Dzikirullah
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
goesmul@gmail.com
Dzikrullah, berasal dari
bahasa Arab ‘dzikr’ yang artinya
mengingat, mengucap atau menyebut, dan apabila dikaitkan dengan Islam sebagai dzikrullah yaitu mengingat dan menyebut
nama (asma) Allah SWT.
Hukum dasar dari amaliyah
itu berupa dzikir yaitu mengingat Allah yang memang ada dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Perhatikan firman Allah
SWT dalam surat Al-Ahzab sebagai
berikut: “Ya ayyuhal ladzina aamanudz
kurullaaha dzikran katsiira. Wa sabbihuuhu bukrataw wa ashiilaa” artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman berdzikirlah (ingatlah) kamu kepada Allah dengan
dzikir yang sebanyak-banyaknya” (ayat
41) Dan ber-tasbihlah kepada-Nya di
waktu pagi dan petang (ayat 42).
Juga dalam QS. Al Baqarah: 152 “Fadzkuruunii adzkurkum wasykuruullii walaa
takfuuruun” artinya: “Dzikir-lah kamu kepada-Ku, niscaya Aku
dzikir kepadamu, bersyukurlah kamu kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari
akan nikmat-Ku”. Disebutkan pula dalam QS. Al A’laa:14 – 15 “Qad
aflaha man tazakkaa. Wadzakaras
marrabbihii fashallaa” artinya: “Sungguh beruntung orang yang mensucikan
dirinya. Dan dzikirlah akan Allah, lalu tegakkan
shalat”. Dalam QS. Al Jinn:
16-17: “Seandainya mereka istiqamah di atas Thariqah niscaya Kami beri minum
mereka dengan air yang melimpah (karunia yang banyak); untuk Kami uji mereka di
dalamnya, dan barang siapa tidak mau berdzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia
menimpakan azab yang sangat pedih”. Dan ditegaskan lagi oleh Allah bahwa dzikrullah merupakan amalan yang paling akbar dengan firmannya: wa ladzikrullaahi akbar, “Dan
sungguh dzikrullah itu maha akbar” (QS.
Ankabut: 45). Mengenai kedudukan sebagai amalan terbaik disebutkan dalam hadits riwayat Ahmad dengan sanad
hasan: ”Maukah kalian kuberitahu amal yang paling baik untuk kalian, amal yang
paling suci di sisi Tuhan kalian, amal yang paling mengangkat derajat kalian,
amal yang paling baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, dan
amal yang paling baik bagi kalian daripada menghadapi musuh di medan jihad yang
kemudian kalian dan musuh kalian saling menebas leher ?” Para sahabat
menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah”
Nabi bersabda:”Dzikrullah”[1] Rasulullah pun bersabda pula: ”Hendaklah
lidahmu basah karena mengngat Allah” (HR. Tirmidzi). Bahkan dalam kegiatan apapun dianjurkan untuk selalu
berdzikir, sebab tanpa dzikir sesuatu itu yang akan dihasilkan
sia-sia belaka, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Setiap
sesuatu yang tidak disertai dzikir kepada Allah
adalah perbuatan main-main dan kesia-siaan, kecuali empat hal: a) suami
bercanda dengan istrinya, b) orang yang melatih kudanya, c) orang yang berlatih
memanah, dan d) orang yang berlatih berenang” (HR. An Nasai). Untuk itulah orang yang beriman berusaha untuk
mendekatkan diri dan melalui jalan Allah
agar rahmat dan anugrah-Nya dapat segera diraih. Sabda Rasulullah SAW “Tak seorangpun akan masuk surga oleh amalnya”,
Sahabat bertanya: ”Tidak juga engkau hai Rasulullah?”. Beliau menjawab:”Akupun
juga. Kecuali Allah melimpahkan anugrah dan rahmat kepadaku. Karena itu,
usahakanlah kamu benar dan istiqamah dan bersahajalah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lebih lanjut beliau Nabi SAW bersabda: “Apabila kalian melewati pertamanan sorga,
maka ikutlah meramaikannya !” Ditanyakan: “Apakah pertamanan sorga itu ?
Rasulullah bersabda: “ Majelis-majelis
dzikir” (HR. Anas bin Malik –
At-Turmudzi). Dalam Hadits-hadits
lainnya disebutkan yang artinya sebagai berikut: “ Hai manusia, merumputlah kalian di kebun
surga! Kami bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa kebun surga itu?
Beliau menjawab: “Majelis dzikir, Kalian makan pagilah (dengan dzikir), makan sore dan
berdzikir. Barangsiapa cinta mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka
pandanglah bagaimana kedudukan Allah di sisinya (dihatinya). Sesungguhnya Allah
turun pada hamba menurut turunnya hamba di sisin-Nya” (HR. Abu Hurairah dan At-Turmudzi). Hadits berikutnya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu mempunyai
malaikat-malaikat yang berkelana di Dunia, selain makhluk. Apabila mereka
melihat majelis-majelis dzikir, sebagian mereka memanggil sebagian yang lain -
Kemarilah kepada kebutuhan kalian !, maka berdatanganlah para malaikat itu dan
mereka mengelilingi majelis dzikir, serta mendengarkan. Ingatlah ! Ber-dzikir kepada Allah dan
ingatlah diri kalian”.[2] Hadits yang diriwayatkan Abi Dzar radliyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda: “Menghadiri majelis dzikir itu lebih
utama daripada shalat seribu
raka’at, menghadiri majelis ilmu lebih utama daripada menengok seribu orang
sakit dan menghadiri majelis ilmu adalah lebih utama daripada menyaksikan seribu
jenazah”. Ada yang bertanya: ‘Ya Rasulullah ! Bagaimana kalau dari membaca
Al Qur’an ?” Rasulullah
bersabda: ‘Adakah bermanfaat membaca Al Qur’an, kecuali dengan “ilmu” ‘Athaa rahimahullah berkata: “Majelis
dzikir itu dapat melebur tujuh puluh majelis main- main”.[3] Sabda Rasulullah berikutnya : “Ingatlah, Saya akan memberitahu kalian
tentang sebaik-baik amal kalian, paling sucinya amal kalian di sisi Raja
kalian, paling tingginya amal kalian dalam tingkatan beberapa derajat, dan paling baiknya pemberian daripada emas dan
perak. Jika kalian bertemu musuh-musuh kalian, maka kalian memukul leher-leher
mereka dan mereka (ganti) memukul leher-leher kalian! Para sahabat
bertanya: “Apa itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Dzikrullah”.
(HR. Al Baihaqi dari Ibnu Umar).[4] Karena tingginya
dimensi dzikir dalam hadits disebutkan: “Hari kiamat tidak akan datang kepada
seseorang yang mengucap Allah, Allah” (hadits ini diriwayatkan Anas
bin Malik dan dikeluarkan Imam Muslim
no: 148 tentang iman bab ”Hilangnya Iman
di Akhir Zaman”). Juga dalam hadits: “Kiamat tidak akan terjadi sampai di bumi ini
hingga tidak ada yang mengucapkan Allah, Allah” (HR.
Anas bin Malik dan dikeluarkan oleh At-Turmudzi ).
Keistimewaan dzikir tidak dibatasi waktunya, bahkan tidak ada waktu kecuali
seorang hamba diperintah dzikir, baik
bersifat wajib atau sunnat. Allah berfirman dalam QS. Ali Imran:190 -191 artinya: “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam adalah
tanda-tanda bagi orang yang berfikir, (yaitu) Orang-orang yang mengingat
(dzikir) Allah, baik dengan berdiri, duduk, dan (atau) berbaring dan memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi”. Dengan dzikrullah seorang hamba
bisa menyelamatkan dari gangguan atau godaan setan yang menjadi musuh nyata
manusia, seperti ditegaskan oleh Nabi SAW: ”Seorang hamba tidak akan bisa
melindungi ‘diri’-nya dari setan kecuali hanya dengan dzikrullah” (Shahih Ibn Hibban XIV:125 dan
Sunan At Tirmidzi V:148).
Di kalangan penganut terekat ada yang menyebut kata Huwa
sebagai hu (terdengar) sebagai amalan dzikir, sedangkan di hati terukir
goresan yang bermaksud Dia Allah,
jelas dihalalkan dalam syari’at dan akan memberi pengaruh
positif pada sang pelakunya atau pengamal. Kelompok Naqsyabandi juga meyakini bahwa goresan
hati mereka yang menyebut Dia Allah
ketika mulut mengatakan Huwa (hu) pasti akan diganjar sebagai sebuah
ibadah atau amalan di sisi Allah
Subhanallahu Wa Ta’ala, bila melalui saluran atau metode yang benar.
Ilustrasi ini jelas tergambar pada peristiwa Bilal bin Rabah, Muadzin
Nabi yang mulia pada saat menerima siksaan dari Umayyah bin Khalaf dan
antek-anteknya. Beliau dijemur di padang pasir yang terik seraya dicambuk terus
menerus. Namun saat itu hati (qalbu)
beliau tetap teguh mengingat hanya Dia Allah
tidak ada yang selain itu. Sementara mulut beliau tiada hentinya mengucapkan Ahad .... Ahad.... Dalam pandangan
kelompok wahabi / salafy, yang secara hukum syari’at sebenarnya hal ini dianggap
salah, apakah kelompok wahabi / salafy
berani menyalahkan beliau ? Sebab menyebut nama Allah
semestinya dengan memakai harfun nida’
(kata seru) “ي (YA)”. Jadi
semestinya Sayyidina Bilal harus menyebutkan “Ya Ahad...Ya Ahad” atau “Allahu
Ahad ....Allahu Ahad” bukan “Ahad...Ahad” saja. Tetapi kenyataannya,
Sayyidina Bilal tetap hanya menyebutkan Ahad
Ahad saja, bukan? Perbuatan
Sayyidina Bilal ini sesuai dengan hadits
Nabi: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu dan harta kamu, tetapi Allah
melihat hati-mu dan amalmu” .
Artinya meskipun di mulut secara dzahir
beliau hanya mengucapkan Ahad Ahad, namun hati beliau, sekali lagi
hati beliau dengan tegas dan nyata menggambarkan bahwa yang dimaksud adalah Allahu Ahad- Allahu Ahad ! Demikian juga
serupa dengan mengucap Allah ...
Allah...Allah. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam justru memuji dzikir yang dilakukan Bilal saat itu, bahkan menjamin beliau dengan
imbalan surga kelak di Akherat. Tidak sedikit pun Nabi SAW mengkoreksi ucapan Bilal tersebut, apalagi menuduh Sayyidina
Bilal melakukan amalan bid’ah.
Padahal Nabi sendiri tidak pernah mengajarkan sayyidina Bilal untuk berdzikir Ahad..Ahad, seharusnya, amalan
Sayyidina Bilal ini bid’ah menurut
paham wahabi / salafi, pasalnya Sayyidina Bilal ini dianggap telah lancang dan
terlalu berani membuat sebuah amalan yang tidak dibuat atau diajarkan oleh Nabi
SAW). Di sisi lain Umayyah dan Abu
Lahab berserta antek-anteknya pun memahami ucapan Bilal .. Ahad ... Ahad (yang berarti satu
... satu atau Esa ... Esa) itu
dimaksudkan adalah Allahu Ahad ... Allahu Ahad. Sehingga kemarahan mereka semakin
memuncak dan berujung kepada siksaan yang lebih dahsyat mereka jatuhkan kepada
Sayyidina Bilal. Dahsyatnya, kelompok mereka yang sejak dulu sampai sekarang
ini tidak dapat memahami jenis-jenis dzikir
seperti ini. Bukankah ini berarti lebih pandai mengkoreksi amal ummat Islam dan
menuduh sesat alias bid’ah amalan
kaum muslimin di luar kelompoknya, dibandingkan pula dengan diri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri.
Padahal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam ada bersabda: “Aku diutus membawa agama yang cenderung
kepada perkara yang haqq dan penuh toleransi !”
Shalat meski kedudukannya sebagai ibadah yang
paling mulia, namun dalam waktu-waktu tertentu tidak boleh dilakukan. Sedangkan
dzikir dilakukan sepanjang waktu
dalam berbagai keadaan. Pelajaran dalam Al
Qur’an itu seharusnya dikaji untuk dimengerti dan diamalkan atau
dikerjakan, tidak hanya untuk dibaca-baca saja seperti fiman Allah dalam Surat Yaasiin: 69 “Wa maa ‘allamnaahusy syi’ra wa maa yambaghii
lahuu in huwa illa dzikruw wa qur-aanum mubiin” artinya: “Dan kami tidak mengajarkan sya’ir
kepadanya (Muhammad) dan tidak lah pantas baginya (Al Qur’an tidak lain
hanyalah pelajaran / kajian, terkecuali dzikir / ingat Allah), berupa peringatan
dan Al Qur’an yang amat terang”.
Keutamaan dzikir
sebagai berikut:
a) sebagai tanda
cinta Allah,
b) sebagai tanda
beserta Allah,
c) sebagai tanda
mempunyai martabat yang tinggi,
d) tanda lebih
utama dari jihad (fi sabilillah),
e) tanda tak
kalah dari pahala sedekah,
f) sebagai tanda
harta yang tak ternilai harganya, dan
g) tanda akan
berbalas masuk surga.
Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW dalam beberapa hadits:
”Tanda
cinta Allah adalah menyukai dzikrullah (dzikir kepada Allah) Dan tanda
kebencian Allah adalah membenci dzikrullah azza wajalla” (HR.Baihaqi dari Anas ra). “Allah ta’ala berfirman, Aku bersama hamba-Ku
apabila ia menyebut nama-Ku” (HR.
Ibnu Majah, disahihkan oleh Ibnu
Hiban). “Akan selalu ada di antaramu orang-oprang yang mengingat Allah seraya
duduk di atas hamparan-hamparan, sehingga mereka dimasukkan ke dalam martabat
yang tinggi” (HR. Ibnu Hiban
dari Abu Sa’id ra). “Seandainya
seseorang memukulkan pedangnya kepada orang kafir dan musyrik hingga patah dan
berlumuran darah, tentulah orang-orang yang berdzikir kepada Allah lebih utama
daripadanya” (HR. Tirmidzi
dari Abi Said Al Khudri ra). “Sekiranya
seseorang mempunyai beberapa dirham yang dapat disedekahkan dan yang lain
mengingat Allah, sesungguhnya yang mengingat Allah itu lebih baik” (HR.Thabrani). “Harta yang tak ternilai harganya
adalah lisan yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur, dan istri
beriman yang mampu menegakkan keimanan suaminya” (HR. Ibnu Majah dan At Tirmidzi). Dan “Abdillah bin ‘Umar bertanya
kepada Nabi SAW: “Ya Rasulullah, apakah balasan bagi majelis-majelis dzikir itu
? Muhammad Rasulullah SAW bersabda: “Balasan bagi majelis-majelis dzikir adalah
surga” (HR. Ahmad).
Undang-undang
Al Qur’anul Karim adalah kitab yang
berlaku bagi orang-orang yang ruhaninya sudah
suci dan hidup. Sebagaimana firman
Allah sebagai berikut dalam QS.
Yaasiin: 70, “Li yundzira man kaana hayyaw wa yahiqqal qaulu ‘alal kaafiriin”
artinya: “Dia (Muhammad) agar memberi ingat kepada siapa-siapa yang hidup
hatinya; dan tetap la hukuman / siksa buat orang-orang yang ingkar”.
Tersebut dalam QS Al Waqiah: 77 – 81 “Innahuu la qur-aanun kariim, fii kitaabim
maknuun, tanziilum mir rabbil ‘aalamiin. A fa bi haadzal hadiitsi antum
mudhinuun” yang artinya: “Sesungguhnya
Kitabullah (Al Qur’an) yang paling mulya adalah kitab suci yang disembunyikan,
yaitu Al Qur’an yang tidak bisa disentuh kecuali orang-orang yang hatinya sudah
suci. Salah satu kalamullah yang datang
dari Allah Tuhan semesta alam. Bisakah kamu cerita, kalau ini pekerjaan mudah ?”
Selanjutnya pendidikan
budi pekerti dalam Islam dilakukan melalui jalan tarekatullah (dalam ilmu tasawwuf)
sebagai metode atau melalui suatu “pendidikan ruhani” yaitu dengan dzikir, wirid (dzikir bersama),
melaksanakan I’tikaf / Suluk yaitu mengintensifkan dzikirullah dan berusaha
mendekatkan diri kepada Allah SWT,
sehingga Allah sendiri yang
mencerdikkannya dan memberi petunjuk sebagai ilmu Laduni yang akhirnya
membuahkan ahlaqul karimah.
Suluk secara harfiah
dalam kaitannya dengan agama Islam, masuk sufisme
dalam metode tarekat, berarti menempuh “jalan
(spiritual)” menuju Allah. Kata ‘suluk’ berasal dari terminologi Al-Qur’an, yakni ‘fasluki’, dalam Surat An-Nahl [16] ayat 69, “Fasluki
subula rabbiki zululan”, yang artinya “Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang
telah dimudahkan (bagimu)”. Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik. Kata suluk dan salik biasanya berhubungan erat dengan tasawuf, tarekat dan sufisme.
Iman dan
taqwa saja tidaklah cukup untuk bisa menjadikan orang yang berilmu dan ber-akhlaq mulia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
“Iman itu
telanjang, pakaiannya adalah taqwa, perhiasannya adalah malu dan buahnya adalah
imu” (HR. Al Hakim)[5]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar