Laman

Rabu, 07 Maret 2012

PEMAHAMAN ALIRAN ISLAM

PEMAHAMAN  ALIRAN  ISLAM
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni.blogspot.goesmul.com.islam
goesmul@gmail.com 
Islam sebagai agama, dalam hadits Nabi :”al-diin-u nashiihah” artinya “agama itu adalah nasihat”. Juga merupakan referensi pesan-pesan terutama Al Qur’an dan hadits Nabi serta pengembangan tradisi pemikiran ke-Islam-an. Lebih lanjut ilmunya diperluas dan diperdalam, kemudian berkembang pula cabang-cabang ilmu diantaranya adalah: ‘ulumu‘l-Qur’an (ilmu yang bersangkutan Al Qur’an dan penafsiran) dan ‘ulumu‘l-Hadits (ilmu yang bersangkutan dengan hadits). Juga ushulu‘l-Fiqh dan qawaidu‘l-Fiqh (ilmu penetapan hukum Islam). Dalam perkembangan ilmu pengetahuan ke-agama-an Islam ini, juga telah melahirkan beberapa mazhab (lihat pembahasan mazhab tersendiri) dan aliran pemahaman diantaranya berada dalam ilmu kalam (tauhid), tasawuf (ungkapan, metode tarekat) dan fikih (hukum) ada yang murni, ada bersifat keras, moderat, pluralis bahkan hiperpluralis. Sebagai ummat muslim perlu juga mengenal lebih luas perbedaan pandang tentang Islam dan perjuangannya, sehingga dapat menuntun semua pihak menuju kearah yang lebih baik terutama bagi kaum muda agar tidak terjebak ajaran kekerasan.



Adapun beberapa pemahaman aliran Islam tersebut adalah sebagai berikut:



a.Dalam bidang ilmu kalam atau tauhid (ushulu‘l-din)[1]:



1). Murji’ah, suatu golongan yang bertentangan dengan golongan Khawarij, pengertiannya adalah pengakuan iman cukup dalam hati dan penangguhan vonis hukuman seseorang yang berdosa besar sampai pengadilan Allah SWT kelak dan tidak mengkafirkan orang muslim (yang meyakini dua kalimah syahadat).



2.  Jabariyah, mengajarkan paham bahwa manusia tidak memiliki kekuatan untuk berbuat sesuatu dan tidak memiliki kemauan, semuanya atas kehendak Allah SWT, namun tetap menerima konsekuensi menerima pahala dan siksa sesuai perbuatannya. Aliran teologi jabariyah menyatakan bahwa keselamatan hanya terdapat dalam lingkup karunia dan Inayah Ilahi. Ada pun upaya manusia (kasb) untuk mencapai keselamatan itu dianggap sia-sia dan tidak akan berhasil. Karena itu, konsekuensi dari keselamatan tersebut adalah harus mengetahui manifestasi sumber keselamatan. 



3. Qadariyah, mengajarkan paham bahwa manusia memiliki kudrat irodat untuk berusaha dan berbuat sesuai kemampuannya (ia kuasa penuh berbuat baik atau buruk), menolak adanya qodar dan takdir Allah,  bagi yang berdosa besar tidak dikafirkan dan tidak pula digolongkan mukmin tetapi cukup muslim saja.



4. Mu’tazilah, memiliki 5 ajaran pokok: 1) tidak mengakui sifat Allah melainkan dzat Allah itu sendiri, Al Qur’an adalah makhluk, Tuhan di alam akherat tidak dapat dilihat mata dan yang terjangkau mata bukan Tuhan; 2) keadilan Allah akan diberikan sebagai imbalan sesuai apa yang diperbuat; 3) bahwa Allah akan menepati janjinya memberi pahala kepada muslim yang berbuat baik dan mengancam melimpahkan siksa kepada muslim yang berbuat dosa; 4) bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa besar statusnya diantara mukmin dan kafir yakni fasik; dan 5) amar-makruf (tuntutan berbuat baik) dan nahi mungkar (mencegah perbuatan tercela) berkaitan dengan hukum Islam (fiqih). Teologinya yang bersifat rasional dan liberal, yang tentu saja berbeda dengan teologi Asy’ariyah atau pun Ahl al-Sunnah. Mu’tazilah menegaskan, perbuatan itu ditentukan manusia sendiri, yang tentu saja mendorong untuk berpikir rasional. Masyarakat muslim yang rasional menentukan pilihan hidupnya; apakah akan maju atau mundur, kaya atau miskin, sukses atau gagal. Teologi rasional juga dapat melahirkan perilaku rasional dan mampu mendorong seseorang untuk berani mengambil risiko pilihan yang ditetapkan sendiri, yang mengedepankan pentingnya kebebasan bagi setiap individu manusia di dalam kehidupannya.



5. Ahlu‘l-Sunnah wa‘l-Jama’ah atau Ahl al-Sunna wal-Jamā'a (Sunni), adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW (ahlussunnah) dan Sahabat Nabi (jemaah). Bahwa Tuhan (Allah) mempunyai sifat sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an, qodim, bukan makhluk atas dasar  QS. Yasin 82: ”Sesungguhnya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia”. Di akherat Tuhan dapat dilihat oleh mata didasarkan QS. Al Qiyamah 22-23: ”Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu bercahaya, kepada Tuhannya mereka melihat”. Orang muslim yang berbuat dosa besar bila meninggal sebelum bertaubat, tetap mukmin, tidak kafir dan berada antara mukmin dan kafir. Sedang di akherat terserah kepada Allah SWT, bisa dihukum neraka menurut kadar dosanya atau sebaliknya mendapatkan ampunan Allah SWT, atau mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW (dan juga melalui penerusnya, ulama pewaris Nabi) sehingga masuk surga. Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa perbuatan manusia ditentukan Tuhan yang cenderung bersifat fatalistik. Golongan Ahli Sunah Waljamaah merupakan golongan terbesar di dalam Islam. Golongan ini juga dikenali sebagai Sunnis atau Sunnites dan Islam tradisional oleh masyarakat Barat. Golongan Ahli Sunah Waljamaah terdiri daripada 70%-85% orang Islam di seluruh dunia. Istilah Ahli Sunah Waljamaah bererti 'orang yang mengikuti sunnah Nabi dan jemaah orang Islam'. Kadang kala istilah ini diringkas menjadi Ahli Sunnah. Golongan ini adalah mengakui adanya  kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali yang dipilih melalui syura dan dibaiat sebagai khalifah, Amir al-Mukminin pemimpin orang yang beriman.

6. Khawarij, berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Khawārij (bahasa Arab: baca Khowaarij, secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Bermula segolongan orang yang menentang, tidak mengakui dan memisahkan diri dari kekhalifahan Ali bin Abu Thalib. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentukyang berbeda dari Sunni dan Syi'ah. Disebut atau dinamakan Khowarij disebabkan karena keluarnya mereka dari dienul Islam dan pemimpin kaum muslimin (Fat, juz 12 hal. 283). Awal keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman Amirul Mu'minin Al Kholifatur Rosyid Ali bin Abi Thalib ketika terjadi (musyawarah) dua utusan. Mereka berkumpul disuatu tempat yang disebut Khouro (satu tempat di daerah Kufah). Oleh sebab itulah mereka juga disebut Al Khoruriyyah. (Mu'jam Al-Buldan li Yaqut Al-Hamawi juz 2 hal. 245). Asal muasal khawarij: Setelah Utsman bin Affan dibunuh oleh orang-orang khawarij, kaum muslimin mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, setelah beberapa hari kaum muslimin hidup tanpa seorang khalifah. Kabar kematian 'Ustman kemudian terdengar oleh Mu'awiyyah bin Abu Sufyan, yang mana beliau masih memiliki hubungan kekerabatan dengan 'Ustman bin Affan. Sesuai dengan syari'at Islam, Mu'awiyyah berhak menuntut balas atas kematian Ustman. Mendengar berita ini, orang-orang Khawarij pun ketakutan, kemudian menyusup ke pasukan Ali bin Abi Thalib. Mu'awiyyah berpendapat bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan Ustman harus dibunuh, sedangkan Ali berpendapat yang dibunuh hanya yang membunuh Ustman saja karena tidak semua yang terlibat pembunuhan diketahui identitasnya. Akhirnya terjadilah perang siffin karena perbedaan dua pendapat tadi. Kemudian masing-masing pihak mengirim utusan untuk berunding, dan terjadilah perdamaian antara kedua belah pihak. Melihat hal ini, orang-orang khawarijpun menunjukkan jati dirinya dengan keluar dari pasukan Ali bin abi Thalib. Mereka (Khawarij) merencanakan untuk membunuh Mu'awiyyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib, tapi yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib. Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah: 1) Kaum muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir. 2) Kaum muslimin yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah dan Zubair melawan 'Ali ibn Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumi kafir. 3) Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW  dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadiseorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi khalifah asalkan mampu memimpin dengan benar. Tokoh-tokoh utama Khawarij antara lain: Abdullah bin Wahhab ar-Rasyidi, Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa'ad, Hausarah al-Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi' bin al-Azraq, Abdullah bin Basyir dan Najdah bin Amir al-Hanafi. Akibat perbedaan pendapat di antara tokoh-tokohnya, Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte, antara lain: 1) Sekte Muhakkimah, yang merupakan sekte pertama, yakni golongan yang memisahkan diri dari 'Ali bin Abi Thalib. 2) Sekte Azariqoh yang lebih radikal, sebab orang yang tidak sepaham dengan mereka dibunuh. 3) Sekte Najdat yang merupakan pecahan dari sekte Azariqoh. 4) Sekte al-Ajaridah yang dipimpin 'Abd Karim bin Ajrad, yang dalam perkembangannya terpecah menjadi beberapa kelompok kecil seperti, Syu'aibiyyah,  Maimuniyyah, Hamziyyah, Hazimiyyah dll. Perpecahan itulah yang menghancurkan aliran Khawarij. Satu-satunya yang masih ada, Ibadi (Oman, Zanzibar dan Maghreb) menganggap dirinya berbeda dari yang lain dan menolak disebut Khawarij. Ajaran pokoknya adalah bila orang melakukan dosa besar adalah kafir, mereka yang terlibat perang Jamal (Aisyah, Tholhah dan Zubair) dan Arbirtasse dihukum kafir, pandangan menentukan kholifah (pemimpin) secara “demokratis”, harus dipilih rakyat serta tidak harus keturunan Nabi dan bangsa Quraisy, siapapun bisa asalkan mampu dan benar. Ada 6 sekte: a) muhakkimah, yang memisahkan diri dari Ali bin Abu Tholib, b) azariqoh, terkenal radikal yang mengkafirkan ummat Islam yang tidak segolongan, menggunakan logika takfir dengan mengkafirkan orang di luar dari kelompoknya, c) najadat merupakan pecahan azariqoh, d) as-sufriyah menyerupai azariqoh, e) al-ibaadiyah agak lebih lunak dan pengikutnya boleh menikah dengan golongan lain, dan f) al-ajaridah dalam perkembangannya ada beberapa kelompok seperti syu’aibiyah, hamziyah, hazimiyah, dan maimuniyah. Pada umumnya kelompok khawarij mengklaim sebagai satu-satunya juru bicara Islam yang paling otoriter dibanding kelompok lain. Mereka mengutuk kelompok yang dianggap telah melenceng dan meleset dari fondasi agama yang benar. Mereka seakan punya hak istimewa dan merasa lebih tinggi  didasarkan pada kebenaran agamanya sebagai tuntunan etika dan berlaku dalam kelompoknya  yang ditingkatkan menjadi suatu moralitas bersama. 
Mereka juga menuntut dogmanya dipaksakan dengan cara apa pun, temasuk dengan pembunuhan. Mereka berkeyakinan dan memastikan bahwa kebenaran agama yang tunggal diturunkan dengan cara yang tidak bisa dipertanyakan. Kaum khawarij meyakini bahwa kebahagiaan dan kesempurnaan atau tujuan akhir agama adalah monopoli satu golongan tertentu atau bisa dicapai dengan meniti worldview (minhaj) dan the way of life (manhaj) kelompok tertentu. Kelompok lain juga membawa hakikat dan kebenaran, tapi hanya ada satu pemahaman menurut mereka  yang membentangkan jalan kebahagiaan. Penganut ajaran Islam kelompok lain, dalam pandangan khawarij, yang walaupun keagamaannya baik dan akhlaknya benar dalam sisi kemanusiaan, mereka tetap tidak bisa selamat. Karena itu, untuk meraih keselamatan, mereka harus meraih jalan sebagaimana yang ditempuh kelompok khawarij. Argumentasi khawarij itu didukung teologi fatalistik (aqidah jabariyah) yang menyatakan bahwa wajib mengimani Allah, tapi tidak berdasar akal. Kewajiban tersebut penting karena Allah telah memerintah manusia untuk mengenali-Nya melalui nash. Corak pembuktian teologis itu menciptakan daur ulang yang tak berujung (circular reason). Imanilah Tuhan karena Tuhan telah memerintahkannya dalam  nash. Manifestasi tersebut hanya didapat dan hanya bisa diketahui dari pemahaman  nash  yang tekstual. Dan tekstualisme merupakan episteme dengan metodologi pemikiran tekstual-eksplanatif (bayani) yang menjadikan teks suci sebagai otoritas penuh untuk memberikan arah dan arti kebenaran (Abed Al- Jabiry, 1991). Para tekstualis itu memahami nash Al Qur’an dan as-sunnah dengan berpegang pada redaksi teks yang partikular dan terkurung pada lokalitas.
Sementara itu, akal, bagi mereka, hanya digunakan sebagai pengaman ototitas teks tersebut. Karena itu, ketika berhadapan dengan teks lain atau pemahaman terhadap teks yang berbeda, mereka mengambil sikap mental yang dogmatik, defensif, dan apologetik. Begitu juga ketika berhadapan dengan the other yang berwujud peradaban yang modern, kosmopolit, sekuler, rasional, dan realitif, maka tindak kekerasan menjadi solusi terbaik bagi mereka untuk menyelesaikan problem sosial. 

7. Wahabiyah, ajaran yang dibawa Ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792). Menurut sejarahwan Madawi al-Rasheed (2002: 20), al-Wahhab membawa sesuatu yang baru, yakni pentingnya tawhid, ke dalam tradisi keislaman Najad yang sebelumnya didominasi fiqh. Pendiri gerakan puritanisme keagamaan di Semenanjung Arabia yang berkerjasama dengan M. Ibn Sa’ud. Tentang pertemuan keduanya di Oasis Dir`iyyah.  Menurut Abu Hakimah, salah satu penulis sejarah ibn al-Wahhab menjelaskan Muhammad ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn al-Wahhab dan berkata, “Oasis ini milikmu, dan jangan takut kepada musuh-musuhmu.  Dengan nama Allah, bahkan jika semua [orang] Najd dipanggil untuk menyingkirkan kamu, kami tidak akan pernah setuju untuk mengusirmu.”  Muhammad ibn `Abd al-Wahhab menjawab, “Anda adalah pemimpin mereka yang menetap di sini dan Anda adalah seorang yang bijak.  Saya ingin Anda menyatakan sumpah Anda kepada saya bahwa Anda akan melaksanakan jihad (perang suci) terhadap orang-orang kafir. Sebagai imbalannya, Anda akan menjadi imam, pemimpin masyarakat Muslim, dan saya akan menjadi pemimpin dalam masalah-masalah keagamaan” (dikutip dalam al-Rasheed, 2002: 17). Dengan terbentuknya koalisi antara Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab, Wahhabiyah menjadi ideologi keagamaan bagi suatu unifikasi antarsuku di Arabia Tengah dan apa yang dapat disebut sebagai gerakan Wahhabiyah dimulai.  Sebagai imam kembar gerakan Wahhabiyah, Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab menjadi pemimpin spiritual dan temporal wilayah itu. Suatu golongan bernama gerakan wahabi dari Saudi Arabia yang didukung oleh penganut mazhab Hambali ini berhasil berkuasa dan mendirikan kerajaan Wahabi di Jazirah Arabia.  Istilah muthawwa` mengandung makna ketundukan dan pemaksaan. Seorang muthawwa`  adalah seorang yang secara sukarela mengawasi ketaatan kepada Islam dan pelaksanaan ibadah-ibadah ritual. Dalam proses pembentukan negara Wahhabi, peran essensial muthawa` adalah di dalam pengawasan terhadap dilaksanakannya ritual-ritual Islam, menjadikan rezim Wahhabi sebagai rezim “discipline and punish.”  Mengenai pribadi `Abd al-Wahhab, dari sumber Arab, bahwa adiknya sendiri, Sulayman ibn `Abd al-Wahhab, menulis risalah (al-Sawa’iq al-Ilahiyyah) yang intinya mengecam kepribadian, pendidikan dan ajaran-ajaran abangnya.  Misalnya tentang taqlid, yang sifatnya tebang pilih: ia juga taqlid kepada Ibn Taymiyah, hanya pada bagian-bagiannya yang bersifat keras.   Juga dalam hal  almuwahhidun (the-monotheist). Golongan ini memberantas segala sesuatu yang dianggap dilarang agama, kemaksiatan, yang mengarah pada syirik, bentuk kemusrikan, dan kekafiran dengan sangat keras, seperti polisi syariat bahkan melebihi dari petugas negara yang resmi, terutama tentang ketauhidan yang menurut mereka banyak daerah-daerah ummat Islam di dunia melakukan penyimpangan ajaran tauhid. Ajaran tauhid golongan ini ialah: a) tauhid rububiah dengan berikrar bahwa Allah SWT satu-satunya pencipta, pemelihara, pemberi rezeki, pengatur, menghidupkan dan mematikan, b) tauhid al-asma wa al-shifat, suatu kepercayaan pada nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT sesuai dalam Al Qur’an, dan c) tauhid ibadah, segala amal ibadah diniatkan untuk berbakti kepada Allah SWT yang dilaksanakan secara fisik sebagai gerakan nyata dan pikiran yang rasional, tetapi prakteknya tidak secara menyeluruh dan berfikir sektorial dan parsial atau terpenggal-penggal. Beberapa Ajaran Pokok Wahhabisme: 1) Kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang asli, seperti yang ada dalam al-Qur’an dan hadits; 2)  Kebutuhan untuk menyatukan iman dan perbuatan; 3)  Pelarangan atas semua pandangan dan praktik yang tidak ortodoks.  Hal ini menyebabkan Wahhabi untuk sepanjang hidupnya memerangi praktik-praktik seperti penyembahan kepada para wali dan ziarah ke makam-makam dan tempat-tempat keramat untuk memperoleh berkah; 4)  Pembentukan sebuah negara Islam yang secara khusus akan didasarkan kepada penerapan hukum-hukum agama.  Sejauh ini Wahhabi berhasil memperluas pengaruh dan wewenangnya di Arabia ekspansi ke wilayah lain di dunia untuk sesuatu yang mendekati sebuah negara Islam bisa  terbentuk. Dalam perkembangannya kelompok ini sebagai penggerak purifikasi militant (pemurnian) yang disebut kelompok Islam garis keras atau radikal yang hendak menanamkan sebuah tradisi lokal dari budaya Arab dan menyeragamkan cara berfikir sebagai doktrin yang khas dengan membatasi aspek-aspek yang bersifat universal dengan cara pemaksaan dan bila perlu dengan kekerasan, lalu menghalalkan segala cara untuk tujuan tersebut. Doktrin al-wara’ wa al-bara’ (loyalitas dan disosiasi): yaitu jangan berteman, bersekutu dan meniru musuh non-Islam dan Muslim heretik, musyrik, sampai dengan hal yang kecil yaitu tidak boleh menjawab salam; menyebut panggilan “saudara” dan lainnya.  Pengaruh belakangan ini pandangan Sayyid Quthb bahwa sekarang adalah jahiliyah qarn al-`isyrin.

8. Salafiyah, kata salafiyah (bhs. Arab) artinya terdahulu. Maksudnya adalah sikapnya seperti dari orang-orang terdahulu yang hidup semasa Nabi Muhammad SAW, para Sahabat, Tabiin, Tabiit Tabiin yang menjadi acuannya. Ibnu Taimiyah penyeru untuk berakidah salaf dan mendapatkan dukungan dari penganut mazhab Hambali. Kegiatan dari kelompok ini dalam perkembangannya cukup eksklusif (menyendiri), tidak mau hidup berdampingan atau jarang membaur dengan kelompok Islam lainnya, lebih banyak berkumpul hanya bersama kelompoknya saja.



9. Syi’ah, yang dimaksud syi’ah adalah mereka yang memuja Ali bin Abu Tholib dan keturunannya. Mereka menganggap bahwa Ali yang berhak sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan ketiga khalifah sebelumnya dianggap “tidak sah” serta menamakan sebagai pecinta ahlul bait (keluarga Nabi). Ajaran pokok syi’ah: a) mengutuk, tidak membenarkan atau menolak kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq ra, Umar bin Khoththob ra, dan Utsman bin Affan ra., serta  mengakui Ali bin Abi Tholib ra. saja sebagai khalifah; b) kekhalifahan (keimamam) dilakukan secara turun-temurun sampai 12 imam; c) Imam adalah maksum, tidak pernah berbuat dosa sebagaimana Nabi dan percaya juga menerima wahyu dan suara Jibril as.; d) tidak menerima hadits yang diriwayatkan selain dari imam mereka. Karenanya tidak mengakui hadits-hadits Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Nasai. Juga tidak menerima tafsir Al Qur’an selain yang ditafsirkan oleh imam mereka. Tidak menggunakan ushul fikih dan tidak menerima qias serta ijmak. Imam-imam Syi’ah [2] diantaranya: 1) ‘Ali bin Abi/Abu Talib – meninggal tahun 661 ; 2) Hasan bin ‘Ali - dibunuh tahun 669 ; 3) Husayn/Husain bin ‘Ali – dipenggal tahun 680; 4) Ali Zaynu al-’Abidin –meninggal tahun 713; 5) Mohammed al-Baqir –meninggal tahun 732 (Zaid); 6) Ja’far al-Sadiq – tahun 765  (Yahya); 7) Musa al-Kazim –tahun 183 H / 799 (Isma’il); 8) ‘Ali ar-Rida –meninggal secara misterius tahun 818 (Muhammad, Abdallah); 9) Muhammad at-Taqu – meninggal tahun 835; 10) ‘Ali al-Hadi –meninggal tahun 868; 11) Hasan al-’Askari – tahun 873; Dan  12) Mohammed ibn al-Hanifiyah menghilang tahun 875. Golongan syi’ah ada 22 sekte, yang menonjol adalah (1) Rafidhoh, paling ekstreem karena mengkafirkan golongan lain, Jibril telah melakukan kesalahan menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad bukan kepada Ali bin Abi Tholib, ruh orang meninggal akan kembali ke dunia sebagai reinkarnasi, (2) Imamiah (istna ‘asyiriah) percaya bahwa yang berhak memimpin ummat Islam adalah 12 imam mereka, (3) Ismailiah mempercayai imam itu hanya tujuh orang dari urutannya sampai ke tujuh dari Ali, (4) Zaidiah adalah golongan yang moderat dan tidak sepenuhnya sependapat bahwa Ali dan keturunannya yang berhak menjadi khalifah dan tidak memvonis ketiga khalifah sebelumnya tidak sah.



10. Juga ada golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah.



b.    Dalam bidang fikih ada empat mazhab yang termasuk golongan Sunni yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali (lihat bab pembahasan mazhab)  serta muncul kelompok Syi’i yaitu Zhahiri, Ja’fari dan Zaydi.



c.     Dalam bidang tasauf ada dua kelompok:





1. Tasawwuf Nashari (ilmi), yang lebih memusatkan pada pembahasan masalah ketuhanan (hanya sebagai pengamatan saja) dan yang bersifat filosofis, ekspresi kesyukuran dalam berfikir dan berbuat seni.



2. Tasawwuf Amali (praktek - amaliah), yang lebih memberikan perhatian pada per-amal-an dan per-ibadat-an dengan metode tarekat serta pada masalah akhlak (adab) yang sesuai Al Qur’an dan Hadits serta ijma ulama.



          Pembagian pokok-pokok dari Dienul Islam, pada umumnya pengertiannya dalam perspektif syari’ah dibagi menjadi 3 yaitu:

Iman adalah menyangkut soal aqidah dan tauhid;

-  Islam adalah masalah syariah dan fikih;

Ihsan adalah masalah akhlaq dan tasauf / tarekat.



Berkaitan dengan tasauf Islam, dikenal pula berbagai faham tarekat. Tarekatullah yang besar dan mu’tabarah serta berkembang pengaruhnya diantaranya adalah terekat Naqsyabandiyah yang besar (terdiri dari banyak kelompok), Qadiriyyah (pelopornya Ibn Taimyah), Syadzaliyah, Syattariyyah, Sammaniyah, Sanusiyah, Idrisiyah, Khalwatiyah, Tijaniyah, dan masih banyak lagi.[3] Diantaranya ada tarekat Chisytiyah (terkenal di India), Mawlawiyah (dari Turki), Ni’matullahi (dari Persia) dan tarekat Sanusiayah (dari Afrika Utara), tarekat Wahidiyah (oleh KH. Madjid Makruf, 1963), tarekat al-Munfaridiyah (oleh Syaikh H. Muhamad Makmun, di Mekkah, 4-9-1954). Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN).



Dalam berbagai pertemuan dari pemikiran-pemikiran kaum muslimin dan pakar ilmu (cendikiawan muslim) serta alim-ulama dalam konstelasi dunia modern, telah pula melahirkan banyak kerangka berfikir, ada salafi, ada yang bersemboyan “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi” dan ada pula bersemboyan “Maju ke Depan Bersama Al Qur’an[4]. Dalam kerangka ini muncul istilah untuk kaum atau golongan masyarakat dan individu muslim tertentu dengan berbagai tipologi sebutan yaitu:



-          Kaum Islam tradisionalis (kebanyakan di kampung-kampung, adat kebiasaan yang turun temurun);

-          Kaum Islam KTP atau Islam keturunan (berdasar hanya identitas kartu tanda penduduk);

-          Kaum Islam modernis (Ahmadiyah) adalah pemahaman kontroversi yang berbeda dari kelompok Sunni (sunnah), didirikan dari daerah Qadian, di Punyab, sekarang Pakistan, oleh Mirza Ghulam Ahmad ±1839 -1908);

-          Kaum Islam modernis-sekular atau Islam Maju  (Muhammadiyah);

-          Kaum Islam reformis;

-          Kaum Islam Rasional atau Liberal (Muta’zilah)

-          Kaum cendikiawan muslim;

-          Kaum Pengusaha muslim;

-          Kaum Islam skriptualis;

-          Kaum Nahdliyin (warga Nahdatul Ulama / NU); terutama dari kalangan pesantren.

-          Kaum Islam Sufi atau ikhwan Tarekat;

-          Kaum Islam Radikal yang bahasa Arabnya ”Syiddah Al-Tanatu” atau Garis Keras atau Islam Ekstrem contoh: Persis, Darul Islam, sekelompok kecil oposan dari ‘Wahabi-Muhamadiyah’ yang disebut juga sebagian kecil dari kelompok dari fundamentalis yang bahasa ArabnyaAl-Ushulliyyah” terutama kelompok paling ekstrem dari kelompok Khawarij, yaitu: militant Wahabi radikal, jaringan al-Jemaah al-Islamiyah (JI) dan Al Qaidah yangmenyebar teror” selama ada musuh Islam, tindakannya dianggap sebagai jihad, Terjadinya perbedaan pandangan di antara sesama muslim tekstualis yang selama ini dikenal radikal. Tidak jarang, perbedaan pemikiran tersebut berujung pada pertentangan dan konflik internal. Hal itu menjadi bukti bahwa radikalisasi gerakan Islam yang mengaku berdasar pada  nash  ternyata banyak faksi dan tidak monolitik.
Fakta tersebut juga menunjukkan bahwa tidak ada kelompok yang berhak mengaku satu-satunya gerakan atau pembela Islam yang absah. Masih banyak wajah dan warna Islam yang lain. Apalagi, gerakan Islam yang radikal bukan mainstream di  Indonesia.                          .                                      


Ada sebutan untuk individu-individu seperti: Ulama (untuk ahli agama); Sultan-Umaro (pemimpin pemerintahan); Ustadz dan Da’i (pengajar atau pendakwah); Juga ada sebutan pemimpin-pemimpin kelompok peribadatan / peramalan / guru spiritual / guru sufi: Imam; Mursyid; Khalifah; Amir; Malik; Syaikh; Rais; Ulil’amri; Wali, Kiyai dan lain sebagainya.

Aqidah Islamiyah



          Aqidah Islamiyah kepada “Allah” dalam Islam terbentuk diantaranya aqidah yang menurut Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna[5] terdiri daripada unsur-unsur berikut ini:



1.  Beri’tiqad dengan kewujudan Allah Yang Wajib bagi zatNya, yang tidak mengambil daripada lainnya. Allah SWT bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan (Al-Kamal), yang semuanya itu merupakan kesimpulan daripada menyaksikan alam semesta ini. Allah Tabaraka wa Ta’ala itu wajib ada, bersifat dengan ‘ilmu (Al-’Ilm), kudrat (Al-Qudrah), hidup (Al-Hayah), mendengar (As-Sam’u), melihat (Al-Basar), bersifat dengan sifat-sifat Jamal (keindahan), Bijaksana (Al-Hikmah), berkehendak (Al-Iradah) dan seterusnya. Yang demikian itu adalah jelas dan dipahami dengan pengetahuan yang yakin bagi setiap mereka yang merenung dan meneliti kepada alam semesta yang indah sebagai ciptaanNya, maka penciptaNya itu tentulah Maha Bijaksana (hakim), karena telah diterangkan oleh ilmu pengetahuan tentang rahasia-rahasia kebijaksanaan ini yang terkandung di dalam sekalian makhluk. Dia juga Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan penuh dengan makna ilmu serta qudrat yang setinggi-tingginya, kerana alam semesta yang indah ini tidak mungkin terjadi melainkan dengan sebab ilmu yang luas dan qudrat yang meliputi pula Al-Qur’anul-Karim mengulangi akan sifat-sifat dalam berbagai-bagai tempat yang munasabah. Di antara ayat-ayatNya yang lengkap menerangkan sifat-sifatNya adalah tersunting pada akhir surah Al-Hasyr, yaitu artinya: “Dialah Allah Yang tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah Yang tiada Tuhan melainkan Dia, Raja, Yang Maha Quddus. Yang Maha Sejahtera, Yang Mengurniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allah dan apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyaj Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(Al-Hasyr: 22-24).



2.  Menafikan sifat-sifat keserupaan (Al-Musyabahah) dan sifat-sifat daripada Tuhan Pencipta (Al-Khaliq). Maka sifat berjisim itu ternafikan daripada Allah karena itu berubah-ubah, sifat berbilang-bilang juga ternafikan daripadaNya, kerana sifat berbilang itu bersusun atau berlapis-lapis. Sedang Tuhan (Allah ta’ala) itu pasti Esa, sedang sifat Al-Khaliq jauh dari keterjangkauan, yakni kekal sekali dan jauh daripada sifat-sifat yang berubah-ubah. Sementara sifat kebapaan (menjadi bapak) dan keanakan (mempunyai anak), kedua-duanya jauh daripada sifatNya karena kedua sifat itu berbagi-bagi dan terpisah-pisah, sedangkan Al-Khaliq tunggal. Al-Qur’anul-Karim mengakui hal ini dengan jelas dan membahaskannya dengan cara logis dan halus serta hujjah yang memuaskan. Dalam menafikan sifat-sifat keserupaan, Al-Qur’an menjelaskan artinya: (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri berpasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikannya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat(QS.Asy-Syura: 11). Juga yang artinya: Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa”. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seseorang pun yang setara dengan Dia(QS.Al-Ikhlas: 1-4). Dalam menafikan sifat berbilang-bilang, Al-Qur’an menerangkan yang artinya: ”Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi, yang dapat menghidupkan (orang-orang mati)? Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah Yang mempunyai ‘Arasy daripada apa yang mereka sjfatkan(QS.Al-Anbiya’: 21-22). Dalam menafikan sifat beranak-pinak dan berbilang-bilang, Al-Qur’an menjelaskan: ”Allah sekal-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) bersertanya, kalau ada tuhan bersertanya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebahagian daripada tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebahagian yang lain. Maha Suci Allah dan apa yang mereka sifatkan itu(QS.Al-Mu’minun: 91). Keterangan-keterangan yang seperti ini dapat dilihat dengan jelas dalam banyak ayat Al-Qur’an yang membincangkan mengenai aqidah ummat-ummat yang lampau. Ayat-ayat itu menafikan segala sifat yang membawa penyerupaan dari Tuhan.



3.  Aqidah Islamiyah sama sekali tidak menyentuh tentang hakikat dan keadaan zat dan sifat-sifat Allah SWT, tetapi sebaliknya dengan cara yang hati-hati dan halus menetapkan segi perbedaan dengan artikata yang sebenar-benarnya, antara keadaan zat Allah dan sifatNya dengan keadaan makhluk-makhluk dan sifat-sifat yang mereka miliki. Dalam Surah Al-An’am, Al-Qur’an menjelaskan: “(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan melainkan Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang maha Halus lagi Maha Mengetahui(QS.Al-An’am: 102-103). Hadits  menerangkan juga: ”Fikirkanlah tentang keadaan makhluk Allah, tetapi jangan kamu memikirkan tentang zat Allah, nanti kamu akan binasa”. Memang suatu perkara yang jelas bahwa sikap yang demikian itu tidak boleh sedikit pun dipersalahkan kepada Islam, dan tidak boleh dikatakan bahwa Islam merupakan batu penghalang yang menyekat akal dan pikiran serta mengurangi kebebasan berfikir karena akal manusia adalah merupakan tiang atau tonggak aqidah di dalam Islam. Namun demikian, sehingga hari ini ia tetap merupakan suatu pendirian atau suatu keadaan yang membuat kelemahan yang mutlak dari hakikat semua makhluk dan benda. Segala apa yang telah dapat ditanggapi olehnya hanyalah perkara-perkara yang tertentu saja dan terkadang setengah-setengah, hanyalah berupa kesan-kesan yang bersifat zahir semata-mata. Adapun unsur-unsur batin, abstrak dan gaib belum dapat dicapainya atau belum dipahami secara utuh. Islam tidaklah memaksa atau memberatkan manusia untuk mencapai sesuatu yang tidak mampu ditanggap atau dipahami oleh akal manusia. Terkadang mencari jalan mudah yaitu mengikuti saja jalan yang ditempuh oleh Rasulullah, yang pasti akan kebenarannya.



4.  Aqidah Islamiyah juga menggariskan jalan ke arah mengenal sifat-sifat Al-Khaliq dan mengetahui sifat-sifat kesempurnaan ketuhanan, keistimewaan-keistimewaan dan kesan-kesan yang mendalam. Untuk sampai kepada yang demikian itu mestilah dengan merenung dan memperhatikan alam jagat raya ini dengan pandangan yang betul (benar) dan membebaskan akal fikiran daripada kepercayaan-kepercayaan yang dipusakai oleh adat kebiasaan, daripada hawa nafsu dan tujuan-tujuan tertentu sehingga dapat mencapai kepada hukum yang betul dan tepat (eksak). Al-Qur’anul-Karim senantiasa menuntun ummat supaya memperhatikan kejadian-kejadian alam dan meneliti (riset) keadaan makhluk-makhluk. Al-Qur’an dan Hadist juga telah mengangkat dan menyanjung tinggi nilai-nilai akal dan pikiran (ilmiah) serta meninggikan derajat akal tersebut sehingga mampu menyebut Allah-Allah, Laa illahailallah Muhammadurrasullullah.



5. Aqidah kepada Allah menggunakan “akal” lebih daripada empat puluh tempat, disertai dengan sanjungan dan pujian. Di samping itu Al-Qur’an juga menganjurkan supaya  bersungguh-sungguh untuk mencapai hakikat benda-benda dan menyingkap rahasia alam yang tersembunyi dan tersirat dibalik alam semesta serta nyata ini, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dan langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan(QS. Al-Baqarah: 164). Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Yang Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka(QS. Ali ‘Imran: 190-191). Dan firman Allah Ta’ala: “Tidakkah kamu melihat bahwa Allah menurunkan hujan dan langit lalu Kami keluarkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara bukit-bukit itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya, hanyalah ulama(QS.Fatir: 27-28). Dalam ayat yang ini, Al-Qur’an mengarahkan manusia supaya menyelidiki dan menyingkap rahasia tumbuh-tumbuhan, hewan dan kejadian-kejadian yang tidak bernyawa, dan sebagai hasil daripada penyelidikan itu timbul akan rasa takut kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa mengetahui rahasia alam, mengenal Allah yang menciptakan alam ini, dan mengenal penciptanya dan mengenal benda-benda yang diciptakanNya, ternyata semua itu mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain, dan semua adanya diciptakan tidaklah  sia-sia.



6.  Aqidah Islamiyah menguatkan hubungan antara perasaan hati (qalbu) manusia dengan Al-Khallq, sehingga dengan demikian itulah manusia akan sampai kepada suatu maqom ma’rifat ruhaniah yang paling manis dan yang paling tinggi daripada jenis-jenis ma’rifat. Ini karena perasaan hati manusia adalah lebih mampu untuk menyingkap rahasia-rahasia alam yang terselubung selain daripada benda-benda yang dapat difikirkan secara terbatas, yang hanya dapat dijangkau oleh pancaindera dan bersifat fisik. Oleh sebab itulah Islam sering-kali menyatakan arahannya kepada perasaan hati (qalbu) manusia dan membangkitkan kekuatan batin yang tersembunyi di dalam jiwa manusia agar supaya bisa mendekatkan diri kepuncak ma’rifatullah sampai ke Hadirat Ilahi robbi dan menikmati kenikmatan Islam Mulia Raya atau Ma’rifatullah Tabaraka wa Ta’ala, sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah Ta’ala: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram(QS. Ar-Ra’d: 28). Lebih tegas lagi wujud dari hubungan yang tersembunyi antara hati-nurani manusia dengan Al-Khaliq, ialah ketika sedang dalam kesusahan-kesusahan atau kesulitan yang mencemaskan, yang seakan membuat putus-asa dan akhirnya pasrah dan segala harapan tertuju hanya kepada Allah SWT saja. Al-Qur’an menggambarkan keadaan ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: ”Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, nescaya hilanglah siapa yang kamu seru, kecuali Dia …(QS.Al-Isra’: 67). Dan firmanNya pula: “Dialah yang menjalankan kamu di daratan dan di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira kerananya, datanglah angin badai, dan gelombang dan segenap penjuru menimpa mereka dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepadaNya semata-mata. (Mereka berkata): Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dan bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur”. (QS Yunus: 22)



7.  Aqidah Islamiyah menuntut orang-orang Mu’min supaya kesan-kesan daripada unsur-unsur aqidah ini dimanifestasikan dalam tutur kata dan segala perbuatan. Seseorang mu’min itu bila telah beritiqad bahwa Tuhan yang menjadikannya itu bersifat Maha Kuasa, maka sebagai hasil secara praktek dan secara aqidah ini hendaklah ia bertawakkal sepenuhnya kepada Allah dengan meletakkan segala harapan kepadaNya; dan apabila ia beritiqad bahwa Allah itu Maha mengetahui, tentulah ía sentiasa berhati-hati terhadapNya dan sentiasa diliputi rasa takut kepada Allah untuk melakukan bermacam maksiat; dan apabila ia beri’tiqad bahwa Allah itu Esa, tentulah ia tidak memohon selain daripadaNya dan tidak meminta kepada yang lain daripada Allah, dan tidak pula menghadap dan melainkan kepada Allah, dan begitulah seterusnya. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan keadaan ini memanglah banyak, umpamanya dalam  firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah, takutlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebahagian daripada rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhan mereka dan ampunan serta rezeki yang mulia(QS. Al-Anfal: 2-4). Dengan ringkasan dan gambaran yang indah dan halus ini, Islam telah merangkum segala apa yang berkaitan dengan masalah aqidah terhadap Allah Ta’ala dan telah meletakkan suatu sekat yang menahan daripada segala keadaan yang bersifat meraba-raba, menduga-duga, penyelewengan, soal-soal falsafah yang palsu dan mengundang perdebatan-perdebatan, dari yang mudah dan sederhana sampai pada semurni-murninya aqidah dan sepenting-pentingnya dalam kehidupan manusia baik kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Ada anggapan bahwa orang-orang yang benar-benar memahami dengan pengertian sebagaimana yang diterangkan dalam Islam serta bisa dipraktekkan dan menikmati cita-rasanya dengan  sungguh-sungguh, tidak lagi perlu untuk menghafal sifat-sifat wajib bagi hak Allah Ta’ala yang tiga belas sifat, yaitu: 1). Wujud 8 Iradat; 2). Qidam 9 ‘Ilm; 3). Baqa’ 10 Hayat; 4). Mukhalafatuhu Taala lil-hawadith 11 Sama’; 5). Qiyamuhi bi-nafsi-hi 12 Basar; 6). Qudrat 13 Kalam; dan 7). Wahdaniyyah. Dan baki lain-lain dari sifat dua puluh itu, sifat-sifat mustahil bagi hak Allah Ta’ala, yaitu lawan daripada sifat-sifat wajib, dan juga sifat hams, yaitu membuat segala yang mungkin. Dimana juga mereka yang percaya tidak lagi berkehendak kepada kupasan yang panjang lebar ketika membicarakan masalah-masalah furu’ (cabang / ranting) yang berhubungan dengan soal aqidah seperti bahasan mengenai sifat-sifat dan nama Tuhan. Adakah  “Tauqifiyyah - (ketetapan oleh syara’), atau merupakan perkara kias dan segala kaitan sifat-sifat itu, adakah “Al-Musamma - “(yang dinama) itulah “Ainul Ismi - “ (Zat Nama itu) atau lainnya; dan adakah beramal sholeh itu menjadi syarat pada keimanan atau bukan syarat padanya dan lain-lain lagi daripada soal-soal yang lebih banyak berhubungan dengan falsafah dan bahasan akal daripada yang berhubungan dengan aqidah dan ketenangan hati ?. Disarankan kepada para muslim hendaklah memperhatikan dan meneliti tujuan-tujuan yang murni yang telah diterangkan di atas Kitab Suci Al-Qur’an dan hendaklah bersungguh-sungguh memahami isi dari kandungan Al-Qur’an, apalagi ketika membacanya dengan cara memperhatikan maksudnya itu di bawah pancaran sinar ilahi robbi (nuur Allah) dan cahaya dari panduan Al-Qur’an yang menjelaskan. Dengan berbuat demikian, akan dapat merasakan kelezatan-kelezatan dari pancaran cahaya (nuur) yang tidak ada tolok bandingnya. Adapun tentang adanya perbedaan pendapat tentang hal ini memang sudah sewajarnya, terutama datangnya dari orang-orang yang ingkar atau golongan mulhid (atheis).



[1] Samsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, LPKAI ‘Cahaya Salam’, Bogor, 2008, hal 69-80

[2] Anonim,  Introduction to Shi’i Islam hal.147.

[3]  Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 7, Ibid, hal. 249
[4]  Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 7, Ibid, hal  249
[5]    Anonim, Aqidah Islamiyah, tt, hal. 103

  Dari buku : ISLAM KAFFAH: KAJIAN TASAUF DAN TAREKAT, 2010
Hidup dan Seni.goesmul.blogspot.com.islam
                                                          goesmul@gmail.com                                                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar