AKTUALISASI ISLAM KAFFAH
oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
goesmul@gmail.com
Islam adalah agama yang luas cakupannya.
Agama Islam tidak hanya mengatur tata hubungan antara seorang hamba dengan Allah. Ajaran Islam mencakup seluruh
hajat kehidupan manusia. Islam mengatur berbagai persoalan hidup manusia, dari
ekonomi, politik, hukum, keluarga, dan juga lingkungan. Ayat yang memerintahkan
agar orang beriman menjalankan Islam secara keseluruhan. Orang Islam wajib
mengatur seluruh hidupnya dengan ajaran Islam. Baik dalam masalah amal-ibadah,
sosial, ekonomi, budaya, politik, pendidikan dan lain-lainnya. Ajaran Islam tidak mencampurkan antara yang haq dengan yang bathil, firman Allah: ”Dan
janganlah kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, dan kalian
menutupi yang haq padahal kalian mengetahui” (Qs. Al-Baqarah;42). Melihat luasnya cakupan ajaran Islam, sangat
memungkinkan seorang muslim secara individual bisa melaksanakan seluruh ajaran
secara kaffah, yaitu maksudnya
melaksanakan secara lahir dan batin, tentu saja dengan bimbingan ruhani dari
Guru yang Mursyid.
Dalam menangani
persoalan pendidikan otak, fisik-jasmani dan ruhani-gaib (metafisik) yang
bernafaskan Islam dimungkinkan seorang
muslim dapat melaksanakannya secara keseluruhan tentu dengan metode yang benar,
dalam kehidupan pribadi, rumahtangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan pengamalan
Islam secara kaffah bisa dilaksanakan
secara berjama’ah dan terbimbing
(terpimpin). Ini sesuai dengan seruan di dalam ayat yang berbunyi ’wahai
orang-orang yang beriman’, seruan ini menggunakan bentuk kata yang menunjukkan jama’. Bentuk jamak tersebut bisa
dimaknai bahwa perintah itu adalah perintah jama’i
(kolektif), selain perintah secara individual. Di dalam jama’ah (organisasi) pasti ada pimpinan,
ada aturan, ada komitmen, dan ada disiplin. Di antara sikap-sikap yang
menunjukkan bahwa kita mengamalkan Islam secara kaffah, adalah sikap taat kepada pimpinan, komitmen kepada jama’ah Islam yang dianut, dengan sikap
disiplin terhadap aturan jama’ah.
Ketika seseorang bekerja di sebuah institusi Islam yang memiliki visi dan misi
untuk menjalankan Islam secara kaffah,
otomatis ia telah menjadi bagian dari upaya menjalankan Islam secara kaffah itu sendiri. Karena itu
tugas-tugas yang dibebankan oleh pimpinan institusi tersebut harus dilaksanakan
sekuat tenaga, penuh dengan tanggung jawab dan amanah. Jika dahulu para sahabat
Radhiyallahu 'Anhu sangat takut untuk
dipilih menjadi seorang pemimpin untuk mengemban amanah dan bertindak adil
serta arif-bijaksana, maka sekarang ini ada banyak orang yang berlomba-lomba
menjadi pemimpin. Semua mengaku yang terbaik! Benar sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah: "Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan,
padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan” (HR.Al-Bukhari). Menurut perspektif Islam
ada dua peran yang dimainkan oleh seorang pemimpin: [1]
1. Pelayan (khadim), pemimpin adalah pelayan
bagi pengikutnya. Seorang pemimpin yang baik bila dimuliakan orang lain
(sebagai tanda kemuliaan). Karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa
berkhidmat dan menjadi pelayan bagi kaumnya. Seorang pemimpin sejati, mampu
meningkatkan kemampuan dirinya (jasmaniah dan ruhaniah) untuk memuliakan dan
mengarahkan kebenaran bagi orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih
segalanya, dia bekerja lebih keras, dia berpikir lebih kuat, lebih lama dan
lebih mendalam dibanding orang yang dipimpinnya. Demikianlah pemimpin sejati
yang dicontohkan Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasallam. Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu
ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-orang yang dipimpinnya.
2. Pemandu (muwajjih), pemimpin adalah pemandu yang memberikan
arahan pada pengikutnya dan untuk bisa menunjukkan jalan yang terbaik agar
selamat sampai di tujuan tentu saja itu baru tercapai dengan sempurna jika di
bawah naungan syariat Islam, Al Qur’an dan Hadits serta Ij’ma Ulama.
Diantaranya adanya
hal-hal yang menyangkut karakteristik-sifat
pemimpin dalam Islam, yaitu:
1. Jujur, pemimpin Islam haruslah jujur kepada dirinya sendiri dan
pengikutnya. Seorang pemimpin yang jujur akan menjadi contoh terbaik. Pemimpin
yang perkataan dengan perbuatannya senantiasa sejalan dengan visi dan misi Al Islam, yaitu Al Qur’an dan Sunnah.
2. Kompeten, kompeten dalam bidangnya, mutlak dimiliki oleh seorang
pemimpin Islam. Orang akan mengikuti seseorang jika ia benar-benar meyakini
bahwa orang yang diikutinya benar-benar tahu apa yang sedang diperbuatnya.
3. Inspiratif, orang yang mengikutnya bisa merasakan 'aman'
dan ’tentram’ jika bersama pemimpinnya, akan membawa pada rasa nyaman dan
menimbulkan rasa optimis seburuk apa pun situasi yang sedang dihadapi.
4. Sabar, pemimpin Islam haruslah sabar dalam menghadapi segala
macam persoalan dan keterbatasan, serta tidak bertindak tergesa-gesa dalam
mengambil keputusan.
5. Rendah hati, seorang pemimpin Islam hendaklah memiliki
sikap rendah hati. Tidak suka menampakkan kelebihannya (riya) serta tidak merendahkan orang lain.
6. Musyawarah, dalam menghadapi setiap persoalan, seorang
pemimpin Islam haruslah menempuh jalan musyawarah serta tidak menentukan
keputusan sendiri. Jika Allah
mengatakan kepada Rasul-Nya — padahal
beliau adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling banyak ilmunya dan
paling banyak idenya. Dalam firman Allah
ada menyebut: "Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu" (QS. Ali Imran: 159). Maka bagaimana
dengan yang selain beliau ?
7. Mampu berkomunikasi dengan pengikutnya. Kapasitas ilmiah
dan amaliah serta empati sebagai rasa sensitivitas yang tinggi dan baik akan
mereka yang dipimpinnya, pada akhirnya akan melahirkan seorang pemimpin
dibawahnya yang juga mampu berkomunikasi dengan baik kepada ummatnya.
Komunikasi yang baik kepada ummatnya bukanlah sekadar kemampuan retorika yang
baik, tetapi juga kemampuan memilih hal yang akan dilempar kepada publik serta timing yang tepat dalam melemparkannya.
Kematangan seorang pemimpin akan membuatnya mampu berkomunikasi yang jauh dari
sikap emosional. Dan yang terpenting dari semua itu adalah sang pemimpin
akhirnya mampu mengambil sebuah kebijakan yang tepat dalam sebuah kondisi yang
memang dibutuhkan oleh ummat yang dipimpinnya.
Kekuatan pemimpin
dapat dilihat dan dirasakan para pengikutnya, seperti adanya:
1. Kekuatan iman,
Islam, ikhsan, ilmu dan wawasan yang luas. Seluruh nabi dan rasul memimpin dengan kekuatan iman dan
ilmu. Nabi Sulaiman Alaihissalam
memerintah hampir seluruh makhluk (seperti jin, binatang, angin) dengan ilmu
dan keimanan yang kuat. Nabi Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam dapat menyelesaikan berbagai masalah dengan ilmu dan
keimanan yang kuat. Dengan ilmu dan iman seorang pemimpin sanggup memimpin
dirinya (seperti memimpin matanya, hatinya, lidahnya, pikiran dan hawa
nafsunya) sebelum memimpin orang lain.
2. Ibadah dan amaliah serta taqarrub kepada Allah.
Ibadah dan amal serta banyak bertaqarrub
kepada Allah, dapat melahirkan
kewibaan, ketawadhuan, kesabaran,
optimisme, dan tawakkal. Ibadah dan
amal serta taqarrub juga akan
melahirkan kekuatan ruhaniyah yang dahsyat.
3. Keteladanan.
Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
mengajak jihad, beliau bertempur
paling depan, juga dalam berperang melawan hawa nafsu, beliau bersedekah paling
ringan dan hidup paling bersahaja. Ketika Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyuruh bertahajud dan berdzikirullah,
beliaulah yang kakinya bengkak karena banyak bertahajjud dan dzikir.
Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam menghimbau ummatnya untuk berhias dengan akhlak mulia, beliaulah
manusia yang paling mulia akhlaknya.
Adapun
karaktristik dari pengikut yang baik dalam Islam, diantaranya adalah:
1. Taat. Seorang pengikut harus patuh kepada pemimpin. Setelah itu
pemimpin dibawahnya yang ditunjuk atau dipilih lewat jalan musyawarah-mufakat,
maka wajib bagi pengikutnya. Dan yang menang dan yang kalah untuk taat
kepadanya, kecuali sang pemimpin telah melanggar ketentuan Allah dan Rasul serta
membuat kerusakan.
2. Dinamis dan kritis. Seorang
pengikut harus dinamis dan kritis dalam mengikuti kepemimpinan seseorang. Islam
tidak mengajarkan suatu ketundukan buta atau sekadar ikut-ikutan, pengikut pun
akan meningkat ilmu dan amalnya sehingga kemajuan segala bidang akan terjadi.
Bagi pemimpin dan
calon pemimpin masa depan, amanah yang diemban bukanlah suatu kemegahan dan
kebanggaan. Bahkan demi mengingat beratnya beban amanah, Khalifah Umar bin
Khaththab memberikan sebuah ungkapan: "Saya sudah cukup senang jika
dapat keluar dari dunia ini dengan impas; tidak mendapat dosa dan tidak pula
mendapat pahala". Maka jadikanlah janji Allah itu hiasan dan memasukkannya menjadi pemimpin yang adil dan
didalam surga-Nya, sebagai sumber energi kehidupan dari dunia sampai akherat.
Dan tentu berlaku pula bagi mereka yang akan memberikan pilihan yang tepat dan
benar serta alternatif-alternatif kriteria kepemimpinan selanjutnya untuk
menentukan masa depan yang lebih baik. Disadari pula pemilihan pemimpin dalam
masyarakat pada umumnya, bahwa kesempatan itu datang terkadang hanya sekali
atau dua kali, sehingga mengharuskan untuk melakukan pilihan dengan benar dan
tepat. Setelah itu, kemampuan dalam menentukan arah kepemimpinan tidaklah
sekuat di saat memilih. Setidaknya, telah berusaha untuk melakukannya. Dan yang
pasti, pilihan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhaanahu Wata'ala. Karena itu, akan senantiasa dibutuhkan
seorang Muslim yang mampu menentukan pilihannya secara cerdas dan tepat.
Dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang
redaksionalnya terdapat kata iman, di antaranya terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 165: yang artinya “Orang-orang
yang beriman (kepada Allah) adalah orang yang asyaddu hubban lillah”.
Berdasarkan teks ayat tersebut dapat diketahui bahwa iman adalah identik dengan
asyaddu hubban lillah. Asyaddu
hubban berarti sikap yang
menunjukkan kecintaan atau kerinduan yang luar biasa terhadap Allah dan Rasul. Dari ayat tersebut tergambar bahwa iman adalah sikap
atau attitude, yaitu kondisi mental
yang menunjukkan kecenderungan atau keinginan luar biasa terhadap Allah. Orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang rela
mengorbankan jiwa dan raganya untuk mewujudkan harapan atau kemauan yang
dituntut Allah kepadanya. Dan orang
yang bertaqwa dapat diartikan
memiliki sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan dan
peribadatan sesuai ajaran agama Islam secara utuh (kaffah) dan konsisten atau istiqamah
serta berprilaku (akhlaq) yang baik.
Surat Al-Baqarah ayat 177 menjelaskan karakteristik orang-orang yang bertaqwa, yang secara umum dapat
dikelompokkan dalam lima indikator ketaqwaan
yaitu:
-
Pertama, iman kepada Allah
dan Rasul, para malaikat,
kitab-kitab, dan para nabi, pada hari akhir dan takdir Allah. Indikator ketaqwaan
yang ini adalah memelihara fitrah
iman.
-
Indikator taqwa yang
kedua adalah mencintai sesama ummat muslim dan manusia yang diwujudkan melalui
kesanggupan mengorbankan harta. Mengeluarkan harta yang dicintai kepada
kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang terputus di
perjalanan, orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban
dan memerdekakan hamba sahaya.
-
Ketiga, mendirikan shalat
dan menunaikan zakat. Indikator taqwa ini adalah memelihara ibadah formal.
- Keempat, menepati janji, yang dalam pengertian lain
adalah memelihara kehormatan diri.
- Kelima, sabar di saat kepayahan, menderta sakit,
kesusahan, dan di waktu perang, atau dengan kata lain memiliki semangat perjuangan
menegakkan kebenaran, atau punya rasa pengharapan yang lebih baik (optimis).
Implementasi
iman dan ketaqwaan dalam kehidupan
modern yaitu dalam rangka menegakkan tauhid,
seseorang harus menyatukan iman dan amal, konsep dan pelaksanaan, fikiran dan
perbuatan. Dengan demikian bertauhid
adalah menegakkan ke-Tuhan-an, artinya yakin dan percaya kepada Allah dan Rasul (Ulama Pewaris Ilmu
Rasulullah) semata, melalui fikiran
dan membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan.
Bertitik tolak
dari upaya meraih ridhlo Allah SWT, sebagai upaya menghadapi krisis
global-multidimensional yang melanda Indonesia dan dunia ummat manusia, terjadi
demoralisasi akhlak, iman memudar, amanah yang disalah gunakan, kemerosotan kasih
sayang dan perdamaian, berkecamuknya perang ideologi antar agama maupun sesama
agama, pertikaian antar kelompok masyarakat, kerusuhan, korupsi, penganiayaan,
kriminalisasi, terorisme, huru-hara, perkosaan, gizi buruk dan berbagai
penyakit baru yang mengancam kehidupan, kemiskinan, pembunuhan dan perusakan
alam sebagai suatu kejadian yang memprihatinkan dan memilukan. Keadaan ini
semakin terasa berat dengan timbulnya bencana alam yang bertubi-tubi, membuat
kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat dan berkeluarga, tidak lagi
harmonis dan demokratis, saling menyalahkan satu dengan lainnya, sehingga
menimbulkan kesengsaraan dan kekacauan. Situasi dan kondisi ini merupakan tanda
bahwa ummat manusia berada diambang kehancuran. Untuk itu kita harus sadar dan
introspeksi diri dalam menangkap isyarat dan tanda-tanda alam yang diberikan Allah SWT, untuk kemudian segera
mengatasinya. Gejala-gejala tersebut berada dalam murka ilahi, karena
merosotnya akhlaq, keyakinan dan prilaku yang telah melanggar ketuntuan Allah sebagaimana firmannya dalam QS. Al-Anfaal ayat 73: ”Jikalau
kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah, niscaya akan
terjadi kekacauan dimuka bumi dan kerusakan yang sangat besar”.
Menjalankan Islam
secara lengkap atau kaffah adalah
merupakan keniscayaan dan diharapkan menjadi semacam realitas kehidupan kaum muslimin yang menuju masyarakat Madani, yaitu menjadikan Khairu Ummah, Kalifatul fil’ardh dan rahmatan
lil alamin, yang bisa didambakan. Disamping itu sebagai alternatif jalan
keluar dari era krisis yang global sekarang ini disegala
bidang kehidupan, yaitu adanya ketidak pastian dalam berbagai hal dan menjawab
mutu religiusitas
pada akhir kurun 15 dimana begitu
banyak terjadi bala-bencana serta
huru-hara yang dahsyat baik yang ditimbulkan oleh alam maupun oleh perbuatan
manusia sendiri. Semua itu adalah merupakan peringatan Allah SWT untuk manusia agar kembali memurnikan jalan Iman, Taqwa, Islam dan Ihsan
serta memperbaiki akhlaq. Pendidikan
agama Islam sekarang telah maju hingga perguruan tinggi. Namun demikian
pendidikan pada umumnya dilihat dari hasil keluarannya belum menjalankannya
secara lengkap (kaffah) dan tidak
membuahkan akhlaq mulia seperti yang
dicontohkan Nabi Muhammad SAW, baru
sampai mempelajari secara fisik dan olah pikir, belum sampai pada dimensi metafisik (ruhani).
Untuk mengaktualisasikan Islam
secara kaffah menuju masyarakat
Madani, konsep besarnya adalah perpaduan yang seimbang antara dzikir
dan fikir serta adab perbuatan. Juga antara hati dan otak, fisik dan metafisik
(jamani dan ruhani), semuanya harus berjalan seiring. Hal inilah yang telah
nyata dalam sejarah Islam (Arab-Islam), dalam waktu 5 abad dunia Islam telah
berjaya secara gilang-gemilang. Namun kini Dunia Arab dan Dunia Islam pun
terpuruk, dimana angkara murka, korupsi, kemaksiatan, ketidakadilan dan
penindasan terhadap ummat Islam, akhlaq
yang buruk terjadi dimana-mana dan merajalela. Menurut Prof. Oberon, dari Amerika: ”Jika ummat Islam di Indonesia,
sesungguhnya kembali mengamalkan rahasia-rahasia kemenangan Nabi besarnya,
pasti Indonesia akan jaya sejayanya dan menjadi suatu negara yang tidak dapat
ditentang karena mereka bukan dalam teori saja, tetapi dalam realitas beserta
dengan kodrat Allah yang Maha Besar”.
Dengan dzikir, yang juga menunjukkan hubungan dengan Allah SWT, merupakan wujud atau buah
dari pada ke-Islam-an, peng-Esa-an, ke-Iman-an
dan ke-Taqwa-an yang
sebenar-benarnya, karena semua adalah merupakan ajaran Rasulullah SAW. Begitu banyak karunia yang telah Allah Ta'ala berikan kepada kita. Ni'matul iman, ni'matul Islam,
nikmat sehat dan waktu luang. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda : "Ada dua karunia yang banyak hamba
Allah melalaikan, yaitu nikmat sehat dan waktu luang". Disamping berdzikir, diperlukan juga sebagai bagian
dari pengembangan dan kemampuan berfikir untuk menangkap konsep-konsep alam
semesta. Kemajuan manusia saat ini dapat terbukti, dengan adanya kemajuan ilmu,
teknologi dan seni (IPTEKS) yang menunjukkan bahwa cara pendidikan akal manusia
telah mencapai tahap yang benar dan jelas serta tak perlu diragukan lagi. Hanya
saja diperlukan pendidikan yang bersifat ruhani yang lurus dan benar menurut
Islam kaffah.
Manusia kaum muslimin pada kenyataannya masih banyak
yang lupa mengingat Allah SWT.
Hubungan manusia dengan Tuhan harus kongkrit sebagai manusia Ulul Albab, yakni mereka yang dzikir ketika berdiri, duduk dan
berbaring, yang pada hakekatnya manusia bisa ingat Allah SWT sepanjang waktu, sehingga akan terbimbing tingkah lakunya
dan takut untuk berbuat yang tidak layak apalagi yang dimurkai Allah, sebagai proses pendidikan hati
(ruhani) dan mental. Dan hal tersebut sebagai pembelajaran manusia untuk
mengenal akan dirinya sebagai hamba Allah
dan mengenal Allah sebagai tujuan
hidup tertinggi. Kemudian barulah manusia memikirkan untuk bisa hidup dan
bermasyarakat serta menjaga keseimbangan alam semesta untuk kesejahteraan
ummat.
Realitas konkrit dari
manusia yang beriman seperti firman Allah
dalam surat QS..Al Anfaal ayat 2-4 sebagai
berikut: “Innamal mu’minuunal ladziina
idzaa dzukirallaahu wajilat quluubuhum wa idzaa tuliyat ‘alaihim aayaatuhuu
zaadat-hum iimaanaw wa ‘alaa rabbihim yatawakkaluun. Alladziina yuqiimuunash
shaalaata wa mim maa razaqnaahum yunfiquun. Ulaa-ika humul mu’minuuna haqqal
lahum darajaatun ‘inda rabbihim wa maghfirataw wa rizqun kariim”, artinya:
“ Sesungguhnya
orang-orang yang beriman adalah apabila disebut (nama) Allah, gemetarlah hati
mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman
mereka dan mereka bertawakkal kepada Tuhannya. (Yaitu) orang-orang yang
mmendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rejeki yang kami karuniakan
kepada mereka. Mereka itulah orang-orang mukmin yang sebenarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat
(kehormatan) di sisi Tuhannya, ampunan dan rezeki yang mulia”.
Metode atau cara atau
jalan atau aturan atau hukum seperti yang umumnya disebut adalah Syari’at yang bersifat lahiriyah (Al Maidah: 48, As Syura: 13, 21, Al Jatsiah:
18) dan Tarekat yang bersifat
batiniyah (An Nisa: 168-169, Thaha: 63, 77, Al Ahqaaf: 30, Al Mu’minuun:
17, Al Jin: 11, 16) merupakan suatu
ilmu yang saling berkaitan erat. Tarekat yang
benar harus berdiri di atas syari’at yang
benar pula. Keduanya memang cara yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk dimensi lahir dan batin. Tarekat merupakan
laboratorium pembuktian kebenaran Islam Mulia Raya secara konkrit dan kaffah, bukan hanya sampai pada akal
tetapi sampai pada dimensi ruhani (metafisik)
yang menjangkau alam Jabarut, alam Malakut dan alam Rabbani.
Untuk mendekat kepada Allah memang tidak pandang bulu, kaya
atau miskin, pandai atau bodoh, berpangkat atau tidak berpangkat, memiliki
jabatan atau tidak menjabat. Bisa dilakukan oleh semua orang dengan syarat
berakal sehat dan bersungguh-sungguh. Kesungguhan itupun juga
bertingkat-tingkat mulai dari kemauan untuk sungguh-sungguh, mau ikhlas
menjalaninya sesuai dengan kemampuan dan terus-menerus menempuh dijalanNya
dengan tidak mengenal menyerah (sikaf hanif).
Semua orang dapat melaksanakannya, terutama yang mau menjalaninya haruslah ikhlas dan tidak dipaksa, karena agama tidak pernah dan tidak boleh
memaksa, Allah pasti membimbing
mereka-mereka yang memang sungguh-sungguh yang akhirnya membenarkan ke-Esa-an Allah SWT untuk menuju iman, taqwa yang sebenarnya sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an Al
Maidah: 35, sehingga metode dan bukti-bukti kebenaran menjadi sebuah
realitas yang konkrit. Sesungguhnya tidak ada aturan yang lebih sempurna dari
aturan Allah SWT sendiri, manusia
hanya menjalankan saja semampu-mampunya dan seikhlas-ikhlasnya, demi
pekembangan zaman (Al ‘Ashr: 1-3),
yang menunjukkan betapa pentingnya waktu,
agar manusia yang beriman dapat mengisi waktunya semaksimal mungkin dengan amal kebajikan agar tidak merugi baik di Dunia maupun di Akherat. Simak QS. Al Ashr yang berbunyi “Wal
‘ashr. Innal insaana la fii khusr. Illal ladziina aamanuu wa ‘amilush
shaalihaati wa tawaashau bil haqqi wa tawaashau bish shabr”, artinya: “Demi
masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan
beramal sholeh dan saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat
dengan kesabaran”. Keberhasilan itu akan akan tampak hasilnya setelah
bekerja keras, rajin, disiplin, etos kerja yang tinggi dan mempunyai keyakinan
kuat serta cerdik dalam berusaha. Hasil tidak akan turun begitu saja dari
langit, sunnatullah berlaku disini,
dimana hukum sebab-akibat mengiringi setiap langkah manusia dalam mengarungi
samudra kehidupan. Imam Safi’i
pernah berkata: ”Siapa yang bersungguh
sungguh pasti akan mendapat”.
Islam adalah agama
yang luas cakupannya. Agama Islam tidak hanya mengatur tata hubungan antara
seorang hamba dengan Allah. Ajaran
islam mencakup seluruh hajat kehidupan manusia. Islam mengatur berbagai
persoalan hidup manusia, dari sosial-ekonomi, politik, hukum-keadilan,
pendidikan, individu-keluarga-kekerabatan, berbangsa dan bernegara, sampai juga
pada masalah lingkungan alam. Ayat-ayat Allah
SWT yang memerintahkan agar orang beriman untuk menjalankan Islam secara
keseluruhan. Orang Islam wajib mengatur seluruh hidupnya dengan ajaran Islam.
Baik dalam masalah amal-ibadah, sosial, ekonomi, budaya, politik, pendidikan
dan lain-lainnya. Ajaran Islam tidak
mencampurkan antara yang haq dengan
yang bathil, firman Allah: ”Dan janganlah kalian
mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, dan kalian menutupi yang haq
padahal kalian mengetahui” (Qs.
Al-Baqarah;42). Melihat luasnya
cakupan ajaran Islam, sangat dimungkinkan seorang muslim secara individual
untuk bisa melaksanakan seluruh ajaran secara kaffah, yaitu maksudnya melaksanakan ajaran yang bersumber Al Qur’an secara lahir dan batin, tentu
dengan bimbingan ruhani dari Guru yang Mursyid,
karena jalan Iman terutama ruhani (gaib) itu sangat halus dan mudah
menyesatkan. Dalam menangani persoalan pendidikan yang bernafaskan Islam
dimungkinkan bagi seorang muslim bisa melaksanakannya secara keseluruhan tentu
dengan metode yang benar. Pelaksanaan pengamalan Islam secara kaffah bisa dilaksanakan secara jama’ah
dan terbimbing. Ini sesuai dengan seruan di dalam ayat tersebut, ’wahai orang-orang yang beriman’, seruan
ini menggunakan bentuk kata yang menunjukkan jama’. Bentuk jamak tersebut bisa dimaknai bahwa perintah itu adalah
perintah jama’i, selain perintah
secara individual. Di dalam jama’ah
(organisasi) pasti ada pimpinan, ada aturan, ada komitmen, dan ada disiplin. Di
antara sikap-sikap yang menunjukkan bahwa kita mengamalkan Islam secara kaffah, adalah sikap taat kepada pimpinan,
komitmen kepada jama’ah Islam, sikap
disiplin terhadap aturan jama’ah.
Ketika seseorang bekerja di sebuah institusi Islam yang memiliki misi untuk
menjalankan Islam secara kaffah,
otomatis ia telah menjadi bagian dari upaya menjalankan Islam secara kaffah. Karena itu tugas-tugas yang
dibebankan oleh pimpinan institusi berbasis keagamaan tersebut harus dilaksanan
sekuat tenaga, penuh dengan tanggung jawab dan amanah.
Negara-Negara
Islam yang mencoba mengubah konstitusinya dengan memberlakukan syari’at Islam, walaupun harus belajar
dan merangkak pada awalnya, apalagi karena mereka pernah dijajah oleh Negara
non Muslim, katakanlah seperti Mesir dan Sudan yang akhirnya berhasil
menjadikan syari’at Islam sebagai
landasan berpikir dalam sistem bernegara mereka. Semangat inilah yang kemudian
mengilhami kaum muslimin yang mempraktekkan sistem tersebut di Aceh Darusalam,
dengan menampilkan hukum syari’at
Islam di Aceh yang mulai dilaksanakan pada Tahun 2001, namun sampai tahun 2009,
masih saja terjadi pelanggaran syari’at yang bertaburan di Aceh, dari
beberapa macam pelanggaran yang ditampilkan oleh polisi syari’at
dalam tabel dengan merujuk pada surat kabar yang beredar di Aceh. Melihat
kenyataan ini, mengajak pembaca untuk memiliki cinta hakiki terhadap agama tauhid ini, tidak hanya turut menaburkan
benih-benih syari’at saja, tapi
dengan melaksanakan juga Islam kaffah
dan metode dalam tarekat secara benar
di Bumi Serambi Mekkah ini, bahkan kesemua penjuru dunia dimana ada kehidupan
muslim. Bagaimanakah syari’at Islam
yang sudah diberlakukan di Aceh, untuk bisa menjadikannya Islam kaffah, siapa dan faktor apa saja yang
dibutuhkan untuk mengubah Aceh menjadi kaffah,
apakah hanya dengan bermodal pendidikan saja ? Apa dan siapa elemen paling
berpengaruh terhadap kondisi syari’at
Islam di Aceh ? Kebanyakan hanya mengambil dari hal-hal yang bersifat fisik
atau jasmani serta meteri saja, belum pada hal-hal ruhani yang bersifat metafisika Islam yang menjadikannya kaffah. Namun upaya yang dilakukan
selama ini patut diapresiasi, karena sudah meletakkan dasar Islami dalam
pengelolaan pemerintahan dan pri-kehidupan bermasyarakat, kini hanya perlu
penambahan metode dalam berdzikrullah,
sehingga menjadikannya menarik dan sempurna lagi dalam menjalani kehidupan,
baik itu sebagai pembelajaran untuk mencontoh visi Rasulullah menuju masyarakat yang Madani, terutama untuk generasi
muda Islam maupun untuk meneruskan komitmen dan misi Islam kaffah tersebut. Pada akhirnya perlu ditegakkan dalam kehidupan
sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan keagamaan, dengan cara mengajak ummat
untuk lebih jauh lagi dalam berpikir dan berusaha mengaplikasikannya
sebagaimana yang sebenarnya kekaffahan
dan dalam syari’at Islam yang benar
serta sesuai dengan tuntutan Al Qur’an
dan Hadist Rasululullah SAW.
Sejak didirikannya
suatu kelompok diskusi Islam Liberal (Milis), yaitu pada tanggal 8 Maret 2001, telah
pula mendiskusikan berbagai isu mengenai Islam, negara, dan kemasyarakatan.
Kelompok diskusi ini diikuti oleh lebih dari 400 anggota, termasuk para
penulis, intelektual, dan pengamat politik. Dimoderatori oleh Luthfi
Assyaukanie dari Jaringan Islam Liberal
(JIL), diskusi berikut mengangkat isu Islam dan konsep kaffah (sempurna). Kelompok ini mengajukan suatu pikiran yang
rupanya mengganjal dalam benak beberapa kelompok ummat muslim, yaitu perihal
Islam kaffah. Apakah beragama itu
harus kaffah ? “Kaffah” itu artinya adalah menyeluruh. Mereka ada yang
menggambarkannya dengan bahasa matematik, yaitu “kaffah” diartikan sebagai sudut 360 derajat atau lingkaran penuh.
Apakah mungkin beragama secara lingkaran penuh ? Menurut bahasa mereka, secara
kejiwaan, orang memerlukan variasi tindakan, keragaman laku. Ada bidang-bidang
dalam kehidupan, di mana agama memainkan peran penting, ada pula bidang-bidang lain
yang tidak memerlukan dari agama. Mereka menganggap agama yang “kaffah” itu hanya tepat untuk masyarakat
sederhana yang belum mengalami “sofistikasi”
kehidupan seperti zaman modern. Masyarakat Madinah pada zaman Nabi adalah
masyarakat sederhana yang belum mengalami kerumitan-kerumitan struktur seperti
zaman ini. Masyarakat modern mengalami perubahan yang radikal, mengalami proliferasi
bidang-bidang yang begitu kaya. Ledakan bidang-bidang kehidupan zaman modern
ini jelas tidak bisa diatasi seluruhnya dengan agama. Ini adalah pandangan yang
terpenggal dan sempit. Islam kaffah yang
dimaksud yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seorang muslim adalah
diniatkan karena Allah, baik dalam
beribadah dan beramal sholeh, maupun
dalam aspek kehidupan mulai yang bersifat individual, rumah tangga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, atau yang bersifat hablumminnallah dan hablumminannas
yang bersifat jasmani dan ruhani, dimana muslim harus merasakan selalu
diawasi dan beserta Allah, sehingga
dalam bertindak dan berfikir dalam koridor yang juga selalu mencari ridha Allah dan berakhlaqul karimah,
sehingga ketenangan dan kedamaian serta kemajuan pun terjadi atau
terwujud.
Beragama secara kaffah biasa difahami sebagai
pelaksanaan diktum-diktum keagamaan secara harafiah, tekstual, menyeluruh,
persis seperti diktum itu dilaksanakan pada zaman Nabi. Tentu pemaknaan kaffah semacam ini bukanlah satu-satunya
pemaknaan yang dimungkinkan. Tetapi, salah satu pengertian yang populer
mengenai kaffah adalah “meng-copy kehidupan Nabi seperti apa adanya.”
Ambillah contoh berikut ini. Kalau kita mau hidup beragama (ber-Islam) secara kaffah, maka konsekwensinya adalah boleh
jadi seluruh industri hiburan modern sekarang ini harus dihentikan. Kita tak
bisa lagi menikmati film-film Hollywood. Padahal, industri hiburan menempati
kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan di zaman modern, dari layar
genggam, layar kaca sampai layar lebar dan layar dunia maya. Di Malaysia, PAS,
suatu partai yang mewakili pandangan ke-Islam-an yang konservatif, hendak
melarang seni Melayu lokal dan Makyong. Di Indonesia ada FPI, Hizbud Tahrir dan
yang lain-lain, mau menutup tempat-tempat hiburan. Di Afghanistan orang-orang
diwajibkan berjenggot. Di mana-mana, ketika Islam konservatif bangkit, dunia
hiburan selalu menjadi korban. Apakah hiburan tak boleh? Tentu “boleh saja!”,
asalkan sesuai dengan Islam dan yang bersifat mendidik atau mencerdaskan
masyarakat.
Kalau kita ber-Islam secara kaffah, pertanyaannya adalah “how kaffah can you go?” Masing-masing orang
berlomba paling kaffah dari yang
lain. Orang-orang ada yang masih satu senti kurang kaffah dianggapnya kurang “Islami” oleh orang-orang lain yang
kebetulan sudah satu senti lebih kaffah,
dan seterusnya. Sehingga membuat tak sanggup lagi hidup dalam lingkungan di
mana orang-orang di dalamnya berlomba menunjukkan kesalehan secara obsesif. Itu
cara beragama yang mencari nilai dan sanjungan dari manusia, tapi juga harus
diingat ada nilai plus yang diukur dari ketentuan Allah dan Rasul, adalah
beragama yang kaffah secara
lahir-batin dan kebanyakan kaum muslimin dari segi batinnya inilah yang
kebanyakan tertinggal. Ada saat-saat kita beragama dengan khusyuk, ada saat kita bisa menghibur diri sendiri dengan asyik,
bahkan ada yang keterusan dan menyebabkan lupa akan kewajiban kepada Allah. Panduan yang layak kita petik
dari agama adalah peringatan, ajaran tentang larangan dan kewajiban, melatih
diri, mengetahui yang “israf” atau
berlebihan. Beragama secara kaffah,
karena visi-misi agama sebenarnya adalah sebagai penyeimbang hidup manusia
untuk tidak “berat sebelah” antara keperluan dunia dan akherat. Masalahnya
adalah bagaimana mendudukkan urutan kepentingan berdasar manfaat, menomor
urutkan yang sesuai peruntukannya dan porsinya, dari urusan ketuhanan (akherat)
sampai kepada urusan keduniaan atau sebaliknya, harus sesuai tempat dan
fungsinya. Tidak dibolik-balik, jangan sampai seperti kepala berfungsi sebagai
kaki atau kaki berfungsi jadi kepala, disini harus melihat dan bisa
menyesuaikan dengan tujuan, fungsi alami dan keperuntukannya. Bisa saja menuju
ke arah destruktif dalam hidup dan ini hanyalah sebagai sebuah tawaran ide
untuk mendinamisasi kehidupan yang akan dipilih kaum muslim. Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan pengakuan
manusia, apalagi bersifat memaksa dan dipaksakan. Seharusnyalah manusia (kita)
yang sangat membutuhkan Allah dan Rasul untuk pegangan hidup, tentu yang
dapat menentramkan jiwa, mendamaikan, dan membimbing ke arah yang menuju
kebaikan dan kemajuan.
Islam yang
dipahami, merupakan agama yang telah mencapai ke-kaffah-an, dilihat dari kandungan Al Qur’an dan Sunnah.
Hanyalah pada mereka-mereka yang terus-menerus berdebat tentang kebenaran
masing-masing dan berkutat selalu dalam soal fikih (3%) saja, yang menguras banyak energi dan menghabiskan
waktu. Sehingga unsur lainnya seperti akidah
dan akhlak yang merupakan bagian
terbesar (97%) luput dari pelaksanaan dan pembahasan. Kaffah disini, juga menyangkut tentang tiangnya agama, yaitu rukun
Islam, rukun iman dan ikhsan.
Sedangkan telaah lain hanyalah sebagai pendorong, penguat dan pembangkit serta
untuk pembuktian akan kebenaran Islam itu sendiri. Memang, dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa Islam adalah
agama yang sempurna, namun kesempurnaan itu harus dijelaskan dan kemudian
diamalkan. Juga ada tersurat, tersirat dan tersembunyi, daripada kandungan isi
seluruh Al-Qur’an, disamping
kesempurnaan juga didukung hadits dan
sunnatullah. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menuntut manusia untuk
menggunakan akalnya, untuk menyimak dan memahami dan menjelaskannya sehingga
masuk di akal (ilmiah). Hal ini menunjukkan bahwa kesempurnaan Al-Qur’an juga berbentuk dasar-dasar
dalil dan hukum yang diperuntukkan bagi yang berakal, tapi bagi ummat pengikut
atau jema’ah masih memerlukan lagi
tambahan, yaitu berupa tafsiran, ijtihad
dari ahli fikih atau ulama untuk
mengarahkan dan membimbing menuju ke-kaffah-annya itu.
Berbeda pendapat
soal kaffah pun terjadi, yang karena
itulah dalam pemahamannya, tentang konsep kaffah
itu menjadi melebar ke mana-mana, sesuatu yang bisa dihindari jikalau istilah
itu didudukkan dalam konteks Al-Qur’an
dan sunnah Rasul yang sebenarnya. Banyak yang sudah “terpengaruh” dengan
penafsiran awam dan dipahami secara literal.
Dalam konteks “silmi” yang berarti
“islam”, kita bisa membandingkannya dengan asbabun
nuzul ayat tersebut, yang jelas memberikan impresi berbeda dari yang selama
ini dipahami dari kaum literalis.
Dikisahkan, ayat itu diturunkan untuk Abdullah bin Salam, seorang Yahudi
Madinah yang konon setelah masuk Islam dan tetap menjalankan ritual-ritual
keagamaan lamanya (ia masih menjalankan ritual sabat dan membaca taurat
dalam shalat), sesuatu yang membuat
para sahabat “cemburu” dan kemudian protes kepada Nabi. Lalu, turunlah ayat “udkhulu fissilmi kaffah” itu sebagai
protes untuk sikap keberagamaan Abdullah yang sinkretis itu.
Jadi, “kaffah” itu ada hubungannya dengan
“ber-Islam secara total” seperti selama ini dipahami, tapi berupa pesan untuk
menjalankan Islam sesuai pesan Al Qur’an
dan Sunnah, tidak terpenggal penggal,
menjalankannya sesuai dengan ’tiangnya agama’, serta bermetode bagi yang
menggunakan akalnya.
Dalam kehidupan
yang plural, bagi ummat haruslah
dibedakan atau dipecah menjadi dua bagian. Di satu pihak adalah kehidupan
bersifat privat atau pribadi, disini agama memainkan peranan yang sangat
penting, dimana dalam kehidupan ini dikembangkan apresiasi dan penghayatan yang
mendalam dan khusyuk terhadap
dimensi-dimensi spiritual dan berkadar metafisik. Di pihak lain adalah
kehidupan bersifat publik yang harus diatur sesuai dengan
kesepakatan-kesepakatan masyarakat umum yang ada. Agama disini hanyalah menjadi
inspirasi untuk pengaturan itu. Dalam kehidupan publik, Tuhan menyerahkan semua
hal pada voting. “Antum a’lamu bi umuri
dunyakum”, kata Nabi: ” Kalian lebih tahu urusanmu dan yang anda
hadapi setiap hari”. Lalu: “Fa-ma
sakata ‘anhusy syari’u fahuwa ‘afwun” kata Nabi dalam hadits yang lain, apa-apa yang agama diam, maka itu berarti memang
bukan urusan agama, ia urusan duniawi yang menjadi kawasan “mubah” (diperbolehkan). Suatu pandangan
bahwa kaidah Islam sangatlah sederhana: Pertama, kaidah dasar dalam urusan
ritual adalah semua hal yang tidak memperoleh pengesahan dari agama, adalah
haram (al ashlu fil ‘ibadati al hurmatu),
seperti orang tidak boleh menciptakan cara tersendiri untuk shalat, harus seperti yang diajarkan
Nabi SAW, “Shallu kama ra-aitumuni ushalli” (shalatlah sebagaimana kalian lihat aku shalat). Ritual-ritual Islam sudah ditetapkan dengan pasti, tinggal
dijalankan saja secara fisik dan hanya menambahkan unsur khusuk (metafisik) dalam batiniahnya. Kedua, kaidah untuk kehidupan
duniawi, yaitu semua hal adalah boleh, kecuali yang jelas-jelas dilarang oleh
agama, kecuali yang atas alasan konsensus publik dilarang, atau karena alasan
kemanfaatan dan kesehatan.
Dengan pandangan
semacam ini, sebetulnya keinginan untuk mengatakan bahwa “birokratisasi
kehidupan” yang sekuler adalah satu jenis pengaturan kehidupan yang paling
masuk akal masa sekarang ini. Dalam pengaturan yang semacam itu, terdapat
kemungkinan yang tanpa batas untuk mengoreksi kesalahan dan penyelewengan yang
terjadi khusus dalam pengaturan kehidupan publik. Sebab, semua perkara ditentukan melalui
proses “duniawi” yang relatif, tidak mempunyai klaim keabsolutan. Karena itu,
sikap paling ideal sebagai muslim sekarang ini adalah secara individual
menghayati relijiusitas yang
mendalam, lalu mengembangkan penghayatan spiritual yang penuh dengan harapan,
cinta pada Allah dan RasulNya (pewarisnya). Dengan kata lain,
secara individual model yang ideal adalah yang mencintai Allah secara tuntas dan tanpa batas. Secara sosial, turut
mengembangkan kehidupan publik berdasarkan kesepakatan-kesepakatan umum yang
dicapai secara demokratis. Kehidupan publik
dikembangkan berdasarkan inspirasi cinta ketuhanan, bukan berdasarkan
diktum-diktum harafiah agama dan
menyangkut fiqh. Rasio dan nalar yang
sehat adalah panduan utama dalam pengelolaan ruang publik ini. Harus ada yang
jadi model sebagai tokoh masyarakat yang baik atau ulama sebagai panutan dan
contohan, juga termasuk tokoh yang tepat seperti terdapat dalam sejarah Islam.
Dalam wawasan
seperti ini, “ke-kaffah-an” Islam
hanya dikembangkan dalam kehidupan pribadi dan sudah final dan abadi. Dalam
sistem sosial, yang multi agama ini tak ada suatu sistem yang “kaffah”. Sistem sosial yang “kaffah” adalah sistem yang ’totaliter’
dan tidak bisa dibatalkan oleh konsensus. Sistem yang tak bisa dibatalkan oleh
konsensus dan voting, tidak layak dijadikan sebagai landasan pengelolaan
kehidupan ramai yang bersifat multi agama dan keyakinan. Sistem sosial
sebaiknya atau seharusnya selalu bersifat provisionaris,
alias sementara, bukan “kaffah”
seperti pemahaman awam.
Beragama itu
pengertiannya bukan seperti kontrak kerja yang mengharuskan full time atau tidak bolehkah beragama secara
part time ? Beragama yang baik,
adalah melaksanakan suatu penghayatan, dimana semua tingkah laku perbuatan,
perkataan, cara berfikir, niatnya mulai dari bangun tidur, mencari nafkah,
sampai tidur lagi harus sesuai tuntunan Islam, bahkan sampai ke toilet pun
harus “beragama”, karena setiap saat setan-iblis itu selalu mengincar
kelengahan dan kelemahan kita.
Istilah kaffah ada yang berpendapat sebagai
multi tafsir. Kaffah menurut mazhab yang satu tentu berbeda dengan kaffah menurut mazhab yang lain. Persoalannya hanya pada otoritas. Kata kaffah sendiri bukan sebuah istilah
final untuk menentukan benar atau salah, sempurna atau tidaknya tingkat
keagamaan seseorang. Manusia hanya sekedar penafsir terhadap simbol ketuhanan
dan keberagamaan. Dalam proses penafsiran, terkandung relativitas yang tinggi.
Ada yang mengartikan kaffah adalah
meniru sepenuhnya masa-masa Nabi SAW.
Mereka berusaha memindahkan masa silam kepada masa kini; memelihara jenggot,
pakai sorban, perempuan pakai cadar dan sebagainya. Jenggot, sorban, cadar bagi
mereka adalah bagian dari ke-Islam-an mereka. Sayangnya mereka yang di Timur
Tengah (Irak, Iran, Taliban, Afganistan, dsbnya) dalam berperang tidak memakai
pedang dan naik onta atau kuda saat melawan Amerika, seperti peperangan pada masa
Nabi dahulu. Tetapi kini sudah menggunakan senjata berteknologi canggih, dan
inilah sebuah fakta material, ini pula kekaffahan
bersifat umum yang dimaksud diyakini dan dipahami kini, bahwa Islam sesuai
dengan zamannya.
Sistem tata kelola
organisasi kedepan yang berbasis informasi dan teknologi, dengan berpegang
ajaran Al Qur’an dan Al Hadits, yang selalu untuk menegakkan
Islam dan iman-taqwa serta megajarkan
manusia agar menjadi ikhsan, maka hal
tersebut adalah suatu kenicayaan yang dibutuhkan oleh sebuah organisasi dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam secara kaffah itu adalah suatu usaha menjalani hidup ini dengan
berlandaskan keimanan dan ketaqwaan
yang lurus dan benar. Jadi semua perbuatan dari dimulai bangun sampai tidur
lagi merupakan ibadah dan harus berlandaskan azas-azas Islam. Intinya tidak
mengenal adanya sekulerisme seperti
yang difahami oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Disarankan kembalilah ke pemikiran
yang murni dan akal sehat, yaitu Diennullah
Islam yang artinya tunduk dan patuh pada Hukum-hukum Allah.
Implementasi
ekonomi berbasis syariah juga
mendukung Islam menjadi lengkap (kaffah)
merujuk firman Allah dalam surah Al-Jatsiyah ayat 18 : ”Kemudian
kami jadikan bagi kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syariah itu, dan jangan
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. Islam sebagai
ad-din
mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna (syumul). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja
aspek amal-ibadah, tetapi juga aspek muamalah,
khususnya ekonomi Islam. Al Qur’an
secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara
lain QS. 5: 3, 6: 38, 16: 89. Kesempurnaan Islam itu tidak
saja diakui oleh intelektual muslim, tetapi juga para orientalist barat, di antaranya H.A.R Gibb yang mengatakan, “ Islam
is much more than a system of theology it’s a complete civilization.” Salah
satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam
tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-Qur’an,
Sunnah, maupun ijtihad para
ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat
besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran
justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Al Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum
masalah ekonomi. C.C. Torrey dalam The Commercial Theological Term in the Quran
menerangkan bahwa Al Qur’an memakai
20 terminologi bisnis. Ungkapan tersebut malahan diulang sebanyak 720 kali. Dua
puluh terminologi bisnis tersebut antara lain,
1.Tijarah, 2. Bai’, 3. Isytara, 4. Dain (Tadayan) , 5. Rizq, 6. Riba, 7. dinar, 8. dirham, 9. qismah 10. harb / mudharabah, 11. Syirkah, 12. Rahn, 13.Ijarah / ujrah, 14. Amwal 15.Fadhlillah 17. akad / ’ukud 18. Mizan
(timbangan) dalam perdagangan, 19. Kail
(takaran) dalam perdagangan, 20. waraq
(mata uang). Nabi Muhammad menyebut, ekonomi
adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits beliau juga menyebutkan
bahwa: “Hendaklah kamu kuasai bisnis, karena 90 % pintu rezeki ada dalam bisnis”
(H.R.Ahmad), dimana sebenarnya para
pedagang (pebisnis) adalah sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat
Islam untuk bisa menguasai perdagangan atau bisnis. Berikutnya: ”Sesungguhnya
sebaik-baik usaha / profesi adalah usaha perdagangan” (H.R.Baihaqi)[2]. Demikian besarnya
penekanan dan perhatian Islam pada sektor ekonomi, karena itu tidaklah
mengherankan jika ribuan buku Islam membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas pada
topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah,
hawalah, kafalah, jialah, ba’i salam, istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya. Selain dalam kitab-kitab fikih,
terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar
(luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Seluruh kitab fikih Islam membahas masalah muamalah, contoh : Al-Umm (Imam Syafi’i), Majmu’
Syarah Muhazzab (Imam Nawawi), Majmu
Fatawa (Ibnu Taimiyah). Sekitar 1/3 isi kitab tersebut berisi tentang
kajian muamalah. Oleh karena itulah
maka Prof. Dr. Umer Ibrahim Vadillo
(intelektual asal Scotlandia) pernah menyatakan dalam ceramahnya di Program
Pascasarjana IAIN Medan, bahwa 1/3 ajaran Islam berisi tentang muamalah. Materi kajian ekonomi Islam pada masa klasik
cukup maju dan berkembang. Shiddiqi
dalam hal ini menuturkan: “Ibn Khaldun
membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata
nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan / supply
and demand, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan
penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan,
pertanian, industri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya.
Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan
ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran
tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur”.[3] Lebih lanjut
Shiddiqi mengatakan: “Kejayaan peradaban
Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak
mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide (pemikiran) ekonomi dan sejenisnya. Dari
Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah kita memiliki kesinambungan dari serentetan
pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah,
ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja, monopoli,
pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian
yang sungguh-sungguh yang diberikan atas
khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik
di bidang ilmu ekonomi”. [4] Ibnu Khaldun lebih jauh mendahului Adam
Smith, Keyneys, Ricardo dan Robert Malthus. Boulakia bahkan menyatakan bahwa: “Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi
fundamental beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia menemukan
keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan
prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori
tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam
perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah
menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang
mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi
kepada fluktuasi jangka panjang…”[5]
Ekonomi merupakan pilar peradaban. Sebagai salah satu pilar kemajuan dari
peradaban Islam adalah amwal (wealth) atau ekonomi. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengatakan “Ekonomi adalah tiang dan pilar paling penting
untuk membangun peradaban Islam (Imarah). Tanpa kemapanan ekonomi, maka
kejayaan Islam sulit dicapai bahkan tak mungkin diwujudkan. Ekonomi penting
untuk membangun negara dan menciptakan kesejahteraan ummat”. [6] Namun demikian,
ada riwayat Imam Muslim dan Ahmad ada menyebut dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Pada
akhir ummatku akan ada seorang khalifah yang melimpahkan harta
selimpah-limpahnya dan ia sama sekali tidak akan menghitung-hitungnya”.
Asy-Syatibi, Al-Ghazali
dan seluruh ulama ushul yang banyak
membahas maqashid syari’ah, senantiasa memasukkan amwal sebagai
pilar maqashid. Shah Waliullah
Ad-Dahlawy, ulama terkemuka dari India, (1703-1762) juga berkata, “Kesejahteraan
ekonomi merupakan prasyarat untuk suatu kehidupan yang baik. Tingkat
kesejahteraan ekonomi sangat menentukan tingkat kehidupan. Seseorang bila
semakin tinggi tingkat kesejahteraan ekonominya, akan semakin mudah pula untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik (hayatan thayyibah)”.
Para ulama Islam
sepanjang sejarah, khususnya sampai pada abad 10 Hijriyah senantiasa melakukan kajian ekonomi Islam. Karena itu
kitab-kitab Islam tentang muamalah
(ekonomi Islam) sangat banyak dan berlimpah. Para ulama dahulu tidak pernah
mengabaikan kajian muamalah dalam
kitab-kitab fikih mereka dan di dalam
halaqah (surau atau masjid dan pengajian-pengajian) ke-Islam-an mereka.
Tetapi pada kini telah terjadi keanehan yang luar biasa, dimana kajian-kajian
ekonomi Islam jarang sekali di dibahas di surau atau mesjid dan pengajian.
Sehingga perekonomian ummat Islam berbasis ekonomi syari’ah kurang dimengerti dan tertinggal, memudahkan ekonomi
ribawi berkembang. Tradisi keilmuwan ekonomi yang eksis di masa silam, harus
dihidupkan kembali, agar berfungsi mensejahterakan ummat Islam sebagaimana
zaman Rasulullah dapat diwujudkan kembali.
Didapatkan suatu
gambaran yang demikian maju dan berkembang pada ekonomi Islam di masa lalu dan
sungguh sangat disayangkan, yaitu sekitar 7 abad sejak abad 13 s/d abad 20 menuju ke 21,
ajaran–ajaran Islam tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan kaum muslimin,
sehingga kemiskinan yang mendekati kekufuran
sering terjadi. Akibatnya ekonomi Islam pun terbenam dan mengalami kebekuan
(stagnasi), dan ekonomi dikuasai oleh yang bukan muslim. Dampak selanjutnya,
ummat Islam tertinggal dan terpuruk
dalam bidang ekonomi. Apalagi setelah masuknya kolonialisme barat ke Indonesia, yang mengajarkan doktrrin-doktrin
ekonomi ribawi (kapitalisme), khususnya sejak abad 18 sd abad 20 menuju 21. Proses
ini berlangsung cukup lama, sehingga paradigma dan sibghah ummat Islam menjadi terbiasa dengan sistem kapitalisme dan malahan sistem, konsep dan teori-teori itu menjadi
berkarat dalam pemikiran ummat Islam. Maka sebagai konsekuensinya, ketika
ajaran ekonomi Islam kembali mau ditawarkan kepada ummat Islam, banyak dari
mereka melakukan penolakan, karena dalam pikirannya telah mengkristal suatu
pemikiran ekonomi ribawi, pemikiran
ekonomi kapitalisme sampai neo-kapitalis-liberalisme. Padahal
ekonomi syari’ah adalah ajaran Islam
yang harus diikuti dan diamalkan, sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam Al-Qur’an dalam surah Al-Jatsiyah
ayat 18. Jelaslah paparan di atas menunjukkan bahwa Islam memiliki ajaran
ekonomi Islam yang cukup luar biasa. Sebagai konsekuensinya, muslim harus mengamalkan kembali ajaran ekonomi
Islam tersebut agar menjadi lengkap (kaffah)
tidak sepotong-potong serta tuntas, dengan penyesuaian-penyesuaian disana-sini
terutama dengan teknologi komunikasi-informasi yang menglobal dimasa kini.
Tidak sedikit kaum
muslimin yang telah terperosok kepada Islam persial ( separoh – separoh ).
Memang benar dalam bidang ibadah, amal sholeh,
akad perkawinan, dan kematian ummat
Islam mengikuti ajaran Islam, tapi dalam bidang dan aktivitas ekonomi, banyak
sekali ummat Islam mengabaikan ajaran ekonomi syari’ah dan bergumul dengan sistem ekonomi ribawi. Dana ummat Islam, seperti ONH, tabungannya, uang masjid, uang Perguruan Tinggi Islam, dana organisasi Islam, uang
perusahaan yang dimiliki kaum muslimin, dan dana masyarakat Islam secara luas,
telah diputar dan dibisniskan secara ribawi
melalui bank umum dan lembaga keuangan yang bukan sesuai dengan prinsip syari’ah Islam.
Kebangkitan
kembali ekonomi Islam baru tiga dasawarsa menjelang abad 21 dengan memunculkan
suatu kesadaran baru dari ummat Islam untuk mengembangkan kembali kajian
ekonomi syari’ah, sehingga ajaran
Islam tentang ekonomi mendapat perhatian dan berkembang menjadi disiplin ilmu
yang berdiri sendiri.
Pada era
globalisasi ini telah lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah yang cukup handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang
memadai dalam bidang mu’amalah.
Sebagai suatu realisasi dari ekonomi syariah,
maka sejak tahun 1975 didirikanlah
Internasional Development Bank (IDB) di Jeddah. Kemudian diikuti oleh berbagai negara, baik negeri muslim maupun non-muslim, yang mengembangkan pula
lembaga – lembaga keuangan berbasis syariah.
Di dunia sekarang telah berkembang lebih dari 400an lembaga keuangan dan
perbankan yang tersebar di 75 Negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah
maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan aset – aset bank mencatat jumlah
cukup fantastis yaitu 15 % setahun. Kinerja bank – bank Islam tersebut ternyata
cukup tangguh dengan hasil keuntungannya di atas perbankan umum yang
konvensional. Salah satu bank terbesar di AS, City Bank telah membuka
unit syariah dan menurut laporan
keuangan terakhir pendapatan terbesar City Bank berasal dari unit syariah. Demikian pula ABN Amro yang terpusat
di Belanda dan merupakan bank terbesar di Eropa dan HSBC yang berpusat di
Hongkong serta ANZ di Australia, lembaga-lembaga tersebut telah membuka
unit-unit syariah.[7] Agustianto, mengatakan bahwa di Indonesia, bank Islam baru
hadir pada tahun 1992, yaitu Bank
Muamalat Indonesia. Sampai tahun 1998, Bank Mualamat masih menjadi pemain tunggal dalam belantika perbankan syari’ah di Indonesia, ditambah 78 BPR Syari’ah.
|
Pada tahun 1997
terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank konvensional yang saat itu
berjumlah 240 mengalami negative spread
yang berakibat pada likuidas, kecuali bank Islam. Pada November 1997, 16 bank
ditutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah bank masuk
kategori BTO dalam pengawasan BPPN. Tetapi kondisi itu berbeda dengan perbankan
syari`ah. Hal ini disebabkan karena
bank syari`ah tidak dibebani membayar
bunga simpanan nasabah. Bank syari`ah
hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan
perbankan syari`ah. Dengan sistem
bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah
selamat dari negative spread.
Sedangkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah (BLBI)
700an triliun rupiah yang sampai hari ini bermasalah. Kalau tidak ada BLBI dan
rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi
dari pemerintah, niscaya semua bank tewas dilikuidasi. Pada masa krisis
moneter berlangsung, hampir seluruh bank melakukan kebijakan uang ketat.
Kucuran kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak kondusif, di mana
suku bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya.
Berbeda dengan bank konvensional yang mengetatkan kucuran kredit, bank syari`ah malah sebaliknya, yaitu dengan
mengekstensifkan kucuran pembiyaannya, baik kepada pegusaha kecil maupun
menengah. Hal ini terbukti, di masa krisis yang lalu di mana sampai akhir 1998,
ketika krisis tengah melanda, bank Muamalat
menyalurkan pembiayaan Rp 392 milyar. Dan sampai akhir 1999 ketika krisis masih
juga berlangsung bank Muamalat
meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 milyar, dengan tingkat kemacetan 0%
(non ferforming loan). Pada saat itu
malah CAR Bank Muamalat sempat
mencapai 16,5%, jauh di atas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%). Oleh
karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam
Undang-Undang ini diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha
yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-Undang tersebut juga memberikan arahan bagi
bank-bank konvensional untuk konversi kepada sistem syari`ah, baik dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun konversi secara total ke sistem syari`ah. Peluang itu ternyata disambut
antusias oleh kalangan perbankan konvensional. Beberapa bank yang konversi dan akan membuka cabang syari`ah antara lain bank Syariah
Mandiri, Bank IFI Syari’ah, Bank BNI Syariah, BRI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah,
Bank Bukopin Syari’ah, Bank BTN Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah, dll. Kini telah berkembang 19
Bank Syariah, 25 Asuransi Syari’ah, Pasar Modal syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 BMT (Koperasi Syariah), dan Ahad – Net
Internasional yang bergerak di bidang sektor riel. Kalau pada masa lalu,
sebelum hadirnya lembaga–lembaga keuangan syariah,
umat Islam secara darurat berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tetapi pada masa kini, di mana
lembaga keuangan syariah telah
berkembang, maka alasan darurat tidak ada lagi. Ini artinya, dana umat Islam
harus masuk ke lembaga – lembaga keuangan syariah
yang bebas riba. Manfaat dari
mengamalkan ekonomi syari’ah jelas
dapat mendatangkan manfaat yang besar terutama bagi umat Islam itu sendiri.
Yakni dapat mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya tidak lagi persial. Bila umat Islam masih
bergelut dan mengamalkan ekonomi ribawi,
berarti keIslamannya belum kaffah,
sebab ajaran ekonomi syariah
diabaikannya. Juga dalam menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah melalui bank syariah, asuransi syari’ah, reksadana syari’ah,
pegadaian syari’ah atau BMT,
mendapatkan keuntungan duniawi dan ukhrawi.
Keuntungan duniawi berupa keuntungan bagi hasil, keuntungan ukhrawi adalah terbebasnya dari unsur riba yang diharamkan. Selain itu seorang
muslim yang mengamalkan ekonomi syariah,
mendapatkan pahala, karena telah
mengamalkan ajaran Islam dan meninggalkan ribawi.
Praktek ekonomi yang berdasarkan syariah Islam bernilai ibadah, karena
telah mengamalkan syari’ah Allah SWT.
Disamping itu mengamalkan ekonomi syariah
melalui lembaga bank syariah,
Asuransi atau BMT, berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat Islam
sendiri, berarti pula mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat, sebab dana
yang terkumpul di lembaga keuangan syariah
itu dapat digunakan ummat Islam itu sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha
kaum muslimin. Dan berarti juga mendukung gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab dana yang terkumpul tersebut hanya
boleh dimanfaatkan untuk usaha-usaha atau proyek–proyek yang halal. Bank syariah tidak akan mau membiayai usaha-usaha haram, seperti pabrik minuman keras, usaha perjudian, usaha
narkoba, hotel yang digunakan untuk kemaksiatan atau tempat hiburan yang
bernuansa munkar, seperti
cafe-diskotik seronok, dan sebagainya. Dengan hadirnya lembaga-lembaga keuangan
syariah, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, Baitul Mal wat
Tamwil (BMT), Reksadana Syari’ah,
pasar modal syari’ah, pegadaian syari’ah,dll, maka menjadi keharusan
bagi umat Islam, untuk hijrah dari
sistem ekonomi konvensional ribawi
kepada sistem ekonomi syariah dalam
rangka menuju Islam yang lengkap dan kaffah.
[8]
Dalam acara dialog
lintas keimanan di Perth, Australia, belum lama ini telah menghasilkan sejumlah
rumusan strategis. Salah satunya menyebutkan bahwa seseorang menjadi radikalis bukan hanya disebabkan
pemahaman eksklusif keagamaan, tetapi berkaitan dengan masalah perlakuan tidak
adil yang menimpanya, yang mengakibatkan hidupnya miskin dan terpinggirkan.[9] Dialog lintas
keimanan itu sebenarnya untuk mengingatkan setiap negara, pemeluk agama, dan
bangsa-bangsa di muka bumi bahwa akar problem radikalisme yang berujung ’terorisme’
tidak selalu disebabkan oleh ideologi dan klaim kebenaran (truth claims) agama. Aksi itu juga bisa disebabkan oleh
praktik-praktik ketidakadilan ekonomi atau pemarjinalisasian dan ketidakpuasan
hidup yang telah menimpa kaum miskin. Seseorang atau suatu komunitas yang
semula tidak pernah mengenal dan mempelajari pola berpikir dan cara berlaku radikal, bisa terpancing dan tergiring
untuk membentuk sikap dan juga emosionalnya menjadi radikalis. Mereka terdidik oleh suatu suatu keadaan dan produk
kebijakan negara atau regulasi politik-ekonomi-hukum yang bersifat represif,
disparitas, dan meminggirkan, yang berakibat menjadi sekumpulan manusia yang
merasa tidak berguna, tidak berdaya, dan akrab dengan keprihatinan. Mereka itu
pada akhirnya menjatuhkan opsi sebagai radikalis
atau teroris bukan semata-mata untuk
mencari kompensasi atas luka atau penderitaan akibat adanya ketidakadilan dan
kesenjangan ekonomi yang menimpanya dibanding para elit politik dan orang yang
dekat kekuasaan. Kondisi inilah yang bisa dimanfaatkan dan ditunggangi pihak-pihak
tertentu yang tidak puas sebagai ujung tombak kekacauan, terorisme dan radikalisme.
Obsesi untuk memperoleh kembali akan derajat
kemanusiaan yang telah terhempaskan sebagai issu yang dapat menarik
simpati kaum terpinggirkan ini, dengan cara mencoba menunjukkan bahwa mereka
masih mempunyai suatu kekuatan dan kemampuan untuk dapat menciptakan perjuangan
fisik, yang juga menghalalkan segala
cara dan diagendakan oleh sejarah. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengingatkan,
agar perhatian pemerintahan suatu negara tidak "selalu" tertuju pada
kelompok tertentu saja. Jangan sampai Negara juga bisa menjadi akar penyebab
utama yang mendorong dan "menyuburkan" paham teroris ini. Orang miskin yang digiring itu boleh jadi memang bukan
saja untuk dijadikan mesin utama gerakan teroris. Tetapi mereka bisa digunakan
sebagai elemen dari jaringan untuk melakukan suatu aktivitas yang sudah
dirumuskan atau ditarget pihak tertentu. Aktivitas ini berkategori sebagai
perwujudan misi berbahaya (mission
imposible). Salah satu misi yang dianggap tidak mungkin bisa dilakukan
masyarakat pada umumnya, justru bisa dilakukan orang miskin yang berfikir
pendek, dan terpuaskan walau hanya memperoleh imbalan sebungkus nasi saja atau
beberapa puluh ribu rupiah saja. Tindakan ini dijadikan opsi bukan semata
sebagai bagian dari upaya membebaskan dirinya dari kemiskinan, tetapi juga
sebagai kritik radikal untuk
mengingatkan kebijakan negara yang telah berlaku tidak adil. Orang miskin tidak
selalu diam menerima realitas ekonomi kepahitan (ketidakadilan) yang sedang
menimpanya, apalagi ketika ketidakadilan yang dialaminya sudah tergolong
ketidakadilan berlapis atau sistemik. Mereka memang tidak cepat bereaksi atas
penderitaan yang menimpanya. Tetapi, mereka bisa secepat mungkin menunjukkan
kekuatan fisiknya manakala ada kekuatan lain yang "mendidik" cara
melampiaskan kekesalan atau mengorganisasikan kemarahannya. Naim Mudlor (2008), menyebut bahwa
ketidakadilan berlapis dapat menyulut kemarahan dan kekerasan berlanjut. Siapa
saja yang menjadi korban ketidakadilan ekonomi ini umumnya emosinya sulit
dikendalikan. Kecenderungannya adalah mencari kompensasi sebagai bagian dari
upaya untuk mengembalikan harkat kemanusiaannya. Dia tidak akan tinggal diam
dan rela menerima ketidakadilan yang menimpanya, sehingga menjadikan negara dan
pejabat pembuat kebijakan sebagai sasaran gerakan radikalnya demi mengembalikan kedaulatan keadilan
hukum-sosial-ekonomi. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa di dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa ini, ketidakadilan tidak bisa dianggap sebagai
"penyakit kronis". Padahal, akibat ketidakadilan yang dimenangkan dan
diabsahkan ini mampu menguliti hak-hak fundamental orang miskin. Dari hak
fundamental yang tercerabut ini, sebagai penyebab terbentuknya radikalis sampai jadi terorisme.
Ketidakadilan
merupakan praktik yang bermodus meminggirkan atau meng-eliminasi hak-hak
seseorang dan masyarakat. Dalam ketidakadilan hukum, sosial dan ekonomi,
sebenarnya disana terdapat pelanggaran hak-hak masyarakat. Kearogansian,
ketakseimbangan, dan kriminalisasi yang kemudian dimenangkan, sementara
kebenaran, keadilan, dan persamaan derajat bisa dikalahkan. Orang miskin yang
dirampas hak-haknya atau dijauhkan dari kebijakan yang memanusiakan dirinya,
tidak dirambahnya kesejahteraan, dan bahkan digiring sekadar menjadikan sekedar
ongkos untuk kepentingan pembangunan atau ditempatkan sebagai
pelengkap-penderita dari keserakahan segelintir orang yang ’berbaju petugas’.
Komunitas dari akar rumput ini tidak bisa disalahkan kalau kemudian menjadikan
negara sebagai objek radikalisme atau
terorisme. Secara umum tidak ada
orang miskin yang jelas-jelas dalam kehidupan nyata kesehariannya, apalagi
telah akrab dengan penderitaan atau berbagai bentuk keprihatinan, kemudian
menjatuhkan opsi untuk kemudian terlibat dengan gerakan-gerakan yang lebih
menderitakan lagi seperti menjadi teroris. Mereka bisa dan mudah tergelincir
atau digiring (dididik) menjadi teroris akibat kondisi ketidakberdayaan atau
keprihatinan yang dialami yang sejalan dengan adanya ulah negarawan atau
pemimpin atau pejabat publik yang kurang
peduli pada ”penderitaan” atau "memiskinkan".
Kondisi yang
paradok dan disparitas antara orang miskin dan orang kaya yang punya
keleluasaan selama ini masih menghegomoni negeri, yang seringnya meminta lebih
banyak atau menjarah negara dengan berbagai kasus korupsi, hal ini bukan datang
dari orang miskin, tetapi dari orang kaya atau elemen penyelenggara atau aparat
negara itu sendiri, yang dengan rakusnya menggerogoti dan membuat celah-celah
serta payung kebijakan untuk semakin dapat memperkayakan dan mensejahterakan
orang-orang tertentu saja. Sementara orang miskin terus saja tak berdaya atau
termarjinalkan (empowerless).
Jika ingin
mencegah berkembangbiaknya radikalis atau
teroris yang bersumber dari orang-orang miskin dan teraniaya, sudah saatnyalah
elite-elite politik dan penyelenggara negara ini tidak meneruskan sikap dan
kebijakan memperkaya diri untuk komunuitas eksklusifnya saja lewat kebijakan
yang istimewa. Di sini orang miskin hanya bisa gigit jari, menjadi penonton,
tidak bisa menikmati kemajuan yang didengungkan dan yang selalu merana,
sementara orang kaya dan yang lagi berkuasa akan semakin makmur di puncak
piramida keningratannya.
Sebagaimana
perhatian terhadap ilmu syar’i yang
diambil dari kitab Al Qur’an dan Sunnah adalah wajib adanya, sesuai
dengan pemahaman Salaful Ummah, yang
pemahamannya dapat ditempuh dalam pelajaran di sekolah, perguruan tinggi,
masjid-masjid, pengajian-pengajian dan berbagai sarana informasi dan
komunikasi. Sebagaimana wajib pula untuk memperhatikan urusan amar ma’ruf dan nahi munkar dan saling menasehati dalam perkara yang hak.
Sesungguhnya kebutuhan terus meningkat bahkan keharusan menyeru manusia (agar
kembali kepada jalan agamanya dan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar). Sekarang banyak waktu telah berlalu
begitu saja dan banyak pekerjaan yang sia-sia. Maka wajib bagi para pemuda
muslim untuk berbaik sangka kepada ulama
pewaris Nabi dan mengambil ilmu dan fatwa
yang baik dan benar-benar lurus. Hendaklah diketahui bahwa termasuk sebagian
dari apa yang diusahakan oleh musuh-musuh agama ini (Islam) adalah bisa
menumbuhkan benih-benih perselisihan, terutama antar pemuda Islam, antar
kelompok dengan ulamanya, dan antara mereka dengan pemerintahnya, hingga kekuatan
Islam melemah, sehingga mudah bagi musuh (setan) menguasai mereka, maka
wajiblah semuanya untuk mewaspadai hal ini.
Ummat Islam masa
Nabi SAW bersatu dan sejahtera. Namun
telah berabad pula Islam terpecah-belah, dikuasai oleh peperangan, kebencian, ketidakadilan
dan hal-hal yang mencerai beraikan mereka. Demikian pula mereka telah diliputi
kejahilan, dikuasai fanatisme kesukuan dan banyak orang yang telah kembali
kepada kesyirikan serta melaksanaan hukum rimba, yang mana kuat akan memangsa yang lemah. Kini
diperlukan adalah bisa menghadirkan pemimpin yang mampu untuk menyatukan ummat
di bawah bendera tauhid, hingga
tersebarlah keamanan, kenyamanan dan kemakmuran, berkembangnya ilmu pengetahuan
dan keagamaan untuk menyingkap kegelapan, kejahilan sampai tersebar pula
persaudaraan Islam yang dibangun di atas tauhid
kepada Allah dan berjalan di atas
petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam (pewarisnya).
Para pemuda
umumnya memiliki hubungan yang kokoh dengan para ulama dan pemimpin. Mereka ini
ibarat satu jama’ah dan tidak
berkelompok-kelompok, satu manhaj
(jalan) dan terbagi-bagi menjadi beberapa manhaj,
mereka berada dalam kondisi persatuan yang kuat yang jauh dari sikap guluw (berlebih-lebihan) dan sikap tafrith (menggampangkan / meremehkan).
Ungkapan di atas sangat jelas pada pelajaran yang menanamkan prinsip yang wasath (menengah) ini merujuk Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang
difirmankan Allah: ”Dan
demikianlah Kami jadikan kamu sebagai ummat yang wasath” (QS. Al Baqarah: 143). Artinya, wasath yang adil dan terpilih di antara
ummat untuk menghindari perpecahan. Sehingga keseluruhannya menjadi contoh
dalam menempuh jalan yang menengah ini, antara yang melampaui batas dan yang
cenderung melecehkan.
Pada akhir zaman
ini, telah bermunculan berbagai suara dan tentang tulisan kebebasan serta hak
asazi manusia, berbagai seminar yang mengajak orang-orang untuk berpikiran
pendek atau pun berbelit, juga cenderung kepada pembentukan partai-partai dan
kelompok-kelompok kecil yang bisa merapuhkan tonggak-tonggak kekuatan persatuan
ummat, ada yang mengajak kepada pemisahan diri dari jama’ah yang haq dan
bergabung dalam jama’ah hizbiyyah yang sempit dan mengambil
jalan pintas, ada yang mengajak kepada
sikap ekstremisme dan melampaui batas,
juga ada melakukan berbagai cara yang jitu dan sampai pada penipuan,
sehingga mengakibatkan keretakan dan perpecahan. Mereka berupaya menjauhkan generasi muda dari
ilmu-ilmu agama yang bersumber dari Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dan ada yang menyibukkan mereka semua dengan nasyid-nasyid yang dapat menimbulkan
semangat tertentu dan menyebarkannya kemana-mana, melalui media informasi dan
komunikasi yang bisa dibaca, diakses, dilihat dan didengar.
Setelah ada
penjelasan dan keterangan tentang sebab-sebab timbulnya pemikiran negatif yang
menyusup ke dalam agama dan ummat muslim, maka ada sebuah pertanyaan yang harus
dijawab, yaitu bagaimanakah cara membentengi pemuda muslim dari pemikiran ini?
Untuk membendung bahaya pemikiran takfir
ini, maka sepatutnya baik secara individu maupun bersamaan seluruh muslim untuk
menempuh beberapa langkah sebagai berikut:
1. Mengajak generasi
muda kita agar memegang teguh Al Qur’an
dan Sunnah Rasulullah serta kembali
kepada keduanya dalam segala urusan, Allah
ta’ala berfirman : “Dan perpegang teguhlah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai”(QS. Ali Imran : 103). Dan Allah berfirman :“Dan apa saja yang kamu perselisikan
tentangnya maka hukumnya diserahkan kepada Allah” (QS. Asy Syura : 10). Dengan demikian maka berpegang teguh pada
kitab Allah adalah benteng dan
sandaran yang kokoh, yang dengannya Allah
memelihara dari kejatuhan kepada lembah kebinasaan.
2. Penekanan pada
pemahaman Al Qur’an dan Sunnah sejalan dengan pemahaman salafush shalih, hal ini tidak dapat
terwujud terkecuali jika kaum muslimin memahami agama mereka melalui para ulama rabbaniyyin yang senantiasa
berupaya membersihkan diri dan melaksanakan perintah Allah dan Sunnah Rasulullah
dari perubahan yang dilakukan oleh orang –orang yang melampaui batas terhadap
kitab Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Tanyakanlah kepada orang yang
berilmu jika kalian tidak mengetahui”(QS. An Nahl : 43). Dan Allah
Ta’ala berfirman: “Dan apabila datang kepada mereka suatu
berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau
mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri diantara mereka tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan Ulil amri)” (QS.
An-Nisaa’: 83)
3. Menjauhi
tempat-tempat yang menjadi sumber fitnah untuk memelihara diri dari kejahatan
fitnah tersebut dan pengaruhnya yang buruk, Allah
Ta’ala berfirman : “Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang
tidak khusus menimpa orang-orang yang dhalim saja di antara kamu“ (QS. Al Anfaal : 25). Yang demikian,
dilakukan dengan menyegerakan diri untuk beramal shaleh di jalan Allah
agar terpelihara hamba dari serangan fitnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segeralah
kalian beramal sebelum datangnya berbegai fitnah yang berurutan ibarat
kegelapan malam, yang mana seseorang di sore hari dia beriman dan di pagi hari
dia telah menjadi kafir atau di pagi dia beriman dan di sore hari dia telah
menjadi kafir, dia menjual agamanya dengan kesenangan dunia”. Dan dari
Abu Hurairah radiallahu ‘anhu
berkata, Rasulullah bersabda: ”Akan
terjadi berbagai fitnah, orang yang duduk (yang menjauhinya) lebih baik dari
pada orang yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik dari pada orang yang
berjalan, orang yang berjalan lebih baik daripada orang berlari dan barang
siapa yang mendekatinya akan dibinasakannya, barang siapa mendapat tempat
perlindungan hendaklah ia berlindung padanya” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
4. Bersungguh-sungguh
dalam beribadah dan taqwa kepada Allah Azza wa Jalla dengan menjalankan
perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya kerena itulah jalan
keselamatan dari segala sesuatu yang dibenci, Allah Ta’ala berfirman : “Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah Dia
akan menjadikan urusannya mudah” (QS.
At-Tahrim : 4). Dan Allah
berfirman: “Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan
baginya jalan keluar” (QS
At-Tahrim : 3). Dengan demikian bertaqwa
kepada Allah Ta’ala, istiqamah di atas syari’at-Nya dan mengamalkan berbagai amalan yang diridhai-Nya merupakan sebab bagi
datangnya setiap keberuntungan dan keselamatan di dunia dan di akherat.
5. Membendung dan
melenyapkan segala fenomena kemaksiatan karena sesungguhnya tidaklah kaum
muslimin akan ditimpa berbagai fitnah dan cobaan, kejelekan dan perbedaan
kecuali hanyalah bersumber dari menyebarnya kemaksiatan dan kemungkaran, dan
apa-apa yang menimpa mereka berupa musibah, tiada lain kecuali disebabkan
karena perbuatan-perbuatan tangan mereka sendiri, Allah Ta’ala berfirman : ”Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah
(pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat
kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata: “Dari
mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS.Al-Baqarah : 165). Dan: “Telah
tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan-tangan
manusia” (QS. Ar Ruum : 41)
6. Menepati dengan
teguh pemahaman perihal ketaatan kepada Allah
dan Rasul serta pemimpin yang
mengurusi urusan kaum muslimin di dalam hal yang ma’ruf, Allah ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman
taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan para pemimpin kamu” (QS. An-Nisa' : 59). Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha bagi kamu tiga hal dan Dia murka bagi kamu
tiga hal, Dia ridha bagi kamu untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan
sesuatu dengan-Nya, berpegang teguh kepada tali agama-Nya semuanya dan tidak
bercerai berai dan agar kamu menasihati pemimpin yang diangkat oleh Allah untuk
mengurusi urusan kamu”. Dan Nabi SAW
bersabda: ”Ada tiga hal yang mana hati seorang muslim tidak akan dengki terhadapnya
selamanya: mengikhlaskan amal ibadah semata-mata kerena Allah, menasihati para
pemimpin dan menetapi jama’ah kaum muslimin”. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Barangsiapa
melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dibencinya hendaklah ia bersabar karena
sesungguhnya orang yang berpisah dari jama’ah kaum muslimin sejengkal lalu dia
meninggal, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah” (Hadits riwayat Bukhari dari hadits Hudzaifah).
Lalu Hudzaifah bertanya : “Apakah yang
engkau perintahkan wahai Rasulullah jika aku mendapati hal itu? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Engkau
menetapi jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka”. Hudzaifah bertanya
lagi : “Jika tidak terdapat jama’ah dan
Imam pada kaum muslimin ? Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tinggalkanlah kelompok-kelompok
itu semuanya walaupun engkau menggigit pokok pohon hingga kematian menjumpaimu
dan engkau dalam keadaan yang demikian itu”
7. Senantiasa memohon
pertolongan (kepada Allah) dengan
berlaku sabar dalam menghadapi berbagai macam kesulitan, karena kesabaran mampu
meredakan kebanyakan dari fitnah dan ujian. Allah
berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan dengan berlaku
sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah : 153). Juga berfirman :“Dan
bersabarlah terhadap apa-apa yang menimpamu” (QS. Luqman:17). Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Sangat menakjubkan perkara
seorang mukmin, sungguh semua urusannya adalah kebaikan baginya, jika dia
diberi ujian dengan hal-hal yang menyenangkan dia bersyukur, maka itu merupakan
kebaikan baginya, dan jika ia ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan ia
bersabar, maka itu merupakan kebaikan baginya. Yang demikian itu tidak dimiliki
oleh siapapun kecuali seorang mukmin”.
8. Menangani segala
urusan dengan lembut, penuh kehati-hatian, tidak tergesa-gesa dalam mengeluarkan
hukum dan fatwa, serta jauh dari sikap yang ditimbulkan oleh perasaan
spontanitas dan kemarahan. Itulah sikap para Nabi dan Rasul serta para pengikut mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :“Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi
penghiba dan suka bertaubat kepada Allah” (QS.Huud : 75). Dan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Asyaj bin Abdil Qais: ”Bahwasanya
dalam dirimu terdapat dua perangai yang keduanya dicintai oleh Allah dan
Rasul-Nya, yaitu sikap penyantun dan penuh kehati-hatian”.
9. Menghiasi diri
dengan sikap lemah-lembut, baik dalam berinteraksi dan lembut dalam menangani
berbagai macam fitnah. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah sikap lembut itu ada pada suatu
(urusan) kecuali akan menghiasi dan tidak pula ia ditinggalkan dari suatu
(urusan) kecuali akan memperburuk urusan itu”. Beliau Nabi SAW juga bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai
kelembutan dalam segala urusan”.
10.
Bersungguh-sungguh dalam menggambarkan berbagai urusan
sesuai dengan realitanya, memahami dan mengetahuinya, meneliti kedalamannya
serta memperkirakan dampak yang bisa ditimbulkan, apa pula bahayanya. Hukum
yang dikenakan sesuai dengan gambaran yang masuk akal, seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan. Seorang muslim tidak boleh terkecoh dan tertipu dengan
sekedar hanya melihat pada fenomena gambaran suatu perkara. Akan tetapi seorang
mukmin berkewajiban harus senantiasa dalam keadaan berjaga dan sadar bagi
setiap sesuatu yang berputar disekelilingnya, sehingga tidak tertipu oleh
’pakaian’ luarnya atau secara fisik, sementara mereka mempersiapkan untuk bisa
mencelakakan, bersama dengan itu diperlukan keteguhan sebagai upaya untuk
mencapai pada tujuan dan sasaran dakwah,
dan tidak mudah mengalah mundur dari manhaj
dijalan Allah yang haq serta tidak tergesa-gesa dalam
mengeluarkan hukum atau menjerumuskan diri dalam masalah-masalah syari’at tanpa ilmu, Allah Subhanahu wa Ta’ala’ berfirman: “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya” (QS. Al
-Isra : 36).
11. Senantiasa untuk selalu tatsabbut (benar-benar meneliti) dalam segala urusan dan tidak
mengambil prinsip terhadap isu-isu, apalagi yang disebarkan melalui
sarana-sarana informasi dan jaringan internet yang banyak bertujuan mengusik
kaum muslimin serta memecah belah dan melemahkan persatuan muslim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu” (QS. Al
Hujurat : 6). Dan Nabi SAW bersabda:
“Hati-hatilah
kalian dari bersangka, karena sesungguhnya persangkaan adalah perkataan yang
paling dusta”.
12. Dalam memvonis seseorang dengan istilah yang sering
digunakan yang mengatakan seorang itu kafir
atau fasiq atau ahlul bid’ah, untuk segera kembali kepada ketentuan syari’at dalam Al-Qur’an dan sunnah
serta bersikap waspada dari menghukumi kaum muslimin dengan serampangan tanpa
sikap kehati-hatian dan penelitian yang tatsabbut
terhadap segala sesuatu yang didengar dan dilihat. Karena sikap serampangan
dalam masalah ini mengandung bahaya. Karena haram
bagi seorang muslim untuk mengkafirkan
saudaranya sesama muslim dengan menunjuk secara individu meskipun dia tetap
melaksanakan suatu perbuatan yang mengharuskan menjadi kafir. Namun semua itu harus terpenuhi segala persyaratan pengkafiran dan lenyap segala penghalang
(yang menghalang dari kekufuran). Dan
Nabi SAW memperingatkan agar waspada
dari perbuatan tersebut dengan bersabda : “Tidaklah seseorang menuduh fasiq atau kafir
kepada orang lain kecuali tindakan itu akan kembali kepadanya jika tidak
demikian keadaan temannya yang dituduh dengan tuduhan tersebut” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dari hadits Abu Dzar). Dari Abdullah bin
‘Umar Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Siapa yang berkata kepada saudaranya : “Wahai kafir”, berarti telah
kembali kepada salah satu dari keduanya” (Hadits Riwayat Bukhari - Muslim).
Dalam menerangkan makna hadits ini
Ibnu Daqiq Al ‘Ied berkata : “Ini
merupakan ancaman yang besar bagi siapa saja yang mengkafirkan siapa saja dari
kaum muslimin padahal tidak demikian keadaannya, dan perbuatan ini adalah
kebinasaan yang besar, telah terjerumus di dalamnya sejumlah besar dari
golongan orang-orang mutakallimin dan mereka yang menisbatkan diri kepada
sunnah dan Ahlul Hadits tatkala mereka berselisih dalam masalah aqidah, maka
merekapun berlebih-lebihan dalam mensikapi orang yang menyelisihi mereka dan
menghukumi mereka dengan kekafiran”. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
menguatkan pendapat ini dengan mengatakan: “Aku
diantara orang yang paling melarang terhadap penisbatan orang tertentu kepada
kekafiran, kefasiqan dan kemaksiatan kecuali jika telah diketahui bahwa hujjah
telah benar-benar ditegakkan atasnya. Yang mana barang siapa menyelishinya
terkadang dia menjadi kafir atau fasiq atau sebagai pelaku kemaksiatan dan
sesungguhnya aku menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengampuni
umat ini akan kesalahannya dan itu mencakup kesalahan dalam berbagai masalah
yang bersifat berita secara perkataan maupun masalah-masalah perbuatan”.
Inilah sebagian
perkara yang sepatutnya dipelihara seorang muslim untuk munculnya berbagai
fitnah dan merupakan kewajiban bagi seluruh kaum muslimin baik secara individu
maupun masyarakat, pemerintah maupun rakyat dan ulama, para penuntut ilmu
hendaknya memberantas berbagai fitnah serta mencabutnya dari akar-akarnya
masalahnya, apalagi yang sedang terjadi pada saat ini berupa fitnah-fitnah pengkafiran yang telah sampai pada
penghalalan darah dan harta benda kaum muslimin serta tindakan pengrusakan
terhadap bangunan publik (milik masyarakat, rakyat dan ummat) dengan
menggunakan sarana-sarana penghancuran dan peledakan bom. Yang mana mereka juga
didukung secara finansial oleh sebagian organisasi gelap atau individu yang tak
puas dengan kondisi tertentu dan penulis yang dibayar serta menyebarkan
fatwa-fatwa yang menyesatkan, yang tentunya akan menjerumuskan generasi muda,
terutama bagi mereka yang belum matang pemikirannya dan menamakan itu semuanya
sebagai jihad dan ini adalah termasuk
pemberian nama terhadap sesuatu yang tidak semestinya.
Sikap Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, bahwasanya jihad itu disyariatkan dan akan tetap ada hingga hari kiamat, dibelakang setiap
pemimpin muslim yang baik maupun yang fasik,
dan setiap orang muslim wajib menyiapkan diri untuk berjihad hingga di jalan Allah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Barangsiapa yang mati sedang dia belum berperang (berjihad / melawan
hawa nafsu) dan tidak pernah terdetik dalam dirinya untuk berperang maka dia
mati diatas salah satu cabang kemunafikan”
Sikap orang-orang
yang meremehkan masalah berjihad
walupun terpenuhi segala persyaratan dan faktor-faktor penunjangnya, dengan
sangkaan bahwa yang tersisa saat ini hanyalah jihad akbar, yang dimaksudkan ini yaitu jihad an-nafs (jihad
melawan hawa nafsu). Sebagai manhajnya
orang sufi yang suka berdzikir di berbagai negeri dengan
berbekal dakwah yang mengatakan “Kembalilah dari jihad yang kecil menuju jihad
yang besar atau kepada jihad akbar
yaitu berjuang melawan hawa nafsu”.
Suatu kelompok
yang kemudian menamakan jihad dengan
tidak semestinya adalah penganut paham “khawarij”
zaman ini. Para pendahulunya telah keluar dari kaum muslimin semenjak
terbunuhnya Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib (semoga Allah meridhai keduanya), hingga keluarnya kelompok ini bersama Dajjal, sebagaimana hal ini diberitakan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka membaca Al Qur’an yang tidak
melampaui kerongkongan mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamai
mereka sebagai : “Anjing neraka”.
Maka wajib bagi
setiap kaum muslimin sesuai dengan kemampuannya masing-masing untuk menyingkapi
dan menerangkan kebaikan, hingga tidak tersebar kerusakan di dunia, karena hal
ini adalah termasuk tolong-menolong untuk kebajikan dan tidak untuk perbuatan
dosa dan permusuhan. Dan Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya” (QS. Al Maidah :
3). Hadits yang datangnya dari Rasulullah SAW : “Semoga laknat Allah ditimpakan
atas orang yang melindungi orang yang berbuat kejahatan”.
Mudah-mudahan Allah menjaga kita semuanya dari tipu
daya musuh (setan), dan wajib bagi kaum muslimin bertaqwa kepada Allah baik
secara sembunyi maupun terang-terangan, dan bertaubat dengan jujur dan sebenar-benarnya dari segala dosa. Karena
sesungguhnya tiada turun satu bencana melainkan disebabkan dosa yang telah
diperbuat oleh hambanya dan tiadalah malapetaka itu akan hilang melainkan
dengan adanya taubat.
Begitu banyak
karunia yang telah Allah Ta'ala
berikan kepada manusia, yaitu ni'matul
iman, ni'matul Islam, nikmat sehat
dan waktu luang. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda : "Ada dua karunia yang banyak hamba Allah
melalaikan, yaitu nikmat sehat dan waktu luang". Dan Umar bin Qais juga pernah mengungkapkan
bahwa: “Bila engkau mendapatkan
kesempatan berbuat baik, lakukanlah kebaikan itu meski sekali, niscaya engkau
akan menjadi ahlinya”.
Setiap muslim
sebaiknya selalu meningkatkan kualitas dan pengendalian diri serta bertekat
untuk selalu lebih baik pada setiap harinya, tiap bulannya dan tiap tahunnya.
Dalam riwayat yang dikutip Iman Al-Baihaqi: “Barangsiapa yang hari ininya sama dengan hari kemarinnya maka ia adalah
orang tertipu, dan barangsiapa yang hari ininya lebih buruk dari hari kemarinnya maka ia terkutuk, dan
barangsiapa yang tidak pernah mengalami peningkatan maka ia berada dalam
kekurangan, sedemikian rupa sehingga mati lebih baik untuknya. Barangsiapa
rindu akan surga maka bersegeralah
kepada berbagai jenis kebaikan”. Dengan demikian akan dilakukan evaluasi
dan instrospeksi serta perbaikan secara terus menerus, secara berkala untuk
mencapai kesuksesan dan tentunya kebahagiaan serta ridha Allah.
Akhirnya memohon
dan mendo’a kepadaMu, ya Allah !,
semoga dapat memanfaatkan waktu luang dalam keadaan sehat dengan karya yang
tiada kesia-siaan serta dapat memperbaiki keadaan kaum muslimin Indonesia. Juga
Allah SWT dapat menjauhkan negeri
kaum muslimin dari segenap keburukan dan perkara yang dibenci. Semoga Allah melimpahkan taufiq kepada kita semua untuk tetap berpegang teguh dengan agama
yang haq ini, tetap konsisten
menjalaninya dan meninggalkan apa saja yang bertentangan dengannya, hanya Allah lah penguasa segala galanya.
Semoga pula shalawat dan salam
diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para shahabat, dan
pewaris ilmu Rasulullah serta orang
yang beriman dan taqwa (mukmin / mukhsin) yang telah menempuh di jalan-Nya. Amin ya Robal alamin.
[2] Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz
2, tp, tt, hlm 86
[3] Shiddiqy, Muhammad Nejatullah, Muslim Economic Thinking, A
Survey of Contemporary
Literature, dalam buku Studies
in Islamic Economics, International Centre for Research in
Islamic Economics King Abdul Aziz
Jeddah and The Islamic Foundation, United Kingdom,
1976, hlm. 261
[5] Boulakia, Jean David C., Ibn Khaldun: A Fourteenth Century
Economist, Journal of Political Economiy
79 (5) September –October 1971: 1105-1118
[7] Agustianto, MA, Materi Khutbah Jum’at, di Mesjid Al-Balagh
Kompleks Bulog, 17 April 2006
& Mesjid Al-Ikhwan Depertemen Luar Negeri, 12 Mei 2006
[8] Ibid, Agustianto
[9] Jawa Pos, 31 Oktober 2009..
goesmul@gmail.com
agusmulyadiutomo@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar