MARI BERTAUBAT
Foto 1 & 2: Agus Mulyadi Utomo diterima Presiden & Wapres RI, tahun 1994
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni: goesmul.blogspot.com / Mari Bertaubat
goesmul@gmail.com
Simak firman Allah SWT bahwa: “Tidak ada satu musibah itu
datangnya yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa
yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.
Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. at-Taghaabun : 11). Orang mukmin haruslah
berlapang dada dalam menerima kebenaran, walau kebenaran itu datang dari orang
yang dianggap rendahan. Berhijrah
kepada Allah dan Rasul-Nya (pewaris ilmu Rasulullah)
dapat menyelamatkan orang beriman
(percaya).Dalam QS.An
Nahl: 40-42: “Sesungguhnya perkataan Kami bagi sesuatu, apabila Kami menghendakinya,
bahwa Kami berkata kepadanya “Jadilah”, maka terjadilah“. Dan
mereka yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, niscaya Kami
menempatkan mereka pada tempat yang baik di dunia. Dan sesungguhnya pahala di
akherat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang
sabar dan bertawakkal kepada Tuhannya.”.
Selanjutnya QS.An Nahl: 43-47: “Dan
tidak Kami mengutus sebelum engkau melainkan laki-laki yang kami beri wahyu
kepada mereka, Maka bertanyalah kamu kepada mereka yang berilmu (tentang Nabi
dan kitab), jika kamu tidak mengetahui, (Rasul-rasul di utus) dengan
bukti-bukti dan kitab-kitab. Dan Kami menurunkan Al Qur’an kepadamu supaya
engkau menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka, supaya
mereka berfikir. Apakah akan selamat orang-orang yang telah mengerjakan
kejahatan-kejahatan itu bahwa Allah membenamkan mereka ke dalam bumi, atau azab
datang kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari, atau Dia
membinasakan mereka dalam perjalanan mereka, maka mereka tiada berdaya, atau
Dia menyiksa mereka dengan ketakutan. Maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Penyantun
lagi Maha Penyayang”. Apakah orang-orang yang beriman masih belum
menyadarinya, setelah disebut demikian dalam Al Qur’an ? Melalui Wali-Mursyid
atau pewaris ilmu Rasulullah, Allah berkehendak agar manusia memohon
dan berharap hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan yang lain. Mengibarkan
kembali panji-panji dan bendera Rasul
dan kalimatullah yang mulia yakni “Laa
illaha illallah” di seluruh permukaan bumi dan menancapkannya ke dalam
hati manusia yang telah beriman dan mau beramal sholeh sesuai petunjukNya.
Bencana menghantam di banyak tempat di dunia, Indonesia tak luput dari itu, pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawasi, Nusa Tenggara, sampai dengan Irian. Adanya gempa bumi, tsunami, banjir bandang, longsor, angin
puting-beliung, kebakaran hutan dan pemukiman, lumpur panas,
kecelakaan-kecelakaan udara, darat, laut dan lainnya. Bahkan terjadi berbagai fenomena alam di luar akal sehat. Juga dari ganasnya alam sampai dengan ganasnya
teroris, huru-hara, dimana banyak saudara-saudara kita sebangsa setanah air
Indonesia sering tertimpa musibah, tak pandang bulu, telah banyak sudah
kehilangan orang-orang yang dicintai, dari anak-anak, dewasa hingga yang sudah
tua, laki dan perempuan, yang miskin hingga yang kaya, yang kuli, pedagang, PNS
sampai juga yang menjabat, harta benda mereka juga melayang dan ludes tak
tersisa. Sungguh sangat memilukan. Sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, kita-kita yang selamat segera
menyadari, untuk bertaubat dan segera mendekatkan diri kepada jalan Allah
dan beramal sholeh dengan berdzikir kepadaNya.
Namun demikian, banyak orang belum juga sadar
dan belum introspeksi diri untuk bertaubat
serta mencari “jalan-Nya” yang benar menurut Al Qur’an dan Sunnah Nabi
SAW. Firman Allah SWT sebagai berikut dalam QS
Yusuf : 105 “Waka ayyin min aayatin
fissamaawaati wal ardhi yamurruuna’alaihaa wahum ‘anhaa mu’ri dhunaa” yang
artinya: “Dan banyak sekali ayat (tanda-tanda kebesaran Allah / kekuasaan Allah
yang ditulis-Nya) di langit dan di bumi, sedang mereka lalu lintas atasnya,
tetapi mereka berpaling daripadanya (tidak mau merisetnya!)”. Lebih
lanjut Allah menyebutkan dalam QS Ar Ra’ad, ayat 31 yang berbunyi “Walau anna qur-aanan suyyirat bihil jibaalu
au quththi’at bihil ardhu au kullima bihil mautaa” artinya: “Dan
sesungguhnya andaikata ada suatu bacaan (kitab suci) yang dapat membuat
gunung-gunung berjalan / berguncang dahsyat atau bumi dipotong-potong /
dibelah-belah atau orang – orang mati diajak bicara / dapat berbicara. (niscaya
kitab suci itu adalah Al Qur’an. Dan merekapun tidak juga mau beriman dan juga
masih tidak terpikir untuk merisetnya, walaupun Allah mengatakan kedahsyatan Al
Qur’an itu secara bertubi-tubi)”. Maka Allah selalu menguji kadar keimanan seseorang seperti tercantum
dalam QS. At-Taubah: 125-126 “Wa ammal ladziina fii quluubihim maradhun
fa zaadat-hum rijsan ilaa rijsihim wa maatuu wa hum kaafiruun. Awa laa yarauna
annahum yuftanuuna fii kulli ‘aamim maarratan au marrataini tsumma laa
yatuubuuna wa laa hum yadzdzakkaruun”.yang artinya: “Adapun orang-orang yang di dalam
hati mereka ada penyakit, maka bertambah-tambahlah keingkaran mereka atas
keingkarannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir. Dan tidaklah
mereka memperhatikan bahwa setiap tahunnya mereka diuji sekali atau dua kali, kemudian mereka tidak (juga) mau bertaubat dan tidak mengambil
pelajaran ?”.
Pemahaman Islam di akhir zaman ini tidaklah menyeluruh, tidak lengkap dan tidak tuntas,
ada sesuatu yang hilang. Satu sisi dikupas medetail (jasmani saja), sedang pada
sisi lain (ruhaninya) diabaikan atau ditinggalkan. Maka, Rasulullah SAW bersabda
dalam sebuah hadits yang artinya bahwa:
“Orang
Islam di akhir zaman tidak mengenal lagi akan Islamnya yang sebenarnya”
(HR. Bukhari). Lebih lanjut Sabda Rasulullah SAW: “Saya-tii ‘alaa ummatii
zamaanun laayabqaa diinuhum illasmuhuu walaa minal qur-aani illa rasmuhuu” (HR.
Ibnu Majah dan Tirmidzi) yang artinya: “Akan datang pada umat-Ku, suatu
masa dimana Agama Islam tinggal namanya dan Al Qur’an tinggal tulisannya”
(Penjelasan: Yang tinggal hanyalah ceritera, tanpa energi dan daya). Sabda Rasul lagi (hadits sahih): ”Suatu saat akan muncul sekelompok kecil dari
ummatku yang membaca Al-Qur’an, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu sejelek-jeleknya makhluk di
dunia ini”. Kalau demikian, kita
harus prihatin dan mawas diri terhadap situasi tersebut dengan melengkapi
apa-apa yang belum benar.
Diri ruhani manusia sesungguhnya memang berasal dari Allah, karena pada mulanya ruhani
manusia sebelum bergabung dengan diri jasmani, ruhani manusia itu sebenarnya
dekat dengan Allah. Tersebut dalam
firman Allah SWT yang artinya: “Maka bila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan ke
dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”
(QS.Al Hijr15 : 29). Juga yang artinya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalam (tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu
sedikit sekali bersyukur” (QS. As
Sajdah 32: 9). Dari kedua ayat ini sudah jelas bahwa ruh (diri ruhani) manusia itu berasal langsung dari Allah SWT yang sudah pasti dekat
denganNya serta suci. Setelah diri ruhani bergabung dengan diri jasmani, maka
lalu mengenal apa yang disebut alam
dunia, dengan segala keindahannya, kenikmatannya, dan kemegahannya. Yang
pada akhirnya membuat diri ruhani menjadi lalai
dan sombong lalu disibukkan dengan urusan dunia tersebut, sehingga lupa akan asalnya dan ruhaninya pun menjadi kotor atau tidak
suci seperti semula. Sungguh benar sabda Rasul:
“Setiap
bayi yang terlahir dalam keadaan fitrah atau suci, memiliki watak hanief atau
memiliki kecendrungan kepada kebenaran, maka kedua orang tuanya atau
lingkungannya yang membentuk dan mempola jiwa manusia ke arah penyimpangan
prilaku dan pendangkalan intelektual”. Ada yang mempertanyakan kemana
perginya ruh (jiwa) manusia ketika tidur atau mati ? Al Qur’an dalam Az Zumar
ayat 42 menyebutkan: “Allah yang memegang jiwa ketika matinya dan
yang belum mati sewaktu ia tidur. Maka Dia tahan jiwa yang telah Dia tetapkan
kematiannya dan Dia lepaskan (jiwa) yang lain sampai waktu yang ditentukan.
Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi orang-orang yang
berfikir“. Kemudian, setelah diri ruhani lepas dari diri jasmani
(meninggal) maka firman Allah QS. Al
Maidah ayat 48 menyebutkan: ”Hanya kepada Allah tempat kembalimu sekalian”.
Kalau demikian, seharusnya diri ruhani tersebut kembali kepada Allah atau berpulang ke-Rahmatullah dalam keadaan yang suci.
Namun, apabila Ia kotor tidak akan sampai kepada Allah alias “gentayangan”
dan “tidak menemukan jalan-Nya”.
Maka diri ruhani pada akhirnya nantinya akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT, dalam QS. Al Baqarah ayat 134: “Baginya apa yang diusahakannya dan bagimu
apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta
mempertanggungjawabkan apa yang mereka kerjakan“. Jelas yang dimaksud
disini adalah perbuatan individu dalam kehidupan di dunia dari masing-masing
orang saja, yang diusahakan itu akan diminta untuk dipertanggungjawabkan. Lebih
lanjut firman Allah dalam Al Balad ayat 4: “Sungguh Kami telah menciptakan
manusia dalam perjuangan“, maksudnya adalah Allah menentukan, bahwa untuk mencapai tujuan hidup dan kemuliaan dalam
kehidupannya, manusia harus berjuang sungguh-sungguh. Dan itupun ada yang
berbeda dan bermacam-macam, disebutkan QS.
Al Lail ayat 4: “Sesungguhnya usaha kalian bermacam-macam“. Pencapaiannya
tentu bergantung dari usaha dan kesanggupannya, QS. Ar Ro’du ayat 11 berbunyi:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri“.
Salah satu usaha untuk mengatasi hal tersebut di atas, Allah SWT menurunkan semacam Ruhul Qudus (ruh kudus = arwah suci)
dari sisi-Nya seperti firman berikut QS.
An Nahl: 102 yaitu “Qul nazzalahuu
ruuhul qudusi mir rabbika bil haqqi li yutsabbital ladziina aamanuu wa hudaw wa
busyraa lil muslimiin” yang artinya: Katakanlah:
“Yang menurunkannya adalah Ruhulqudus
dari Tuhanmu dengan benar supaya meneguhkan orang-orang yang beriman dan
sebagai petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang beriman”. Pada
ayat tersebut Allah menurunkan yang
namanya Ruhul Qudus (Arwahul Muqaddasah) kepada orang yang
beriman (percaya) untuk meneguhkan hati dan menjadi petunjuk serta kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri. Pengetahuan tentang ruh ini memang
sedikit ( QS. Al Isra: 85), namun
cukup penting dan perlu perhatian khusus untuk memperoleh kesempurnaan
pemahaman dalam pelaksanaan amal dan ibadah ummat Islam yang kaffah. Hadits berikut :”Tafakkaruu
fil kholqihi walaa tafakkaruu fii daatihi” yang artinya ”Berfikirlah
kamu tentang ciptaan Allah. Jangan berfikir kamu tentang dzat Allah”
Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, mengutip hadits yang menceritakan
bahwa Nabi Muhammad SAW pernah
kedatangan seorang Arab Badawi (Arab kampung) yang cara berfikirnya sederhana.
Orang bertanya tentang Islam. Nabi tidak menerangkan macam-macam, kecuali hanya
berpesan: “Sal dlamiraka” artinya: “Tanyalah
hati kecilmu”. Maksud Nabi, Islam ialah kalau kamu mau melakukan
sesuatu, kamu sempatkan bertanya kepada hati kecilmu (hati nurani): Ini benar atau tidak ? Hadits menceritakan
kemudian bahwa orang itu kembali ke kampungnya dan dengan setia berpegang
kepada pesan Nabi. Dia tumbuh menjadi manusia yang baik, manusia yang sholeh.[1] Untuk menempuh
jalan tarekat tidak terlalu sulit
seperti dalam QS. An Nahl: 69 “Faslukii subula rabbiki dzululaa” yang
artinya: “Dan tempuhlah jalan Tuhan-Mu yang telah dimudahkan”.
Secara sederhana, tasawwuf bisa disebut sebagai upaya taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah dengan memberdayakan terurutama intuisi spiritual dan daya ruhaniah yang
dimiliki manusia. Ilmu Tasauf Islam
ini sebenarnya adalah ilmu batin
atau ilmu ruhani yang berpusat pada hati-nurani (qolbu), meliputi masalah hati
dan ruh atau arwah (metafisik). Dalam hal ini
Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya
Allah tidak melihat kepada bentuk jasmani kamu dan tidak pula kepada harta
kamu, tetapi Allah melihat kepada hati kamu” (HR. Muslim). Karena Allah itu
adalah “Maha Suci” dan untuk bisa mendekat kepada-Nya haruslah “suci” pula,
terutama hati-ruhani-nya. Persoalannya adalah bagaimana seharusnya membersihkan
hati atau ruhani manusia untuk dapat kembali menjadi ‘suci’ sebagaimana asal
semula diciptakan Allah. Kata ‘hati
nurani’ ini sebetulnya berasal dari Islam yaitu
‘nuuraani’ artinya bersifat
cahaya, dari perkataan nuur, disamakan
dengan perkataan ruuh yang menjadi
ruhani. Hati ini kemudian disebut nurani, sebagai modal awal manusia menerangi
jalan hidupnya menuju kepada kesucian (fitrah).
Dan orang baik saja yang mempunyai hati nurani, bila hatinya gelap disebut zhulmani, Ia tidak peka lagi tentang benar - salah, baik - buruk dan hal lain
yang bersifat aniaya serta dapat menjerumuskannya.
Dalam QS. Al Baqarah: 28 yang berbunyi “Kaifa takfuruuna billaahi wa kuntum amwaatan
fa ahyaakum tsumma yumiitukum tsumma yuhyiikum tsumma ilaihi turja’uun”
yang artinya : “Mengapa kamu ingkar kepada Allah padahal dahulunya kamu mati lalu Allah
menghidupkan kamu kemudian Dia mematikan kamu kemudian Dia menghidupkan kamu
kembali, lalu kepada Nya kamu kamu dikembalikan ?”. Dan sesungguhnya
ruhani (ruh / arwah) itu tidaklah mati dan yang mati itu adalah yang bersifat dhahir atau fisik (jasmani) manusia,
yakni dapat membusuk, lalu dimakan ulat dan cacing serta pada akhirnya menjadi
tanah kembali. Kehidupan ruhani tersebut dalam firman Allah SWT: QS. Al Baqarah: 154 yang berbunyi “Wa laa taquuluu li may yuqtalu fii sabiilillaahi amwaaatum bal
ahyaa-aw walaakil laa tasy’uruun” yang artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan
terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka) itu mati; bahkan
mereka itu (sebenarnya) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”.
Pada umumnya bila
batas hidup manusia di dunia telah selesai, maka kita menyebutnya “telah
berpulang ke-Rahmattullah” atau
kembali “ke-sisi Allah SWT”, dan pada
akhirnya orang (kita) yang ditinggalkan di dunia ini biasa mendo’a semoga “arwah-nya
atau ruh-nya
(yang meninggal) dapat diterima disisi-Nya (Allah)”. Jika ruhnya atau arwahnya (yang meninggal)
tersebut tidak diterima disisi-Nya (Allah),
tentu akan menjadi pertanyaan yakni kemana perginya ruh tersebut ? Umumnya ruh
(arwah) dimaksud akan “bergentayangan” diantara langit dan bumi dan tidak
sampai kepada-Nya (Allah), apalagi
selama hidup orang tersebut tidak pernah ber-shalawat, sehingga do’anya selama hidup tergantung diawang-awang
antara langit dan bumi, hal tersebut dalam hadits
disebutkan: yang artinya: “Dari Umar Ibnu Khaththab, Ia berkata: “Sesungguhnya
do’a itu terhenti diantara langit dan bumi, sedikit pun tidak bisa naik,
sehingga engkau bershalawat akan Nabi-mu. Do’amu tidak akan dikabulkan tanpa
shalawat atas Rasululullah, do’amu tergantung diawang-awang” (HR. Tirmidzi), dan kalau sudah demikian
maka kemudian ruh tersebut “disambar oleh syeitan” dan penyesalan tiada
berujung serta arwahnya terus bergentayangan bersama setan turut mengganggu
manusia-manusia lainnya terutama yang telah beriman. Pengakuan terhadap Rasulullah SAW dan bershalawat kepadanya memang penting dan
diperlukan. Hadits lain menyebutkan
“Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah
SAW bersabda: “Barang siapa ber-shalawat kepada-Ku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepada orang itu sepuluh kali” (HR. Tirmidzi).
Hanya dengan ruhani yang sucilah, bisa sampai
kepadaNya (Allah SWT). Tentu standar kesucian ruhani ini harus ada.
Untuk hal itu, yang sudah jelas dan “terjamin” adalah kesucian ruhani Rasulullah SAW, karena telah disucikan
oleh Allah SWT, yang telah sempurna
dan dapat pula menyempurnakan ruhani manusia lainnya. Sabda Rasulullah SAW dalam Hadits: “Bahwa sesungguhnya bagi tiap-tiap
sesuatu itu ada alat dan cara mencucinya, maka sesungguhnya alat dan cara
mencucikan hati nurani adalah dzikrullah”
[2], tentu melalui
jalan tarekatullah.
Selanjutnya dengan
melalui keruhanian Rasulullah SAW itu
pulalah yang akan dapat mensucikan ruhani ummat Islam yang beriman dengan
metode dzikrullah yaitu melalui ilmu tarekat (jalan-Nya / metode-Nya),
sebagai wasilah akbar dan ikutan yang baik. Dengan ber-imam-imam-an secara
ruhani, yang sambung menyambung dari ruhani Nabi Muhammad SAW sampai akhir zaman dan
bertali-hubungan antar generasi ke generasi atau dari berbagai masa dengan
membawa bendera kepemimpinan (sebagai khalifah)
dizamannya, yang pada akhirnya ruhani-ruhani dari ummat orang-orang Islam yang
beriman tersebut akan bergabung dan bermuara kepada ruhani Rasul atau Arwahul muqadashah
Rasululluh SAW.
Hati sanubari itu
merupakan pokok pangkal tumpuan ibadat, seperti ketika Nabi dikeluarkan
segumpal darah (hati) dari jantung tersebut, kemudian Jibril berkata: "Ini adalah bagian syaithan dari dirimu",
lalu dicuci dan disucikan. Dan setan itu bisa masuk aliran darah manusia. Rasulullah SAW bersabda: “Di dalam Bani Adam itu ada segumpal darah
(hati / qolbu), kalau ini suci, sucilah semua amalannya, kalau ini kotor,
kotorlah semua amalannya”. Juga “Dalam tubuh manusia ada segumpal darah /
daging, bila ia baik maka baiklah seluruh tubuh / jasad, bila ia jelek / rusak
maka rusaklah seluruh jasad, ingat ! itulah qalbu “(HR. Bukhari). Hadits menjelaskan lebih lanjut “Sesungguhnya di dalam tubuh
terdapat segumpal daging. Jika kondisinya baik, maka baiklah seluruh jasad.
Jika rusak, maka rusaklah seluruh badan. Ingatlah, dia adalah hati”.
Karena hati ini-lah yang pada umumnya akan memerintahkan anggota-anggota
seluruh tubuh (otak, tangan, kaki dan lainnya) untuk melakukan sesuatu, juga
dapat memerintahkan otak untuk berfikir dan berbuat sesuatu; Maka hati
harus diwaspadai ! Jikalau sudah
berniat buruk maka seluruh anggota badan akan mengikutinya.
Untuk itulah hati
ini haruslah sering dibersihkan dari hal-hal yang kurang baik atau dengan cara ber-taubat dengan menggunakan metode dzikirullah.
Segalanya tentu dan harus sesuai dengan ajaran Islam. Apalagi untuk mendekat
pada Allah SWT yang Maha Suci, tentu
hati juga haruslah suci, jika penuh
dengan gelimang dosa dan niat yang buruk pasti akan tertolak. Hanya hati yang
suci, lunak dan tenang yang akan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT tersebut dalam QS. Al
Fajr:27-30 “Yaa ayyutuhan nafsul
muthmaina. Irji’ii ilaa robbiki roodhiyatan mardhiyah. Faad khulii
fii’ibaadii. Wad khulii jannatii”, artinya:
”Hai
nafsu (jiwa) yang tenang (suci), kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dengan (hati)
ridha dan diridhoi (Allah). Maka masuklah kamu dalam golongan hamba-hambaKu.
Dan masuklah kamu ke dalam syorgaKu”. Untuk itulah diperlukan suatu
metode atau cara untuk berhubungan dengan Allah,
melalui utusannya sebagai suatu rahasia
teknis dari pelaksanaannya untuk orang-orang yang memang memerlukan
petunjuk atau bimbingan. Sabda Rasulullah
SAW dalam Hadits Qudsi yang
artinya: “Tidak dapat bumi dan langit-Ku menjangkau / memuat akan zat-Ku /
membawa asma-Ku (kalimah-Ku), melainkan yang dapat menjangkaunya / memuat ialah
hati hamba-Ku yang mukmin / suci, lunak dan tenang “ (Hadist Qudsi, R. Ahmad dari Wahab bin
Munabbih).
Seperti diketahui dan dimaklumi, bahwa faktor yang
membuat hati atau jiwa tidak tenang adalah adanya iblis atau setan sesuai dengan
janji atau sumpahnya di hadapan Allah
SWT, bahwa dia tidak berhenti untuk menggoda dan menyesatkan ummat manusia.
Oleh karenanya, dari para kaum Sufi
atau orang yang ber-tasawwuf-lah yang
telah memiliki cara atau metode pengamalan yang disebut dalam ilmu tarekat dengan dzikir yang dapat membuat hati menjadi tenang. Untuk itu carilah tarekat yang dianggap benar dan bersifat
muktabarah, dengan melalui guru-guru
atau mursyid-nya, terutama bimbingan
dari para ahli silsilah atau istilah dimasa kini yang umumnya disebut Ulama Pewaris Nabi (Guru yang Mursyid, pewaris ilmu Rasul) yang dapat menutup sekaligus
membersihkan lintasan iblis atau setan di dalam jiwa / hati / ruhani manusia.
Menurut Imam Al Ghazali, bahwa di
dalam jiwa ini ada dua lintasan, yaitu pertama lintasan malaikat dan yang satu
lagi adalah lintasan iblis atau setan, dimana malaikat dan setan setiap hari
bahkan setiap saat saling berebut pengaruh dalam jiwa atau hati seseorang
khususnya hati para kaum muslimin.
Pada masa kini
sudah tidak ada lagi yang namanya Nabi,
yang ada adalah “Al Ulama Warasathul Ambiya” yaitu Ulama Pewaris Nabi, yang fungsinya juga sama. Hadits menyebutkan “Ulama itu adalah pewaris-pewaris para
Nabi “ (H.R. Abu Daud, At Tarmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban). Sebagai
pewaris tentu ada silsilahnya (asal-usulnya jelas dan sanat-nya sampai pada Nabi Muhammad SAW), ada pula “persyaratan” dan “tanda-tanda” berupa warisan “ilmu” dalam agama Islam baik bersifat
jasmani maupun bersifat ruhani atau berupa fisik dan metafisik, yang ajarannya “membekas”
pada para pengikutnya atau jema’ahnya atau para muridnya yang semuanya bersumber
dari Al Qur’an dan Al Hadits. Firman Allah
SWT dalam QS Ali Imron:164 “Laqod mannallahu ‘alal mu’minina idz
ba’atsa fihim rasuulam min anfusihim yatlu ‘alaihim ayathi wa yuzakkihim wa yu’alimuhumul kitata
wal hikmata wa inkanu min qalu lafi dhalalim mubin”, yang artinya: “Sesungguhnya
Allah mengangkat diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan / mensucikan (jiwa
/ ruhani ) mereka (dengan ruhaninya) dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan
sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu mereka adalah benar-benar dalam
kesesatan yang nyata”. Juga
dalam Q.S
At Taubah : 128 – 129: “La qod
jaa akum rosuulum min anfusikum “ziizun
‘alaihi maa ‘anittum harisshun ‘alaikum bil mu’miniina ra uufur rohiim. Fa in
tawallau fa qul hasbiyallaa hu laa ilaaha illa hu wa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa
robbul ‘arsyil ‘azhiim”, artinya: “Sesungguhnya telah datang kepada kamu
seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaan kamu lagi
sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada
orang-orang mukmin. Maka jika mereka berpaling, maka katakanlah, Cukuplah Allah
bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku ber-tawakkal, dan Dia
adalah Tuhan yang memiliki “arasy yang
agung”.
Panggilan
ditujukan hanya terhadap orang-orang yang beriman untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT tersebut dalam QS Al Maidah : 35 yang berbunyi: “Yaa ayyuhal ladzina aamanut taqullaaha
wabtaghuu ilaihi washilata wajaahiduu fii sabiilihi la’alakum tuflihuun”, artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman (percaya), taqwalah (taat / patuh) engkau akan Allah,
temukan / carilah wasilah (cara mendekatkan diri / metode / chanel) yang akan
menyampaikan engkau langsung ke hadirat Allah SWT. Sungguh-sungguhlah beramal
(berjuang / istiqomah) di atas jalan Allah itu, niscaya engkau akan
mendapat kemenangan”.
Diterangkan lebih lanjut dalam hadits : “Adakanlah
(jadikanlah) dirimu (ruhanimu) beserta Allah, jika engkau belum bisa menjadikan
dirimu (ruhanimu) beserta Allah, maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang
yang beserta dengan Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang menghubungkan
engkau langsung kepada Allah” (HR.
Abu Daud). Dan untuk meraih semua itu tidaklah mudah selain percaya juga
harus bertaqwa, yaitu ada kepatuhan
dalam menjalankan amal–ibadah dan berusaha menemukan ‘metode’ atau ‘jalan Allah’ (dzikir dalam tarekat) untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Setelah menemukan jalan pendekatan yang dimaksud, ternyata itu saja belumlah
cukup karena harus berjuang di “jalan” Nya itu yakni dengan sungguh-sungguh (istiqomah) secara terus menerus dan berkesinambungan (ajeg) barulah bisa
memperoleh kemenangan (manfaat / keberuntungan) disisi-Nya. Dalam QS. Al-Ankabut: 69 disebutkan yang artinya: “ Dan
orang yang berjuang di (jalan) Kami, Kami pasti menunjukkan mereka pada
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang
berbuat baik”. Setelah beristiqomah
baru memperoleh kemenangan. Kemenangan yang dimaksud disini bukanlah
keberhasilan dalam memerangi orang lain, tetapi keberhasilan dalam memerangi
hawa nafsunya sendiri yaitu dengan metode dzikrullah-tarekatullah yang haq.
Disamping itu petunjuk Allah SWT
tidak diberikan kepada semua orang, artinya harus ada usaha pendekatan atau
pencarian. Atau Allah sendiri yang
telah menunjukkan jalan atau menyesatkan jalan, seperti dalam QS. Al Kahfi: 17 “May yahdillaahu fahuwal muhtadi wa may yudhlil falan tajidalahu
waliyam mursyidaa” yang artinya: “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah
dialah yang mendapat petunjuk dan siapa yang dibiarkannya sesat, maka tidak ada
seorang Wali-Mursyid pun (seorang Guru / pembimbing ruhani / pemimpin / Imam)
yang memberi petunjuk”. Juga dalam QS.
Al Muddatssir: 31 yang artinya: “Allah menyesatkan orang yang Dia kehendaki
dan menunjukkan kepada orang yang Dia kehendaki”. Dalam QS. An Nuur: 21 disebutkan yang artinya:
“ Kalau
tidak karena anugrah Allah terhadap kamu dan rahmatNya, maka tidak satupun
diantara kamu yang bersih selama-lamanya. Tetapi sesungguhnya Allah
membersihkan siapa-siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha mendengar lagi
Maha Mengetahui”.
Sumber utama keruhanian dalam Islam adalah keruhanian Rasulullah SAW yang dilanjutkan oleh
para penerusnya / pewarisnya yakni para Khalifah Rasulullah, yang masa kini
oleh para Ahli Silsilah atau Ulama-ulama Pewaris - Nya, hingga
nanti yang sambung-menyambung sampai akhir zaman. Firman Allah SWT yang menunjukkan adanya khalifah yang tetap hidup di muka bumi seperti berikut dalam QS. Al
Baqarah : 30 yang artinya: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi”.
Pada masa kini pemahaman keruhanian (ruh-gaib) banyak
ditinggalkan kaum muslimin dan lebih banyak mengutamakan pada segi-segi
lahiriyah atau jasmani atau rasionya saja serta yang bersifat ilmu
sosial-ekonomi-kemasyarakatan. Berdasarkan Al
Qur’an dan Al Hadits hubungan
(kontak) ruhaniah antara orang yang hidup dengan orang yang mati bisa dilakukan
seperti sabda Nabi SAW: yang artinya:
”Tiada
seseorang memberi salam kepadaku, melainkan Allah mengembalikan ruhku kepadaku,
hingga kukembalikan (kujawab) salamnya itu” (HR. Muslim). Dalam hadits
tersebut diterangkan bahwa setiap salam orang yang hidup kepada Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat, akan dijawab
beliau, sama halnya dimasa hidupnya, karena menurut hadits lainnya Nabi-nabi hidup dalam kuburnya. Sebagai suatu bentuk
“kepastian” adanya kontak antara orang hidup dengan orang mati walaupun jarak
dan waktunya berabad-abad lamanya. Lebih lanjut dalam firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran: 169 “Wa laa
tahsabannal ladziina qutiluu fii sabilillaahi amwaatam bal ahyaa-un
‘indarabbihim yurzaquun” yang
artinya: ” Dan janganlah kamu anggap mati orang-orang yang gugur di jalan Allah,
bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan diberi rezeki”.
Hubungan yang bersifat ruhaniah juga dapat dijelaskan
dalam peristiwa Isra’ Mi’raj dan
menurut tafsir Al-Futuhatul Ilahiah,[3] dikatakan bahwa: “
Beliau
(Nabi Muhammad SAW), menjadi imam bagi Nabi-nabi, Malaikat dan Ruh-ruh orang yang beriman
”. Dalam hadits yang artinya: “Kemudian
aku pun memasuki Baitul Maqdis. Maka berhimpunlah sejumlah Nabi-nabi a.s.
(disekitarku), Jibril pun mengemukakan aku maju ke depan, sehingga aku pun
mengimami mereka” (HR. Anas bin
Malik). Dan ketika Nabi SAW dilangit
yang pertama, menurut hadits Bukhari
dan Muslim, beliau bertemu dengan Nabi Adam, dilangit ke dua bertemu
dengan Nabi Yahya, Nabi Zakaria dan Nabi Isa, di langit ketiga bertemu
dengan Nabi Yusuf, di langit keempat
bertemu dengan Nabi Idris, di langit
kelima bertemu dengan Nabi Harun,
dilangit keenam bertemu dengan Nabi Musa
dan di langit ketujuh bertemu dengan Nabi
Ibrahim ‘alaihimussalam dan
menyaksikan Baitul Makmur yang setiap harinya dimasuki 70.000 malaikat.
Sampailah Nabi Muhammad SAW di Sidrotul
Muntaha. Selanjutnya hadits
menerangkan ketika Nabi SAW tiba di Baitul Makdis shalat bersama Nabi-nabi,
Malaikat dan Ruh-ruh orang mukmin dan beliau menjadi Imamnya.[4]
Disamping itu, agar tetap dapat berhubungan ruhani, Nabi
Muhammad SAW memerintahkan kepada
ummatnya dikemudian hari supaya mengikuti Abu
Bakar Shiddiq, Umar, Utsman dan Ali, sebagaimana tertuang dalam hadits
berikut yang artinya: “Ikut kamulah sunnahKu, dan sunnah
khalifah-khalifah yang cerdas (Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali) sesudahku,
berpegang teguhlah kamu kepadanya, dan gigitlah dia dengan gerahammu kuat-kuat
!” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah
dan Turmudzi, disahihkan oleh Al Hakim). Dalam daftar Silsilah tarekat yang mukthabarah pada umumnya bersumber dari 4 khalifah Rasulullah di atas. Seluruh isi qalbu Rasul diwariskan tidak melalui rasio, tapi melalui hati
sanubarinya, dan itulah yang disebut ulama warisatul anbia. Selanjutnya
dijelaskan dalam QS. Yunus: 14 “Tsumma ja’alnaakum khalaa-ifa fil ardhi mim
ba’dihim li nanzhura kaifa ta’maluun” yang artinya: “Kemudian Kami jadikan
kamu pengganti-pengganti di bumi
sesudah mereka untuk Kami perhatikan apa yang kamu kerjakan”. Nabi
Muhammad SAW sangat mengetahui
keadaan ummatnya, amal baiknya, kejahatannya dan semua tingkah lakunya.
Karenanya pulalah di hari kemudian beliau bertindak menjadi saksi atas
perbuatan ummatnya. Beliau bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kamu, kamu dapat
bercakap-cakap dan Ia pun dapat bercakap-cakap dengan kamu. Maka apabila saya
wafat, kewafatanku itu lebih baik bagi kamu. Amal-amal kamu akan disampaikan
kepadaku. Jika kulihat baik, maka aku memuji Allah. Dan jika kulihat tidak
baik, maka aku meminta ampunkan kamu kepada Allah”. Selanjutnya dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud
dari Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya
Allah mempunyai malaikat yang mengitari bumi, mereka menyampaikan salam ummatku
kepadaku”.
Sangat disayangkan di akhir zaman ini tidak dikenal lagi
akan kedasyatan Al Islam, karena unsur metafisika
Islam yang terdapat dalam teknologi Al
Qur’an atau unsur ruhaniah ini diabaikan, bahkan tidak dikenal atau tidak
diketahui sama sekali. Benarlah firman Allah SWT dan apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW dalam beberapa buah hadits berikut di bawah ini. QS. Al Waqi’ah : 79 firman Allah SWT : “Laa yamassuhuu illah muthahharuun” yang artinya: “Al
Qur’an tidak dapat disentuh (tidak dapat dimanfaatkan dan tidak berjaya)
kecuali bagi orang yang disucikan (lahir dan batinnya / jasmani-ruhaninya)”.
Untuk itu perlu pemikiran yang masuk akal (ilmiah) dalam memahaminya seperti
penjelasan dalam hadits “ Al Islaamu ya’luu walaa yu’laa ‘alaihi” artinya: “Islam adalah sangat tinggi, tiada yang dapat
melebihinya” (HR. Imam Bukhari), disebutkan juga: “Al Islaamu ‘ilmiyyyun wa ‘amaliiyyun”
yang artinya: “Islam adalah Ilmiah dan Amaliah”
(HR. Imam Bukhari). Tidaklah
mengherankan pada masa kini pengamalan dzikir
dalam tarekat tidak banyak yang
mengetahui dan bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang asing, baru, dan
memberatkan. Dalam hadits Riwayat Imam
Bukhari menyebutkan: “Orang Islam di akhir zaman tidak mengenal
lagi akan Islamnya yang sebenarnya” (HR. Bukhari). Sabda Rasulullah
SAW dalam Hadits: “Bada-a al Islaamu
ghariiban wa saya’uudu kamaa bada-a ghariiban fathuubaa lil ghurabaa-i”
yang artinya: “Islam muncul dalam keadaan asing dan bakal kembali menjadi asing (juga
asing bagi orang Islam sendiri), sebagaimana pemunculannya. Maka beruntunglah /
bergembiralah bagi orang-orang yang dianggap
asing” (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Ummat pun bertanya, ditanyakan: “Siapakah
orang-orang asing itu ? Rasulullah
bersabda: “yaitu orang-orang yang memperbaiki sunnahKu yang dirusak manusia dan
orang-orang yang menghidupkan sunnahKu yang dibunuh manusia”. Hadits juga menyebut: “Ikutilah
sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku dan
pegang teguhlah padanya” (HR. Al
Hakim). Rasul pun bersabda: “Aku telah meninggalkan pada kamu dua hal,
kitab Allah dan sunnahku. Kamu tidak sesat selama berpegang padanya” (HR. At Tirmudzi). Dalam salah satu hadits lainnya ada menyebutkan: “Sesungguhnya
termasuk salah satu tanda akan datangnya hari kiamat adalah dicarinya ilmu dari
orang-orang rendahan” (Silsilah
Hadits Shahih no.695). Dan dalam ”Riwayat dari Abi Rabah, dari Sa’id bin
Musayyab, bahwa dia melihat seorang lelaki shalat setelah terbit fajar, lebih banyak dari dua raka’at, dia memperbanyak ruku’
dan sujud, maka Sa’id bin Musayyab
melarangnya, lalu orang itu bertanya: Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku karena shalat ? Sa’id menjawab:Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena (kamu) menyelisihi sunnah”.
[2] Hadits riwayat An-Nu’man bin Basyir dan dikeluarkan oleh Bukhari
tentang iman hal. 117.Demikian
juga Imam Muslim yang menyebutnya di halaman 1599 tentang al masaqah bab “Mengambil yang halal dan
meninggalkan yang syubhat”
[3] Tafsir
Al-Futuhatul
Ilahiah, Jilid 2, halaman 61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar