PEMAHAMAN ALIRAN ISLAM
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni.blogspot.goesmul.com.islam
goesmul@gmail.com
Hidup dan Seni.blogspot.goesmul.com.islam
goesmul@gmail.com
Islam sebagai
agama, dalam hadits Nabi :”al-diin-u nashiihah” artinya “agama
itu adalah nasihat”. Juga merupakan referensi pesan-pesan terutama Al Qur’an dan hadits Nabi serta pengembangan tradisi pemikiran ke-Islam-an. Lebih
lanjut ilmunya diperluas dan diperdalam, kemudian berkembang pula cabang-cabang
ilmu diantaranya adalah: ‘ulumu‘l-Qur’an
(ilmu yang bersangkutan Al Qur’an dan
penafsiran) dan ‘ulumu‘l-Hadits (ilmu
yang bersangkutan dengan hadits).
Juga ushulu‘l-Fiqh dan qawaidu‘l-Fiqh (ilmu penetapan hukum
Islam). Dalam perkembangan ilmu pengetahuan ke-agama-an Islam ini, juga telah
melahirkan beberapa mazhab (lihat pembahasan
mazhab tersendiri) dan aliran
pemahaman diantaranya berada dalam ilmu kalam
(tauhid), tasawuf (ungkapan, metode tarekat)
dan fikih (hukum) ada yang murni, ada
bersifat keras, moderat, pluralis
bahkan hiperpluralis. Sebagai ummat
muslim perlu juga mengenal lebih luas perbedaan pandang tentang Islam dan
perjuangannya, sehingga dapat menuntun semua pihak menuju kearah yang lebih
baik terutama bagi kaum muda agar tidak terjebak ajaran kekerasan.
Adapun beberapa
pemahaman aliran Islam tersebut adalah sebagai berikut:
a.Dalam bidang ilmu kalam atau tauhid (ushulu‘l-din)[1]:
1). Murji’ah, suatu golongan yang bertentangan dengan golongan Khawarij, pengertiannya adalah pengakuan
iman cukup dalam hati dan penangguhan vonis hukuman seseorang yang berdosa besar
sampai pengadilan Allah SWT kelak dan
tidak mengkafirkan orang muslim (yang meyakini dua kalimah syahadat).
2. Jabariyah,
mengajarkan paham
bahwa manusia tidak memiliki kekuatan untuk berbuat sesuatu dan tidak memiliki
kemauan, semuanya atas kehendak Allah SWT,
namun tetap menerima konsekuensi menerima pahala dan siksa sesuai perbuatannya.
Aliran teologi jabariyah menyatakan bahwa keselamatan hanya
terdapat dalam lingkup karunia dan Inayah Ilahi. Ada pun upaya manusia (kasb) untuk mencapai
keselamatan itu dianggap sia-sia dan tidak akan berhasil. Karena itu,
konsekuensi dari keselamatan tersebut adalah harus mengetahui manifestasi
sumber keselamatan.
3. Qadariyah, mengajarkan paham bahwa manusia
memiliki kudrat irodat untuk berusaha
dan berbuat sesuai kemampuannya (ia kuasa penuh berbuat baik atau buruk),
menolak adanya qodar dan takdir Allah,
bagi yang berdosa besar tidak dikafirkan
dan tidak pula digolongkan mukmin
tetapi cukup muslim saja.
4. Mu’tazilah, memiliki 5 ajaran pokok: 1) tidak
mengakui sifat Allah melainkan dzat Allah itu sendiri, Al Qur’an adalah makhluk, Tuhan di alam
akherat tidak dapat dilihat mata dan yang terjangkau mata bukan Tuhan; 2)
keadilan Allah akan diberikan sebagai
imbalan sesuai apa yang diperbuat; 3) bahwa Allah
akan menepati janjinya memberi pahala kepada muslim yang berbuat baik dan mengancam melimpahkan siksa kepada muslim yang berbuat dosa; 4) bahwa
seorang mukmin yang berbuat dosa
besar statusnya diantara mukmin dan kafir yakni fasik; dan 5) amar-makruf
(tuntutan berbuat baik) dan nahi mungkar
(mencegah perbuatan tercela) berkaitan dengan hukum Islam (fiqih). Teologinya yang
bersifat rasional dan liberal, yang
tentu saja berbeda dengan teologi
Asy’ariyah atau pun Ahl al-Sunnah.
Mu’tazilah menegaskan, perbuatan itu
ditentukan manusia sendiri, yang tentu saja mendorong untuk berpikir rasional.
Masyarakat muslim yang rasional
menentukan pilihan hidupnya; apakah akan maju atau mundur, kaya atau miskin,
sukses atau gagal. Teologi rasional juga dapat melahirkan perilaku rasional dan
mampu mendorong seseorang untuk berani mengambil risiko pilihan yang ditetapkan
sendiri, yang mengedepankan pentingnya kebebasan bagi setiap individu manusia
di dalam kehidupannya.
5. Ahlu‘l-Sunnah wa‘l-Jama’ah atau Ahl al-Sunnaṯ wal-Jamā'aṯ (Sunni), adalah mereka
yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW (ahlussunnah)
dan Sahabat Nabi (jemaah). Bahwa
Tuhan (Allah) mempunyai sifat
sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an,
qodim, bukan makhluk atas dasar QS.
Yasin 82: ”Sesungguhnya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia berkata kepadanya:
“Jadilah”, maka jadilah ia”. Di akherat Tuhan dapat dilihat oleh mata
didasarkan QS. Al Qiyamah 22-23: ”Wajah-wajah
(orang mukmin) pada hari itu bercahaya, kepada Tuhannya mereka melihat”.
Orang muslim yang berbuat dosa besar
bila meninggal sebelum bertaubat,
tetap mukmin, tidak kafir dan berada antara mukmin dan kafir. Sedang di akherat terserah kepada Allah SWT, bisa dihukum neraka menurut kadar dosanya atau
sebaliknya mendapatkan ampunan Allah SWT,
atau mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW (dan juga melalui
penerusnya, ulama pewaris Nabi) sehingga masuk surga. Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa perbuatan manusia ditentukan Tuhan
yang cenderung bersifat fatalistik. Golongan Ahli Sunah Waljamaah merupakan golongan terbesar di dalam Islam.
Golongan ini juga dikenali sebagai Sunnis
atau Sunnites dan Islam tradisional
oleh masyarakat Barat. Golongan Ahli
Sunah Waljamaah terdiri daripada 70%-85% orang Islam di seluruh dunia.
Istilah Ahli Sunah Waljamaah bererti
'orang yang mengikuti sunnah Nabi dan
jemaah orang Islam'. Kadang kala istilah ini diringkas menjadi Ahli Sunnah. Golongan ini adalah
mengakui adanya kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali yang dipilih melalui syura dan dibaiat sebagai khalifah, Amir al-Mukminin pemimpin orang yang
beriman.
6. Khawarij, berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Khawārij (bahasa
Arab: baca Khowaarij,
secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang
mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya
mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Bermula segolongan orang yang
menentang, tidak mengakui dan memisahkan diri dari kekhalifahan Ali bin Abu Thalib. Pertama kali muncul pada
pertengahan abad
ke-7, terpusat di
daerah yang kini ada di Irak selatan, dan
merupakan bentukyang berbeda dari Sunni dan Syi'ah. Disebut atau dinamakan Khowarij disebabkan karena keluarnya
mereka dari dienul Islam dan pemimpin
kaum muslimin (Fat, juz 12 hal. 283).
Awal keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman Amirul
Mu'minin Al Kholifatur Rosyid Ali bin Abi Thalib ketika terjadi (musyawarah)
dua utusan. Mereka berkumpul disuatu tempat yang disebut Khouro (satu tempat di daerah Kufah). Oleh sebab itulah mereka juga
disebut Al Khoruriyyah. (Mu'jam Al-Buldan li Yaqut Al-Hamawi juz
2 hal. 245). Asal muasal khawarij:
Setelah Utsman bin Affan dibunuh oleh
orang-orang khawarij, kaum muslimin
mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, setelah beberapa hari kaum
muslimin hidup tanpa seorang khalifah.
Kabar kematian 'Ustman kemudian terdengar oleh Mu'awiyyah bin Abu Sufyan, yang mana beliau
masih memiliki hubungan kekerabatan dengan 'Ustman bin Affan. Sesuai dengan syari'at Islam, Mu'awiyyah berhak
menuntut balas atas kematian Ustman. Mendengar berita ini, orang-orang Khawarij pun ketakutan, kemudian menyusup
ke pasukan Ali bin Abi Thalib. Mu'awiyyah berpendapat bahwa semua orang yang
terlibat dalam pembunuhan Ustman harus dibunuh, sedangkan Ali berpendapat yang
dibunuh hanya yang membunuh Ustman saja karena tidak semua yang terlibat
pembunuhan diketahui identitasnya. Akhirnya terjadilah perang siffin karena
perbedaan dua pendapat tadi. Kemudian masing-masing pihak mengirim utusan untuk
berunding, dan terjadilah perdamaian antara kedua belah pihak. Melihat hal ini,
orang-orang khawarijpun menunjukkan
jati dirinya dengan keluar dari pasukan Ali bin abi Thalib. Mereka (Khawarij) merencanakan untuk membunuh
Mu'awiyyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib, tapi yang berhasil mereka
bunuh hanya Ali bin Abi Thalib. Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah:
1) Kaum muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir. 2) Kaum muslimin yang terlibat dalam
perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah dan Zubair melawan 'Ali ibn Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang menerima dan
membenarkannya) dihukumi kafir. 3) Khalifah
harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadiseorang muslim dari golongan
manapun bisa menjadi khalifah asalkan
mampu memimpin dengan benar. Tokoh-tokoh utama Khawarij antara lain: Abdullah bin Wahhab ar-Rasyidi, Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa'ad, Hausarah al-Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi' bin al-Azraq, Abdullah bin Basyir dan Najdah bin Amir al-Hanafi. Akibat perbedaan
pendapat di antara tokoh-tokohnya, Khawarij
terpecah menjadi beberapa sekte, antara lain: 1) Sekte Muhakkimah, yang merupakan sekte pertama, yakni
golongan yang memisahkan diri dari 'Ali bin Abi Thalib. 2) Sekte Azariqoh yang lebih
radikal, sebab orang yang tidak sepaham dengan mereka dibunuh. 3) Sekte Najdat yang merupakan
pecahan dari sekte Azariqoh. 4) Sekte al-Ajaridah yang dipimpin 'Abd Karim bin Ajrad, yang dalam
perkembangannya terpecah menjadi beberapa kelompok kecil seperti, Syu'aibiyyah, Maimuniyyah, Hamziyyah, Hazimiyyah dll. Perpecahan
itulah yang menghancurkan aliran Khawarij.
Satu-satunya yang masih ada, Ibadi (Oman, Zanzibar dan
Maghreb) menganggap dirinya berbeda dari yang lain dan menolak disebut Khawarij. Ajaran pokoknya adalah bila
orang melakukan dosa besar adalah kafir,
mereka yang terlibat perang Jamal (Aisyah, Tholhah dan Zubair) dan Arbirtasse dihukum kafir, pandangan menentukan kholifah
(pemimpin) secara “demokratis”, harus dipilih rakyat serta tidak harus
keturunan Nabi dan bangsa Quraisy,
siapapun bisa asalkan mampu dan benar. Ada 6 sekte: a) muhakkimah, yang memisahkan diri dari Ali bin Abu Tholib, b) azariqoh, terkenal radikal yang mengkafirkan ummat Islam yang tidak
segolongan, menggunakan logika takfir dengan mengkafirkan orang di luar dari kelompoknya, c) najadat merupakan pecahan azariqoh, d) as-sufriyah menyerupai azariqoh,
e) al-ibaadiyah agak lebih lunak dan
pengikutnya boleh menikah dengan golongan lain, dan f) al-ajaridah dalam perkembangannya ada beberapa kelompok seperti syu’aibiyah, hamziyah, hazimiyah, dan maimuniyah. Pada umumnya kelompok khawarij
mengklaim sebagai satu-satunya juru bicara Islam yang paling otoriter dibanding
kelompok lain. Mereka mengutuk kelompok yang dianggap telah melenceng dan
meleset dari fondasi agama yang benar. Mereka seakan punya hak istimewa dan
merasa lebih tinggi didasarkan pada
kebenaran agamanya sebagai tuntunan etika dan berlaku dalam kelompoknya yang ditingkatkan menjadi suatu moralitas
bersama.
Mereka juga menuntut dogmanya dipaksakan dengan cara apa pun, temasuk dengan pembunuhan. Mereka berkeyakinan dan memastikan bahwa kebenaran agama yang tunggal diturunkan dengan cara yang tidak bisa dipertanyakan. Kaum khawarij meyakini bahwa kebahagiaan dan kesempurnaan atau tujuan akhir agama adalah monopoli satu golongan tertentu atau bisa dicapai dengan meniti worldview (minhaj) dan the way of life (manhaj) kelompok tertentu. Kelompok lain juga membawa hakikat dan kebenaran, tapi hanya ada satu pemahaman menurut mereka yang membentangkan jalan kebahagiaan. Penganut ajaran Islam kelompok lain, dalam pandangan khawarij, yang walaupun keagamaannya baik dan akhlaknya benar dalam sisi kemanusiaan, mereka tetap tidak bisa selamat. Karena itu, untuk meraih keselamatan, mereka harus meraih jalan sebagaimana yang ditempuh kelompok khawarij. Argumentasi khawarij itu didukung teologi fatalistik (aqidah jabariyah) yang menyatakan bahwa wajib mengimani Allah, tapi tidak berdasar akal. Kewajiban tersebut penting karena Allah telah memerintah manusia untuk mengenali-Nya melalui nash. Corak pembuktian teologis itu menciptakan daur ulang yang tak berujung (circular reason). Imanilah Tuhan karena Tuhan telah memerintahkannya dalam nash. Manifestasi tersebut hanya didapat dan hanya bisa diketahui dari pemahaman nash yang tekstual. Dan tekstualisme merupakan episteme dengan metodologi pemikiran tekstual-eksplanatif (bayani) yang menjadikan teks suci sebagai otoritas penuh untuk memberikan arah dan arti kebenaran (Abed Al- Jabiry, 1991). Para tekstualis itu memahami nash Al Qur’an dan as-sunnah dengan berpegang pada redaksi teks yang partikular dan terkurung pada lokalitas. Sementara itu, akal, bagi mereka, hanya digunakan sebagai pengaman ototitas teks tersebut. Karena itu, ketika berhadapan dengan teks lain atau pemahaman terhadap teks yang berbeda, mereka mengambil sikap mental yang dogmatik, defensif, dan apologetik. Begitu juga ketika berhadapan dengan the other yang berwujud peradaban yang modern, kosmopolit, sekuler, rasional, dan realitif, maka tindak kekerasan menjadi solusi terbaik bagi mereka untuk menyelesaikan problem sosial.
Mereka juga menuntut dogmanya dipaksakan dengan cara apa pun, temasuk dengan pembunuhan. Mereka berkeyakinan dan memastikan bahwa kebenaran agama yang tunggal diturunkan dengan cara yang tidak bisa dipertanyakan. Kaum khawarij meyakini bahwa kebahagiaan dan kesempurnaan atau tujuan akhir agama adalah monopoli satu golongan tertentu atau bisa dicapai dengan meniti worldview (minhaj) dan the way of life (manhaj) kelompok tertentu. Kelompok lain juga membawa hakikat dan kebenaran, tapi hanya ada satu pemahaman menurut mereka yang membentangkan jalan kebahagiaan. Penganut ajaran Islam kelompok lain, dalam pandangan khawarij, yang walaupun keagamaannya baik dan akhlaknya benar dalam sisi kemanusiaan, mereka tetap tidak bisa selamat. Karena itu, untuk meraih keselamatan, mereka harus meraih jalan sebagaimana yang ditempuh kelompok khawarij. Argumentasi khawarij itu didukung teologi fatalistik (aqidah jabariyah) yang menyatakan bahwa wajib mengimani Allah, tapi tidak berdasar akal. Kewajiban tersebut penting karena Allah telah memerintah manusia untuk mengenali-Nya melalui nash. Corak pembuktian teologis itu menciptakan daur ulang yang tak berujung (circular reason). Imanilah Tuhan karena Tuhan telah memerintahkannya dalam nash. Manifestasi tersebut hanya didapat dan hanya bisa diketahui dari pemahaman nash yang tekstual. Dan tekstualisme merupakan episteme dengan metodologi pemikiran tekstual-eksplanatif (bayani) yang menjadikan teks suci sebagai otoritas penuh untuk memberikan arah dan arti kebenaran (Abed Al- Jabiry, 1991). Para tekstualis itu memahami nash Al Qur’an dan as-sunnah dengan berpegang pada redaksi teks yang partikular dan terkurung pada lokalitas. Sementara itu, akal, bagi mereka, hanya digunakan sebagai pengaman ototitas teks tersebut. Karena itu, ketika berhadapan dengan teks lain atau pemahaman terhadap teks yang berbeda, mereka mengambil sikap mental yang dogmatik, defensif, dan apologetik. Begitu juga ketika berhadapan dengan the other yang berwujud peradaban yang modern, kosmopolit, sekuler, rasional, dan realitif, maka tindak kekerasan menjadi solusi terbaik bagi mereka untuk menyelesaikan problem sosial.
7. Wahabiyah, ajaran yang
dibawa Ibn ‘Abd al-Wahhab
(1703-1792). Menurut sejarahwan Madawi al-Rasheed (2002: 20), al-Wahhab membawa
sesuatu yang baru, yakni pentingnya tawhid, ke dalam tradisi keislaman
Najad yang sebelumnya didominasi fiqh. Pendiri gerakan puritanisme keagamaan di Semenanjung
Arabia yang berkerjasama dengan M. Ibn Sa’ud. Tentang pertemuan keduanya di
Oasis Dir`iyyah. Menurut
Abu Hakimah, salah satu penulis sejarah ibn al-Wahhab menjelaskan Muhammad ibn
Sa`ud menyambut Muhammad ibn al-Wahhab dan berkata, “Oasis ini milikmu, dan jangan takut kepada musuh-musuhmu. Dengan nama Allah, bahkan jika semua
[orang] Najd dipanggil untuk menyingkirkan kamu, kami tidak akan pernah setuju
untuk mengusirmu.” Muhammad
ibn `Abd al-Wahhab menjawab, “Anda adalah
pemimpin mereka yang menetap di sini dan Anda adalah seorang yang bijak. Saya ingin Anda
menyatakan sumpah Anda kepada saya bahwa Anda akan melaksanakan jihad (perang suci) terhadap orang-orang kafir. Sebagai imbalannya, Anda akan
menjadi imam, pemimpin
masyarakat Muslim, dan saya akan menjadi pemimpin dalam masalah-masalah
keagamaan” (dikutip dalam al-Rasheed, 2002: 17).
Dengan terbentuknya koalisi antara Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab, Wahhabiyah menjadi ideologi keagamaan
bagi suatu unifikasi antarsuku di Arabia Tengah dan apa yang dapat disebut
sebagai gerakan Wahhabiyah
dimulai. Sebagai imam
kembar gerakan Wahhabiyah, Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab menjadi pemimpin spiritual dan temporal wilayah itu.
Suatu golongan
bernama gerakan wahabi dari Saudi
Arabia yang didukung oleh penganut mazhab
Hambali ini berhasil berkuasa dan mendirikan kerajaan Wahabi di Jazirah Arabia. Istilah
muthawwa` mengandung
makna ketundukan dan pemaksaan. Seorang muthawwa` adalah seorang yang secara sukarela
mengawasi ketaatan kepada Islam dan pelaksanaan ibadah-ibadah ritual. Dalam
proses pembentukan negara Wahhabi,
peran essensial muthawa`
adalah di dalam pengawasan terhadap dilaksanakannya ritual-ritual
Islam, menjadikan rezim Wahhabi sebagai
rezim “discipline and punish.” Mengenai pribadi `Abd al-Wahhab, dari
sumber Arab, bahwa adiknya sendiri, Sulayman
ibn `Abd al-Wahhab, menulis risalah (al-Sawa’iq al-Ilahiyyah) yang intinya
mengecam kepribadian, pendidikan dan ajaran-ajaran abangnya. Misalnya tentang taqlid,
yang sifatnya tebang pilih: ia juga taqlid kepada Ibn Taymiyah, hanya pada
bagian-bagiannya yang bersifat keras. Juga
dalam hal almuwahhidun (the-monotheist).
Golongan ini memberantas
segala sesuatu yang dianggap dilarang agama, kemaksiatan, yang mengarah pada syirik, bentuk kemusrikan, dan kekafiran
dengan sangat keras, seperti polisi syariat
bahkan melebihi dari petugas negara yang resmi, terutama tentang ketauhidan yang menurut mereka banyak
daerah-daerah ummat Islam di dunia melakukan penyimpangan ajaran tauhid. Ajaran tauhid golongan ini ialah:
a) tauhid rububiah dengan berikrar bahwa Allah SWT satu-satunya
pencipta, pemelihara, pemberi rezeki, pengatur, menghidupkan dan mematikan, b) tauhid
al-asma wa al-shifat, suatu kepercayaan pada nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT sesuai dalam Al Qur’an, dan c) tauhid ibadah, segala
amal ibadah diniatkan untuk berbakti kepada Allah
SWT yang dilaksanakan secara fisik sebagai gerakan nyata dan pikiran yang
rasional, tetapi prakteknya tidak secara menyeluruh dan berfikir sektorial dan
parsial atau terpenggal-penggal. Beberapa
Ajaran Pokok Wahhabisme: 1) Kembali
kepada ajaran-ajaran Islam yang asli, seperti yang ada dalam al-Qur’an dan hadits; 2) Kebutuhan
untuk menyatukan iman dan perbuatan; 3) Pelarangan
atas semua pandangan dan praktik yang tidak ortodoks. Hal ini menyebabkan Wahhabi untuk sepanjang hidupnya
memerangi praktik-praktik seperti penyembahan kepada para wali dan ziarah ke
makam-makam dan tempat-tempat keramat untuk memperoleh berkah; 4) Pembentukan sebuah negara Islam yang
secara khusus akan didasarkan kepada penerapan hukum-hukum agama. Sejauh ini Wahhabi berhasil memperluas pengaruh dan wewenangnya di Arabia
ekspansi ke wilayah lain di dunia untuk sesuatu yang mendekati sebuah negara
Islam bisa terbentuk. Dalam
perkembangannya kelompok ini sebagai penggerak purifikasi militant (pemurnian) yang disebut kelompok Islam garis keras atau radikal yang hendak menanamkan sebuah tradisi lokal dari budaya
Arab dan menyeragamkan cara berfikir sebagai doktrin yang khas dengan membatasi
aspek-aspek yang bersifat universal dengan cara pemaksaan dan bila perlu dengan
kekerasan, lalu menghalalkan segala cara untuk tujuan tersebut. Doktrin al-wara’ wa al-bara’ (loyalitas dan disosiasi): yaitu
jangan berteman, bersekutu dan meniru musuh non-Islam dan Muslim heretik, musyrik, sampai dengan hal yang kecil yaitu tidak boleh menjawab salam;
menyebut panggilan “saudara” dan lainnya. Pengaruh belakangan ini pandangan
Sayyid Quthb bahwa sekarang adalah jahiliyah
qarn al-`isyrin.
8. Salafiyah, kata salafiyah (bhs. Arab) artinya terdahulu. Maksudnya adalah sikapnya
seperti dari orang-orang terdahulu yang hidup semasa Nabi Muhammad SAW, para Sahabat, Tabiin, Tabiit Tabiin yang menjadi acuannya. Ibnu Taimiyah penyeru
untuk berakidah salaf dan mendapatkan dukungan dari penganut mazhab Hambali. Kegiatan dari kelompok ini dalam perkembangannya cukup
eksklusif (menyendiri), tidak mau hidup berdampingan atau jarang membaur dengan
kelompok Islam lainnya, lebih banyak berkumpul hanya bersama kelompoknya saja.
9. Syi’ah, yang dimaksud syi’ah adalah mereka yang memuja Ali bin Abu Tholib dan keturunannya.
Mereka menganggap bahwa Ali yang berhak sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan ketiga khalifah sebelumnya dianggap “tidak sah”
serta menamakan sebagai pecinta ahlul
bait (keluarga Nabi). Ajaran pokok syi’ah:
a) mengutuk, tidak membenarkan atau menolak kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq ra, Umar bin Khoththob ra, dan
Utsman bin Affan ra., serta mengakui Ali
bin Abi Tholib ra. saja sebagai khalifah;
b) kekhalifahan (keimamam) dilakukan
secara turun-temurun sampai 12 imam;
c) Imam adalah maksum, tidak pernah berbuat dosa sebagaimana Nabi dan percaya juga
menerima wahyu dan suara Jibril as.; d) tidak menerima hadits yang diriwayatkan selain dari imam mereka. Karenanya tidak mengakui hadits-hadits Bukhori,
Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Nasai. Juga tidak menerima tafsir Al Qur’an selain yang ditafsirkan oleh imam mereka. Tidak menggunakan ushul
fikih dan tidak menerima qias
serta ijmak. Imam-imam Syi’ah [2]
diantaranya: 1) ‘Ali bin Abi/Abu Talib – meninggal tahun 661 ; 2) Hasan
bin ‘Ali - dibunuh tahun 669 ; 3) Husayn/Husain bin ‘Ali – dipenggal tahun 680;
4) Ali Zaynu al-’Abidin –meninggal tahun 713; 5) Mohammed al-Baqir –meninggal
tahun 732 (Zaid); 6) Ja’far al-Sadiq – tahun 765 (Yahya); 7) Musa al-Kazim –tahun 183 H / 799
(Isma’il); 8) ‘Ali ar-Rida –meninggal secara misterius tahun 818 (Muhammad,
Abdallah); 9) Muhammad at-Taqu – meninggal tahun 835; 10) ‘Ali al-Hadi
–meninggal tahun 868; 11) Hasan al-’Askari – tahun 873; Dan 12) Mohammed ibn al-Hanifiyah menghilang
tahun 875. Golongan syi’ah ada 22
sekte, yang menonjol adalah (1) Rafidhoh,
paling ekstreem karena mengkafirkan
golongan lain, Jibril telah melakukan
kesalahan menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad bukan kepada Ali bin Abi
Tholib, ruh orang meninggal akan kembali ke dunia sebagai reinkarnasi, (2) Imamiah
(istna ‘asyiriah) percaya bahwa yang
berhak memimpin ummat Islam adalah 12 imam
mereka, (3) Ismailiah mempercayai imam itu hanya tujuh orang dari
urutannya sampai ke tujuh dari Ali, (4) Zaidiah
adalah golongan yang moderat dan tidak sepenuhnya sependapat bahwa Ali dan
keturunannya yang berhak menjadi khalifah
dan tidak memvonis ketiga khalifah sebelumnya
tidak sah.
10. Juga ada golongan
Asy’ariyah dan Maturidiyah.
b.
Dalam bidang fikih ada empat mazhab yang termasuk golongan Sunni
yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali (lihat bab pembahasan mazhab) serta muncul kelompok Syi’i yaitu Zhahiri, Ja’fari
dan Zaydi.
c.
Dalam bidang tasauf ada dua kelompok:
1. Tasawwuf Nashari (ilmi),
yang lebih memusatkan pada pembahasan
masalah ketuhanan (hanya sebagai pengamatan saja) dan yang bersifat filosofis,
ekspresi kesyukuran dalam berfikir dan berbuat seni.
2. Tasawwuf Amali (praktek
- amaliah), yang lebih memberikan perhatian pada per-amal-an dan per-ibadat-an dengan metode tarekat
serta pada masalah akhlak (adab) yang sesuai Al Qur’an dan
Hadits serta ijma ulama.
Pembagian pokok-pokok dari Dienul Islam, pada umumnya pengertiannya
dalam perspektif syari’ah dibagi
menjadi 3 yaitu:
- Iman
adalah menyangkut soal aqidah dan tauhid;
- Islam
adalah masalah syariah dan fikih;
- Ihsan
adalah masalah akhlaq dan tasauf / tarekat.
Berkaitan dengan tasauf Islam, dikenal pula berbagai faham tarekat.
Tarekatullah yang besar dan mu’tabarah serta berkembang pengaruhnya
diantaranya adalah terekat Naqsyabandiyah
yang besar (terdiri dari banyak kelompok), Qadiriyyah (pelopornya
Ibn Taimyah), Syadzaliyah, Syattariyyah, Sammaniyah, Sanusiyah, Idrisiyah,
Khalwatiyah, Tijaniyah, dan masih banyak lagi.[3] Diantaranya ada tarekat Chisytiyah
(terkenal di India), Mawlawiyah (dari Turki), Ni’matullahi
(dari Persia) dan tarekat Sanusiayah (dari Afrika Utara), tarekat Wahidiyah
(oleh KH. Madjid Makruf, 1963), tarekat al-Munfaridiyah (oleh Syaikh H. Muhamad Makmun, di Mekkah,
4-9-1954). Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
(TQN).
Dalam berbagai
pertemuan dari pemikiran-pemikiran kaum muslimin dan pakar ilmu (cendikiawan
muslim) serta alim-ulama dalam konstelasi dunia modern, telah pula melahirkan
banyak kerangka berfikir, ada salafi,
ada yang bersemboyan “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi” dan ada pula bersemboyan “Maju ke Depan Bersama Al Qur’an”[4]. Dalam kerangka
ini muncul istilah untuk kaum atau golongan masyarakat dan individu muslim
tertentu dengan berbagai tipologi sebutan yaitu:
-
Kaum Islam tradisionalis (kebanyakan di
kampung-kampung, adat kebiasaan yang turun temurun);
-
Kaum Islam KTP atau Islam keturunan (berdasar hanya identitas kartu tanda penduduk);
-
Kaum Islam modernis (Ahmadiyah) adalah pemahaman kontroversi yang berbeda dari kelompok Sunni (sunnah), didirikan dari daerah Qadian, di Punyab, sekarang
Pakistan, oleh Mirza Ghulam Ahmad ±1839 -1908);
-
Kaum Islam modernis-sekular atau Islam Maju (Muhammadiyah);
-
Kaum Islam reformis;
-
Kaum Islam
Rasional atau Liberal (Muta’zilah)
-
Kaum cendikiawan
muslim;
-
Kaum Pengusaha
muslim;
-
Kaum Islam
skriptualis;
-
Kaum Nahdliyin (warga Nahdatul Ulama / NU); terutama dari
kalangan pesantren.
-
Kaum Islam Sufi atau ikhwan Tarekat;
-
Kaum Islam Radikal yang bahasa Arabnya ”Syiddah
Al-Tanatu” atau Garis Keras atau Islam Ekstrem contoh: Persis, Darul Islam, sekelompok kecil oposan
dari ‘Wahabi-Muhamadiyah’ yang
disebut juga sebagian kecil dari kelompok dari fundamentalis yang bahasa Arabnya ”Al-Ushulliyyah” terutama kelompok paling ekstrem dari
kelompok Khawarij, yaitu: militant Wahabi radikal, jaringan al-Jemaah al-Islamiyah (JI) dan Al Qaidah yang “menyebar
teror” selama ada musuh Islam, tindakannya dianggap sebagai jihad, Terjadinya perbedaan pandangan di antara
sesama muslim tekstualis yang selama ini dikenal radikal. Tidak jarang,
perbedaan pemikiran tersebut berujung pada pertentangan dan konflik internal.
Hal itu menjadi bukti bahwa radikalisasi gerakan Islam yang mengaku berdasar
pada nash ternyata banyak faksi dan tidak
monolitik.
Fakta tersebut juga menunjukkan bahwa tidak ada kelompok yang berhak mengaku satu-satunya gerakan atau pembela Islam yang absah. Masih banyak wajah dan warna Islam yang lain. Apalagi, gerakan Islam yang radikal bukan mainstream di Indonesia. .
Fakta tersebut juga menunjukkan bahwa tidak ada kelompok yang berhak mengaku satu-satunya gerakan atau pembela Islam yang absah. Masih banyak wajah dan warna Islam yang lain. Apalagi, gerakan Islam yang radikal bukan mainstream di Indonesia. .
Ada sebutan untuk
individu-individu seperti: Ulama (untuk ahli agama); Sultan-Umaro (pemimpin
pemerintahan); Ustadz dan Da’i (pengajar atau pendakwah); Juga ada sebutan
pemimpin-pemimpin kelompok peribadatan / peramalan / guru spiritual / guru sufi: Imam; Mursyid;
Khalifah; Amir; Malik; Syaikh; Rais; Ulil’amri; Wali, Kiyai dan lain
sebagainya.
Aqidah Islamiyah
Aqidah Islamiyah kepada “Allah” dalam Islam terbentuk diantaranya
aqidah yang menurut Al-Imam
Asy-Syahid Hasan Al-Banna[5] terdiri daripada
unsur-unsur berikut ini:
1. Beri’tiqad dengan kewujudan Allah Yang Wajib bagi zatNya, yang tidak
mengambil daripada lainnya. Allah SWT
bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan (Al-Kamal),
yang semuanya itu merupakan kesimpulan daripada menyaksikan alam semesta ini. Allah Tabaraka wa Ta’ala itu wajib ada,
bersifat dengan ‘ilmu (Al-’Ilm), kudrat (Al-Qudrah), hidup (Al-Hayah),
mendengar (As-Sam’u), melihat (Al-Basar), bersifat dengan sifat-sifat Jamal (keindahan), Bijaksana (Al-Hikmah),
berkehendak (Al-Iradah) dan
seterusnya. Yang demikian itu adalah jelas dan dipahami dengan pengetahuan yang
yakin bagi setiap mereka yang merenung dan meneliti kepada alam semesta yang
indah sebagai ciptaanNya, maka penciptaNya itu tentulah Maha Bijaksana (hakim), karena telah diterangkan oleh
ilmu pengetahuan tentang rahasia-rahasia kebijaksanaan ini yang terkandung di
dalam sekalian makhluk. Dia juga Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan penuh dengan
makna ilmu serta qudrat yang
setinggi-tingginya, kerana alam semesta yang indah ini tidak mungkin terjadi
melainkan dengan sebab ilmu yang luas dan qudrat
yang meliputi pula Al-Qur’anul-Karim
mengulangi akan sifat-sifat dalam berbagai-bagai tempat yang munasabah. Di antara ayat-ayatNya yang
lengkap menerangkan sifat-sifatNya adalah tersunting pada akhir surah Al-Hasyr, yaitu artinya: “Dialah Allah Yang
tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah Yang tiada Tuhan melainkan
Dia, Raja, Yang Maha Quddus. Yang Maha Sejahtera, Yang Mengurniakan Keamanan,
Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala
Keagungan, Maha Suci Allah dan apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang
Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyaj Nama-Nama
Yang Paling baik. Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“ (Al-Hasyr: 22-24).
2. Menafikan
sifat-sifat keserupaan (Al-Musyabahah)
dan sifat-sifat daripada Tuhan Pencipta (Al-Khaliq).
Maka sifat berjisim itu ternafikan daripada Allah karena itu berubah-ubah, sifat berbilang-bilang juga ternafikan daripadaNya, kerana sifat
berbilang itu bersusun atau berlapis-lapis. Sedang Tuhan (Allah ta’ala) itu pasti Esa, sedang sifat Al-Khaliq jauh dari keterjangkauan, yakni kekal sekali dan jauh daripada sifat-sifat yang
berubah-ubah. Sementara sifat kebapaan (menjadi bapak) dan keanakan (mempunyai
anak), kedua-duanya jauh daripada sifatNya karena kedua sifat itu berbagi-bagi
dan terpisah-pisah, sedangkan Al-Khaliq
tunggal. Al-Qur’anul-Karim mengakui
hal ini dengan jelas dan membahaskannya dengan cara logis dan halus serta hujjah yang memuaskan. Dalam menafikan sifat-sifat keserupaan, Al-Qur’an menjelaskan artinya: “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri berpasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan-pasangan (pula), dijadikannya kamu berkembang biak dengan jalan itu.
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat“ (QS.Asy-Syura: 11). Juga yang artinya: Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha
Esa”. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. Dia tidak
beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seseorang pun yang setara
dengan Dia” (QS.Al-Ikhlas: 1-4). Dalam menafikan sifat berbilang-bilang, Al-Qur’an menerangkan yang artinya: ”Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari
bumi, yang dapat menghidupkan (orang-orang mati)? Sekiranya ada di langit dan
di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.
Maka Maha Suci Allah Yang mempunyai ‘Arasy daripada apa yang mereka sjfatkan”
(QS.Al-Anbiya’: 21-22). Dalam
menafikan sifat beranak-pinak dan
berbilang-bilang, Al-Qur’an
menjelaskan: ”Allah sekal-kali tidak
mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) bersertanya, kalau
ada tuhan bersertanya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang
diciptakannya, dan sebahagian daripada tuhan-tuhan itu akan mengalahkan
sebahagian yang lain. Maha Suci Allah dan apa yang mereka sifatkan itu”
(QS.Al-Mu’minun: 91). Keterangan-keterangan
yang seperti ini dapat dilihat dengan jelas dalam banyak ayat Al-Qur’an yang membincangkan mengenai aqidah ummat-ummat yang lampau.
Ayat-ayat itu menafikan segala sifat
yang membawa penyerupaan dari Tuhan.
3. Aqidah Islamiyah sama sekali tidak
menyentuh tentang hakikat dan keadaan
zat dan sifat-sifat Allah SWT, tetapi
sebaliknya dengan cara yang hati-hati dan halus menetapkan segi perbedaan
dengan artikata yang sebenar-benarnya, antara keadaan zat Allah dan sifatNya dengan keadaan makhluk-makhluk dan sifat-sifat
yang mereka miliki. Dalam Surah Al-An’am,
Al-Qur’an menjelaskan: “(Yang
memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan
melainkan Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah
Pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,
sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang maha Halus lagi
Maha Mengetahui” (QS.Al-An’am:
102-103). Hadits menerangkan juga: ”Fikirkanlah tentang keadaan makhluk Allah, tetapi jangan kamu
memikirkan tentang zat Allah, nanti kamu akan binasa”. Memang suatu perkara yang jelas
bahwa sikap yang demikian itu tidak boleh sedikit pun dipersalahkan kepada
Islam, dan tidak boleh dikatakan bahwa Islam merupakan batu penghalang yang
menyekat akal dan pikiran serta mengurangi kebebasan berfikir karena akal
manusia adalah merupakan tiang atau tonggak aqidah
di dalam Islam. Namun demikian, sehingga hari ini ia tetap merupakan suatu
pendirian atau suatu keadaan yang membuat kelemahan yang mutlak dari hakikat semua makhluk dan benda. Segala
apa yang telah dapat ditanggapi olehnya hanyalah perkara-perkara yang tertentu
saja dan terkadang setengah-setengah, hanyalah berupa kesan-kesan yang bersifat
zahir semata-mata. Adapun unsur-unsur batin, abstrak dan gaib belum dapat
dicapainya atau belum dipahami secara utuh. Islam tidaklah memaksa atau
memberatkan manusia untuk mencapai sesuatu yang tidak mampu ditanggap atau
dipahami oleh akal manusia. Terkadang mencari jalan mudah yaitu mengikuti saja
jalan yang ditempuh oleh Rasulullah,
yang pasti akan kebenarannya.
4. Aqidah Islamiyah juga menggariskan jalan
ke arah mengenal sifat-sifat Al-Khaliq
dan mengetahui sifat-sifat kesempurnaan ketuhanan, keistimewaan-keistimewaan
dan kesan-kesan yang mendalam. Untuk sampai kepada yang demikian itu mestilah
dengan merenung dan memperhatikan alam jagat raya ini dengan pandangan yang
betul (benar) dan membebaskan akal fikiran daripada kepercayaan-kepercayaan
yang dipusakai oleh adat kebiasaan, daripada hawa nafsu dan tujuan-tujuan
tertentu sehingga dapat mencapai kepada hukum yang betul dan tepat (eksak). Al-Qur’anul-Karim senantiasa menuntun
ummat supaya memperhatikan kejadian-kejadian alam dan meneliti (riset) keadaan
makhluk-makhluk. Al-Qur’an dan Hadist juga telah mengangkat dan
menyanjung tinggi nilai-nilai akal dan pikiran (ilmiah) serta meninggikan
derajat akal tersebut sehingga mampu menyebut Allah-Allah, Laa illahailallah Muhammadurrasullullah.
5. Aqidah kepada Allah menggunakan “akal” lebih
daripada empat puluh tempat, disertai dengan sanjungan dan pujian. Di samping
itu Al-Qur’an juga menganjurkan
supaya bersungguh-sungguh untuk mencapai
hakikat benda-benda dan menyingkap
rahasia alam yang tersembunyi dan tersirat dibalik alam semesta serta nyata
ini, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dan langit
berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan
Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan
dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS. Al-Baqarah: 164). Dan
firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Yang Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka” (QS.
Ali ‘Imran: 190-191). Dan firman Allah
Ta’ala: “Tidakkah kamu melihat
bahwa Allah menurunkan hujan dan langit lalu Kami keluarkan dengan hujan itu
buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara bukit-bukit itu ada
garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang
hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata
dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya, hanyalah ulama” (QS.Fatir: 27-28). Dalam ayat
yang ini, Al-Qur’an mengarahkan
manusia supaya menyelidiki dan menyingkap rahasia tumbuh-tumbuhan, hewan dan
kejadian-kejadian yang tidak bernyawa, dan sebagai hasil daripada penyelidikan
itu timbul akan rasa takut kepada Allah.
Ini menunjukkan bahwa mengetahui rahasia alam, mengenal Allah yang menciptakan alam ini, dan mengenal penciptanya dan
mengenal benda-benda yang diciptakanNya, ternyata semua itu mempunyai hubungan
antara satu dengan yang lain, dan semua adanya diciptakan tidaklah sia-sia.
6. Aqidah Islamiyah menguatkan hubungan
antara perasaan hati (qalbu) manusia
dengan Al-Khallq, sehingga dengan
demikian itulah manusia akan sampai kepada suatu maqom ma’rifat ruhaniah
yang paling manis dan yang paling tinggi daripada jenis-jenis ma’rifat. Ini karena perasaan hati
manusia adalah lebih mampu untuk menyingkap rahasia-rahasia alam yang
terselubung selain daripada benda-benda yang dapat difikirkan secara terbatas,
yang hanya dapat dijangkau oleh pancaindera dan bersifat fisik. Oleh sebab
itulah Islam sering-kali menyatakan arahannya kepada perasaan hati (qalbu) manusia dan membangkitkan
kekuatan batin yang tersembunyi di dalam jiwa manusia agar supaya bisa
mendekatkan diri kepuncak ma’rifatullah
sampai ke Hadirat Ilahi robbi dan
menikmati kenikmatan Islam Mulia Raya atau Ma’rifatullah
Tabaraka wa Ta’ala, sebagaimana
dinyatakan oleh firman Allah Ta’ala:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan
hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah, hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’d: 28). Lebih tegas lagi wujud dari hubungan
yang tersembunyi antara hati-nurani manusia dengan Al-Khaliq, ialah ketika sedang dalam kesusahan-kesusahan atau
kesulitan yang mencemaskan, yang seakan membuat putus-asa dan akhirnya pasrah
dan segala harapan tertuju hanya kepada Allah
SWT saja. Al-Qur’an menggambarkan
keadaan ini sebagaimana firman Allah
Ta’ala: ”Dan apabila kamu ditimpa
bahaya di lautan, nescaya hilanglah siapa yang kamu seru, kecuali Dia …
“(QS.Al-Isra’: 67). Dan
firmanNya pula: “Dialah yang
menjalankan kamu di daratan dan di lautan. Sehingga apabila kamu berada di
dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di
dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira kerananya,
datanglah angin badai, dan gelombang dan segenap penjuru menimpa mereka dan
mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada
Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepadaNya semata-mata. (Mereka berkata):
Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dan bahaya ini, pastilah kami akan
termasuk orang-orang yang bersyukur”. (QS Yunus: 22)
7. Aqidah Islamiyah menuntut orang-orang Mu’min supaya kesan-kesan daripada
unsur-unsur aqidah ini
dimanifestasikan dalam tutur kata dan segala perbuatan. Seseorang mu’min itu bila telah beritiqad bahwa Tuhan yang menjadikannya
itu bersifat Maha Kuasa, maka sebagai hasil secara praktek dan secara aqidah ini hendaklah ia bertawakkal sepenuhnya kepada Allah dengan meletakkan segala harapan
kepadaNya; dan apabila ia beritiqad
bahwa Allah itu Maha mengetahui,
tentulah ía sentiasa berhati-hati terhadapNya dan sentiasa diliputi rasa takut
kepada Allah untuk melakukan bermacam
maksiat; dan apabila ia beri’tiqad
bahwa Allah itu Esa, tentulah ia
tidak memohon selain daripadaNya dan tidak meminta kepada yang lain daripada Allah, dan tidak pula menghadap dan
melainkan kepada Allah, dan begitulah
seterusnya. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan
keadaan ini memanglah banyak, umpamanya dalam
firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
itu adalah mereka yang apabila disebut Allah, takutlah hati mereka, dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka dan kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan
yang menafkahkan sebahagian daripada rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhan mereka dan ampunan serta rezeki yang
mulia” (QS.
Al-Anfal: 2-4). Dengan ringkasan dan gambaran yang indah dan halus
ini, Islam telah merangkum segala apa yang berkaitan dengan masalah aqidah terhadap Allah Ta’ala dan telah meletakkan suatu sekat yang menahan daripada
segala keadaan yang bersifat meraba-raba, menduga-duga, penyelewengan,
soal-soal falsafah yang palsu dan mengundang perdebatan-perdebatan, dari yang
mudah dan sederhana sampai pada semurni-murninya aqidah dan sepenting-pentingnya dalam kehidupan manusia baik
kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Ada
anggapan bahwa orang-orang yang benar-benar memahami dengan pengertian
sebagaimana yang diterangkan dalam Islam serta bisa dipraktekkan dan menikmati
cita-rasanya dengan sungguh-sungguh,
tidak lagi perlu untuk menghafal sifat-sifat wajib bagi hak Allah Ta’ala yang tiga belas sifat,
yaitu: 1). Wujud 8 Iradat; 2). Qidam 9 ‘Ilm; 3). Baqa’ 10 Hayat; 4). Mukhalafatuhu
Taala lil-hawadith 11 Sama’; 5). Qiyamuhi bi-nafsi-hi 12 Basar; 6). Qudrat 13 Kalam; dan 7). Wahdaniyyah. Dan baki lain-lain dari sifat dua puluh itu, sifat-sifat mustahil bagi
hak Allah Ta’ala, yaitu lawan
daripada sifat-sifat wajib, dan juga sifat hams,
yaitu membuat segala yang mungkin. Dimana juga mereka yang percaya tidak lagi
berkehendak kepada kupasan yang panjang lebar ketika membicarakan
masalah-masalah furu’ (cabang /
ranting) yang berhubungan dengan soal aqidah
seperti bahasan mengenai sifat-sifat dan nama Tuhan. Adakah “Tauqifiyyah
- (ketetapan oleh syara’), atau
merupakan perkara kias dan segala
kaitan sifat-sifat itu, adakah “Al-Musamma
- “(yang dinama) itulah “Ainul Ismi -
“ (Zat Nama itu) atau lainnya; dan adakah beramal sholeh itu menjadi syarat pada keimanan atau bukan syarat padanya
dan lain-lain lagi daripada soal-soal yang lebih banyak berhubungan dengan
falsafah dan bahasan akal daripada yang berhubungan dengan aqidah dan ketenangan hati ?. Disarankan kepada para muslim
hendaklah memperhatikan dan meneliti tujuan-tujuan yang murni yang telah
diterangkan di atas Kitab Suci Al-Qur’an
dan hendaklah bersungguh-sungguh memahami isi dari kandungan Al-Qur’an, apalagi ketika membacanya
dengan cara memperhatikan maksudnya itu di bawah pancaran sinar ilahi robbi (nuur Allah) dan cahaya dari panduan Al-Qur’an yang menjelaskan. Dengan berbuat demikian, akan dapat
merasakan kelezatan-kelezatan dari pancaran cahaya (nuur) yang tidak ada tolok bandingnya. Adapun tentang adanya
perbedaan pendapat tentang hal ini memang sudah sewajarnya, terutama datangnya
dari orang-orang yang ingkar atau golongan mulhid
(atheis).
[1] Samsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, LPKAI ‘Cahaya
Salam’, Bogor, 2008, hal 69-80
[2] Anonim, Introduction
to Shi’i Islam hal.147.
[4] Ensiklopedi
Nasional Indonesia, Jilid 7, Ibid, hal 249
[5] Anonim, Aqidah Islamiyah,
tt, hal. 103
Dari buku : ISLAM KAFFAH: KAJIAN TASAUF DAN TAREKAT, 2010
Hidup dan Seni.goesmul.blogspot.com.islam
goesmul@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar