana ketidak acuhan masyarakat akan nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai kebenaran yang dirasakan mulai menipis. Pencarian akan nilai kebenaran dan kebaikan  dirasakan jauh dan berdebu ditelan zaman. Suatu peringatan yang terasa menggelitik, membawa penonton tertegun sejenak dan kemudian terhentak setelah merenunginya, ada apa yang terjadi dalam kehidupan ini. Bentuk yang sangat mirip detail dari kitab injil yang dimakan bubuk ini, menunjukkan Takako begitu sensitif perasaannya dalam penampilan karakter bahan dan penuangan ide-idenya.
2) Seni Pakai
                  Keramik pakai  dibuat untuk  tujuan yang bersifat praktis dan  fungsional, terutama untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagai “seni pakai-guna”, jenis benda ini merupakan produk hasil dari suatu rancangan atau desain, baik untuk keperluan yang bersifat fisik atau material seperti peralatan rumah tangga ( wadah atau perabotan), maupun sebagai bahan dan komponen suatu rancang bangun.
                  Kriya pakai bersifat umum dengan kegunaan khusus atau  bervariasi, setiap produknya mementingkan segi praktis dan fungsi yang optimal serta efisien. Karena bersifat umum yaitu untuk kepentingan masyarakat luas, maka  kriya pakai harus memenuhi standar industri yang berlaku di setiap negara. Kalau dalam negeri disebut Standar Industri Indonesia ( SII ) atau Standar Nasional Indonesia ( SNI ), ada pula Standar Industri Internasional yang berlaku, misalnya ISO, dll. Semua itu untuk melindungi kepentingan konsumen atau produsen, apalagi kini telah ada undang-undang (HaKI) yang mengatur hal itu (paten dan industri). Dan para pengusaha harus melaporkan secara kontinyu hasil produksinya ke Departemen terkait disamping untuk pengendalian mutu dan pengontrolan serta sebagai obyek pajak. Benda-benda pakai diproduksi oleh mesin-mesin (pabrik) yang menghasilkan produk massal dengan bentuk serupa (standar) dan diawasi oleh pemerintah atau lembaga konsumen. Untuk dapat bersaing dipasaran, produk kriya pakai menawarkan keterjangkauan (murah), kepraktisan, pemenuhan kebutuhan dan perlindungan konsumen. Karena itu harus direncanakan sedemikian rupa memperhatikan segi keamanan atau keselamatan, kenyamanan, kebersihan atau kesehatan dalam pemakaian produk. Pertimbangan lainnya dalam mendesain adalah dari sudut pandang ekonomi, sosial, budaya, fisiologis (ergonomi), psikologi, teknologi dan estetikanya. Seni pakai dalam memenuhi tuntutan fungsinya menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut ini: a) Bentuk sesederhana mungkin dan estetis atau indah; b) Bentuk pakai yang dihasilkan minim dari unsur ekspresi dan imajinasi (minimalis); c) Dapat menampilkan keindahan yang mengikuti fungsinya; d) Keindahan muncul dengan sendirinya secara wajar disaat benda tersebut dipergunakan; Dan terakhir, e) Adanya hubungan antara barang dengan si pemakai. Kebutuhan masyarakat senantiasa berkembang dan semakin kompleks sifatnya, maka desain-desain kriya alternatif dan baru selalu akan mengikuti. Seringkali terjadi, benda pakai ini jarang dipergunakan karena bentuknya teramat indah atau hiasannya (dekorasi) berlebihan, sehingga fungsinyapun beralih menjadi benda pajangan di ruang tamu, tidak sesuai dengan fungsi sebenarnya. Tampaknya tanggungjawab desainer cukup besar dan penting, terutama pada masyarakat konsumen, produsen dan kesempatan kerja. Sudah selayaknya hasil karya desainer dihargai dan layak diberi perlindungan seperti yang diatur dalam Undang-undang HaKI  ( Hak akan Kekayaan Intelektual) seperti Hak Cipta, Paten, Produk Industri, dllnya.
            Pada contoh closet porselin (lihat gambar 7) dengan alternatif pengehematan air, dengan memberikan suatu perbandingan data pemakaian air sebagai daya tarik pemakai, sebagai suatu penawaran akan efisiensi. Untuk itu para desainer dituntut untuk peka terhadap prinsip kebutuhan dan pertimbangan pasar, selalu mempelajari dan menganalisa dalam rangka menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih bermutu serta lebih efisien.
3.3  Seni Kriya
Kriya memiliki ciri khas sebagai pekerjaan tangan (handicraft).  Sedangkan masyarakat pada umumnya menyebut sebagai “kerajinan”. Karena kriya memiliki fleksibilitas yang tinggi, bisa  memiliki ciri khas, bisa berupa kecendrerungan-kecenderungan, berada ditengah-tengah sebagai perpaduan seni dan tergantung dari cara kedudukan dan wawasan yang dipergunakan,  yang bisa berada di wilayah atau kubu dari seni murni atau seni pakai (seni terapan /desain). 

 
  Sudarso SP, mengatakan bahwa seni kriya adalah cabang seni rupa yang sangat memerlukan kekriyaan (craftmanship) yang tinggi, seperti ukir kayu, keramik dan anyaman, dsbnya (1988:14). Sedangkan Wardiman Djoyonegoro, Mendikbud R.I. dalam sambutan Pameran Seni Terapan 1994, menyatakan bahwa seni tersebut tidak hanya mengandalkan kerajinan dan ketrampilan tangan, melainkan hasilnya mengandung makna sebagai karya cipta seni yang kreatif dan inovatif. Seni kriya pada hakekatnya tertuju pada penekanan bobot kekriyaan (craftsmanship) yang memungkinkan lahirnya nilai seni terapan atau dalam bentuk ekspresi baru sesuai tuntutan budaya masa kini. Seni kriya ini sering pula disebut sebagai “seni rakyat” karena pendukungnya banyak dari rakyat biasa dan disebut “seni tradisional” karena banyak menghidupkan seni-seni tradisional, Juga disebut pula “industri rumah-tangga” atau home-industry yang memproduksi secara terbatas dengan peralatan sederhana. Dan disebut sebagai “seni ladenan” karena sering membuat atau melayani pesanan, yang segala sesuatunya (sedikit atau banyak) ditentukan oleh pemesan, baik motif, bentuk, warna, desain maupun teknologinya.
              Barang-barang kriya bisa saja dipakai untuk kegunaan tertentu, tetapi bukanlah tujuan yang utama. Seringkali hadir sebagai benda yang bersifat dekoratif atau cenderamata. Karena ketidak jelasan batasan dari seni ini, terjadi perpaduan antara seni pakai, seni murni dan seni kriya. Untuk menciptakan seni kriya yang khas, diperlukan wawasan agar dapat mendudukkan posisinya secara mandiri dan dapat mengembangkan ciri-ciri yang menonjol dari visualisasi  kegiatan kriya tersebut. Ciri khas yang sangat menonjol dari seni kriya ini adalah mengutamakan segi keindahan (dekorasi) yang menghibur mata , sebagai pajangan, pekerjaan tangan-tangan trampil luar biasa dengan produksi terbatas (manual-tradisional). Prinsip dasar dari seni keramik kerajinan ini menampilkan hal-hal berikut: a) Bentuknya indah; b) Dapat difungsikan sebagai benda pakai, tetapi bukan menjadi tujuan yang utama; c) Fungsi benda mengikuti bentuk dan keindahannya; d) Sebagai benda dekoratif atau aksesoris atau cenderamata (souvenir) atau pajangan; e) Dibuat dengan tangan-tangan trampil sebagai perkerjaan tangan tardisional; f) Menampilkan unsur-unsur seni tradisional atau ciri kas daerah; g) Memperlihatkan sifat-sifat rajin, tekun, sabar, rumit, artistik, trampil, halus dan unik; Dan terakhir, h) Dapat menjadi tradisi (mentradisi) sebagai kepandaian yang turun-temurun atau diwariskan.
              Banyak kalangan merasakan bahwa seni kriya atau kerajinan sebagai pengulangan-pengulangan bentuk yang sudah ada, baik yang tadisional atau yang klasik, dan pada umumnya memperlihatkan atau mempertahankan nilai-nilai lama. Kerajinan juga nenunjukkan konotasi negatif sebagai jenis suatu pekerjaan yang “mengulang-ulang” dari bentuk yang sama dan positifnya memiliki sifat “rajin” atau “teliti”. Kenyataan ini membuat perkembangan seni kriya termasuk lambat, terutama mengulang bentuk-bentuk yang laris dan laku dijual (selera massa) yang menambah kelambatan dalam pengembangannya, perubahan hanya sekitar bahan baku saja. Wiyoso Yudoseputro, ahli seni rupa, mengatakan dalam pengantar pameran seni terapan (1994) bahwa dalam pengembangan  seni kriya Indonesia sebagai seni terapan masa kini, diharapkan mampu menampilkan nilai-nilai guna baru berdasarkan imajinasi dan daya kreasi atau ekspresi para perupa. Kecenderungan untuk memandang produk kriya sebagai hasil produksi massal dan karya ulang sering mengecilkan arti dari kandungan nilai sebagai karya seni terapan. Lebih lanjut Wiyoso mengharapkan lahirnya bentuk-bentuk baru dan orisinil tanpa harus mengulang-ulang kaidah seni lama yang tidak sesuai dengan kebutuhan budaya masa kini. Jadi makna dasar kriya tertuju pada penekanan pada “bobot kekriyaan” (craftsmanship) yang melahirkan nilai seni terapan baru sesuai tuntutan zaman. Ciptaan-ciptaan tangan ini sering “ jatuh “ sebagai benda “iseng” atau kitsch tanpa arti, tanpa tujuan yang jelas, yang tidak lagi menarik bagi orang yang memiliki intelektualitas tinggi dan bagi mereka yang haus akan arti kehidupan dan ilmu pengetahuan.  Namun demikian sentuhan tangan-tangan trampil ini justru merupakan daya tarik terbesar, karena menghasilkan barang yang tidak kaku  dan “dingin” seperti buatan mesin, terasa “hangat” dan akrab serta sangat manusiawi. Walau di zaman teknologi komputer canggih seperti sekarang ini dimana dapat dengan mudah memprogram barang dengan baik, indah dan sempurna, namun tetap saja berkesan “tidak hidup” dan terasa “kering” akibat buatan mesin-mesin serta jauh dari manusia. Kerinduan manusia modern terhadap sentuhan tangan, membuat seni lama hidup kembali atau mengalami perubahan dan pengembangan atau ada semacam himbauan untuk “kembali ke alam” ( back to nature).
Benda-benda kerajinan, apabila difungsikan sebagai benda pakai belum tentu mengikuti standar mutu yang telah ditetapkan pemerintah dalam (SII atau SNI), karena dibuat dengan tangan yang sulit dikontrol dan sering terjadi penyimpangan-penyimpangan serta bukan buatan mesin (pabrik) yang mudah diawasi. Umumnya produk jenis ini dibuat dengan peralatan sederhana (manual) dan bahan bakunya dibuat berdasarkan pengalaman semata, bahkan hanya berdasarkan perasaan belaka; Sehingga proses pengerjaannya terkadang tidak terencana dan tidak tercatat pula serta tidak mudah untuk dikendalikan.  Semua itu berdasarkan kepekaan semata, yang berdampak negatif, dimana kemungkinan produk dapat membahayakan (keracunan) bagi kesehatan  atau keselamatan konsumen maupun perajin itu sendiri, terutama penggunaan bahan-bahan yang beracun untuk tempat makanan dan minuman (cairan). Hasil karya kriya atau kerajinan yang bermutu tinggi adalah dambaan, kriyawan dan perajin dituntut untuk memiliki citarasa yang tinggi, ketrampilan yang tinggi, dapat mengembangkan seni lama dengan citarasa baru, unik dan eksklusif, dan hasilnya tentu tidak mustahil menjadi duta-duta seni dan budaya bangsa yang membanggakan. Kebutuhan artistik dan estetik baru dalam kriya masa kini menjadi tugas pakar-pakar seni dan kriyawan akademisi sehingga produk yang dihasilkan menjadi komoditi ekspor non-migas yang handal serta mampu bersaing di pasar global. 

IV. PENUTUP
                     Dari uraian di atas  dapat diambil beberapa poin kesimpulan dan saran sebagai berikut:
1)      Kriya memiliki flesibilitas yang tinggi, bisa berupa kecendrungan-kecendrungan, bisa
       berada ditengah-tengah (perpaduan ) atau tergantung dari kedudukan serta  wawasan yang
       dipergunakan oleh seniman atau kriyawan atau desainer.
2)      Arah pengembangan kriya perlu dipertegas dan terarah, sesuai dengan kebutuhan yang berkembang dan kompleks di masyarakat.
3)      Diperlukan pengembangan spesialisasi kriya, wacana keilmuan yang khas dan bisa eksis secara mandiri tidak dalam pengertian senirupa umum (awam) yang sepertinya tumpang- tindih (overlaping).
4)      Diperlukan wawasan dan pengertian yang jelas akan kekriyaan itu sendiri, untuk dapat menentukan sikap yang profesional sebagai seorang kriyawan bagi mereka yang menekuni bidang kriya.

Daftar Pustaka
A M Utomo, Tgl. 5, 12 dan 19 Mei 2002:   “Mengenal Seni Keramik 1 s/d 3”  ,Harian  Bali Post,
             Denpasar
A M Utomo, Tgl. 18 April 2004, “Mengusut Asal Mula dan Pemahaman Desain, Harian Bali Post,
             Denpasar
A M Utomo, Tgl. 5 Pebruari 2006, “Kriya Sebagai Suatu Seni Alternatif”, Harian Bali Post, Denpasar
Bastomi Suwaji, 1983, Sikap Masyarakat Kota Besar di Indonesia Terhadap Hasil  Seni  Kerajinan   
             dan Usaha Konservasinya, PP3T IKIP Semarang Press,  Semarang
Feldman Edmund Burke, 1967, Art as Image and Idea, Prentice Hall Inc, Englewood, Clifts, USA
Homby AS, 1963, Oxford Advencede Learner’s Dictionary of Current English, New York, Oxford  
             University Press
Herbert Read, 1962, The Meaning of Art, Pelican Books, The World Publishing Company, Cleveland
              and  New York
I G B Sugriwa, 1967, Dasar-dasar Kesenian Bali, Denpasar
Imam  Buchori, 1996, Penelitianm Seni dan Desain, Makalah Penataran Metodelogi Penelitian Seni,   
             Tawangmangu, Surakarta
John A Heskett, 1986, Desain Industri, Rajawali, Jakarta
Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Pt.Gramedia, Jakarta
Ki Hajar Dewantara, 1962, Pendidikan, Majelis Luhur Taman Siswa Dewantara, Yogyakarta
Mattil Edward L, 1965, Meaning in Crafts, Prentice Hall Inc, Englewood Clifts, Tokyo
Morren Lois, Craft, Word Book Multimedia Encyclopedia
SP Gustami, 2000, Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara: Kajian Estetik Melalui Pendekatan
              Multidisiplin, Penerbit Kanisius, , Yogyakarta
Senento Yuliman, 1983, 35 Tahun Perguruan Tinggi Seni Rupa, ITB, Bandung
Sudjoko, 1983, Materi Penataran-Lokakarya Penelitian Kerajinan, ITB, P2LPTK, Bandung
Whitaker Irwin, 1967,  Crafts and Craftsmen, WM C Brown Company Publishers, USA
WJS Purwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
Wiyoso Yudaseputro, 1978, Sejarah Seni Rupa Indonesia, Jakarta