Catatan Hasil Diskusi Kriya Seni, FSRD-ISI Denpasar di Paros Gallery
REPOSISI PENDIDIKAN
TINGGI KRIYA SENI
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Kamis tgl, 8/6/06 di Paros Gallery diadakan sarasehan atau diskusi masalah
kriya seni, serangkaian acara penutupan pameran kriya seni, FSRD-ISI Denpasar.
Pameran yang dilaksanakan di dua tempat secara bersamaan yaitu di Museum Sidik
Jari (pembukaan) dan Paros Gallery (penutupan). Hadir 3 pembicara pada diskusi
tersebut terdiri dari akademisi, praktisi / pengusaha dan curator yaitu Drs. I
Made Yasana, M.Erg.;
Ir. Ngurah Pratama Citra, MM.; Dan
Wayan Kun Adnyana, S.Sn. Diskusi ini dimoderatori oleh Drs. I Made Supartha,
M.Hum. Sejumlah 60-an orang hadir dalam
diskusi terdiri dari para alumni, dosen, mahasiswa dan pengusaha serta perajin
dalam suasana hangat dan bersahaja duduk dilantai.
Perlu Reposisi
I Made
Yasana, akademisi berpengalaman pendidikan desain keramik di Jepang dan Advanced Profesional Design Produk di
Jerman serta mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Seni Keramik dan
Porselin Bali ini, pembicara pertama yang membawa makalah berjudul: “Dimensi
dan Keragaman Produk Kriya”, mengulas dari persoalan bahasa sebagai start awal bahwa “kriya” dari kata
“kerja” yang sepadan dengan kata Craft dan
benda guna dengan ciri dan tujuan yang jelas, ada ketergantungan proses sentuhan
tangan, dapat diproduksi (jumlah tertentu) dan dapat menjawab persoalan dari
luar (masyarakat, bisa pribadi / golongan tertentu, kesenian / art, dll) dimana struktur dan bentuknya
bisa bersifat fungsional atau dekoratif.
Yasana juga merunut perkembangan kriya mulai zaman purba, masa
penjajahan hingga masa merdeka sekarang ini, yang dalam perkembangannya tidak
hanya bersifat simbolik, peralatan, persembahan, souvenir, tetapi juga sebagai komoditas (eksport) dan untuk sesuatu yang bersifat pribadi atau keilmuan.
Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa Bali kaya akan potensi kriya yang bersumber
dari senirupa dan budaya Bali, tarian, aksara dan suara dan sebagainya menjadi
rancangan interior maupun eksterior menyesuaikan dengan iklim perubahan abad ke
abad atau dari decade ke decade dengan cara berfikir baru bukan sekedar
rasional tapi juga ekspresi. Umumnya dasar untuk membeli / memiliki produk
kriya adalah karena perlu, murah, desain menarik, merek terkenal, buatan luar
negeri/dalam negeri/khas daerah, juga bisa karena iklan dan promosi, pun juga
karena status symbol (kebanggaan). Intinya ada keindahan, ada ciri khas, murah, terjangkau dan berkepribadian.
Pembicara ke dua, Wayan Kun Adnyana, kritikus yang curator ini membawakan judul
tulisan “Kriya Seni: Mengayuh Antara Dua Tegangan”. Ia menyoal tentang “kriya
seni” dikaitkan dengan terminology “seni
rupa murni” untuk mensetarakan kedudukan (modernisme)
ataupun konteks kriya seni yang diimpor dari Barat dengan istilah “kriya kontemporer” yang tidak mengakui pembagian seni dan
menganggap semua cabang seni sederajat. Ia menyayangkan adanya pembagian
program studi kriya seni dan program seni murni pada ranah yang berbeda.
Sementara peluang pluralisme
ekspresi dan medium dalam seni
kontemporer dimungkinkan bersatu. Penggunaan istilah kriya seni atau kriya kontemporer hanyalah untuk membedakan
dengan hasil karya tradisi, seolah olah ada perbedaan hasil karya (Seni rendah
vs seni tinggi) dan usaha pembebasan anti katagori medium, disamping belum
mampu mereposisi kriya dari katagori marginal. Ia menangkap dua arus
kecenderungan karya kriya seni seperti yang dipamerkan, pertama hanya untuk
membedakannya dengan kerajinan rakyat dan kedua mengikuti arus kriya kontemporer namun tetap bersikukuh
dengan citra tradisional, sehingga ada tegangan teoritik yang meliputi term kriya seni, sehingga terkesan ambiguitas sebagai seni rupa dua dunia:
kriya yang berarti kerajinan tangan dan sekaligus senirupa sadar konsep ?
Pembicara ke tiga adalah Ngurah Pratama Citra, praktisi dan Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft
Indonesia (ASEPHI Bali) yang
berkator di Disperindag Prov. Bali ini membawakan makalah berjudul”
Pengembanagn dalam Keragaman”. Ia mengungkap persepsi awal bahwa kriya tak
lebih merupakan seni terapan, seni dekoratif bahkan kerajinan, karena mengabdi
pada kaidah ketrampilan penanganan teknis yang nilainya tidak sepadan dengan
senirupa murni dimana dikotomi fine art
diwariskan oleh seni modern Barat. Perlu adanya reposisi untuk menjawab
tantangan zaman, termasuk mengisi permintaan pasar, walaupun tetap ada
idealisme atau identitas (cirri khas). Lebih jauh Citra mengharapkan perguruan
tinggi penghasil sarjana kriya memiliki output
expected yang jelas, setelah pameran lalu mau apa? Harapannya juga
kurikulumnya harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dengan penelitian,
memanfaatkan tenaga praktisi dan program magang, yang menghasilkan lulusan siap
kerja atau kelebihannya apa?. Strateginya adalah dengan revitalisasi persepsi
dari stakeholders, menambah bekal
ilmu pariwisata (cenderamata dan pasar eksport), kombinasi bahan, fasilitasi
kegiatan pameran dalam & luar negeri, kolaborasi dengan lembaga di luar
ISI, asosiasi, instasi lain, kriyawan / perajin dalam dan luar Bali. Kriyawan
juga sebagai wirausahawan yang tertarik dengan imbalan berupa laba, kebebasan
dan kepuasan hidup. Disini para mahasiswa diberi bekal ilmu kewiraswataan atau
berwirausaha, sehingga memiliki kemampuan untuk menemukan dan mengevaluasi
peluang, mengumpulkan sumber daya,. Bertindak memperoleh keuntungan dari
peluang itu. Esensinya untuk memperoleh nilai tambah di pasar melalui
proses pengkombinasian sumber daya,
cara-cara baru atau berbeda (pengembangan teknologi, penemuan pengetahuan baru,
perbaikan produk dan jasa), efisiensi dan lainnya untuk dapat bersaing. Dengan rangkuman nilai kewirausahaan: 1)
berani mengambil resiko; 2) kemampuan menangkap peluang,; 3) berorientasi ke
masa depan; 4) tidak cepat puas; 5) semangat untuk bersaing; 6) kemampuan
melakukan inovasi; 7) kemampuan dalam memimpin.
Citra sebagai ketua asosiasi ASEPHI Bali mengaku menampung keluhan
anggotanya (32 eksportir) di lapangan dan masyarakat, bahwa sementara ini
sarjana kriya jarang ada yang berperanan dan sangat sedikit sekali yang mengisi
peluang kerja (tidak dimanfaatkan alumni kriya-ISI Denpasar), kebanyakan
desainer kriya terdiri orang asing (sekitar 38 orang) dengan bayaran cukup
menggiurkan dengan hasil karya yang tak jauh berbeda dengan kriyawan ISI,
dimana sekarang ini eksport Bali 80 % (nilai pulus). Sampai kini ada masalah-masalah yang harus
terjawab mau apa dan bagaimana, sehingga kesenjangan yang ada diperkecil dan
dapat membangun publikan serta minat untuk menekuni kriya yang dapat memberi
kesejahteraan. Dunia usaha sangat membutuhkan sarjana kriya, ada segmen pasar
tertentu dan karier di Luar Negeri dan ISI mau mendengar keluhan-keluhan yang
ada. Menurutnya perut lapar tidak bisa ditunda-tunda, menurutnya pula hampir
kriyawan yang eksis tidak sarjana kriya. Sebagai Ketua ASEPHI, Citra berjanji
untuk bisa bekerjasama (membantu) atau mengadakan M.O.U. dengan Kriya ISI
Denpasar, dalam hal magang atau kerja praktek, pameran (buku / katalogus) dalam
bentuk legal-formal atau maju secara institusi bukan individual. Ia menganggap
fihak ISI yang belum bisa masuk ke wilayah yang berkembang di masyarakat
(seperti menara gading) dimana handicraft
merupakan andalan Bali, belum sepenuhnya dipahami para akademisi dan dicari
solusi pengembangannya, sehingga perlu menggandeng praktisi dilapangan untuk
menjembatani kesenjangan yang terjadi.
Berbagai
tanggapan muncul dari diskusi ini, seperti Radiawan yang menekankan pada
stuktur dan profesionalisme kekriyaan serta trend
produk. Lalu Cok Udiyana menekankan pada nalar dan gagasan cemerlang “Naga
saksaka” sebagai strategi terbaik. Anom mengemukakan pengalamannya sebagai
rangkaian proses belajar dari mahasiswa hingga menjadi pengusaha dan eksportir.
Ia mengharapkan pihak swasta, pemerintah dan perguruan tinggi ada dialog yang
membangun memperkuat sector kriya ini. Kemudian Jana dengan arah pembelajaran
sebagai fine art dan produk / desain. Yang tak kalah seru pernyataan
Wirakesuma, bahwa semua kegiatan jangan disamakan, tidak bisa
digeneralisasikan, disamakan seperti seni / art semua terkadang menggunakan
perasaan / ekspresi, baik itu fotografi, kriya atau patung maupun lukis.
Pembuatan kriya di ISI sudah baik, cuma payungnya adalah Seni Rupa dan Desain.
Jangan hanya mengekor pemikiran Barat, lalu mengekor dan terus mengekor lagi,
disini diperlukan idealisme membangun kepercayaan diri yang kuat. Seni Bali dahulu sebagai prilaku yang hidup
dan bukan teoritik dari Barat. Muka menganjurkan dalam kurikulum ada
pengetahuan pariwisata, desain, art dan wuirausaha dalam prosentase yang tepat.
Pada akhirnya menjadi PR Kriya ISI Denpasar untuk Reposisi, diperlukan
menghimpun masukan stakeholders, tracer study dan membuat kurikulum yang
tepat dan mengikuti perkembangan zaman. Berikanlah semua ilmu yang bersifat
ilmiah kepada mahasiswa dalam menunjang kesarjanaan kekriyaan itu sendiri, sehingga
memiliki bekal dan juga berhak untuk menentukan arah (wawasan) pilihan hidup
nantinya, apakah sebagai seniman, kriyawan, atau desainer produk, bahkan
sebagai wirausahawan atau praktisi atau pengusaha. Seperti pernyataan Sekjen
Depdiknas, Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS, ketika mengunjungi pameran kriya
seni “Dimensi Kriya dalam Keragaman” di Museum Sidik Jari, tanggal 29 Mei 2006
lalu didampingi Rektor ISI Denpasar yang mengatakan: “Jika kita berpikiran
jernih, sebenarnya “seni”lah yang merupakan keunggulan bangsa kita, bukan
teknologi. Ya, Seni sebagai unggulan bangsa memang sudah sangat layak
mendapatkan prioritas utama dalam dunia
pendidikan karena sudah menjadi identitas bangsa”. Secara pribadi Ia kagum
akan karya-karya yang ditampilkan oleh Jurusan Kriya, FSRD-ISI Denpasar. Dan
karya kriya perlu sering ditampilkan dalam pameran seperti ini, agar dikenal
luas masyarakat dan mampu menjadi unggulan pilihan calon mahasiswa / kriyawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar