PERBEDAAN CARA PANDANG DALAM ISLAM
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni.blogspot.goesmul.com.islam
goesmul@gmail.com
Manusia telah ditakdirkan untuk hidup dalam pergaulan antar individu, bermasyarakat,
berkelompok-kelompok, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, baik bersifat lokal,
nasional, regional maupun global dengan berbagai ciri khas masing-masing
seperti adanya jenis ras, warna kulit, ukuran tubuh dan pola hidup dipengaruhi
oleh lingkungan alam sekitar serta ragam budaya, adat dan agama, tata nilai
yang turut menyertainya. Namun demikian sebagai manusia, tentu sama saja di
hadapan Allah SWT.
Manusia
bisa saja sama persis rupa dan bentuknya, tetapi tetap ada perbedaannya satu
dengan lainnya, terutama masalah batin-ruhaninya, cara berfikirnya, cara hidup
dan memandang kehidupan. Apalagi tentang masalah keagamaan yang menyangkut
keimanan (keyakinan) seseorang, ada yang sekedarnya saja, ada yang merasa
ragu-ragu, dan ada yang memang bersungguh-sungguh, serta ada yang dipengaruhi
oleh lingkungan hidupnya, pengalamannya, pendidikannya dan sebagainya.
Menyangkut
cara pandang dan berfikir manusia, ini tergantung bagaimana cara dalam
memandang dan pola berfikir sebelumnya yang telah membentuknya. Tentu setiap
orang atau kelompok masyarakat tertentu mempunyai nilai-nilai tersendiri, yang
sedikit banyak mempengaruhi dan mewarnai cara hidup atau pola berfikir
tersebut. Apabila seseorang melihat sesuatu dengan kaca mata merah atau hijau
atau biru atau kaca berwarna lainnya, tentu hasil dari penglihatannya itu pun
akan sama atau menyesuaikan dengan warna-warna kacamata yang dipakai, dan juga
dari sudut mana ia memandang (ke-atas, ke-bawah, kiri, kanan, muka atau
belakang). Bila demikian tentu, pengaruh dari alat dan cara atau sudut pandang
serta lingkungan yang membentuknya itu sangat dominan memberi andil, baik
sedikit maupun banyak mempengaruhi cara atau pola dalam berfikir dan hasil
opini. Apabila kita hendak menginginkan hasil yang mendekati akan kebenaran dan
hasilnya sesuai dengan aslinya yaitu dengan cara melihat dari dekat seperti apa
adanya atau harus menggunakan kaca mata yang juga netral dan itupun tergantung
dari pada keterjangkauan dari jarak pandang yang tentunya bisa terlihat dengan
jelas. Jika mata mengalami rabun atau tidak sehat bisa saja semuanya menjadi
kabur dan kurang jelas. Kesahihan
informasi dan komunikasi dengan sumber-sumber yang jelas merupakan syarat
mutlak untuk mencapai kebenaran sejati. Cara berfikir orang juga demikian, banyak
hal yang tidak sama, ada kemampuan, kebolehan, ada pula kelemahan dan
ketergantungan serta ketidak-sempurnaan. Walaupun kini perkembangan ilmu dan
teknologi dapat memperjelas dan mempercepat serta mempermudah penyelesaian
masalah-masalah kehidupan, namun tetap
saja manusia itu bisa khilaf, lupa, tidur, tak sadar, sakit dan bisa tak
berdaya sama sekali seperti orang yang tua-renta (uzur), dan juga bisa karena
kemiskinan dan kebodohannya.
Memang
tidak dipungkiri adanya perbedaan dalam berbagai hal. Dan perbedaan itu
terlihat hanya dari pandangan manusia semata, di karenakan adanya perasaan yang
tidak puas akan sesuatu hal, lalu melahirkan perbedaan di sana-sini. Seringkali
dikarenakan timbulnya perbedaan itu karena perasaan tidak puas yang ada pada diri
maka terjadilah suatu perdebatan, perselisihan, pertengkaran, merasa paling
benar dan sampai berujung pada
perkelahian dan pertumpahan darah. Jika demikian adanya, maka jalan yang
membawa rahmat dan keselamatan agar tidak terjadi perselisihan, pertengkaran,
merasa paling benar dan lain sebagainya, maka segera dikenali siapa yang
mengadakan perbedaan itu kemudian di mengerti bahwa Allah SWT tidak menciptakan akan sesuatu dengan sia-sia. Semuanya
tentu ada makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya, terutama bagi mereka
yang mau merenungkannya dan memikirkannya. Sehingga ada yang berujar biarlah
mawar tumbuh berduri, akan tetapi warna-warni atau merahnya terlihat merekah
dengan indahnya dan baunya pun sangat khas wanginya serta menarik hati. Biarkan
juga buah durian itu berduri yang terlihat mengerikan, akan tetapi bila dibuka
dan menikmati rasa yang ada di dalamnya sungguh menggoda selera dan bau
harumnya pun sudah tercium dari beberapa meter. Biarlah manusia itu tempatnya salah dan lupa, karena
memang itu adalah fitrahnya, tetapi ketahui dan renungkanlah bahwa di dalamnya
terdapat rahasia (sirr) Allah sebagai pusat rahmat bagi sekalian
alam. Maka tebarkanlah cara mengingat rahasia Allah (dzikir sirr) itu kepada manusia dan sekalian
alam serta bersilaturahim, jangan
pula berpecah belah, jadilah Rahmatan Lil Allamin, terikat erat dalam
satu keluarga besar ummat Islam yang indah. Sesungguhnya manusia itu tercipta
dari sepasang laki laki dan perempuan lalu beranak cuculah dan menjadi
bersuku-suku serta berbangsa-bangsa agar saling kenal-mengenal satu dengan yang
lain, bersilaturahmilah dengan
menebarkan cinta damai dan kasih sayang kepada sesama manusia karena mereka
semua adalah saudara.
Perbedaan
dalam Islam adalah wajar saja dan bahkan dapat diharapkan untuk memperoleh
hikmahnya. Perbedaan-perbedaan pandangan itu sudah ada sejak masa Nabi Muhammad
SAW. Pelaksanaan ibadah dan peramalan
dari sumber yang sama, namun para sahabat Nabi (Abu Bakar, Usman, Ali dan Umar)
pelaksanaannya ada yang sama ada pula yang berbeda dan itu semua dibenarkan
oleh Rasulullah, tentunya dengan
kebijakan, alasan dan pemahaman yang masuk akal.
Al Qur’an dan Sunnah aslinya memang berbahasa Arab, di dalamnya terdapat beragam
variasi kata dan kalimat sebagaimana layaknya pembicaraan orang-orang Arab,
seperti adanya bentuk haqiqah dan majâz. Baik didalam bahasa Arab maupun
dalam bahasa lainnya, ada tata bahasa dan ada juga gaya bahasa. Ada metafora, kiyas, personifikasi dll. Bila kemudian Al-Qur’an memiliki itu (gaya bahasa)
adalah sangat wajar, bukankah Al-Qur’an
diturunkan ketika kesusasteraan di Arab disana sedang marak. Dan mereka sampai
terkagum-kagum dengan bahasa Al-Qur’an
dan kemudian masuk Islam. Seharusnya demikian, karena tuntutan akal, ilmiah dan
amaliah, ketinggian nilai dan saratnya dengan makna hidup dan kehidupan. Karena
kajian yang beragam dengan cara pandang dan pola berfikir yang juga
bertingkat-tingkat, berlapis-lapis, sedemikan banyaknya golongan dan
kecenderungan, sehingga akhirnya banyak pula aliran dalam Islam. Permasalahannya
adalah pada sekitar “membantah” dan “mendebat” setiap nash yang diajukan seseorang dalam upaya amar ma’ruf nahi mungkar, dan ini semua tidak terbantahkan. Jikalau
demikian mestinya ada riset untuk membuktikan kebenaran ajaran itu yang bersifat
ilmiah dan amaliah sehingga bisa merasakan hingga haqul yakin. Namun pada kenyataanya, ada yang berbalik arah dan
meninggalkan nash tersebut, sambil
berkata kami juga Islam, kami juga beriman, kami menjalankan shalat, kami puasa, kami berzakat dan kami berhajji. Maka renungkanlah ayat di bahwah ini: ”Aku akan memalingkan orang-orang
yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari
tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak
beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk,
mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan,
mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan
ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya. Dan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah
perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka
kerjakan”. (Qs. Al-A’raaf :
146-147). Lalu: ”Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an itu dengan bahasamu,
agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Quran itu kepada orang-orang
yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang
membangkang” (Qs. Maryam :
97). Dan :”Sesungguhnya Kami mudahkan Al Qur’an itu dengan bahasamu supaya mereka
mendapat pelajaran” (Qs. Ad
Dukhaan : 58). Dari ayat diatas jelas tujuan Allah SWT. menggunakan bahasa Arab dalam perkataan-perkataanya
tidak lain adalah agar Nabi Muhammad SAW.
dan para sahabat-sahabatnya mengerti apa yang dimaksudkan dalam setiap
firmannya : ”Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain
Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”
Apakah (patut Al Qur’an) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab?
Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.
Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al
Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil
dari tempat yang jauh.” (Qs.
Fushshilat : 45). Lalu, ”Alif laam raa”, (inilah) suatu kitab yang
ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang
diturunkan dari sisi Allah, Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (Qs. Huud : 1).
Apa yang diungkapkan disini pada saat ini
dikenal sebagai ilmu tafsir, dan tidak ada ilmu yang diturunkan langsung dari Allah SWT, kecuali ilmu laduni
(Allah sendiri yang mencerdikkan)
kepada ummatnya dalam rangka menjaga agama yang disyariatkan-Nya, dan ilmu ini juga berguna bagi pembela kebenaran
dalam membenahi berbagai kesalahan yang terjadi ditengah-tengah ummat. Namun
tak jarang pula saat ini, ilmu tafsir digunakan juga oleh para ahli bid’ah dalam upayanya untuk membela
dirinya sendiri atau kelompoknya dalam rangka mencari pembenaran dan bukan
kebenaran. ”Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah datang
pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka” (Qs. Asy Syuura : 14). ”Tidak
ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir”
(Qs. Al-Mu’minun : 4).
Sudah
diketahui pada umumnya, bahwa seluruh ilmu pengetahuan itu untuk mendorong,
menguatkan dan menjadikan seseorang muslim yang bersifat kaffah dan juga telah beramal sholeh
seperti juga para sahabat Nabi, Tabi’in
dan seterusnya sehingga kini. Atas dasar itulah Allah berfirman : ”Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah” (Qs.
3. Ali ‘Imran : 110).
Perbedaan-perbedaan
dimasa kini, dengan begitu banyak kolompok / golongan yang ada, harus disikapi
dengan bijaksana dan penuh kasih-sayang disertai akhlaq yang baik. Akan tetapi bila disikapi dengan arogansi
seolah-olah menganggap bahwa dirinya atau kelompoknyalah yang paling benar,
bahkan memvonis seseorang atau kelompok lain itu sesat dan kafir adalah sangat
menyedihkan, apalagi hanya memperoleh informasi yang tidak lengkap serta dari
sumber yang tidak benar pula.
Dalam
perkembangan sejarah Islam, H.A.R Gibb
memberikan kesimpulan dalam tesisnya yang cukup menarik untuk disimak yaitu:
”Islam memiliki sejarah yang sangat panjang tidak hanya dari sudut pandang
ekspansinya (pelebaran kekuasaan pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Usman, Umar dan Ali r.a) akan tetapi juga
diwarnai dengan munculnya pertikaian dan perdebatan panjang mengenai faham
antar elit yang sama-sama mewakili suatu otoritas, yaitu otoritas hukum agama (Ulama fikih) dan otoritas spiritual-Sufi (Ulama Tasauf, Syeakh). Pertikaian dan perdebatan panjang itu telah
banyak mengorbankan sisi lain perkembangan peradaban Islam yang sangat hebat
dan toleran” [1] Dimana saat itu Islam melakukan ekspansinya
hingga menguasai dua pertiga dunia. Dan sepanjang abad ke II H / 8 M sampai
abad ke III / 9 M merupakan awal mula pergolakan perdebatan pemikiran fikih dan ke-sufi-an (spiritualis), sehingga muncul ‘rasa permusuhan’ atau
‘ketidaksukaan’ yang ditanamkan ahli hukum sampai-sampai mempengaruhi lintas
politik dimana para penguasa turut melegitimasinya. Hal inilah yang menjadikan
Islam mengalami ‘kemunduran’ baik intelektual maupun peradaban, sehingga para
peneliti barat dan orientalis mengulas sisi ini yang kemudian mendiskriditkan
Islam, memecah-belah ummat Islam dan sikap apriori hadir antar golongan Islam. Sampai kini pun mereka para
orientalis itu telah berhasil memberikan semacam ‘image Islam’ yang menyudutkan dan menyakitkan (seperti ‘teroris’),
yaitu hasil kerja yang dilakukan oleh kelompok kaum Islam garis keras (Fundamentalis-Radikalisme) yang tidak
toleran dan tidak menyebarkan perdamaian, melalui jalan panjang dan berliku. Akhirnya, dimulai menjelang abad ke
IV / 11 M, rekonsiliasi antar pemahaman mulai dilakukan antara syariah dan hukum Islam dengan jalan
spiritual kesufian, seperti Abu Thalib al-Makki (990 M) dengan
kitabnya ”Qut al-Qulub” sebagai panduan, dan berikutnya Al Ghazali (wafat
505 H / 1111 M) dengan buku “Ihya’ Ulum al-Din” yang mengubah
kecurigaan dan permusuhan menjadi
pemberi pencerahan dan inspirasi baru terhadap hukum-hukum syari’ah dan jalan spiritual menuju
jalan tarekat dalam tasauf Islam. Abd al-Qodir Al-Jilani (wafat 561 H / 1166 M) mengukuhkannya dengan
kitabnya ”Al-Qhunyah”. Setelah abad ke IV dan seterusnya tarekat-sufi meluas mengakar di
wilayah-wilayah muslim dan lebih mendalam lagi pada persoalan kehidupan sosial
keagamaan. Seperti penjelasan Macdonald bahwa: ”...ketegangan itu
semakin mereda dan memberi jalan masuknya sesuatu yang mirip keseimbangan. Tarekat-tarekat inilah dianggap telah
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan personal dan masyarakat dalam keberagaman
keagamaan. Dikalangan ummat muslim seakan memberikan peranan penuh kepada emosi
(ekspresi) keagamaan mereka tetapi umumnya sangat berhati-hati. Juga tarekat itu dapat menghindari timbulnya
perselisihan dengan ilmu kalam ortodoks. Para Fuqaha dan teolog Islam (Mutakallimun),
secara jalas dan bebas memasuki tarekat-sufi
dan mereka membantu menciptakan keseimbangan untuk mencapai puncak abad 17 dan
18 M dalam bentuk korelasi dan interaksi yang harmonis”.[2] Lebih lanjut
perkembangannya tidak ada lagi pemisahan antara otoritas ilmu-ilmu ke-Islam-an
dan mendapat legitimasi kuat dari masyarakat muslim. Berbagai perkumpulan dan
organisasi kemasyarakatan di dunia muslim kerap dipegang oleh syekh yang sufi-tarekat, ahli hadits,
ahli tafsir, ahli fikih dan ahli ilmu kalam. Pada peradaban Melayu dimulai hingga mencapai puncak
ketinggian kultural dan intelektual karena peranan sufi dengan tasaufnya
dalam ilmu tarekat Islam pada kurun
awal abad 10 H / 16 M sampai abad 11 H / 17 M. Diperkuat pernyataan Al-Attas yang mengatakan bahwa: “Tasawuf memainkan peran terbesar dan
paling menentukan dalam membentuk pandangan religius, spiritual, dan
intelektual di kepulauan Melayu.[3] Tasawwuf telah dapat memelihara dan mempertahankan
budaya serta penyebaran Islam, mempengaruhi kehidupan dari seni sampai
pendidikan. Osman Bin Bakar
menyimpulkan “.......dibawah pengaruh kolonialisme dan modernisme, warisan
intelektual dan spiritual Melayu diwariskan oleh para sufi hanya hidup dikalangan tradisional. Belakangan, tampak muncul
kebangkitan dan daya tarik di berbagai kelompok, termasuk elit-elit modern yang
terpelajar. Barangkali demikianlah adanya, tasawuf
tetap menjadi bagian integral dari kehidupan religius dan kultural Melayu dan
sumber spiritualitas hingga kini.[4] Sehingga Syaikh
Ali Ibn Ahmad al-Busyanji (kutipan Willam C. Chittick) yang berungkap bahwa
”Dahulu tasawuf adalah sebuah
realitas tanpa nama, akan tetapi saat ini , ia adalah sebuah nama tanpa
realitas.[5] Para penguasa
dalam sejarah Islam, seperti Sultan-sultan kebanyakan berasal dari kalangan Sufi-Tarekat. Dan dalam peradaban tak
kalah pentingnya kaum sufi sangat berperan dalam pengkayaan khasanah
kesusastraan, seni, arsitektur, gaya hidup serta budaya Islam, seperti Jalaluddin Rummi dan An-Nuri dan lainnya. Terjadinya asimilasi
otoritas Ilmu ke-Islam-an yang ada menjadi faktor penentu bagi pengembangan
peradaban Islam menjadi gerakan dak’wah
Islam. Untuk itulah perlu kiranya pemahaman Islam yang tuntas dan keseluruhan (kaffah) sehingga menjadikan kaum Islam
bersatu kembali dan disegani seperti masa kejayaan dahulu di zaman Nabi SAW serta dapat membentuk masyarakat
dunia Islam yang damai, sejahtera dan maju atau ‘masyarakat madani’ yang kita idam-idamkan.
Suatu hal
yang mengejutkan terjadi di Inggris pada hari Jum’at tanggal 8 Pebruari 2008,
adalah syariah Islam menjadi
perbincangan kontroversi dimana terdapat suatu pernyataan yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam
dari seorang Dr. Rowan Wiliams,
beliau adalah sebagai pemimpin tertinggi dari Gereja Anglikan Inggris, yang
mengatakan adopsi sejumlah syariah
Islam dalam dasar hukum Inggris adalah hal yang tak terhindarkan. Sebab, syariah
Islam tak sering bertentangan dengan struktur dan pola hidup warga Inggris, Ia
mengakui bahwa syariah Islam mencakup
aturan yang luwes, tapi komprehensif. Dia mencontohkan, tiap muslim yang
terlibat sengketa dari pernikahan sampai finansial dapat menemukan solusi yang
menunjukkan betapa lengkapnya syariah
Islam. [6]
Melihat
kembali adanya fenomena kehidupan dalam beragama dan keberagaman menjadi
sebagai langkah upaya dan kebutuhan yang
mendesak. Agama yang diandaikan sebagai ajaran, simbol, doktrin dan metode,
untuk menemukan kebenaran dan kesejatian itu, didalam realita prakteknya
seringkali menimbulkan pelbagai ketegangan seperti adanya klaim
kebenaran-kebenaran (sult hat al-hakiqah)
baik secara normatif-formal maupun metodologis ilmiah, sampai dengan tingkatan
sensitivitas tertentu dari berbagai pengalaman sepiritual yang bersifat kemampuan
dari setiap individu. Untuk melengkapi renungan dengan mengutip ayat yang lain
dari Al-Qur’an , seperti surat An Nuur, 24 ayat 39 : “Dan
orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya
air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan)
Allah disisinya, lalu Allah memenuhi perhitungan-Nya dan Allah adalah sangat
cepat perhitungan-Nya”. Dengan menambahkan ayat ini, maka sudah semakin
kuatlah perhitungan atas orang-orang kafir, perbuatan mereka semuanya akan sia-sia dan semu bagaikan sebuah fatamorgana. Seolah-olah ada dan
bermanfaat padahal tidak ada dan tidak berguna sama sekali, dan ia tertipu oleh
pikirannya sendiri (setan) yang pada akhirnya penyesalan tidak berujung.
Sebenarnya
ummat Islam di Dunia ini terdiri dari banyak kelompok-kelompok atau golongan,
ada negara-negara Islam, organisasi-organisasi Islam, perkumpulan-perkumpulan
pengajian dan sebagainya. Yang dalam QS.
Al-Baqarah :148 disebutkan: ”Tiap-tiap ummat memiliki kiblatnya sendiri
yang ia menghadap kepada-Nya. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan”.
Di dalam mashab Islam saja terdapat 4
sampai 7 imam, yang diakui misalnya yaitu Imam
Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hanafi
dan Imam Hambali. Ditakdirkan pula
ummat Islam ada tujuh puluh tiga (73) golongan yang terdiri dari: 20 golongan Muktazilah,
22 golongan Syi’ah, 20 golongan Khawarij, 5 golongan Murji’ah,
3 golongan Najariah, 1 golongan Jabariah, 1 golongan Musyabihah
dan 1 golongan Ahlussunah Wal-Jama’ah. Ke-73 golongan tersebut memiliki faham
yang khusus dan sebagian lagi saling
bertentangan pandangan atau ada perbedaan
pendapat atau beda faham. Hal ini dapat dibaca dalam kitab Bugyatul Mustarsyidin karangan Mufti Syaikh Sayid Abdurrahman bin
Muhammad bin Husein bin Umar yang terkenal dengan gelar Ba’Alawi, pada halaman 398, yang diterbitkan atau dicetak oleh
Mauthba’ah Amin Abdul Majid Cairo 1318 H. Maka sampai masa kini tidaklah
mengherankan bahwa ummat Islam itu berbeda-beda faham, seperti di Indonesia,
yang dalam menetapkan hari besar Islam terutama Idul Fitri kadang tidak ada
kata sepakat diantara ormas Islam, walaupun pihak pemerintah telah berusaha
menyatukannya. Namun demikian semuanya tetap berpegang kepada Al Qur’an dan Al Hadits, dan hal itu merupakan takdir Allah SWT [7] dan janganlah hal
tersebut terlalu dipermasalahkan serta justru untuk bisa diambil hikmahnya,
seperti yang telah disampaikan oleh Rasulullah
SAW dalam hadits Nabi sebagai
berikut: Rasulullah SAW bersabda: “Perbedaan
pendapat diantara umatKu adalah Rahmat”. Dengan demikian tidak perlu
mempertajam atau membesarkan setiap perbedaan dan persamaan yang
ditonjolkan.
Ada
pendapat lain yang berbeda tentang tasawuf,
yang mengatakan bahwa paham tasawuf ini merupakam paham yang sudah
berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah.
Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang
sebelumnya merupakan orang-orang pemeluk agama non-Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meskipun ada
yang sudah masuk Islam, namun hidupnya
tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan
bersifat keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan
ajaran, yaitu dalam kehidupannya yang berendah-rendah diri dan berhina-hina
diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu
termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang
masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi
penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian
disebut paham sufi, sufisme, atau
paham tasawuf, dan orangnya disebut Sufi. Sebagian lagi berpendapat yang
mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf
berasal dari zaman Nabi Muhammad, yaitu berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti yang telah
disebutkan. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad. Kalangan Islamologi
(orientalis) Barat membuat beberapa definisi sufisme antara lain:
-
- Pertama,
Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr. P. Van De Woestijne yaitu: “Paham mistik dalam agama Islam
sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India".
- Kedua, Dr.
C.B. Van Haeringen yaitu: “Aliran
kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam”.
- Ketiga,
J. Kramers Jz yaitu: “Ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut
sekelompok kepercayaan di Timur terutama Parsi dan India yang mengajarkan bahwa
semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish
verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan yang selalu
berusaha untuk kembali bersatu dengan Dia”.
Mr. G.B.J
Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne, berpendapat dan mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar agama Islam.
Dan sufisme berasal dari bahasa Arab
yakni suf, yaitu pakaian yang terbuat
dari wol pada kaum asketen, yaitu
orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan. Juga dunia
Kristen, neo-platonisme, dimana
pengaruh Parsi dan India dianggap ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis
dalam ajaran Islam. Melahirkan suatu anggapan bahwa Al Qur’an pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan
lahir dan batin ummat muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun
dengan bertambah luasnya daerah dan jumlah pemeluknya, maka Islam kemudian
menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk
Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah
mengikuti ajaran mistik. Keyakinan tersebut mencari-cari suatu hubungan
perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan
oleh agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum muslim abad 2 Hijriyah, yang sebelumnya sebagian
diantaranya menganut agama Non-Islam,
semisal ada orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Parsi yang
sebelumnya beragama Zoroaster atau
orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi, tidak ketahuan telah masuk dalam
kehidupan kaum muslim, karena pada diri mereka masih terdapat kehidupan batin
yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan
gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan
dari kaum muslim, meski pun demikian mendapat tantangan juga dari ahli-ahli
keagamaan dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikianlah berbagai aliran
mistik ini mempengaruhi aliran-aliran yang ada dalam Islam secara
perlahan-lahan, yang pada permulaannya dianggap ada yang berasal dari aliran
mistik Masehi, Platonisme, Parsi dan
India.
MH. Amien Jaiz (1980), berpendapat hampir senada dengan Mr. G.B.J Hiltermann
& Prof.Dr.P.Van De Woestijne bahwa paham tasawuf terbentuk dari dua unsur dari luar Islam, yaitu (1)
Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan
Agama Islam, (2) Adat kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari
agama-agama non-Islam dan berbagai
paham mistik. Oleh karenanya paham tasawuf
itu dianggap bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur
ajaran Islam, dengan kata lain dalam agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumah
orang Islam yang menganutnya. Anggapan dan pendapat yang berbeda tersebut
menyebutkan bahwa tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri
Irak (syi’ah), karena suka mengenakan
pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf),
maka mereka disebut dengan "Sufi".
Soal hakikat dalam tasawuf, mereka
mengatakan bukanlah ajaran Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi
Thalib Radiyallahu ‘anhu. Seseorang
yang berpendapat demikian menyudutkan sufi
dan tasawuf adalah Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir yang
berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran
Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik
yang keluar dari lisan atau pun yang
terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda
dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul
ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin ummat manusia Muhammad Shallallahu
‘alaihi wassalam, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta
makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya,
kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban
Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" [8]
Islam, kalau mau
diterjemahkan secara harafiah dan literalisme,
sekarang ini, menjadi kegemaran jutaan orang Islam di seluruh dunia. Sebab, literalisme memberi kesan akan
“otentisitas”, memberi rasa mantap dan keyakinan diri akan kehidupan yang
sesuai dengan “masa lampau” yang ideal dan suci. Masa depan Islam bisa saja
bercorak Islam liberal, setelah
menyaksikan sendiri versi modern dari literalisme.
Literalisme dalam Islam yang
melahirkan pemahaman keagamaan tersendiri. Sejarah bergerak secara progresif,
menuju “finalitas” yang makin rasional, makin tercerahkan, makin liberal, masih menginginkan Islam
relevan untuk kehidupan ini, diantaranya ada firqah Liberaliyah. Liberaliyah adalah sebuah paham yang
berkembang di Barat dan memiliki asumsi, teori dan pandangan hidup yang
berbeda. Dalam tesis yang ditulis Ahmad Suhelani, MA., berjudul “Pemikiran
Politik Barat” menjelaskan prinsip-prinsip pemikiran ini. Pertama, prinsip
kebebasan individual. Kedua, prinsip kontrak sosial. Ketiga, prinsip masyarakat
pasar bebas. Keempat, meyakini eksistansi Pluralitas
Sosio – Kultural dan Politik Masyarakat. [9] Islam dan Liberal adalah dua istilah yang saling
berhadap-hadapan, ada yang sesuai dengan Al
Qur’an dan Hadits, juga ada yang
belum mungkin bisa bertemu. Namun demikian, kelompok ini menamakannya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Suatu penamaan yang “pas” dengan orang-orang
atau pikiran-pikiran dan agendanya. Sanad
(asal-usul) Firqah Islam liberal menurut Charless Kurzman muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki
Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang
keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan
permurnian, kembali kepada Al-Qur’an
dan sunnah. Pada saat ini muncullah
cikal bakal paham liberal awal
melalui Syah Waliyullah (India,
1703-1762), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai
dengan kebutuhan pcnduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar. Ide
ini terus bergulir. Rifa’ah Rafi’
al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan
Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia,
1818-1889) dan Ahmad Makhdun
(Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum
pendidikan Islam.[10] Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817) yang
membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah
Inggris. Pada tahun 1877 Ia membuka suatu colege
yang kemudian menjadi Universitas Aligarh (1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit of Islam berusaha mewujudkan
seluruh nilai liberal yang dipuja di
Inggris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad adalah
Pelopor Agung Rasionalisme.[11] Di Mesir muncullah
M. Abduh (1849-1905) yang banyak
mengadopsi pemikiran mu’tazilah
berusaha menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh salaf. Lalu muncul Qasim Amin (1865-1908) kaki tangan Eropa dan pelopor emansipasi
wanita, penulis buku Tahrir al-Mar’ah.
Lalu muncul Ali Abd. Raziq
(1888-1966). Lalu ada yang mendobrak sistem khilafah,
menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik karena Nabi Muhammad dianggap
hanyalah pemimpin agama. Lalu diteruskan oleh Muhammad Khalafullah (1926-1997) yang mengatakan bahwa yang
dikehendaki oleh Al-Qur’an hanyalah
system demokrasi tidak yang lain.[12] Di Al-Jazair
muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928)
yang menetap di Perancis, ia menggagas tafsir Al-Qur.an model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat
seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi,
filsafat dan linguistik. Intinya Ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu
pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan keanekaragaman pemikiran
Islam dengan keanekaragaman pemikiran diluar Islam.[13] Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap
di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir
konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia
mengatakan Al-Qur’an itu mengandung
dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh Al-Qur’an adalah ideal moralnya karena
itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan.[14] Di Indonesia
muncul Nurcholis Madjid (murid dari
Fazlur Rahman di Chicago) yang mempelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan
Efendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wakhid.[15] Nurcholis Madjid telah memulai gagasan
pembaruannya sejak tahun l970-an. Pada saat itu ia telah rnenyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: “Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh
diatas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan
pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah
kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama” (Nurcholis
Madjid, 1970: 239). Lalu sekarang muncullah apa yang disebut JIL (Jaringan
Islam Liberal) yang mengusung ide-ide
Nurcholis Madjid dan para pemikir-pemikir lain yang cocok dengan pikirannya.
Islam Liberal menurut Hamilton Gibb,
William Montgomery Watt, Chanless Kurzman dan lain-lain, merupakan paham yang
rasionalis dalam beragama. Sedang paham sekuleris
dalam bermasyarakat dan bernegara pada masyarakat Eropa dianggap sebagai tokoh
pendobrak yang melahirkan motto: Render Unto The Caesar what The Caesar’s and
to the God what the God’s (Serahkan apa yang menjadi hak Kaisar kepada
kaisar dan apa yang menjadi hak Tuhan kepada Tuhan). Karena itu ada pula yang
mengatakan: “Cak Nur meminjam pendekatan rasional yang membidani lahirnya
peradaban barat”.
Sedangkan
paham pluralisme yang merujuk kepada lbn Arabi (468-543 H) yang
merekomendasikan bentuk keimanan dan mengunggulkannya atas nabi Musa ‘alaihis salam.[16] Kemudian faham liberal adalah untuk menghadang,
tepatnya untuk melemahkan gerakan Islam radikal-fundamentalis,
dengan pernyataan: “Sudah tentu, jika tidak ada upaya-upaya untuk mencegah
dominannya pandangan keagamaan yang militant
itu, boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok
keagamaan yang militant ini bisa
menjadi dominan. Hal ini jika benar terjadi, akan mempunyai akibat buruk buat
usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Sebab pandangan keagamaan yang militant ini biasanya menimbulkan
ketegangan antar kelompok-kelompok agama yang ada. Sebut saja antara Islam dan Kristen,
bahkan juga dengan antar kelompok Islam sendiri. Pandangan-pandangan kegamaan
yang terbuka (inklusif) plural, dan humanis adalah salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu
kehidupan yang demokratis”[17]
Yang
dimaksud dengan Islam radikalis-fundamentalis,
adalah Islam yang keras dan menjadi
lawan firqah liberal , yaitu orang
yang memiliki ciri-ciri antara lain digerakkan oleh kebencian yang sangat
mendalam (seperti seakan alergi) terhadap ‘Barat’, dan mempropagandakan bahwa
Islam adalah agama dan negara, berusaha memaksakan kehendak kepada semua orang,
apapun pertimbangan dan keputusannya diambil secara sepihak. Agenda dan Gagasan
firqah Liberal, dalam tulisan
berjudul “Empat Agenda Islam Yang Membebaskan” oleh Luthfi Asy Syaukani, salah seorang penggagas JIL yang juga seorang
dosen di Universitas Paramadina Mulya memperkenalkan empat agenda Islam
Liberal. Pertama, agenda politik, yang menurutnya urusan negara adalah murni
urusan dunia, sistem kerajaan dan parlementer (demokrasi) adalah sama saja.
Kedua, mengangkat kehidupan antar agama, yang menurutnya perlu ada pencarian teologi pluralisme mengingat semakin
majemuknya kehidupan bermasyarakat di negeri-negeri Islam. Ketiga, emansipasi
wanita. Dan keempat adalah suatu kebebasan dalam berpendapat (secara mutlak).
Sementara dari sumber lainnya, didapatkan juga empat agenda libralis adalah: (1) pentingnya
konstekstualisasi ijtihad (2)
komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan (3) penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama (4) permisahan
agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. [18]
Maka
pantaslah mengapa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Yang paling saya khawatirkan adalah atas
orang munafik yang pandai bicara. Dia membantah dengan Al-Qur’an”. Allah pun berfirman: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat
kembali” (QS. An-Nisaa’ 115).
Untuk itulah,
diperlukan Ulama yang bisa dan mampu memberi bimbingan Islam secara kaffah, yang menuntun secara fisik dan
metafisik. Janganlah sampai ummat Islam memperturutkan kepada hawa-nafsunya
sendiri. Jangan pula yang dapat memecah belah ummat Islam sehingga menjadi
lemah. Dan bila tak mampu menyelesaikan masalah dan mempersatukan sebagai ukhuwah Islamiyah. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir maka hendaklah ia mengucapkan yang baik atau hendaklah ia diam”
(HR. Bukhari dan Muslim). Ahlul batil selain menghimpun kekuatan
untuk memusuhi ahlul haq, Allah ta’ala berfirman: “Adapun
orang-orang yang kafir, sebagian mereka pelindung bagi sebagian yang lain. JIka
kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah
itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”
(QS. Al-Anfaal 73).
Mengenai “Muslim Rasionalis” (Aqlaniyyun), ada beberapa atsar
dari para Sahabat Nabi r.a. tentang
pengutamaan nash (dalil) diatas
rasio. Dari Ali bin Abi Thalib r.a., dia berkata : “Andaikata agama itu cukup dengan
ra’yu (akal), maka bagian bawah khuf (alas kaki) lebih utama untuk diusap
daripada bagian atasnya. Aku benar-benar melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam mengusap bagian atas khuf-nya” (HR. Abu Daud dengan sanad
yang baik. Dalam Al-Talkhishul Habir, 1/160 Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Atsqalani
berkata hadits ini shahih, dan juga telah disepakati Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani di dalam Shahihul Abu Daud, 1/33). Lalu dari
Umar bi Al-Khaththab r.a., dia berkata tatkala mencium Hajar Aswad: ”Sesungguhnya aku tahu engkau hanya sekedar
batu yang tidak bisa memberi madharat dan manfaat. Kalau tidak karena kulihat
Rasulullah menciummu, tentu aku tidak akan menciummu”(HR. Bukhari dan Muslim). Dan dari Ibnu Umar r.a., dia berkata : “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian mencegah istri-istrimu
(untuk mendatangi) masjid-masjid jika mereka meminta izin kepada kalian”.
Salim bin Abdullah berkata, “Lalu Bilal
bin Abdullah berkata, ‘Demi Allah,
kami akan mencegah mereka’”. Salim berkata, “Lalu Ibnu Umar menghampiri Abdullah dan mengolok-oloknya dengan
olok-olokan yang amat buruk, yang tidak pernah kudengar sebelumnya seperti itu.
Dia berkata, “Aku mengabarkan kepadamu dari Rasulullah, lalu engkau
berkata,’Demi Allah, aku benar-benar akan mencegahnya ?’.”(HR. Muslim). Dari Imran bin Hushain
r.a., dia berkata : “Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Malu itu adalah kebaikan
seluruhnya”. Lalu Busyair bin Ka’ab berkata, “Sesungguhnya di dalam sabda beliau ini terdapat kelemahan”. Lalu
Imran berkata, “Aku memberitahukan dari
Rasulullah, lalu engkau datang untuk menentang ? Aku tidak akan memberitahukan
satu hadits pun yang kuketahui.”(HR.
Bukhari dan Muslim). Juga dari
Urwah bin Az-Zubair, bahwa dia berkata kepada Ibnu Abbas r.a.: “Engkau telah menyesatkan manusia. “Apa itu wahai Urayyah ?”, tanya Ibnu
Abbas.Urwah menjawab, “Engkau
memerintahkan umrah pada sepuluh hari itu, padahal hari-hari itu tidak ada
umrah. ”Ibnu Abbas bertanya, “Apakah
engkau tidak bertanya mengenai masalah ini kepada ibumu ? Urwah menjawab, “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak pernah
melakukan hal itu. ”Ibnu Abbas berkata, “Inilah yang membuat kalian rusak. Demi Allah, aku tidak melihat
melainkan hal ini akan membuat kalian tersiksa. Sesungguhnya aku beritahukan
kepada kalian dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun kalian menjawab
dengan diri Abu Bakar dan Umar.”(HR
Imam Ahmad dan Al-Khathib serta lainnya dengan sanad yang shahih). Ibnul
Qayyim berkata, “Semoga Allah merahmati
Ibnu Abbas. Bagaimana andaikata dia tahu sekian banyak orang yang menentang
firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan menggunakan perkataan Aristoteles,
Plato, Ibnu Sina, Al-Faraby, Jahm bin Shafwan, Bisyr Al-Maraisy, Abul Huzail
Al-Allaf, dan orang-orang yang sealiran dengan mereka ?” Dapat kami katakan
(Syaikh Ali Hasan), “Semoga Allah
merahmati Ibnul Qayyim. Bagaimana jika dia tahu ada orang-orang rasionalis abad
ke dua puluh, yang menentang sunnah
hanya dengan menggunakan rasionya yang serba terbatas. Golongan Rasionalis masa kini, seorang diantara
mereka berkata, “Para pemeluk Islam telah sepakat – kecuali sebagian kecil di
antara mereka yang tidak perlu digubris—bahwa jika aqly dan naqly saling
bertentangan, maka apa yang ditunjukkan oleh aqly harus diambil”. Yang dimaksudkan Al-Islam adalah bahwa rasio
saja tidak bisa sampai kepada kebahagiaan ummat, jika tidak disertai petunjuk ilahi. [19]
Agama yang
benar adalah yang berunsur kemanusiaan yang benar juga. Unsur kemanusiaan yang
benar adalah rasio yang bisa menetapkan hakikat,
yang bisa menjelaskan karena ilmu, yang memburukkan khurafat dan yang dijauhkan dari dugaan. Kami senantiasa menegaskan
bahwa setiap hukum yang ditentang rasio, setiap jalan yang tidak dikehendaki
kemanusiaan yang benar dan sejalan dengan fitrah
yang lurus, mustahil bukan merupakan agama. Dan ’Islam’ itu telah pula melampaui dan membebaskan rasio manusia
untuk menguasai nubuwah, dengan
mengumumkan penghabisan dari masa nubuwah
secara total dan sekaligus kebebasan manusia dari nubuwah”. Dengan “menyerap
ruh Islam”, dan bukan hanya berkomitmen terhadap hukum-hukum tertentu, yang
cukup bisa dijadikan tameng yang bisa membawa ke jalan yang lurus. Diantara
pendukung paham rasionalis ini adalah
seorang Doktor dalam bidang Hukum, Hasan
At-Turaby, sebagai sumber yang perlu ditegaskan sekali lagi sebagai dasar
adalah rasio.[20] Tidaklah
mengherankan jika melihat kebebasan dalam pemikiran mereka, yang sampai-sampai
menganggap bahwa Islam itu bukan satu-satunya agama Allah. [21]
Ada juga yang
berpendapat bahwa ada “Islam ibadah”, dan ada yang masuk dalam kategori wacana
adalah “Islam peradaban” dalam suatu pengertian bahwa segenap perangkat nilai -
yang tidak pernah atau tidak boleh selesai - yang digunakan secara sadar maupun
dibawah sadar oleh penganutnya berdasarkan dari rekaman emosional, baik
psikologis maupun logis. Masalahnya adalah pada “Islam peradaban” itu hanya
salah satu peserta kompetisi sosio-kultural yang menghunjam segenap pribadi
muslim, dengan segenap keniscayaannya. Di luar itu, ada sejumput nilai yang ikut
mendobrak setiap detiknya dengan mesin-mesim
peradaban modern, yang sialnya lagi telah beroperasi lebih canggih
ketimbang Islam sendiri. Apakah ini sebagai
gambaran dari inferioritas
atau kekalahan ?
Sementara
kelompok lainnya menganggap serius bahwa seakan ada perintah fikih yang melarang untuk bermusik ? Dan
di kalangan radikalis maupun fundamentalis pun isu ini tetap
kontroversial. Toh seperti Rumi,
bisa berasyik masyuk dengan musik dan tarian, yang justru katanya untuk
mencapai ekstase (ekspresi keTuhanan)
dengan Allah ? Atau bukankah nada
sengit itu sekadar skeptisisme
terhadap khazanah klasik, yang ditiru secara serampangan oleh kalangan radikalis-fundamentalis, yang dia sendiri juga merasa lebih sah memilikinya ?
Tapi kemudian bahwa dunia hiburan dan leisure
(baca: kenikmatan waktu senggang) menempati ruang yang begitu besar dalam
kehidupan di zaman modern. Bahkan ruang publik modern dibentuk salah satunya
oleh dunia leisure ini. Pengamat dan
penikmat hiburan yang baik, hanyalah seorang manusia biasa. Tetapi dapat
dirasakan ada hal yang juga sehat dalam suatu ruang publik di mana dunia “leisure” bisa ditampung, di mana hiburan
bisa dikembangkan dengan sewajarnya dan tidak melampaui batas syari’at. Memang perlu ada sandarannya (konsideran) dalam salah satu jenis
penafsiran atas Islam, jenis penafsiran yang literal, suatu penafsiran yang memusuhi dunia hiburan dengan
obsesif. Hantu itu seakan lebih mengerikan karena pandangan-pandangan yang “medieval” (bersifat abad pertengahan
yang maksudnya sudah tak sesuai lagi). Hal semacam itu tidak saja hendak
diselenggarakan sebagai kebutuhan atau “keasyikan” pribadi, tapi mau ditegakkan
melalui negara. Negara mau dijadikan aparatus pengawas dari “kesalehan” dengan
memberangus dunia hiburan itu oleh
aliran keras dan yang radikalis ini.
Sesungguhnya muslim yang baik dapat memilih alternatif hiburan yang sesuai,
mengarahkan keluarga dan kerabat muslim terdekatnya untuk menentukan pilihan
yang terbaik, tidak memaksakan kehendak pada pihak lain terutama yang beragama
atau keyakinannya berbeda sebagai penghargaan atas hak asasi manusia untuk
mengikuti / tidak mengikuti syari’at Islam.
Tidak ada yang menganjurkan kehidupan yang permisif. Kritik atas dunia hiburan
yang kerapkali membius “nalar yang cerah” jelas harus terus dilakukan dan
disuarakan. Untuk hal ini, ummat Islam patut belajar dari studi-studi
kebudayaan (dalam pengertian “cultural
studies”) yang seringkali muncul belakangan ini. Yang menjadi keprihatinan
juga adalah soal pengaturan ruang publik yang mau disesuaikan dengan standar kesalehan yang rigid, dengan meminjam negara sebagai aparatus penegaknya.
Ada pemahaman lain yang
berbeda, yaitu mereka yang mengikuti jejak dari tarekat Mawlawiyah (Mavlevi), yang mempraktekkan sebuah
bentuk dzikir gerak berputar yang
mendorong mereka kepada suatu keadaan santai (ekstasi / trans). Dan
mereka menganggap ketika Allah melepaskan
tenaga suci kepada Nabi dan Nabi melepasnya kemudian kepada para Awliya. Kisah inilah yang dialami dan
dikerjakan oleh Jalaluddin Rumi,
seakan bergerak ke atas dan tidak bergerak lurus akan tetapi berputar. Dia
menggambarkan seperti halnya ketika helikopter naik, baling-balingnya berputar,
menimbulkan tenaga yang mengangkatnya lepas landas. Pengikut Jalaluddin Rumi
tidaklah dianggap sedang menari, melainkan berputar mengikuti energi yang
membawanya ke atas, adalah mengibaratkan seperti elektron berputar mengelilingi inti atom (nukleus). Menurut mereka,
dari jema’ah mavlevi, Allah melepaskan energi kepada
Jalaluddin Rumi yang berputar mengelilingi esensi dari diri mereka yang
sesungguhnya dengan berhubungan langsung kepada jati dirinya yang berada di
hadirat Ilahi, sebagai karunia Allah kepadanya. Ketika muslim melakukan
ibadah hajji, yaitu melaksanakan thawaf, diibaratkan seakan elektron mengelilingi (circumambulate) nukleus, berlawanan arah dengan gerak jarum jam. Inilah yang
membuat berputar, agar terasa terangkat ke langit. Pendapat mereka pengikut mavlevi ada tingkatan thawaf spiritual yang lebih tinggi,
dimana para Awliya juga membuat thawaf secara spiritual lebih tinggi
lagi, dan malaikat membuat thawaf di
atas mereka, terus naik langsung seakan menuju Baytul Ma’mur dan sampai kepada `Arsy.
Ini adalah kekuatan ilmu mata air ketujuh atau "mata air kesucian".
Mata air kesucian, menurut aliran mavlevi,
yang diberikan hanya pada yang orang percaya (iman) dengan semua manfaat yang
diperoleh melalui cahaya spiritual khususnya dari Mursyid at-Tarbiyya. Ini tentang cara mereka menghidupkan sunnah, juga meliputi rakaat shalat sunnah, memakai cincin,
memelihara jenggot, menggunakan miswak,
dan sunnah Nabi yang mana saja.
Itulah sebabnya ajrun (pahala)
menjadi meningkat pada hari-hari terakhir ini. Jadi ini adalah ringkasan dari
kepercayaan mata air ketujuh, yang katanya dapat dicapai melalui putaran di
sekitar jati diri. Dan ketika feyd
mendatangi yang akan dialami setiap saat berada dalam keadaan ekstasi berkesinambungan. Seperti sebuah
tornado, terus berputar sampai tidak terlihat lagi, karena terangkat dari bumi.
Pada level yang lebih tinggi, seseorang mendapatkan sebuah lingkungan ideal
yang tidak memiliki friksi, tiada kegelapan, tiada nafsu buruk, tiada dosa, dan
tiada dunia. Dalam lingkungan demikian dapat melanjutkan perjalanan menuju
kehadirat Ilahi. Itulah sebabnya Awliya tidak mengejar dunia, karena bagi
mereka, dunia tidak memiliki nilai. Mereka sibuk dengan kesuka-citaan surgawi,
dalam keadaan ekstasi yang
berkesinambungan selalu meningkat setiap saat, yang di dalam lingkungan mereka mengecilkan dunia
menjadi nihil. Banyak pihak yang mencela para darwis (sebutan untuk
para pengikut Jalaluddin Rumi) yang duduk membaca dzikr-ullah, karena mereka itu tidak tahu kebahagiaan macam apa
yang dialami para darwis ini! Jika satu berkas kecil cahaya saja yang terbuka
dari cahaya Ilahi yang menyinari para
darwis,
itu dikatakan seakan menenggelamkan seluruh isi dunia ke dalam ekstasi itu. Mereka sudah puas dengan
rasa estasi itu dan merasa telah
berbuat amal sholeh dan berhadapan
dengan Rabb-nya. Mereka berharap
tidak terpenjara di dalam diri sendiri atau terbelenggu pada ego dan empat
musuhnya serta menjadi manusia yang bebas bukan sebagai pecundang. Dalam
seluruh kehidupan, darwis berharap jangan sampai mengalami nar al-hasra, yaitu ’api yang membakar dari dalam’, yang disebabkan
oleh sebuah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Dan Mursyid at-Tarbiyya dianggap pembimbing dan sebagai ayah spiritual
yang menunjukkan jalan menuju feyd Ilahi Rabb.Sesungguhnya perbedaan-perbedaan pandangan di dalam masalah agama Islam,
terutama aliran dalam setiap kelompok atau golongan (firqah) serta berbagai kontradiksi metodenya sehingga bisa
merupakan “lautan yang amat dalam” serta dapat menenggelamkan banyak ummat manusia yang tak selamat kecuali beberapa
gelintir manusia atau sekelompok orang saja, yang masing masing kelompok tentu
menduga kelompoknya itulah yang selamat.[22] Di dalam firman Allah SWT dalam QS. Al
Mu’minun: 53 “Fa taqaththa’uu amrahum
bainahum zuburan kullu hizbim bi maa ladaihim farihuun” yang artinya: “Mereka
berpecah-belah tentang urusannya menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan
merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka (masing-masing)”.
Untuk itulah diharapkan manusia berfikir dan meriset serta mencari akan
kebenaran yang sejati. Surat Al-Baqarah
ayat pertama: ”Alif laam mim, dzaaliika
al-kitaab-ulaa rayba fihi hudan li al-muttaqiin” artinya ” Alif
laam mim, inilah kitab yang ada keraguan
di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa”. “Alladziina yu minuuna bi al-ghayb-ii”
artinya “Mereka yang percaya kepada yang gaib”.
Selanjutnya, Nabi SAW mengatakan soal
menghidupkan sunnah, min ahiya sunnati inda fasadi ummati falahu
ajrun sab’iina syahiid aw miya syahiid, yaitu "Ketika semua orang meninggalkan
sunnah-ku, ketika korupsi melanda ummatku, Allah akan menganugerahkan kepada
mereka yang menghidupkan satu sunnah, hadiahnya adalah pahala tujuh puluh atau
seratus syuhada". Dalam menjalankan ajaran tarekat, haruslah mengikuti sunnah
dan istiqomah, termasuk dzikir yang tidak berhenti sampai pada
hari meninggalkan dunia atau pun dalam situasi ‘mati hakekat’ untuk pencapaian
pada level di mana Allah berfirman, mutu kabla anta mu’tu, yaitu "Matilah (kuasai egomu) sebelum
engkau mati", artinya patuh pada perintah Allah dan Rasul atau
ibaratnya seperti ‘robot tuhan’. Nabi berkata, "Jika engkau ingin melihat
seseorang yang meninggal sebelum dia mati, lihatlah pada Abu Bakar ash-Shiddiq"
Itu artinya Sayyidina Abu Bakar mampu menguasai egonya dan mengenal dirinya yang mempunyai musuh empat: nafs, dunya, hawa, syaythan. Ketika seseorang mengikuti
jejak Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq,
itu akan membawanya kepada Jalan Sayyidina
Muhammad. Kemudian Nabi Muhammad SAW
bersabda: “Bacalah Al-Qur’an dan carilah yang ganjil-ganjil (ghara-ib) daripadanya”.
Lebih lanjut bersabda Nabi SAW yang
diriwayatkan Ali - dimuliakan Allah
akan wajahnya: “Demi Allah yang mengutus aku dengan sebenarnya menjadi Nabi!
Sesungguhnya akan bercerai-berai ummatku dari pokok agamanya dan kumpulannya
kepada tujuh puluh dua golongan. Semuanya sesat menyesatkan, yang membawa
mereka kepada neraka. Apabila telah ada yang demikian, maka haruslah kamu
berpegang teguh dengan kitab Allah ‘Azza wa Jalla” (Al Qur’an). Karena di dalamnya, berita-berita orang yang sebelum kamu
dan berita tentang apa yang akan datang sesudah kamu. Dan hukum yang dijalankan
diantara kamu, oleh orang-orang yang berkuasa, yang menyalahi akan Al Qur’an.
Dia dibinasakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Barang siapa mencari ilmu yang lain
dari Al Qur’an, niscaya dia disesatkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Al Qur’an
itu, adalah tali Allah yang maha kokoh, Nur-Nya yang menerangkan, obat-Nya yang
bermanfaat, peliharalah bagi orang yang
berpegang dengan Dia dan kelepasan bagi orang yang mengikutinya. Tiada ia
bengkok maka Al Qur’an-lah yang meluruskan. Tiada yang menyeleweng maka Al
Qur’an-lah yang membetulkan. Tidak akan habis-habis keajaibannya dan tidak akan
diburukkan dia oleh banyak ulang-ulangan ... sampai akhir hadits” (Hadits ini
gharib dan isnadnya majhul)[23]. Satu hal lagi yang perlu memperoleh perhatian dan
penekanan dalam mencari kebenaran seperti sabda Nabi Muhammad SAW dalam Al-Hadits (shahih)
sebagai berikut: “Sataf riku ummati
salasan wasab’i nafir kotan, anna jiyatun minha wa hidah” yang artinya “Ummatku
akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan (firqah), sedangkan yang
selamat hanya satu golongan”. Kalau sudah demikian haruslah dicari
kebenaran itu sampai merasakan haqqul
yakin. Apabila perlu bergurulah mencari ilmu sampai ke negeri Cina. Allah SWT dalam Surat Ar Ra’ad, ayat 11 mengatakan: “Innalaaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa
yughayyiruu maa bianfusihim” yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah nasib mereka sendiri”
(Tidak akan Ku-ubah nasibmu sebelum engkau mengubah nasibmu sendiri !) Dan
usaha tersebut tidaklah sia-sia seperti firman Allah dalam QS. Al An’aam
: 132 “Wali kullin darajaatum mim maa
‘amiluu wa maa rabbuka bi ghaafilin ‘ammaa ya’maluun” yang artinya: “Dan
masing-masing orang memperoleh derajat menurut apa yang mereka kerjakan, dan
Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. Agama Islam
sesungguhnya tidak pernah memaksakan untuk mencari kebenaran itu seperti dalam QS. Al Baqarah : 256 “Laa ikraaha fid diini qad tabayyanar rusydu
minal ghayyi” yang artinya: “Tidak ada paksaan dalam agama (Islam),
karena sungguh telah jelas jalan yang
benar dari jalan yang salah”. Selama ini sikap hidup kaum muslimin memang
kurang memperhatikan terhadap apa yang disebut energi metafisika Islam sebagaimana di dalamnya terdapat akan
kebesaran dari kalimah-kalimah Allah
dalam Al Qur’an, yang diperkuat oleh Al Hadits, dan sesungguhnya Allah menyuruh manusia (kita) ini untuk
senantiasa terus menerus memperdalam dan merisetnya (.....yatafakkaruun ...yatafakkaruun...) sebagai tameng dan benteng dalam
kehidupan Dunia dan Akherat. Hal-hal yang seperti itu juga adalah harapan
dan sikap hidup dari kaum sufi, yang
intinya mengatakan bahwa tasawuf itu
ilmunya, tarekat itu metodologi
pengamalannya, i’tikaf (suluk) itu pelaksanaannya dan dzikrullah itu adalah isinya. Selama
ini, kebanyakan kaum muslimin, hanya tenggelam dalam mengupas, menganalisa
ayat-ayat Al Qur’an dan lain-lainnya
dari sudut ilmu Sosialnya saja. Belum meriset sampai pada unsur-unsur metafisik (ruhani) dan hanya sampai pada
persoalan fisik (jasmani) saja. Simak firman Allah SWT sebagai berikut: QS.
Al Hasyir: 21 “Lau anzalnaa haadzal
qur’aana ‘alaa jabalil laraaitahuu khaasyi’am mutashaddi’am min khasyyatil
laahi wa tilkal amtsaalu nadhribuhaa linnaasi la’allahum yatafakaruun” yang
artinya: “Andaikata Al Qur’an ini kami turunkan / kami letakkan di atas gunung /
bukit, niscaya engkau akan lihat bukit itu tunduk lagi belah / hancur berantakan,
karena takutnya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami jadikan
kepada manusia agar supaya mereka berfikir”. Menyimak
kandungan Al Qur’an tersebut,
tersimpan suatu kekuatan energi yang amat dahsyat. Jika salah mengartikannya
yakni dengan meletakkan satu buah kitab Al
Qur’an yang sehari-hari dapat dibaca atau sekalipun segudang banyaknya
diletakkan di atas bukit, bukanlah bukitnya yang akan hancur, tetapi justru
kitab yang diletakkan di atas bukit tersebut yang akan hancur berantakan. Jadi Al Qur’an mana yang dimaksudkan tersebut
? Jawaban yang masuk akal dan exact adalah melalui metafisika Islam, yakni mengambil perbadingan dengan ilmu electricity. Misalnya Edison pernah berkata kitabku ini
membuat gelap gulita menjadi terang benderang. Tentu yang dimaksud disini bukan
benda “buku” karangan Edison yang
karena bila diletakkan dalam gelap, buku tersebut akan hilang atau digelapkan
orang. Begitu pula apabila buku tersebut hanya dibaca dan dihafal saja tentu
tidak besar artinya. Tetapi bila metode yang diterapkan Edison dalam bukunya
untuk membangkitkan energi elektronika
dan kemudian disalurkan dengan bola-bola pijar lampu, maka akan terpijarlah
cahaya yang cemerlang penghalau kegelapan. Demikian pulalah tenaga energi metafisika yang tersimpan dalam Al Qur’an, jangankan bukit yang sebuah
benda mati akan hancur, bahkan dosa, syetanpun akan hancur, pendeknya apa saja
akan hancur dihantam energi yang terbit dari ayat-ayat suci Al Qur’anul Karim apabila disalurkan
dengan metode yang tepat dan benar, dalam hal ini Rasulullah bersabda: “Bismillaahi
laazii laa yadhuru ma’asmihi syaiun fil ardhi wa laa fissamaa-i” yang
artinya: “Dengan nama Allah yang tidak memberi mudharat apa-apa yang di bumi dan
di langit bagi yang beserta dengan nama-Nya” (HR. Tirmidzi).
Suatu ajakan kepada ummat Islam untuk bisa berfikir dan mempelajari serta memperoleh metafisika Islam. Metafisika Islam yang
dimaksud adalah berhubungan dengan tali ruhani Rasulullah SAW (unsur Muhammad) yang sambung menyambung hingga
akhir zaman, dengan menggunakan metode tarekatullah
(dzikrullah) dengan bimbingan para
Wali atau Guru-Mursyid yang
nyata-nyata telah memiliki tali silsilah
keguruan dengan guru-guru sebelumnya sampai kepada Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Rasulullah adalah utusan Allah.
Jelas disini bahwa yang mengutus dan yang diutus pasti ada kontak hubungan yang
tahkiq, dengan yang diutus inilah
kita berusaha bersatu menggabungkan ruhani melalui ahli Silsilah yang sambung menyambung bertalian dengan arwahul muqadasah Rasullullah supaya
sampai pada yang mengutus yaitu Allah SWT.
Pelaksanaannya atau pengamalannya adalah di dalam ranah ilmu tarekatullah tersebut, yang masuk pada
tingkatan (maqam) ikhsan. Status kedudukan manusia ketika hidup di
dunia adalah sebagai ‘addun’ (hamba /
abdi) dengan pengakuan dan kesadaran akan kehambaannya di hadapan Allah SWT seperti dalam QS. Adz
Dzaariyaat: 56 yang berbunyi “Wa maa
khalaqtul jinna wal insa illaa li ya’buduun” yang artinya “Dan
Aku tidak ciptakan jin dan manusia supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Sedangkan peranan manusia-manusia pilihan dalam hidup di dunia ini sebagai “khalifah fi al-ardl” (wakil Allah di bumi).
Kepemimpinan (Imamah) dalam Islam ada tujuh macam, yaitu disebut Khalifah, Malik, Wali, ‘Amir, Ra’in,
Sulthan, Rais, dan Ulil ‘amri. Imam
dan Khalifah adalah dua istilah yang ada dalam Al Qur’an untuk menunjuk pemimpin. Kata imam berasal dari amma-ya’ummu yang berarti menuju dan
meneladani. Kata khalifah berakar
dari kata khalafa yang berarti “di
belakang” sebagai pembantu pemimpin. Khalifah
juga berarti ”pengganti” karena yang menggantikan selalu berada dibelakang atau
datangnya sesudah ada yang digantikannya. Sikap kepemimpinan ini, ketika di depan adalah sebagai panutan, dan
ketika dibelakang menjadi pendorong, sekaligus mengikuti jejak, kehendak dan
arah yang ingin dituju ummat Islam dalam konsep Allah SWT. Pemimpin yang paling sholeh
mempunyai sifat nubuwwah (sifat para
Nabi) yaitu shiddiq, jujur dalam berucap dan bersikap dalam
kepemimpinannya. Lalu amanah, menjaga kepercayaan yang
diberikan. Kemudian fathonah, cerdas (intelektual, emosional dan spiritual), mampu
menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul seketika. Dan tabligh,
yaitu penyampaian ajaran agama yang benar dan bertanggungjawab serta bersifat
terbuka. Disamping sebagai orang yang paling bertaqwa (atqo) dan paling
kridibel (ashlah), dan tidak
semena-mena serta banyak berzikir,
kelak akan bertanggungjawab kepada Allah
SWT. QS. Al Baqarah : 30 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
Bumi”. Juga dalam QS. Fathir:
39 “Dia-lah
yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka Bumi”. Dan kepemimpinan Islam kriterianya dalam Al Qur’an: “Dan
sesungguhnya telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh
Mahfuzh, bahwasannya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang sholeh“ (QS. Al Ambiya’: 105). Jadi mandat diberikan kepada orang-orang sholeh untuk mengurusi dan memimpin
orang-orang beriman. Firman Allah QS. Al
Maidah : 55.: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah)” Pemimpin memang sangat diperlukan, Nabi
bersabda: ”Apabila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaklah mereka
mengangkat salah seorang dari mereka menjadi pemimpin” (HR. Abu Dawud). Firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 71 berbunyi: ”(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu)
Kami panggil setiap ummat dengan pemimpinnya”. Setiap kepemimpinan ummat akan dipanggil menurut
bendera-bendera dan siapa yang membawanya. Sabda Nabi SAW: ”Neraca itu diletakkan menurut
hitungan mereka yang masuk syurga. Adapun bendera “Ahmad” itu berada diatas
langit”. Rasulullah SAW ditanya
sahabat tentang bendera “Ahmad” tentang lebar dan panjangnya. Maka Nabi SAW menjawab: ”Panjangnya bendera itu
(kira-kira) perjalanan seribu tahun dan di bendera itu terdapat tulisan
“Laillahaillallah Muhammadarasulullah”, Sedang lebarnya bendera itu (kira-kira)
jarak antara langit dan bumi, Jarumnya itu dari yakut merah dan peganganya dari
perak putih dan zambrud hijau, bendera itu memiliki tiga ikatan bergaris dari
nur, satu ikatan bergaris berada di timur, yang lain berada di tengah - tengah
dunia, dan yang lain lagi berada di barat.
Dan dalam bendera itu terdapat tulisan tiga baris, Pertama tulisan ”
Bismillahirrahmannirrahim ” kedua “Alhamdulillahirrabilalamin” Dan ke tiga
tulisan “Laillahaillallah Muhammadarasulullah” panjangnya setiap baris itu
kira-kira perjalanan 1000 tahun dan didekat bendera itu terdapat bendera (lagi)
sebanyak 70.000 bendera, dibawah setiap bendera terdapat 70.000 baris (yang
terdiri) dari para malaikat, dan setiap baris itu terdapat 500.000 malaikat yang sama membaca
tasbih kepada Allah Ta’ala dan mensucikan kepada Allah Ta’ala. Al-Jurjaniy
berkata: Maknanya !, sabda Nabi SAW: ”Bahwa
bendera “Ahmad” itu berada ditanganku”. Sesungguhnya ketika terjadi kiamat,
maka bendera itu ditancapkan dihadapan Nabi SAW
sedangkan orang-orang mukmin itu berada
disekitar bendera, (mulai) dari Nabi Adam sampai ummat (yang mengalami
peristiwa) terjadinya hari kiamat........”. Dalam hadits diceritakan ketika terjadi kiamat, maka ditegakkan:
-
Bendera ”Kebenaran” untuk Abu Bakar ra. dan setiap orang yang benar dibawah bendera itu.
-
Bendera “Fukaha’ untuk Mu’adz bin Jabal ra. dan setiap orang ahli fikih berada dibawah
bendera itu.
-
Bendera “Zuhud” untuk Abi Darrin ra. dan setiap orang yang zuhud berada dibawah bendera
itu.
-
Bendera “Fakir” untuk Abi Darda ra. dan dan setiap orang fakir berada dibawah bendera
itu.
-
Bendera ”Dermawan’ untuk Usman ra. dan setiap orang dermawan berada dibawah bendera itu.
-
Bendera “Syuhada” untuk Ali ra. dan setiap orang yang mati syahid berada dibawah bendera itu.
-
Bendera “Qurra” (ahli baca Al Qur’an) untuk Ubaiy bin Ka’ab dan setiap Qarri berada
dibawah bendera itu.
-
Bendera “Muadzdzin” untuk Bilal ra dan setiap muadzdzin berada dibawah bendera itu.
-
Bendera “Orang yang dibunuh dengan aniaya” untuk
Husain ra dan setiap orang yang
dibunuh dengan aniaya berada dibawah bendera itu. [24]
Kini telah dimasyhurkan oleh manusia-manusia
yang beriman dan sholeh untuk mencari
atau menemukan “Khalifah-khalifah Allah”
atau “Khalifah-khalifah Rasul”
sebagai pembimbing ruhani dengan mencari “Wali-Mursyid
”atau “Guru Sejati”, yang pengajarannya membekas dan diteruskan kepada
murid-muridnya yang siddiq untuk
kemudian bertugas sebagai “Khalifah-khalifah
dari Gurunya” tersebut yang
bertebaran di atas Bumi (lihat QS. Al Baqarah: 30), untuk memperbaiki akhlaq dan membawa orang-orang bertaubat demi kebaikan ummat.
Syekh Mursyid atau Tuan-tuan Syekh dalam
lembaga tarekat yang dipimpin pada
umumnya menetapkan peraturan-peraturan dilingkungannya dengan pola ajaran dan
amal Islami, yang dilandasi jiwa ikhlas dan ukhuwah
Islamiyah seperti yang dicontohkan Al Mujtama’ul
Islam (masyarakat Islam di Madinah) pada masa Rasulullah, dimana penerapan dan pelaksanaan ditangani oleh Syekh Mursyid langsung dan dibantu para khalifahnya[25].
SAMBUTAN MENTERI AGAMA PERTEMUAN TAREKAT NAQSYABANDI SERUMPUN DI MEDAN 2003
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad, dari Jabir bahwa Rasulullah bersabda: “Pada akhir ummatku akan ada seorang khalifah yang melimpahkan harta selimpah-limpahnya dan ia sama sekali tidak akan menghitung-hitungnya” Lalu Iman Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:”Aku sampaikan kabar gembira kepada kalian dengan datangnya Al-Mahdi yang akan diutus (ketengah-tengah manusia) ketika manusia dilanda perselisihan dan kegoncangan-kegoncangan. Dia akan memenuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya bumi dipenuhi dengan penganiayaan dan kezaliman. Seluruh penduduk langit dan bumi menyukainya, dan dia akan membagi-bagikan kekayaan secara tepat (merata). Begitulah kondisinya waktu itu yang berlangsung selama tujuh, delapan, atau sembilan tahun. Kemudian tidak ada kebaikan lagi dalam kehidupan sesudah itu” Kemudian Ali r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Al-Mahdi itu dari golongan kami, Ahli Bait. Allah memperbaikinya dalam satu malam” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Hadits menyebutkan tanda kemunculan Al-Mahdi dimana Allah hendak menurunkan penolong dan pembebas yaitu ketika dunia dipenuhi kezaliman, penganiayaan, penipuan dan konspirasi sistematis menghancurkan agama Allah, yang kemudian akan menggantinya dengan kejujuran, keadilan dan kesejahteraan. Dalam hadits disebutkan diri Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda: “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tiupan ‘sanawaatun khaddaa ‘aatu’, dimana akan dibenarkan padanya orang yang berdusta, dan akan didustakan orang yang benar. Akan dipercaya orang yang berkhianat, dan akan dituduh berkhianat orang yang terpercaya. Serta akan bertutur padanya Ruwaibidhah. Maka, ada yang bodoh dan hina ditugaskan menangani kepentingan kepentingan umum” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Hakim). Dalam hadits juga dikatakan bahwa Rasulullah bersabda:” Akan berperang tiga orang di sisi perbendaharaanmu. Mereka semua adalah putra khalifah. Tetapi, tak seorangpun diantara mereka yang berhasil menguasainya. Kemudian muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lantas mereka memerangi kamu dengan suatu peperangan yang belum pernah dialami oleh kaum sebelummu”. Beliau Rasul SAW bersabda: “Maka jika kamu melihatnya, berbaitlah walaupun dengan merangkak di atas salju, karena dia adalah khalifah Allah, Al-Mahdi”.[26]
Menghindari ‘bala’ dan menghadapi cobaan dari
Allah, terutama di zaman memuncaknya
teknologi modern dewasa ini di era globalisasi dan komunikasi yang begitu
canggih, seperti bala bencana alam (tsunami, gempa, longsor, banjir
bandang, galado, letusan gunung
berapi, lumpur panas, angin puyuh atau angin puting-beliung, dan lain-lain.
Juga untuk menghindari bencana dari
perbuatan manusia itu sendiri, yaitu
mereka yang ingin menang atau benar sendiri atau ingin menguasai orang lain
dan menguasai alam secara berlebihan sehingga menimbulkan adanya bencana,
huru-hara, pertentangan ras dan golongan, teror dan penindasan terhadap
kelompok tertentu, perbedaan kepentingan sosial-budaya-politik-ekonomi,
tindakan untuk memerangi orang lain yang
tak sejalan, memadamkan api peperangan, penjajahan dan sebagainya yang banyak
merugikan dan meresahkan.
Disamping itu juga untuk menghadapi berbagai musibah dan penyakit (jasmani dan ruhani) seperti: penyakit hati,
penyakit masyarakat, dendam-kesumat, antrax,
kanker, sars, HIV / AIDS, flu-Burung, flu-Babi dan lain-lainnya. Bencana yang terjadi secara beruntun yang
marak belakangan ini di akhir kurun 15 Hijriah,
ternyata begitu amat dahsyatnya sebagai peringatan dan ujian Allah
SWT.
Dengan banyaknya kejadian dan bencana yang telah pula memperingatkan manusia, bahwa
dalam rangka menghadapi bala bencana di akhir kurun 15 yang sangat luar biasa,
dan agar bisa terhindar dari bala
bencana dan huru-hara tersebut adalah dengan :
o meningkatkan
(intensifkan) wirid (dzikir) bersama atau sendiri-sendiri,
o meluangkan waktu
untuk bisa melakukan I’tikaf, dan
o melazimkan untuk
ber-ubudiyah dalam proyek Rasulullah.
Peringatan tersebut berupa bencana datang secara
bertubi-tubi, tiba-tiba melanda Indonesia dan dunia, atau terjadi di banyak
tempat, terbukti benar telah meluluh-lantakkan Aceh (2004), Yogya, Riau, Padang
dan Jambi, Tasikmalaya, Lapindo–Sidoarjo, Situ-gintung, Haiti (2010) dan
tempat-tempat di dunia serta Nusantara lainnya.
[3] S.M.N. Al-Attas, Preliminary Statement On a General
Theory of the Islamization of Malay-Indonesian Archipelago, Kuala Lumpur, 1969
Indonesia dan Islamic Spirituality, Manisfestations,
English, 1997
[8] Ruwaifi’ bin
Sulaimi, Lc . At Tashawwuf Al Mansya’ Wal
Mashadir, hal. 28.
[12] Charless hal xxi hal l8
[13] Mu’adz, Muhammad Arkoun Anggitan tentang cara-cara tafsir
al-Qur’an, Jurnal Salam
vol .3 No. 1/2000 hal 100-111; Abd. Rahman al-Zunaidi: 180; Willian M Watt:
143).
[15] Adiyan Husaini dalam makalah Islam Liberal dan misinya menukil dari Greg Barton, Sabili
no. 15: 88
[18] Greg Bertan, Gagasan
Islam Liberal di Indonesia, Pustaka Antara Paramadina 1999: XXI
[19] Wan-Nashraniyyah, Risalatut-Tauhid,
hal. 59
[20] Hasan At-Turaby ,Tajdidul-Fikri-Islamy, hal. 26,
Sudan.
[21] Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Atsary –
hafidhahullah , Muslim Rasionalis(Aqlaniyyun)
[22] Imam Al
Ghazali, Terjemahan Sunarto, Al
Munqidz Minad1dlalaal (Penyelamat
Kesesatan), Bintang Pelajar, 1986, hal.6
[23] Prof. Tk. H. Ismail Jakub, SH, MA, terjm, Ihya’-Al
Ghazali, Jilid II, CV. Faizan, Jakarta, 1989, hal.148-149
[24] Syekh Imam
Abdurrahman bin Ahmad Al Qodli, Daqoiqul Akbar: Detik-detik Berita Dari Surga dan Neraka, Terjemahan: Fuad Kauma,
PN, Karya Toha Putra, Semarang, 1993, hal 83-84
[25] Prof.Dr.KH.Djama’an
Nur, Tasawuf
dan Tarekat Naqsyabandiyah Pimpinan
Prof. DR .H. SS Kadirun Yahya, USU
Press, Medan, 2004, hal. 133 dan 225
[26] Sunan Ibnu Majah, Kitabul
Fitan –Bab Khurujil Mahdi 2: 1467
goesmul@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar