Laman

Kamis, 01 Maret 2012

Hasil Kerajinan dan Industri Kecil Keramik di IndonesiaHasil Kerajinan dan Industri Kecil Keramik

              
Hasil Kerajinan dan Industri Kecil Keramik Indonesia
oleh Agus Mulyadi Utomo

                Keramik industri yang bukan padat modal, pada mulanya berangkat dari usaha kecil kerajinan atau industri rumah tangga, seperti di Singkawang- Kalimantan Barat, di Plered - Jawa Barat, di Dinoyo - Malang-Jawa Timur, di Klampok-Jawa Tengah, di Kapal dan Pejaten - Tabanan-Bali, di Kayu agung -Palembang, di Manatuto-Timtim, di Tegowanuh-JawaTengah, di Banyumulek–Lombok-NTB, Bima-NTB, Mayong-Jepara dan lain sebagainya. Pada umumnya industri kecil dan menengah tersebut memproduksi barang-barang gerabah, stoneware dan porselin. Ada yang mengambil bentuk  flora-fauna dan tradisional  seperti batik-batikan, tumpal, pilin berganda, primitif, ukir-ukiran, swastika, kaligrafi, pepatran, legenda, ceritra rakyat dan pewayangan atau meniru bentuk-bentuk keramik asing seperti dari China, Jepang, Philipina, Vietnam, Belanda, Maxico dan Eropa lainnya.
  
                Singkawang merupakan lokasi perkeramikan terbesar di Kalimantan Barat, selain di Siantan. Di Singkawang terdapat tujuh perusahaan, namun yang aktif empat saja dan yang lainnya tenggelam karena kongkurensi kongkurensi dalam dunia usaha. Desa Sa Liung, Kecamatan Sedau, Singkawang sekitar 140 km sebelah utara dari Pontianak sudah lama dikenal sebagai pabrik keramik antik gaya China. Tungku yang dipergunakan adalah tungku “Naga”, sama seperti yang dilakukan pada abad ke-16 di Daratan China. Menurut cerita yang berkembang,  di daerah ini sudah mulai produksi pada abad ke-17 saat imigran China menetap di Kalimantan yang datang dari Guangdong, Fujian, Juangsu China Selatan. Selain membawa keramik jadi juga imigran ini membawa ketrampilan mengolah bahan keramik dan mewujudkannya. Sekarang keturunan imigran ini masih ada yang berkutat dengan tungku “Naga”.  Desa Sakok atau Tanjung Batu, kurang lebih 7 km sebelah timur laut Singkawang, terdapat tungku “Naga” atau Dragon Kiln yang didirikan tahun 1935 dan mengalami beberapakali perombakan dan perbaikan. Seperti halnya di Sa Liung atau Padang Pasir, Sakok, memproduksi tiruan keramik kuno gaya China, tempayan atau martaban, mangkuk, jembangan dan guci yang bergaya Ming. Salah satu pemilik perusahaan  yang bernama Ten  Sen Siur, bertempat tinggal di Jalan Pasar Ikan 158 Singkawang. selain di Siantan. Di Singkawang terdapat tujuh perusahaan, namun yang aktif empat saja dan yang lainnya tenggelam. Di Singkawang juga memproduksi pot, vas bunga, piring, serta bentuk tokoh yang mereka keramatkan berupa patung Kung-Tse. Hiasan naga dan bentuk awan sedikit stilistis sampai bentuk meander dengan teknik under-glaze. Keramik antik gaya China produksi Singkawang yang mirip dengan aslinya banyak di ekspor ke Hongkong, Singapura dan Eropa atas permintaan jaringan perdagangan barang antik. Disamping keluar negeri, pasarannya juga di kota-kota besar dalam negeri.

 Keramik Singkawang Terdesak China

Keramik Singkawang Terdesak China

SINGKAWANG, KOMPAS - Dalam setahun terakhir, kerajinan keramik Singkawang, Kalimantan Barat, terpuruk karena tidak bisa bersaing dengan produk sejenis dari China. Padahal, kerajinan Keramik Singkawang pernah menjadi produk ekspor ke Malaysia dan Filipina. Para perajin di sentra kerajinan keramik yang terpusat di Kelurahan Sedau, Singkawang Selatan, itu umumnya sudah tidak berproduksi lagi. Hari Selasa (1/3, 2011), para perajin tinggal memajang sisa keramik yang belum terjual. Alan (40), pemilik sentra usaha keramik Dinamis mengatakan, penurunan produksi terus terjadi dalam empat tahun terakhir akibat sepinya permintaan. ”Jangankan untuk ekspor, untuk masuk ke pasar lokal Kalimantan saja sekarang sulit. Tak ada pilihan selain menghentikan produksi,” tuturnya. Kerajinan keramik Singkawang umumnya berwujud tempayan, pot, dan berbagai suvenir. Kerajinan keramik Singkawang memiliki motif yang khas, didominasi naga. Harga kerajinan keramik Singkawang bervariasi, mulai dari Rp 300.000 hingga Rp 3 juta per satuan. Ketika permintaan masih bagus, selain diekspor, kerajinan keramik Singkawang juga dipasok ke Pontianak, Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat, hingga ke Banjarmasin di Kalimantan Selatan. ”Sejak ekspor turun, kami berusaha menjaga pasar lokal. Namun, setiap kali kami menanyakan kepada pemilik galeri di beberapa kota di Kalimantan, mereka selalu menjawab bahwa sekarang sulit sekali menjual kerajinan keramik Singkawang,” papar Alan. Alan menduga konsumen lebih menyukai produk China yang lebih halus. ”Kerajinan keramik Singkawang dibuat secara tradisional sehingga hasilnya berbeda dengan produksi China,” kata Alan. Semoi (50), pemilik sentra kerajinan keramik Sinar Terang, mengaku sama sekali tidak memproduksi kerajinan keramik Singkawang sejak tiga bulan lalu. ”Walaupun permintaan sedikit, saya tetap berusaha memproduksi kerajinan keramik. Apalagi, ada empat karyawan yang sudah lama bekerja. Namun, belakangan bahan baku tanah yang bagus makin sulit diperoleh. Kalaupun ada, keramik mudah pecah,” ungkapnya.
              
      Plered terletak daerah Purwakarta,  Jawa Barat, memang tidak asing lagi bagi penggemar keramik hias di tanah air. Salah satu perusahaan yang dipimpin Asep Abu Bakar dari PT. Asep Kwalita Keramik (AKK), mempunyai potensi besar dan telah masuk persaingan pasar Dunia. Perusahaan ini mengandalkan corak dan desain yang baru dan terus-menerus dikembangkan, dengan telah diakuinya daerah Plered sebagai pemasok bahan baku yang melimpah dengan bahan tanah Desa Citeko yang cukup baik mutunya. Di Citeko banyak berdiri pabrik genteng dan bata dengan menyerap tenaga wanita  cukup banyak. Keberadaan Pusat Pelayanan Keramik Plered, yang berada di bawah Kadin (Kamar Dagang Indonesia) Jabar ini yang berfungsi melayani Ekspor Nasional (BPEN), banyak pengusaha Belanda datang atau membantu para pengusaha dan perajin dalam memperoleh bahan baku dan informasi tentang keramik serta pendidikan manajemen.  Tersebutlah nama pengusaha yaitu Asep Abu Bakar yang memperoleh penghargaan “Upakarti”  tahun 1989 dan sering mengikuti pameran industri kecil di dalam maupun luar negeri. Promosi-promosi produk yang dilakukan Asep tidak sia-sia dan pada tahun 1985 banyak rombongan pembeli  yang datang ke Plered. Setelah Pameran di Belanda atas prakarsa Badan Pengembangan ke daerah ini dan meminta pengiriman barang secara rutin. PT. Asep Kwalita Keramik (AKK)  merupakan usaha patungan dengan “Asep Art Shop” dengan PT. Kwalita Eksporindo (anak perusahaan PT. Semen Cibinong). Terdapat nama Samani, seorang pekerja atau buruh keramik  sejak tahun 1953. Ia kemudian merintis sebagai pengusaha sejak tahun 1983 sampai 1985. Samani mengikuti lomba keramik internasional di Taman Mini Indonesia Indah dan berhasil menjadi juara pertama, sehingga Ia semakin terkenal dan produksi keramiknya  mengalami peningkatan drastis. Karena Samani kekurangan tenaga trampil, pada tahun 1987 mendirikan semacam kursus singkat atau sekolah keramik yang menampung pemuda putus sekolah. Anak didik Samani sebanayk 6 orang telah berhasil mendirikan usaha sendiri serta bergabung dalam “Kelompok Usaha Keramik Samani” atau KUKS. Ketika mengikuti pameran di Balai Sidang Senayan Jakarta, keramik kerajinan hasil Samani mendapatkan perhatian Wakil Presiden (ketika itu dijabat Sudarmono) dan berjanji untuk mengunjungi Plered  dan tahun 1989 terpenuhi. Samani, salah seorang produsen keramik Plered itu kemudian memperoleh penghargaan “Upakarti” dari pemerintah tahun 1990, dengan membantu masyarakat dengan sistem magang diperusahaannya. Dua orang perintis keramik Plered seperti Asep Abu Bakar dan Samani perlu dicatat perjuangannya, sehingga keramik Plered telah berubah hingga sampai sekarang ini, kerajinan tersebut pemasarannya telah meluas ke berbagai pelosok tanah air. Kerajinan Plered bentuknya cukup beragam dan banyak dipengaruhi seniman akademis dari ITB, IKJ dan para mahasiswa yang praktek kerja di daerah ini. Untuk mendukung perkeramik di Plered, pada tahun 1975 BIPIK mendirikan Unit Percontohan Keramik dan lima tahun kemudian mendirikan Unit Pelayanan Teknis, yang menyediakan bahan baku tanah liat yang telah diolah serta bahan glasir siap pakai.
  
               Di daerah  Klampok, Banjarnegara, Jawa Tengah,   terdapat empat pengusaha kecil kerajinan keramik yang cukup menonjol, disamping beberapa usaha kecil lainnya. Diantaranya yang terkenal adalah “Keramik Meandalai” yang terletak ditepi jalan Pertanian 17 / IV Desa Klampok sekitar 30 km ke arah barat dari kota Banjarnegara.  Perusahaan lainnya adalah PT. Keramika Banjarnegara, Usaha Karya dan Mustika. Produksi kerajinan keramik Klampok ini bentuknya beragam dari yang fungsional sampai bentuk yang hanya sebagai hiasan saja. Motif hiasan kerajinan Klampok yang banyak dipakai adalah  bunga-bungaan, tumbuh-tumbuhan, hewan dan figur manusia. Yang menarik adalah dari kerajinan Klampok adalah motif-motif pewayangan dan motif-motif batik. Keramik kerajinan di daerah ini telah mengalami penyelarasan dengan budaya Indonesia asli, diman ragam hias tersebut cukup menonjol dan laku dipasaran. Di samping itu produksi keramik Klampok juga membuat motif bergaya Ming dari China, namun tiruannya sudah dimodifikasi sedemikian rupa menjadi bentuk yang kelihatan baru.
               Kiara Condong, Bandung, adalah sentar industri rakyat yang cukup pantas untuk ditonjolkan. Tersebutlah nama kakak beradik yaitu Itong dan Pakih yang menggeluti kerajinan keramik sejak tahun 1930-an. Usaha pertamanya dimulai dari kota Garut, sekitar 60 km arah selatan kota Bandung, dengan memproduksi piring, cangkir, celengan dan wadah lainnya. Itong merasa kurang dan tidak puas dengan pekerjaannya, lalu pindah ke Bandung dan bekerja diperusahaan keramik Boscha di jalan Braga milik Kolonial Belanda. Disanalah Ia belajar sekaligus mengembangkan bakatnya. Pada tahun 1950, Itong mengajak saudaranya Pakih membuat pabrik keramik dengan modal seadanya dan diberi nama “Itong Saputra”. Dari tahun ke tahun pesanan meningkat diiringi jumlah karyawan bertambah pula. Pada akhirnya didirikanlah tempat produksi (pabrik) di kampung Sukapura, Kiara Condong. Pada tahun 1970 bertebaranlah pusat produksi Itong sebanyak 12 pabrik, dan pengelolaannya diserahkan kepada putra-putranya sebagai pucuk pimpinan secara terpisah, namun masih di bawah satu nama. Diantara ke-12 pabrik itu ada yang dikelola oleh cucu-cucu sang pendiri. Cucu Itong salah satu diantaranya bernama Didi Iskandar, sejak usia 26 tahun dipercaya untuk mengelola sebuah pabrik keramik. Bakat Didi dalam bisnis dan seni serta pengalamannya membuat banyak kemajuan-kemajuan.  Didi sering mengikuti pameran lokal, nasional maupun internasional. Keramik hias produksinya banyak dipengaruhi oleh para mahasiswa ITB yang praktek kerja ditempatnya dan juga dari para seniman di Bandung, sehingga produksinya banyak diminati atau laris, termasuk produksi barang-barang antik. Kontrak kerjasama dengan negeri Kincir Angin pun diperolehnya dan seorang pengusaha dari Belanda mempromosikan hasil produksinya. Produksi kerajinan keramik Kiara Condung sangat beragam, ada yang ala China, Jepang, Vietnam, Thailand, Khmer, Eropa dan tradisional Indonesia serta kreasi-kreasi baru. Salah satu perusahaan keramik yang juga meningkat produksinya adalah milik Nunu Iskandar, perusahaan ini mendapat dorongan secara teknis maupun desain dari mahasiswa ITB yang kerja praktek disana. 

                Perusahaan kerajinan atau industri kecil keramik yang terdapat di Kecamatan Klojen atau Dinoyo, Malang, Jawa Timur ini,  terdapat 10 perusahaan dan beberapa unit usaha kecil lainnya. Kesepuluh perusahaan keramik itu adalah “Djoko Suheri”, “Keramik Unit Betek II”, “Keramik Pendowo” atau “Rowie”, “Keramik Rakyat” atau ‘Moch. Syai’un”, “Keramik Sukardi”, “Keramik Dinoyo”, “Keramik Tanah Agung”, “Keramik Syamsuri”, ‘Keramik Loso”, dan “Keramik Ngatimun”. Sebagai daerah penghasil keramik yang cukup kondang, Dinoyo yang terletak 5 km arah barat kota Malang ini pada awal mulanya merupakan usaha kecil-kecilan yang dirintis sejak tahun 1950-an. Haji Achmad Rowie adalah perajin kawakan dari Dinoyo, yang pada tahun 1943 (Zaman Jepang) sudah membantu orang tuanya membuat keramik yang sudah berglasir. Usaha orang tua Rowie bertahan sampai tahun 1958, karena terpengaruh suasana revolusi dan meninggal. Sejak itulah pekerjaan orang tuanya diambil alih oleh Rowie beserta keempat saudaranya yang berhasil melanjutkan produksi seperti vas bunga, asbak, pot, guci dan peralatanh rumah tangga. Awal tahun 1960-an mulai tumbuh beberapa perajin di Dinoyo-Klojen. Apalagi disini pula didirikan perusahaan negara “Perindustrian Keramik Rakyat” yang memproduksi isolator listrik. Pabrik inilah yang kemudian menjal bahan mentah untuk digarap perajin hingga menjadi barang setengah jadi dan dibeli kembali oleh perusahaan negara ini untuk difinishing menjadi barang siap pakai. Namun pada tahun 1965 banyak perusahaan keramik yang gulung tikar dilanda revolusi, disamping itu sulit mendapatkan bahan bakar minyak. Usaha Rowie mulai bangkit kembali tahun 1966 sejak pemerintah RI menggelindingkan REPELITA. Sejak saat itulah angin segar membangkitkan semangat perajin dan pengusaha untuk mengembangkan usahanya. Pemerintah RI memberi  pekerjaan kepada pengusaha kerajinan di daerah ini untuk memproduksi penyimpul kawat instalasi listrik, sehingga mampu membantu perajin dalam pengembangan usaha keramik dan menghidupi para pekerja.  Perkembangan kerajinan keramik Dinoyo cukup pesat, sehingga tidak lagi tergantung kepada perusahaan negara dan berusaha mencari pangsa pasar sendiri bersaing dengan produksi pabrik industri besar. Keadaan ini tidaklah berlangsung lama, setelah sistem pelistrikan terjadi perubahan dengan tambahan bahan lain atau alat lain yang rumit dan berstandar khusus,  yang semuanya diluar jangkauan pengetahuan perajin Dinoyo. Maka dengan adanya kenyataan seperti itu, pada akhirnya banyak pengusaha mengalihkan jenis produksi dari isolator ke jenis keramik hias. Dengan perubahan-perubahan jenis produksi inilah kemudian Departemen Perindustrian mendirikan Unit Pelayanan Teknis (UPT) pada tahun 1979 dengan biaya sekitar 2 milyar rupiah bantuan Bank Dunia. Proyek Sarana Peningkatan dan Pengembangan Industri Keramik (PSP2IK) ini dilengkapi oleh mesin-mesin pengolah buatan Perancis. Tujuan UPT ini adalah untuk meningkatkan produksi keramik; Mengatasi kondisi pasok bahan baku yang tidak menentu; Melaksanakan pendidikan dan latihan; Pembinaan perajin dan meningkatkan struktur industri terkait dari yang kecil,menengah dan besar.  Produksi keramik Dinoyo selain bentuk yang sudah umum, juga meniru keramik gaya China dan menggabungkannya denga gaya Eropa terutama dengan gaya Delf (Belanda), yaitu hiasan warna biru, hijau dan coklat. Pasaran keramik Dinoyo adalah kota-kota besar di Indonesia sampai keluar negeri seperti Australia, Belanda, Singapura dan Jepang. Kini yang menjadi keluhan perajin adalah sempitnya lahan, dilarang menambah tungku (oven) minyak yang berdekatan dengan perumahan penduduk yang menyebabkan polusi udara. Tungku gas atau listrik belum banyak dikenal perajin sebagai salah satu usaha mengurangi polusi udara. Sementara permintaan terus mengalir dan mereka terdesak oleh pengembangan kampus Universitas Brawijaya dan proyek perumahan. UPTK memproduksi bahan baku keramik sebanyak 6o ton, dan hanya 20 ton yang terserap perajin, selebihnya dibeli oleh perajin dari daerah lain seperti Bali, jateng, Manado, Lombok dan Bandung. Permintaan terus meningkat dan memproduksi bahan lebih dari 300 ton perbulannya. Hanya perusahaan seperti yang dipimpin Rowie yaitu “Pendowo” dan perusahaan “Tanah Agung” yang dipimpin Ngadiman yang masih memanfaatkan hasil UPTK, selain itu para pengusaha mengolah sendiri bahan-bahan bakunya.

            Daerah penghasil gerabah yang menonjol di Bali adalah Pejaten  di Kabupaten Tabanan; Pering, Prangsada dan Bedulu di Kabupaten Gianyar; Tojan di Kabupaten Klungkung; Jasi dan Subagan di Kabupetan Karangasem; Bunutin di Kabupaten Bangli; Banyuning di Kabupaten Buleleng; Banyubiru dan Melaya di Kabupaten Jembrana dan Kapal dan Binoh di Kodya Denpasar. Berlangsungnya pembuatan gerabah tradisi di Bali ini karena diperlukan sebagai sarana peribadatan agama Hindu. Barang-barang gerabah dari tanah liat ini tidak dapat digantikan dengan bahan lain seperti plastik, alumunium, seng dan lainnya kecuali oleh emas, terutama dalam upacara ngaben dimana barang gerabah akan dipecahkan dalam upacara tersebut. Menurut beberapa sumber pendeta Hindu, dikatakan bahwa “gerabah” mengandung unsur-unsur seperti tanah, air dan api, yang bermakna bahwa manusia berasal dari tanah dan hidup dengan air dan matinya dibakar dengan api (ngaben). Disamping itu patung gerabah diperlukan untuk pemujaan yang diungkapkan melalui tokoh-tokoh pewayangan, dewa-dewi dan tokoh-tokoh sakti lainnya. Juga keperluan rumah tangga sehari-hari masih diperlukan seperti gentong atau Jedding, payuk (periuk), coblong (mangkuk), Caratan (kendi), dulang  (tempat buah/sesajen). Sentra-sentra pembuatan gerabah di Bali sebanyak 27 lokasi. Yang menarik dari cara pembuatan gerabah tradisional di Bali, seolah-olah perajin menari-nari dalam mengendalikan gumpalan tanah yang yang tidak senter ditengah-tengah atau pada as-nya dan diputar melalui goyangan perut atau paha. Teknik yang diperkirakan peninggalan masa lalu itu (pra-sejarah) hanya dilakukan oleh wanita tua yang lanjut usianya, dan bagi kaum muda hal tersebut sudah ditinggalkan.
Keramik Kerajinan sudah lebih cukup maju di Bali, terdapat di sentra-sentra produksi seperti di Kabupaten Tabanan sebanyak 21 perusahaan yang berada di daerah Pejaten ; Kabupaten Badung ada sekitar 19 usaha di daerah Kapal;  Kabupaten Buleleng  ada 5 pengusaha di daerah Banyuning; Kabupaten Gianyar ada 15 pengusaha di Ubud, Blahbatuh dan Bedulu; Kabupaten Karangasem terdapat 10 pengusaha yang berada di daerah Jasi  dan  Kodya Denpasar terdapat 15 pengusaha  yang tersebar di dalam Kota. Perusahaan kerajinan keramik tersebut diantaranya adalah  “Jati Agung” , CV. Bali Permata, PT. Jenggala Keramik, CV. Bali Keramik , UD. Merta sedana, UD.  Trinadi, “Tantri Keramik”, CV. Keramik Pejaten,  UD. Sadia, PT. Bali Moon, UD. Pertiwi  UD. Meryri Ceramic, UD. Alus, UD. Indah Karya, Calu’X Ceramics, CV. Cicak atau Studio Keramik “Cik Cak”, “Keramik Beji”, “Bali Pot Ceramic”, “Tana Mera”, “Mangku Banyuning” , “Keramik Binoh” dan masih banyak lagi yang lainnya. 
 Perajin seperti Made Tegeg yang akrab dipanggil Pan Sadia, adalah perajin berasal dari Basangtamiang, Kelurahan Kapal, Badung, telah memegang sertifikat penghargaan Gubernur Bali, Prof. DR. Ida Bagus Mantra dan “Upakarti”, atas usahanya memajukan keramik tradisional. Perajin yang cukup kondang lainnya di Pejaten adalah I Wayan Kuturan, bertempat tinggal di Banjar Pangkung, Kecamatan Kediri, Tabanan, tepatnya 10 km kearah selatan dari Kecamatan Kediri. Pria lulusan SD tahun 1966, sejak kecil sudah menekuni pembuatan keramik tradisional yaitu pembuatan patung yang diterapkan dipuncak bangunan suci (Kelentingan) dan peralatan upacara dari leluhurnya.  Dimulai tahun 1963, sepulang sekalah ia membantu keluarganya membuat peralatan upacara sambil membuat sesuatu yang baru berupa patung manusia khas Bali yang dibuat sederhana agak lucu memenuhi sudut-sudut rumahnya. Suatu ketika kedatangan seorang pelukis bernama Kay It, turut berkecimpung dalam pembuatan seni kerajinan gerabah, memberikan banyak inspirasi dan masukan berharga bagi Kuturan, dimana proporsi dan aksen artistik mulai diterapkan. Kay It turut membantu pemasaran dan akhirnya gaya “kuturan” 2005 lalu kuturan memperoleh penghargan “Anugrah Riset Kebangkitan Tenologi” dari pemerintah Republik Indonesia (lihat Kliping Bali Post, 3-9-2005).menjadi tradisi masyarakat sekitarnya, ditiru oleh perajin yang disebut sebagai “gaya Kuturan”, yang banyak dimanfaatkan sebagai pelengkap taman (eksterior) di hotel-hotel di Bali. Banyak wisatawan membelinya dan sebagai komoditi ekspor, seperti ke Australia, New Zeland, Belanda, Italia, Jerman, Inggris dan Perancis.Produksi keramik Bali ada berbentuk barang kebutuhan rumah tangga, peralatan makan-minum untuk Hotel dan Restoran, keperluan eksterior dan bangunan serta pertamanan, hiasan, patung, wadah-wadah, cenderamata, aksesories dan keperluan ekspor. Gerabah Bali mengalami “booming” pada tahun 1980 sanpai dengan 1990-an, sehingga pemerintah merintis pembentukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Seni Keramik dan Porselin Bali (P3SKP). Benda hias dan cenderamata menjadi andalan karena menunjang pariwisata. Banyak memanfaatkan hiasan tradisional Bali dan mereka sadar menjual nama Bali dan yang sedang nge-trend di mancanegara yaitu dengan menempelkan “trade mark Bali” hasil produksinya sampai dikenal di luar negeri. Lukisan gaya Ubud dan Batuan serta ukiran khas Bali banyak menghiasi piring dan bentuk-bentuk wadah lainnya, seperti guci, gentong, vas dan lainnya.  Para perajin dan usaha kecil kerajinan keramik di Bali banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta latihan menyangkut teknologi keramik, desain dan proses pengembangan usaha dari BPPT-UPT PSTKP Bali, PT. Sucofindo, PSSRD Universitas Udayana, Deperindag Bali, Dekranas Bali dan Instansi lainnya. Desa Pejaten pernah memperoleh bantuan yang bersifat kemanusiaan dan tidak mengikat dari Belanda yang dikenal dengan Humanistic Institute for Co Operation With Developing  Countries.  Pemerintah Belanda juga memdrop peralatan keramik bakaran madya yang dibelikan di Singapura sebanyak 11 unit lengkap dengan tungku dan seorang tenaga ahli keramik kebangsaan Belanda yang bernama Hester Tjebes untuk membina perajin Pejaten. Sebanyak 43 orang dididik yang tergabung dalam Koperasi Keramik Pejaten, terutama menyangkut pembuatan dan pengolahan bahan, teknik pembentukan, teknik pembakaran, pembuatan glasir, pembuatan desain, dan segala sesuatu menyangkut produksi dan manajemen. I Made Tantri, perintis pengusaha keramik dari Desa Pejaten, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan-Bali, yang juga memiliki Show Room  “Legong Bali” di Bona Indah Garden Blok A2/1 Jakarta Selatan ini, pada tanggal 10 Desember tahun 1986 lalu memperoleh Penghargaan dari Presiden RI berupa “Upakarti” atas usahanya memajukan kerajinan keramik tradisional. Karya-karya yang terhimpun dalam Koperasi yang dipimpinnya banyak yang dipamerkan dan  diekspor ke negara-negara Eropa dengan menonjolkan dekorasi motif tradisional yang telah diglasir. 

            Desa Kasongan terletak 7 km dari pusat kota Yogyakarta. Gerabah Kasongan sampai tahun 1969, masih mengikuti pola lama, seperti membuat anglo, pot, jembangan, celengan dan alat rumah tangga pada umumnya dipedesaan. Sejak tahun 1970-an mendapat perhatian masyarakat disekitarnya, penyuluhan dan latihan datang dari para seniman dan akademisi. Akhirnya keramik kerajinan Kasongan tidak asing lagi karena bentuk dan hiasannya terlihat sangat khas, juga produknya telah banyak tersebar dan terjual di berbagai daerah kota besar. Desa Kasongan yang berada di wilayah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta ini sudah menjadi Desa Pariwisata dimana hasil keramik daerah ini dengan memanfaatkan peralatan sederhana  memiliki ciri khas  tersendiri  dan sudah ada yang diekspor. Pada awal mulanya daerah ini sama dengan daerah lainnya memproduksi keramik tradisi berupa peralatan rumah tangga sederhana seperti kendi, celengan, pot, gentong, periuk dan lainnya. Kemudian mengalami perubahan setelah banyak mahasiswa ASRI dan para seniman hadir disana membuat karya seni. Yang mendorong perkembangan keramik Kasongan secara perorangan adalah Seniman (Pelukis) seperti Sapto Hudoyo yaitu memesan barang keramik  dengan membawa contoh gambar / lukisan kuda, yang dibawanya pertama kali yang diterapkan dengan teknik ukir-tempel, sehingga  menjadi corak atau gaya keramik kasongan seperti sekarang ini, menjadi tradisi masyarakatnya.Bentuk patung keramik yang khas tersebut berupa binatang gajah, ular naga, kambing, garuda, kuda, kodok, singa, angsa dan gabungan bentuk-bentuk binatang. Yang tak kalah berarti lagi pada tahun 1970-an adalah seorang pengusaha tanaman hias yang kebetulan seorang peneliti (akademisi) yaitu Ir. Suliantoro Sulaiman banyak memesan jenis pot hias bersama perkumpulannya yaitu Mayangsari  untuk dipromosikan, sehingga turut andil dalam memajukan kerajinan didaerah ini, di samping membantu penelitian tanah liat yang lebih baik untuk dimanfaatkan perajin. Bimbingan dan latihan dari lembaga terkait juga sering dilakukan, baik dari perguruan tinggi seni (ASRI waktu itu) tentang desain maupun Departemen Perindustrian DIY. Banyak turis asing yang berdatangan ke Kasongan dan produk-produknya dipasarkan dikota-kota besar di Indonesia. Bahkan menjadi komoditi ekspor seperti ke Amerika, Perancis, Balanda, Australia, Jepang, Philipina dan Singapura. Konon yang terbesar pesanan dari Australia dan Jepang. Pada akhir-akhir ini ada yang berbentuk primitif, seperti asmat atau agak abstrak dan berkesan aneh. Perajin seperti Temu, Tarji, Buang, Manto, Sunar, Hartono dan lainnya berusaha untuk peka terhadap selera pasar dan siap berinovasi sesuai dengan selera, juga siap menerima pesanan sebagai “seni ladenan”. Sekitar 250 lebih terdapat unit usaha di daerah ini. Di daerah Kasongan hampir sebagaian besar penduduknya kemudian menjadi perajin keramik, ada yg jadi tukang dan pengusaha keramik.

         Desa Tegowanuh berada di daerah Temanggung, Jawa tengah, suatu daerah yang agak terpencil, sekitar 5 km dari pinggiran kota. Daerah ini menghasilkan gerabah jembangan, kuali, kendi (ada yang 3 corot), pot bunga dan bentuk peralatan rumah tangga lainnya.
dan Wahono yang telah mengikuti pendidikan di Bentuk gerabah sedikit banyak memperoleh pengaruh dari keramik Kasongan. Selain itu banyak memperoleh bimbingan Sapto Hudoyo secara khusus, namun masih terdapat banyak kendala untuk mengembangkannya, baik secara teknis maupun permodalan. Masih di Temanggung, ada pula gerabah hasil produksi Desa Kundisari, Kecamatan Kedu, yang sama dengan yang ada di Tegowanuh. Perajin gerabah yang aktif adalah Suwandi Maguwoharjo Yogyakarta  yanitu membuat keramik hiasan. Kundisari memperoleh bantuan tungku dari Departemen Perindustrian, disini terdapat 75 unit usaha, namun pemasaran belum mulus hanya konsumsi lokal saja.

            Di daerah  Klampok, Banjarnegara, Jawa Tengah,   terdapat empat pengusaha kecil kerajinan keramik yang cukup menonjol, disamping beberapa usaha kecil lainnya. Diantaranya yang terkenal adalah “Keramik Meandalai” yang terletak ditepi jalan Pertanian 17 / IV Desa Klampok sekitar 30 km ke arah barat daria kota Banjarnegara.  Perusahaan lainnya adalah PT. Keramika Banjarnegara, Usaha Karya dan Mustika. Produksi kerajinan keramik Klampok ini bentuknya beragam dari yang fungsional sampai bentuk yang hanya sebagai hiasan saja. Motif hiasan kerajinan Klampok yang banyak dipakai adalah  bunga-bungaan, tumbuh-tumbuhan, hewan dan figur manusia. Yang menarik adalah dari kerajinan Klampok adlah motif-motif pewayangan dan motif-motif batik. Keramik kerajinan di daerah ini telah mengalami penyelarasan dengan budaya Indonesia asli, diman ragam hias tersebut cukup menonjol dan laku dipasaran. Di samping itu produksi keramik Klampok juga membuat motif bergaya Ming dari China, namun tiruannya sudah dimodifikasi sedemikian rupa menjadi bentuk yang kelihatan baru.

         Bali Post 3-9-2005

  Sentra kerajinan keramik di Lombok Timur berada di Desa Masbagik terdapat 10 pengusaha, lalu Lombok Tengah berada di Desa Penujak sekitar 15 pengusaha dan Lombok Barat di Desa Banyumulek sebanyak 25 pengusaha. Banyumulek sebagai pusat kerajinan  gerabah  sudah kondang, diperkirakan kegiatan tersebut dimulai tahun 1860 (Alit, dkk, 1983). Keramik Lombok dikenal juga sebagai “Tembikar Sasak” dan sebutan daerah yaitu “Pemongkag” ini menjadi bagian penting dari kegiatan ritual masyarakat Sasak.Pada awalnya penduduk Banyumulek membuat gentong tempat air, periuk untuk menanak nasi dan tepak (bubungan rumah). Seorang bernama Rachmat membuat desain baru dan banyak penggemarnya sehingga pada tahun 1981, Pemerintah Selandian Baru menjadi pelopor pemberi dana pelaksanaan Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT) dan    Pulau Lombok memilki sentra-sentra kerajinan keramik yang tersebar di tiga Banyumulek menjadi Prioritas dengan bantuan sebesar 235 juta rupiah, belasan juta diantaranya menjadi dana program khusus pengembangan gerabah. Kemudian Kanwil Perindustrian melatih sekitar 440 orang perajin, dengan penekanan pada mutu artistik. Proyek Kawasan Terpadu dari pemerintah pada tahun 1984 yang bekerjasama dengan pemerintah Selandia Baru, mendatangkan ahli dari Selandia Baru yang bernama Peter dan Jean. Mereka berdua melakukan pembinaan dan pelatihan kepada perajin bersama Departemen Perindustrian, lalu mengadakan studi banding ke Kasongan dan Plered serta Bali, untuk memacu perkembangan desain yang laku dipasaran, baik konsumsi dalam negeri maupun luar negeri, yang pemasaran keramik Lombok dibantu oleh Selandia Baru. Masing-masing daerah di Lombok memilki ciri tersendiri, seperti Masbagik memanfaatkan dekorasi toreh dan motif geometris  serta penggunaan kerang laut yang dimasukkan ke badan gerabah sebagai motif hias yang umumnya disebut “cukli”. Untuk  daerah Penujak ada dikenal bentuk cerek atau kendi yang disebut “ceret maling”. Disebut demikian karena lubang untuk memasukkan air berada di bawah sehingga tidak terlihat. Sedangkan daerah Banyumulek yang sebagian besar penduduknya menjadikan sebagai pekerjaan pokok yang sbelumnya sebagai usaha sampingan, menghasilkan bentuk-bentuk dan dekorasi yang lebih bervariasi serta banyak yang dipasarkan di Bali untuk difinishing keperluan diekspor. Rachmat bersama teman-temannya membuat desain tempat tisue dan pulpen, asbak, hiasan ruangan dengan ciri khas rajutan rotan untuk melapisi gerabah. Rajutan khas lainnya adalah dengan pohon “ketak” ini berukuran kecil hingga gentong raksasa. Gentong raksasa ini banyak digemari masyarakat dan dipajang di Hotel-hotel, baik yang polos maupun dengan rajutan. Pemerintah Swedia juga pernah bekerjasama dengan perajin Lombok. Pemasarannya banyak melalui Bali untuk ekspor. Ekspor langsung perdana oleh PT. Kujang Sekarbale dengan tujuan Kalifornia. PT. Kujang menjadi “Bapak Angkat” perajin gerabah sejak tahun 1981. Para perajin Banyumulek menghimpun diri di Kopinkra Selapu Ngepe. Hiasan tempel Keramik Banyumulek banyak merupakan simbol-simbol stilasi seperti bulan, matahari, padi, lumbung dan sebagainya. Lalu patung-patung terracota bermotif manusia untuk Otak Bale ( dekorasi atap rumah). Peniruan gerabah motif Mexico dan Selandia Baru serta motif primitif juga banyak ditemui di daerah ini.

           Gerabah Mayong, Jepara, Jawa tengah ini masih bersifat tradisional sekali. Terdapat 300 unit usaha gerabah seperti yang dihasilkan Kundisari. Namun di daerah ini juga menghasilkan keramik barang-barang “remitan” atau benda keramik berukuran kecil dan unik, benda khusus pesanan dan ada yang diekspor ke Perancis. Penampilan gaya ukiran Jeparadimulai pada tahun 1980-an dan mendominasi keramik Mayong. Pembinaan keramik Mayong tidaka lepas dari perguruan tinggi sperti IKIP Semarang Jurusan seni Rupa. Akademisi yang langsung terjun ke daerah ini adalah Drs. Punthadi, Dra. Sri Iswidayati, Drs. Triyanto dan Drs. Dewa Made K, mengabdikan diri dari tahun 1985 untuk mengangkat kehancuran produksi. Hampir semua aspek yang menjadi kelemahan keramik tradisional Mayong digarap, baik bahan baku, desain, bentuk, dekorasi dan manajemen. Pusat Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) Bandung, turut berperan dalam mengentaskan  keramik Mayong dan memberikan bantuan teknik dan dana. Bahkan Menteri Sosial juga memberi bantuan sebuah tungku keramik bakaran tinggi, Pemerintah daerah membantu perajin dengan mengadakan pameran-pameran. Perajin yang aktif mengembangkan desain adalah Sardi, Murti dan Suharto. Dekorasi untuk atap (bubungan atau wuwungan) bangunan diberi hiasan dari pecahan beling atau porselin yang mengikuti motif yang ada. 






Email: goesmul@gmail.com  / Hidup dan Seni / blogspot.goesmul.com / agusmulyadiutomo@yahoo.co.id










1 komentar: