Mazhab Fiqih Islam
oleh Agus Mulyadi Utomo
goesmul@gmail.com
Mazhab sebagai aliran fiqih, terdapat empat mazhab
terkenal. Keempat mazhab fikih Islam yang pada umumnya diakui
ekistensinya di dalam masyarakat muslim
dan termasuk golongan ahli sunnah
diantaranya Maliki, Syafi’i, Hambali
dan Hanafi. Semua ummat Islam apapun mazhabnya haruslah menjadikan Rasulullah SAW sebagai panutannya[1], terutama dalam
bersikap dan moral kehidupannya sebagai orang yang jujur, ikhlas, sabar, tegar,
amanah, penyayang, terbuka, taat beribadah maupun beramal-sholeh, ramah, berakhlaq
dan sebagainya.
Ada pula mazhab Syi’ah (salah satu sektenya Rafidiyah:
terkenal bersikap menolak ke-khalifah-an
Abu Bakar, Umar, dan Usman. Mereka hanya mengakui ke-khalifah-an Ali). Mazhab
lainnya yaitu Zhahiri, Dhahiriyah / Dawudi dinisbatkan oleh
Dawud Ibn Khalaf, Zaydy, Awza’i,
Jaririyah dibentuk oleh al-Thabari, Sofyan dan oleh al-Tsawri. Namun
sejumlah mazhab tersebut tidak
berkembang dan tidak bertahan. Mazhab
Ja’fari adalah sebagai pelopor
lahirnya mazhab-mazhab lainnya.
Mengapa
kita perlu mengenal perbedaan yang ada diantara penganut aliran ke-Islaman
tertentu, terutama mengenai fikih dan
perbandingan mazhab? Ini dimaksudkan
agar supaya ada saling pengertian antar golongan dan tidak saling memutlakkan
pendapat pribadi atau golongan sebagai yang paling benar, supaya tidak mudah
memvonis seseorang atau golongan lain sebagai aliran sesat, disamping untuk
menambah pengetahuan ke-Islam-an dan ke-Iman-an kita. Juga menekankan perlunya
pemahaman yang baik mengenai ukhuwwah
Islamiyah (persaudaraan ummat Islam). Sebagaimana disebutkan Al-Qur’an: “Sesungguhnya semua orang
yang beriman itu bersaudara, maka
damaikanlah diantara dua saudaramu, bertaqwalah
kepada Allah mudah-mudahan kamu mendapat rahmat-Nya”. Maksudnya
adalah kompromi (give and take),
tidak boleh mengklaim sebagai yang paling benar. Dan tidak perlu ada kekerasan
serta pemaksaan terhadap golongan lain untuk mengikuti atau mengakui apa yang
menjadi keyakinan kelompoknya. Haruslah dipahami bahwa Islam itu adalah ‘damai’
dan perbedaan-perbedaan itu adalah ‘wajar’ serta dapat pula diambil hikmahnya.
Perbedaan-perbedaan terutama fikih ini
sudah terjadi sejak masa Rasul dan
masa para sahabat. Diantaranya kasus Abu Bakar dan Umar, Ibn Mas’ud dan Utsman,
juga masalah menyembelihan dan bercukur dalam hajji, tayamum dan shalat lagi, dan sebagainya.
Ada beberapa catatan
mengenai perbedaan pendapat fikih seperti
dalam hal shalat, masalah perkawinan
dan lainnya. Adapun contohnya sebagai berikut ini:
·
Dalam masalah shalat:
mengusap kepala dalam wudhu menurut
ahli sunnah mazhab Maliki
seluruh kepala tanpa telinga, mazhab Syafi’i sebagian kepala, mazhab Hanafi seperempat kepala,
mazhab Hambali seluruh kepala
dengan telinga, dan kelompok Syi’ah yaitu mazhab Ja’fari sebagian kepala depan. Membaca surat Al-Fatihah dalam shalat fardhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali
adalah wajib dalam semua rakaat, sedang
Hanafi
tidak wajib, dan menurut Ja’fari wajib dalam dua rakaat pertama. Dalam hal mengucap salam
menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah wajib, menurut Hanafi
tidak wajib dan menurut Ja’fari adalah sunnat. Dalam hal Qunut Subuh
dalam shahih Bukhari disebutkan
bahwa Nabi melakukan Qunut Subuh dan Maghrib, menurut Maliki dianjurkan (mustahabb), Syafi’i sunnat, dan menurut Hanafi tidak boleh. Dalam
shalat jamaah Jum’at jumlah minimal
menurut Maliki 12 orang laki-laki, Syafi’i dan Hambali 40 orang laki-laki,
Hanafi
5 orang laki-laki, dan Ja’fari 4 orang laki-laki. Wudhu menyentuh wanita menurut Maliki
batal kalau dengan telapak tangan, Syafi’i dan Hambali adalah batal, Hanafi
dan Ja’fari
tidak batal. Shalat jamak karena
bepergian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah boleh, sedang Hanafi
adalah tidak boleh, dan Ja’fari mewajibkan. Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi
melakukan jamak tanpa sebab (tidak
bepergian, tidak hujan dan tidak pula sedang berperang). Menurut Syafi’i
dan Hambali
adalah boleh, sedang Maliki dan Hanafi tidak boleh
dilakukan, dan menurut Ja’fari adalah wajib. Shalat
berjamaah menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Ja’fari adalah sunnat, sedangkan Hambali adalah wajib. Dan
untuk shalat Tarawih menurut Syafi’i,
Hanafi dan Hambali 20 rakaat,
dan Maliki 36 rakaat.
·
Dalam masalah
perkawinan: akad nikah tanpa wali menurut Syafi’i dan Hambali adalah batal,
menurut Maliki, Hanafi dan Ja’fari adalah sah. Adanya saksi
dalam akad nikah menurut Syafi’i,
Hanafi, Hambali adalah wajib, menurut Maliki tidak wajib dan Ja’fari
dianjurkan (mustahabb). Walimahan menurut Syafi’i adalah wajib dan Maliki
adalah sunnat. Kifarat bila bersetubuh pada bulan Ramadhan menurut Syafi’i
hanya pada pria saja, sedang Maliki pada pria dan wanita.
Bermain-main (bukan bersetubuh) pada saat haid menurut Syafi’i dan Hanafi
adalah haram kalau tanpa
aling-aling (pakaian / kain), menurut Maliki adalam haram, sedang Hambali
dan Ja’fari
adalah boleh. Saksi dalam talak
menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali adalah tidak
perlu, sedangkan menurut Ja’fari adalah wajib.
·
Dalam masalah
lainnya: seperti masalah air mani menurut Syafi’i dan Hambali
adalah suci, sedang menurut Maliki, Hambali dan Ja’fari
adalah najis. Wudhu kemudian muntah menurut Syafi’i, Maliki dan Ja’fari
tidak batal, menurut Hanafi batal jikalau penuhi mulut,
dan bagi Hambali adalah batal. Bermalam di Mina pada hari Tasyriq menurut Syafi’i dan Maliki
adalah wajib, Hanafi sunnat, Ja’fari dan Hambali adalah boleh. Menyentuh mushaf Qur’an tanpa wudhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hanafi
adalah haram, sedangkan menurut Hambali dan Ja’fari boleh dengan
aling-aling. Buka puasa dalam perjalanan menurut Syafi’i, Maliki, Hanafi
dan Hambali
adalah boleh, dan menurut Ja’fari justru diwajibkan. Dan
banyak lagi perbedaan-perbedaan lainnya.
Dalam sejarah pengkajian fikih, bermunculan ahlu
mazhab, antara lain: Hasan Basri, Ats Tsaury Ibnu Abi Laila, Al Auza’iy, Al
Laitsi dan Imam Dawud Al Zhairi. Perkembangan dari waktu ke waktu, setelah
diadakan evaluasi dan seleksi sampai saat ini hanya empat mazhab yang mendapat dukungan para ulama yaitu Maliki, Syafi’i,
Hambali dan Hanafi. Sekilas pada tulisan berikutnya akan dibahas beberapa mazhab ahli sunnah tersebut di bawah ini.
1.
Mazhab Maliki
Imam Maliki (Malik ibn Anas
Al Ashbaqi 93-179 H) lahir di
Madinah pada tahun 93 H / 712 M, (versi Qodi’Iyad: 93 H – 189 H[2]) konon ia
dikandung 12 bulan, bahkan riwayat lain selama 3 tahun. Dan sekitar 57 tahun
lebih tua dari Imam Syafi’i. Beliau
adalah seorang ulama atau Imam yang tekun mengumpulkan hadits dan menghafalnya. Ia hidup pada masa Tabi’in dan Tabi’tabi’in (orang
yang berjumpa dengan sahabat Nabi dan orang yang berjumpa dengan orang yang
telah berjumpa dengan sahabat Nabi). Pada saat itu Ia hidup di kota kerajaan Islam
di Kota Kuffah. Adapun Madinah, di kala itu termasuk kota yang
sepi, hanya dihuni oleh pemangku-pemangku hadits,
ahli tafsir, ulama ahli tashawuf,
meraka terdiri dari Sahabat Nabi, Tabi’in
dan Tabi’tabiin. Sedang kota
Kuffah didiami oleh jago-jago politik, yang tidak kalah pula fungsinya dengan
ulama-ulama. Oleh sebab itu dasar Mazhab Maliki
diantaranya ialah amalan orang Madinah (Ulama Madinah). Imam
Malik adalah seorang “Huffazh”
(penghafal hadits) nomor satu pada
zamannya. Tidak ada seorangpun yang bisa menandingi beliau dalam hal
penghafalan hadits. Pada usia 40
tahun 100.000 hadits yang sudah
dihafal diluar kepala itu, lalu diteliti pe-rawi-nya
dan beliau cocokkan dengan ayat-ayat suci Al
Qur’an tentang arti dan tujuannya. Pada akhirnya hanya 5000 hadits yang oleh beliau dianggap shahih. Dan kemudian beliau kumpulkan
menjadi satu dalam kitab yang diberi nama “Almuwaththa”
(yang disepakati). Sesuai dengan namanya “Almuwaththa”
yang disepakati, karena kitab tersebut telah dimufakati oleh 70 ulama fiqih di Madinah. Imam Safi’i berkomentar: “Kitab yang paling shahih sesudah Al Qur’an,
ialah “Almuwaththa”.[3]
Maliki ialah mazhab fiqh yang tertua dalam Islam sunni. Mazhab Maliki
diamalkan di Utara Afrika dan sebahagian Afrika Barat. Mahzab ini mempunyai bilangan pengikut lebih kurang 25% daripada
muslim.
Mazhab
ini berbeda daripada tiga mazhab yang
lain kerana terdapat tambahan kepada sumbernya. Selain menggunakan Al Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas, Imam Maliki juga menggunakan
amalan orang Islam Madinah pada zamannya itu sebagai sumber tambahan. Mengikuti
arahan Imam Malik, merupakan juga amalan orang Madinah dilihat sebagai sunnah yang hidup seakan memandang Nabi
Muhammad berhijrah, tinggal dan wafat
di Madinah, dimana kebanyakan sahabat Nabi tinggal di Madinah. Kesannya, hadits yang dikaji oleh mazhab ini agak berbeda daripada mazhab yang lain.
Dasar-dasar pokok dari Mazhab Maliki yaitu berpegang pada:
1) Al Qur’an;
2) Sunnah Rasul SAW
yang dipandang sah;
3) Ijma’ Ahl Madinah (kadang
menolak hadits yang berlawanan atau
tidak diamalkan oleh para ulama Madinah);
4) Qias (kias / analogi / membandingkan);
5) Istislah. (istilah fikih,
yaitu pendapat bahwa sesuatu adalah salih
karena berfaedah, bijak untuk kepentingan dan keperluan umum)
Mazhab ini banyak penganutnya di wilayah
Tunisia, Tripoli, Maroko, Aljazair, Mesir Atas dan beberapa daerah Afrika.[4]
2.
Mazhab Syafi’i
Adalah Imam Syafi’i (Abu Abdullah Muhammad ibn
Idris as-Syafi’i 150 – 204 H) dilahirkan di Gazza, sebuah kampung diAsqolan, bagian selatan Palestina, pada
tahun 150 H, keturunan suku Quraisj. Walaupun beliau dilahirkan di Ghazza
(Palestina), tetapi tumbuh dewasa kampung halamannya di Mekkah. Ayah-Ibunya datang
kesana untuk suatu keperluan dan tidak lama beliau lahir disitu. Beliau menjadi
anak yatim, sebab sejak kecil sebelum mereka kembali ke Mekkah ayahnya telah
wafat di Ghazza. Nama asli dari Imam
Syafi’i adalah Muhammad bin Idris
dengan bergelar Abu Abdillah. Dalam
urutan nasab, beliau mempunyai
hubungan erat dengan nenek moyang Nabi Muhammad SAW. Nenek moyang beliau jika dijabarkan maka sebagai berikut:
Muhammad bin Idris, bin Abbas, bin Utsman, bin Syafi’i bin Saib, bin Abi Yazid,
bin Hasyim, bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, bin Qushal. Dari pihak ibu:
Muhammad bin Fatimah, binti Abdullah, bin Hasan, bin Husen, bin Ali, bin Abi
Thalib r.a. Gelar sebagai Imam Syafi’i
diambil dari nama kakek beliau yang ke empat, yaitu Syafi’i bin Saib. Catatan
penting lainnya adalah pada umur 2 tahun kembali ke Mekkah Almukarramah bersama
ibunya. Ketika masih kecil belajar membaca Al
Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthin. Pada usia 9 tahun beliau hafal Al Qur’an 30 juz diluar kepala. Ia
pandai tatabahasa, syair dan ilmu bahasa. Ia menghafalkan kitab al-Muwaththa’ dalam satu malam. Dalam
usia 15 tahun diberi tugas oleh gurunya Muslim bin Khalid Azzanjiy mengajar di
Masjidil Haram, memberikan fatwa, sehingga mengagumkan orang-orang yang naik Hajji pada masa itu. Pada tahun 170 H,
beliau pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Maliki dengan membawa
sepucuk surat dari gurunya Muslim bin Khalid yang ditujukan kepada Imam Malik
bin Anas. Dalam perjalanan yang memakan waktu 8 hari 8 malam itu, Imam Syafi’i
membaca Al Qur’an 16 kali khatam. Pengetahuannya tentang Al Qur’an tak terkalahkan di zamannya,
secara istimewa dicurahkan tenaganya untuk mempelajari sunnah Nabi. Sebagai ulama besar dimana hasil ijtihadnya Imam Syafi’i dikenal dengan sebutan “Mazan Imam Syafi’i”. Beliau juga selama
setahun tidak pernah pisah dengan Imam Malik. Beliau disamping menjadi murid
juga diangkat sebagai pembantu Imam Malik[5] dan mengenal
dengan baik ajaran Imam Hanafi dan Imam Malik. Ia mengembara ke Yaman,
Baghdad dan menetap di Mesir, dan wafat pada hari kamis malam jum’at tanggal 29
Rajab 204 H / 820 M, dan dimakamkan di Zahro. Pemikiran fikih mazhab ini diawali oleh Imam Syafi’i, yang hidup di zaman
pertentangan antara aliran ahli hadits
(cenderung berpegang pada teks hadits)
dan ahl al-ra'y (cenderung berpegang
pada akal fikiran atau ijtihad). Imam
Syafi’i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh ahli hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh ahl al-ra'y yang juga murid Imam Abu
Hanifah. Imam Syafi’i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua
kelompok tersebut. Imam Syafi’i menolak Istihsan
dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih-mursalah
dari Imam Malik. Namun demikian mazhab
Syafi’i menerima penggunaan qiyas
secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran
utama tersebut, keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fikih, Usul al-Fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut;
dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.
Kitab-kitab Imam Syafi’i antara lain: a) Ar Rizalah (kitab ushul fiqih pertama), b) Al
Umm merupakan kitab besar ilmu fiqih,
c) Ikhtifatul Hadits, berisikan
tentang perselisihan hadits-hadist
Nabi SAW, dan d) Al Musnad, berisikan
sandaran (sanad) Imam Syafi’i dalam
meriwayatkan hadits-hadits. Ajaran
Syafi’i terutama berdasarkan Sunnah seperti
ajaran Imam Malik, tetapi data-data yang digunakan jauh lebih banyak dan
berasal dari berbagai tempat. Dasar-dasar mazhab
Syafi’i dapat dilihat dalam kitab Usul
al-Fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh
al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi’i menjelaskan kerangka dan
prinsip mazhabnya serta beberapa
contoh dalam merumuskan hukum far’iyyah
(yang bersifat cabang).
Dasar-dasar atau asas-asas pokok mazhab Syafi’i yakni berpegang
pada:
1) Al Qur’an;
2) Tafsir lahiriahnya Al
Qur’an selama tak ada dalil yang
menegaskan bahwa yang dimaksud bukan lahiriahnya; Imam Syafi’i pertama
sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur’an
dalam menetapkan hukum Islam.
3) Sunnah Nabi SAW; Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari
Al-Qur’an. Imam Syafi’i sangat kuat
pembelaannya terhadap sunnah sehingga
dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
4) Ijma’,hukum yang tak ada dalam Al Qur’an dan Hadits,
keputusan diambil alim-ulama dan atas kata sepakat (tidak diketahui ada
perselisihan tentang sesuatu); Ijma’
para Sahabat Nabi, yang tak diketahui pula ada perselisihan tentang hal itu. Ijma’ yang diterima Imam Syafi’i sebagai
landasan hukum adalah ijma’ para
sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid
pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya hal seperti ini
tidak mungkin terjadi.
6) Qias (ditolak dasar istihsan
dan dasar ihtislah). Kias yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad,
apabila dalam ijma’ tidak juga
ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi’i menolak dasar istihsan dan istislah
sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.
7) Istidlal, adalah suatu istilah fikih, yakni mencari atau menegakkan dalil daripada penetapan akan
dan kesimpulan-kesimpulannya atau dari seseorang yang mengetahuinya, yang dipandang
sebagai ushul fikh.
8) Istishab (suatu istilah fikih),
yaitu mencari hubungan, sambungan, berusaha menghubungkan sesuatu dengan
keadaan sebelumnya. Berarti membawa serta sesuatu yang telah ada di masa lalu ke
masa sekarang. Istishab merupakan
salah satu pegangan dalam menetapkan hukum yang tidak mempunyai dalil yang
tegas dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma
maupun Qiyas. Dengan perinsip istishab manusia dapat memberlakukan
suatu dalil hukum yang berlaku pada masa lampau, tanpa adanya keterangan bahwa
hukum itu berlaku seterusnya. Misalnya, memberlakukan ketentuan bahwa asal
hukum segala sesuatu adalah boleh, kecuali bila ada larangan yang jelas, bagi
hal-hal baru yang illatnya tidak
ditemukan. Salah satu dasar pokok mazhab
Syafi’i. Sebagian ulama terutama dari
kelompok Hanafiah tidak menerima istishab sebagai pegangan dalam
menetapkan hukum).
Imam Syafi’i pada awalnya mengeluarkan
ijtihad-ijtihadnya, yang biasa
disebut dengan istilah Qaul Qadim
(pendapat yang lama), ketika tinggal di Baghdad. Ketika kemudian Imam Syafii
pindah ke Mesir kerena munculnya aliran Mu’tazilah
yang telah berhasil mempengaruhi kekhalifahan,
ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di
Baghdad, lalu Ia mengeluarkan ijtihad-ijtihad
baru yang berbeda, atau yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid (pendapat yang baru). Imam
Syafi’i berpendapat bahwa qaul jadid
tidak berarti menghapus qaul qadim.
Jika terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul
jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian, kedua qaul tersebut sampai sekarang masih
tetap dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab
Syafi’i.
Penduduk terbanyak masuk dalam mazhab ini adalah Indonesia,
Mesir Bawah, Arabia Barat (Saudi Arabia), Syria, Semenanjung Malaya
(Malaysia-Singapura), Pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, Bahrain, Indonesia
dan beberapa negara di Asia Tengah.[6]
Imam Syafi’i,
begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, terasa begitu lekat di
dalam hati, setelah nama-nama seperti Khulafaur
Rasyidin. Namun orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam kapasitasnya
sebagai ahli fiqih. Padahal
sebenarnya beliau juga adalah tokoh dari kalangan ummat Islam dengan multi
keahlian. Ketika memasuki Baghdad, beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits).
Dan Imam Adz-Dzahabi menjuluki beliau dengan sebutan Nashirus Sunnah (pembela sunnah)
dan salah seorang Mujaddid (pembaharu) pada abad kedua hijriyah. Muhammad bin Ali bin Shabbah Al-Baldani berkata: “Inilah wasiat
Imam Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya, ‘Hendaklah Anda
bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Satu,
yang tiada sekutu bagiNya. Dan
sesungguhnya Muhammad bin Abdillah adalah hamba dan RasulNya. Kami tidak
membedakan para rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, Tuhan
semesta alam yang tiada bersekutu dengan sesuatu pun. Untuk itulah aku
diperintah, dan saya termasuk golongan orang yang menyerahkan diri kepadaNya.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala membangkitkan orang dari kubur dan
sesungguhnya Surga itu haq, Neraka itu haq, adzab Neraka itu haq, hisab itu haq
dan timbangan amal serta jembatan itu haq dan benar adanya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala membalas hambaNya sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini
aku hidup dan mati, dan dibangkitkan lagi Insya-Allah. Sesungguhnya Al-Qur’an
itu adalah kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan makhluk ciptaanNya.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari akhir nanti akan dilihat oleh
orang-orang mukmin dengan mata telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu
penghalang, dan mereka mendengar firmanNya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy.
Sesungguhnya takdir, baik buruknya adalah berasal dari Allah Yang Maha Perkasa
dan Agung. Tidak terjadi sesuatu kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
kehendaki dan Dia tetapkan dalam qadha’ qadarNya. Sesungguhnya sebaik-baik
manusia setelah Baginda Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu’anhum. Aku mencintai dan setia kepada
mereka, dan memohonkan ampun bagi mereka, bagi pengikut perang Jamal dan
Shiffin, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, dan bagi segenap Nabi. Kami
setia kepada pemimpin negara Islam (yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah)
selama mereka mendirikan shalat. Tidak boleh membangkang serta memberontak
mereka dengan senjata. Kekhilafahan (kepemimpinan) berada di tangan orang
Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun
diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah haram. Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, konsisten dengan sunnah dan atsar dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Tinggalkanlah
bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sejauh yang
engkau mampu. Ikutilah shalat Jum’at, jama’ah dan sunnah (Rasullullah
Shallallahu’alaihi wasallam). Berimanlah dan pelajarilah agama ini. Siapa yang
mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka bimbinglah aku membaca
“Laailahaillallah wahdahu lasyarikalahu waanna Muhammadan ‘abduhu warasuluh”.
Di antaranya yang
diriwayatkan oleh Abu Tsaur dan Abu Syu’aib tentang wasiat Imam Syafi’i
adalah: “Aku tidak mengkafirkan seseorang
dari ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa besar, aku
serahkan mereka kepada Allah Azza Wajalla dan kepada takdir serta iradah-Nya,
baik atau buruknya, dan keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah
dia, dan siapa yang dikehendakiNya menjadi mukmin, mukminlah dia. Tetapi Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak ridha dengan
keburukan dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia memerintahkan
ketaatan, mencintai dan meridhainya. Orang yang baik dari ummat Muhammad
Shallallahu’alaihi wasallam masuk Surga bukan karena kebaikannya (tetapi karena
rahmatNya). Dan orang jahat masuk Neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia
menciptakan makhluk berdasarkan keinginan dan kehendakNya, maka segala sesuatu
dimudahkan bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat dalam
hadits. (Riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya). Aku mengakui hak pendahulu
Islam yang sholeh yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyertai
NabiNya, mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari apa yang terjadi di
antara mereka, pertentangan ataupun peperangan baik besar maupun kecil. Aku
mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman kemudian Ali radhiallahu
‘anhum. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku, bahwa
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan, bukan makhluk yang diciptakan.
Sedangkan mempermasalahkan lafazh (ucapan seseorang yang melafazhkan Al-Qur’an
apakah makhluk atau bukan) adalah bid’ah, begitu pula sikap tawaqquf (diam,
tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu bukan makhluk, juga tidak mau mengatakan
Al-Qur’an itu makhluk”) adalah bid’ah. Iman adalah ucapan dan amalan yang
mengalami pasang surut.[7]
Kesimpulan wasiat
di atas yaitu bahwa aqidah Imam Syafi’i
adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sumber
aqidah Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: sebuah ucapan seperti apapun
tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) Kitabullah atau Sunnah
RasulNya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah,
maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya)[8], Waallu a’lam. Manhaj Imam Syafi’i
dalam aqidah menetapkan apa yang
ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan RasulNya, dan menolak apa yang
ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
RasulNya. Karena itu beliau
menetapkan sifat istiwa’ (Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di
atas), ru’yatul mukminin lirrabbihim
(orang mukmin melihat Tuhannya) dan lain sebagainya. Dalam hal sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Imam Syafi’i
mengimani makna zhahirnya lafazh
tanpa takwil (meniadakan makna
tersebut) apalagi ta’thil
(membelokkan maknanya). Beliau berkata: “Hadits
itu berdasarkan zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna
yang lebih mirip dengan zhahirnya itu yang lebih utama.” [9] Imam Syafi’i
pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang harus diimani, maka beliau menjawab, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki
nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitabNya dan dijelaskan
oleh NabiNya kepada ummatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan) sampai kepadanya
karena Al-Qur’an turun dengan membawa
nama-nama dan sifat-sifat itu. Maka barangsiapa yang menolaknya setelah
tegaknya hujjah, ia adalah kafir.
Adapun sebelum tegaknya hujjah, ia
adalah ma’dzur (diampuni) karena
kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan
pemikiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini”
(dua tangan), dengan firmanNya, yang artinya: “Tetapi kedua tangan Allah terbuka”
(QS: Al-Maidah: 64). Dia memiliki
wajah, dengan firmanNya, yang artinya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahNya”
(QS: Al-Qashash: 88)”.[10]
Kata-kata “As-Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam
Syafi’i dimaksudkan untuk tiga arti. Pertama,
adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah, berarti lawan dari bid’ah.
Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan dari kalam atau ra’yu).
Ketiga, berarti ilmu tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu pula sebaliknya. Imam
Syafi’i berkata: “Siapa yang mendalami
ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika
ombaknya sedang menggunung”.[11] Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i
dengan sebutan Ahlul Hadits. Karena
itu beliau juga berwasiat: “Ikutilah
Ahlul Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya.”[12] Dan “Ahli Hadits di setiap zaman adalah bagaikan
sahabat Nabi.” [13]
Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh
Imam Syafi’i untuk diikuti adalah Imam Ahmad bin Hambal, murid Imam Syafi’i
sendiri yang menurut Imam Nawawi:
“Imam Ahmad adalah imamnya Ashhabul
Hadits, imam Ahli Hadits”.[14]
Pemikiran fiqih mazhab Syafi’i ini diawali oleh Imam Syafi’i, yang hidup pada zaman
pertentangan antara aliran ahli hadits
(cenderung berpegang pada teks hadits)
dan ahl al-ra’y (cenderung berpegang
pada akal fikiran atau ijtihad). Imam
Syafii kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya
sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam
Syafi’i menolak Istihsan dari Imam
Abu Hanifah maupun Mashalih-mursalah
dari Imam Malik. Namun demikian mazhab
Syafii menerima penggunaan qiyas
secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran
utama tersebut, keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fiqih, Usul al-Fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut;
dan kealimannya diakui.
Imam Syafi’i pada
awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama ia tinggal di sana, ia
mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang
biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim (pendapat yang lama).
Ketika kemudian Imam Syafi’i pindah ke Mesir kerena munculnya aliran Mu’tazilah
yang telah berhasil mempengaruhi pemerintahan kekhalifahan, ia melihat suatu kenyataan masalah yang berbeda dengan
yang sebelumnya. Dan mengeluarkan ijtihad-ijtihad
baru yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid (pendapat yang baru).
Imam Syafi’i berpendapat bahwa qaul jadid
tidak berarti menghapus qaul qadim.
Jika terdapat kondisi yang cocok baik, maka dapat digunakan salah satunya.
Dengan demikian, kedua qaul tersebut
sampai sekarang masih tetap dianggap berlaku oleh para pemegang mazhab Syafi’i.
Penyebar-luasan
pemikiran mazhab Syafi’i berbeda
dengan mazhab Hanafi dan mazhab Maliki yang banyak dipengaruhi
oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok
pikiran dan prinsip dasar mazhab Syafi’i
terutama disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama
Imam Syafi’i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan mazhab Syafi’i pada awalnya adalah:
Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w.
878), dan Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884).
Imam Ahmad bin
Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits
terkemuka dan pendiri firqah mazhab
Hanbali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi’i. Selain itu, masih banyak
ulama-ulama yang kemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan mazhab Syafi’i, antara lain: Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i,
Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah, Imam Tabari,
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Abu Daud, Imam Nawawi, Imam As-Suyuti,
Imam Ibnu Katsir, Imam Dhahabi, dan Imam Al-Hakim.
Imam Syafi’i
terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam (Usul al-Fiqh), tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, melainkan
ilmu ini baru lahir setelah Imam Syafi’i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi’i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif diantara mazhab-mazhab fiqih sunni lainnya,
dimana berbagai ilmu keIslaman telah berkembang berkat dorongan metodologi
hukum Islam dari para pendukung mazhab
ini. Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang
dituntut oleh mazhab Syafi’i,
terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung
setia mazhab ini. Di antara mereka
bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Ahli Sunah
Waljamaah di bidang mereka masing-masing. Saat ini, mazhab Syafi’i diperkirakan diikuti oleh 28%-45% ummat Islam
sedunia, dan merupakan mazhab
terbesar dalam hal jumlah pengikut.
3.
Mazhab Hambali
Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal bin Hilai, lahir
di Baghdad tahun 164 H tumbuh dewasa di kota ini dan wafat pada usia 77 tahun
di hari jum’at Rabi’ul Awwal tahun 241 H / 855 M. Setelah menderita sakit
selama beberapa minggu. Dan di makamkan di Bab Harb di Kota Baghdad. Nama
Hambali ia sandang dari nama datuknya, sejak kecil dikenal dengan nama Ahmad
bin Hambal. Ia belajar ilmu fiqh kepada
al-Syafi’I, dan mencurahkan dirinya terhadap sunnah yang menjadikan sebagai tokoh besar di zamannya. Kitab–kitab
Imam Hambali antara lain: a) Tafsir Al
Qur’an, b) An Nasikh wal Mansukh,
c) Al Muqoddam wal Muakhkhor fil Qur-an,
d) Al Manasikul Kabir, e) Al Illah, f) Al Musnad yang berisi 40.000 hadits
(di Indonesia hanya dikenal Al Musnad
terdiri 6 jilid, Al Waro’i dan Ash Sholah). Mazhab Hambali berdasarkan atas nash,
yaitu Al-Qur’an dan Hadist yang shahih, fatwa sahabat, pendapat sahabat paling dekat dengan Al Qur’an dan hadits, hadits dha’if
yang tidak terlalu lemah dan hadits
mursal, dan yang terakhir, jika terpaksa, juga qiyas. Karena itu mazhab
ini digolongkan sebagai aliran ahlu
‘l-hadits yang mendahulukan hadits walaupun
dhaif daripada ra’ya. Ulama-ulama yang berjasa mengembangkan mazhab Hambali antara
lain Abu ‘l-Qasim al-Karkhi (wafat
tahun 881 M), Abdu ‘l-Aziz Ja’far
(wafat tahun 910 M), Ibnu Qudamah
(wafat tahun 1164 M), Ibnu Taymiah
(wafat 20 Syawal tahun 749 H [15] / 1273 M) dan Ibnu Qayyim (wafat tahun 1296 M). Penganut mazhab ini terutama terdapat di Arab Saudi.[16]
Mazhab Hanbali adalah satu
daripada empat mazhab fiqih terkenal
dalam aliran ahli sunnah wal jamaah Mazhab ini juga mendapat pengikut dari
aliran Wahabi dan Salafi tetapi posisi ini tidak diakui
oleh sarjana Islam. Aliran Salafi
merujuk mazhab Hanbali sebagai mazhab Athari. Mazhab Hambali ini kebanyakan diamalkan oleh masyarakat Islam di
Semenanjung Arab.
Dasar-dasar pokok mazhab Hambali adalah berpegang pada hal berikut:
1) Al Qur’an;
2) Hadits Marfu’;
3) Fatwa-fatwa para
sahabat dan fatwa-fatwa sahabat yang lebih dekat pada Qur’an dan Sunnah,
diantara fatwa-fatwa yang berlawanan;
4) Hadits Mursal dan hadits
Da’if, ialah hadits yang derajatnya
kurang daripada sahih;
5) Qias (kias / analogi / membandingkan).
Mazhab ini banyak dianut penduduk Arabia
Tengah, di Saudi Arabia (terutama
kaum Wahabi dan tokoh lainnya adalah Ibnu Taymiiah[17] yang kemudian
dijadikan sumber doktrin dalam memberantas tradisi pengagungan (ziarah) kubur
para Wali dan orang muslim), juga
dipedalaman Oman dan beberapa tempat disepanjang Teluk Parsi dan beberapa kota
Asia Tengah.[18] Kini mulai
berkembang di Malaysia dan Asia tenggara.
4.
Mazhab Hanafi (699-767)
Aliran
fikih Islam yang dinisbahkan kepada
Ahmad Ibn Hambal: Abu Abdillah. Imam Abu
Hanifah Nu’man ibn Thabit al-Taymi (80-150 H). Ia keturunan Parsi,
dilahirkan di Basra tahun 699 M dan berusia 70 tahun dan wafat pada bulan Rajab
tahun 150 H, di Kuffah (Bagdad).[19] Menurut versi Qodi’Iyad Ia wafat 350 H[20]. Makamnya ada di
Al Khoizaron, Baghdad. Nama sebenarnya Nu’man putra dari Tsabit bin Zautho bin
Mah, keturunan bangsa Ajam. Kata ‘hanif’ dalam bahasa Arab berarti cenderung
kepada agama yang benar. Riwayat yang lain mengatakan beliau erat dengan tinta
guna mencatat ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Ayahnya keturunan Persia yang
berasal dari Afganistan. Abu Hanifah
pernah berguru kepada Atha bin Abi Rabah, Imam Muhammad bin Abu Sulayman, Imam
Nafi’ Mawla Ibnu Umar dan Imam Muhammad al-Baqir. Hanifah termasuk tabi’in
sebab ia masih sempat berjumpa dengan beberapa sahabat Nabi Muhammad misalnya
Abi Awfa, Watsilah bin al-Aqsa, Ma’qil bin Yasar, Abullah bin Anis dan Abu
Tufayl. Selain sebagai ulama dan Imam Mazhab,
Hanifah juga wiraswastawan yang berhasil namun hidupnya sangat wara’ dan zuhud
serta pemurah. Hubungannya dengan penguasa tidak begitu baik, karena selalu
menolak tawaran khalifah untuk menjadi Hakim Agung, bahkan Ia sempat dipenjara
dan dihukum dera setiap hari selama 15 hari. Karena tidak berhasil membujuk
Hanifah memangku jabatan Hakim Agung, Khalifah
al-Mansyur murka dan memanggilnya menghadap, di Istana Abu Hanifah disugihi
racun lalu dikembalikan ke penjara dan meninggal di penjara.[21] Beberapa karya
tulisnya yang memuat pendapatnya yang disusun para muridnya antara lain: al-Madsuth, al- jami’u ‘l-kabir, Al-Sayru
‘l-Shaghir, al-‘l-Kabir, dan
al-Ziyadah. Abu Hanifah dijuluki sebagai Bapak Ilmu Fiqih.[22] Mazhab Hanafi dikembangkan berdasarkan Al
Qur’an, Sunnah Rasul, fatwa para
sahabat, qiyas, istihsan, adat dan ‘uruf masyarakat. Sikap Abu Hanifah
terhadap hadits sangat hati-hati dan
selektif. Ia lebih banyak menggunakan qiyas
dan juga istihsan. Hal ini ada
hubungannya dengan daerah pertumbuhan mazhab
ini yang jauh dari Madinah dan Mekah, tempat tinggal kebanyakan sahabat
Nabi. Karena itu mazhab Hanafi
seringkali disebut sebagai aliran ahlu ‘l-rayu yang lebih mengutamakan
rasio. Perkembangan mazhab Hanafi
cukup luas karena peranan murid-murid Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf (wafat
tahun 731 M) yang pernah menjadi Hakim agung di Baghdad, Muhammad bin
Hasan (wafat tahun 738 M) dan Zufar
(wafat tahun 707 M). Ada ulama penganud mazhab
ini yang membagi fiqih Abu Hanifah
menjadi 3 tingkatan: 1) tingkatan pertama (masa-ilul
ushul) kitabnya berjudul Dhohiru
Riwayah, berisi kupasan dan ketetapan masalah agama oleh Imam Hanafi
bercampur buah pikiran para sahabat Imam Hanafi yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin
Hasan dan lainnya; 2) tingkatan kedua (masa-ilun
Nawadir) tentang masalah-masalah agama, diriwayatkan oleh Imam Hanafi dan
para sahabatnya, kitabnya Haruniyyar,
Jurjaniyyat dan Kaisaniyyat
(Muhammad bin Hasan), serta Al Mujarrod
(Hasan bin Iyad); 3) tingkatan ketiga (Al
Fatawa wal Waqi’at) berisikan masalah-masalah agama dari para ulama mujtahid mazhab Hanafi yang datang
kemudian, karena keterangannya tidak mereka dapat pada pendahulunya, seperti
kitab Al Fatawa wal Waqi’at pertama
yaitu An Nawasil (Abdul Laits As
Samarqondy, wafat 375 H).
Mazhab
Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh
dalam Islam sunni. Suatu mazhab yang dikenal sebagai mazhab paling terbuka kepada idea
modern. Mazhab ini diamalkan terutama
sekali di kalangan orang Islam sunni
Mesir, Turki, sub-benua India dan sebahagian Afrika Barat, walaupun pelajar
Islam seluruh dunia belajar dan melihat pendapatnya mengenai amalan Islam. Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang dianut dengan sekitar 30%
pengikut. Kehadiran mazhab ini tidak boleh dilihat sebagai perbedaan mutlak
seperti dalam Kristian (Prostestan dan Katolik) dan beberapa agama lain.
Sebaliknya ini merupakan perbedaan yang sehat melalui pendapat yang logis dan
idea dalam memahami Islam. Perkara pokok seperti akidah atau tauhid masih
sama dan tidak berubah.
Dasar – dasar pokok dari mazhab Hanafi berpegang pada :
1) Al Qur’an;
2) Sunnah Rasul SAW beserta peninggalan-peninggalan
1. sahih yang telah masyhur
di antara para ulama;
3) Fatwa-fatwa para
sahabat;
4) Qias;
5)
Istihsan; Secara bahasa istihsan
berarti menganggap baik sesuatu (hasan),
adalah salah satu cara menetapkan hukum
di kalangan ahli ushul fikih. Melalui
metode istihsan, seorang mujtahid meninggalkan hukum yang
didasarkan atas qias jali (analogi
yang jelas persamaan illatnya) ke
hubungan baru yang berdasarkan atas qias
khafi (persamaan illatnya
tersamar) atau dari hukum yang didasarkan pada dalil kulli (alasan yang bersifat umum) ke hukum yang didasarkan atas
dalil juz’i (alasan yang bersifat
khusus). Salah satu contoh mengqiaskan wakaf kepada sewa-menyewa dan tidak
kepada jual-beli, karena lebih mengutamakan segi kemanfaatannya daripada segi
perpindahan hak milik. Perpindahan hukum itu lebih tepat. Metode istihsan ini lebih banyak digunakan
dikalangan ulama Hanafiyah sebagai
salah satu dasar pokok mazhab Hanafi dan ditolak keras dikalangan
ulama Syafi’iyah.
6) Adat beserta ‘uruf umat.
Penganut mazhab
Hanafi terdapat banyak di anak daerah India, Turki, Afganistan, Kawasan Balkan,
China dan Rusia.[23]
[1] Prof.Dr. KH. Said
Agil Siraj, Republika: 26-03-2007
[2] Qodi’Iyad Ibn Musa Al Yahsudi, Keagungan
Kekasih Allah Muhammad SAW
Keistimewaan Personal Keteladanan Berisalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 812
[3] Abdul Ghoni A, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, CV.
Bintang Pelajar, 1986, hal 110-111
[7] Al-Amru bil Ittiba’, As-Suyuthi, hal 152-154, tahqiq Mustofa Asyur; Ijtima’ul Juyusyil
Islamiyah, Ibnul Qayyim hal 165.
[10] Manaqib Asy-Syafi’i, Baihaqi hal 1-412, 413; Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, Al- Lalikai, hal 2 - 702;
Siyar A’lam An-Nubala’, hal 10 – 79, 80; Ijtima’ Al-Juyusy Al- Islamiyah,
Ibnul Qayyim, hal 94.
[11] Al-Mizanul
Kubra, Asy-Sya’rani, hal 1-60, (As-Sunnah
dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits
yaitu apa yang datang dari Rasulullah
selain Al-Qur’an).
[17] Budi Munawar, Rachman, Argumen Pengalaman Iman Neo-Sufisme Nurcholish Madjid, dalam Tsaqafah, Vol.1, no.1, 2002,
hal 56
[20] Qodi’Iyad Ibn Musa Al Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah Muhammad SAW : Keistimewaan Personal
Keteladanan Bersalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 786
Hidup dan Seni / blogspot.goesmul.com.islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar