Laman

Selasa, 27 Maret 2012

ILMU DALAM ISLAM

Ber-Ilmu
          

Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
goesmul@gmail.con
        

         Ilmu yang berkembang di alam ini semuanya adalah milik Allah, manusia awalnya tidak memiliki apa-apa. Mereka lahir dalam keadaan kosong (tidak mengetahui sama sekali) dan untuk membantu manusia Allah menganugrahi panca-indra seperti kuping untuk pendengaran, mata untuk penglihatan, tangan dan kaki untuk beraktivitas seperti memegang dan berjalan / bergerak, mulut untuk makan-minum dan merasakan nikmatnya hidangan serta berucap, hidung untuk mencium bau-bauan, hati - nurani untuk merasakan atau berperasaan, otak untuk berpikir, dan sebagainya. Fitrah manusia tersebut adalah potensi asasi tertentu yang ada pada diri manusia sejak lahir. Firman Allah ta'ala: "Laqod khalaqnal Insana fi ahsani taqwim”, artinya “Sungguh Kami telah ciptakan manusia dalam sebaik-baiknya acuan”. Bentuk yang terbaik atau yang hakiki (QS.Ath-Thin: 4). Dan Allah azza wajalla telah membuat  agreement (perjanjian) kepada seluruh arwah (ruh) di alam Azalie atau alam Lahut (nuansa ilahi) di negeri asal (QS. 7:172 & 76:1). Suatu perjanjian Allah ta'ala dengan semua arwah manusia untuk mengenal Allah saja, Robb sebagai Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pemelihara semesta alam, termasuk pendidik manusia. Maka esensi atau hakikat insan adalah Ruh-Qudsie yang memiliki sifat suci atau asli dan fitri yang hanya mengenal Allah. Dan tersimpan serta terpatri di dalam lubuk hati (qalbu) dengan seluruh sifat dan asma Allah. Ruh sebenarnya telah menyaksikan atau musyhadah ke seluruh sifat Ilahi yang Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Segalanya sehingga membentuk rasa takut atau khasyyah “…takutlah kepada-Ku dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk” (Q.S. Al-Baqarah (2) :150). Lalu Allah Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang dan Pengasih, Maha Pengampun sehingga membuat  adanya rasa harap (raja). Juga Allah Yang Maha Indah dan Maha Mulia sehingga melahirkan rasa senang dan bahagia (surur), senang keindahan dan kemuliaan. Allah Yang Maha Shamad, Maha Tinggi dan Maha Besar serta Maha Benar sehingga menciptakan rasa keberagamaan dan spirit kebenaran yang toleran (al-hanafiyyah As-samhah). Sungguh benar Sabda Rasul SAW, "Setiap bayi yang terlahir dalan keadaan fitrah atau suci, memiliki watak hanief atau memiliki kecenderungan kepada kebenaran, Maka kedua orangtuanya atau lingkungannya (syaitan dan hawa nafsu) yang membentuk dan mempola jiwa manusia ke arah penyimpangan prilaku dan pendangkalan intelektual.”
Ada pun fitrah manusia antara lain:

1.   Fitrah Tauhid yang merupakan potensi dasar yang hanya mengenal keesaan Allah azza wajalla (monotheisme).

2.   Fitrah Hanief yang merupakan potensi dasar yang hanya mengenal kebenaran dan jiwa yang lurus. Dalam QS.Ar-Rum.30: "Maka hadapkanlah dirimu (Nabi Muhammad & umatnya) dengan lurus dan mantap kepada agama (sistem hidup), Menurut fitrah Allah (ciptaan Allah) yang menciptakan fitrah itu pada manusia (keserasian syariat Islam dengan fitrah insani). Tiada dapat diubah (hukum-hukum) ciptaan AlIah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.

3.   Fitrah Mempertahankan Hidup dengan sandang, pangan, dan papan (QS. Al Baqarah : 168 atau QS. An Nahl : 19). Dalam memenuhi fitrah yang ketiga ini, hendaknya manusia melakukan pemenuhan kebutuhan dengan berbagai jenis makanan yang baik (thoyyib) dan halal sehingga membentuk tubuh yang kuat, sehat dan akal yang cerdas. Memelihara, memanfaatkan dan mengembangkan hasil alam atau Bumi sesuai dengan aturan main Allah  SWT tanpa merusak ekosistem alam. "Jangan merusak dimuka Bumi, sesudah Allah memperbaikinya, tapi berdo'alah kepada-Nya, karena ketakutan dan kerinduan. Sesungguhnya rahmat Allah dekat kepada orang yang berbuat kebaikan." (QS.AI-A'raf 56) Dan jangan memanfaatkan hasil bumi secara berlebihan atau israf. “Makan dan minumlah hendaknya jangan berlebih-Iebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih lebihan” (QS. 7 : 31 dan  QS. 6 : 141). Disamping itu hiduplah dengan pencarian nafkah, yaitu pekerjaan dan bermacam usaha yang diperoleh dengan cara yang halal dan thoyyib menurut Allah SWT, sehingga dapat membentuk jiwa yang lurus, qolbu yang tenang, dan akhlak- perilaku yang mulia.

4.   Fitrah Berkeluarga. Dengan melangsungkan hidup sebagai suami-istri, karena Allah SWT menciptakan manusia berpasangan. (QS.16: 72). Dan menganjurkannya untuk menikah sesuai dengan fitrah insani bukan seperti hewan. (QS. An Nur : 32-33). Agar tercipta kehidupan dalam ketenangan dan kedamaian (sakinah), maka rumah tangga dibentuk dengan rasa  cinta dan kasih sayang, mawaddah-rahmah (QS. Ar Rum 21).

5.   Fitrah Membela Hidup dengan memersiapkan segala macam kekuatan untuk memertahankan eksistensi hidup (QS Al Anfal 60). Al Islam hanya membolehkan defensif, tidak boleh atau membolehkan memulai sesuatu hal yang bersifat agresor (QS. Al Baqarah 194). Pembelaan hidup menurut Islam berlaku atas lima perkara yang utama: Membela agama, jiwa, akal, nama baik (harga diri / kehormatan), keturunan, dan harta-benda. Apabila mati karena membela atau berjuang dan mempertahankan hidup, maka Islam memandang itu mati terbaik (syahid).

6.   Fitrah Intelek atau Berakal. Innad Dina huwal Aqlu. Intelek Islam adalah ‘Agama dan akal’. Al Qur’an mendorong manusia untuk berpikir, merenung, meneliti, dan sebagainya. Afala ta'qilun - afala tatafakkarun - afala tanjhurun. Sehingga sampai kepada khulashah atau kesimpulan: "Bahwa segala sesuatu ini ada Penciptanya yaitu Allah SWT. dan diciptakan dengan maksud serta tujuan tertentu bukan percuma. Robbana ma khalaqta hadza bathil "a" (QS. Ali Imran: 190-191). Pada orang yang akalnya belum berkembang adalah seperti sifat dari anak-anak. Lalu orang yang akalnya tidak berfungsi maka ia adalah orang yang sedang tidur. Bagi orang yang akalnya sudah rusak adalah orang gila atau orang yang kejiwaannya terganggu, sehingga ia tidak dibebani hukum agama. (Hadits, Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah).

7.   Fitrah Nilai Spiritual. Fitrah asli dan perasaan yang semurni - murninya dalam jiwa manusia adalah pencarian dan kerinduan kepada dekapan Allah Maha Kuasa dan Maha Ghaib yaitu Al-Qadir-Al-Bathin. Memadukan dan menselaraskan serta mengaplikasikan potensi - potensi nikmat tersebut dengan selalu berdzikir, maka akan merasa selalu diawasi oleh Allah (muraqabah). Selain eksis dengan mengingat-Nya dan menyebut-Nya, mengikrarkan keesaan-Nya (La ilaha illallah), sehingga qolbu menjadi tunduk dan bersih, kelak akan menumbuhkan iman yang dapat merundukkan jiwa-raga ke hadirat Allah dengan khusyuk dan tawakal, rasa haru, tangis dan bahagia. Diri selalu terikat dan tertuju untuk mengenal dan mendekat kepada Allah azza wajalla (marifat). Hanya bergerak sebagai abdi-Nya untuk dapat mendekat, membuka jalan terang benderang di bawah cahaya Ilahi, ilmu yang indah dan tinggi tersebut menyentuh qolbu dan membakar nafsu setan untuk mereguk kenikmatan dalam mahabbah-Nya, sehingga membuat ketenangan yang mutmainnah, dan seakan  tenggelam menghilang menuju ridha di sisi-Nya. Ilahi Anta maqshudi waridhaka math lubi, A'thini MahabbataKa wa Ma'rifataKa (Ya Allah hanya Engkau yang kami tuju dan keridhaan-Mu yang kami cari, Berilah kami potensi untuk dapat Mencintai-Mu dan terang Marifat-Mu). Kemudian selalu berpikir, merenung serta tafakur, dan mengobsesrvasi ciptaan Allah dari alam mikro cosmos sampai alam makro cosmos. Dengan berharap memeroleh ilmu yang akan dapat mengantarkan jati diri manusia pada tingkat martabat mulia menjadi manusia mukmin sejati, berilmu shahih yang berfikir ilmiah dan beramal sholeh untuk meraih sukses mengarungi bahtera kehidupan. Keseimbangan konstruktif berfungsi sebagai daya tarik samawi (mental-spiritual) dan daya dorong ardhi (fisik-material). Ketimpangan dzikir dan pikir akan melahirkan instabilitas dalam kehidupan (QS.An-Nahl 97). Qolbu yang hanya tunduk kepada Allah SWT yang maha mengetahui segala yang ghaib serta misteri dalam kehidupan, akal sehat tertuju kepada Allah SWT yang maha mengetahui segala yang nyata (Asy-Syahadah) tampak dalam kehidupan. Tubuh yang kuat dalam melaksanakan seluruh perintah Allah yang maha Asy-Syakur atau bersyukur. Sebagai realisasi dari hablum-minannas dan hablum-minnallah sehingga Allah selalu mengingat dan membalas kebaikan menjadikan hamba yang pandai bersyukur. (QS. Ibrahim: 7)

8.   Fitrah Sosial.  Al Qur’an menyatakan manusia adalah ummat yang satu. (QS. Al-Baqarah 213), dan dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal atau At-Taaruf. (QS.49:13). Dengan keimanan, manusia dilarang saling memperolok satu dengan yang lain, karena kemuliaan itu sesungguhnya hanya di sisi Allah SWT. Dalam beramal sholeh bagi orang bertaqwa, harus dilandasi dzikir dan ilmu pikir ilmiah-amaliah serta saling tolong-menolong dalam kebaikan, bukan membantu dalam berbuat dosa dan permusuhan (QS. Al-Maidah: 2).

9.   Fitrah Susila (Akhlak). Akhlak menunjukkan sejumlah sifat tabiat yang fitri (asli) pada manusia dan sejumlah sifat yang diusahakan hingga seolah-olah menjadi fitrah. Dua bentuk akhlak yaitu ada yang bersifat basyariyyah (kejiwaan) dan bersifat jhohiriyyah yang terwujud dalam perilaku. Ada pun menurut Islam, ada sejumlah prinsip (mabda) dan nilai yang mengatur perilaku seorang manusia yang dibatasi oleh wahyu untuk mengatur kehidupan manusia dan menetapkan pedoman baginya. Menurut hadits "Bagi tiap-tiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu atau al-haya". Demi merealisasikan tujuan dan kebenarannya di muka Bumi, dengan beribadah kepada Allah SWT untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

10.        Fitrah Seni. Al Qur,an menganjurkan agar berlomba - lomba dalam hal kebaikan (QS. Al-Baqarah 148). Allah mengutus para Nabi dengan kebajikan dan ada ungkapan "Allah itu indah, Dia menyukai keindahan" (Al-Hadits). Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk memakai perhiasan yang indah setiap kali ke masjid. (QS. Al-A'raf 131), dan Ia juga menganjurkan kepada hamba-Nya untuk selalu membaca kalam-Nya dengan suara bacaan yang baik dan indah. (QS. Al-Muzammil, 4). Al Islam dan Al Qur’an mengungkapkan fitrah manusia selaras dengan fitrah agama Islam sebagai agama yang mutlak kebenarannya. Untuk memahami sistem yang benar, maka dituntut ‘keserasian yang benar’, karena hal tersebut merupakan tanda keberagamaan yang benar pula. Adapun fitrah kesucian merupakan himpunan dan akumulasi dari tiga anasir, yakni Benar, Baik dan Indah, sehingga seorang hamba Allah sebagai penyembah atau pengabdi  selalu berada dalam fitrah Allah, diikuti  dengan perilaku yang benar – benar baik dan indah. Bahkan lewat kesucian jiwa akan bisa memandang segalanya dengan pandangan yang positif dan selalu berusaha mencari sisi-sisi yang baik, benar dan indah. Dengan mencari yang benar, maka akan menghasilkan ilmu. Untuk pencarian yang baik, maka akan menghasilkan etika. Sedangkan untuk mencari yang indah, maka akan menghasilkan estetika dan seni. Dengan pandangan demikian maka ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan dan keburukan orang lain.  Kalaupun itu terlihat, maka ia akan selalu mencari nilai-nilai positif dalam sikap negatif tersebut. Kalaupun itu tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada yang melakukan kesalahan.              

11.         Fitrah Harga Diri. Al Qur’an memerintahkan agar manusia memelihara dan memertahankan harga diri serta ketinggian  martabatnya di sisi Allah SWT. Karena Dia telah menciptakan manusia dan membuat ‘ikatan perjanjian sakral’ dalam bentuk yang terbaik, sebaik-baiknya acuan. Ruh-Qudsie, jiwa hanief dan agama fitri yaitu "Laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim”. Dengan kehendak atau iradah Allah yang  kuasa menyempurnakan kemanusiaan dengan pendekatan diri kepada Allah bahwa tempat kebenaran di sisi Allah Raja yang menentukan (fi maq'adin Malikin Muqtadir). Dan di alam Lahut menuju tempat yang paling rendah (Asfala-safilin) yaitu ruh-jasmani di alam mulki atau Bumi (Tsumma radadnahu asfala safilin)". Maka tertutuplah Ruh Qudsie atau jiwa hanief dengan dosa (rona titik hitam dalam qolbu) dan terjadi penyimpangan perilaku di alam dunia karena dua ‘keping mata uang’ yang dominan dan inheren yaitu adanya hawa nafsu dan setan. Bila fondasi nilai spiritual telah rapuh menyebabkan hawa nafsu tidak terkendali dan setan telah menguasai kehidupan manusia menjadikan manusia lupa dari mengingat Allah (Dzikirullah).

          Dalam konsep Islam, ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat, baik bagi kehidupan di Dunia maupun kehidupan di Akherat kelak (lihat Bagan Pohon Ilmu Islam), bersifat fisik (jasmani) dan metafisik (batin-ruhani), yang tersimpan dalam Al Qur’an dan Sunnah-nya. Juga yang terhimpun di dalam Jagat Raya atau Alam Semesta ini beserta isinya, yang terus-menerus manusia merisetnya untuk menemukan dan mencari bukti-bukti konkrit akan kebenarannya. Islam itu bersifat ilmiah (masuk akal) dan amaliah (mengerjakan amal / taat akan perintah Allah sehingga Allah sendirilah yang mencerdikkannya dengan ilmu laduni).

          Ummat muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu, baik yang bersifat ruhani dan jasmani maupun yang bersifat duniawi dan akherat, seperti tercantum dalam hadist Rasulullah SAW yang artinya: “Menuntut ilmu diwajibkan bagi orang Islam laki-laki dan orang Islam perempuan”. Hadits hasan riwayat Ahmad dan Ibnu Majah menyebut demikian: ”Mencari ilmu itu fardhu (wajib) atas setiap orang muslim”. Berikutnya:Barang siapa yang menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad). Juga yang artinya: Anas r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tuntutlah ilmu walau di negeri China, sebab menuntut ilmu agama itu wajib atas tiap orang muslim. Sesungguhnya Malaikat menghamparkan sayapnya pada orang yang menuntut ilmu karena ridha (suka/senang) dengan apa yang dituntut / dicari” (HR. Ibn Abdul Barr). Berikutnya hadits yang artinya: “Barangsiapa keluar dari rumahnya pada menuntut ilmu, maka ia pada jalan Allah (fi sabilillah), sehingga ia kembali kerumahnya” (HR. At-Tarmidzi dari Anas). Dan yang artinya: “Barangsiapa berjalan pada jalan, dimana ia mencari ilmu padanya niscaya dimudahkan oleh Allah baginya jalan ke Sorga” (HR. Muslim). Hadits riwayat At-Tirmidzi menyebut: ”Keutamaan seorang Alim (ber-ilmu agama) atas seorang ‘Abid (ahli ibadah) seperti keutamaan rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya Ulama itu pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu (agama), maka barang siapa mengambilnya (yaitu mengambil ilmu agam darinya) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak”.  Seseorang yang mempelajari ilmu ketuhanan (agama Islam), memerlukan seorang pembimbing (guru / mursyid) yang peranannya sangat penting untuk menjadikan beriman, bertaqwa, berikhsan dan berakhlaq mulia, maka hubungan itu harus dijaga sebaik-baiknya dengan cara menghormatinya dan memuliakannya. Sabda Nabi SAW : “Muliakanlah orang yang engkau belajar daripadanya” (HR. Abu Hasan Al-Mawardi).

          Dalam kehidupan modern, sering dibedakan antara kebenaran Tuhan (Allah) dengan kebenaran manusia. Sehingga teologi kemudian harus diturunkan pada level kemanusiaan (antropomorfisme), dimana ketuhanan itu baru berarti jika telah mampu menyelesaikan permasalahan dan berangkat dari paradigma kemanusiaan, sehingga sekularisme menjadikan “hilangnya rasa ke-Tuhan-an, demi kemajuan dunia”[1].  Muhammad Bagir MA, dosen filsafat dan tasawuf pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, yang mengkritik paradigma seperti ini. Melalui sebuah disiplin keilmuan yang menggabungkan antara rasionalitas filosofis dengan dimensi irfani dari tasawuf dari filsafat perenial, ia mencoba mengklarifikasi salah paham dari akal modern, yang menciptakan degradasi makna berpikir dari intelektual (akal-batin) kepada reason (rasio). Pemisahan antara akal dan jiwa inilah yang membuat manusia modern, menjadi Raja-raja kecil diatas bumi, yang sayangnya tak mampu melepaskan diri dari jerat kesengsaraan, akibat daripada kedunguan spiritualitas, kebodohan dan arogansi egoisme. Manusia modern tengah mengalami transcendental homelessness yaitu hilangnya hubungan harmonis antara keterkaitan jasmaniah dengan batiniyah, juga antara kepentingan dunia dangan kepentingan akherat. Orang tidak lagi menemukan makna dan tujuan hidup, justru kehadirannya itu ketika berbagai alat kemanusiaan yang memudahkan dan memanjakan hidup telah banyak dikuasai. Menurut Bagir bahwa tasawuf bisa menjelaskan dan dapat menyelesaikan masalah tujuan hidup di dunia dan akherat serta berbagai masalah kemanusiaan itu sendiri yaitu ketika berada di jalan Tuhan. Makna dari  antropomorfisme, yakni Tuhan turun dalam form manusia. Ketika Tuhan turun dalam form manusia, sepertinya Tuhan merasakan kesengsaraan manusia, dan menunjukkan bahwa Tuhan dalam form manusia bisa menyelamatkan dari kesengsaraan itu sendiri. Teo-morfisme dalam Islam bukan seperti antropomorfisme. Tuhan tidak “mendaging” dalam manusia, tetapi manusia bisa memasuki alam jabarud, lalu alam Malakut dan alam Robbani (melangit). Jadi teo-morfisme merupakan proses taholli-tahalli-tajalli, dari pembersihan (pengosongan) diri, lalu  pengisian diri, hingga pada akhirnya merasakan alam ketuhanan. Perbedaannya dapat dirasakan ada, yang penting mengikuti jalan-Nya dengan petunjuk dan bimbingan Rasul, kalau sudah demikian tidak lagi mencari mana yang benar dan mana yang salah. Disini berarti manusia mengalami suatu proses refleksi dari perasaan yang menuju alam ketuhanan. Dan ketika manusia itu merasakan dirinya sendiri sudah tidak ada lagi atau manusia telah bisa menghilangkan ego-individualismenya, maka dalam tasawuf Islam ini ia telah mencapai pada makam the divine (alam ketuhanan). Kaitannya dengan individualisme, karena semua suffering, dimana masalah kehidupan di dunia menjadikan manusia sebagai individualitas dan mengakui adanya “aku” (ego) yang bisa merasakan sedih, sakit, stress dan sebagainya atau merasa bangga dan gembira, namun apabila ’aku’-nya telah hilang lenyap maka tidak akan merasakan kesedihan dan segala kesakitan itu dan merasakan sesuatu yang berlebihan, menjadikannya sesuatu itu yang wajar adanya yang datangnya dari Allah, mendatangkan rasa ikhlas dan ridha. Sehingga muncul istilah Sufi bahwa ”Ada aku, Allah tiada” dan ”Tiada aku, Allah telah beserta (ada Tuhan)”. Nah disinilah bisa membedakan antara ilmu bersifat jasmani dengan ilmu ruhani (metafisik). Pada ilmu jasmani lebih berkonsentrasi pada yang bersifat fisik-biologis dan material. Tapi irfani dan tasawuf konsentrasi pada diri ruhani (metafisik) yang bersifat gaib. Dengan cara itulah manusia bisa selamat dari segala kesengsaraan di dalam kehidupan individualisnya, baik di dunia sampai nanti di akherat.

          Ilmu yang selama ini kita pelajari ada yang accumulatif knowledge, ada pula yang annihilatif knowledge. Semakin banyak mencari ilmu akan terjadi akumulasi knowledge, menjadikan lebih mengetahui dan lebih pintar. Tetapi annihilation, yakni nihilasi (fana’) yaitu ilmu yang menghilangkan subjek (ego). Misalnya, laa ilaahaillallah, tiada Tuhan selain Allah. Kenapa? Karena Dia mutlak. Sesuatu yang mutlak, jelas tidak terbatas. Sesuatu yang tidak terbatas, tidak mengizinkan dua realitas. Tidak ada realitas selain Dia (Allah), yang lain menghilang semuanya, hilang subjek, hilang ego, tidak ada lagi ’aku’. Dan akan terlihat seluruh alam ini dengan ’kaca mata’ Dia Yang Maha Kuasa, bukan lagi kaca mata individualis lagi. Ketika sesuatu itu menjadi terbatas, pasti ada sesuatu yang lainnya. Jadi konsep tauhid juga dipahami seperti itu. Jadi kalau ada masalah, justru akan semakin mendekat kepadaNya atau bahkan sebaliknya seringkali lari dariNya dan masuk pada masalah lain lagi. Yang harus dilakukan seharusnya adalah beyond (melampaui keterbatasan), mencari sesuatu kekuatan terbesar yaitu apa yang bisa membawa keluar dari masalah yang memberatkan dengan menaikkannya kepada maqam (tingkatan) yang lebih tinggi dengan perasaan ikhlas dan ridha-meridhai.

          Pada masyarakat modern dalam menyelesaikan masalah ekonomi ya dengan ilmu ekonomi, politik dengan ilmu politik, dan sebagainya. Pendekatan spiritual sesungguhnya untuk menghadapi berbagai masalah, yang merupakan gambaran dari ketidak berdayaan manusia dan bentuk keterbatasannya, sehingga ada kekuatan lain yang lebih besar turut bergabung menyelesaikan, sebagai energi yang tak terhingga yang datang dari sisi Allah. Ketika manusia bergabung dengan faktor tak terhingga, sehingga dalam Al-Qur’an disebut bahwa Allah itu wahuwa ma’akum yaitu Dia bersama dengan kalian, dan ainamaa kuntum yaitu dimana saja kalian berada. Menjadi manifestasi Tuhan, bukan hanya dengan keluarga, tetapi bersama dengan semua manusia, pohon, hewan, alam lingkungan dan sebagainya. Contoh Nabi Muhammad SAW (Rasulullah) sampai sekarang secara ruhani tetap hadir bersama kita. Nabi Muhammad SAW sebagai manusia biasa dan keberadaannya temporal, namun juga sebagai manusia luar biasa dan sekaligus manusia pilihan Allah. Assalamu’alaika ayyuhan Nabi, tidak terputus dari kehidupan ini dan justru semakin terkait dengan kehidupan hari sekarang dan masa  mendatang. Masyarakat juga sering kali memisahkan antara akal (rasio) dengan hati (qalbu). Artinya ada perbedaan fungsional antara reason (rasio) dengan hati-nurani (qalbu). Kalau reason, berada di wilayah ilmu hushuli atau  konseptual. Padahal ilmu konseptual sebenarnya produksi manusia sendiri. Tapi kalau menyangkut hati-nurani (intelektual) itu adalah ilmu hudhuri, dimana subjek dan objek tidak terpisah atau antara yang mengetahui dan yang diketahui tidak pernah terpisah, dan bisa dikatakan ’menyatu’ atau ’bergabung’ atau ’beserta’. Realitasnya sebagai refleksi seperti didalam cermin, jadi tidak terpisah dari Dia (Allah). Dalam hadist yang intinya “Bumi tidak bisa menempatkan Aku, langit juga tidak bisa, kecuali qalbu mu’min”. Jelas bagaimana menempatkan Tuhan yang tidak terbatas ini ? Yaitu dengan cara memasukkan unsur yang dimensinya tak terhingga tersebut kedalam hati atau qalbu setiap orang mukmin, dengan merefleksikan Dia tentunya.

          Qalbu dapat memuat zat Allah yang divine, bukan human. Dimana qalbu bisa menempatkan Tuhan yang tidak terbatas, adalah ”man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbah”. Ilmu hushuli yang berupa konsep yaitu dapat melukis realitas. Kalau ilmu hudhuri adalah  masukkan realitas itu dalam hati. Nabi melihat segala urusannya dengan ’kaca mata Tuhan’. Jadi Nabi SAW setiap ada permasalahan selalu bertanya kepada Allah dan menyelesaikannya dengan petunjuk Allah pula. Tetapi sebenarnya terjadi ’Aku adalah Dia’. Jadi bukan humanis lagi, tapi divine. Disini pandangan filsafat perennial, tasawuf, atau irfan, adalah menghidupkan divinity (ketuhanan) dalam diri manusia, yaitu ketika Tuhan hadir, ”alaa bi dzikrillahi tathmainnul qulub”. Salah satu nama Allah pun ada al-Mu’min yaitu sebagai Yang Memberi Keamanan. Jadi ketika Allah hadir, Dia akan memberi keamanan pada semuanya. Hadist: ”:al-mu’min miratul mu’min” (mukmin adalah cermin bagi mukmin). Disini yang bercermin bukan antara dua manusia mukmin, tetapi antara mukmin manusia dengan al-Mukmin (Tuhan). Dalam Al-Qur’an ada ayat tentang Nabi Muhammad, ”innama ana basyarun mistlukum” (Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian). Disini jelas bahwa Muhammad itu seperti manusia (seperti kalian) atau mistlukum. Seperti, jadi sebenarnya persis sama dengan manusia dengan kualitas plus, yang dikatakan sempurna dan dapat pula  menyempurnakan. Maksudnya, seperti dekat es dingin, dekat api panas, dekat yang luar biasa juga menjadi luar biasa. Tapi ingat, kabel bukan listrik, tapi kalau kabel sudah dialiri listrik maka bisa menyengat, bisa menghidupkan lampu dan alat perlengkapan hidup lainnya. Tuhan tidak berserikat dengan manusia. Seperti halnya air gula atau air asin, bila dipanaskan airnya menguap dan yang tinggal gulanya atau garamnya. Seperti halnya dengan udara yang tanpa bentuk, akan berbentuk seperti bentuk tempatnya, kalau wadahnya berbentuk kubus maka udara itu berbentuk kubus. Maka yang harus membimbing manusia itu harus ’Aku’, kata Tuhan. Makanya Aku akan jadikan manusia sebagai utusan dan khalifah di bumi. Dalam  Al-Qur’an: fi al-samaai Ilaahun fi al-ardli Ilaahun (Tuhan menguasai di langit dan di bumi). Satu cara merefleksi adalah khalifatullah. Allah sendiri yang datang sebagai Al-Haadi, Yang Memberi Petunjuk, seperti yang Allah kehendaki. Sejalan dengan itu menyadur penjelasan Guru Besar Sufi dan Ilmuwan, tentang air gula, api dan besi, sampai kawat dan listrik. Penjelasannya sebagai berikut: bahwa air tidaklah pernah manis selama dunia terkembang, namun dimana saja kita jilat air gula itu, detik itu juga manisnya gula yang terasa, bukannya manisnya air, karena si air adalah beserta dengan si gula, Karena si air adalah pengantarnya secara langsung, bukan perantara; namun keduanya tidak bersyarikat, begitu air gula dipanaskan, airnya akan terbang (menguap), gulanya akan tertinggal, dan gula tidak akan menjadi air selama dunia terkembang, hanya keduanya adalah sangat rapat terhampir. Begitu juga api dengan besi, yang membakar adalah api, bukan besi, namun kemana saja si besi dihampirkan, detik itu juga langsung si api membakar. Api dengan besi tidak bersyarikat, api adalah api, besi adalah besi (ferrum rumusnya) api tidak ada rumusnya karena api adalah energi, dan api tidak akan menjadi besi, atau sebaliknya, besi tidak akan jadi api, dan api dan besi tidak bersyarikat satu sama lain, hanya sangat rapat berhampir. Demikian juga kawat dengan listrik yang berdaya guna adalah listrik bukan kawat, namun kemana saja dicucukkan si Kawat, Langsung si listrik yang bekerja, dimana saja kita sentuh si kawat, langsung si listrik yang menggigit, bukan si kawat, kawat dengan listrik tidak bersyarikat, hanya sangat berhampir atau saling ‘beserta’; apabila dimatikan kontaknya listrik pun hilang entah kemana, kawatnya yang tinggal, tanpa mampu mengeluarkan daya apa apa lagi dan listrik tak akan menjadi kawat, dan kawat tidak akan menjadi listrik , karena listrik bukan kawat.

          Al-Ghazali mengatakan bahwa cara pencarian kebenaran tidak hanya melalui rasio, tetapi juga pengembaraan (eksperimental) ruhaniyah, menyadari akan kehadiran intelektualitas atau paling tidak memakai panca indera. Indera gunakan untuk melihat dan dapat merasakan (afalaa tadabbarun), kontemplasi rasio untuk berpikir yang berada dibawah bimbingan wahyu, berproses dalam hal berfikir dan berbuat, serta tidak terputus dari Allah dan Rasulnya, serta diarahkan pada kesadaran intelektus berketuhanan yang harus menempatkan diri dalam ruang agama.
          Sekarang ini di Barat ada suatu pemahaman yang tidak pakai agama, tetapi memakai semacam ‘spiritual universal’. Mereka menganggap kalau sudah terikat oleh suatu agama, maka tidak bersifat universal lagi. Padahal terikat pada satu agama Islam yang bersifat damai, akan tampak semakin universal. Karena ada unsur dhahir (jasmani) dan juga ada unsur batin (ruhani). Dhahir itu ada, karenanya pasti juga ada batin, demikian sebaliknya. Dalam agama, ada jalan esoteris yakni jalan yang menghubungan manusia dengan al-Haq. Manusia harus ikut jalan Allah itu. Cara yang ada dalam diri manusia, yakni himmah (aspirasi yang tinggi). Syekh Ahmad Mustafa al-Alawy, dalam buku Sufi Abad ke-20 (Mizan), syarat minimal jika manusia ingin menuju Tuhan adalah himmah, aspirasi yang tinggi untuk mendekatkan diri pada-Nya. Tidak ada yang mampu sampai atau menyaingi sinar cahaya matahari, yang sampai matahari hanyalah sinarnya sendiri. Dalam satu tempat yang gelap, maka satu lubang cahaya yang sedikit saja sebenarnya sudah cukup memberi petunjuk. Cahaya itu akan masuk ke dalam ruang sesuai dengan bentuk lubang yang ada di dindingnya, kalau berbentuk segi lima akan memantulkan bentuk yang sama yaitu segi lima dengan efek yang menerangkan ruang tersebut. Kalau tidak ada lubang sama sekali, semua tertutup, maka tidak bisa melampaui ruang yang kegelapan itu. Firman Allah SWT dalam An Nuur ayat 40 disebutkan: ”Atau (keadaan mereka) seperti gelap gulita di laut yang dalam yang diliputi gelombang demi gelombang yang di atasnya awan kegelapan yang tindih-bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya hampir tidak melihatnya. Dan barangsiapa yang tidak dijadikan Allah cahaya baginya, maka tidak ada cahaya baginya”. Dengan demikian orang yang tidak diberi hidayah dengan cahaya Allah atau Nuur Muhammad sehingga jelas dan terang, maka ia akan  tersesat. Kejelasan itu adalah dambaan bagi mereka yang ingin selamat di dunia dan akherat kelak.

          Ketika ada aspirasi baru dan ada respon, sebagai adzkuruunii adzkurukum, yaitu jika kamu mengingat Aku (Allah), maka Aku pun mengingatmu. Kata hadist Qudsy, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta”. Setelah himmah, maka harus ada kepercayaan (iman) yang sebenarnya adalah bentuk manifestasi dari Dia (Allah). Oleh karena itu syariat datangnya dari Tuhan, bukan dari manusia. Jalan thariqah pun harus dari Allah melalui Rasul utusanNya (pewarisnya). Haruslah manusia itu ekstra berhati-hati, bila unsur ego telah hilang, jangan sampai digantikan atau disusupi oleh setan yang ilmunya juga tinggi. Tidak ada yang bisa melawan setan, kecuali orang-orang yang telah beserta Allah dan RasulNya.


          Pencarian dan usaha untuk menemukan alamat Tuhan (Allah SWT), harus terus dilakukan. Ada cerita menarik yang dikutip Nurcholish Madjid, tentang seorang perempuan tua yang datang kepada Nabi, perempuan itu ditanya Nabi, ”Kalau kamu beriman kepada Allah, di mana adanya Tuhan itu ?Lalu perempuan itu menunjuk ke langit. Kemudian Nabi berkata dengan rileks, “Wanita ini benar” Para sahabat lalu memprotes Nabi, “Al-Qur’an menyebut bahwa Tuhan itu ada dimana-mana. Mengapa Nabi membenarkan perempuan yang berpendapat  bahwa Tuhan hanya berada di langit ?  Nabi menjawab: “Itulah yang dipahami wanita tua itu. Kamu tidak usah mengganggu”.[2] Artinya ada beberapa pengertian atau pemahaman, baik yang tercantum dalam Al Qur’an maupun dalam Al Hadtts semuanya harus dipahami secara utuh dan tidak sepotong-sepotong, karena satu dengan lainnya saling terkait. QS. Al-Baqarah 2:148 yang artinya: “Tiap-tiap ummat memiliki kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepada-Nya, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan”.                             
         
          Dalam hadits qutsi yang berbunyi “Kuntu kanzan makhfiyan, fa uriidu an u’rafa, fakhalaqtu al-khalq, bii ‘arafuunii’ artinya “Pada mulanya Aku (Allah / Tuhan) bagai perbendaharaan tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Aku membuat karya; melalui Aku kamu sekalian mengenal Aku”. Jelas sebelumnya Allah keberadaannya amat gaib atau disebut ghaab’ib al-ghuyib. MengenalNya diperlukan latihan yang intensif dan sungguh-sungguh untuk memperoleh suatu kesadaran: “Udzkuru rabbakum tadlarru’an wa khufyatan” yang artinya: “Ingatlah Tuhanmu dengan penuh rasa haru dan secara diam-diam / rahasia”. Pemahaman-pemahaman tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1.   Pengertian pertama, keberadaan Allah sangat dekat bahkan digambarkan tidak jauh dari urat leher (dalam diri), seperti firman Allah SWT dalam QS. Qaaf : 16 yang berbunyi “....Dan sesungguhnya telah kami jadikan manusia, dan kami ketahui anjuran-anjuran (samar) apa yang disorongkan oleh hatinya, sedangkan kami lebih dekat padanya daripada urat lehernya”. Disini maksudnya ” Wa nahnu aqrabu ilayhi min hablil wariid ” artinya: “Dan Kami (Allah) lebih hampir (dekat) kepadanya (manusia) daripada urat leher-nya”. Tercantum pula dalam QS. Al-Waqiah: 85 yang artinya “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada mereka”. Dan QS. Al-Baqarah: 186 “Fa-innii qaribun ujiibu da’watad-daa’i idzaa da’aani” artinya: “Maka sesungguhnya Aku dekat. Aku memperkenankan permintaan  orang yang meminta, apabila ia meminta (berdo’a) kepada-Ku”. Juga: “Wa’lamuu annallah yahuulu bayna  al –mar’i wa qalbih” artinya:” Ketahuilah bahwa Allah itu mengantarai  antara seseorang dengan  hatinya sendiri”.  Berikut dalam QS. Al Fath: 10 “.......yadullaahi fauqa aidiihim............” artinya: “.....Tangan Allah berada di atas tangan mereka......” (“Wajah Allah berada di atas wajah mereka”), sehingga  Rasulullah SAW pun bersabda yang artinya: “Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia mengenal Tuhannya”. Demikian tanda-tanda kekuasaan Allah pada diri manusia seperti tercantum dalam  QS. Fushshilat : 53 “Sa nuriihim aayaatinaa fil aafaaqi wa fii anfusihim hattaa yayabayyana lahum annahul haqqu a wa lam yakfi bi rabbika annahuu ‘alaa kulli syai-in syahiid” artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami pada segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa sesungguhnya itu adalah benar. Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu ?
                           
2.    Pengertian kedua, Allah berada dalam qalbu-nya orang alim, yang suci, mukmin, lunak dan tenang. Dalam hadits qutsi dinyatakan: “Allah itu bersemayam dihati yang lunak dan tenang”: Bukan berada di otak. Tentu hal tersebut berlaku bagi orang yang memiliki wasilah Allah atau faktor yang tak terhingga seperti Ulama Pewaris Nabi, Sang Wali-Mursyid, Para Ahli Silsilah (Aulia-Aulia Allah) yang senantiasa dapat berhubungan dengan Allah SWT via atau melalui ruhani Muhammad SAW yang telah pula bergabung dengan “Arwahul Muqaddasah Rasulullah” atau himpunan ruhani dari orang-orang yang telah disucikan yaitu orang yang menempuh di”jalan”-Nya tersebut. Dalam hadits Qudsi R. Ath Thabrani, Al Hakim dan Abu Na’im: Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Wali-Wali-Ku dari hamba-Ku dan kekasih-kekasih-Ku dari makhluk-Ku, yaitu mereka yang disebut namanya, jika orang menyebut nama-Ku, dan Aku disebut bila orang menyebut nama mereka”. Sebut nama Wali-Ku, kekasih-Ku, Aku telah hadir pada sisimu; Jika kita sebut nama Muhammad dalam shalawat, Allah langsung hadir pada sisi kita untuk memberi pertolongan. Jelas disini terlihat pemahaman bahwa: Nama-Ku tidak bercerai dengan nama Muhammad dan nama Wali-Wali-Ku / Kekasih-kekasih-Ku. Walaupun hubungan para Wali atau Kekasih Allah itu antara satu dengan lainnya berabad-abad lamanya dan berjauhan, namun Sang Wali / Mursyid atau Para Ahli Silsilah (Aulia-aulia Allah) dengan Rasulullah SAW sesungguhnya tidak bercerai dan tidak ada lagi jarak dan waktu serta tiada masalah. Rasulullah bersabda : “Barang siapa memuliakan orang alim, maka sesungguhnya dia telah memuliakan aku. Barang siapa memuliakan aku, sesungguhnya dia telah memuliakan Allah dan barang siapa yang memuliakan Allah surgalah tempatnya[3], “Barang siapa melihat wajah orang alim (jasmani dan ruhani) satu kali, dan dia bergembira, senang, menghayati dengan penglihatan itu, maka Allah ta’ala akan menjadikan dengan melihatnya itu, malaikat-malaikat yang memintakan ampun untuknya sampai hari kiamat”.[4] Jika ada ruhani (kita) yang bersentuhan dengan ruhaninya orang yang telah disucikan tersebut, maka akan tersalur pulalah wasilah Allah yang Maha Tinggi dan Agung. Sesungguhnya ruh (ruhani / arwah) dengan ruh dapat bergabung dan bersatu, seperti halnya dengan nur atau cahaya. Tiada sinar (nur) yang lain mampu mencapai kehadirat Allah, terkecuali hanya sinar (nur) Allah itu sendiri, yang diberikan kepada utusannya (unsur Muhammad). Firman Allah SWT dalam QS. An Nur: 35 yang artinya: “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya Siapa yang Dia Kehendaki”. Ruhani dengan ruhani (nuur atau unsur metafisik) bisa bergabung dan tidak ada yang marah. Sedangkan bentuk fisik (jasmani) dengan fisik untuk bergabung tentu tidaklah mungkin.     
                                                
3.   Pengertian ketiga yaitu Allah berada dimana-mana tempat, tidak terbatas dengan ruang dan waktu serta keadaan, dimana memandang disana ada Allah SWT.  Dalam Al-Qur’an Allah itu wahuwa ma’akum, yaitu ‘Dia bersama dengan kalian’, dan ainamaa kuntum, ‘dimana saja kalian berada’. Allah tidak tidur dan tidak mengantuk, kepunyaannya langit dan bumi, mengetahui apa-apa yang ada dihadapan, dibelakang mereka, dan mereka tidak mengetahui ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki seperti yang tertera dalam QS. Al Baqarah ayat 255 (lihat ayat Kursi). Firman Allah juga ada yang menyebutkan: “Dan Aku bersamanya jika dia mengingat-Ku”. Dalam surat QS. Al Hadiid ayat 4,  firman Allah tersebut mempunyai arti sebagai berikut: “Dan dia bersama kamu di mana saja kamu berada dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan“. Dalam QS. Fushshilat : 53 “Sa nuriihim aayaatinaa fil aafaaqi wa fii anfusihim hattaa yayabayyana lahum annahul haqqu a wa lam yakfi bi rabbika annahuu ‘alaa kulli syai-in syahiid”, artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami pada segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa sesungguhnya itu adalah benar. Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu ?”. Lagi disebutkan dalam QS. Al Baqarah : 115 “Wa lillaahil masriqu wal maghribu fa ainamaa tuwalluu fa tsamma wajhullaahi innallaaha waasi’un ‘aliim” yang artinya: “ Dan kepunyaan Allah Timur dan Barat, maka kemana saja kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatnya) lagi Maha Mengetahui”. Kehadiran Allah dimana saja, seperti dalam QS. Al-Mujadalah: 7 yang artinya “Tidaklah engkau sadari, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang dilangit dan apa yang di bumi. Tiadalah ada pembicaraan (rahasia) antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya, dan tidak lima orang melainkan Dia yang keenam (diantara mereka), tidak kurang dan tidak lebih daripada itu, melainkan Dia beserta mereka dimanapun mereka berada...”, dan inilah yang disebut sebagai Tuhan (Allah) yang omnipresent-Tuhan yang Maha Hadir !                                                                

4.   Pengertian keempat, Allah menurut sangka hamba-nya. Sabda Rasulullah dalam hadits yang artinya sebagai berikut: Dari Abu Hurairah r.a, yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT, Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersamanya jika dia berdo’a (minta tolong) kepada-Ku” (HR. At Turmudzi, Husnu adz-Dzaan Billaah, 106). Hadits lainnya yaitu: Dari Abu Hurairah r.a yang berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: ” Allah SWT berfirman, Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Dan Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Dan apabila dia mengingat-Ku ditengah massa (golongan), maka Aku mengingatnya di tengah massa mereka lebih baik dari mereka; Apabila dia mendekati-Ku dengan satu jengkal maka Aku mendekatinya dengan satu hasta. Dan apabila dia mendekati-Ku dengan berjalan maka aku mendatanginya dengan bergegas” (HR. Muslim). Jika ragu-ragu maka hasilnya juga ragu. Persangkaan ini harus ada, sebagai bentuk dari pada keimanan atau pun sebagai keyakinan.    

5.   Dan pengertian kelima yaitu Allah berada atau bersemayam di Arasy (Kerajaan Allah, di langit yang agung dan tertinggi), tersebut dalam Al Hadiit: 4 ”Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadaNya. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Di ‘Arsy ini tidak ada yang mampu sampai kepada-Nya, hanya satu yang sampai yaitu Rasulullah, Nabi Muhammad SAW, nur Muhammad. Dalam peristiwa akbar Isra’ Mi’raj, Rasulullah menerima perintah sholat, setelah sebelumnya ruhani beliau disucikan yang kemudian diantar oleh malaikat Jibril ke Sidratulmuntaha dengan kendaraan yang disebut Al Bouraq atau Al Kilat. Dan malaikat pun akhirnya tak sanggup bertemu Allah langsung karena bisa terbakar. Apalagi kita sebagai manusia lumrah yang kotor penuh gelimang dosa dan noda, bila ada orang mengatakan bisa bertemu Allah sebenarnya berbohong atau tertipu. Satu-satunyajalan” agar sampai kehadiratnya yang umumnya disebut sebagai “beserta Allah” yaitu beserta unsur (nur atau ruhani) Muhammad adalah dengan cara yaitu menggabungkan diri ruhani kita dengan ruhani Waliyam-Mursyida (Guru-Mursyid) yang juga telah bergabung dengan ruhani Rasulullah (arwahul muqaddasah Rasulullah) sebagai wasilah karier (sebagai ikutan yang baik / sebagai imam ruhani) dan sebagai ‘metode’.                                             
          Bagi orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, memang ada suatu jalan yang harus ditempuh untuk sampai kepada-Nya. Agar tidak tersesat dan salah alamat yang mungkin tidak disadari, maka diperlukan adanya suatu “bimbingan” dan  “tuntunan” atau “guide” dari seorang guru yang Mursyid yang tentunya paham ruhani untuk dapat memberi petunjuk bahwa Islam itu adalah agama wahyu & agama ruhani ! Dalam QS. Ali Imran ayat 200: ”Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu (gigih terus menerus) dan kuatkanlah (tingkatkanlah) akan kesabaranmu (pantang-mundur) dan perkuatlah berpegang pada rabithah (channel, saluran, frekwensi : bukan perantara) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung (menang)”. Mursyid itulah yang dimaksud, seperti dalam hadits Rasul: ”Adakanlah (jadikanlah) dirimu (ruhanimu) beserta Allah, jika engkau belum bisa menjadikan dirimu (ruhanimu) beserta Allah, maka adakanlah (jadikanlah) dirimu (ruhanimu) beserta dengan orang yang beserta Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang menghubungkan engkau langsung pada Allah (yaitu ruhaninya)(HR. Abu Daud). Jadi jelas di dalam Mursyid itu ada tali Allah yang menghubungkan ruhani orang yang percaya pada Allah, Ia-nya bukanlah sebagai guru biasa tetapi ‘guru yang mursyid’. Sabagai konsumsi ruhaniah, bukan santapan jasmani atau kuping atau otak ! Untuk menuju kehadirat Allah SWT dan yang dapat mengantarkan ketujuannya tersebut bukan dengan pendekatan sosial, budaya atau otak. Insafilah bahwa segala akal-pikiran (otak) adalah baharu, tak mungkin sampai pada yang Qodim, walaupun dengan segala alat panca indra yang ada pun tidak akan mampu.                    

          Untuk membedakan (furqaan) antara yang haqq dan yang bathil, atau membedakan ilmu mana yang datangnya dari Allah atau datangnya dari selain Allah memang tidaklah mudah. Boleh dikata gampang-sulit, seperti halnya membedakan bayi hasil nikah dengan bayi hasil zinah, karena ada unsur rahasia, dan untuk membuktikan kebenaran harus dilakukan penelitian mendalam. Bacaan kitab suci yang diucapkan (diproduksi) oleh manusia lumrah, para dukun, para pencuri akan berbeda hasilnya dengan yang diucapkan oleh orang yang telah disucikan, para alim-ulama atau Guru-Mursyid. Seringkali manusia (kita) terperdaya oleh tipu-daya setan, karena setan dapat berbuat apa saja dan mengabulkan yang kita minta, kecuali kepada Allah. Setan bisa berujud manusia atau makhluk hidup atau benda mati lainnya, bisa berupa harta benda, kekayaan, uang, bisa bentuk api, air, angin, marah, nafsu-kesenangan dan wanita, kedudukan serta jabatan atau pangkat duniawi, bahkan masuk aliran darah, serta kehebatan-kehebatan yang memutar balikkan mata dan otak (pikiran).

          Antara yang haqq dan yang bathil itu begitu tipis, terkadang terlalu sulit untuk dapat membedakannya. Bahkan untuk menentukan satu pilihan dari dua alternatif pilihan juga sulit,  seperti halnya pilihan mau mengambil jalan kiri (bathil) atau mau mengambil jalan kanan (haq), apalagi bila sama sekali tidak mengetahui apa perbedaan diantara keduanya. Walaupun sudah menentukan sebuah pilihan, tatap saja sama-sama memerlukan kesungguhan dan perjuangan serta pengorbanan untuk mencapai kesuksesan. Dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan bermasyarakat, bila ada orang-orang yang sedang marah atau sedang kalap atau gelap mata seringkali dianggap orang sedang kesetanan. Dan bagi mereka-mereka orang yang sabar dianggap sebagai kekasih Allah adalah sesuatu yang benar dan wajar saja. Sesuatu bentuk alternatif yang memang tidaklah mudah dalam memilih, terutama sebagai jalan yang benar, yaitu akan dan harus ditempuh, apalagi sebagai manusia lumrah yang masih memiliki nafsu-nafsu, keinginan-keinginan dan sebagainya sehingga mudah tertipu.                                                                 

          Ada beberapa tafsir tentang kalimat Al Furqaan. Penafsiran umum adalah orang yang bertaqwa dan mendapat petunjuk untuk bisa membedakan antara yang benar (haq) dan yang bathil (batal). Juga dapat ditafsirkan sebagai sesuatu pertolongan atau jalan keluar atau memperoleh nur atau cahaya – Nya. Untuk itulah diperlukan suatu ilmu yang haqq (benar) yang datangnya dari Rasulullah (sisi Allah), yang pada akhirnya akan dapat membedakan antara yang benar dan yang bathil. Agar bisa menjadikan haqqulyakin (sebagai Al Furqaan atau pembeda) tiada lain memang harus “berguru” dan mencari ilmu-nya seperti petunjuk dalam firman Allah SWT dalam Q.S. Al Anfal,  8 : 29 “Yaa ayyuhal ladziina aamanuu in tattaqullaaha yaj’al lakum furqaanaw wa yukaffir ‘ankum sayyi-aatikum wa yaghfir lakum wallaahu dzul fadhlil ‘azhiim”, artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya akan  memberikan kepadamu Furqaan dan Dia akan menghapus kesalahan-kesalahan kamu dan mengampunimu, dan Allah mempunyai karunia yang besar”. Dalam hadits hasan sahih lebih lanjut sabda Rasulullah: “Inginkah kamu sekalian tahu, siapa yang paling mulia diantara penghuni syurga?“. Jawab para sahabat, “Baik, kami ingin tahu wahai Rasulullah”. Beliau bersabda:Adalah ummatKu yang berilmu”. Dan bagi mereka-mereka yang mencari ilmu ketuhanan disebutkan dalam hadits Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya pada pencari ilmu sebagai bentuk (ungkapan) ridha terhadap apa yang dia perbuat” (HR. At Turmudzi, An-Nasai, Ibnu Majjah, Al-Baihaqi). Dan untuk maksud tersebut harus ada ”guru-nya” atau “Mursyid-nya” sebagai pembimbing ruhani, yang jelas pula akan asal-usulnya atau sanat-nya (silsilah) sampai kepada Nabi Muhammad SAW , bukannya diperoleh (berasal) dari bertapa atau menyepi di gunung Kawi, gunung Merapi, di laut Kidul, di gubug terpencil (misal: kasus Musadeq, Lia Aminudin-Lia Eden) dll. Juga berasal dari jimat keris, batu akik, batu ponari atau berupa ilmu tiban yang datang sendiri dan tidak jelas akan asal-usulnya, bahkan pula dari mimpi orang lumrah dan lain sebagainya.                                                                            
           Tanwiir al Quluub, hal 513 menyebutkan: “Sebaiknya para murid thariqah mengetahui nisbat guru mereka dan silsilah guru-guru di atasnya, mulai dari mursyid mereka sampai dengan Nabi Muhammad SAW; kerena apabila mereka menginginkan pertolongan (syafaat) melalui gurunya tersebut sedangkan nisbat mereka benar maka tercapailah pertolongan tersebut. Guru yang silsilahnya tidak bersambung hingga kehadirat Nabi SAW terputuslah ia dari faydh (berkah / pancaran ruhani) dan tidak bisa menjadi pewaris Rasulullah SAW “.[5]                                                         

          Dalam beribadah dan beramal tentu akan percuma saja tanpa disertai “ilmu tarekat” sebab merupakan “ilmu” yang melengkapi. Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda: “Ilmu itu imam amal dan amal itu makmumnya”. Juga Rasullullah bersabda: “Iman itu telanjang, pakaiannya adalah taqwa, perhiasannya adalah malu dan buahnya adalah ilmu” (H.R. Al Hakim). Sabda Rasulullah SAW dalam hadits: “Man aroodaddunyaa fabililmi waman aroodalakhirota fabililmi” yang artinya: “Barangsiapa menghendaki dunia dengan ilmu, dan barangsiapa menghendaki akherat juga dengan ilmu”. Sehingga lebih lanjut Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Menuntut ilmu diwajibkan bagi orang Islam laki-laki dan orang Islam perempuan”.[6] Disamping itu ilmu ruhani adalah merupakan ‘poros’nya - dimana segala sesuatu berputar disekitarnya. Perlu diketahui bahwa ilmu dan ibadah (ber-amal) itu adalah dua permata, dan untuk ilmu dan ibadah (amal) itulah maka terjadi semua yang terlihat dan yang terdengar untuk kemudian bisa merasakan. Ilmu dan ibadah (amal) diibaratkan ”dua sisi mata uang”, seandainya tidak ada salah satunya tentu tidak berlaku atau tidak bernilai. Keduanya tidak dapat dipisahkan, karena orang yang berilmu kalau tidak beribadah dan beramal seperti halnya pohon yang tidak berbuah, sebagai pekerjaan yang sia-sia di sisi Allah. Apalagi bila hanya sebagai pengamat saja, paling banter hanya dapat sanjungan manusia.                                                          

          Istilah ilmu dalam hal keyakinan ada beberapa pengertian yang terdapat di dalam Al-Qur’an, yaitu dalam  QS. At-Takatsur: 5  yang artinya: ”Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin”, lalu dalam QS At- Takatsur: 7 yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin, dan dalam QS. Al-Waqiah: 95 yang artinya: “Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar (Haqq)”. Adapun ilmu-ilmu keyakinan yang dimaksud itu berlapis-lapis atau bertingkat-tingkat (ada tiga keyakinan) yakni:  ilmul yakin’, ‘ainul yakin’ dan ‘haqqul yakin’ sebagai berikut:      

1.   Pada tingkatan pertama, bertumpu pada akal manusia yang dikendalikan oleh bukti obyektif (argumen atau dalil) kebendaan (burhan) disebut Muhadlarah, sebagai ‘ilmu yakin’ dan dalam lingkup pemikiran rasional saja. Bisa diperoleh dengan belajar sendiri, dan kini telah banyak buku-buku sebagai petunjuk atau pembimbing (ribuan), namun kebenarannya masih diragukan.
                                                                  

2.   Pada tingkatan kedua, adalah mampu menerima pengetahuan berdasarkan eksplanasi yakni pencarian. Dengan penjelasan atau katanya si Anu (bayan) disebut Mukasyafah, tergolong sebagai ‘Ainul Yakin’ dan merupakan pandangan kebenaran obyektif yang masih bersifat mungkin, sehingga lebih maju lagi selangkah dari ‘ilmu yakin’ yang pertama dan menuju ainul yakin. Ini juga masih “katanya” dan belumlah sepenuhnya benar.                                       

3.   Tingkatan ketiga, adalah pengalaman pribadi (makrifat) yang langsung bisa menyaksikan dan merasakan sesuatu hal (sifat terang atau jelas) dan akhirnya bisa bersaksi. Pengalaman tersebut terbit dari bathin / ruhani / hati dengan “jalan” pendekatan diri kepada Allah SWT sehingga terbuka hijab (penghalang hati) dan memperoleh pengetahuan ‘Haqqul Yakin’, yang disebut Musyahadah atau Al-Mu’ayanah. Makrifatullah ini bisa dipandang sebagai ‘kaji rasa’ sebagai maqam yang lebih tinggi (dari tingkat pertama dan kedua) yang bisa merasakan atau menggambarkan hubungan akan kecintaan kepada Allah SWT dengan pengetahuan hati sanubari sehingga mengenal akan dirinya sebagai hamba. Pada tingkatan ini telah memperoleh suatu kenyataan Tuhan dan menjadi kebenaran sejati baginya, seperti sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia mengenal Tuhannya”. Orang-orang yang telah mencapai tingkatan haqqul yakin tentu sudah bisa merasakan akan manisnya Al Islam Mulia Raya, sehingga Ia-nya tidak lagi mudah terpengaruh oleh hiruk-pikuknya Dunia. Tidak mudah terpengaruh oleh hasut dan tidak terprovokasi oleh hal-hal yang negatif sifatnya. Sebab segala sesuatunya sebelum bertindak dan berbuat memohon dan berdo’a agar terhindar dari hal-hal yang kurang baik di mata Allah SWT, karena setiap saat Ia selalu memohon bimbinganNya. Ia-nya tidak bisa bersembunyi dari Allah SWT, yang seakan-akan selalu mengawasinya, sehingga berbuat sesuatu dengan kehati-hatian, menjaga akan tingkah-laku dan perangainya. Ada sesuatu yang ditakuti yakni akan azab (murka) Allah SWT.                                                    

          Jika seseorang telah sampai pada tingkatan ilmu di alam ketuhanan (maqam robbani), ia bagaikan sebuah ”robot tuhan”, semua tingkah lakunya terkendali dan bahkan dikendalikan oleh Allah. Maka  pengendalinya adalah firman-firman Allah: “Jangan kamu mengikuti hawa nafsu, sebab itu menyimpangkan kamu dari jalan Allah”. Dan juga :”Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan perasaan ridha dan diridhai dan masuklah kedalam hamba-hambaKu dan masuklah kedalam surgaKu”. Inilah yang disebut puncak kebahagian yang sesungguhnya, tiada lagi ego, dan telah meniadakan “diri nafsani” (hanya ada nafsu mutmainnah), maka berlakulah firman Allah QS. Al-Anfaal: 17 yang artinya ”Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”. Pengertiannya dari firman di atas adalah dapat berlaku bagi orang yang sudah mampu beserta Allah dan memang benar adanya sebagai rahasia Tuhan. Bukanlah disebut rahasia, kalau setiap orang bisa melaksanakan atau sampai ke hadiratNya. Kalau itu rahasia, tentu jalannya juga rahasia. Yang rahasia tidak akan diperoleh, kalau tidak ditunjuki oleh yang punya rahasia. Dan tidak akan diperoleh suatu ilmu yang bersifat matafisika, selama akal dan fikiran dipergunakan, karena ilmu metafisik (gaib) berjalan setelah otak berhenti aktif. 


[1] http://www.muslim, pemikir, Menghilangkan Aku, Nidhol, 13-07-2007
[2]   Budi Munawar, Rachman,Argumen Pengalaman Iman Neo-Sufisme Nurcholish Madjid, dalam Tsaqafah, Vol.1, no.1, 2002, hal  54
[3]   Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar as Sayuti dalam kitab “ Lubabul Hadist”, hal. 8
[4]   Ibid
[5] KH.A.Aziz Masyhuri, Permasalahan Thariqah, Hasil-hasil Muktamar NU, 2006, hal: 186
[6] Permasalahan Thariqah, NU, 2006, Hal.2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar