Laman

Kamis, 22 Maret 2012

MENGENAL HIPERPLURALIS ISLAM & JIHAD

MENGENAL HIPERPLURALIS  ISLAM & JIHAD
Oleh
Agus Mulyadi Utomo
 Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
goesmul@gmail.com

Islam sebagai agama, merupakan referensi pesan-pesan agama terutama Al Qur’an dan hadits Nabi serta pengembangan tradisi pemikiran ke-Islam-an. Disebutkan dalam hadits Nabi:”al-diin-u nashiihah” artinya “agama itu adalah nasihat”. Lebih lanjut ilmunya diperluas dan diperdalam. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan ke-agama-an Islam ini, juga telah melahirkan beberapa mazhab dan aliran pemahaman diantaranya berada dalam ilmu kalam (tauhid), tasawuf (ungkapan, metode tarekat) dan fikih (kukum) ada yang murni, ada bersifat keras, moderat, pluralis bahkan hiperpluralis. Sebagai ummat muslim perlu mengenal lebih luas perbedaan pandang tentang Islam dan perjuangannya, sehingga dapat menuntun semua pihak menuju kearah yang lebih baik terutama bagi kaum muda agar tidak terjebak ajaran kekerasan (‘teroris’).  Beragam pemahaman diantaranya sebagai berikut di bawah ini.

a.    Dalam bidang ilmu kalam atau tauhid (ushulu‘l-din) [1] terdiri: 1). Murji’ah, suatu golongan yang bertentangan dengan golongan Khawarij, pengertiannya adalah pengakuan iman cukup dalam hati dan penangguhan vonis hukuman seseorang yang berdosa besar sampai pengadilan Allah SWT kelak dan tidak mengkafirkan orang muslim (yang meyakini dua kalimah syahadat). 2). Jabariyah, mengajarkan  paham bahwa manusia tidak memiliki kekuatan untuk berbuat sesuatu dan tidak memiliki kemauan, semuanya atas kehendak Allah SWT, namun tetap menerima konsekuensi menerima pahala dan siksa sesuai perbuatannya. 3). Qadariyah, mengajarkan paham bahwa manusia memiliki kudrat irodat untuk berusaha dan berbuat sesuai kemampuannya (ia kuasa penuh berbuat baik atau buruk), menolak adanya qodar dan takdir Allah,  bagi yang berdosa besar tidak dikafirkan dan tidak pula digolongkan mukmin tetapi cukup muslim saja. 4). Mu’tazilah, memiliki 5 ajaran pokok: (a) tidak mengakui sifat Allah melainkan dzat Allah itu sendiri , Al Qur’an adalah makhluk, Tuhan di alam akherat tidak dapat dilihat mata dan yang terjangkau mata bukan Tuhan;(b) keadilan Allah akan diberikan sebagai imbalan sesuai apa yang diperbuat; (c) bahwa Allah akan menepati janjinya memberi pahala kepada muslim yang berbuat baik dan mengancam melimpahkan siksa kepada muslim yang berbuat dosa; (d) bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa besar statusnya diantara mukmin dan kafir yakni fasik; dan (e) amar-makruf (tuntutan berbuat baik) dan nahi mungkar (mencegah perbuatan tercela) berkaitan dengan hukum Islam (fikih). 5). Ahlu‘l-Sunnah wa‘l-Jama’ah (Sunni), adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW (ahlussunnah) dan Sahabat Nabi (jemaah). Bahwa Tuhan (Allah) mempunyai sifat sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an, qodim, bukan makhluk atas dasar  QS. Yasin 82 : ”Sesungguhnya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia”. Di akherat Tuhan dapat dilihat oleh mata didasarkan QS. Al Qiyamah 22-23: ”Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu bercahaya, kepada Tuhannya mereka melihat”. Orang muslim yang berbuat dosa besar bila meninggal sebelum bertaubat, tetap mukmin, tidak kafir dan berada antara mukmin dan kafir. Sedang di akherat terserah kepada Allah SWT, bisa dihukum neraka menurut kadar dosanya atau sebaliknya mendapatkan ampunan Allah SWT, atau mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW (dan melalui ‘jalanNYA’, penerusnya atau ulama-ulama pewaris Nabi, Wali-Mursyid) sehingga dapat masuk surga. 6). Khawarij, bermula segolongan orang yang menentang, tidak mengakui dan memisahkan diri dari kekhalifahan Ali bin Abu Tholib. Ajaran pokoknya adalah bila orang melakukan dosa besar adalah kafir, mereka yang terlibat perang Jamal (Aisyah, Tholhah dan Zubair) dan Arbirtasse dihukum kafir, pandangan menentukan kholifah (pemimpin) secara “demokratis”, harus dipilih rakyat (ummat) serta tidak harus keturunan Nabi dan bangsa Quraisy, siapapun bisa asalkan mampu dan benar. Ada 6 sekte khawarij: (a) muhakkimah, yang memisahkan diri dari Ali bin Abu Tholib, (b) azariqoh, terkenal radikal yang mengkafirkan ummat Islam yang tidak segolongan, (c) najadat merupakan pecahan azariqoh, (d) as-sufriyah menyerupai azariqoh, (e) al-ibaadiyah agak lebih lunak dan pengikutnya boleh menikah dengan golongan lain, dan (f) al-ajaridah dalam perkembangannya beberapa kelompok seperti syu’aibiyah, hamziyah, hazimiyah, dan maimuniyah. 7). Wahabiyah, suatu golongan gerakan wahabi dari Saudi Arabia yang didukung oleh penganut mazhab Hambali ini berhasil berkuasa dan mendirikan kerajaan Wahabi di Jazirah Arabia. Golongan ini memberantas segala sesuatu yang dianggap dilarang agama, kemaksiatan, yang mengarah pada syirik, bentuk kemusrikan, dan kekafiran dengan sangat keras, seperti polisi syariat bahkan melebihi dari petugas negara yang resmi, terutama tentang ketauhidan yang menurut mereka banyak daerah-daerah ummat Islam di dunia melakukan penyimpangan ajaran tauhid. Ajaran tauhid golongan ini ialah: a) tauhid rububiah dengan berikrar bahwa Allah SWT satu-satunya pencipta, pemelihara, pemberi rezeki, pengatur, menghidupkan dan mematikan, b) tauhid al-asma wa al-shifat, suatu kepercayaan pada nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT sesuai dalam Al Qur’an, dan c) tauhid ibadah, segala amal ibadah diniatkan untuk berbakti kepada Allah SWT yang dilaksanakan secara fisik sebagai gerakan nyata dan pikiran yang rasional, tetapi prakteknya tidak secara menyeluruh dan berfikir sektorial dan parsial atau terpenggal-penggal. Dalam perkembangannya kelompok ini sebagai penggerak purifikasi militant (pemurnian) yang disebut kelompok fundamentalis atau Islam garis keras, yang hendak menanamkan sebuah tradisi lokal budaya Arab dan menyeragamkan cara berfikir sebagai doktrin yang khas dengan membatasi aspek yang bersifat universal dengan bentuk pemaksaan dan bila perlu dengan kekerasan, lalu menghalalkan segala cara untuk tujuan tersebut. 8). Salafiyah, kata salafiyah (bhs. Arab) artinya terdahulu. Maksudnya adalah sikapnya seperti dari orang-orang terdahulu yang hidup semasa Nabi Muhammad SAW, para Sahabat, Tabiin, Tabiit Tabiin yang menjadi acuannya. Ibnu Taimiyah penyeru untuk berakidah salaf dan mendapatkan dukungan dari penganut mazhab Hambali. Kegiatan dari kelompok ini dalam perkembangannya cukup eksklusif (menyendiri), tidak mau hidup berdampingan atau jarang membaur dengan kelompok Islam lainnya, lebih banyak berkumpul hanya bersama kelompoknya saja. 9). Syi’ah, yang dimaksud syi’ah adalah mereka yang memuja Ali bin Abu Tholib dan keturunannya. Mereka menganggap bahwa Ali yang berhak sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan ketiga  Kholifah sebelumnya dianggap “tidak sah” serta menamakan sebagai pecinta ahlul bait (keluarga Nabi). Ajaran pokok syi’ah: a) mengutuk, tidak membenarkan atau menolak kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq ra, Umar bin Khoththob ra, dan Utsman bin Affan ra., serta  mengakui Ali bin Abi Tholib ra. saja sebagai khalifah; b) kekhalifahan (keimamam) dilakukan secara turun-temurun sampai 12 imam; c) Imam adalah maksum, tidak pernah berbuat dosa sebagaimana Nabi dan percaya juga menerima wahyu dan suara Jibril as.; d) tidak menerima hadits yang diriwayatkan selain dari imam mereka. Karenanya tidak mengakui hadits-hadits Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Nasai. Juga tidak menerima tafsir Al Qur’an selain yang ditafsirkan oleh imam mereka. Tidak menggunakan ushul fikih dan tidak menerima qias serta ijmak. Golongan syi’ah ada 22 sekte, yang menonjol adalah (1) Rafidhoh, paling ekstreem karena mengkafirkan golongan lain, Jibril telah melakukan kesalahan menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad bukan kepada Ali bin Abi Tholib, ruh orang meninggal akan kembali ke dunia  sebagai reinkarnasi, (2) Imamiah (istna ‘asyiriah) percaya bahwa yang berhak memimpin ummat Islam adalah 12 imam mereka, (3) Ismailiah mempercayai imam itu hanya tujuh orang dari urutannya sampai ke tujuh dari Ali, (4) Zaidiah adalah golongan yang moderat dan tidak sepenuhnya sependapat bahwa Ali dan keturunannya yang berhak menjadi khalifah dan tidak memvonis ketiga khalifah sebelumnya tidak sah. 10). Juga ada golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah. 

b.  Dalam bidang fikih ada empat mazhab yang termasuk golongan Sunni yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali serta muncul kelompok Syi’i yaitu Zhahiri, Ja’fari dan Zaydi.                Mazhab Maliki: Imam Maliki (Malik ibn Anas Al Ashbaqi 93-179 H) lahir di Madinah pada tahun 93 H / 712 M, (versi Qodi’Iyad: 93 H – 189 H [2]) konon ia dikandung 12 bulan, bahkan riwayat lain selama 3 tahun. Dan sekitar 57 tahun lebih tua dari Imam Syafi’i. Beliau adalah seorang ulama atau Imam yang tekun mengumpulkan hadits dan menghafalnya. Ia hidup pada masa Tabi’in dan Tabi’tabi’in (orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi dan orang yang berjumpa dengan orang yang telah berjumpa dengan sahabat Nabi). Pada saat itu Ia hidup di kota kerajaan Islam di Kota Kuffah. Adapun Madinah, di kala itu termasuk kota yang sepi, hanya dihuni oleh pemangku-pemangku hadits, ahli tafsir, ulama ahli tashawuf, meraka terdiri dari Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’tabiin. Sedang kota Kuffah didiami oleh jago-jago politik, yang tidak kalah pula fungsinya dengan ulama-ulama. Oleh sebab itu dasar Mazhab Maliki diantaranya ialah amalan orang Madinah (Ulama Madinah). Imam Malik adalah seorang “Huffazh” (penghafal hadits) nomor satu pada zamannya. Tidak ada seorangpun yang bisa menandingi beliau dalam hal penghafalan hadits. Pada usia 40 tahun 100.000 hadits yang sudah dihafal diluar kepala itu, lalu diteliti pe-rawi-nya dan beliau cocokkan dengan ayat-ayat suci Al Qur’an tentang arti dan tujuannya. Pada akhirnya hanya 5000 hadits yang oleh beliau dianggap shahih. Dan kemudian beliau kumpulkan menjadi satu dalam kitab yang diberi nama “Almuwaththa” (yang disepakati). Sesuai dengan namanya “Almuwaththa” yang disepakati, karena kitab tersebut telah dimufakati oleh 70 ulama fiqih di Madinah. Imam Safi’i berkomentar: “Kitab yang paling shahih sesudah Al Qur’an, ialah “Almuwaththa”.[3] Dasar-dasar pokok dari Mazhab Maliki yaitu berpegang pada: 1) Al Qur’an; 2) Sunnah Rasul SAW yang dipandang sah; 3) Ijma’ Ahl Madinah ( kadang  menolak hadits yang berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah); 4)  Qias (kias / analogi / membandingkan); 5)  Istislah. (istilah fikih, yaitu pendapat bahwa sesuatu Adalah salih karena berfaedah, bijak untuk kepentingan dan keperluan umum). Mazhab Maliki ini banyak penganutnya di Tunisia, Tripoli, Maroko, Aljazair, Mesir Atas dan beberapa daerah Afrika.[4] Mazhab Syafi’i: Imam Syafi’i (Abu Abdullah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i 150 – 204 H) dilahirkan di Gazza, sebuah kampung di Asqolan, bagian selatan Palestina, pada tahun 150 H, keturunan suku Quraisj. Walaupun beliau dilahirkan di Ghazza (Palestina), tetapi tumbuh dewasa dikampung halamannya di Mekkah.  Ayah-Ibunya datang kesana untuk suatu keperluan dan tidak lama beliau lahir disitu. Beliau menjadi anak yatim, sebab sejak kecil sebelum mereka kembali ke Mekkah ayahnya telah wafat di Ghazza.  Nama asli dari Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris dengan bergelar Abu Abdillah. Dalam urutan nasab, beliau mempunyai hubungan erat dengan nenek moyang Nabi Muhammad SAW. Nenek moyang beliau jika dijabarkan maka sebagai berikut: Muhammad bin Idris, bin Abbas, bin Utsman, bin Syafi’i bin Saib, bin Abi Yazid, bin Hasyim, bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, bin Qushal. Dari pihak ibu: Muhammad bin Fatimah, binti Abdullah, bin Hasan, bin Husen, bin Ali, bin Abi Thalib r.a. Gelar sebagai Imam Syafi’i diambil dari nama kakek beliau yang ke empat, yaitu Syafi’i bin Saib. Catatan penting lainnya adalah pada umur 2 tahun kembali ke Mekkah Almukarramah bersama ibunya. Ketika masih kecil belajar membaca Al Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthin. Pada usia 9 tahun beliau hafal Al Qur’an 30 juz diluar kepala. Ia pandai tatabahasa, syair dan ilmu bahasa. Ia menghafalkan kitab al-Muwaththa’ dalam satu malam. Dalam usia 15 tahun diberi tugas oleh gurunya Muslim bin Khalid Azzanjiy mengajar di Masjidil Haram, memberikan fatwa, sehingga mengagumkan orang-orang yang naik Hajji pada masa itu. Pada tahun 170 H, beliau pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Maliki  dengan membawa sepucuk surat dari gurunya Muslim bin Khalid yang ditujukan kepada Imam Malik bin Anas. Dalam perjalanan yang memakan waktu 8 hari 8 malam itu, Imam Syafi’i membaca Al Qur’an 16 kali khatam. Pengetahuannya tentang Al Qur’an tak terkalahkan di zamannya,  secara istimewa dicurahkan tenaganya untuk mempelajari sunnah Nabi. Sebagai ulama besar dimana hasil ijtihadnya Imam Syafi’i dikenal dengan sebutan “Mazan Imam Syafi’i”. Beliau juga selama setahun tidak pernah pisah dengan Imam Malik. Beliau disamping menjadi murid juga diangkat sebagai pembantu Imam Malik[5] dan mengenal dengan baik ajaran Imam Hanafi dan Imam Malik. Ia mengembara ke Yaman, Baghdad dan menetap di Mesir, dan wafat pada hari kamis malam jum’at tanggal 29 Rajab 204 H / 820 M, dan dimakamkan di Zahro. Kitab-kitab Imam Syafi’i antara lain: a) Ar Rizalah (kitab ushul fiqih pertama), b) Al Umm merupakan kitab besar ilmu fiqih, c) Ikhtifatul Hadits, berisikan tentang perselisihan hadits-hadist Nabi SAW, dan d) Al Musnad, berisikan sandaran (sanad) Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadits-hadits. Ajaran Syafi’i terutama berdasarkan Sunnah seperti ajaran Imam Malik, tetapi data-data yang digunakan jauh lebih banyak dan berasal dari berbagai tempat. Dasar-dasar pokok Mazhab Syafi’i berpegang pada:  1) Al Qur’an; 2) Tafsir lahirnya Al Qur’an selama tak ada dalil yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan lahirnya; 3)   Sunnah Nabi SAW; 4)  Ijma’ (hukum yang tak ada dalam Al Qur’an dan Hadits, keputusan diambil alim-ulama dan atas kata sepakat), yang tidak diketahui ada perselisihan tentang itu; 5) Qias. (ditolak dasar istihsan dan dasar ihtislah). 6) Istidlal. (suatu istilah fikih, yakni mencari atau menegakkan dalil daripada penetapan akan dan kesimpulan-kesimpulannya atau dari seseorang yang mengetahuinya, yang dipandang sebagai ushul fikh). 7) Istishab. (suatu istilah fikih, yaitu mencari hubungan, sambungan, berusaha menghubungkan sesuatu dengan keadaan sebelumnya. Berarti membawa serta sesuatu yang telah ada di masa lalu ke masa sekarang. Istishab merupakan salah satu pegangan dalam menetapkan hukum yang tidak mempunyai dalil yang tegas dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma maupun Qiyas. Dengan perinsip istishab manusia dapat memberlakukan suatu dalil hukum yang berlaku pada masa lampau, tanpa adanya keterangan bahwa hukum itu berlaku seterusnya. Misalnya, memberlakukan ketentuan bahwa asal hukum segala sesuatu adalah boleh, kecuali bila ada larangan yang jelas, bagi hal-hal baru yang illatnya tidak ditemukan sebagai salah satu dasar pokok mazhab Syafi’i. Sebagian ulama terutama dari kelompok Hanafiah tidak menerima istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum). Penduduk terbanyak masuk dalam mazhab ini adalah Indonesia, Mesir Bawah, Arabia Barat, Siria, Semenanjung Malaya (Malaysia-Singapura), Pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, Bahrain dan beberapa negara di Asia Tengah.[6] Mazhab Hambali: Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal bin Hilai, lahir di Baghdad tahun 164 H tumbuh dewasa di kota ini dan wafat pada usia 77 tahun di hari jum’at Rabi’ul Awwal tahun 241 H / 855 M. Dan di makamkan di Bab Harb di Kota Baghdad. Nama Hambali ia sandang dari nama datuknya, sejak kecil dikenal dengan nama Ahmad bin Hambal. Ia belajar ilmu fiqh kepada al-Syafi’I, dan mencurahkan dirinya terhadap sunnah yang menjadikan sebagai tokoh besar di zamannya. Kitab–kitab Imam Hambali antara lain: a) Tafsir Al Qur’an, b) An Nasikh wal Mansukh, c) Al Muqoddam wal Muakhkhor fil Qur-an, d) Al Manasikul Kabir, e) Al Illah, f) Al Musnad yang berisi 40.000 hadits (di Indonesia hanya dikenal Al Musnad terdiri 6 jilid, Al Waro’i dan Ash Sholah). Mazhab Hambali berdasarkan atas nash, yaitu Al-Qur’an dan Hadist yang shahih, fatwa sahabat, pendapat sahabat paling dekat dengan Al Qur’an dan hadits, hadits dha’if yang tidak terlalu lemah dan hadits mursal, dan yang terakhir, jika terpaksa, juga qiyas. Karena itu mazhab ini digolongkan sebagai aliran ahlu ‘l-hadits yang mendahulukan hadits walaupun dhaif daripada ra’ya. Ulama-ulama yang berjasa mengembangkan mazhab Hambali antara lain Abu ‘l-Qasim al-Karkhi (wafat tahun 881 M), Abdu ‘l-Aziz Ja’far (wafat tahun 910 M), Ibnu Qudamah (wafat tahun 1164 M), Ibnu Taymiah (wafat 20 Syawal tahun 749 H [7] / 1273 M) dan Ibnu Qayyim (wafat tahun 1296 M). Penganut mazhab ini terutama terdapat di Arab Saudi.[8] Dasar-dasar pokok mazhab Hambali berpegang pada: 1) Al Qur’an; 2) Hadits Marfu’;3) Fatwa-fatwa para sahabat dan fatwa-fatwa sahabat yang lebih dekat pada Qur’an dan Sunnah, diantara fatwa-fatwa yang berlawanan; 4) Hadits Mursal dan hadits Da’if, ialah hadits yang derajatnya kurang daripada sahih; 5) Qias (kias / analogi / membandingkan). Mazhab ini banyak dianut penduduk Arabia Tengah, di Saudi Arabia (terutama kaum Wahabi dan tokoh lainnya adalah Ibnu Taymiiah[9] yang kemudian dijadikan sumber doktrin dalam memberantas tradisi pengagungan (ziarah) kubur para Wali dan orang muslim), juga dipedalaman Oman dan beberapa tempat disepanjang Teluk Parsi dan beberapa kota Asia Tengah.[10] Kini mulai berkembang di Malaysia dan Asia tenggara. Mazhab Hanafi: Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada Ahmad Ibn Hambal: Abu Abdillah. Imam Abu Hanifah Nu’man ibn Thabit al-Taymi (80-150 H). Ia keturunan Parsi, dilahirkan di Basra tahun 699 M dan berusia 70 tahun dan wafat di Kuffah (Bagdad).[11] Menurut versi Qodi’Iyad Ia wafat 350 H[12]. Makamnya ada di Al Khoizaron, Baghdad. Nama sebenarnya Nu’man putra dari Tsabit bin Zautho bin Mah, keturunan bangsa Ajam. Kata ‘hanif’ dalam bahasa Arab berarti cenderung kepada agama yang benar. Riwayat yang lain mengatakan beliau erat dengan tinta guna mencatat ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Ayahnya keturunan Persia yang berasal dari Afganistan. Abu Hanifah pernah berguru kepada Atha bin Abi Rabah, Imam Muhammad bin Abu Sulayman, Imam Nafi’ Mawla Ibnu Umar dan Imam Muhammad al-Baqir. Hanifah termasuk tabi’in sebab ia masih sempat berjumpa dengan beberapa sahabat Nabi Muhammad misalnya Abi Awfa, Watsilah bin al-Aqsa, Ma’qil bin Yasar, Abullah bin Anis dan Abu Tufayl. Selain sebagai ulama dan Imam Mazhab, Hanifah juga wiraswastawan yang berhasil namun hidupnya sangat wara’ dan zuhud serta pemurah. Hubungannya dengan penguasa tidak begitu baik, karena selalu menolak tawaran khalifah untuk menjadi Hakim Agung, bahkan Ia sempat dipenjara dan dihukum dera setiap hari selama 15 hari. Karena tidak berhasil membujuk Hanifah untuk memangku jabatan Hakim Agung, Khalifah al-Mansyur murka dan memanggilnya menghadap, di Istana Abu Hanifah disugihi racun lalu dikembalikan ke penjara dan meninggal di penjara.[13] Beberapa karya tulisnya yang memuat pendapatnya yang disusun para muridnya antara lain: al-Madsuth, al- jami’u ‘l-kabir, Al-Sayru ‘l-Shaghir, al-‘l-Kabir, dan al-Ziyadah. Abu Hanifah dijuluki sebagai Bapak Ilmu Fikih.[14] Mazhab Hanafi dikembangkan berdasarkan Al Qur’an, Sunnah Rasul, fatwa para sahabat, qiyas, istihsan, adat dan ‘uruf masyarakat. Sikap Abu Hanifah terhadap hadits sangat hati-hati dan selektif. Ia lebih banyak menggunakan qiyas dan juga istihsan. Hal ini ada hubungannya dengan daerah pertumbuhan mazhab ini yang jauh dari Madinah dan Mekah, tempat tinggal kebanyakan sahabat Nabi. Karena itu mazhab Hanafi seringkali disebut sebagai aliran ahlu‘l-rayu yang lebih mengutamakan rasio. Perkembangan mazhab Hanafi cukup luas karena peranan murid-murid Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf (wafat tahun 731 M) yang pernah menjadi Hakim agung di Baghdad, Muhammad bin Hasan  (wafat tahun 738 M) dan Zufar (wafat tahun 707 M). Ada ulama penganud mazhab ini yang membagi fiqih Abu Hanifah menjadi 3 tingkatan: 1) tingkatan pertama (masa-ilul ushul) kitabnya berjudul Dhohiru Riwayah, berisi kupasan dan ketetapan masalah agama oleh Imam Hanafi bercampur buah pikiran para sahabat Imam Hanafi yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan lainnya; 2) tingkatan kedua (masa-ilun Nawadir) tentang masalah-masalah agama, diriwayatkan oleh Imam Hanafi dan para sahabatnya, kitabnya Haruniyyar, Jurjaniyyat dan Kaisaniyyat (Muhammad bin Hasan), serta Al Mujarrod (Hasan bin Iyad); 3) tingkatan ketiga (Al Fatawa wal Waqi’at) berisikan masalah-masalah agama dari para ulama mujtahid mazhab Hanafi yang datang kemudian, karena keterangannya tidak mereka dapat pada pendahulunya, seperti kitab Al Fatawa wal Waqi’at pertama yaitu An Nawasil (Abdul Laits As Samarqondy, wafat 375 H). 
 
Dasar – dasar pokok dari mazhab Hanafi berpegang pada : 1) Al Qur’an; 2) Sunnah Rasul SAW beserta peninggalan-peninggalan sahih yang telah masyhur  di antara para ulama; 3)  Fatwa-fatwa para sahabat; 4)   Qias; 5) Istihsan; Secara bahasa istihsan berarti menganggap baik sesuatu (hasan), adalah salah satu cara menetapkan hukum di kalangan ahli ushul fikih. Melalui metode istihsan, seorang mujtahid meninggalkan hukum yang didasarkan atas qias jali (analogi yang jelas persamaan illatnya) ke hubungan baru yang berdasarkan atas qias khafi (persamaan illatnya tersamar) atau dari hukum yang didasarkan pada dalil kulli (alasan yang bersifat umum) ke hukum yang didasarkan atas dalil juz’i (alasan yang bersifat khusus). Salah satu contoh mengqiaskan wakaf kepada sewa-menyewa dan tidak kepada jual-beli, karena lebih mengutamakan segi kemanfaatannya daripada segi perpindahan hak milik. Perpindahan hukum itu lebih tepat. Metode istihsan ini lebih banyak digunakan dikalangan ulama Hanafiyah sebagai salah satu dasar pokok mazhab Hanafi dan ditolak keras dikalangan ulama Syafi’iyah. 6) Adat beserta ‘uruf ummat. Penganut mazhab Hanafi terdapat banyak di anak daerah India, Turki, Afganistan, Kawasan Balkan, China dan Rusia.[15] Disamping Turki dan India, juga Turkestan, Propinsi-propinsi Buchara dan Samarkand.[16] Juga di Asia Tenggara terdapat beberapa pengikut.

a.  Dalam bidang tasawuf ada dua kelompok: 1) Tasawwuf Nashari (ilmi), yang lebih memusatkan pada pembahasan masalah ketuhanan (hanya sebagai pengamatan saja) dan yang bersifat filosofis, ekspresi kesyukuran dalam berfikir dan berbuat seni. 2) Tasawwuf Amali (praktek), yang lebih memberikan perhatian pada per-amal-an dan per-ibadat-an serta pada masalah akhlak (adab) yang sesuai Al Qur’an dan Hadits serta ijma ulama. Berkaitan dengan tasawwuf, dikenal pula berbagai faham tarekat (jalan/metode). Tarekatullah yang besar dan mu’tabarah serta berkembang pengaruhnya diantaranya adalah Naqsyabandiyah yang besar (banyak cabang / kelompok), Qadiriyah, Syadzaliyah, Syattariyyah, Sammaniyah, Sanusiyah, Idrisiyah, Khalwatiyah, Tijaniyah, dan masih banyak lagi.[17] Diantaranya juga ada tarekat Chisytiyah (terkenal di India), Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN), Mawlawiyah (dari Turki), Ni’matullahi (dari Persia) dan tarekat Sanusiayah (dari Afrika Utara), tarekat Wahidiyah (oleh KH. Madjid Makruf, 1963), tarekat al-Munfaridiyah (oleh Syaikh H. Muhamad Makmun, di Mekkah, 4-9-1954).

          Dalam berbagai pertemuan dari pemikiran-pemikiran kaum muslimin dan pakar ilmu (cendikiawan muslim) serta alim-ulama dalam konstelasi dunia modern, telah pula melahirkan banyak kerangka berfikir, ada salafi, ada yang bersemboyan “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi” dan ada pula bersemboyan “Maju ke Depan Bersama Al Qur’an[18]. Dalam kerangka ini muncul istilah untuk kaum atau golongan masyarakat dan individu muslim tertentu dengan berbagai tipologi sebutan yaitu: Kaum Islam tradisionalis (kebanyakan di kampung-kampung, adat kebiasaan turun temurun); Kaum Islam KTP atau Islam keturunan (berdasar hanya identitas kartu tanda penduduk); Kaum Islam modernis ; Kaum Islam modernis-sekular atau Islam Maju (Muhammadiyah); Kaum Islam reformis; kaum cendikiawan muslim; Pengusaha muslim; Kaum Islam skriptualis; Kaum Islam Sufi atau ikhwan Tarekat; Kaum Nahdliyin (warga Nahdatul Ulama / NU) terutama dari kalangan pesantren; Kaum Islam Radikal yang bahasa Arabnya ”Syiddah Al-Tanatu” atau Garis Keras atau Islam Ekstrem contoh: Persis, Darul Islam, ada sekelompok kecil dari oposan  Wahabi-Muhamadiyah’ disebut juga Fundamentalis Islam yang bahasa ArabnyaAl-Ushulliyyah” terutama kelompok paling ekstrem dari Khawarij, yaitu: militant Wahabi radikal, jaringan al-Jemaah al-Islamiyah (JI) dan Al Qaidah yangmenyebar teror” di dunia selama ada musuh Islam, tindakannya dianggap sebagai jihad;
             Pengembangan Islam di Indonesia pada abad ke-16 dan selanjutnya, sebagian besar sebenarnya adalah atas usaha kaum sufi-tarekat, terutama penyebarannya oleh pedagang-pedagang yang merantau di nusantara, sehingga tidak heran apabila pada waktu itu pemimpin-pemimpin spiritual Islam di Indonesia bukanlah ahli syariah melainkan syaikh tarekat[19]. Selanjutnya Islam mendapat perhatian khusus dari Penjajah Belanda yang berkuasa karena adanya pemberontakan-pemberontakan dan juga memainkan peran penting terhadap perlawanan kepada pemerintahan kolonial, seperti yang terjadi dalam Perang Diponegoro tahun 1825-1830. Dahulu ada anggapan bahwa orang Indonesia ‘bukanlah muslim benaran’ dan yang dianggap ‘muslim asli’ adalah orang Arab atau yang pandai bahasa Arab serta pakai pakaian dan topi serba putih, orang jawa disebut dengan ‘wong putihan’ (orang suci). Sehingga orang yang pulang dari haji, seperti juga para kiyai , yang bergelar K.H. juga dikatagorikan setingkat ulama sebagai pemimpin ummat yang cenderung melawan penjajah Belanda, disamping menjalankan agama dengan sungguh-sungguh. Raffles, Gubernur Jenderal (1811-1816) menulis, “... setiap orang Arab yang datang dari Mekkah, dan juga setiap orang Jawa yang kembali dari sana sesudah menunaikan ibadah haji, di Jawa dianggap orang suci, dan sedemikian rupa kepercayaan rakyat biasa terhadap mereka sehingga sering sekali orang-orang itu dianggap mempunyai hubungan dengan kekuatan – kekuatan gaib. Dengan dihormati seperti itu, tidaklah sulit bagi mereka untuk mengajak anak negeri kepada pemberontakan, dan mereka menjadi alat yang paling berbahaya ditangan para penguasa pribumi yang menentang kepentingan Belanda”.[20] Laporan senada bersifat rahasia dari K.F. Holle, yang menjadi penasehat kehormatan Urusan Bumiputra, prihal tarekat Naqsyabandiyah (tertanggal 5-9-1886) kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia tentang keberadaan tarekat Naqsyabandiyah yang ada di Priangan,  sejak tiga puluh tahun silam dan akhir-akhir ini telah berkembang pesat di daerah Cianjur dimana seluruh bangsawan telah bergabung dan ’kebangkitan Naqsyabandiyah’ inilah yang kemudian dianggap membahayakan pemerintah Kolonial Belanda.[21] Di masa penjajahan kolonial dahulu seperti orang Belanda yang berada di Indonesia ada yang hafal Al Qur’an, tetapi bukan sebagai pemeluk agama Islam tapi untuk memecah-belah. Mereka juga meninggalkan warisan, suatu ‘metode’ lain yang berupa devide et impera untuk kepentingan “politik adu domba” yang hasilnya efektif dapat memecah-belah ummat Islam. Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) penggagasnya, ia seorang cendekiawan bangsa Belanda yang di dalam perang Aceh (1873-1904), berhasil secara jitu dalam menganalisis perlawanan rakyat Aceh, yaitu keberhasilan dalam melawan rakyat aceh yang bersatu dan kuat dalam memeluk agama Islam itu. Menurutnya, hanyalah dapat dipatahkan perlawanan kaum muslim dengan cara menumbuhkan perpecahan diantara para pemimpin agama (ulama) itu sendiri, sehingga kekuatan pun terpecah menjadi kecil-kecil  dan mudah untuk dikuasai penjajah Belanda. Ia mendarat di Batavia pada 11 Mei 1889 dan ditunjuk menjadi penasehat pemerintahan kolonial Belanda untuk urusan pribumi khususnya urusan masyarakat Islam. Juga dakwah yang dikembangkan oleh Sultan atau Sunan, Wali Songo dan para Kiyai yang turut dalam perjuangan bangsa melawan penjajah hingga Indonesia merdeka. 
Di Indonesia ada juga yang mengembangkan cara berfikir populisme dan elitisme, yaitu suatu gaya berfikir multikultural-plural dan rasional-demokratis, suatu pandangan tentang Islam yang dalam Al Qur’an mengatakan: ”Bagimu agamamu, bagiku agamaku yang memberikan peluang untuk menganut agama atau aliran berbeda dengan prinsip saling menghormati, memberikan dan menebarkan kasih sayang sebagai rahmatan li al-aalamiin yang berbasis pada kesejukan, pluralitas, demokrasi, rasional, ilmiah dan amaliah, yang dikembangkan oleh mantan Presiden RI ke-4 , KH. Abdurrahman Wahid, yang populer disebut Gus Dur (NU) dan juga akademisi seperti Prof. DR. Nurcholis Majid yang populer disebut Cak Nur (Muhammadiyah). Nurcholis Majid ini dianggap sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam Indonesia, dalam bidang teologi, filsafat, budaya dan politik. Menurut Nur Syam guru besar sosiologi dari IAIN Sunan Ampel yang mengatakan bahwa pemikiran Gus Dur dan Cak Nur ini telah menjadi ikon pemikiran Islam di Indonesia dan bahkan dunia Internasional yang keduanya mengembangkan teologi Islam inklusif [22] dan toleran atau dipopulerkan mewacanakan keberagaman yang kemudian dilawankan dengan doktrin Islam Radikal atau Islam Garis Keras.
    Dewasa ini lembaga-lembaga atau badan-badan atau organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi yang berbasis keagamaan Islam tumbuh dimana-mana, baik di Indonesia maupun di manca negara  dengan lingkup dan obyek garapan yang beragam. Perkembangan Dunia Islam berikutnya dalam menghadapi berbagai tantangan ideologi dan cara berfikir, maka dibangunlah pola-pola cara berfikir dalam sistem ilmiah, yakni:   Sistem sosial-politik-pemerintahan yang Islami (Aceh); Sistem sosial-ekonomi-bisnis Islami;  Sistem hukum Islami; Sistem penyediaan makan-minum Islami dan sertifikasi halal;   Sistem amal, zakat, infak dan sodaqoh; Sistem penyaluran bantuan untuk kaum duafa dan    yatim-piatu;  Sistem pengobatan dan kedokteran Islami; Sistem keuangan dan perbankan Islami (Bank Syariah);  Sistem pendidikan Islami; Sistem pemberdayaan SDM ummat Islam; Seni-budaya Islami;  Wisata Islami, Wakaf dan sebagainya. Lebih jauh lagi adalah membentuk Islamisasi pada berbagai disiplin ilmu, baik yang bersifat individual, kelompok masyarakat, lokal, regional, nasional dan global. Sehingga mendorong para alim-ulama, pakar ilmu agama dan cendikiawan muslim untuk mengadakan reinterpretasi dan mem-formulasi kembali konsep-konsep ke-Islam-an yang dianggap relevan dengan tantangan zaman yaitu: “Islam itu sesuai dengan setiap waktu (saat) dan tempat” (wa Islam shalihun li kulli zaman wa makan) yang menandai perkembangan Dunia Islam di berbagai kawasan dan belahan dunia hingga saat ini serta untuk dapat mewujudkan masyarakat yang ber-keadilan, damai, maju, sejahtera, disiplin, penuh berokah hidup di Dunia dan di Akherat kelak. 
      Setiap muslim dapat menyebarkan Islam dan melaksanakan dakwah sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 104: ”Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru  kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. Didukung pula oleh hadits yakni: “Sampaikanlah (dari aku) meskipun satu ayat”. Dakwah dimaksud bisa bil lisanil haal yakni dengan mendidik, mengajak dan mencerdaskan ummat ke arah pelaksanaan Islam secara keseluruhan (kaffah),  bisa juga bil haal saja yaitu dengan contoh perbuatan dan amal sholeh serta akhlaqul karimah. Berdakwah berasal dari kata “da’a yad’u dakwatan” yang artinya ‘mengajak’ (mengundang) seseorang untuk berbuat kebaikan, oleh dan untuk siapa saja. Bahkan merupakan kewajiban setiap muslim untuk berdakwah sesuai firman Allah: “Berdakwahlah kalian kepada jalan Allah dengan hikmah, suri tauladan (mauidzah hasanah / nasehat yang baik) dan perdebatan (mujadalah / tukar pikiran / ketegasan) dengan baik”. Dalam Islam, berdakwah itu dilakukan dengan santun, dengan kasih sayang dan ketegasan serta penuh kedamaian, dan bukan dengan kekerasan apalagi dengan pemaksaan - pemaksaan yang hasilnya kontra produktif.

Apa itu J i h a d ?

Ummat muslim dalam memperjuangkan Islam dan ke-Islaman-nya, harus dengan cara yang benar terutama dalam ber-jihad (berjuang) di jalan Allah, dijelaskan dalam QS. Al Hajj ayat 78: “Dan berjuanglah kamu pada agama Allah dengan perjuangan yang sebenarnya“. QS. At Taubah ayat 73 : “Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik itu, dan bersikaplah keras terhadap mereka“. Keras yang dimaksud disini adalah dalam arti berjuang sekuat tenaga dan daya melawan ideologi yang tidak islami dan itu semua dilakukan dengan santun atau ber-adab (ahlaqul karimah), bukan dengan membunuh orang. Islam memberikan penghargaan terhadap hidup dan kehidupan seperti firman Allah dalam QS. Al Maidah ayat 32: “....barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena hukuman pembunuhan, atau karena membuat bencana di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Dan sesungguhnya telah datang rasul-rasul Kami kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan, kemudian sesungguhnya banyak di antara mereka sesudah itu melampai batas di bumi”. Dan Nabi Muhammad SAW pun bersabda: “Seorang muslim selalu dalam kelapangan agamanya, selama tidak terlibat dalam perkara hukum pertumpahan darah yang haram“. Jelas diterangkan disini bahwa maksud berjihad adalah bukan dengan jalan kejahatan dan membunuh atau pertumpahan darah orang yang hukumnya adalah ‘haram. Sesungguhnya Allah tidak memperkenankan ummat (beda agama atau sesama Islam) bermusuh-musuhan satu dengan lainnya serta melampaui batas, kecuali terhadap kelaliman. Firman Allah dalam QS. Al Baqarah ayat 190, 191, 192, 193, 194 dan 256 yang berbunyi: “Dan Perangilah pada jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, dan janganlah melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (190). Lagi, “Dan perangilah mereka dimana saja kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mana kamu telah terusir, dan fitnah itu lebih berbahaya dari pembunuhan. Dan janganlahkamu perangi mereka di Masjidil Haram kecuali mereka memerangi kamu disana, tetapi jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah pembalasan terhadap orang-orang kafir” (191). Lalu, “Maka jika mereka berhenti (memerangimu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (192). Seterusnya, “Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah dan adalah agama bagi Allah semata-mata. Maka jika mereka berhenti , maka tidak ada permusuhan lagi kecuali terhadap orang-orang yang zalim” (193). Kemudian “ ........Maka barangsiapa yang yang menyerang kamu, maka seranglah mereka sebagaimana mereka menyerang kamu. Dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang taqwa” (194). Akhirnya, “Tidak ada paksaan dalam agama (Islam) (karena) sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah .....” (256).
            Umumnya dalam berjuang menegakkan Islam terdapat istilah jihad, dimana kata jihad itu berasal dari akar kata jahd atau juhd yang berarti tenaga, usaha, atau kekuatan. Jihad berarti berjuang dengan ‘keras dan sekuat tenaga’ untuk membela diri atau menangkis serangan musuh. Jihad perlu dijelaskan terutama untuk kaum muda agar tidak salah langkah, karena term tersebut menimbulkan perdebatan panjang dan bisa menjadi menakutkan. Mengerucutnya pengertian jihad yang keliru menjadi sebab dimana seluruh aksi terorisme di dunia dengan gamblang mengaksesnya dalam situs-situs komunikasi-informasi global. Doktrin jihad ternyata dapat dan bahkan telah mampu membangkitkan emosi keagamaan yang didasarkan atas nama ukhuwah (solidaritas antar ummat Islam) yang bersifat umum dan global, bahkan dikonotasikan dengan holy war (perang suci), sehingga orientalis Barat menuduh Islam sebagai ‘agama perang dan pedang’, karena  berbagai aksi militer suka rela atau semacam laskar pembela Islam yang menggantikan peran militer / polisi resmi, biasa digunakan sebagai pembentukan karakter dan sarana pelatihan serta pengkaderan, hingga dalam perkembangannya yang terakhir dikala ruang geraknya terbatas dan terdesak berubah bentuk menjadi ‘kenekatan’ sampai sebagai ‘terorisme’ (bom bunuh diri / bom manusia) yang sesungguhnya sangat merugikan dunia Islam, dimana banyak ummat Islam juga turut terbunuh dan tidak pandang bulu dari anak-anak hingga dewasa, wanita sampai orang tua pun ikut tewas, ini dianggapnya sebagai ‘ekses’ dari jihad yang keliru tersebut. Insiden Bom Bali I di Kuta pada 12 Oktober 2002 yang mencederai 209 dan menewaskan 202 orang tersebut, lalu Bom Bali II, kemudian Bom Mega Kuningan di Hotel JW Mariott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009, bom bunuh diri di luar negeri seperti Amerika, Inggris, Timur Tengah, Pakistan, India, dll, membuktikan bahwa masih bercokolnya momok gerakan ‘Islam radikal’ yang mengatasnamakan agama (kelompok), yang bejuang dengan kerangka nilai (doktrin) dan identitas kelompok ‘fundamentalis dan radikalis’ tertentu (Wahabi, Khawarij, Al Qaidah, JI), sebagai bentuk warisan masa lalu dengan konstruksi perjuangan yang juga selalu baru. Opini tentang terorisme kini hadir kepermukaan, sebelumnya didahului oleh peran kelompok-kelompok yang disebut ‘Fundamentalisme’, ‘Radikalisme’ atau ‘Islam Garis Keras’ itu. Pengaruh politik keagamaan yang berasal dari Timur Tengah ke Indonesia tersebut bisa jadi memang sebagai pemicu. Memang sejak lama terjalin hubungan masyarakat Indonesia dengan masyarakat Timur Tengah, bisa dikatakan sangat dekat dan kental, dapatlah kemudian segera dimaklumi bahwa daerah tersebut menjadi pusat rujukan ummat Islam, baik dalam berhaji, ziarah maupun belajar agama, bergaul dsbnya, sehingga memunculkan jaringan organisasi, ke-ulama-an, politik Islam, sampai gerakan dakwah. Gerakan Islam Radikal adalah merupakan fragmentasi dari beragam organisasi yang berfaham mendekati (kurang lebih sama), sangat literal dan dogmatis terhadap ajaran dan meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya solusi mengatasi krisis multidimensi yang melanda Indonesia dan dunia. Mereka sangat resistensi terhadap segala sesuatu yang berbau ‘ke-Barat-barat-an’ dan perbedaan ekonomi mencolok serta ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat, juga terhadap kelompok Islam lain yang berbeda pemahaman. Perjuangan yang tak kenal lelah itu dibungkus dengan kata ’jihad’ jika ia gugur dianggap masuk surga, berdalih untuk menegakkan syari’at Islam. Radikalisme (syiddah al-tanatu), adalah aliran keras, eksklusif, berfikiran pendek dan sempit, kaku, tidak kaffah (sepenggal) serta memonopoli kebenaran. Gejalanya tsb sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup. Dikisahkan dalam hadits sahih riwayat Muslim, ketika di daerah Ja’ranah Nabi Muhammad membagikan fai’ (harta rampasan perang) dari wilayah Thaif dan Hunain, tiba-tiba seorang sahabat yang bernama Dzul-Khuwaishirah dari Bani Tamin melayangkan protes kepada beliau. “Bersikap adillah wahai Muhammad !’ Nabi Muhammad pun dengan tegas menjawab “Celaka kamu ! Tidak ada orang yang lebih adil dari aku. Karena apa yang kami lakukan berdasar petunjuk Allah !”. Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi Muhamad bersabda: “Suatu saat akan muncul sekelompok kecil dari ummatku yang membaca Al Qur’an, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu sejelek-jeleknya makhluk di dunia ini”. Terbukti setelah Nabi wafat,  pada 35 H,  terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan oleh kelompok Islam ekstrem dan disusul terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib oleh ummat Islam sendiri yang ekstrem, diwakili kelompok yang berfaham ideologi Khawarij. Golombang Islam Garis Keras yang saat ini berkembang (Wahabi, JI, Al-Qaidah) sebenarnya dipengaruhi oleh pola khawarij ini, merupakan refleksi pemahaman yang dangkal (sathiyyah) dan belum tuntas, tidak menyeluruh dan tidak kaffah.
            Jihad juga dapat dilihat dalam perspektif dar al Islam (negeri damai) dan dar al harb (negeri yang dilanda peperangan) yang ditegakkan atas sebuah pertimbangan yaitu untuk mempertahankan diri. Konsep awal jihad ini merujuk pada perang dalam sejarah perjuangan Islam, dimana kebiasaan suku Arab adalah berperang. Dalam Islam perang yang sah menurut hukum serta terhormat bila dilancarkan dalam bentuk mempertahankan diri terhadap agresi musuh. Tidak memerangi (membunuh) orang yang tidak beriman. Dan bahkan justru harus mendakwahkan Islam. Juga bila berperang pun didasarkan etika perang yang melarang membunuh anak-anak, perempuan dan orang tua.

Perjuangan dalam pengertian jihad dapat dibedakan dalam 3 kategori, yaitu:
1) Melawan musuh yang tampak, adalah usaha atau  perjuangan melawan serangan terhadap Islam, baik bersifat fisik maupun bersifat ide. Terutama ada indikasi penindasan ummat Islam (Pengertian inilah dilegitimasi dan dipahami oleh kelompok Wahabi Ekstrem dan Islam Garis Keras yang merujuk pada QS. At Taubah ayat 73 di atas (bersikaplah keras terhadap mereka), sebagai pemaksaan kehendak dan sebagai pembenaran doktrin ideologi mereka, yang cenderung berfikir “hitam-putih”, suatu pemahaman yang dangkal dan hanya sepotong saja (tidak menyeluruh), yaitu dalih untuk berjihad dengan membunuh dan berperang melawan musuh-musuh Islam, yang kenyataannya ada orang Islam sendiri yang banyak terbunuh).
2)  Melawan syetan, baik yang tidak nyata (gaib) maupun yang nyata. QS. Al-Israa’ ayat 53: “....... Sesungguhnya syetan menghasut di antara mereka. Sesungguhya syetan bagi manusia adalah musuh yang nyata
3)  Melawan hawa nafsu (dalam diri sendiri), sesuai hadits Nabi yang disabdakan sesudah Perang Badar (2 H), bahwa tidak ada lagi perang besar dan yang ada adalah perang terhadap hawa nafsu (diri sendiri),  anjuran kepada ummat Islam melawan hawa nafsu dalam rangka mencapai kesempurnaan budi pekerti.

Keterangan: nomor 2 dan 3, adalah jihad atau perjuangan batin manusia melawan bujukan ke arah keburukan, kemungkaran, kejahilan, keangkara-murkaan, kejahatan, dan keinginan rendah dalam diri manusia itu sendiri. Perjuangan tersebut bisa menempuh jihad di jalan-Nya yaitu dengan ber-dzikrullah, tersebut dalam QS. At-Taubah ayat 24: “Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang khawatir merugi dan tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul–Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak menunjuki kaum yang fasik”. Disebutkan bahwa jihad di jalan-Nya yaitu dengan berdzikrullah ternyata lebih utama dari jihad fi sabilillah, Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya seseorang memukulkan pedangnya kepada orang-orang kafir dan musrik hingga patah dan berlumuran darah, tentulah orang-orang yang berdzikir kepada Allah lebih utama daripadanya” (HR. Tirmidzi dari Abi Said Al-Khudri ra.). Maknanya adalah jika seseorang mencintai keduniawian dan melebihi cinta terhadap Allah, Rasul dan Jihad di jalan-Nya (dzikir), Allah akan murka dan mendatangkan malapetaka.

Beberapa ulama membedakan jihad dalam beberapa tingkatan:
1. Jihad akbar (perjuangan yang ter-besar), adalah perjuangan melawan hawa nafsu diri sendiri.
2. Jihad kabir (perjuangan besar), adalah perjuangan menyebarkan dan mendakwahkan ajaran Islam.
3. Jihad shaaghiir (perjuangan kecil) adalah perjuangan membela diri melawan agresi musuh yang menyerang ummat Islam.
4.  Jihad ashghar  (perjuangan ter-kecil) adalah mengganggu kebebasan beragama serta untuk keadilan.

Manusia adalah mahluk sosial yang dalam hidup dan kehidupannya memerlukan orang (mahluk) lain. Karena itu, manusia perlu orang atau mahluk lain dalam memenuhi hasrat (biologis, spiritual dan material) untuk keperluan hidup dan kehidupannya. Sebagai mahluk sosial perlu juga bergaul dan bermasyarakat agar dapat lebih maju. Islam mengajarkan untuk ber-etika dan menghormati serta menjaga hubungan baik dengan tetangganya, walaupun bukan seagama. Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah memuliakan tetangganya” (HR. Bukhari).
            Orang memeluk agama Islam tidak bisa dipaksakan, apalagi ia sudah memeluk agama lain, seperti yang tercantum dalam QS. Al Kafirun ayat 6: “Bagi kamu agamamu, dan bagiku agamaku. Juga QS. Al Ankabut ayat 46: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang lebih baik“. Memaksa untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya pun tidak boleh dilakukan, firman AllahDan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya, Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (QS. Yunus: 99). Karena semuanya itu atas izin Allah SWT, ”Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya” (QS. Yunus: 100). Nabi Muhammad sendiri pernah mengajak paman beliau yang bernama Abu Thalib untuk  masuk  Islam, akan tetapi sampai saat meninggalnya belum juga memeluk agama Islam, walau jasa beliau paman Nabi dalam melindungi dan pembela Islam tidak diragukan lagi. Itulah  sebabnya Rasulullah menangis ketika paman beliau meninggal dan atas kejadian itu turunlah wahyu Allah: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya....” (QS. Al-Qasas: 56).
 Agama pada akhirnya mengalami depersonalisasi, dan hanya mengandalkan pembacaan pada teks-teks suci Al Qur’an dan hadits Nabi serta kehilangan figur pembimbing sebagai percontohan yang mendekati sempurna dengan latar belakang yang juga baik. Maka pembacaan lain dari buku-buku keagamaan yang begitu banyak bersifat pluralitas menjadi tak terhindarkan lagi, yang mana keragaman pembacaan teks seperti ini menjadikan kehidupan beragama menjadi dinamis, berkembang dan tumbuh menjadi banyak kelompok sejauh mana tulisan dicetak dan pembacaan itu sampai ditangan pembacanya, didukung kemudahan material, media komunikasi-informasi dan kebebasan serta sesuai kebutuhan masing-masing individu. Apakah pemikiran keagamaan masyarakat telah mengalami pergeseran dan toleran terhadap pemikiran keagamaan yang bukan arus utama (non-mainstream) ? Tidak ada perubahan yang signifikan menghadapi perkembangan baru terutama yang dipandang menyempal dari arus utama. Penekanan terutama dalam mencari kebenaran seperti sabda Nabi Muhammad SAW dalam Al-Hadits (shahih) sebagai berikut yang artinya Ummatku akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan (firqah), sedangkan yang selamat hanya satu golongan”. Sesungguhnya perbedaan-perbedaan pandangan di dalam masalah agama Islam, terutama aliran dalam setiap kelompok atau golongan (firqah) serta berbagai kontradiksi metodenya hingga merupakan “lautan yang amat dalam serta dapat menenggelamkan banyak ummat manusia yang tak selamat kecuali beberapa gelintir manusia atau sekelompok orang saja, yang masing masing kelompok tentu menduga kelompoknya itulah yang selamat”.[23] Di dalam firman Allah SWT dalam  QS. Al Mu’minun: 53 “Fa taqaththa’uu amrahum bainahum zuburan kullu hizbim bi maa ladaihim farihuun” yang artinya: “Mereka berpecah-belah tentang urusannya menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka (masing-masing)”, seperti iklan ‘kecap’ masing-masing kolompok mengatakan no. 1 (klaim yang paling benar). Untuk itulah diharapkan ummat Islam berfikir dan meriset serta mencari akan kebenaran yang sejati. Kalau sudah demikian haruslah dicari kebenaran itu (hadits: carilah ilmu agama bila perlu sampai ke negeri China), tidak hanya sampai pada ilmu yakin atau pun ainul yakin (masih katanya), tapi sampai merasakan haqqul yakin (seyakin-yakinnya). Dalam kemajemukan yang semakin cepat (hiperpluralisme) seperti masa kini, diperlukan sikap kritis dan konstruktif. Persoalan yang muncul adalah perbedaan pandang sebagai sebuah fenomena, ada yang moderat, ada kelompok yang mengklaim paling benar dan ada pula yang dianggap sesat (dalal). Kata sesat dengan mudahnya muncul bahkan boros dipakai sebagai label terhadap paham selain yang dianut kelompoknya atau yang dikenal sebagai golongan ‘baru’ atau dia merasa ‘asing’, karena ketidaktahuannya yang tanpa diriset terlebih dahulu, sehingga terjadilah anarkisme dan penghakiman secara sepihak oleh massa. Mengapa tidak ada forum yang menempuh jalan dialog yang damai ketika menghadapi perbedaan dan kemajemukan, sebagai manajemen penanganan konflik adalah sebenarnya bagian dari ajaran etika yang merujuk Al Qur’an, dengan mengutamakan unsur keadaban dalam Islam yang bersifat damai dan bukan dalam suasana kekerasan (tekanan). Dalam mendialogkan kesesatan (dalal), pada Al Qur’an disebut dalal sebanyak 191 kali, sebagai al-furqaan sebagai pemaparan secara tegas antara yang benar dan salah. Perbedaan pandang dalam menafsirkan adalah suatu hal yang wajar dan dialog diperlukan meredam gejolak dengan cara-cara yang santun, tidak menghina, tidak menekan dan membebani serta harus ada sebuah kesadaran bahwa berada dalam ruang yang hiperpluralistik. Rasulullah SAW bersabda: Perbedaan pendapat diantara umatKu adalah Rahmat(Hadits).


[1] Samsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, LPKAI ‘Cahaya Salam’, Bogor, 2008, hal 69-80

[2]   Qodi’Iyad Ibn Musa Al Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah Muhammad SAW Keistimewaan Personal Keteladanan Bersalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 812
[3]   Abdul Ghoni A, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, CV. Bintang Pelajar, 1986, hal .110-111
[4]   Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal. 657-658
[5]   Abdul Ghoni A, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, CV. Bintang Pelajar, 1986, hal.109-111
[6]   Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal.1023
[7]    Muhammad Abu Zahrah, IbnuTaimiyah, Hayatuhu wa ‘Ashuruhu,  Dar al-Fikr –   Al-’Araby, 1946
[8]   Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6,  Ibid, hal. 327
[9]    Budi Munawar, Rachman,Argumen Pengalaman Iman Neo-Sufisme Nurcholish Madjid, dalam Tsaqafah, Vol.1, no.1, 2002, hal  56
[10]  Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal. 393 -394
[11]  Ensiklopedi Umum, Ibid, hal.. 479
[12]  Qodi’Iyad Ibn Musa Al Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah Muhammad SAW Keistimewaan Personal Keteladanan Bersalah, PT. Raja   
      Grafindo Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 786
[13]  Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, Ibid, hal. 328
[14]  Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, Ibid, hal  328
[15]  Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, PT.Delta Pamungkas, Jakarta, 2004,hal. 326-327
[16]  Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal. 395
[17]  Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 7, Ibid, hal. 249
[18]  Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 7, Ibid, hal  249
[19]   A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia, Nida, Yogyakarta, 1971, hal.5
[20]  Th. S.Raffles, The History of Java, vol. II, London, 1830, hal. 3
[21]  Arsip Nasional Jakarta, tentang surat-surat Holle, arsip MGS 23-5-1886,  
     no.91/C.
[22]   Prof. Dr.Nur Syam, M.Si, Jawa Pos, 13 Maret 2007, hal 4
[23]  Imam Al Ghazali, Terjemahan Sunarto,  Al Munqidz Minad1dlalaal (Penyelamat Kesesatan), Bintang Pelajar, 1986, hal.6



Tidak ada komentar:

Posting Komentar