Laman

Sabtu, 10 Maret 2012

BERTAUBAT

MARI  BERTAUBAT
Foto 1 & 2: Agus Mulyadi Utomo diterima Presiden & Wapres RI, tahun 1994
      Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni: goesmul.blogspot.com / Mari Bertaubat
 goesmul@gmail.com
           Simak firman Allah SWT bahwa: “Tidak ada satu musibah itu datangnya yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. at-Taghaabun : 11). Orang mukmin haruslah berlapang dada dalam menerima kebenaran, walau kebenaran itu datang dari orang yang dianggap rendahan. Berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya (pewaris ilmu Rasulullah) dapat menyelamatkan orang beriman (percaya).Dalam QS.An Nahl: 40-42: “Sesungguhnya perkataan Kami bagi sesuatu, apabila Kami menghendakinya, bahwa Kami berkata kepadanya “Jadilah”, maka terjadilah“. Dan mereka yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, niscaya Kami menempatkan mereka pada tempat yang baik di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akherat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan  bertawakkal kepada Tuhannya.”. Selanjutnya QS.An Nahl: 43-47: “Dan tidak Kami mengutus sebelum engkau melainkan laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, Maka bertanyalah kamu kepada mereka yang berilmu (tentang Nabi dan kitab), jika kamu tidak mengetahui, (Rasul-rasul di utus) dengan bukti-bukti dan kitab-kitab. Dan Kami menurunkan Al Qur’an kepadamu supaya engkau menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka, supaya mereka berfikir. Apakah akan selamat orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan-kejahatan itu bahwa Allah membenamkan mereka ke dalam bumi, atau azab datang kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari, atau Dia membinasakan mereka dalam perjalanan mereka, maka mereka tiada berdaya, atau Dia menyiksa mereka dengan ketakutan. Maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. Apakah orang-orang yang beriman masih belum menyadarinya, setelah disebut demikian dalam Al Qur’an ? Melalui Wali-Mursyid atau pewaris ilmu Rasulullah, Allah berkehendak agar manusia memohon dan berharap hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan yang lain. Mengibarkan kembali panji-panji dan bendera Rasul dan kalimatullah yang mulia yakni “Laa illaha illallah” di seluruh permukaan bumi dan menancapkannya ke dalam hati manusia yang telah beriman dan mau beramal sholeh sesuai petunjukNya.
Bencana menghantam di banyak tempat di dunia, Indonesia tak luput dari itu, pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawasi, Nusa Tenggara, sampai dengan Irian. Adanya gempa bumi, tsunami, banjir bandang, longsor, angin puting-beliung, kebakaran hutan dan pemukiman, lumpur panas, kecelakaan-kecelakaan udara, darat, laut dan lainnya. Bahkan terjadi berbagai fenomena alam di luar akal sehat. Juga dari ganasnya alam sampai dengan ganasnya teroris, huru-hara, dimana banyak saudara-saudara kita sebangsa setanah air Indonesia sering tertimpa musibah, tak pandang bulu, telah banyak sudah kehilangan orang-orang yang dicintai, dari anak-anak, dewasa hingga yang sudah tua, laki dan perempuan, yang miskin hingga yang kaya, yang kuli, pedagang, PNS sampai juga yang menjabat, harta benda mereka juga melayang dan ludes tak tersisa. Sungguh sangat memilukan. Sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, kita-kita yang selamat segera menyadari, untuk bertaubat dan segera mendekatkan diri kepada jalan Allah dan beramal sholeh dengan berdzikir kepadaNya.
Namun demikian, banyak orang belum juga sadar dan belum introspeksi diri untuk bertaubat serta mencari “jalan-Nya” yang benar menurut Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Firman Allah SWT sebagai berikut dalam QS Yusuf : 105 “Waka ayyin min aayatin fissamaawaati wal ardhi yamurruuna’alaihaa wahum ‘anhaa mu’ri dhunaa” yang artinya: “Dan banyak sekali ayat (tanda-tanda kebesaran Allah / kekuasaan Allah yang ditulis-Nya) di langit dan di bumi, sedang mereka lalu lintas atasnya, tetapi mereka berpaling daripadanya (tidak mau merisetnya!)”. Lebih lanjut Allah menyebutkan dalam QS Ar Ra’ad, ayat 31 yang berbunyi “Walau anna qur-aanan suyyirat bihil jibaalu au quththi’at bihil ardhu au kullima bihil mautaa” artinya: “Dan sesungguhnya andaikata ada suatu bacaan (kitab suci) yang dapat membuat gunung-gunung berjalan / berguncang dahsyat atau bumi dipotong-potong / dibelah-belah atau orang – orang mati diajak bicara / dapat berbicara. (niscaya kitab suci itu adalah Al Qur’an. Dan merekapun tidak juga mau beriman dan juga masih tidak terpikir untuk merisetnya, walaupun Allah mengatakan kedahsyatan Al Qur’an itu secara bertubi-tubi)”. Maka Allah selalu menguji kadar keimanan seseorang seperti tercantum dalam QS. At-Taubah: 125-126 “Wa ammal ladziina fii quluubihim maradhun fa zaadat-hum rijsan ilaa rijsihim wa maatuu wa hum kaafiruun. Awa laa yarauna annahum yuftanuuna fii kulli ‘aamim maarratan au marrataini tsumma laa yatuubuuna wa laa hum yadzdzakkaruun”.yang artinya: “Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka bertambah-tambahlah keingkaran mereka atas keingkarannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir. Dan tidaklah mereka memperhatikan bahwa setiap tahunnya mereka diuji sekali atau dua kali, kemudian mereka tidak (juga) mau bertaubat dan tidak mengambil pelajaran ?”.


Pemahaman Islam di akhir zaman ini tidaklah  menyeluruh, tidak lengkap dan tidak tuntas, ada sesuatu yang hilang. Satu sisi dikupas medetail (jasmani saja), sedang pada sisi lain (ruhaninya) diabaikan atau ditinggalkan. Maka, Rasulullah SAW  bersabda dalam sebuah hadits yang artinya  bahwa: “Orang Islam di akhir zaman tidak mengenal lagi akan Islamnya yang sebenarnya(HR. Bukhari). Lebih lanjut Sabda Rasulullah SAW: “Saya-tii ‘alaa ummatii zamaanun laayabqaa diinuhum illasmuhuu walaa minal qur-aani illa rasmuhuu” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi) yang artinya: “Akan datang pada umat-Ku, suatu masa dimana Agama Islam tinggal namanya dan Al Qur’an tinggal tulisannya” (Penjelasan: Yang tinggal hanyalah ceritera, tanpa energi dan daya). Sabda Rasul lagi (hadits sahih): ”Suatu saat akan muncul sekelompok kecil dari ummatku yang membaca Al-Qur’an, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu sejelek-jeleknya makhluk di dunia ini”.  Kalau demikian, kita harus prihatin dan mawas diri terhadap situasi tersebut dengan melengkapi apa-apa yang belum benar.


Diri ruhani manusia sesungguhnya memang berasal dari Allah, karena pada mulanya ruhani manusia sebelum bergabung dengan diri jasmani, ruhani manusia itu sebenarnya dekat dengan Allah. Tersebut dalam firman Allah SWT yang artinya: “Maka bila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (QS.Al Hijr15 : 29). Juga yang artinya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati;  (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur” (QS. As Sajdah 32: 9). Dari kedua ayat ini sudah jelas bahwa ruh (diri ruhani) manusia itu berasal langsung dari Allah SWT yang sudah pasti dekat denganNya serta suci. Setelah diri ruhani bergabung dengan diri jasmani, maka lalu mengenal apa yang disebut alam dunia, dengan segala keindahannya, kenikmatannya, dan kemegahannya. Yang pada akhirnya membuat diri ruhani menjadi lalai dan sombong lalu disibukkan dengan urusan dunia tersebut, sehingga lupa akan asalnya dan ruhaninya pun menjadi kotor atau tidak suci seperti semula. Sungguh benar sabda Rasul: “Setiap bayi yang terlahir dalam keadaan fitrah atau suci, memiliki watak hanief atau memiliki kecendrungan kepada kebenaran, maka kedua orang tuanya atau lingkungannya yang membentuk dan mempola jiwa manusia ke arah penyimpangan prilaku dan pendangkalan intelektual”. Ada yang mempertanyakan kemana perginya ruh (jiwa) manusia ketika tidur atau mati ? Al Qur’an dalam Az Zumar ayat 42 menyebutkan: “Allah yang memegang jiwa ketika matinya dan yang belum mati sewaktu ia tidur. Maka Dia tahan jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan (jiwa) yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir“. Kemudian, setelah diri ruhani lepas dari diri jasmani (meninggal) maka firman Allah QS. Al Maidah ayat 48 menyebutkan: ”Hanya kepada Allah tempat kembalimu sekalian”. Kalau demikian, seharusnya diri ruhani tersebut kembali kepada Allah atau berpulang ke-Rahmatullah dalam keadaan yang suci. Namun, apabila Ia kotor tidak akan sampai kepada Allah alias “gentayangan” dan “tidak menemukan jalan-Nya”. Maka diri ruhani pada akhirnya nantinya akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT, dalam QS. Al Baqarah ayat 134: “Baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta mempertanggungjawabkan apa yang mereka kerjakan“. Jelas yang dimaksud disini adalah perbuatan individu dalam kehidupan di dunia dari masing-masing orang saja, yang diusahakan itu akan diminta untuk dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut firman Allah dalam Al Balad ayat 4: “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam perjuangan“, maksudnya adalah Allah menentukan, bahwa untuk mencapai tujuan hidup dan kemuliaan dalam kehidupannya, manusia harus berjuang sungguh-sungguh. Dan itupun ada yang berbeda dan bermacam-macam, disebutkan QS. Al Lail ayat 4: “Sesungguhnya usaha kalian bermacam-macam“. Pencapaiannya tentu bergantung dari usaha dan kesanggupannya, QS. Ar Ro’du ayat 11 berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri“.


Salah satu usaha untuk mengatasi hal tersebut di atas, Allah SWT menurunkan semacam Ruhul Qudus (ruh kudus = arwah suci) dari sisi-Nya seperti firman berikut QS. An Nahl: 102 yaitu “Qul nazzalahuu ruuhul qudusi mir rabbika bil haqqi li yutsabbital ladziina aamanuu wa hudaw wa busyraa lil muslimiin” yang artinya: Katakanlah: “Yang menurunkannya adalah Ruhulqudus dari Tuhanmu dengan benar supaya meneguhkan orang-orang yang beriman dan sebagai petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang beriman”. Pada ayat tersebut Allah menurunkan yang namanya Ruhul Qudus (Arwahul Muqaddasah) kepada orang yang beriman (percaya) untuk meneguhkan hati dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. Pengetahuan tentang ruh ini memang sedikit ( QS. Al Isra: 85), namun cukup penting dan perlu perhatian khusus untuk memperoleh kesempurnaan pemahaman dalam pelaksanaan amal dan ibadah ummat Islam yang kaffah. Hadits berikut :”Tafakkaruu fil kholqihi walaa tafakkaruu fii daatihi” yang artinya ”Berfikirlah kamu tentang ciptaan Allah. Jangan berfikir kamu tentang dzat Allah


Prof. Dr. Nurcholish Madjid, mengutip hadits yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah kedatangan seorang Arab Badawi (Arab kampung) yang cara berfikirnya sederhana. Orang bertanya tentang Islam. Nabi tidak menerangkan macam-macam, kecuali hanya berpesan: “Sal dlamiraka” artinya: “Tanyalah hati kecilmu”. Maksud Nabi, Islam ialah kalau kamu mau melakukan sesuatu, kamu sempatkan bertanya kepada hati kecilmu (hati nurani): Ini benar atau tidak ? Hadits menceritakan kemudian bahwa orang itu kembali ke kampungnya dan dengan setia berpegang kepada pesan Nabi. Dia tumbuh menjadi manusia yang baik, manusia yang sholeh.[1] Untuk menempuh jalan tarekat tidak terlalu sulit seperti dalam QS. An Nahl: 69 “Faslukii subula rabbiki dzululaa” yang artinya: “Dan tempuhlah jalan Tuhan-Mu yang telah dimudahkan”.


Secara sederhana, tasawwuf bisa disebut sebagai upaya taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah dengan memberdayakan terurutama intuisi spiritual dan daya ruhaniah yang dimiliki manusia. Ilmu Tasauf Islam ini sebenarnya adalah ilmu batin atau ilmu ruhani yang berpusat pada hati-nurani (qolbu), meliputi masalah hati dan ruh atau arwah  (metafisik). Dalam hal ini Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk jasmani kamu dan tidak pula kepada harta kamu, tetapi Allah melihat kepada hati kamu” (HR. Muslim). Karena Allah itu adalah “Maha Suci” dan untuk bisa mendekat kepada-Nya haruslah “suci” pula, terutama hati-ruhani-nya. Persoalannya adalah bagaimana seharusnya membersihkan hati atau ruhani manusia untuk dapat kembali menjadi ‘suci’ sebagaimana asal semula diciptakan Allah. Kata ‘hati nurani’ ini sebetulnya berasal dari Islam yaitu  ‘nuuraani’ artinya bersifat cahaya, dari perkataan nuur, disamakan dengan perkataan ruuh yang menjadi ruhani. Hati ini kemudian disebut nurani, sebagai modal awal manusia menerangi jalan hidupnya menuju kepada kesucian (fitrah). Dan orang baik saja yang mempunyai hati nurani, bila hatinya gelap disebut zhulmani, Ia tidak peka lagi tentang benar - salah, baik - buruk dan hal lain yang bersifat aniaya serta dapat menjerumuskannya.


Dalam QS. Al Baqarah: 28 yang berbunyi “Kaifa takfuruuna billaahi wa kuntum amwaatan fa ahyaakum tsumma yumiitukum tsumma yuhyiikum tsumma ilaihi turja’uun” yang artinya : “Mengapa kamu ingkar kepada Allah padahal dahulunya kamu mati lalu Allah menghidupkan kamu kemudian Dia mematikan kamu kemudian Dia menghidupkan kamu kembali, lalu kepada Nya kamu kamu dikembalikan ?”. Dan sesungguhnya ruhani (ruh / arwah) itu tidaklah mati dan yang mati itu adalah yang bersifat dhahir atau fisik (jasmani) manusia, yakni dapat membusuk, lalu dimakan ulat dan cacing serta pada akhirnya menjadi tanah kembali. Kehidupan ruhani tersebut dalam firman Allah SWT: QS. Al Baqarah: 154 yang berbunyi “Wa laa taquuluu li may yuqtalu fii sabiilillaahi amwaaatum bal ahyaa-aw walaakil laa tasy’uruun” yang artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka) itu mati; bahkan mereka itu (sebenarnya) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”.


Pada umumnya bila batas hidup manusia di dunia telah selesai, maka kita menyebutnya “telah berpulang ke-Rahmattullah” atau kembali “ke-sisi Allah SWT”, dan pada akhirnya orang (kita) yang ditinggalkan di dunia ini biasa mendo’a semoga “arwah-nya atau ruh-nya (yang meninggal) dapat diterima disisi-Nya (Allah)”.  Jika ruhnya atau arwahnya (yang meninggal) tersebut tidak diterima disisi-Nya (Allah), tentu akan menjadi pertanyaan yakni kemana perginya ruh tersebut ? Umumnya ruh (arwah) dimaksud akan “bergentayangan” diantara langit dan bumi dan tidak sampai kepada-Nya (Allah), apalagi selama hidup orang tersebut tidak pernah ber-shalawat, sehingga do’anya selama hidup tergantung diawang-awang antara langit dan bumi, hal tersebut dalam hadits disebutkan: yang artinya: “Dari Umar Ibnu Khaththab, Ia berkata: “Sesungguhnya do’a itu terhenti diantara langit dan bumi, sedikit pun tidak bisa naik, sehingga engkau bershalawat akan Nabi-mu. Do’amu tidak akan dikabulkan tanpa shalawat atas Rasululullah, do’amu tergantung diawang-awang” (HR. Tirmidzi), dan kalau sudah demikian maka kemudian ruh tersebut “disambar oleh syeitan” dan penyesalan tiada berujung serta arwahnya terus bergentayangan bersama setan turut mengganggu manusia-manusia lainnya terutama yang telah beriman. Pengakuan terhadap Rasulullah SAW dan bershalawat kepadanya memang penting dan diperlukan. Hadits lain menyebutkan “Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa ber-shalawat kepada-Ku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepada orang itu sepuluh kali” (HR. Tirmidzi).

 Hanya dengan ruhani yang sucilah, bisa sampai kepadaNya (Allah SWT). Tentu standar kesucian ruhani ini harus ada. Untuk hal itu, yang sudah jelas dan “terjamin” adalah kesucian ruhani Rasulullah SAW, karena telah disucikan oleh Allah SWT, yang telah sempurna dan dapat pula menyempurnakan ruhani manusia lainnya. Sabda Rasulullah SAW dalam Hadits: Bahwa sesungguhnya bagi tiap-tiap sesuatu itu ada alat dan cara mencucinya, maka sesungguhnya alat dan cara mencucikan hati nurani adalah dzikrullah[2], tentu melalui jalan tarekatullah


Selanjutnya dengan melalui keruhanian Rasulullah SAW itu pulalah yang akan dapat mensucikan ruhani ummat Islam yang beriman dengan metode dzikrullah yaitu melalui ilmu tarekat (jalan-Nya / metode-Nya), sebagai wasilah akbar dan ikutan yang baik.  Dengan ber-imam-imam-an secara ruhani, yang sambung menyambung dari ruhani Nabi Muhammad SAW sampai akhir zaman dan bertali-hubungan antar generasi ke generasi atau dari berbagai masa dengan membawa bendera kepemimpinan (sebagai khalifah) dizamannya, yang pada akhirnya ruhani-ruhani dari ummat orang-orang Islam yang beriman tersebut akan bergabung dan bermuara kepada ruhani Rasul atau Arwahul muqadashah Rasululluh SAW.


Hati sanubari itu merupakan pokok pangkal tumpuan ibadat, seperti ketika Nabi dikeluarkan segumpal darah (hati) dari jantung tersebut, kemudian Jibril berkata: "Ini adalah bagian syaithan dari dirimu", lalu dicuci dan disucikan. Dan setan itu bisa masuk aliran darah manusia. Rasulullah SAW bersabda: “Di dalam Bani Adam itu ada segumpal darah (hati / qolbu), kalau ini suci, sucilah semua amalannya, kalau ini kotor, kotorlah semua amalannya”. Juga “Dalam tubuh manusia ada segumpal darah / daging, bila ia baik maka baiklah seluruh tubuh / jasad, bila ia jelek / rusak maka rusaklah seluruh jasad, ingat ! itulah qalbu “(HR. Bukhari). Hadits menjelaskan lebih lanjut “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika kondisinya baik, maka baiklah seluruh jasad. Jika rusak, maka rusaklah seluruh badan. Ingatlah, dia adalah hati”. Karena hati ini-lah yang pada umumnya akan memerintahkan anggota-anggota seluruh tubuh (otak, tangan, kaki dan lainnya) untuk melakukan sesuatu, juga dapat memerintahkan otak untuk berfikir dan berbuat sesuatu;  Maka hati harus diwaspadai ! Jikalau sudah berniat buruk maka seluruh anggota badan akan mengikutinya.


Untuk itulah hati ini haruslah sering dibersihkan dari hal-hal yang kurang baik atau dengan cara ber-taubat dengan menggunakan metode dzikirullah. Segalanya tentu dan harus sesuai dengan ajaran Islam. Apalagi untuk mendekat pada Allah SWT yang Maha Suci, tentu hati juga haruslah suci, jika penuh dengan gelimang dosa dan niat yang buruk pasti akan tertolak. Hanya hati yang suci, lunak dan tenang yang akan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT tersebut dalam QS. Al Fajr:27-30 “Yaa ayyutuhan nafsul muthmaina. Irji’ii ilaa robbiki roodhiyatan mardhiyah. Faad khulii fii’ibaadii.  Wad khulii jannatii”, artinya: ”Hai nafsu (jiwa) yang tenang (suci), kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dengan (hati) ridha dan diridhoi (Allah). Maka masuklah kamu dalam golongan hamba-hambaKu. Dan masuklah kamu ke dalam syorgaKu”. Untuk itulah diperlukan suatu metode atau cara untuk berhubungan dengan Allah, melalui utusannya sebagai suatu rahasia teknis dari pelaksanaannya untuk orang-orang yang memang memerlukan petunjuk atau bimbingan. Sabda Rasulullah SAW dalam Hadits Qudsi yang artinya: “Tidak dapat bumi dan langit-Ku menjangkau / memuat akan zat-Ku / membawa asma-Ku (kalimah-Ku), melainkan yang dapat menjangkaunya / memuat ialah hati hamba-Ku yang mukmin / suci, lunak dan tenang “ (Hadist Qudsi, R. Ahmad dari Wahab bin Munabbih).


Seperti diketahui dan dimaklumi, bahwa faktor yang membuat hati atau jiwa tidak tenang adalah adanya iblis atau setan sesuai dengan janji atau sumpahnya di hadapan Allah SWT, bahwa dia tidak berhenti untuk menggoda dan menyesatkan ummat manusia. Oleh karenanya, dari para kaum Sufi atau orang yang ber-tasawwuf-lah yang telah memiliki cara atau metode pengamalan yang disebut dalam ilmu tarekat dengan dzikir yang dapat membuat hati menjadi tenang. Untuk itu carilah tarekat yang dianggap benar dan bersifat muktabarah, dengan melalui guru-guru atau mursyid-nya, terutama bimbingan dari para ahli silsilah atau istilah dimasa kini yang umumnya disebut Ulama Pewaris Nabi (Guru yang Mursyid, pewaris ilmu Rasul) yang dapat menutup sekaligus membersihkan lintasan iblis atau setan di dalam jiwa / hati / ruhani manusia. Menurut Imam Al Ghazali, bahwa di dalam jiwa ini ada dua lintasan, yaitu pertama lintasan malaikat dan yang satu lagi adalah lintasan iblis atau setan, dimana malaikat dan setan setiap hari bahkan setiap saat saling berebut pengaruh dalam jiwa atau hati seseorang khususnya hati para kaum muslimin.


Pada masa kini sudah tidak ada lagi yang namanya Nabi, yang ada adalah “Al Ulama Warasathul Ambiya” yaitu Ulama Pewaris Nabi, yang fungsinya juga sama. Hadits menyebutkan “Ulama itu adalah pewaris-pewaris para Nabi “ (H.R. Abu Daud, At Tarmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban). Sebagai pewaris tentu ada silsilahnya (asal-usulnya jelas dan sanat-nya sampai pada Nabi Muhammad SAW), ada pula “persyaratan” dan “tanda-tanda” berupa warisan “ilmu” dalam agama Islam baik bersifat jasmani maupun bersifat ruhani atau berupa fisik dan metafisik, yang ajarannya “membekas” pada para pengikutnya atau jema’ahnya atau para muridnya yang semuanya bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadits.  Firman Allah SWT dalam QS Ali Imron:164 “Laqod mannallahu ‘alal mu’minina idz ba’atsa fihim rasuulam min anfusihim yatlu ‘alaihim  ayathi wa yuzakkihim wa yu’alimuhumul kitata wal hikmata wa inkanu min qalu lafi dhalalim mubin”, yang artinya: “Sesungguhnya Allah mengangkat diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan / mensucikan (jiwa / ruhani ) mereka (dengan ruhaninya) dan mengajarkan kepada mereka  Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.  Juga dalam Q.S  At Taubah : 128 – 129: “La qod jaa akum rosuulum min anfusikum  “ziizun ‘alaihi maa ‘anittum harisshun ‘alaikum bil mu’miniina ra uufur rohiim. Fa in tawallau fa qul hasbiyallaa hu laa ilaaha illa hu wa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa robbul ‘arsyil ‘azhiim”, artinya: “Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaan kamu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada orang-orang mukmin. Maka jika mereka berpaling, maka katakanlah, Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku ber-tawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki  “arasy yang agung”.


Panggilan ditujukan hanya terhadap orang-orang yang beriman untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tersebut dalam QS Al Maidah : 35 yang berbunyi: “Yaa ayyuhal ladzina aamanut taqullaaha wabtaghuu ilaihi washilata wajaahiduu fii sabiilihi la’alakum  tuflihuun”, artinya: “Wahai orang-orang yang beriman (percaya), taqwalah (taat / patuh) engkau akan Allah, temukan / carilah wasilah (cara mendekatkan diri / metode / chanel) yang akan menyampaikan engkau langsung ke hadirat Allah SWT. Sungguh-sungguhlah beramal (berjuang / istiqomah) di atas jalan Allah itu, niscaya engkau akan mendapat  kemenangan”. Diterangkan lebih lanjut dalam hadits : Adakanlah (jadikanlah) dirimu (ruhanimu) beserta Allah, jika engkau belum bisa menjadikan dirimu (ruhanimu) beserta Allah, maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang beserta dengan Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang menghubungkan engkau langsung kepada Allah”  (HR. Abu Daud). Dan untuk meraih semua itu tidaklah mudah selain percaya juga harus bertaqwa, yaitu ada kepatuhan dalam menjalankan amal–ibadah dan berusaha menemukan ‘metode’ atau ‘jalan Allah’ (dzikir dalam tarekat) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Setelah menemukan jalan pendekatan yang dimaksud, ternyata itu saja belumlah cukup karena harus berjuang di “jalan” Nya itu yakni dengan sungguh-sungguh (istiqomah) secara terus menerus dan berkesinambungan (ajeg) barulah bisa memperoleh kemenangan (manfaat / keberuntungan) disisi-Nya. Dalam QS. Al-Ankabut: 69  disebutkan yang artinya: “ Dan orang yang berjuang di (jalan) Kami, Kami pasti menunjukkan mereka pada jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik”. Setelah beristiqomah baru memperoleh kemenangan. Kemenangan yang dimaksud disini bukanlah keberhasilan dalam memerangi orang lain, tetapi keberhasilan dalam memerangi hawa nafsunya sendiri yaitu dengan metode dzikrullah-tarekatullah yang haq.

             Disamping itu petunjuk Allah SWT tidak diberikan kepada semua orang, artinya harus ada usaha pendekatan atau pencarian. Atau Allah sendiri yang telah menunjukkan jalan atau menyesatkan jalan, seperti dalam QS. Al Kahfi: 17 “May yahdillaahu fahuwal muhtadi wa may yudhlil falan tajidalahu waliyam mursyidaa” yang artinya: “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah dialah yang mendapat petunjuk dan siapa yang dibiarkannya sesat, maka tidak ada seorang Wali-Mursyid pun (seorang Guru / pembimbing ruhani / pemimpin / Imam) yang memberi petunjuk”. Juga dalam QS. Al Muddatssir: 31 yang artinya: “Allah menyesatkan orang yang Dia kehendaki dan menunjukkan kepada orang yang Dia kehendaki”. Dalam QS. An Nuur: 21 disebutkan yang artinya: “ Kalau tidak karena anugrah Allah terhadap kamu dan rahmatNya, maka tidak satupun diantara kamu yang bersih selama-lamanya. Tetapi sesungguhnya Allah membersihkan siapa-siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.

 Sumber utama keruhanian dalam Islam adalah keruhanian Rasulullah SAW yang dilanjutkan oleh para penerusnya / pewarisnya yakni para Khalifah Rasulullah, yang masa kini oleh para Ahli Silsilah atau Ulama-ulama Pewaris - Nya, hingga nanti yang sambung-menyambung sampai akhir zaman. Firman Allah SWT yang menunjukkan adanya khalifah yang tetap hidup di muka bumi seperti berikut dalam  QS. Al Baqarah : 30 yang artinya: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.


Pada masa kini pemahaman keruhanian (ruh-gaib) banyak ditinggalkan kaum muslimin dan lebih banyak mengutamakan pada segi-segi lahiriyah atau jasmani atau rasionya saja serta yang bersifat ilmu sosial-ekonomi-kemasyarakatan. Berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits hubungan (kontak) ruhaniah antara orang yang hidup dengan orang yang mati bisa dilakukan seperti sabda Nabi SAW: yang artinya: ”Tiada seseorang memberi salam kepadaku, melainkan Allah mengembalikan ruhku kepadaku, hingga kukembalikan (kujawab) salamnya itu” (HR. Muslim). Dalam hadits tersebut diterangkan bahwa setiap salam orang yang hidup kepada Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat, akan dijawab beliau, sama halnya dimasa hidupnya, karena menurut hadits lainnya Nabi-nabi hidup dalam kuburnya. Sebagai suatu bentuk “kepastian” adanya kontak antara orang hidup dengan orang mati walaupun jarak dan waktunya berabad-abad lamanya. Lebih lanjut dalam firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran: 169 “Wa laa tahsabannal ladziina qutiluu fii sabilillaahi amwaatam bal ahyaa-un ‘indarabbihim yurzaquun”  yang artinya: ” Dan janganlah kamu anggap mati orang-orang yang gugur di jalan Allah, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan diberi rezeki”.

 Hubungan yang bersifat ruhaniah juga dapat dijelaskan dalam peristiwa Isra’ Mi’raj dan menurut tafsir Al-Futuhatul Ilahiah,[3] dikatakan bahwa: “ Beliau (Nabi Muhammad SAW), menjadi imam bagi Nabi-nabi, Malaikat dan Ruh-ruh orang yang beriman ”. Dalam hadits yang artinya: “Kemudian aku pun memasuki Baitul Maqdis. Maka berhimpunlah sejumlah Nabi-nabi a.s. (disekitarku), Jibril pun mengemukakan aku maju ke depan, sehingga aku pun mengimami mereka” (HR. Anas bin Malik). Dan ketika Nabi SAW dilangit yang pertama, menurut hadits Bukhari dan Muslim, beliau bertemu dengan Nabi Adam, dilangit ke dua bertemu dengan Nabi Yahya, Nabi Zakaria dan Nabi Isa, di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf, di langit keempat bertemu dengan Nabi Idris, di langit kelima bertemu dengan Nabi Harun, dilangit keenam bertemu dengan Nabi Musa dan di langit ketujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim ‘alaihimussalam dan menyaksikan Baitul Makmur yang setiap harinya dimasuki 70.000 malaikat. Sampailah Nabi Muhammad SAW di Sidrotul Muntaha. Selanjutnya hadits menerangkan ketika Nabi SAW tiba di Baitul Makdis shalat bersama Nabi-nabi, Malaikat dan Ruh-ruh orang mukmin dan beliau menjadi Imamnya.[4] 

Disamping itu, agar tetap dapat berhubungan ruhani, Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada ummatnya dikemudian hari supaya mengikuti Abu Bakar Shiddiq, Umar, Utsman dan Ali, sebagaimana tertuang dalam hadits berikut yang artinya: “Ikut kamulah sunnahKu, dan sunnah khalifah-khalifah yang cerdas (Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali) sesudahku, berpegang teguhlah kamu kepadanya, dan gigitlah dia dengan gerahammu kuat-kuat !” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi, disahihkan oleh Al Hakim). Dalam daftar Silsilah tarekat yang mukthabarah pada umumnya bersumber dari 4 khalifah Rasulullah di atas. Seluruh isi qalbu Rasul diwariskan tidak melalui rasio, tapi melalui hati sanubarinya, dan itulah yang disebut ulama warisatul anbia. Selanjutnya dijelaskan dalam QS. Yunus: 14 “Tsumma ja’alnaakum khalaa-ifa fil ardhi mim ba’dihim li nanzhura kaifa ta’maluun” yang artinya: “Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti di bumi sesudah mereka untuk Kami perhatikan apa yang kamu kerjakan”. Nabi Muhammad SAW sangat mengetahui keadaan ummatnya, amal baiknya, kejahatannya dan semua tingkah lakunya. Karenanya pulalah di hari kemudian beliau bertindak menjadi saksi atas perbuatan ummatnya. Beliau bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kamu, kamu dapat bercakap-cakap dan Ia pun dapat bercakap-cakap dengan kamu. Maka apabila saya wafat, kewafatanku itu lebih baik bagi kamu. Amal-amal kamu akan disampaikan kepadaku. Jika kulihat baik, maka aku memuji Allah. Dan jika kulihat tidak baik, maka aku meminta ampunkan kamu kepada Allah”. Selanjutnya dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud dari Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat yang mengitari bumi, mereka menyampaikan salam ummatku kepadaku”.


Sangat disayangkan di akhir zaman ini tidak dikenal lagi akan kedasyatan Al Islam, karena unsur metafisika Islam yang terdapat dalam teknologi Al Qur’an atau unsur ruhaniah ini diabaikan, bahkan tidak dikenal atau tidak diketahui sama sekali.  Benarlah firman Allah SWT dan apa yang disabdakan  Nabi Muhammad SAW  dalam beberapa buah hadits berikut di bawah ini. QS. Al Waqi’ah : 79 firman Allah SWT : “Laa yamassuhuu illah muthahharuun” yang artinya: “Al Qur’an tidak dapat disentuh (tidak dapat dimanfaatkan dan tidak berjaya) kecuali bagi orang yang disucikan (lahir dan batinnya / jasmani-ruhaninya)”. Untuk itu perlu pemikiran yang masuk akal (ilmiah) dalam memahaminya seperti penjelasan dalam haditsAl Islaamu ya’luu walaa yu’laa ‘alaihi” artinya:  “Islam adalah sangat tinggi, tiada yang dapat melebihinya”  (HR. Imam Bukhari), disebutkan juga: “Al Islaamu ‘ilmiyyyun wa ‘amaliiyyun” yang artinya:  “Islam adalah Ilmiah dan Amaliah” (HR. Imam Bukhari). Tidaklah mengherankan pada masa kini pengamalan dzikir dalam tarekat tidak banyak yang mengetahui dan bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang asing, baru, dan memberatkan. Dalam hadits Riwayat Imam Bukhari menyebutkan: “Orang Islam di akhir zaman tidak mengenal lagi akan Islamnya yang sebenarnya” (HR. Bukhari). Sabda Rasulullah SAW  dalam Hadits: “Bada-a al Islaamu ghariiban wa saya’uudu kamaa bada-a ghariiban fathuubaa lil ghurabaa-i” yang artinya: “Islam muncul dalam keadaan asing dan bakal kembali menjadi asing (juga asing bagi orang Islam sendiri), sebagaimana pemunculannya. Maka beruntunglah / bergembiralah  bagi orang-orang yang dianggap asing” (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Ummat pun bertanya, ditanyakan: “Siapakah orang-orang asing itu ? Rasulullah bersabda: “yaitu orang-orang yang memperbaiki sunnahKu yang dirusak manusia dan orang-orang yang menghidupkan sunnahKu yang dibunuh manusia”. Hadits juga menyebut: “Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku dan pegang teguhlah padanya” (HR. Al Hakim).  Rasul pun bersabda: “Aku telah meninggalkan pada kamu dua hal, kitab Allah dan sunnahku. Kamu tidak sesat selama berpegang padanya” (HR. At Tirmudzi). Dalam salah satu hadits lainnya ada menyebutkan: “Sesungguhnya termasuk salah satu tanda akan datangnya hari kiamat adalah dicarinya ilmu dari orang-orang rendahan” (Silsilah Hadits Shahih no.695). Dan dalam ”Riwayat dari Abi Rabah, dari Sa’id bin Musayyab, bahwa dia melihat seorang lelaki shalat setelah terbit fajar, lebih banyak dari dua raka’at, dia memperbanyak ruku’ dan sujud, maka Sa’id bin Musayyab melarangnya, lalu orang itu bertanya: Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku karena shalat ? Sa’id menjawab:Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena (kamu) menyelisihi sunnah”.





[1]  Fenomena Sufi Berdasi: 2002, hal. 58
[2] Hadits riwayat An-Nu’man bin Basyir dan dikeluarkan oleh Bukhari tentang iman hal. 117.Demikian  juga Imam Muslim yang menyebutnya di halaman 1599 tentang al masaqah bab “Mengambil yang halal dan meninggalkan yang syubhat”
[3] Tafsir Al-Futuhatul Ilahiah, Jilid 2, halaman 61
[4] Ibid

Hidup dan Seni: goesmul.blogspot.com/Agama Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar