Hasil Kerajinan dan Industri Kecil Keramik Indonesia
oleh Agus Mulyadi Utomo
Keramik industri yang bukan padat
modal, pada mulanya berangkat dari usaha kecil kerajinan atau industri rumah
tangga, seperti di Singkawang-
Kalimantan Barat, di Plered - Jawa
Barat, di Dinoyo - Malang-Jawa
Timur, di Klampok-Jawa Tengah, di Kapal dan Pejaten - Tabanan-Bali, di Kayu
agung -Palembang, di Manatuto-Timtim,
di Tegowanuh-JawaTengah, di Banyumulek–Lombok-NTB, Bima-NTB, Mayong-Jepara dan lain sebagainya. Pada umumnya industri kecil dan
menengah tersebut memproduksi barang-barang gerabah, stoneware dan porselin. Ada yang mengambil bentuk flora-fauna dan tradisional seperti batik-batikan, tumpal, pilin
berganda, primitif, ukir-ukiran, swastika, kaligrafi, pepatran, legenda,
ceritra rakyat dan pewayangan atau meniru bentuk-bentuk keramik asing seperti
dari China, Jepang, Philipina, Vietnam, Belanda, Maxico dan Eropa lainnya.
Singkawang merupakan lokasi
perkeramikan terbesar di Kalimantan Barat, selain di Siantan. Di
Singkawang terdapat tujuh perusahaan, namun yang aktif empat saja dan yang
lainnya tenggelam karena kongkurensi kongkurensi
dalam dunia usaha. Desa Sa Liung, Kecamatan Sedau, Singkawang sekitar 140 km
sebelah utara dari Pontianak sudah lama dikenal sebagai pabrik keramik antik
gaya China. Tungku yang dipergunakan adalah tungku “Naga”, sama seperti yang
dilakukan pada abad ke-16 di Daratan China. Menurut cerita yang
berkembang, di daerah ini sudah mulai
produksi pada abad ke-17 saat imigran China menetap di Kalimantan yang datang
dari Guangdong, Fujian, Juangsu China
Selatan. Selain membawa keramik jadi juga imigran ini membawa ketrampilan
mengolah bahan keramik dan mewujudkannya. Sekarang keturunan imigran ini masih
ada yang berkutat dengan tungku “Naga”.
Desa Sakok atau Tanjung Batu, kurang lebih 7 km sebelah timur laut
Singkawang, terdapat tungku “Naga” atau Dragon Kiln yang didirikan tahun 1935 dan mengalami beberapakali perombakan
dan perbaikan. Seperti halnya di Sa Liung atau Padang Pasir, Sakok, memproduksi
tiruan keramik kuno gaya China, tempayan atau martaban, mangkuk, jembangan dan
guci yang bergaya Ming. Salah satu
pemilik perusahaan yang bernama Ten Sen
Siur, bertempat tinggal di Jalan Pasar Ikan 158 Singkawang. selain di
Siantan. Di Singkawang terdapat tujuh perusahaan, namun yang aktif empat saja
dan yang lainnya tenggelam. Di Singkawang
juga memproduksi pot, vas bunga, piring, serta bentuk tokoh yang mereka
keramatkan berupa patung Kung-Tse. Hiasan naga dan bentuk
awan sedikit stilistis sampai bentuk meander
dengan teknik under-glaze. Keramik antik
gaya China produksi Singkawang yang mirip dengan aslinya banyak di ekspor ke
Hongkong, Singapura dan Eropa atas permintaan jaringan perdagangan barang
antik. Disamping keluar negeri, pasarannya juga di kota-kota besar dalam
negeri.
Keramik Singkawang Terdesak China
SINGKAWANG, KOMPAS
- Dalam setahun terakhir, kerajinan keramik Singkawang, Kalimantan
Barat, terpuruk karena tidak bisa bersaing dengan produk sejenis dari
China. Padahal, kerajinan Keramik Singkawang pernah menjadi produk
ekspor ke Malaysia dan Filipina. Para
perajin di sentra kerajinan keramik yang terpusat di Kelurahan Sedau,
Singkawang Selatan, itu umumnya sudah tidak berproduksi lagi. Hari
Selasa (1/3, 2011), para perajin tinggal memajang sisa keramik yang belum
terjual. Alan (40),
pemilik sentra usaha keramik Dinamis mengatakan, penurunan produksi
terus terjadi dalam empat tahun terakhir akibat sepinya permintaan.
”Jangankan untuk ekspor, untuk masuk ke pasar lokal Kalimantan saja
sekarang sulit. Tak ada pilihan selain menghentikan produksi,”
tuturnya. Kerajinan
keramik Singkawang umumnya berwujud tempayan, pot, dan berbagai
suvenir. Kerajinan keramik Singkawang memiliki motif yang khas,
didominasi naga. Harga kerajinan keramik Singkawang bervariasi, mulai
dari Rp 300.000 hingga Rp 3 juta per satuan. Ketika
permintaan masih bagus, selain diekspor, kerajinan keramik Singkawang
juga dipasok ke Pontianak, Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat,
hingga ke Banjarmasin di Kalimantan Selatan. ”Sejak ekspor turun, kami
berusaha menjaga pasar lokal. Namun, setiap kali kami menanyakan kepada
pemilik galeri di beberapa kota di Kalimantan, mereka selalu menjawab
bahwa sekarang sulit sekali menjual kerajinan keramik Singkawang,”
papar Alan. Alan menduga
konsumen lebih menyukai produk China yang lebih halus. ”Kerajinan
keramik Singkawang dibuat secara tradisional sehingga hasilnya berbeda
dengan produksi China,” kata Alan. Semoi
(50), pemilik sentra kerajinan keramik Sinar Terang, mengaku sama
sekali tidak memproduksi kerajinan keramik Singkawang sejak tiga bulan
lalu. ”Walaupun
permintaan sedikit, saya tetap berusaha memproduksi kerajinan keramik.
Apalagi, ada empat karyawan yang sudah lama bekerja. Namun, belakangan
bahan baku tanah yang bagus makin sulit diperoleh. Kalaupun ada, keramik
mudah pecah,” ungkapnya.
Plered terletak daerah
Purwakarta, Jawa Barat, memang tidak
asing lagi bagi penggemar keramik hias di tanah air. Salah satu perusahaan yang
dipimpin Asep Abu Bakar dari PT. Asep Kwalita Keramik (AKK), mempunyai potensi
besar dan telah masuk persaingan pasar Dunia. Perusahaan ini mengandalkan corak
dan desain yang baru dan terus-menerus dikembangkan, dengan telah diakuinya
daerah Plered sebagai pemasok bahan baku yang melimpah dengan bahan tanah Desa
Citeko yang cukup baik mutunya. Di Citeko banyak berdiri pabrik genteng dan
bata dengan menyerap tenaga wanita cukup
banyak. Keberadaan Pusat Pelayanan Keramik Plered, yang berada di bawah Kadin
(Kamar Dagang Indonesia) Jabar ini yang berfungsi melayani Ekspor Nasional
(BPEN), banyak pengusaha Belanda datang atau membantu para pengusaha dan
perajin dalam memperoleh bahan baku dan informasi tentang keramik serta
pendidikan manajemen. Tersebutlah nama
pengusaha yaitu Asep Abu Bakar yang memperoleh penghargaan “Upakarti” tahun 1989 dan sering mengikuti pameran
industri kecil di dalam maupun luar negeri. Promosi-promosi produk yang
dilakukan Asep tidak sia-sia dan pada tahun 1985 banyak rombongan pembeli yang datang ke Plered. Setelah Pameran di
Belanda atas prakarsa Badan Pengembangan ke daerah ini dan meminta pengiriman
barang secara rutin. PT. Asep Kwalita
Keramik (AKK) merupakan usaha patungan
dengan “Asep Art Shop” dengan PT. Kwalita Eksporindo (anak perusahaan PT. Semen
Cibinong). Terdapat nama Samani, seorang pekerja atau buruh keramik sejak tahun 1953. Ia kemudian merintis
sebagai pengusaha sejak tahun 1983 sampai 1985. Samani mengikuti lomba keramik
internasional di Taman Mini Indonesia Indah dan berhasil menjadi juara pertama,
sehingga Ia semakin terkenal dan produksi keramiknya mengalami peningkatan drastis. Karena Samani
kekurangan tenaga trampil, pada tahun 1987 mendirikan semacam kursus singkat
atau sekolah keramik yang menampung pemuda putus sekolah. Anak didik Samani
sebanayk 6 orang telah berhasil mendirikan usaha sendiri serta bergabung dalam
“Kelompok Usaha Keramik Samani” atau KUKS. Ketika mengikuti pameran di Balai
Sidang Senayan Jakarta, keramik kerajinan hasil Samani mendapatkan perhatian
Wakil Presiden (ketika itu dijabat Sudarmono) dan berjanji untuk mengunjungi
Plered dan tahun 1989 terpenuhi. Samani,
salah seorang produsen keramik Plered itu kemudian memperoleh penghargaan
“Upakarti” dari pemerintah tahun 1990, dengan membantu masyarakat dengan sistem
magang diperusahaannya. Dua orang perintis keramik Plered seperti Asep Abu Bakar
dan Samani perlu dicatat perjuangannya, sehingga keramik Plered telah berubah
hingga sampai sekarang ini, kerajinan tersebut pemasarannya telah meluas ke
berbagai pelosok tanah air. Kerajinan Plered bentuknya cukup beragam dan banyak
dipengaruhi seniman akademis dari ITB, IKJ dan para mahasiswa yang praktek
kerja di daerah ini. Untuk mendukung perkeramik di Plered, pada tahun 1975
BIPIK mendirikan Unit Percontohan Keramik dan lima tahun kemudian mendirikan
Unit Pelayanan Teknis, yang menyediakan bahan baku tanah liat yang telah diolah
serta bahan glasir siap pakai.
Di daerah Klampok, Banjarnegara, Jawa Tengah, terdapat empat pengusaha kecil kerajinan
keramik yang cukup menonjol, disamping beberapa usaha kecil lainnya.
Diantaranya yang terkenal adalah “Keramik Meandalai” yang terletak ditepi jalan
Pertanian 17 / IV Desa Klampok sekitar 30 km ke arah barat dari kota
Banjarnegara. Perusahaan lainnya adalah
PT. Keramika Banjarnegara, Usaha Karya dan Mustika. Produksi kerajinan keramik
Klampok ini bentuknya beragam dari yang fungsional sampai bentuk yang hanya
sebagai hiasan saja. Motif hiasan kerajinan Klampok yang banyak dipakai
adalah bunga-bungaan, tumbuh-tumbuhan,
hewan dan figur manusia. Yang menarik adalah dari kerajinan Klampok adalah
motif-motif pewayangan dan motif-motif batik. Keramik kerajinan di daerah ini
telah mengalami penyelarasan dengan budaya Indonesia asli, diman ragam hias
tersebut cukup menonjol dan laku dipasaran. Di samping itu produksi keramik
Klampok juga membuat motif bergaya Ming dari China, namun tiruannya sudah
dimodifikasi sedemikian rupa menjadi bentuk yang kelihatan baru.
Kiara Condong, Bandung, adalah
sentar industri rakyat yang cukup pantas untuk ditonjolkan. Tersebutlah nama
kakak beradik yaitu Itong dan Pakih yang menggeluti kerajinan keramik sejak
tahun 1930-an. Usaha pertamanya dimulai dari kota Garut, sekitar 60 km arah
selatan kota Bandung, dengan memproduksi piring, cangkir, celengan dan wadah
lainnya. Itong merasa kurang dan tidak puas dengan pekerjaannya, lalu pindah ke
Bandung dan bekerja diperusahaan keramik Boscha di jalan Braga milik Kolonial
Belanda. Disanalah Ia belajar sekaligus mengembangkan bakatnya. Pada tahun
1950, Itong mengajak saudaranya Pakih membuat pabrik keramik dengan modal
seadanya dan diberi nama “Itong Saputra”. Dari tahun ke tahun pesanan meningkat
diiringi jumlah karyawan bertambah pula. Pada akhirnya didirikanlah tempat
produksi (pabrik) di kampung Sukapura, Kiara Condong. Pada tahun 1970
bertebaranlah pusat produksi Itong sebanyak 12 pabrik, dan pengelolaannya
diserahkan kepada putra-putranya sebagai pucuk pimpinan secara terpisah, namun
masih di bawah satu nama. Diantara ke-12 pabrik itu ada yang dikelola oleh
cucu-cucu sang pendiri. Cucu Itong salah satu diantaranya bernama Didi
Iskandar, sejak usia 26 tahun dipercaya untuk mengelola sebuah pabrik keramik.
Bakat Didi dalam bisnis dan seni serta pengalamannya membuat banyak
kemajuan-kemajuan. Didi sering mengikuti
pameran lokal, nasional maupun internasional. Keramik hias produksinya banyak
dipengaruhi oleh para mahasiswa ITB yang praktek kerja ditempatnya dan juga
dari para seniman di Bandung, sehingga produksinya banyak diminati atau laris,
termasuk produksi barang-barang antik. Kontrak kerjasama dengan negeri Kincir Angin pun diperolehnya dan
seorang pengusaha dari Belanda mempromosikan hasil produksinya. Produksi kerajinan
keramik Kiara Condung sangat beragam, ada yang ala China, Jepang, Vietnam,
Thailand, Khmer, Eropa dan tradisional Indonesia serta kreasi-kreasi baru.
Salah satu perusahaan keramik yang juga meningkat produksinya adalah milik Nunu
Iskandar, perusahaan ini mendapat dorongan secara teknis maupun desain dari
mahasiswa ITB yang kerja praktek disana.
Perusahaan kerajinan atau
industri kecil keramik yang terdapat di Kecamatan Klojen atau Dinoyo, Malang,
Jawa Timur ini, terdapat 10 perusahaan
dan beberapa unit usaha kecil lainnya. Kesepuluh perusahaan keramik itu adalah
“Djoko Suheri”, “Keramik Unit Betek II”, “Keramik Pendowo” atau “Rowie”,
“Keramik Rakyat” atau ‘Moch. Syai’un”, “Keramik Sukardi”, “Keramik Dinoyo”,
“Keramik Tanah Agung”, “Keramik Syamsuri”, ‘Keramik Loso”, dan “Keramik
Ngatimun”. Sebagai daerah penghasil keramik yang cukup kondang, Dinoyo yang
terletak 5 km arah barat kota Malang ini pada awal mulanya merupakan usaha
kecil-kecilan yang dirintis sejak tahun 1950-an. Haji Achmad Rowie adalah
perajin kawakan dari Dinoyo, yang pada tahun 1943 (Zaman Jepang) sudah membantu
orang tuanya membuat keramik yang sudah berglasir. Usaha orang tua Rowie
bertahan sampai tahun 1958, karena terpengaruh suasana revolusi dan meninggal.
Sejak itulah pekerjaan orang tuanya diambil alih oleh Rowie beserta keempat
saudaranya yang berhasil melanjutkan produksi seperti vas bunga, asbak, pot,
guci dan peralatanh rumah tangga. Awal tahun 1960-an mulai tumbuh beberapa perajin
di Dinoyo-Klojen. Apalagi disini pula didirikan perusahaan negara
“Perindustrian Keramik Rakyat” yang memproduksi isolator listrik. Pabrik inilah yang kemudian menjal bahan mentah
untuk digarap perajin hingga menjadi barang setengah jadi dan dibeli kembali
oleh perusahaan negara ini untuk difinishing menjadi barang siap pakai. Namun
pada tahun 1965 banyak perusahaan keramik yang gulung tikar dilanda revolusi,
disamping itu sulit mendapatkan bahan bakar minyak. Usaha Rowie mulai bangkit
kembali tahun 1966 sejak pemerintah RI menggelindingkan REPELITA. Sejak saat
itulah angin segar membangkitkan semangat perajin dan pengusaha untuk
mengembangkan usahanya. Pemerintah RI memberi
pekerjaan kepada pengusaha kerajinan di daerah ini untuk memproduksi
penyimpul kawat instalasi listrik, sehingga mampu membantu perajin dalam
pengembangan usaha keramik dan menghidupi para pekerja. Perkembangan kerajinan keramik Dinoyo cukup
pesat, sehingga tidak lagi tergantung kepada perusahaan negara dan berusaha
mencari pangsa pasar sendiri bersaing dengan produksi pabrik industri besar.
Keadaan ini tidaklah berlangsung lama, setelah sistem pelistrikan terjadi
perubahan dengan tambahan bahan lain atau alat lain yang rumit dan berstandar
khusus, yang semuanya diluar jangkauan pengetahuan
perajin Dinoyo. Maka dengan adanya kenyataan seperti itu, pada akhirnya banyak
pengusaha mengalihkan jenis produksi dari isolator
ke jenis keramik hias. Dengan perubahan-perubahan jenis produksi inilah
kemudian Departemen Perindustrian mendirikan Unit Pelayanan Teknis (UPT) pada
tahun 1979 dengan biaya sekitar 2 milyar rupiah bantuan Bank Dunia. Proyek
Sarana Peningkatan dan Pengembangan Industri Keramik (PSP2IK) ini dilengkapi
oleh mesin-mesin pengolah buatan Perancis. Tujuan UPT ini adalah untuk
meningkatkan produksi keramik; Mengatasi kondisi pasok bahan baku yang tidak
menentu; Melaksanakan pendidikan dan latihan; Pembinaan perajin dan
meningkatkan struktur industri terkait dari yang kecil,menengah dan besar. Produksi keramik Dinoyo selain bentuk yang
sudah umum, juga meniru keramik gaya China dan menggabungkannya denga gaya
Eropa terutama dengan gaya Delf (Belanda), yaitu hiasan warna biru, hijau dan
coklat. Pasaran keramik Dinoyo adalah kota-kota besar di Indonesia sampai
keluar negeri seperti Australia, Belanda, Singapura dan Jepang. Kini yang
menjadi keluhan perajin adalah sempitnya lahan, dilarang menambah tungku (oven)
minyak yang berdekatan dengan perumahan penduduk yang menyebabkan polusi udara.
Tungku gas atau listrik belum banyak dikenal perajin sebagai salah satu usaha
mengurangi polusi udara. Sementara permintaan terus mengalir dan mereka
terdesak oleh pengembangan kampus Universitas Brawijaya dan proyek perumahan.
UPTK memproduksi bahan baku keramik sebanyak 6o ton, dan hanya 20 ton yang
terserap perajin, selebihnya dibeli oleh perajin dari daerah lain seperti Bali,
jateng, Manado, Lombok dan Bandung. Permintaan terus meningkat dan memproduksi
bahan lebih dari 300 ton perbulannya. Hanya perusahaan seperti yang dipimpin
Rowie yaitu “Pendowo” dan perusahaan “Tanah Agung” yang dipimpin Ngadiman yang
masih memanfaatkan hasil UPTK, selain itu para pengusaha mengolah sendiri
bahan-bahan bakunya.
Daerah penghasil gerabah yang
menonjol di Bali adalah Pejaten di
Kabupaten Tabanan; Pering, Prangsada dan Bedulu di Kabupaten Gianyar; Tojan di
Kabupaten Klungkung; Jasi dan Subagan di Kabupetan Karangasem; Bunutin di
Kabupaten Bangli; Banyuning di Kabupaten Buleleng; Banyubiru dan Melaya di
Kabupaten Jembrana dan Kapal dan Binoh di Kodya Denpasar. Berlangsungnya
pembuatan gerabah tradisi di Bali ini karena diperlukan sebagai sarana
peribadatan agama Hindu. Barang-barang gerabah dari tanah liat ini tidak dapat
digantikan dengan bahan lain seperti plastik, alumunium, seng dan lainnya
kecuali oleh emas, terutama dalam upacara ngaben dimana barang gerabah akan
dipecahkan dalam upacara tersebut. Menurut beberapa sumber pendeta Hindu,
dikatakan bahwa “gerabah” mengandung unsur-unsur seperti tanah, air dan api,
yang bermakna bahwa manusia berasal dari tanah dan hidup dengan air dan matinya
dibakar dengan api (ngaben).
Disamping itu patung gerabah diperlukan untuk pemujaan yang diungkapkan melalui
tokoh-tokoh pewayangan, dewa-dewi dan tokoh-tokoh sakti lainnya. Juga keperluan
rumah tangga sehari-hari masih diperlukan seperti gentong atau Jedding, payuk (periuk), coblong (mangkuk), Caratan (kendi), dulang (tempat buah/sesajen). Sentra-sentra pembuatan
gerabah di Bali sebanyak 27 lokasi. Yang menarik dari cara pembuatan gerabah
tradisional di Bali, seolah-olah perajin menari-nari dalam mengendalikan
gumpalan tanah yang yang tidak senter ditengah-tengah atau pada as-nya dan
diputar melalui goyangan perut atau paha. Teknik yang diperkirakan peninggalan
masa lalu itu (pra-sejarah) hanya dilakukan oleh wanita tua yang lanjut
usianya, dan bagi kaum muda hal tersebut sudah ditinggalkan.
Keramik Kerajinan sudah lebih cukup maju di Bali, terdapat di sentra-sentra
produksi seperti di Kabupaten Tabanan sebanyak 21 perusahaan yang berada di
daerah Pejaten ; Kabupaten Badung ada sekitar 19 usaha di daerah Kapal; Kabupaten Buleleng ada 5 pengusaha di daerah Banyuning;
Kabupaten Gianyar ada 15 pengusaha di Ubud, Blahbatuh dan Bedulu; Kabupaten
Karangasem terdapat 10 pengusaha yang berada di daerah Jasi dan
Kodya Denpasar terdapat 15 pengusaha
yang tersebar di dalam Kota. Perusahaan kerajinan keramik tersebut
diantaranya adalah “Jati Agung” , CV.
Bali Permata, PT. Jenggala Keramik, CV. Bali Keramik , UD. Merta sedana,
UD. Trinadi, “Tantri Keramik”, CV.
Keramik Pejaten, UD. Sadia, PT. Bali
Moon, UD. Pertiwi UD. Meryri Ceramic,
UD. Alus, UD. Indah Karya, Calu’X Ceramics, CV. Cicak atau Studio Keramik “Cik
Cak”, “Keramik Beji”, “Bali Pot Ceramic”, “Tana Mera”, “Mangku Banyuning” ,
“Keramik Binoh” dan masih banyak lagi yang lainnya.
Perajin seperti Made Tegeg yang
akrab dipanggil Pan Sadia, adalah
perajin berasal dari Basangtamiang, Kelurahan Kapal, Badung, telah memegang
sertifikat penghargaan Gubernur Bali, Prof. DR. Ida Bagus Mantra dan
“Upakarti”, atas usahanya memajukan keramik tradisional. Perajin yang cukup
kondang lainnya di Pejaten adalah I
Wayan Kuturan, bertempat tinggal di Banjar Pangkung, Kecamatan Kediri,
Tabanan, tepatnya 10 km kearah selatan dari Kecamatan Kediri. Pria lulusan SD
tahun 1966, sejak kecil sudah menekuni pembuatan keramik tradisional yaitu
pembuatan patung yang diterapkan dipuncak bangunan suci (Kelentingan) dan peralatan upacara dari leluhurnya. Dimulai tahun 1963, sepulang sekalah ia
membantu keluarganya membuat peralatan upacara sambil membuat sesuatu yang baru
berupa patung manusia khas Bali yang dibuat sederhana agak lucu memenuhi
sudut-sudut rumahnya. Suatu ketika kedatangan seorang pelukis bernama Kay It, turut berkecimpung dalam
pembuatan seni kerajinan gerabah, memberikan banyak inspirasi dan masukan
berharga bagi Kuturan, dimana proporsi dan aksen artistik mulai diterapkan. Kay
It turut membantu pemasaran dan akhirnya gaya “kuturan” 2005 lalu kuturan
memperoleh penghargan “Anugrah Riset Kebangkitan Tenologi” dari pemerintah Republik
Indonesia (lihat Kliping Bali Post, 3-9-2005).menjadi tradisi masyarakat
sekitarnya, ditiru oleh perajin yang disebut sebagai “gaya Kuturan”, yang
banyak dimanfaatkan sebagai pelengkap taman (eksterior) di hotel-hotel di Bali. Banyak wisatawan membelinya dan
sebagai komoditi ekspor, seperti ke Australia, New Zeland, Belanda, Italia,
Jerman, Inggris dan Perancis.Produksi keramik Bali ada berbentuk barang kebutuhan rumah tangga,
peralatan makan-minum untuk Hotel dan Restoran, keperluan eksterior dan bangunan serta pertamanan, hiasan, patung,
wadah-wadah, cenderamata, aksesories dan keperluan ekspor. Gerabah Bali mengalami “booming” pada tahun 1980 sanpai dengan 1990-an,
sehingga pemerintah merintis pembentukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Seni
Keramik dan Porselin Bali (P3SKP). Benda hias dan cenderamata menjadi andalan
karena menunjang pariwisata. Banyak memanfaatkan hiasan tradisional Bali dan
mereka sadar menjual nama Bali dan yang sedang nge-trend di mancanegara yaitu dengan menempelkan “trade mark Bali” hasil produksinya sampai dikenal di luar negeri. Lukisan
gaya Ubud dan Batuan serta ukiran khas Bali banyak menghiasi piring dan
bentuk-bentuk wadah lainnya, seperti guci, gentong, vas dan lainnya. Para perajin dan usaha kecil kerajinan
keramik di Bali banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta latihan
menyangkut teknologi keramik, desain dan proses pengembangan usaha dari BPPT-UPT
PSTKP Bali, PT. Sucofindo, PSSRD Universitas Udayana, Deperindag Bali, Dekranas
Bali dan Instansi lainnya. Desa Pejaten pernah memperoleh bantuan yang bersifat kemanusiaan dan tidak
mengikat dari Belanda yang dikenal dengan Humanistic
Institute for Co Operation With Developing
Countries. Pemerintah Belanda
juga memdrop peralatan keramik bakaran madya yang dibelikan di Singapura
sebanyak 11 unit lengkap dengan tungku dan seorang tenaga ahli keramik
kebangsaan Belanda yang bernama Hester Tjebes
untuk membina perajin Pejaten. Sebanyak 43 orang dididik yang tergabung dalam
Koperasi Keramik Pejaten, terutama menyangkut pembuatan dan pengolahan bahan,
teknik pembentukan, teknik pembakaran, pembuatan glasir, pembuatan desain, dan
segala sesuatu menyangkut produksi dan manajemen. I
Made Tantri, perintis pengusaha keramik dari Desa Pejaten, Kecamatan
Kediri, Kabupaten Tabanan-Bali, yang juga memiliki Show Room “Legong Bali” di
Bona Indah Garden Blok A2/1 Jakarta Selatan ini, pada tanggal 10 Desember tahun
1986 lalu memperoleh Penghargaan dari Presiden RI berupa “Upakarti” atas
usahanya memajukan kerajinan keramik tradisional. Karya-karya yang terhimpun
dalam Koperasi yang dipimpinnya banyak yang dipamerkan dan diekspor ke negara-negara Eropa dengan
menonjolkan dekorasi motif tradisional yang telah diglasir.
Desa Kasongan terletak 7 km dari
pusat kota Yogyakarta. Gerabah Kasongan sampai tahun 1969, masih mengikuti pola
lama, seperti membuat anglo, pot, jembangan, celengan dan alat rumah tangga
pada umumnya dipedesaan. Sejak tahun 1970-an mendapat perhatian masyarakat
disekitarnya, penyuluhan dan latihan datang dari para seniman dan akademisi.
Akhirnya keramik kerajinan Kasongan tidak asing lagi karena bentuk dan
hiasannya terlihat sangat khas, juga produknya telah banyak tersebar dan
terjual di berbagai daerah kota besar. Desa Kasongan yang berada di wilayah
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta ini sudah menjadi Desa Pariwisata
dimana hasil keramik daerah ini dengan memanfaatkan peralatan sederhana memiliki ciri khas tersendiri
dan sudah ada yang diekspor. Pada awal mulanya daerah ini sama dengan
daerah lainnya memproduksi keramik tradisi berupa peralatan rumah tangga
sederhana seperti kendi, celengan, pot, gentong, periuk dan lainnya. Kemudian
mengalami perubahan setelah banyak mahasiswa ASRI dan para seniman hadir disana
membuat karya seni. Yang mendorong perkembangan keramik Kasongan secara
perorangan adalah Seniman (Pelukis) seperti Sapto Hudoyo yaitu memesan barang keramik dengan membawa contoh gambar / lukisan kuda,
yang dibawanya pertama kali yang diterapkan dengan teknik ukir-tempel, sehingga
menjadi corak atau gaya keramik kasongan
seperti sekarang ini, menjadi tradisi masyarakatnya.Bentuk patung keramik yang
khas tersebut berupa binatang gajah, ular naga, kambing, garuda, kuda, kodok,
singa, angsa dan gabungan bentuk-bentuk binatang. Yang tak kalah berarti lagi
pada tahun 1970-an adalah seorang pengusaha tanaman hias yang kebetulan seorang
peneliti (akademisi) yaitu Ir.
Suliantoro Sulaiman banyak memesan jenis pot hias bersama perkumpulannya
yaitu Mayangsari untuk dipromosikan, sehingga turut andil
dalam memajukan kerajinan didaerah ini, di samping membantu penelitian tanah
liat yang lebih baik untuk dimanfaatkan perajin. Bimbingan dan latihan dari
lembaga terkait juga sering dilakukan, baik dari perguruan tinggi seni (ASRI
waktu itu) tentang desain maupun Departemen Perindustrian DIY. Banyak turis asing
yang berdatangan ke Kasongan dan produk-produknya dipasarkan dikota-kota besar
di Indonesia. Bahkan menjadi komoditi ekspor seperti ke Amerika, Perancis,
Balanda, Australia, Jepang, Philipina dan Singapura. Konon yang terbesar
pesanan dari Australia dan Jepang. Pada akhir-akhir ini ada yang berbentuk
primitif, seperti asmat atau agak abstrak dan berkesan aneh. Perajin seperti
Temu, Tarji, Buang, Manto, Sunar, Hartono dan lainnya berusaha untuk peka
terhadap selera pasar dan siap berinovasi sesuai dengan selera, juga siap
menerima pesanan sebagai “seni ladenan”. Sekitar 250 lebih terdapat unit usaha
di daerah ini. Di daerah Kasongan hampir sebagaian besar penduduknya kemudian
menjadi perajin keramik, ada yg jadi tukang dan pengusaha keramik.
Desa Tegowanuh berada di daerah
Temanggung, Jawa tengah, suatu daerah yang agak terpencil, sekitar 5 km dari
pinggiran kota. Daerah ini menghasilkan gerabah jembangan, kuali, kendi (ada
yang 3 corot), pot bunga dan bentuk peralatan rumah tangga lainnya.
dan Wahono yang telah mengikuti
pendidikan di Bentuk gerabah sedikit banyak memperoleh pengaruh dari keramik
Kasongan. Selain itu banyak memperoleh bimbingan Sapto Hudoyo secara khusus, namun masih terdapat banyak kendala
untuk mengembangkannya, baik secara teknis maupun permodalan. Masih di
Temanggung, ada pula gerabah hasil produksi Desa Kundisari, Kecamatan Kedu,
yang sama dengan yang ada di Tegowanuh. Perajin gerabah yang aktif adalah
Suwandi Maguwoharjo Yogyakarta yanitu
membuat keramik hiasan. Kundisari memperoleh bantuan tungku dari Departemen
Perindustrian, disini terdapat 75 unit usaha, namun pemasaran belum mulus hanya
konsumsi lokal saja.
Di daerah Klampok, Banjarnegara, Jawa Tengah, terdapat empat pengusaha kecil kerajinan keramik yang cukup menonjol, disamping beberapa usaha kecil lainnya. Diantaranya yang terkenal adalah “Keramik Meandalai” yang terletak ditepi jalan Pertanian 17 / IV Desa Klampok sekitar 30 km ke arah barat daria kota Banjarnegara. Perusahaan lainnya adalah PT. Keramika Banjarnegara, Usaha Karya dan Mustika. Produksi kerajinan keramik Klampok ini bentuknya beragam dari yang fungsional sampai bentuk yang hanya sebagai hiasan saja. Motif hiasan kerajinan Klampok yang banyak dipakai adalah bunga-bungaan, tumbuh-tumbuhan, hewan dan figur manusia. Yang menarik adalah dari kerajinan Klampok adlah motif-motif pewayangan dan motif-motif batik. Keramik kerajinan di daerah ini telah mengalami penyelarasan dengan budaya Indonesia asli, diman ragam hias tersebut cukup menonjol dan laku dipasaran. Di samping itu produksi keramik Klampok juga membuat motif bergaya Ming dari China, namun tiruannya sudah dimodifikasi sedemikian rupa menjadi bentuk yang kelihatan baru.
Di daerah Klampok, Banjarnegara, Jawa Tengah, terdapat empat pengusaha kecil kerajinan keramik yang cukup menonjol, disamping beberapa usaha kecil lainnya. Diantaranya yang terkenal adalah “Keramik Meandalai” yang terletak ditepi jalan Pertanian 17 / IV Desa Klampok sekitar 30 km ke arah barat daria kota Banjarnegara. Perusahaan lainnya adalah PT. Keramika Banjarnegara, Usaha Karya dan Mustika. Produksi kerajinan keramik Klampok ini bentuknya beragam dari yang fungsional sampai bentuk yang hanya sebagai hiasan saja. Motif hiasan kerajinan Klampok yang banyak dipakai adalah bunga-bungaan, tumbuh-tumbuhan, hewan dan figur manusia. Yang menarik adalah dari kerajinan Klampok adlah motif-motif pewayangan dan motif-motif batik. Keramik kerajinan di daerah ini telah mengalami penyelarasan dengan budaya Indonesia asli, diman ragam hias tersebut cukup menonjol dan laku dipasaran. Di samping itu produksi keramik Klampok juga membuat motif bergaya Ming dari China, namun tiruannya sudah dimodifikasi sedemikian rupa menjadi bentuk yang kelihatan baru.
Bali Post 3-9-2005
Email: goesmul@gmail.com / Hidup dan Seni / blogspot.goesmul.com / agusmulyadiutomo@yahoo.co.id |
| |||
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus