BER-TAQWA DAN BER-AMAL SHOLEH
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni.blogspot.goesmul.com.islam
goesmul@gmail.com
Program umum
prikehidupan masyarakat muslim adalah
iman (percaya) dan taqwa (kepatuhan). Islam yang
disampaikan Nabi Muhammad SAW dan
diamalkan bersama para sahabatnya itulah yang jadi teladan bagi ummat
Islam selanjutnya. Karena, di kala ada kesalahan atau kekurangan maka langsung
merujuk firman Allah SWT lewat wahyu.
Selanjutnya, untuk mengamalkan Islam, maka landasannya adalah Al-Qur’an, As-Sunnah / Hadits Nabi SAW, dan ijma’ (kesepakatan) para sahabat. Dan orang-orang yang beribadah
dan meramal tetapi tidak berilmu (tak tahu akan ilmunya), ibadahnya dianggap
tidak berniat sama sekali atau percuma saja yang artinya sia-sia. Jika
demikian, maka nilai ibadahnya itu akan mudah berhamburan “bak debu tertiup angin” atau cepat ‘hilang’ dan mudah pula
‘terpengaruh’ dari hal-hal yang negatif sifatnya. Untuk itulah carilah ilmu,
buka mata, telinga, hati, dan pikiran untuk menerima ilmu yang haqq dan benar disisi Allah.
Taqwa
Kata taqwa berasal dari waqa, yaqi, wiqayah, yang berarti takut, menjaga,
memelihara dan melindungi. Sesuai makna etimologis tersebut, maka taqwa dapat diartikan sebagai sikap
memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama Islam secara
utuh (kaffah) dan konsisten atau istiqomah.[1] Sesungguhnya taqwa itu juga berasal dari kata “waqa wa tawaqqa wa ittaqa” yang meliputi
makna menjaga, menjauhi, takut dan hati-hati.
Taqwa kepada Allah, maknanya adalah menjaga diri dari sesuatu yang ditakuti yang
datang dari Allah berupa kemurkaan
dan azab-Nya. Taqwa juga mencakup
sikap hati-hati dengan meninggalkan hal-hal yang dilarang dan menjalankan
apa-apa yang disuruh Allah, karena
takut akan tergelincir pada hal-hal yang mendatangkan murka dan azab. Taqwa juga meliputi aktivitas pendekatan
diri kepada Allah karena takut akan
dijauhi dan tidak dicintai oleh Allah.
Wal hasil dalam taqwa itu ada kepatuhan atau taat dengan rasa takut, sekaligus
cinta kepada-Nya, semua itu menyatu dan berjalan seiring.
Seseorang tidak memiliki keutamaan atas yang
lainnya kecuali dengan ketaqwaan, Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa”
(QS. Al-Hujurat : 13). Demikian pula Allah Ta’ala berfirman sembari
menganugrahkan ni’mat ini dan mengingatkan pula pada kondisi sebelum kedatangan
Islam yang artinya: ”Dan berpegang teguhlah kamu kepada
tali(agama) Allah semuanya dan janganlah kalian bercerai berai” (QS. Ali-'Imran : 103).
Bagi mereka yang tidak mengikuti dan tidak
beriman kepada para Rasul, tidak
membenarkan berita-berita yang dibawa Rasul, dan tidak mentaati perintahnya, maka orang-orang
seperti itulah disebut bukan sebagai orang-orang yang beriman. Mereka adalah orang-orang yang dihubungi dan dihampiri
oleh setan-setan dan juga dapat mengungkapkan beberapa perkara ghaib
serta memiliki beberapa perilaku luar biasa yang merupakan bagian dari
sihir. Mereka itu kebanyakan tukang sihir yang dihampiri
setan-setan. Allah Ta'ala
berfirman: "Apakah akan Aku beritakan kepadamu,
kepada siapa setan-setan itu turun ? Mereka turun kepada tiap-tiap
pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada
setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta"
(As-Syu'ara: 221-223). Mereka bersandar kepada
Mukasyafat (penyingkapan
perkara- perkara yang ghaib) dan hal-hal yang luar biasa. Apabila
mereka tidak mengikuti Rasul,
tentu amalan-amalan mereka mengandung dosa seperti kemusyrikan, kedzaliman,
kekejian, sikap berlebihan, atau bid'ah
terutama dalam ibadah. Mereka dihampiri dan didatangi
setan-setan, sehingga mereka menjadi wali-wali dari setan. Allah Ta'ala berfirman: ”Barangsiapa
yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami
adakan baginya setan (yang menyesatkan), dan setan itulah yang menjadi teman
yang selalu menyertainya" (QS. Az-Zukhruf :36).
Pengajaran Allah
(Dzikrur Rahman) adalah pengajaran
yang dibawa oleh Rasul-Nya,
yakni dalam Al-Quran. Barangsiapa tidak beriman (percaya) kepada Al-Quran, tidak membenarkan
beritanya, dan tidak meyakini kewajiban perintahnya, berarti dia telah berpaling
dari Al-Quran, kemudian setan datang
menjadi teman setia baginya. Seseorang yang selalu berdzikir kepada Allah, baik malam maupun siang, disertai dengan puncak kezuhudan dan kesungguhan beribadah
kepada-Nya, namun tidak mengikuti dzikir yang
Allah turunkan, sesuai Al-Quran dan petunjuk Rasul, maka dia termasuk walinya setan,
meskipun dia mampu terbang di angkasa atau berjalan di atas air. Setanlah yang
membawanya ke angkasa sehingga ia mampu terbang.
Coba renung-renungkanlah kembali, setelah ber-iman (percaya), apakah selanjutnya diri
kita sudah ber-taqwa ? Seharusnya
dengan berbekal iman, seluruh
aktifitas yang dijalani harus lebih bermakna, berpengaruh dan berbekas. Ada
semacam kerinduan akan keridhaan-Nya,
kecintaan, ketaatan dan ketakutan akan azabNya serta usaha untuk meningkatkan
kualitas hidup. Tentunya sebagai manusia muslim seharusnya kita demikian dan
juga meningkat. Realitas taqwa harus
menjadi hikmah, selalu dan senantiasa diperhatikan terutama oleh masyarakat
sekelilingnya dan menjadi tolok ukur di dalam menjalankan agamanya (Islam),
untuk itu perlu diusahakan, diperhatikan dan diupayakan secara maksimal agar
terealisasi di saat menjalankan suatu aktivitas ibadah umum dan tertentu .
Disamping itu harus pula ditanamkan ke dalam diri sendiri ke-taqwa-an tersebut sebagai perlindungan
(pakaian) pribadi. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian" (QS An-Nisaa' : 59).
Yang pertama kali
harus dipahami orang bertaqwa seperti
dinyatakan dalam beberapa ketentuan Islam, bahwa dien (Islam) dibangun di atas pondasi yang dinamakan at-taslim, yakni penyerahan diri secara
totalitas kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya. Sedangkan at-taslim sendiri bermakna membenarkan
seluruh yang diberitahukan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, tunduk dan patuh kepada perintah-perintah-Nya serta
menjauhi larangan-larangan-Nya. Kemudian membenarkan apa-apa yang disampaikan Rasul-Nya, tunduk kepada perintah
beliau, menjauhi larangannya dan mengikuti semua petunjuk-petunjuk beliau. Jika
kita sudah memahami kaidah-kaidah di atas, maka hendaklah seorang muslim untuk
bertaslim terhadap apa-apa yang
dibawa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
Sallam.
Setelah bertaslim, merasa tenang denganNya dan
percaya penuh dengan yang dikabarkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Iman dengan segala yang disyari’atkan-Nya dan mewujudkan dalam perbuatannya, maka tidak
dilarang baginya untuk mencari dalam sebab dan musababnya, yaitu mempertanyakan
mengapa semua itu diharuskan. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa faktor
yang menyebabkan sesuatu dilarang sebagian besar dapat diterima oleh akal sehat
dan fitrah yang suci. Adapun penyebab timbulnya larangan tersebut, diantaranya
adalah semua perbuatan orang kafir pada dasarnya dibangun di atas pondasi
kesesatan dlalalah dan kerusakan fasad. Inilah sebenarnya titik tolak
semua perbuatan dan amalan orang-orang kafir, baik yang bersifat menakjubkan
atau tidak, baik kerusakannya yang dzahir (nampak nyata) ataupun terselubung.
Karena sesungguhnya yang menjadi dasar semua aktivitas orang-orang kafir adalah
dlalal (sesat), inhiraf (menyeleweng dari kebenaran), dan fasad (rusak). Baik dalam aqidah,
adat-istiadat, ibadah, perayaan-perayaan hari tertentu, ataupun dalam
tingkahpolah lakunya. Adapun kebaikan yang mereka perbuat hanyalah merupakan
suatu pengecualian saja. Oleh karena itu jika ditemukan pada mereka
perbuatan-perbuatan baik, maka di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak memberi arti apapun baginya dan tidak diberi
pahala sedikitpun. Sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan Kami hadapi amal yang mereka kerjakan
kemudian Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS: Al-Furqan: 23)
Dengan bertasyabbuh (meniru) terhadap orang kafir,
maka seorang muslim akan menjadi pengikut mereka. Yang berarti dia telah
menentang atau memusuhi Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan dia
akan mengikuti jalur orang-orang yang tidak beriman. Padahal dalam perkara ini
terdapat peringatan yang sangat keras sekali, sebagaimana Allah SWT berfirman, yang artinya: “Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalannya
orang-orang yang tidak beriman, Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya
(yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir) kemudian Kami
seret ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
(QS: An-Nisa’: 115)
Musyabbahah (meniru-niru) itu mewariskan mawaddah (kasih sayang), mahabbah (kecintaan), dan mawalah (loyalitas) terhadap orang-orang
yang ditiru tesebut. At-Tasyabbuh
secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah
yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti.
At-Tasybih berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya
serupa dengannya, meniru dan mengikutinya. Karena bagi seorang muslim jika
meniru adalah perbuatan yang baik-baik dan mencontoh apa yang dikerjakan Rasulullah, dalam hatinya akan ada rasa ilfah (akrab dan bersahabat). Dan rasa
akrab dan bersahabat ini akan tumbuh menjadi mahabbah (cinta), ridla
serta bersahabat kepada terutama kepada Rasul
dan orang-orang yang beriman. Dan akibatnya dia akan mendekat kepada orang-orang
yang shaleh, orang-orang yang
bertakwa, orang-orang yang mengamalkan As-Sunnah,
dan orang-orang yang lurus dalam berislam, beriman dan berikhsan. Hal tersebut
merupakan suatu hal yang naluriah, manusiawi dan dapat diterima oleh setiap
orang yang berakal sehat. Khususnya jika muqallid
(si pengikut) merasa sedang terkucilkan atau sedang mengalami kegoncangan
jiwa. Pada saat yang demikian itu apabila ia mengikuti yang haq maka ia akan merasa bahwa yang
diikutinya agung, akrab, bersahabat dan terasa menyatu atau beserta dengannya.
Kalau tidak, maka keserupaan lahiriah saja sudah cukup baginya. Keserupaan
lahiriah ini direfleksikan ke dalam bentuk kebudayaan dan tingkah laku. Dan
tidak bisa tidak, kelak dikemudian hari akan berubah menjadi penyerupaan batin.
Hal ini merupakan proses yang wajar dan dapat diterima oleh setiap orang yang
mau mengamati permasalahan ini dalam pola tingkah laku manusia (human being).
Kalau seseorang
bepergian ke negeri lain maka ia akan menjadi orang asing di sana. Jika dia bertemu
dengan seseorang yang berpakaian sama dengan pakaiannya, kemudian berbicara
dengan bahasa yang sama pula pasti akan timbul mawaddah (cinta) dan ilfah
(rasa akrab bersahabat) lebih banyak. Jadi apabila seseorang merasa serupa
dengan lainnya, maka rasa persamaan ini akan membekas di dalam hatinya.
Karakteristik
orang ber-taqwa terdapat dalam firman
Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 177 yang secara umum
menjadi indikator ketaqwaan adalah
sebagai berikut : “Laisal birra an tuwalluu wujuuhakum qibalal masyriqi wal maghribi wa
laakinnal birra man aamana billaahi wal yaumil aakhiri wal malaa-ikati wal
kitaabi wan nabiyyiina wa aatal maala ‘alaa hubbihii dzawil qurba wal yataamaa
wal masaakiina wabnas sabiiliwas saa-iliina wa fir riqaabi wa aqaamash shalaata
wa aataz zakaata wal muufuuna bi ‘ahdihim idzaa ‘aahaduu wash shaabiriina fil
ba’saa-i wadh dharraa-i wa hiinal ba’si ulaa-ikal ladziina shadaquu wa ulaa-ika
humul muttaquun”, artinya: ”Bukanlah kebaikan itu menghadapkan wajah
kamu ke arah timur dan barat, tetapi kebaikan itu adalah barangsiapa yang
beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, Nabi-nabi,
dan memberikan harta yang dicintainya kepada para kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, orang yang (terlantar) dalam perjalanan, orang-orang yang
meminta-minta dan membebaskan perbudakan, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
dan orang-orang yang memenuhi janjinya bila mereka berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesengsaraan, penderitaan dan pada waktu peperangan. Mereka
itulah orang-orang yang benar dan
mereka itulah orang-orang yang ber-taqwa”.
Allah memperingatkan kita sebagai manusia
untuk selalu bertaqwa yaitu mematuhi
dengan melaksanakan segala perintah dan
meninggalkan segala larangannya. Firman Allah
dalam QS. Ath-Thalaaq: 10 yang
berbunyi “A’addallaahu lahum ‘adzaaban
syadiidan fat taqullaaha yaa ulil albaabil ladziina aamanuu qad anzalallaahu ilaikum dzikraa”
artinya: “Allah menyediakan bagi mereka azab yang sangat keras, maka
ber-taqwa-lah kamu kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai pikiran (yaitu)
orang-orang yang beriman. Sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu peringatan”.
Dan dalam kitab
kitab Sunan diriwayatkan dari Irbadh
bin Saariyah rodhiAllahu ‘anhu
bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa sallam pernah menasehati kami dengan nasehat yang mantap, (jika
mendengarnya) hati kami bergetar, dan air mata kami akan berlinang, maka kami
berkata kepadanya : wahai Rasulullah,
seakan akan nasehat itu seperti nasehatnya orang yang akan berpisah, maka
berilah kami nasehat, maka Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku wasiatkan kepada kamu
sekalian agar selalu bertakwa kapada Allah, mendengarkan dan mentaati
perintahNya, walaupun yang memerintah kamu itu seorang hamba, sesungguhnya barang
siapa diantara kalian hidup ( pada masa itu ), maka ia akan menjumpai banyak
perselisihan, maka ( ketika ) itu kamu wajib berpegang teguh pada sunnahku dan
sunnah para Khulafaurrasyidin yang telah mendapat petunjuk sesudahku, pegang
dan gigitlah dengan gigi gerahammu sekuatnya, dan sekali kali janganlah mengada
ada hal yang baru ( dalam agama ), karena setiap pengadaan hal yang baru itu
bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat”.
Ketika Allah telah mewajibkan orang-orang
muslim itu agar saling nasehat menasehati dan saling menerangkan apa yang telah
disyari’atkan Allah dalam agama, serta mengharamkan penyembunyian ilmu, maka
dipandang perlu untuk mengingatkan akan kebenaran dan menyebarnya, sehingga tercipta kedamaian dan
kebahagiaan di dunia dan akherat nanti. Hanya Allah lah dan Rasulullah
tempat bermohon, untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin ini, dan memberi
kepada mereka kemudahan dalam memahami agama Islam secara kaffah.
Sesungguhnya jika
selama di dunia tidak beramal sholeh
dan tidak mencari keterangan yang benar, seperti halnya orang buta. Firman Allah “Dan Kami mengumpulkan mereka pada
hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau
kumpulkan kami dalam keadaan buta, padahal aku dulu (di dunia) dapat melihat”
(QS. Thaahaa: 124-125). Para ulama
ada berbeda pendapat tentang maksud buta dalam ayat di atas; apakah buta hati
atau buta mata? Mereka yang berpendapat
bahwa itu adalah buta hati mengambil dalil dari firman Allah SWT, “Alangkah terangnya pendengaran mereka dan
alangkah tajamnya penglihatan mereka pada hari mereka datang kepada Kami”
(QS. Maryam: 38). Dan lagi
firman-Nya, “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari hal ini, maka Kami
singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, hingga penglihatanmu pada
hari itu amat tajam” (QS. Qaaf:
22). “Pada hari mereka melihat malaikat, di hari itu tidak ada kabar gembira
bagi orang-orang yang berdosa” (QS.
al-Furqaan: 22). “Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka
Jahanam, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘aunul yakin”
(QS. at-Takaatsur 5-7).
Ayat-ayat semisal
lainnya, yang menegaskan bahwa pada hari kiamat manusia akan melihat dengan
mata kepala adalah, “Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke
neraka dalam keadaan duduk karena (merasa) hina. Mereka melihat dengan
pandangan lesu” (QS. asy-Syuuraa:
45). Juga “Pada hari mereka didorong ke neraka dengan sekuat-kuatnya. (Dikatakan
kepada mereka), ‘Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakaanya. Maka
apakah ini sihir ataukah kamu tidak melihat?” (QS. ath-Thuur: 13-15). “Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka,
maka mereka meyakini bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya” (QS. al-Kahf: 53). Sedangkan kelompok
yang berpendapat bahwa buta yang dimaksud adalah buta mata, mengatakan bahwa
susunan kalimat dalam surah Thaahaa
ayat 124-125 hanyalah menunjukkan kebutaan mata kepala. Hal ini sebagaimana
terlihat dalam kata-kata, “Dia berkata, ‘Ya Tuhan mengapa Engkau
mengumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu melihat?’” (QS. Thaahaa: 125). Jadi orang tersebut
tahu bahwa ketika di dunia ia buta dari kebenaran bukannya buta matanya,
sehingga ia mengatakan, “Dan sungguh dulu
aku melihat” Lalu bagaimana ketika kata-katanya itu dijawab dengan
firman-Nya, “Demikianlah, karena kamu telah didatangi ayat-ayat kami, lalu kamu
melupakannya. Maka, demikian pula hari ini kamu dilupakan” (QS. Thaahaa: 126). Jawaban ini
menunjukkan bahwa kebutaan di akhirat tersebut adalah buta mata. ini adalah
balasan baginya yang setimpal dengan perbuatannya. Yaitu, ketika dia enggan
mengikuti apa yang diwahyukan kepada Rasul-Nya
dan mata hatinya buta, maka pada hari kiamat Allah SWT membutakan matanya. Allah
SWT membiarkannya di dalam siksaan karena dia telah meninggalkan
petunjuk-Nya di dunia. Karena itu, Allah
membalas kebutaaan hatinya dengan kebutaan matanya pada hari kemudian. Dia
membalas keengganannya mengikuti petunjuk dengan membiarkannya tersiksa alam
azab. Ini juga sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya, “Barangsiapa yang diberi petunjuk
oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk. Dan barangsiapa yang Dia
sesatkan, maka sekali-kali dia tidak akan mendapat penolong-penolong bagi
mereka selain dari Dia. Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret)
atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu, dan tuli” (QS. al-lsraa: 97).
Akan tetapi,
kelompok lainnya mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah mereka buta, bisu dan
tuli dari petunjuk, bukan buta, bisu, dan tuli yang sesungguhnya. Hal ini juga
mereka katakan pada ayat, “Dan Kami mengumpulkan mereka pada hari
kiamat dalam keadaan buta” (QS.
Thaahaa: 124). Kelompok ini mengatakan bahwa pada hari kiamat orang-orang
tersebut berbicara, mendengar, dan melihat.
Kelompok berbeda
lainnya lagi, berpendapat hahwa kebutaan, kebisuan, dan ketulian tersebut bersifat
terbatas tidak mutlak. Artinya, mereka hanya tidak bisa melihat dan mendengar
apa yang membahagiakan mereka. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa a
berkata, “Mereka tidak melihat sesuatu
yang dapat menyenangkan mereka”. Ada juga yang berpendapat bahwa
orang-orang tersebut dikumpulkan dalam keadaan buta ketika para malaikat
mencabut nyawa mereka dan ketika mereka dikeluarkan dari kehidupan dunia, serta
ketika mereka bangkit dari kubur menuju ke padang mahsyar. Baru setelah itu
mereka dapat mendengar dan melihat. Pendapat ini diriwayatkan dari Hasan
Bashri. Pendapat lain mengatakan bahwa kebutaan ini terjadi tatakala mereka
memasuki neraka dan berada di dalamnya. Pendengaran, penglihatan, dan kemampuan
bicara dicabut dari mereka tatkala Allah
SWT berkata kepada mereka, “Tinggallah dengan hina di dalamnya dan
janganlah kamu berbicara dengan Aku” (QS.al-Muminuun: 108). Ketika itu harapan mereka terputus dan akal
mereka tidak berfungsi. Menjadilah mereka semua orang buta, bisu, dan tuli.
Mereka tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak berbicara. Tidak ada yang
terdengar dari mereka kecuali hembusan dan tarikan nafas. Pendapat ini dinukil
dari Muqatil bin Sulaiman.
Sedangkan yang
dimaksud oleh pendapat yang mengatakan bahwa mereka buta dari argumen, adalah
bahwa mereka tidak mempunyai argumentasi sama sekali, bukan maksudnya mereka
memiliki argumen dan mereka tidak mampu melihatnya. Akan tetapi, yang dimaksud
pendapat ini adalah bahwa mereka buta dari petunjuk sebagaimana keadaan mereka
di dunia yang buta dari petunjuk tersebut. Pendapat ini dikuatkan dengan alasan
bahwa manusia mati sesuai dengan kondisinya ketika hidup, dan akan dibangkitkan
sesuai dengan kondisinya ketika mati. Dari seluruh paparan di atas, maka tampak
bahwa pendapat yang benar adalah kebutaan tersebut kebutaan mata kepala.
Pasalnya pada hari kiamat orang kafir mengetahui akan kebenaran dan mengakui
apa yang dia dustai ketika di dunia. Oleh karena itu, pada hari kiamat orang
kafir tersebut tidak buta dari kebenaran.
Adapun al-hasyr (pengumpulan) terkadang yang
dimaksud adalah ketika dikumpulkan pada hari kiamat, seperti sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya kalian dikumpulkan
menuju Allah dalam keadaan telanjang kaki, telanjang pakaian, dan tidak
dikhitan” (HR Bukhari dan Muslim) “Dan Kami kumpulkan mereka dan
tidak meninggalkan satu pun juga”
(QS. al-Kahfi: 47). Dalam ayat
ini, yang dimaksud dengan al-hasyr
adalah bahwa mereka dihimpun, dikumpulkan, dan digiring menuju tempat kediaman
yang abadi. Bagi orang-orang yang bertaqwa,
maka mereka dihimpun dan digiring menuju ke surga. Sedangkan orang-orang kafir
dikumpulkan dan digiring menuju neraka. Allah
SWT berfirman, “(Ingatlah) hari ketika Kami mengumpulkan
orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang
terhormat” (QS. Maryam: 85). “(Kepada para malaikat diperintahkan),
‘Kumpulkanlah
orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang
selalu mereka sembah selain Allah, maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke
neraka” (QS. ash-Shaffaat:
22-23). Dalam ayat ini, al-hasyr (pengumpulan) tersebut adalah setelah mereka
dikumpulkan di Padang Mahsyar, yaitu ketika mereka dikumpulkan di neraka,
karena sebelumnya Allah SWT berfirman, “Dan mereka berkata, “Aduhai celakalah kita”
Allah berkata, ‘Inilah hah pembalasan. Inilah hah keputusan yang selalu kamu
dustakan” (QS. ash-Shaffaat:
20-21). Kemudian Allah SWT berfirman,
“Kepada
malaikat diperintahkan, ‘Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman
sejawat mereka” (QS.ash-Shaffaat:
22). Penghimpunan dalam ayat terakhir ini, adalah penghimpunan yang kedua.
Dengan demikian, orang-orang zalim mereka “berada di antara dua al-hasyr (penghimpunan). Pertama, ketika
mereka digiring dari kubur menuju Padang Mahsyar. Kedua, dari Padang Mahsyar menuju neraka. Ketika
dikumpulkan pertama kali mereka mendengar, melihat, berdebat, dan berbicara.
Sedangkan, ketika dikumpulkan kedua kalinya mereka dikumpulkan dan diseret di
atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu, dan tuli. Jadi setiap kondisi
mempunyai bentuk penyiksaan yang cocok dan yang sesuai dengan keadilan Allah.
Dan ayat-ayat Al-Qur’an saling mendukung satu sama
lainnya, “Seandainya Al-Qur’an ini
bukan dari sisi Allah, pasti mereka
mendapatkan pertentangan yang banyak.” (QS.
an-Nisaa: 82). Cucu Nabi Muhammad SAW, Al-Hasan, pernah mengatakan, bahwa
orang yang bertaqwa adalah orang yang
takut atau menjaga diri dari apa yang diharamkan dan menunaikan apa yang
diwajibkan kepadanya. Senada dengan itu, Umar
bin Abdul Azis berkata, bahwa : “Taqwa
kepada Allah itu bukan dengan terus
atau seringnya shaum di siang hari,
seringnya shalat malam atau seringnya
melakukan keduanya, tetapi taqwa
kepada Allah adalah meninggalkan apa
saja yang Allah haramkan dan
menunaikan apa saja yang Allah
wajibkan. Siapa yang melakukan kebaikan setelah itu, maka itu adalah tambahan kebaikan di atas
kebaikan. Sahabat Nabi, Ali bin Abi
Thalib kw, sering menyatakan
bahwa taqwa itu adalah: “ al-khawf min al-jalil wa al-amal bi
at-tanzil wa al-isti’dad li yawm ar-rahil “, yakni rasa takut kepada zat
yang Maha Agung, mengamalkan Al-Qur’an
dan menyiapkan diri untuk menyambut datangnya hari yang kekal / akherat. Dengan kata lain taqwa merupakan kesadaran akal dan jiwa serta pengetahuan yang syar’i akan wajibnya dalam mengambil halal-haram sebagai standar nilai bagi
seluruh aktivitas hidup dan merealisasikannya secara praktis dan amali di tengah-tengah kehidupan. Wujud
dari ke-taqwa-an itu merupakan
sesuatu yang mulia, juga mendatangkan jalan keluar dari permasalahan yang
dihadapi. Janji Allah SWT dalam Al-Qur’an pada QS. Ath-Thalaaq ayat 2 “wa
may yattaqillaaha yaj’al lahuu makhrajaa”
yang artinya: “ Siapa saja yang bertaqwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar”. Lanjut dalam QS. Ath-Thalaaq: 3 “wa
yarzuqhu min haitsu la yahtasibu wa may yatawakkal ‘alallaahi fa huwa hasbuhuu
innallaaha baalighu amrihii qad ja’alallaahu li kulli syai-in qadraa” artinya: “Dan Dia akan memberikan rezeki
kepadanya dengan tiada terkira. Dan barangsiapa
bertawakal kepada Allah, niscaya Dia mencukupkannya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah menjadikan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu”.
Sifat taqwa itu tercermin dalam sikap kesediaan seorang muslim untuk
selalu tunduk dan patuh pada hukum Allah,
menjalankan semua ketentuan hukum Allah
dan meninggalkan semua yang dilarang. Tunduk dan patuh itu merupakan realisasi
dari ketaqwaan dan kesalihan
personal. Termasuk ber-syariat yang
pelaksanaannya bisa dilakukan secara individu dan kelompok, seperti shalat, puasa, zakat, ber-akhlaq mulia,
berkeluarga secara Islami, beribadah haji bila mampu, berdakwah, amar makruf nahi
mungkar, ber-muamalah yaitu
jual-beli dan sebagainya.
Beramal Sholeh
Setelah jelas bahwa landasan atau sumber Islam itu yakni Al-Qur’an,
As-Sunnah dan Ijma’, maka dalam
hal pemahaman yang shahih adalah
pemahaman yang sesuai dengan pemahaman para sahabat, tabi’ien, dan tabi’it
tabi’ien. Karena merekalah sebagai generasi ummat yang terbaik, menurut hadits shahih yang menunjukkan: ”Barangsiapa hendak menjadikan teladan,
teladanilah para sahabat Rasulullah SAW. Sebab, mereka itu paling baik hatinya,
paling dalam ilmunya, paling sedikit takallufnya (tidak suka
mengada-ada), paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya.
Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani NabiNya dan menegakkan
Dien-Nya. Karena itu hendaklah kalian mengenal keutamaan jasa-jasa mereka dan
ikutilah jejak mereka, sebab mereka senantiasa berada di atas jalan (Allah)
yang lurus.” (HR Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
Islam yang benar
adalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Pemahaman Islam yang benar tersebut adalah
yang sesuai amalan Islam, yang landasannya adalah Al-Qur’an, As-Sunnah / Hadits
Nabi SAW, dan ijma’ [2] (kesepakatan) para sahabat. Setelah
jelas bahwa landasan atau sumber Islam itu adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’,
maka dalam hal sabda Rasul yang
artinya: “Allah telah menurunkan air
(hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya,
maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka
lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya
seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar
dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada
harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.
Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan” (Q.S. Ar-Ra’d :17). Dan karena merekalah
sebagai generasi ummat yang terbaik, menurut hadits shahih dari Nabi SAW
: “Sebaik-baik generasi ialah
generasiku, kemudian orang-orang sesudahnya, dan orang-orang sesudahnya lagi.
Lalu akan datang orang-orang yang kesaksiannya mendahului sumpahnya dan
sumpahnya mendahului kesaksiannya” (HR Al-Bukhari).
Ijma’ sahabat juga dijadikan sumber dalam Islam, karena ada ayat yang
mengatakan: “Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu. Dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS An-Nisaa’: 115). Dari catatan kaki Mukhtashor Tafsir At-Thobari menjelaskan, ayat ini adalah dalil
yang jelas atas ulama yang berargumentasi (ber-istidlal) tentang sahnya ijma’
atau kehujahan ijma’ yang dijadikan dalil. Karena ummat Muhammad ini tidak
menghendaki atas kesesatan, sebagaimana terdapat dalam hadits shahih tersebut. Mengikuti jalan Allah dan Rasul (petunjuk
pewaris ilmu Rasullullah) dalam hal
beribadah dan beramal, tentunya dalam keadaan masih hidup dan di berada bumi,
karena bila sudah meninggal amalannya pun akan terputus, terkecuali sedekah,
ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh.
Keseimbangan pada alam semesta yang telah tertata dengan
baik dan sempurna, maka alam akan selalu bersahabat dengan manusia karena pada
diri manusia telah terbentuk semacam ‘pola tawazun’ atau keseimbangan. Dalam
QS. Ar Rahman 7-8 berbunyi: "Langit Ia tinggikan dan diadakan-Nya neraca
(keadilan atau keseimbangan) supaya jangan kamu sebagai manusia melampaui batas
timbangan". Manusia harus memadukan dan menselaraskan serta
mengaplikasikan segenap potensi - potensi nikmat dengan:
1.
Selalu berdzikirullah, maka akan merasa selalu diawasi dan
dilindungi oleh Allah (muraqabah). Selain itu dengan mengingat
dan menyebut-nyebut serta membesarkan nama-Nya, mengikrarkan keesaan-Nya (La ilaha illallah). Sehingga qalbu tunduk dan bersih, kelak
menumbuhkan iman yang dapat merundukkan jiwa-raga kehadirat Allah dengan rasa haru, syukur, khusyuk dan tawakal. Merasa selalu tertuju dan terikat dengan karunia-Nya.
Untuk selalu dapat mengenal Allah azza
wajalla (marifat) dan Rasulullah (dan ulama pewaris),
paradigmanya hanya untuk bergerak sebagai abdi-Nya, sehingga merasa mendekat
dan terbuka serta memperoleh sinar terang-benderang di bawah cahaya (nuur) Ilahi yang indah yang meraga-sukma, serta menyentuh qalbu membakar nafsu setan untuk mereguk
nikmat di dalam mahabbah-Nya,
sehingga membuat hati tenang dan yang ada hanyalah nafsu ketuhanan (mutmainnah), yang lain tenggelam
menghilang menuju ridha di sisi-Nya. Ilahi Anta maqshudi waridhaka math lubi,
A'thini MahabbataKa wa Ma'rifataKa.
(Ya Allah hanya Engkau yang kami tuju
dan keridhaan-Mu yang kami cari,
Berilah kami potensi untuk dapat Mencintai-Mu dan terang dalam Marifat-Mu).
2.
Selalu berpikir
ilmiah dan amaliyah, merenung serta
tafakur, dan mengobservasi ciptaan Allah dari
alam mikro-cosmos (alam kecil / buana alit) sampai alam makro-cosmos (alam besar / buana agung), sehingga akalpun kagum dan
tunduk akan kebesaran-Nya dan keperkasaan-Nya. Dengan berharap memperoleh ilmu
yang akan dapat mengantarkan jati diri manusia kepada tingkat martabat mulia
menjadi manusia mukmin sejati. Berada dalam posisi Ilmiyyah-Amaliyyah, beramal sholeh
dan berbekal ilmu yang shahih untuk
meraih sukses dalam mengarungi bahtera kehidupan. Keseimbangan yang konstruktif
disini dapat berfungsi mengeraskan daya tarik samawi (mental-spiritual) dan daya dorong bersifat ardhi (fisik-material). Sedangkan
ketimpangan antara dzikir dan pikir
akan melahirkan instabilitas dalam kehidupan. Dalam QS. An-Nahl: 97:” Barang
siapa yang berbuat kebaikan dari laki-laki atau perempuan dan dia mukmin,
niscaya Kami menghidupkannya dengan kehidupan yang baik; dan Kami memberi
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka
kerjakan”.
Dalam beramal sholeh, terdapat istilah qiyamul
lail yang berarti ‘berdiri atau berjaga malam’, adapun maksudnya adalah
orang-orang yang bangun waktu malamuntuk melaksanakan amal ibadah, sholat, berdo’a dan berdzikrullah dengan menyebut-nyebut dan
membesar-besarkan nama-Nya, baik secara individual maupun berjama’ah di masjid atau surau. Berjaga
malam ini berarti juga menghidupkan waktu malam. Rasulullah SAW bersabda: ”Barangsiapa shalat Isya berjamaah, maka
seolah-olah dia telah talah berjaga-jaga
separoh malam; Dan barangsiapa yang shalat Isya dan Shubuh (fajar) berjama’ah ,
maka seolah-olah dia telah berjaga-jaga sepanjang malam” (HR. Malik dan Muslim). Nabi SAW menetapkan bahwa sepertiga malam
yang terakhir adalah waktu yang paling diberkati, berikut sabdanya: “Pada
setiap sepertiga malam yang terakhir tiba, Tuhan kita akan turun ke langit yang
terdekat dan berfirman, Barangsiapa bertanya kepada-Ku, maka akan Kujawab;
Barangsiapa berdo’a, maka akan Kukabulkan; Barangsiapa yang memohon ampun, maka
akan Kuampuni” (HR. Bukhari).
Dalam QS. As Sajdah: 15, 16, 17 &
19, Allah melukiskan orang-orang yang
berjaga malam dalam firmannya: “Hanya sesungguhnya orang-orang yang beriman
kepada ayat-ayat Kami, apabila diperingatkan dengannya, mereka tunduk sujut dan
mereka bertasbih dengan memuji Tuhannya sedang mereka tidak sombong. Mereka
meregangkan lambungnya dari tempat tidur, mereka menyeru Tuhannya dengan takut
dan penuh harap, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan
kepaanya. Maka tidak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka
dari penyejuk mata (nikmat) sebagai balasan terhadap apa yang mereka telah
kerjakan. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, maka bagi mereka
surga tempat kediaman sebagai anugrah terhadap apa yang telah mereka kerjakan”.
Kesabaran sebagai
perbendaharaan hidup, dalam rangka perjalanan hidup manusia harus bisa bersabar
untuk menuju ridha Allah dengan cara
mengendalikan desakan hawa nafsu, memilihnya untuk bisa eksis di jalan Allah, termasuk dalam menghadapi
berbagai cobaan dan ujian. Firman Allah
dalam QS. An Nahl ayat 96 disebutkan:
”Apa-apa
yang ada pada kamu akan lenyap dan apa-apa yang di sisi Allah adalah kekal. Dan
sungguh Kami memberi balasan terhadap orang-orang yang sabar akan pahala yang
lebih daripada apa yang telah telah mereka kerjakan”. Sabar bagi orang
beriman merupakan tantangan dan sekaligus ujian dalam berhadapan dengan
benturan-benturan kehidupan. Al-Hadits:
"Sungguh luar biasa urusan atau perkara orang beriman, seluruh urusannya
selalu baik. Bila bencana menimpa pada dirinya maka ia bersabar, hal itu baik
baginya. Bila karunia datang kepadanya ia bersyukur, maka hal itu baik baginya”.
Salah satu cobaan atau ujian hidup yang dominan adalah masalah keluarga (anak
dan istri) dan harta. Allah SWT
berfirman, "Ketahuilah bahwa kekayaanmu dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu, Dan
bahwa Allah, pada-Nya-lah pahala yang besar” (QS.Al-Anfal : 28). Lalu: "Hai orang yang beriman, di antara
istri-istrimu dan anak-anakmu, ada yang menjadi musuh bagimu. Maka waspadalah
terhadap mereka, akan tetapi bila kamu maafkan, kamu tiada marahi mereka, dan
ampuni kesalahan mereka, sungguh, Allah maha pengampun, maha penyayang”
(QS. At-Taghabun: 14). Sungguh mulia nan
luhur tuntunan Ilahi bagi insan
pencari kebenaran yang hakiki dan fitri. Bila manusia mendapatkan atau
menghadapi ujian atau cobaan hidup, dengan bersabar dan ketabahan serta dapat
mempertahankan atau memadukan fungsi dzikir-pikir
dan iman-ilmu-amal, juga ibadah sholat
wajib dan sunnah taubat.
Islam
memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih pekerjaan yang baik dan makanan
yang halal serta menjauhi makanan haram. Rasulullah
bersabda: “Dari Abu Hurairah ra berkata :
Rasulullah saw bersabda: ” Sesungguhnya Allah baik tidak menerima
kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada
orang-orang mu’min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah
berfirman: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan
kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
Banyak ayat dalam Al-Quran yang menyatakan bahwa dimasukkan ke surga disebabkan amal sholeh yang dilakukan. Seperti: Adapun
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh, maka bagi mereka surga
tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang mereka kerjakan (Q.S
As Sajadah : 19). Lalu: ... tetapi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal saleh, mereka Itulah yang memperoleh balasan yang
berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman
sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga) (Q.S. Saba’ : 37). Dan: ….dan
diserukan kepada mereka: “ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa
yang dahulu kamu kerjakan” (Q.S.
Al-A’raf : 43). Juga: ”… masuklah kamu ke dalam syurga itu
disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S. An-Nahl : 32). Dan Itulah surga yang diwariskan kepada kamu
disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan (Q.S. Adz-Zukhruf : 72).
Manusia akan masuk
neraka karena akibat perbuatannya sendiri, jadi harus saling mengingatkan
tersebut Q.S. Al-An’am (6) ayat
70: ”…Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri
tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri”.
Dan apapun
permasalahan yang dihadapi orang beriman haruslah dikembalikan kepada Allah, yakni dengan mengakui dan
menyesali kesalahan serta kealfaan diri, maka semuanya akan selesai, karena
tiada lain merupakan takdir Allah.
Hubungan hablum-minallah dan hablum-minannas sekaligus, ini dapat
mengintrospeksi atau ber-muhasabah
dan mengambil pelajaran dari kesalahan serta kealfaan diri tersebut. Dengan berdzikirullah, termasuk sholat taubat dan tahajud serta hajat
sesungguhnya sebagai usaha untuk melepaskan ‘cobaan hidup’ yang dialami, agar Allah memantapkan dan menolongnya
menjadi hamba mukmin yang ulet, tabah, sabar dan gigih serta istiqamah. Allah berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, sabarlah kamu
dan teguhkanlah kesabaranmu (dalam menghadapi musuh) dan bersiap-siagalah
(untuk berperang) dan taqwalah kepada Allah agar kamu memperoleh kejayaan”
(QS. Ali Imran: 200).
Bila manusia
mukmin mendapatkan dan merasakan kesenangan atau kenikmatan hidup, dan dia
bersyukur dengan menunjukkan kesadaran akan seluruh nikmat-karunia Allah, karena dengan rahmat-Nya manusia
masih diberi hidup dan sehat hingga sampai saat ini. Dengan rahmat-rahim Allah pulalah manusia mukmin masih
sanggup menjalani amal-ibadah serta merasa senang, karena Dia masih menolong dan
mengayomi orang beriman dalam menghadapi kesulitan hidup. Sikap selalu
mempertahankan dzikir-pikir dengan
amal-ibadah dan bersyukur serta mengaplikasikan segala potensi dan karunia Allah yang dianugrahkan pada diri
manusia untuk dapat membuat kedamaian. Qalbu
yang hanya tunduk kepada Allah SWT Yang
Maha Mengetahui dan RasulNya (Ulama
pewaris) sebagai pembimbing ruhani dan bersifat metafisik (ghaib) serta
menghadapi misteri dalam kehidupan. Akal yang sehat tertuju kepada Allah SWT yang maha mengetahui segala
sesuatu yang nyata (Asy-Syahadah)
dalam kehidupan. Tubuh yang kuat dapat melaksanakan seluruh suruh Allah yang maha Asy-Syakur atau bersyukur sebagai realisasi dari hablum-minannas akan ‘nikmat hidup’,
agar Dia memantapkan dan menolongnya menjadi hamba yang pandai bersyukur, dan Allah berfirman dalam QS. Ibrahim ayat 7: ”Dan
(ingatlah) tatkala Tuhanmu memberitahukan, ’Sungguh jika kamu bersyukur’,
niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya,
sungguh azab-ku sangat keras”. Hanya dengan beramal sholeh bisa meneguhkan hati dan berdo’a,
QS. Al-Baqarah 250: “Ya
Allah Robb kami! Limpahkanlah kesabaran atas kami, kokohkanlah pendirian kami,
dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir” , dan “Ya
Allah Robb-kami! Ilhamilah kami, agar selalu mensyukuri nikmat yang Kau berikan
kepadaku dan kepada orangtuaku, dan agar aku melakukan amal saleh yang Kau
ridhai, masukanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba – hamba- Mu
yang sholeh” (QS. An-Naml :
19).
Janji Allah SWT bagi orang-orang beriman yang
beramal sholeh adalah surga
disebutkan dalam firman Allah QS. Al Baqarah ayat 82 berbunyi: “Dan
orang-orang yang beriman serta beramal sholeh, mereka itulah penghuni surga.
Kekallah mereka di dalamnya“. Dalam praktek amaliyah yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW yang diteruskan oleh para Ahli
Dzikir (para Ahli Silsilah / Ulama Pewarisnya / dengan Wasilah-Nya) yang termasuk di dalam tarekat atau ilmu tasawwuf Islam. Hadits menyebutkan “Tidaklah mendekat kepada-Ku orang-orang yang
berusaha mendekat hanya dengan sebatas pelaksanaan apa-apa yang Saya wajibkan.
(Namun), hamba selalu mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnat hingga
mencintai-Ku dan Saya mencintainya. Jika Saya mencintainya, maka Saya baginya
adalah pendengaran dan penglihatan. Dengan Saya dia melihat dan dengan Saya dia
mendengar” (HR. Abu Hurairah,
Imam Bukhari, Al Hakim, At-Turmudzi). Amal-ibadah yang berhubungan kepada Allah SWT (habluminnallah) tersebut tidak bisa dengan berupa “hanya titip
salam” atau “diwakilkan dengan membayar orang lain” dalam pelaksanaannya
terutama dalam bertaubat, dzikir dan shalat, semua itu harus dikerjakan sendiri dengan aturan yang
benar.
Dalam QS. Al-Najm ayat 36-41 dikatakan: ”Belumkah manusia diberi tahu
tentang ajaran dalam lembaran-lembaran suci Nabi Musa, dan ajaran Nabi Ibrahim
yang setia, bahwa seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain,
dan bahwa manusia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali yang dia usahakan
sendiri, dan usahanya itu akan diperlihatkan kepadanya dan kemudian akan
dibalas dengan balasan yang setimpal”. Jelas disini tanggungjawab
manusia di akherat nanti penekanannya bersifat pribadi. Al-Qur’an memperingatkan: “Wahai manusia, kamu harus hati-hati,
waspada, dalam menghadapi hari ketika saat itu tak seorangpun bisa membantu
orang lain, dan ketika itu tidak diterima perantaraan (syafa’at), dan ketika
pada saat itu juga tidak diterima tebusan”.
Untuk itulah orang Islam agar bertanya
kepada ahlinya seperti diterangkan dalam QS.
An Nahl: 43 “Fas aluu ahladz dzikri
in kuntum laa ta’lamuun” yang artinya: “Maka bertanyalah kepada ahli
dzikir jika kamu tidak mengetahuinya”. Peramalan tersebut bersumber
dari pada kehidupan Rasulullah “sebelum dan sesudah” menjadi Rasul,
semua proses itu juga merupakan pancaran ilham dan wahyu dari Allah SWT.
Dzikirullah
Dzikrullah, berasal dari
bahasa Arab ‘dzikr’ yang artinya
mengingat, mengucap atau menyebut, dan apabila dikaitkan dengan Islam sebagai dzikrullah yaitu mengingat dan menyebut
nama (asma) Allah SWT.
Hukum dasar dari amaliyah
itu berupa dzikir yaitu mengingat Allah yang memang ada dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Perhatikan firman Allah
SWT dalam surat Al-Ahzab sebagai
berikut: “Ya ayyuhal ladzina aamanudz
kurullaaha dzikran katsiira. Wa sabbihuuhu bukrataw wa ashiilaa” artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman berdzikirlah (ingatlah) kamu kepada Allah dengan
dzikir yang sebanyak-banyaknya” (ayat
41) Dan ber-tasbihlah kepada-Nya di
waktu pagi dan petang (ayat 42).
Juga dalam QS. Al Baqarah: 152 “Fadzkuruunii adzkurkum wasykuruullii walaa
takfuuruun” artinya: “Dzikir-lah kamu kepada-Ku, niscaya Aku
dzikir kepadamu, bersyukurlah kamu kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari
akan nikmat-Ku”. Disebutkan pula dalam QS. Al A’laa:14 – 15 “Qad
aflaha man tazakkaa. Wadzakaras
marrabbihii fashallaa” artinya: “Sungguh beruntung orang yang mensucikan
dirinya. Dan dzikirlah akan Allah, lalu tegakkan
shalat”. Dalam QS. Al Jinn:
16-17: “Seandainya mereka istiqamah di atas Thariqah niscaya Kami beri minum
mereka dengan air yang melimpah (karunia yang banyak); untuk Kami uji mereka di
dalamnya, dan barang siapa tidak mau berdzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia
menimpakan azab yang sangat pedih”. Dan ditegaskan lagi oleh Allah bahwa dzikrullah merupakan amalan yang paling akbar dengan firmannya: wa ladzikrullaahi akbar, “Dan
sungguh dzikrullah itu maha akbar” (QS.
Ankabut: 45). Mengenai kedudukan sebagai amalan terbaik disebutkan dalam hadits riwayat Ahmad dengan sanad
hasan: ”Maukah kalian kuberitahu amal yang paling baik untuk kalian, amal yang
paling suci di sisi Tuhan kalian, amal yang paling mengangkat derajat kalian,
amal yang paling baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, dan
amal yang paling baik bagi kalian daripada menghadapi musuh di medan jihad yang
kemudian kalian dan musuh kalian saling menebas leher ?” Para sahabat
menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah”
Nabi bersabda:”Dzikrullah”[3] Rasulullah pun bersabda pula: ”Hendaklah
lidahmu basah karena mengngat Allah” (HR. Tirmidzi). Bahkan dalam kegiatan apapun dianjurkan untuk selalu
berdzikir, sebab tanpa dzikir sesuatu itu yang akan dihasilkan
sia-sia belaka, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Setiap
sesuatu yang tidak disertai dzikir kepada Allah
adalah perbuatan main-main dan kesia-siaan, kecuali empat hal: a) suami
bercanda dengan istrinya, b) orang yang melatih kudanya, c) orang yang berlatih
memanah, dan d) orang yang berlatih berenang” (HR. An Nasai). Untuk itulah orang yang beriman berusaha untuk
mendekatkan diri dan melalui jalan Allah
agar rahmat dan anugrah-Nya dapat segera diraih. Sabda Rasulullah SAW “Tak seorangpun akan masuk surga oleh amalnya”,
Sahabat bertanya: ”Tidak juga engkau hai Rasulullah?”. Beliau menjawab:”Akupun
juga. Kecuali Allah melimpahkan anugrah dan rahmat kepadaku. Karena itu,
usahakanlah kamu benar dan istiqamah dan bersahajalah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lebih lanjut beliau Nabi SAW bersabda: “Apabila kalian melewati pertamanan sorga,
maka ikutlah meramaikannya !” Ditanyakan: “Apakah pertamanan sorga itu ?
Rasulullah bersabda: “ Majelis-majelis
dzikir” (HR. Anas bin Malik –
At-Turmudzi). Dalam Hadits-hadits
lainnya disebutkan yang artinya sebagai berikut: “ Hai manusia, merumputlah kalian di kebun
surga! Kami bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa kebun surga itu?
Beliau menjawab: “Majelis dzikir, Kalian makan pagilah (dengan dzikir), makan sore dan
berdzikir. Barangsiapa cinta mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka
pandanglah bagaimana kedudukan Allah di sisinya (dihatinya). Sesungguhnya Allah
turun pada hamba menurut turunnya hamba di sisin-Nya” (HR. Abu Hurairah dan At-Turmudzi). Hadits berikutnya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu mempunyai
malaikat-malaikat yang berkelana di Dunia, selain makhluk. Apabila mereka
melihat majelis-majelis dzikir, sebagian mereka memanggil sebagian yang lain -
Kemarilah kepada kebutuhan kalian !, maka berdatanganlah para malaikat itu dan
mereka mengelilingi majelis dzikir, serta mendengarkan. Ingatlah ! Ber-dzikir kepada Allah dan
ingatlah diri kalian”.[4] Hadits yang diriwayatkan Abi Dzar radliyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda: “Menghadiri majelis dzikir itu lebih
utama daripada shalat seribu
raka’at, menghadiri majelis ilmu lebih utama daripada menengok seribu orang
sakit dan menghadiri majelis ilmu adalah lebih utama daripada menyaksikan
seribu jenazah”. Ada yang bertanya: ‘Ya Rasulullah ! Bagaimana kalau
dari membaca Al Qur’an ?” Rasulullah
bersabda: ‘Adakah bermanfaat membaca Al Qur’an, kecuali dengan “ilmu” ‘Athaa rahimahullah berkata: “Majelis
dzikir itu dapat melebur tujuh puluh majelis main- main”.[5] Sabda Rasulullah berikutnya : “Ingatlah, Saya akan memberitahu kalian
tentang sebaik-baik amal kalian, paling sucinya amal kalian di sisi Raja
kalian, paling tingginya amal kalian dalam tingkatan beberapa derajat, dan paling baiknya pemberian daripada emas dan
perak. Jika kalian bertemu musuh-musuh kalian, maka kalian memukul leher-leher
mereka dan mereka (ganti) memukul leher-leher kalian! Para sahabat
bertanya: “Apa itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Dzikrullah”.
(HR. Al Baihaqi dari Ibnu Umar).[6] Karena tingginya
dimensi dzikir dalam hadits disebutkan: “Hari kiamat tidak akan datang kepada
seseorang yang mengucap Allah, Allah” (hadits ini diriwayatkan Anas
bin Malik dan dikeluarkan Imam Muslim
no: 148 tentang iman bab ”Hilangnya Iman
di Akhir Zaman”). Juga dalam hadits: “Kiamat tidak akan terjadi sampai di bumi ini
hingga tidak ada yang mengucapkan Allah, Allah” (HR.
Anas bin Malik dan dikeluarkan oleh At-Turmudzi ).
Keistimewaan dzikir tidak dibatasi waktunya, bahkan tidak ada waktu kecuali
seorang hamba diperintah dzikir, baik
bersifat wajib atau sunnat. Allah berfirman dalam QS. Ali Imran:190 -191 artinya: “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam adalah
tanda-tanda bagi orang yang berfikir, (yaitu) Orang-orang yang mengingat
(dzikir) Allah, baik dengan berdiri, duduk, dan (atau) berbaring dan memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi”. Dengan dzikrullah seorang hamba
bisa menyelamatkan dari gangguan atau godaan setan yang menjadi musuh nyata
manusia, seperti ditegaskan oleh Nabi SAW: ”Seorang hamba tidak akan bisa
melindungi ‘diri’-nya dari setan kecuali hanya dengan dzikrullah” (Shahih Ibn Hibban XIV:125 dan
Sunan At Tirmidzi V:148).
Di kalangan penganut terekat ada yang menyebut kata Huwa
sebagai hu (terdengar) sebagai amalan dzikir, sedangkan di hati terukir
goresan yang bermaksud Dia Allah,
jelas dihalalkan dalam syari’at dan akan memberi pengaruh
positif pada sang pelakunya atau pengamal. Kelompok Naqsyabandi juga meyakini bahwa goresan
hati mereka yang menyebut Dia Allah
ketika mulut mengatakan Huwa (hu) pasti akan diganjar sebagai sebuah
ibadah atau amalan di sisi Allah
Subhanallahu Wa Ta’ala, bila melalui saluran atau metode yang benar.
Ilustrasi ini jelas tergambar pada peristiwa Bilal bin Rabah, Muadzin
Nabi yang mulia pada saat menerima siksaan dari Umayyah bin Khalaf dan
antek-anteknya. Beliau dijemur di padang pasir yang terik seraya dicambuk terus
menerus. Namun saat itu hati (qalbu)
beliau tetap teguh mengingat hanya Dia Allah
tidak ada yang selain itu. Sementara mulut beliau tiada hentinya mengucapkan Ahad .... Ahad.... Dalam pandangan
kelompok wahabi / salafy, yang secara hukum syari’at sebenarnya hal ini dianggap
salah, apakah kelompok wahabi / salafy
berani menyalahkan beliau ? Sebab menyebut nama Allah
semestinya dengan memakai harfun nida’
(kata seru) “ي (YA)”. Jadi
semestinya Sayyidina Bilal harus menyebutkan “Ya Ahad...Ya Ahad” atau “Allahu
Ahad ....Allahu Ahad” bukan “Ahad...Ahad” saja. Tetapi kenyataannya,
Sayyidina Bilal tetap hanya menyebutkan Ahad
Ahad saja, bukan? Perbuatan
Sayyidina Bilal ini sesuai dengan hadits
Nabi: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu dan harta kamu, tetapi Allah
melihat hati-mu dan amalmu” .
Artinya meskipun di mulut secara dzahir
beliau hanya mengucapkan Ahad Ahad, namun hati beliau, sekali lagi
hati beliau dengan tegas dan nyata menggambarkan bahwa yang dimaksud adalah Allahu Ahad- Allahu Ahad ! Demikian juga
serupa dengan mengucap Allah ...
Allah...Allah. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam justru memuji dzikir yang dilakukan Bilal saat itu, bahkan menjamin beliau dengan
imbalan surga kelak di Akherat. Tidak sedikit pun Nabi SAW mengkoreksi ucapan Bilal tersebut, apalagi menuduh Sayyidina
Bilal melakukan amalan bid’ah.
Padahal Nabi sendiri tidak pernah mengajarkan sayyidina Bilal untuk berdzikir Ahad..Ahad, seharusnya, amalan
Sayyidina Bilal ini bid’ah menurut
paham wahabi / salafi, pasalnya Sayyidina Bilal ini dianggap telah lancang dan
terlalu berani membuat sebuah amalan yang tidak dibuat atau diajarkan oleh Nabi
SAW). Di sisi lain Umayyah dan Abu
Lahab berserta antek-anteknya pun memahami ucapan Bilal .. Ahad ... Ahad (yang berarti satu
... satu atau Esa ... Esa) itu
dimaksudkan adalah Allahu Ahad ... Allahu Ahad. Sehingga kemarahan mereka semakin
memuncak dan berujung kepada siksaan yang lebih dahsyat mereka jatuhkan kepada
Sayyidina Bilal. Dahsyatnya, kelompok mereka yang sejak dulu sampai sekarang
ini tidak dapat memahami jenis-jenis dzikir
seperti ini. Bukankah ini berarti lebih pandai mengkoreksi amal ummat Islam dan
menuduh sesat alias bid’ah amalan
kaum muslimin di luar kelompoknya, dibandingkan pula dengan diri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri.
Padahal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam ada bersabda: “Aku diutus membawa agama yang cenderung
kepada perkara yang haqq dan penuh toleransi !”
Shalat meski kedudukannya sebagai ibadah yang
paling mulia, namun dalam waktu-waktu tertentu tidak boleh dilakukan. Sedangkan
dzikir dilakukan sepanjang waktu
dalam berbagai keadaan. Pelajaran dalam Al
Qur’an itu seharusnya dikaji untuk dimengerti dan diamalkan atau
dikerjakan, tidak hanya untuk dibaca-baca saja seperti fiman Allah dalam Surat Yaasiin: 69 “Wa maa ‘allamnaahusy syi’ra wa maa yambaghii
lahuu in huwa illa dzikruw wa qur-aanum mubiin” artinya: “Dan kami tidak mengajarkan sya’ir
kepadanya (Muhammad) dan tidak lah pantas baginya (Al Qur’an tidak lain
hanyalah pelajaran / kajian, terkecuali dzikir / ingat Allah), berupa
peringatan dan Al Qur’an yang amat terang”.
Mereka yang melaksanakan I'tikaf / Suluk, yaitu mengintensifkan dzikrullah
Keutamaan dzikir
sebagai berikut:
a) sebagai tanda
cinta Allah,
b) sebagai tanda
beserta Allah,
c) sebagai tanda
mempunyai martabat yang tinggi,
d) tanda lebih
utama dari jihad (fi sabilillah),
e) tanda tak
kalah dari pahala sedekah,
f) sebagai tanda
harta yang tak ternilai harganya, dan
g) tanda akan
berbalas masuk surga.
Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW dalam beberapa hadits:
”Tanda
cinta Allah adalah menyukai dzikrullah (dzikir kepada Allah) Dan tanda
kebencian Allah adalah membenci dzikrullah azza wajalla” (HR.Baihaqi dari Anas ra). “Allah ta’ala berfirman, Aku bersama hamba-Ku
apabila ia menyebut nama-Ku” (HR.
Ibnu Majah, disahihkan oleh Ibnu
Hiban). “Akan selalu ada di antaramu orang-oprang yang mengingat Allah seraya
duduk di atas hamparan-hamparan, sehingga mereka dimasukkan ke dalam martabat
yang tinggi” (HR. Ibnu Hiban
dari Abu Sa’id ra). “Seandainya
seseorang memukulkan pedangnya kepada orang kafir dan musyrik hingga patah dan
berlumuran darah, tentulah orang-orang yang berdzikir kepada Allah lebih utama
daripadanya” (HR. Tirmidzi
dari Abi Said Al Khudri ra). “Sekiranya
seseorang mempunyai beberapa dirham yang dapat disedekahkan dan yang lain
mengingat Allah, sesungguhnya yang mengingat Allah itu lebih baik” (HR.Thabrani). “Harta yang tak ternilai harganya
adalah lisan yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur, dan istri
beriman yang mampu menegakkan keimanan suaminya” (HR. Ibnu Majah dan At Tirmidzi). Dan “Abdillah bin ‘Umar bertanya
kepada Nabi SAW: “Ya Rasulullah, apakah balasan bagi majelis-majelis dzikir itu
? Muhammad Rasulullah SAW bersabda: “Balasan bagi majelis-majelis dzikir adalah
surga” (HR. Ahmad).
Undang-undang
Al Qur’anul Karim adalah kitab yang
berlaku bagi orang-orang yang ruhaninya sudah
suci dan hidup. Sebagaimana firman
Allah sebagai berikut dalam QS.
Yaasiin: 70, “Li yundzira man kaana hayyaw wa yahiqqal qaulu ‘alal kaafiriin”
artinya: “Dia (Muhammad) agar memberi ingat kepada siapa-siapa yang hidup hatinya;
dan tetap la hukuman / siksa buat orang-orang yang ingkar”.
Tersebut dalam QS Al Waqiah: 77 – 81 “Innahuu la qur-aanun kariim, fii kitaabim
maknuun, tanziilum mir rabbil ‘aalamiin. A fa bi haadzal hadiitsi antum
mudhinuun” yang artinya: “Sesungguhnya
Kitabullah (Al Qur’an) yang paling mulya adalah kitab suci yang disembunyikan,
yaitu Al Qur’an yang tidak bisa disentuh kecuali orang-orang yang hatinya sudah
suci. Salah satu kalamullah yang datang
dari Allah Tuhan semesta alam. Bisakah kamu cerita, kalau ini pekerjaan mudah ?”
Selanjutnya pendidikan
budi pekerti dalam Islam dilakukan melalui jalan tarekatullah (dalam ilmu tasawwuf)
sebagai metode atau melalui suatu “pendidikan ruhani” yaitu dengan dzikir, wirid (dzikir bersama), melaksanakan
I’tikaf
/ Suluk yaitu mengintensifkan dzikirullah dan berusaha
mendekatkan diri kepada Allah SWT,
sehingga Allah sendiri yang
mencerdikkannya dan memberi petunjuk sebagai ilmu Laduni yang akhirnya
membuahkan ahlaqul karimah.
Suluk secara harfiah
dalam kaitannya dengan agama Islam, masuk sufisme
dalam metode tarekat, berarti menempuh “jalan
(spiritual)” menuju Allah. Kata ‘suluk’ berasal dari terminologi Al-Qur’an, yakni ‘fasluki’, dalam Surat An-Nahl [16] ayat 69, “Fasluki
subula rabbiki zululan”, yang artinya “Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang
telah dimudahkan (bagimu)”. Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik. Kata suluk dan salik biasanya berhubungan erat dengan tasawuf, tarekat dan sufisme.
Iman dan
taqwa saja tidaklah cukup untuk bisa menjadikan orang yang berilmu dan ber-akhlaq mulia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
“Iman itu
telanjang, pakaiannya adalah taqwa, perhiasannya adalah malu dan buahnya adalah
imu” (HR. Al Hakim)[7]
[4] Imam Al Ghazali ,
Ihya ‘Ulumuddin , suntingan KH.M Zainul
Musthofa, CV. Bintang, Pelajar, hal. 110
[5] Imam Al Ghazali , Ibid,
hal 112
[6] Risalah
Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf,
Umar Faruq (penyadur) Pustaka Amani,Jakarta,
2002: hal. 317.
[7] Al Ghazali , Ihya ‘Ulumuddin , ( KH. Zainul Musthofa), CV. Bintang Pelajar,1989. Hal. 17
Hidup dan Seni.blogspot.goesmul.com.islam
goesmul@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar