Laman

Selasa, 27 Maret 2012

DZIKIRULLAH

Dzikirullah


Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
goesmul@gmail.com 

 
Dzikrullah, berasal dari bahasa Arab ‘dzikr’ yang artinya mengingat, mengucap atau menyebut, dan apabila dikaitkan dengan Islam sebagai dzikrullah yaitu mengingat dan menyebut nama (asma) Allah SWT.

Hukum dasar dari amaliyah itu berupa dzikir yaitu mengingat Allah yang memang ada dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Perhatikan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab sebagai berikut: “Ya ayyuhal ladzina aamanudz kurullaaha dzikran katsiira. Wa sabbihuuhu bukrataw wa ashiilaa” artinya: “Wahai orang-orang yang beriman berdzikirlah (ingatlah) kamu kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya(ayat 41) Dan ber-tasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang  (ayat 42). Juga dalam QS. Al Baqarah: 152 “Fadzkuruunii adzkurkum wasykuruullii walaa takfuuruun” artinya: “Dzikir-lah kamu kepada-Ku, niscaya Aku dzikir kepadamu, bersyukurlah kamu kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari akan nikmat-Ku”. Disebutkan pula dalam QS. Al A’laa:14 – 15 “Qad aflaha man tazakkaa. Wadzakaras marrabbihii fashallaa” artinya: “Sungguh beruntung orang yang mensucikan dirinya. Dan dzikirlah akan Allah, lalu tegakkan shalat”. Dalam QS. Al Jinn: 16-17: “Seandainya mereka istiqamah di atas Thariqah niscaya Kami beri minum mereka dengan air yang melimpah (karunia yang banyak); untuk Kami uji mereka di dalamnya, dan barang siapa tidak mau berdzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia menimpakan azab yang sangat pedih”. Dan ditegaskan lagi oleh Allah bahwa dzikrullah merupakan amalan yang paling akbar dengan firmannya: wa ladzikrullaahi akbar, “Dan sungguh dzikrullah itu maha akbar” (QS. Ankabut: 45). Mengenai kedudukan sebagai amalan terbaik disebutkan dalam hadits riwayat Ahmad dengan sanad hasan: ”Maukah kalian kuberitahu amal yang paling baik untuk kalian, amal yang paling suci di sisi Tuhan kalian, amal yang paling mengangkat derajat kalian, amal yang paling baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, dan amal yang paling baik bagi kalian daripada menghadapi musuh di medan jihad yang kemudian kalian dan musuh kalian saling menebas leher ?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah” Nabi bersabda:”Dzikrullah[1] Rasulullah pun bersabda pula: ”Hendaklah lidahmu basah karena mengngat Allah” (HR. Tirmidzi). Bahkan dalam kegiatan apapun dianjurkan untuk selalu berdzikir, sebab tanpa dzikir sesuatu itu yang akan dihasilkan sia-sia belaka, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Setiap sesuatu yang tidak disertai dzikir kepada Allah  adalah perbuatan main-main dan kesia-siaan, kecuali empat hal: a) suami bercanda dengan istrinya, b) orang yang melatih kudanya, c) orang yang berlatih memanah, dan d) orang yang berlatih berenang” (HR. An Nasai). Untuk itulah orang yang beriman berusaha untuk mendekatkan diri dan melalui jalan Allah agar rahmat dan anugrah-Nya dapat segera diraih. Sabda Rasulullah SAWTak seorangpun akan masuk surga oleh amalnya”, Sahabat bertanya: ”Tidak juga engkau hai Rasulullah?”. Beliau menjawab:”Akupun juga. Kecuali Allah melimpahkan anugrah dan rahmat kepadaku. Karena itu, usahakanlah kamu benar dan istiqamah dan bersahajalah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Lebih lanjut beliau Nabi SAW bersabda: “Apabila kalian melewati pertamanan sorga, maka ikutlah meramaikannya !” Ditanyakan: “Apakah pertamanan sorga itu ? Rasulullah bersabda: “ Majelis-majelis dzikir” (HR. Anas bin Malik – At-Turmudzi). Dalam Hadits-hadits lainnya disebutkan yang artinya sebagai berikut:  Hai manusia, merumputlah kalian di kebun surga! Kami bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa kebun surga itu? Beliau menjawab: “Majelis dzikir, Kalian makan pagilah (dengan dzikir), makan sore dan berdzikir. Barangsiapa cinta mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka pandanglah bagaimana kedudukan Allah di sisinya (dihatinya). Sesungguhnya Allah turun pada hamba menurut turunnya hamba di sisin-Nya” (HR. Abu Hurairah dan At-Turmudzi). Hadits berikutnya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu mempunyai malaikat-malaikat yang berkelana di Dunia, selain makhluk. Apabila mereka melihat majelis-majelis dzikir, sebagian mereka memanggil sebagian yang lain - Kemarilah kepada kebutuhan kalian !, maka berdatanganlah para malaikat itu dan mereka mengelilingi majelis dzikir, serta mendengarkan.  Ingatlah ! Ber-dzikir kepada Allah dan ingatlah diri kalian”.[2] Hadits yang diriwayatkan Abi Dzar radliyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda: “Menghadiri majelis dzikir itu lebih utama daripada shalat seribu raka’at, menghadiri majelis ilmu lebih utama daripada menengok seribu orang sakit dan menghadiri majelis ilmu adalah lebih utama daripada menyaksikan seribu jenazah”. Ada yang bertanya: ‘Ya Rasulullah ! Bagaimana kalau dari membaca Al Qur’an ?Rasulullah bersabda: ‘Adakah bermanfaat membaca Al Qur’an, kecuali dengan “ilmu‘Athaa rahimahullah berkata: “Majelis dzikir itu dapat melebur tujuh puluh majelis main- main”.[3]  Sabda Rasulullah berikutnya :  Ingatlah, Saya akan memberitahu kalian tentang sebaik-baik amal kalian, paling sucinya amal kalian di sisi Raja kalian, paling tingginya amal kalian dalam tingkatan beberapa derajat, dan  paling baiknya pemberian daripada emas dan perak. Jika kalian bertemu musuh-musuh kalian, maka kalian memukul leher-leher mereka dan mereka (ganti) memukul leher-leher kalian! Para sahabat bertanya: “Apa itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Dzikrullah”. (HR. Al Baihaqi dari Ibnu Umar).[4] Karena tingginya dimensi dzikir dalam hadits disebutkan:  Hari kiamat tidak akan datang kepada seseorang yang mengucap Allah, Allah” (hadits ini diriwayatkan Anas bin Malik dan dikeluarkan Imam Muslim no: 148 tentang iman bab ”Hilangnya Iman di Akhir Zaman”). Juga dalam hadits:  Kiamat tidak akan terjadi sampai di bumi ini hingga tidak ada yang mengucapkan Allah, Allah  (HR. Anas bin Malik dan dikeluarkan oleh At-Turmudzi ).

           Keistimewaan dzikir tidak dibatasi waktunya, bahkan tidak ada waktu kecuali seorang hamba diperintah dzikir, baik bersifat wajib atau sunnat. Allah berfirman dalam QS. Ali Imran:190 -191 artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam adalah tanda-tanda bagi orang yang berfikir, (yaitu) Orang-orang yang mengingat (dzikir) Allah, baik dengan berdiri, duduk, dan (atau) berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi”. Dengan dzikrullah seorang hamba bisa menyelamatkan dari gangguan atau godaan setan yang menjadi musuh nyata manusia, seperti ditegaskan oleh Nabi SAW: ”Seorang hamba tidak akan bisa melindungi ‘diri’-nya dari setan kecuali hanya dengan dzikrullah” (Shahih Ibn Hibban XIV:125 dan Sunan At Tirmidzi V:148).

          Di kalangan penganut terekat ada yang menyebut kata Huwa sebagai hu (terdengar) sebagai amalan dzikir, sedangkan di hati terukir goresan yang bermaksud Dia Allah, jelas dihalalkan dalam syari’at dan akan memberi pengaruh positif pada sang pelakunya atau pengamal. Kelompok Naqsyabandi juga meyakini bahwa goresan hati mereka yang menyebut Dia Allah ketika mulut mengatakan Huwa (hu) pasti akan diganjar sebagai sebuah ibadah atau amalan di sisi Allah Subhanallahu Wa Ta’ala, bila melalui saluran atau metode yang benar. Ilustrasi ini jelas tergambar pada peristiwa Bilal bin Rabah, Muadzin Nabi yang mulia pada saat menerima siksaan dari Umayyah bin Khalaf dan antek-anteknya. Beliau dijemur di padang pasir yang terik seraya dicambuk terus menerus. Namun saat itu hati (qalbu) beliau tetap teguh mengingat hanya Dia Allah tidak ada yang selain itu. Sementara mulut beliau tiada hentinya mengucapkan Ahad .... Ahad.... Dalam pandangan kelompok wahabi / salafy, yang secara hukum syari’at sebenarnya hal ini dianggap salah, apakah kelompok wahabi / salafy berani menyalahkan beliau ? Sebab menyebut nama Allah semestinya dengan memakai harfun nida’ (kata seru) “ي (YA)”. Jadi semestinya Sayyidina Bilal harus menyebutkan “Ya Ahad...Ya Ahad” atau “Allahu Ahad ....Allahu Ahad” bukan “Ahad...Ahad” saja. Tetapi kenyataannya, Sayyidina Bilal tetap hanya menyebutkan Ahad Ahad saja, bukan?  Perbuatan Sayyidina Bilal ini sesuai dengan hadits Nabi: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu dan harta kamu, tetapi Allah melihat hati-mu dan amalmu . Artinya meskipun di mulut secara dzahir beliau hanya mengucapkan Ahad Ahad, namun hati beliau, sekali lagi hati beliau dengan tegas dan nyata menggambarkan bahwa yang dimaksud adalah Allahu Ahad- Allahu Ahad ! Demikian juga serupa dengan mengucap Allah ... Allah...Allah. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam justru memuji dzikir yang dilakukan Bilal saat itu, bahkan menjamin beliau dengan imbalan surga kelak di Akherat. Tidak sedikit pun Nabi SAW mengkoreksi ucapan Bilal tersebut, apalagi menuduh Sayyidina Bilal melakukan amalan bid’ah. Padahal Nabi sendiri tidak pernah mengajarkan sayyidina Bilal untuk berdzikir Ahad..Ahad, seharusnya, amalan Sayyidina Bilal ini bid’ah menurut paham wahabi / salafi, pasalnya Sayyidina Bilal ini dianggap telah lancang dan terlalu berani membuat sebuah amalan yang tidak dibuat atau diajarkan oleh Nabi SAW). Di sisi lain Umayyah dan Abu Lahab berserta antek-anteknya pun memahami ucapan Bilal .. Ahad ... Ahad (yang berarti satu ... satu atau Esa ... Esa) itu dimaksudkan adalah  Allahu Ahad ... Allahu Ahad. Sehingga kemarahan mereka semakin memuncak dan berujung kepada siksaan yang lebih dahsyat mereka jatuhkan kepada Sayyidina Bilal. Dahsyatnya, kelompok mereka yang sejak dulu sampai sekarang ini tidak dapat memahami jenis-jenis dzikir seperti ini. Bukankah ini berarti lebih pandai mengkoreksi amal ummat Islam dan menuduh sesat alias bid’ah amalan kaum muslimin di luar kelompoknya, dibandingkan pula dengan diri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri. Padahal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ada bersabda: “Aku diutus membawa agama yang cenderung kepada perkara yang haqq dan penuh toleransi !
          Shalat meski kedudukannya sebagai ibadah yang paling mulia, namun dalam waktu-waktu tertentu tidak boleh dilakukan. Sedangkan dzikir dilakukan sepanjang waktu dalam berbagai keadaan. Pelajaran dalam Al Qur’an itu seharusnya dikaji untuk dimengerti dan diamalkan atau dikerjakan, tidak hanya untuk dibaca-baca saja seperti fiman Allah dalam Surat Yaasiin: 69 “Wa maa ‘allamnaahusy syi’ra wa maa yambaghii lahuu in huwa illa dzikruw wa qur-aanum mubiin” artinya: “Dan kami tidak mengajarkan sya’ir kepadanya (Muhammad) dan tidak lah pantas baginya (Al Qur’an tidak lain hanyalah pelajaran / kajian, terkecuali dzikir / ingat Allah), berupa peringatan dan Al Qur’an yang amat terang”. 
         
Keutamaan dzikir sebagai berikut:

   a) sebagai tanda cinta Allah, 
   b) sebagai tanda beserta Allah,
   c) sebagai tanda mempunyai martabat yang tinggi,
   d) tanda lebih utama dari jihad (fi sabilillah),
   e) tanda tak kalah dari pahala sedekah,
   f) sebagai tanda harta yang tak ternilai harganya, dan
   g) tanda akan berbalas masuk surga.

Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW dalam beberapa hadits: ”Tanda cinta Allah adalah menyukai dzikrullah (dzikir kepada Allah) Dan tanda kebencian Allah adalah membenci dzikrullah azza wajalla” (HR.Baihaqi dari Anas ra). “Allah ta’ala berfirman, Aku bersama hamba-Ku apabila ia menyebut nama-Ku” (HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh Ibnu Hiban). “Akan selalu ada di antaramu orang-oprang yang mengingat Allah seraya duduk di atas hamparan-hamparan, sehingga mereka dimasukkan ke dalam martabat yang tinggi” (HR. Ibnu Hiban dari Abu Sa’id ra). “Seandainya seseorang memukulkan pedangnya kepada orang kafir dan musyrik hingga patah dan berlumuran darah, tentulah orang-orang yang berdzikir kepada Allah lebih utama daripadanya” (HR. Tirmidzi dari Abi Said Al Khudri ra). “Sekiranya seseorang mempunyai beberapa dirham yang dapat disedekahkan dan yang lain mengingat Allah, sesungguhnya yang mengingat Allah itu lebih baik” (HR.Thabrani). “Harta yang tak ternilai harganya adalah lisan yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur, dan istri beriman yang mampu menegakkan keimanan suaminya” (HR. Ibnu Majah  dan At Tirmidzi). Dan “Abdillah bin ‘Umar bertanya kepada Nabi SAW: “Ya Rasulullah, apakah balasan bagi majelis-majelis dzikir itu ? Muhammad Rasulullah SAW bersabda: “Balasan bagi majelis-majelis dzikir adalah surga” (HR. Ahmad).

          Undang-undang Al Qur’anul Karim adalah kitab yang berlaku bagi orang-orang yang ruhaninya sudah suci dan hidup. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut dalam QS. Yaasiin: 70, “Li yundzira man kaana hayyaw wa yahiqqal qaulu ‘alal kaafiriin” artinya: “Dia (Muhammad) agar memberi ingat kepada siapa-siapa yang hidup hatinya; dan tetap la hukuman  /  siksa buat orang-orang yang ingkar”. Tersebut dalam QS Al Waqiah: 77 – 81 “Innahuu la qur-aanun kariim, fii kitaabim maknuun, tanziilum mir rabbil ‘aalamiin. A fa bi haadzal hadiitsi antum mudhinuun” yang artinya: “Sesungguhnya Kitabullah (Al Qur’an) yang paling mulya adalah kitab suci yang disembunyikan, yaitu Al Qur’an yang tidak bisa disentuh kecuali orang-orang yang hatinya sudah suci.  Salah satu kalamullah yang datang dari Allah Tuhan semesta alam. Bisakah kamu cerita, kalau ini pekerjaan mudah ?                   Selanjutnya pendidikan budi pekerti dalam Islam dilakukan melalui jalan tarekatullah (dalam ilmu tasawwuf) sebagai metode atau melalui suatu “pendidikan ruhani” yaitu dengan dzikir, wirid (dzikir bersama), melaksanakan I’tikaf / Suluk yaitu mengintensifkan dzikirullah dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga Allah sendiri yang mencerdikkannya dan memberi petunjuk sebagai ilmu Laduni yang akhirnya membuahkan ahlaqul karimah.

            Suluk secara harfiah dalam kaitannya dengan agama Islam, masuk sufisme dalam metode tarekat, berarti menempuh “jalan (spiritual)” menuju Allah. Kata ‘suluk’ berasal dari terminologi Al-Qur’an, yakni ‘fasluki’, dalam Surat An-Nahl [16] ayat 69, “Fasluki subula rabbiki zululan”, yang artinya “Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu)”. Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik. Kata suluk dan salik biasanya berhubungan erat dengan tasawuf, tarekat dan sufisme.

          Iman dan taqwa saja tidaklah cukup untuk bisa menjadikan orang yang berilmu dan ber-akhlaq mulia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: “Iman itu telanjang, pakaiannya adalah taqwa, perhiasannya adalah malu dan buahnya adalah imu  (HR. Al Hakim)[5]


[1] Musnad Ahmad, V : 239
[2]  Imam Al Ghazali , Ihya ‘Ulumuddin , suntingan KH.M Zainul  Musthofa, CV. Bintang, Pelajar, hal. 110
[3]  Imam Al Ghazali , Ibid, hal  112
[4]   Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Umar Faruq (penyadur) Pustaka Amani,Jakarta,  2002: hal. 317.
[5]  Al Ghazali , Ihya ‘Ulumuddin , ( KH. Zainul  Musthofa), CV. Bintang Pelajar,1989. Hal. 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar