SHOLAT BERDIMENSI METAFISIK
BERBUAH AKHLAQ
oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni: goesmul.blogspot.com
goesmul@gmail.com
Barangkali sudah
tiada terhitung jumlah kajian orang tentang sholat
beserta segala aspeknya dan hal-hal lain yang mungkin terkait, baik langsung
maupun tidak langsung dengan perintah sholat.
Wajarlah jika banyak orang yang berupaya untuk mengupas sholat sampai kepada sedetil-detilnya dan yang paling inti, bahkan
menurut penulis wajib bagi ummat Islam untuk mensigi sholat tidak hanya puas sampai di kulitnya saja, tetapi berusaha
menukik jauh sampai kepada rahasia di bagian dalam dari sholat itu. Mengingat betapa pentingnya masalah ini untuk diketahui
ummat Islam sehingga proses aplikasi dan makna sholat yang haq menurut Allah dalam Al-qur’an dan yang benar menurut Rosulullah dalam Hadist sebagaimana
yang dicontohkan serta diteruskan oleh para sahabat dan ulama pewarisnya
sehingga dapat diamalkan dan dinikmati secara utuh oleh kita semua. Sholat yang berdimensi metafisik dan khusuk akan berbuah akhlaq yang baik, adalah
suatu perbuatan yang dilakukan berulang kali sehingga menjadi adat kebiasaan
yang luhur dengan suatu kesadaran dan bukan tanpa kesengajaan atau karena
paksaan. Kesadaran tersebut terbit dari dalam diri atau dari jiwa-batinnya
(ruhani) yang diikuti oleh badan-jasmaninya (fisiknya). Sumber akhlaq yang Islami (adab) bisa dari
nilai-nilai keagamaan itu sendiri yaitu Iman,
Islam dan Ihsan. Akhlaq juga
merupakan “buah” dari pada pelaksanaan ilmu amaliyah
dan nilai ibadah. Orang yang telah
menjalankan Islam secara lengkap (kaffah),
tentu akan tercermin dan terpancar dari akhlaq
yang baik dalam segala tingkah laku dan perbuatannya. Ibarat seperti buah yang
penampilannya akan mengundang selera atau bentuk yang ranum, bersih, segar dan
cerah, tentu saja kulit penampilan luarnya itu akan atau dapat menggambarkan
“rasa” dari isi buah tersebut.
Sholat Sebuah Sistem Metafisik
Sholat lima waktu hukumnya wajib (fardhu ‘Ain) untuk dikerjakan bagi ummat
muslim. Firman Allah SWT yang
menunjukkan hal tersebut QS. Hud ayat
114 berbunyi: “Dan dirikanlah sholat pada kedua tepi siang dan sebagian dari malam”.
Yang dimaksud dengan dua tepi siang adalah subuh, dhuhur dan ‘ashar. Sedang
maksud sebagian dari malam adalah maghrib dan isya’. Dalam QS. Al Isro’ ayat 78 diterangkan: “Dirikanlah
sholat pada waktu tergelincir matahari sampai gelap malam, dan dirikanlah
sholat subuh, sesungguhnya sholat subuh disaksikan”. Diperkuat sebuah hadits :Jabir ra. pernah ditanya tentang
waktu-waktu sholat yang biasa
dikerjakan oleh Nabi SAW. Kemudian ia
menerangkan, ”Nabi SAW selalu mengerjakan sholat dhuhur ketika matahari sedang
terik-teriknya, sholat ashar tatkala matahari masih cerah, sholat maghrib jika
matahari mulai terbenam. Sholat isya’ apabila orang telah banyak (berkumpul)
beliau menyegerakannya, sebaliknya jika masih sedikit beliau mengakhirkannya.
Dan sholat subuh pada waktu cuaca masih gelap” (HR. Ahli Hadits, kecuali
Tirmidzi). Dalam hadits juga
dijelaskan: Muhammad Rasulullah SAW:
“Ceritakanlah kepadaku seandainya ada
sebuah sungai membentang di depan rumah seseorang di antara kalian. Lalu ia
mandi di sungai itu setiap hari sebanyak lima kali. Apakah masih tersisa suatu
kotoran yang melekat pada tubuhnya ? Para sahabat menjawab, “Tentu, tiada suatu kotoran pun yang tersisa
pada tubuhnya” Rasulullah SAW bersabda , “Demikian perumpamaan sholat lima
waktu. Allah menghapus kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) dengan sholat lima waktu
itu” (HR.Lima Ahli Hadits,
kecuali Abu Dawud). Kebenaran tentang
sholat dapat menghapus dosa dalam hadits berikut: Muhammad Rasulullah SAW bersabda: “Tiada
seorang muslim pun yang memasuki waktu sholat fardhu, lalu ia mengerjakan
wudhu, lantas sholat dengan khusyuk dan ruku’ dengan baik, kecuali hal itu
merupakan penghapus dosa-dosanya selama ia tidak mengerjakan dosa besar. Hal
itu berlaku sepanjang masa” (HR.
Muslim). Dalam QS. Al Baqarah
ayat 153 disebutkan: “Hai sekalian orang-orang yang beriman,
mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat”. Ternyata
demikian pentingnya kita selaku muslim untuk mengerjakan sholat, disamping karena perintah Allah SWT, supaya lebih afdhol juga mengerti tujuan dan maksudnya.
Apapun yang difirmankan Allah dalam kitabnya yaitu Al
Qur’an, memiliki rumus yang absolut
kebenarannya. Kalau Allah berjanji,
janji itu pasti ditepati. Jika kita tidak dapat menjuluk janji Allah itu, bukan berarti Allah yang bohong, tetapi metode yang kita pakai yang keliru, maka
kita wajib me-riset ulang apa-apa
yang kita gunakan, agar iman kita tidak menjadi lemah karena kegagalan dan
kebodohan kita sendiri. Jika Allah memberikan
peringatan yang berupa ancaman, maka berhati-hatilah, jangan coba-coba
mendekat, jarak kita dengan murka Allah
amatlah rapat, tipis, dan halus.
Allah ber-firman “innas sholaata tanha
anil fahsyaai wal mungkar” yang artinya kurang lebih demikian: “sesungguhnya
sholat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar“, secara
lengkapnya firman tersebut adalah QS.
Ankabuut: 45 “Utlu ma uuhiya ilaika
minal kitaabi wa aqimish shalaata innas shalaata tanhaa ‘anil fahsyaa-i wal
munkari wa la dzikrullaahi akbaru wallaahu ya’lamu maa tansna’uun”, artinya:
“Bacalah
apa yang diwahyukan kepadamu dari kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat,
sesungguhnya shalat itu mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar dan
sungguh mengingat Allah adalah lebih besar (manfaatnya) dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.
Hanya dengan sholat kata Allah kita dapat menjauhi dan dijauhi oleh perbuatan keji dan
mungkar. Begitulah rahmat Allah dalam
sholat yang dilaksanakan dengan benar
akan memancarkan kekuatan luar biasa, bergerak ke luar dan ke dalam diri,
memandulkan nafsu kemungkaran dan kekejian dalam diri. Dalam Al-Qur’an surat Yusuf dikatakan bahwa
nafsu pada dasarnya mendorong kepada keburukan. Dan dengan dzikir dapat mengkapsulkan diri dari teror kekejian dan kemungkaran
dari luar.
Sebagai hamba yang
diciptakan Allah dalam bentuk yang
paling baik, dengan kelebihan akal yang dianugrahkan, terbuka kemungkinan besar
mencuatnya pertanyaan “kritis” dari otak kita. Bagaimana bisa suatu aktivitas
yang sepintas terkesan sangat sederhana dapat memberi manfaat yang begitu besar
?
Di dalam surat Al-Maa’uun ayat 4 - 5, Allah
SWT berfirman “Fa wailul lil
mushalliin. Alladziina hum ‘an shalaatihim saahuun”, artinya: “Maka
Neraka wail-lah (celakalah) bagi orang-orang yang shalat (dan seluruh
ibadatnya) karena (hatinya) lalai ( daripada mengingat Allah!) dalam shalat-nya”. Ayat tersebut di atas Allah telah menyatakan bahwa orang yang shalat pasti mendapat rahmat, yakni “ tanha anil fahsyaa’i wal mungkar “ walau kita belum dapat
memecahkan bagaimana peristiwa itu bisa terjadi. Namun dalam surat Al-Maa’uun ayat 4 -5 tersebut, tampil
pernyataan Allah yang cukup
mengejutkan: “Maka celakalah bagi orang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai
(mengingat Allah) dalam shalatnya”. Ultimatum keras dari Allah, bahwa sesungguhnya neraka
wail juga diberikan bagi orang yang shalat,
yakni orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Jika orang yang shalat diancam api neraka, lalu shalat yang bagaimana yang dikehendaki
oleh Allah ? Jawabnya dalam firman Allah SWT dalam QS. Al
Mu’minuun ayat 1 – 2 : “Qad aflahal
mukminuuuna alladziina hum fii
shalaatihim khaasyi’uun”, artinya: “Sesungguhnya mendapat kemenangan orang-orang
mukmin yang berhati khusuk dalam shalatnya”. Dalam surat Al Mu’minun jelas Allah menyatakan dengan tegas bahwa hanya orang-orang yang berhati khusuk dalam shalatnya yang bakal mendapat kemenangan dan terlepas dari ancaman Allah yaitu neraka “wail”. Maka “Alhakku min robbika, walaatakuunanna minal
mumtarin” , artinya: “ yakni kebenaran itu dari Tuhanmu, maka
janganlah kamu termasuk golongan orang-orang yang ragu”. Demikian Allah memotivasi orang-orang yang
beriman agar tidak ragu dan tidak setengah-setengah menjalankan perintah Allah. Jika Allah telah menetapkan suatu perkara, maka tidak ada lagi kompromi
sebagaimana layaknya bila manusia mengambil keputusan. Allah telah menetapkan bahwa hanya shalat orang-orang yang khusuk
yang diterima Allah, bukan yang lain.
Sedangkan pengertian khusuk bagi
kebanyakan orang bermacam-macam jawabannya dan menurut perkiraan-perkiraan
mereka saja. Ada yang berpendapat shalat
khusuk itu shalat dengan tenang dan mengosongkan pikiran, ada yang mengatakan
harus melihat tempat sujudnya (entah apa yang dibayangkan ?), ada yang berusaha
menciptakan suatu kondisi yang hikmat dan berkonsentrasi pada satu titik, juga
ada yang memperhalus bacaan dan ada pula menciptakan hukum rukun dan syah-nya shalat, sehingga banyaklah buku karangan
yang membahas permasalahan tersebut. Titik pusat konsentrasi dalam shalat pada setiap orang apakah sama
atau berbeda ? Mari kita tanya diri kita masing-masing, apakah konsentrasi
dalam shalat itu yang bagaimana ?
Sungguh celaka apabila itu inisiatif kita sendiri untuk menentukan khusuk dan tidaknya shalat dan tanpa “bimbingan” atau “petunjuk” ruhani dari para
ahli dzikir
yaitu
Guru-Mursyid (Waliyan Mursyida dalam
QS.Al Kaffi :17). Maka selanjutnya
bertanyalah pada ahlinya seperti firman Allah
dalam QS. An Nahl: 43 “Fas aluu ahladz dzikri in kuntum laa ta’lamuun”, artinya: “Maka
bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahuinya”.
Dari illustrasi
singkat yang telah dikemukakan di atas, terdapat beberapa masalah yang
samar-samar menyelinap ke dalam otak kita.
Shalat yang umumnya kita lakukan, kalau diamati betul tidak semudah seperti
yang diperkirakan. Logikanya, apapun yang terjadi, shalat yang dikehendaki oleh Allah
tetaplah shalat yang khusuk. Ketentuan ini tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Dapatkah kemudian kita mencoba untuk menginterprestasikan shalat yang dikehendaki Allah
itu hanya dengan pengertian suatu ibadah yang diawali dengan “takbir” dan diakhiri dengan “salam” saja !? Apakah shalat yang demikian yang dapat
mengantarkan kita kepada shalat yang
dikehendaki Allah ? Apakah shalat yang hendak kita tegakkan itu
apabila syarat dan rukunnya telah dipenuhi kita tinggal hanya berpasrah diri
saja kepada Allah ?! Tidakkah
masing-masing kita sadar bahwa dalam melakukan shalat keinginan kita adalah “menuju” atau “menghadap” atau
“berhubungan” dengan Allah ?! Tetapi
kenyataannya masing-masing diri kita umumnya mempunyai pengalaman yang
berbeda-beda. Dalam shalat bukan Allah yang hadir bersama kita, terkadang
yang mewarnai shalat kita adalah uang
atau hutang kita, pekerjaan kita, keluarga kita, wanita / pria idaman kita,
kehidupan kita ataupun banyak lagi bayang-bayang lain yang pernah mewarnai
suatu peristiwa yang pernah dialami atau yang belum pernah dialami yang muncul
dalam pikiran kita saat melaksanakan shalat
itu.
Coba kita flas back; mengenang kembali bagaimana shalat kita yang telah lalu. Ternyata
tidak sesederhana itu. Kita tidak cukup hanya mengandalkan kesempurnakan syarat
dan rukun shalat saja. Ketika kita
mendirikan shalat diakui atau tidak
pasti terjadi konfrontasi spiritual
dalam diri. Iblis dan antek-anteknya
ternyata jelas berambisi dan mereka mendapat rekomendasi pula dari Allah
untuk “menggoda” anak (keturunan) Adam, mereka tidak akan tinggal diam melihat
kita hendak memenuhi perintah Allah.
Maka terjadillah peperangan dalam batin kita saat kita shalat. Kita berusaha konsentrasi penuh, sementara Setan berupaya keras untuk menggiring hati
kita ke dalam lingkaran yang diciptakannya, sehingga konsentrasi shalat kita kacau balau. Bisa jadi shalat yang telah kita penuhi syarat dan
rukunnya itu akhirnya tak sampai kepada sasarannya. Sehingga Rasulullah telah memberi pelajaran
kepada kita dalam panggilan berkumandangnya adzan
“Hayya ‘alas shalaaah.....” yang
artinya “marilah shalat....” dan “ Hayya ‘alall falaah....” yang artinya
“marilah menang.....” dengan jawaban “laa
hawlaa walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil azhiim” yang artinya “tiada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan
kekuatan Allah SWT yang Maha tinggi”.
Sekilas pandang,
ibadah shalat pada umumnya yang
ternyata dalam aktivitasnya didominasi oleh faktor fisik (jasmani) seperti yang
terlihat yaitu berdiri, mengangkat tangan (takbir),
menekuk badan (ruku’), duduk (tahiyat),
bersujud, salam dan sebagainya.
Kendatipun demikian Allah memberikan
keringanan bagi orang yang lemah fisiknya atau sakit misalnya dengan shalat berbaring dengan menggerakkan
(isyarat) mata sebagai pengganti gerakan anggota badan dan alternatif terakhir
adalah menggerakkan hati untuk melaksanakan aktivitas shalat. Sesungguhnya aktivitas shalat
tidak hanya bersifat fisik
(jasmani) tetapi juga bersifat metafisik (
ruhani ). Berikut simak QS. Al A’laa:14
– 15 yang berbunyi “Qad
aflaha man tazakkaa. Wadzakaras
marrabbihii fashallaa”, artinya: “Sungguh beruntung orang yang mensucikan
dirinya. Dan dzikirlah akan Allah, lalu tegakkan shalat”. Juga Allah berfirman dalam QS. Ankabuut: 45 “Utlu ma uuhiya ilaika minal kitaabi wa
aqimish shalaata innas shalaata tanhaa ‘anil fahsyaa-i wal munkari wa la
dzikrullaahi akbaru wallaahu ya’lamu maa tansna’uun”, artinya: “Bacalah
apa yang diwahyukan kepadamu dari kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat,
sesungguhnya shalat itu mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar dan
sungguh mengingat Allah adalah lebih besar (manfaatnya) dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. Dalam hadits:
“Nabi
Muhammad bersabda, bahwa diantara sekian banyak bentuk pengabdian atau
peribadatan ummat manusia kepada Allah, maka “shalat” adalah yang pertama
dinilai oleh-Nya, apabila shalatnya seseorang itu baik (sholaha) benar sesuai
dengan rukun dan syaratnya, maka semua amal ibadah yang lain dinilai baik.
Sebaliknya bila shalatnya rusak (tidak sholaha) dan tidak memenuhi syarat rukun
lahir serta batinnya, maka semua amal ibadahnya rusak / ditolak” (HR. Turmudzi).
Kini
tergantung pada upaya diri masing-masing. Apakah ada keinginan mendirikan shalat sebagaimana yang diamalkan Rasulullah dan para sahabatnya. Yang
pasti di dalam Islam tidak ada paksaan.
Berkenaan dengan pedoman dalam mendirikan shalat
secara fisik atau jasmaniah sudah cukup diketahui sejak dari SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi pada umumnya serta
yang terdapat dalam kitab Fiqih
bersifat baku. Kini hanyalah tinggal menambahkan aspek ruhani (metafisik) saja, yaitu dengan pembimbing
ahli dzikir. Karena ingin agar lebih
jelas, maka seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Apa
shalat itu ya Rasulullah ?” Rasulullah
menjawab: ”Assolaatu mi’roojul mu’miniin”, artinya: “Shalat itu mi’raj-nya orang
mukmin”.
Dari hadits seperti yang tersebut di atas
kita sama-sama tahu bahwa sholat yang
berkorespodansi dengan kehadiran hati
menempati kedudukan yang paling tinggi dalam beribadah kepada Allah, yang berarti pula bahwa baik
buruknya seeorang dalam melakukan sholat
adalah cermin dari kualitas ibadah seseorang dan berarti pula cermin dari
perilaku pribadi serta kualitas jiwa dari seseorang. Secara lahiriah sholat sebenarnnya merupakan pekerjaan
yang sangat mudah, karena tiap-tiap orang akan dapat melaksanakan, asal orang
tersebut mau melakukannya, bahkan seorang non-Islam pun dapat pula melakukan sholat seperti yang dilakukan orang mukmin. Kemudian jika kita bertanya:
Apakah sama sholat yang dilakukan
orang non-Islam tadi dengan sholatnya
seorang mukmin ? Jelas dengan tegas
kita akan menjawab serentak “tidak sama”. Lalu apakah setiap sholat yang didirikan akan selalu
berdampak positif, yakni dapat menangkal perbuatan yang “keji” dan “mungkar”
bagi tiap pelakunya ? Tidak setiap orang sudah sholat dapat terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar. Coba
saja kita lihat disekitar kita berapa puluh juta orang yang sudah menjalankan
perintah sholat. Dan berapa puluh
juta pula yang masih mau melakukan penyelewengan, kemaksiatan, korupsi,
kejahatan dan sebagainya.
Kenyataan-kenyataan inilah yang
sebernarnya menjadi pokok bahasan dan sekaligus harus terjawab dalam pembahasan
ini, yaitu mendudukkan sholat pada porsi yang sebenar-benarnya, agar dari
padanya tersalur nur atau terpancar energi yang maha dahsyat terbit dari
salurannya yang datang dari sisi Allah
SWT. Seperti sholatnya Rasulullah Muhammad SAW yang menimbulkan dampak rahmatin
lil allamin, serta sanggup memporak porandakan huru - hara dan tipu - daya syaitan yang selalu mengintai akan
kelengahan hati kita dari mengingat akan Allah.
Agar sholat yang dirikan benar-benar
menggores kesan yang mendalam dalam hati sanubari, sehingga dapat memupuk
kesucian hati dan jiwa agar tidak terdinding dari pada-Nya, serta selalu dalam
lindungan dan keridhoan-Nya.
Tentang perihal sholat, ruh sholat dan khusuk, sebelum melangkah pada bahasan lebih
lanjut, marilah tinjau sejenak mengenai perihal sholat itu sendiri, hal ini dimaksudkan untuk menyatukan pengertian
tentang sholat yang menjadi tolak
ukur untuk pembahasan selanjutnya. Ahli-ahli ilmu agama mengemukakan ta’rif sholat sebagai berikut:
a. Menurut Bentuk, Sifat dan Kaifiyat-nya, “Aqwaalun wa af’aalun muftahatun bittakbiiri
mukhtatamatun bittastiimi yuta abbdu bihaa bisyaraaitha makhshuushah”, artinya: “Sholat
itu adalah perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir disudahi dengan
salam, dengan cara mana Tuhan disembah menurut syarat-syarat tertentu”.
b. Menurut Hakekat-nya, “Tawajjuhul qolbi ilallaahi ‘alaa wajhin yajlibulkhaufa
ilaihi subhaanahu wa yab atsu fiihi jalaala azhamatihi wa kamaala qudratihi”, artinya: “Sholat
itu ialah menghadapkan hati (jiwa) kepada Allah, menurut cara yang mendatangkan
takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala serta membangkitkan kedalam hati rasa
kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya”.
c. Menurut Ruh-Nya, “Ruuhush shalaati: Attawajjuhu ilallaahi bilqolbi
wal khusyuu’ baina yadaihi wal ihhlaashu lahu ma’a hudluuril qolbi
fidzdzikkri waddu’aa iwatstsanaa-i”, artinya: “Ruh sholat itu menghadap Allah dengan
sepenuh jiwa dan khusyuk dihadapan-Nya serta ikhlas kepada-Nya disertai
dengan kehadiran hati dalam dzikir, berdo’a dan memuji”.
Tentang ruh sholat, pada hakekatnya manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu
jasmani dan ruhani, fisik dan metafisik,
maka sholat itupun terdiri dari dua
unsur pula, yaitu unsur fisik dan unsur metafisik.
Unsur fisik adalah unsur yang konkrit dan nyata yakni kaifiyat sholat itu sendiri, sedangkan yang metafisik adalah unsur yang abstrak
(tidak tampak) yakni ruhani,
yakni ada dan menentukan hidup matinya sholat
yang didirikan. Seperti halnya manusia, bagaimanapun kuat dan gagahnya atau
cantiknya, tetapi bila nyawa tidak
ada lagi bersemayam didalamnya maka tidak ada lagi orang tersebut tinggal
berlama-lama di Dunia ini. Segala bentuk yang dimiliki tidak lagi memberikan
manfaat bagi dirinya, bahkan justru bisa menyebabkan penyakit bagi orang lain.
Demikian pula dengan sholat,
bagaimanapun bagusnya dan sempurnanya kaifiyat
sholat itu dikerjakan secara lahiriah, tetapi ruhnya (ruhani) kosong dan hampa, maka sholat yang demikian itu dianggap tidak mempunyai ruh (nyawa) atau
“mati”, serta tidak mendatangkan manfaat dan tidak meninggalkan kesan mendalam
serta berpengaruh terhadap prilaku orang yang melakukan. Allah SWT dalam QS. Thaahaa:
14 berbunyi “Innanii anallahu laa ilaaha ilaa ana fa’ budnii wa aqimish shalaata
li dzikrii”, artinya: “Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”. Rasulullah SAW bersabda dalam beberapa hadits antara lain yang artinya: “Allah tidak menerima sholat
(seseorang) tanpa ber-suci, dan tidak menerima sedekah dari hasil kejahatan,
yakni hasil mencuri, pungli, korupsi, dan sebagainya“ (HR. Muslim).
Dan: “Banyak sekali orang yang mendirikan sholat, tetapi tidak ada bagian
yang diperoleh dari sholatnya itu melainkan lelah dan payah semata-mata”
(Diriwayatkan oleh Nasa-i dan Ibnu Majah). Juga yang artinya: “Barang siapa yang sholatnya itu
tidak dapat mencegah dari kejahatan serta kemungkaran, maka ia tidaklah
bertambah dari Allah melainkan hanya jauhnya saja” (Diriwayatkan oleh Thabrani).
Ayat dan hadits di atas telah mengisyaratkan dengan jelas, bahwa pada ibadah
sholat selain kaifiyat masih ada sesuatu yang tak tampak, secara metafisik (ruhani) yang justru
berperanan dalam eksistensi daripada sholat itu sendiri, sebagai motor
penggerak agar sholat itu “hidup” dan
dapat menjadi media komunikasi dua arah antara hamba dengan Allah SWT.
Khusyuk
Mengenai masalah khusuk, cukup banyak
ahli tafsir yang memberikan uraian tentang “khusyuk”.
Untuk memahami bagaimana sebenarnya khusyu’
itu, maka akan diambil beberapa uraian dari para ahli tafsir sebagai berikut:
1. Ali Bin Abi Thalib: sahabat Rasul serta khalifah yang
ke – 4 yang terkenal dengan “Bahrul
‘Ilmi” (lautan ilmu) menerangkan: “Alkhusyu’u
khusyu’ul Qolbi “ (khusyu’ itu adalah khusyu’ hati),
yang tempatnya di dalam hati atau qalbu,
dan yang harus khusyu’ adalah hati
itu sendiri.
2. Asysyahhid Sayid Quthub: Ahli tafsir abad XX ini dalam tafsirnya
Fizhilalil
Qur’an menguraikan: “Alladzina
hum fi shalithim khasyi’un” adalah hati mereka yang sholat itu merasa gentar dan takut dihadapan Allah, maka tenanglah dia dan khusyu’
lantas menjalar kekhusyu’an yang
terdapat di hati itu kepada anggota badan, tercermin pada paras muka dan tampak
pada gerak-geriknya. Ruh mereka diliputi ke Maha Besaran Allah SWT di hadapannya. Mereka tenggelam dalam perasaan dan
kesadaran dengan Tuhan, menghabiskan waktu dengan munajat dengan Allah SWT
dan menjauh dari alam sadarnya dalam menghadap yang ‘suci’ itu dengan segala
yang ada disekelilingnya dan semua yang ada pada dirinya. Maka tidaklah ia
menyaksikan sesuatu melainkan akan Tuhan-Nya dan makna ke-Tuhanan-Nya.
Apabila diteliti
letak perbedaan antara sholat yang “shalaha” dengan yang “fasada”, Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada kita dalam firman-Nya: QS. Al Mu’minuun 1 - 2: “Qad
aflahal mu’minuun. Alladziina hum fii shalaatihim khaasyi’uun”, artinya: “Sesungguhnya
mendapat kemenangan orang-orang mukmin yang berhati khusyuk dalam sholatnya”. Sesungguhnya inilah ciri sholat yang sholaha, hati
yang khusyuk yang harus dipenuhi
dalam sholat dan dalam ber-munajat kepada Allah, yang menghantarkan kita kehadirat-Nya. Sebaliknya Allah mengancam dengan neraka
wail kepada orang yang lalai / rusak / fasad dalam sholatnya,
seperti dalam QS. Al Maa’uun 4 - 5 “Fa
wailul lil mushalliin alladziina hum ‘an
shalaatihim saahuun”, artinya: “Maka Neraka wail-lah (celakalah) bagi
orang-orang yang shalat (dan seluruh ibadatnya) karena (hatinya) lalai (
daripada mengingat Allah!) dalam shalat-nya”. Berikut firman Allah dalam QS. Al Mu’minuun: 1-2: “ Qad
aflahal mu’minuun. Alladziina hum fii shalaatihim khaasyi’uun “, artinya: “Sesungguhnya
mendapat kebahagiaan orang-orang mukmin yang berhati khusuk dalam shalatnya”.
Dari firman Allah SWT diperoleh hukum yang paten
bahwa sebenarnya shalat itu dapat
menghindarkan dari kejahatan dan kemungkaran. Kendalanya adalah bagaimana shalat itu sebagai resep yang manjur
untuk meningkatkan kualitas diri. Untuk mendapatkan jawabannya, mari kita
tinjau kembali proses perjalanan Nabi Muhammad SAW saat menerima perintah shalat
tersebut. Ketika itu beliau berusia 52 tahun. Allah mengutus Malaikat
Jibril dengan membawa Buroq atau Al Kilat
(kendaraan dengan kecepatan tak terhingga) untuk menjemput Nabi Muhammad
SAW menghadap kehadirat-Nya menerima
perintah shalat (peristiwa Isro’ Mi’raj). Perintah shalat ini begitu tinggi nilainya, Nabi
Muhammad SAW diperintahkan langsung
menghadap baik secara fisik maupun secara metafisik.
Kita semua tahu bahwa Allah SWT
adalah Dzat yang “Maha Suci”, oleh karenanya Dia tidak
mungkin didekati dengan hal apapun yang kotor. Untuk itulah, sebelum melakukan Isro’
Mi’raj (suatu malam, tgl. 27 Rajab),
terlebih dahulu beliau mengalami pembedahan dada dan ‘hati’ dari segala
unsur-unsur yang kotor (pembersihan) sampai benar-benar hati beliau ‘suci’
sebagaimana asalnya Allah meniupkan ruh pada manusia. Kemudian Jibril membubuhkan cap kenabian pada pundak Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan suci,
bersih murni inilah barulah Nabi melakukan Mi’raj-nya
ke hadirat Allah mengendarai Buroq
(menurut riwayat Said bin Musayyit, Buroq
adalah kendaraan Nabi Ibrahim, sedangkan menurut ahli tafsir modern. Buroq berasal dari kata ‘Barqun’ yang artinya ‘kilat’) untuk
menerima perintah shalat lima waktu.
Tidak diragukan
lagi, bahwa isra’ dan mi’raj merupakan tanda kekuasaan Allah yang menunjukkan atas kebenaran kerasulan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam, dan keagungan kedudukannya di sisi Tuhannya, selain juga
membuktikan atas keagungan Allah dan
kebesaran kekuasaan-Nya atas semua makhluk. Firman Allah subhaanahu wa ta’ala : “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah
kami berkahi sekelilingnya, agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda
tanda (kebesaran) kami, sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat” ( QS. Al Isra’: 1).
Diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bahwasanya Allah telah menaikkannya
ke langit, dan pintu pintu langit itu terbuka untuknya, hingga beliau sampai ke
langit yang ketujuh, kemudian beliau diajak bicara oleh Allah serta diwajibkan sholat
lima waktu, yang semula diwajibkan lima puluh waktu, tetapi Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa
kembali kepada-Nya minta keringanan, sehingga dijadikannya lima waktu. Namun
demikian, walaupun yang diwajibkan lima waktu saja, tetapi pahalanya tetap
seperti lima puluh waktu, karena perbuatan baik itu akan dibalas dengan sepuluh
kali lipat. Hanya kepada Allah lah
diucapkan puji dan syukur atas segala ni’mat-Nya.
Tentang malam saat
diselenggarakannya Isra’ dan Mi’raj itu belum pernah diterangkan
penentuan (waktunya) oleh Rasulullah,
tidak pada bulan rajab, atau ( pada
bulan ) yang lain, jikalau ada penentuannya maka itupun bukan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
menurut para ulama, hanya Allah lah
yang mengetahui akan hikmah pelalaian manusia dalam hal ini, seandainya ada ( hadits ) yang menentukan ( waktu ) isra’ dan mi’raj.
Nabi Muhammad
adalah orang yang paling banyak memberi nasehat kepada manusia, beliau telah
menyampaikan risalah kerasulannya
dengan sebaik-baiknya, dan menjalankan amanat Tuhannya dengan sempurna. Allah subhaanahu wa ta’ala telah
menyempurnakan agama-Nya bagi ummat ini, mencukupkan ni’mat-Nya kepada mereka,
dengan mengejakan sholat khusuk. Dan
mengingkari siapa saja yang berani mengada-adakan sesuatu hal baru dalam agama,
karena cara tersebut tidak dibenarkan oleh Allah
subhaanahu wa ta’ala.
Jika disimak peristiwa itu terdapat tiga unsur yaitu
Muhammad (fisik manusia), jibril dan Buroq (unsur metafisik). Maka setiap orang mukmin
shalat harus memiliki dua unsur tersebut, ditambah dengan syarat “hati
bersih” atau “hati suci” serta bebas dari selain unsur keTuhanan, barulah itu
disebut Mi’raj. Hati yang bersih dan
suci ini adalah pembuka hijab
(penghalang) dalam menuju alam keTuhanan. Kemudian Nabi Muhammad SAW
bersabda: “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku sholat” (HR. Bukhori). Pada saat manusia
mengalami suatu permasalahan (Istighathah - isti^anah) yang berarti meminta pertolongan
ketika kesempitan atau kesulitan (makna lebih umum dan luas), Allah ta^ala
berfirman yang maknanya: “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan
sembahyang” (QS al-Baqarah:
45).
Hati sanubari / qalbu benar-benar harus disucikan,
pencapaiannya melewati tahapan-tahapan pencucian hati dengan dzikrullah, sehingga bebas dari pengaruh
syetan dan gelombang angkara murka, hawa nafsu, pengingkaran dan sebagainya.
Sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
Yang artinya: “Jikalau tidaklah setan-setan itu mengelilingi hati anak Adam (manusia),
niscaya mereka itu akan melihat ke alam Malakut” (HR.
Al-Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah). Karena itulah Umar r.a berkata: “Hatiku melihat Allah”, karena terangkat hijab, barang siapa yang terangkat hijab diantaranya dan Allah, niscaya menjelaslah bentuk “al amul-mulki” (alam nyata) dan “alamul – malakul” (alam batin / metafisik). Hati yang bersih yang tak
ter-hijab itulah hati orang mukmin dan orang yang mukmin-lah yang shalatnya adalah mi’raj, seperti
sabda Rasulullah SAW: “Shalat
adalah mi’raj orang mukmin” (HR. Bukhari).
Bagaimana mungkin
setan bisa dikeluarkan ? Padahal setan itu sangat sakti, sangat dahsyat, tinggi
dimensinya, halus dan umurnya telah berabad-abad (jutaan tahun) lamanya dan
ilmunya tinggi. Ia yang memperdaya Bapak-Ibu manusia yaitu Adam dan Hawa,
tempat menipunya pun di Surga pula (bukan di pasar malam), sehingga Adam dan
Hawa terusir dari Surga. Lihatlah pesan Allah
kepada segenap manusia dalam firman Allah
SWT dalam QS. Al A’raaf: 27 yang
berbunyi “Yaa banii aadama
laa yaftinannakumusy syaithaanu ka maa akhraja abawaikum minal jannati yanzi’u
‘anhumaa libaasahumaa li yuriyahumaa sau-aatihimaa innahuu yaraakum huwa wa
qabiiluhuu min haitsu laa taraunahum innaa ja’alnasy syayaathiiina auliya-a lil
ladziina laa yu’minuun”, artinya: “Hai anak Adam, janganlah kamu terperdaya
oleh setan sebagaimana Ia telah mengeluarkan ibu bapakmu (Adam dan Hawa) dari
dalam surga, sedangkan dia menanggalkan pakaian keduanya supaya terbuka
kemaluannya. Sesungguhnya setan itu dan bala tentaranya melihat kamu sedang
kamu tidak melihatnya. Sungguh setan-setan itu kami angkat menjadi wali /
pimpinan bagi orang-orang yang tiada beriman”.
Apabila
orang-orang yang beriman (percaya) hendak meningkatkan kualitas shalat yang berkapasitas mi’raj, maka satu-satunya “jalan” yakni
dengan ber-taubat lalu masuk tarekatullah, dengan tahapan pencapaian
sebagai berikut : Pertama : Tazakka, mensucikan qalbu dari nafsu setan, mengisi qalbu dengan asma Allah (dzikir).
Kedua : Zakarosma robbihi; yakni
menyebut-nyebut dan membesar-besarkan nama Allah
dengan metode yang benar untuk menjolok
turun karunia Allah / ridho-Nya. Ketiga:
Mendirikan shalat khusyuk, sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al A’laa:14
- 15: “Qad aflaha man tazakkaa. Wadzakaras marrabbihii fashallaa”, artinya: “Sungguh beruntung orang yang
mensucikan dirinya. Dan dzikirlah akan Allah, lalu tegakkan shalat”
semoga bermanfaat !
Hidup dan Seni: goesmul.blogspot.com
goesmul@gmail.com
hmmm boleh juga min hehe
BalasHapus