Laman

Senin, 15 Oktober 2012

CATATAN TERCECER DISKUSI KRIYA

Catatan Hasil Diskusi Kriya Seni, FSRD-ISI Denpasar di Paros Gallery
REPOSISI  PENDIDIKAN  TINGGI  KRIYA  SENI
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Kamis tgl, 8/6/06 di Paros Gallery diadakan sarasehan atau diskusi masalah kriya seni, serangkaian acara penutupan pameran kriya seni, FSRD-ISI Denpasar. Pameran yang dilaksanakan di dua tempat secara bersamaan yaitu di Museum Sidik Jari (pembukaan) dan Paros Gallery (penutupan). Hadir 3 pembicara pada diskusi tersebut terdiri dari akademisi, praktisi / pengusaha dan curator yaitu Drs. I Made Yasana, M.Erg.; 
Ir. Ngurah Pratama Citra, MM.;  Dan Wayan Kun Adnyana, S.Sn. Diskusi ini dimoderatori oleh Drs. I Made Supartha, M.Hum.  Sejumlah 60-an orang hadir dalam diskusi terdiri dari para alumni, dosen, mahasiswa dan pengusaha serta perajin dalam suasana hangat dan bersahaja duduk dilantai.

Perlu Reposisi
I Made Yasana, akademisi berpengalaman pendidikan desain keramik di Jepang dan Advanced Profesional Design Produk di Jerman serta mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Seni Keramik dan Porselin Bali ini, pembicara pertama yang membawa makalah berjudul: “Dimensi dan Keragaman Produk Kriya”, mengulas dari persoalan bahasa sebagai start awal bahwa “kriya” dari kata “kerja” yang sepadan dengan kata Craft dan benda guna dengan ciri dan tujuan yang jelas, ada ketergantungan proses sentuhan tangan, dapat diproduksi (jumlah tertentu) dan dapat menjawab persoalan dari luar (masyarakat, bisa pribadi / golongan tertentu, kesenian / art, dll) dimana struktur dan bentuknya bisa bersifat fungsional atau dekoratif.  Yasana juga merunut perkembangan kriya mulai zaman purba, masa penjajahan hingga masa merdeka sekarang ini, yang dalam perkembangannya tidak hanya bersifat simbolik, peralatan, persembahan, souvenir, tetapi juga sebagai komoditas (eksport) dan untuk sesuatu yang bersifat pribadi atau keilmuan. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa Bali kaya akan potensi kriya yang bersumber dari senirupa dan budaya Bali, tarian, aksara dan suara dan sebagainya menjadi rancangan interior maupun eksterior menyesuaikan dengan iklim perubahan abad ke abad atau dari decade ke decade dengan cara berfikir baru bukan sekedar rasional tapi juga ekspresi. Umumnya dasar untuk membeli / memiliki produk kriya adalah karena perlu, murah, desain menarik, merek terkenal, buatan luar negeri/dalam negeri/khas daerah, juga bisa karena iklan dan promosi, pun juga karena status symbol (kebanggaan). Intinya ada keindahan, ada ciri khas,  murah, terjangkau dan berkepribadian. Pembicara ke dua, Wayan Kun Adnyana, kritikus yang curator ini membawakan judul tulisan “Kriya Seni: Mengayuh Antara Dua Tegangan”. Ia menyoal tentang “kriya seni” dikaitkan dengan terminology  “seni rupa murni” untuk mensetarakan kedudukan (modernisme) ataupun konteks kriya seni yang diimpor dari Barat dengan istilah “kriya kontemporer  yang tidak mengakui pembagian seni dan menganggap semua cabang seni sederajat. Ia menyayangkan adanya pembagian program studi kriya seni dan program seni murni pada ranah yang berbeda. Sementara peluang pluralisme ekspresi  dan medium dalam seni kontemporer dimungkinkan bersatu. Penggunaan istilah kriya seni atau kriya kontemporer hanyalah untuk membedakan dengan hasil karya tradisi, seolah olah ada perbedaan hasil karya (Seni rendah vs seni tinggi) dan usaha pembebasan anti katagori medium, disamping belum mampu mereposisi kriya dari katagori marginal. Ia menangkap dua arus kecenderungan karya kriya seni seperti yang dipamerkan, pertama hanya untuk membedakannya dengan kerajinan rakyat dan kedua mengikuti arus kriya kontemporer namun tetap bersikukuh dengan citra tradisional, sehingga ada tegangan teoritik yang meliputi term kriya seni, sehingga terkesan ambiguitas sebagai seni rupa dua dunia: kriya yang berarti kerajinan tangan dan sekaligus senirupa sadar konsep ? Pembicara ke tiga adalah Ngurah Pratama Citra, praktisi dan Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI Bali) yang berkator di Disperindag Prov. Bali ini membawakan makalah berjudul” Pengembanagn dalam Keragaman”. Ia mengungkap persepsi awal bahwa kriya tak lebih merupakan seni terapan, seni dekoratif bahkan kerajinan, karena mengabdi pada kaidah ketrampilan penanganan teknis yang nilainya tidak sepadan dengan senirupa murni dimana dikotomi fine art diwariskan oleh seni modern Barat. Perlu adanya reposisi untuk menjawab tantangan zaman, termasuk mengisi permintaan pasar, walaupun tetap ada idealisme atau identitas (cirri khas). Lebih jauh Citra mengharapkan perguruan tinggi penghasil sarjana kriya memiliki output expected yang jelas, setelah pameran lalu mau apa? Harapannya juga kurikulumnya harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dengan penelitian, memanfaatkan tenaga praktisi dan program magang, yang menghasilkan lulusan siap kerja atau kelebihannya apa?. Strateginya adalah dengan revitalisasi persepsi dari stakeholders, menambah bekal ilmu pariwisata (cenderamata dan pasar eksport), kombinasi bahan, fasilitasi kegiatan pameran dalam & luar negeri, kolaborasi dengan lembaga di luar ISI, asosiasi, instasi lain, kriyawan / perajin dalam dan luar Bali. Kriyawan juga sebagai wirausahawan yang tertarik dengan imbalan berupa laba, kebebasan dan kepuasan hidup. Disini para mahasiswa diberi bekal ilmu kewiraswataan atau berwirausaha, sehingga memiliki kemampuan untuk menemukan dan mengevaluasi peluang, mengumpulkan sumber daya,. Bertindak memperoleh keuntungan dari peluang itu. Esensinya untuk memperoleh nilai tambah di pasar melalui proses  pengkombinasian sumber daya, cara-cara baru atau berbeda (pengembangan teknologi, penemuan pengetahuan baru, perbaikan produk dan jasa), efisiensi dan lainnya  untuk dapat bersaing.  Dengan rangkuman nilai kewirausahaan: 1) berani mengambil resiko; 2) kemampuan menangkap peluang,; 3) berorientasi ke masa depan; 4) tidak cepat puas; 5) semangat untuk bersaing; 6) kemampuan melakukan inovasi; 7) kemampuan dalam memimpin.  Citra sebagai ketua asosiasi ASEPHI Bali mengaku menampung keluhan anggotanya (32 eksportir) di lapangan dan masyarakat, bahwa sementara ini sarjana kriya jarang ada yang berperanan dan sangat sedikit sekali yang mengisi peluang kerja (tidak dimanfaatkan alumni kriya-ISI Denpasar), kebanyakan desainer kriya terdiri orang asing (sekitar 38 orang) dengan bayaran cukup menggiurkan dengan hasil karya yang tak jauh berbeda dengan kriyawan ISI, dimana sekarang ini eksport Bali 80 % (nilai pulus).  Sampai kini ada masalah-masalah yang harus terjawab mau apa dan bagaimana, sehingga kesenjangan yang ada diperkecil dan dapat membangun publikan serta minat untuk menekuni kriya yang dapat memberi kesejahteraan. Dunia usaha sangat membutuhkan sarjana kriya, ada segmen pasar tertentu dan karier di Luar Negeri dan ISI mau mendengar keluhan-keluhan yang ada. Menurutnya perut lapar tidak bisa ditunda-tunda, menurutnya pula hampir kriyawan yang eksis tidak sarjana kriya. Sebagai Ketua ASEPHI, Citra berjanji untuk bisa bekerjasama (membantu) atau mengadakan M.O.U. dengan Kriya ISI Denpasar, dalam hal magang atau kerja praktek, pameran (buku / katalogus) dalam bentuk legal-formal atau maju secara institusi bukan individual. Ia menganggap fihak ISI yang belum bisa masuk ke wilayah yang berkembang di masyarakat (seperti menara gading) dimana handicraft merupakan andalan Bali, belum sepenuhnya dipahami para akademisi dan dicari solusi pengembangannya, sehingga perlu menggandeng praktisi dilapangan untuk menjembatani kesenjangan yang terjadi.

Berbagai tanggapan muncul dari diskusi ini, seperti Radiawan yang menekankan pada stuktur dan profesionalisme kekriyaan serta trend produk. Lalu Cok Udiyana menekankan pada nalar dan gagasan cemerlang “Naga saksaka” sebagai strategi terbaik. Anom mengemukakan pengalamannya sebagai rangkaian proses belajar dari mahasiswa hingga menjadi pengusaha dan eksportir. Ia mengharapkan pihak swasta, pemerintah dan perguruan tinggi ada dialog yang membangun memperkuat sector kriya ini. Kemudian Jana dengan arah pembelajaran sebagai fine art dan produk / desain. Yang tak kalah seru pernyataan Wirakesuma, bahwa semua kegiatan jangan disamakan, tidak bisa digeneralisasikan, disamakan seperti seni / art semua terkadang menggunakan perasaan / ekspresi, baik itu fotografi, kriya atau patung maupun lukis. Pembuatan kriya di ISI sudah baik, cuma payungnya adalah Seni Rupa dan Desain. Jangan hanya mengekor pemikiran Barat, lalu mengekor dan terus mengekor lagi, disini diperlukan idealisme membangun kepercayaan diri yang kuat.  Seni Bali dahulu sebagai prilaku yang hidup dan bukan teoritik dari Barat. Muka menganjurkan dalam kurikulum ada pengetahuan pariwisata, desain, art dan wuirausaha dalam prosentase yang tepat.
Pada akhirnya menjadi PR Kriya ISI Denpasar untuk Reposisi, diperlukan menghimpun masukan stakeholders, tracer study dan membuat kurikulum yang tepat dan mengikuti perkembangan zaman. Berikanlah semua ilmu yang bersifat ilmiah kepada mahasiswa dalam menunjang kesarjanaan kekriyaan itu sendiri, sehingga memiliki bekal dan juga berhak untuk menentukan arah (wawasan) pilihan hidup nantinya, apakah sebagai seniman, kriyawan, atau desainer produk, bahkan sebagai wirausahawan atau praktisi atau pengusaha. Seperti pernyataan Sekjen Depdiknas, Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS, ketika mengunjungi pameran kriya seni “Dimensi Kriya dalam Keragaman” di Museum Sidik Jari, tanggal 29 Mei 2006 lalu didampingi Rektor ISI Denpasar yang mengatakan: “Jika kita berpikiran jernih, sebenarnya “seni”lah yang merupakan keunggulan bangsa kita, bukan teknologi. Ya, Seni sebagai unggulan bangsa memang sudah sangat layak mendapatkan prioritas utama dalam dunia pendidikan karena sudah menjadi identitas bangsa”. Secara pribadi Ia kagum akan karya-karya yang ditampilkan oleh Jurusan Kriya, FSRD-ISI Denpasar. Dan karya kriya perlu sering ditampilkan dalam pameran seperti ini, agar dikenal luas masyarakat dan mampu menjadi unggulan pilihan calon mahasiswa / kriyawan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar