MENGENAL HIPERPLURALIS ISLAM &
JIHAD
Oleh
Agus
Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
goesmul@gmail.com
Islam sebagai agama, merupakan referensi pesan-pesan agama
terutama Al Qur’an dan hadits Nabi serta pengembangan tradisi
pemikiran ke-Islam-an. Disebutkan dalam hadits
Nabi:”al-diin-u nashiihah” artinya “agama
itu adalah nasihat”. Lebih lanjut ilmunya diperluas dan diperdalam.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan ke-agama-an Islam ini, juga telah
melahirkan beberapa mazhab dan aliran
pemahaman diantaranya berada dalam ilmu kalam
(tauhid), tasawuf (ungkapan, metode tarekat)
dan fikih (kukum) ada yang murni, ada
bersifat keras, moderat, pluralis
bahkan hiperpluralis. Sebagai ummat muslim
perlu mengenal lebih luas perbedaan pandang tentang Islam dan perjuangannya,
sehingga dapat menuntun semua pihak menuju kearah yang lebih baik terutama bagi
kaum muda agar tidak terjebak ajaran kekerasan (‘teroris’). Beragam pemahaman diantaranya sebagai berikut
di bawah ini.
a. Dalam
bidang ilmu kalam atau tauhid (ushulu‘l-din) [1] terdiri: 1). Murji’ah, suatu golongan yang bertentangan
dengan golongan Khawarij,
pengertiannya adalah pengakuan iman cukup dalam hati dan penangguhan vonis
hukuman seseorang yang berdosa besar sampai pengadilan Allah SWT kelak dan tidak mengkafirkan orang muslim (yang meyakini
dua kalimah syahadat). 2). Jabariyah,
mengajarkan paham bahwa manusia
tidak memiliki kekuatan untuk berbuat sesuatu dan tidak memiliki kemauan,
semuanya atas kehendak Allah SWT,
namun tetap menerima konsekuensi menerima pahala dan siksa sesuai perbuatannya.
3). Qadariyah,
mengajarkan paham bahwa manusia memiliki kudrat irodat untuk berusaha dan berbuat sesuai kemampuannya (ia
kuasa penuh berbuat baik atau buruk), menolak adanya qodar dan takdir Allah, bagi yang berdosa besar tidak dikafirkan dan tidak pula digolongkan mukmin tetapi cukup muslim saja. 4). Mu’tazilah, memiliki 5
ajaran pokok: (a) tidak mengakui sifat Allah
melainkan dzat Allah itu sendiri , Al Qur’an adalah makhluk, Tuhan di alam
akherat tidak dapat dilihat mata dan yang terjangkau mata bukan Tuhan;(b)
keadilan Allah akan diberikan sebagai
imbalan sesuai apa yang diperbuat; (c) bahwa Allah akan menepati janjinya memberi pahala kepada muslim yang berbuat baik dan mengancam
melimpahkan siksa kepada muslim yang
berbuat dosa; (d) bahwa seorang mukmin
yang berbuat dosa besar statusnya diantara mukmin
dan kafir yakni fasik; dan (e) amar-makruf
(tuntutan berbuat baik) dan nahi mungkar
(mencegah perbuatan tercela) berkaitan dengan hukum Islam (fikih). 5). Ahlu‘l-Sunnah wa‘l-Jama’ah (Sunni), adalah mereka yang
mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW (ahlussunnah)
dan Sahabat Nabi (jemaah). Bahwa
Tuhan (Allah) mempunyai sifat
sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an,
qodim, bukan makhluk atas dasar QS.
Yasin 82 : ”Sesungguhnya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia berkata kepadanya:
“Jadilah”, maka jadilah ia”. Di akherat Tuhan dapat dilihat oleh mata
didasarkan QS. Al Qiyamah 22-23: ”Wajah-wajah
(orang mukmin) pada hari itu bercahaya, kepada Tuhannya mereka melihat”.
Orang muslim yang berbuat dosa besar
bila meninggal sebelum bertaubat,
tetap mukmin, tidak kafir dan berada antara mukmin dan kafir. Sedang di akherat terserah kepada Allah SWT, bisa dihukum neraka menurut kadar dosanya atau
sebaliknya mendapatkan ampunan Allah SWT,
atau mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW (dan melalui ‘jalanNYA’,
penerusnya atau ulama-ulama pewaris Nabi, Wali-Mursyid)
sehingga dapat masuk surga. 6). Khawarij, bermula
segolongan orang yang menentang, tidak mengakui dan memisahkan diri dari kekhalifahan Ali bin Abu Tholib. Ajaran pokoknya
adalah bila orang melakukan dosa besar adalah kafir, mereka yang terlibat perang Jamal (Aisyah, Tholhah dan Zubair) dan Arbirtasse dihukum kafir,
pandangan menentukan kholifah
(pemimpin) secara “demokratis”, harus dipilih rakyat (ummat) serta tidak harus
keturunan Nabi dan bangsa Quraisy,
siapapun bisa asalkan mampu dan benar. Ada 6 sekte khawarij: (a) muhakkimah,
yang memisahkan diri dari Ali bin Abu Tholib, (b) azariqoh, terkenal radikal yang mengkafirkan ummat Islam yang tidak segolongan, (c) najadat merupakan pecahan azariqoh, (d) as-sufriyah menyerupai azariqoh,
(e) al-ibaadiyah agak lebih lunak dan
pengikutnya boleh menikah dengan golongan lain, dan (f) al-ajaridah dalam perkembangannya beberapa kelompok seperti syu’aibiyah, hamziyah, hazimiyah, dan maimuniyah. 7). Wahabiyah, suatu
golongan gerakan wahabi dari Saudi
Arabia yang didukung oleh penganut mazhab
Hambali ini berhasil berkuasa dan mendirikan kerajaan Wahabi di Jazirah Arabia. Golongan ini
memberantas segala sesuatu yang dianggap dilarang agama, kemaksiatan, yang
mengarah pada syirik, bentuk kemusrikan, dan kekafiran dengan sangat keras, seperti polisi syariat bahkan melebihi
dari petugas negara yang resmi, terutama tentang ketauhidan yang menurut mereka banyak daerah-daerah ummat Islam di
dunia melakukan penyimpangan ajaran tauhid.
Ajaran tauhid golongan ini ialah: a) tauhid rububiah dengan berikrar bahwa Allah SWT satu-satunya
pencipta, pemelihara, pemberi rezeki, pengatur, menghidupkan dan mematikan, b) tauhid al-asma wa al-shifat, suatu
kepercayaan pada nama-nama dan sifat-sifat Allah
SWT sesuai dalam Al Qur’an, dan
c) tauhid ibadah, segala amal ibadah
diniatkan untuk berbakti kepada Allah SWT
yang dilaksanakan secara fisik sebagai gerakan nyata dan pikiran yang
rasional, tetapi prakteknya tidak secara menyeluruh dan berfikir sektorial dan
parsial atau terpenggal-penggal. Dalam perkembangannya kelompok ini sebagai
penggerak purifikasi militant
(pemurnian) yang disebut kelompok fundamentalis
atau Islam garis keras, yang hendak
menanamkan sebuah tradisi lokal budaya Arab dan menyeragamkan cara berfikir
sebagai doktrin yang khas dengan membatasi aspek yang bersifat universal dengan
bentuk pemaksaan dan bila perlu dengan kekerasan, lalu menghalalkan segala cara
untuk tujuan tersebut. 8). Salafiyah, kata salafiyah (bhs. Arab) artinya terdahulu.
Maksudnya adalah sikapnya seperti dari orang-orang terdahulu yang hidup semasa
Nabi Muhammad SAW, para Sahabat, Tabiin, Tabiit Tabiin yang menjadi
acuannya. Ibnu Taimiyah penyeru untuk berakidah
salaf dan mendapatkan dukungan dari
penganut mazhab Hambali. Kegiatan
dari kelompok ini dalam perkembangannya cukup eksklusif (menyendiri), tidak mau
hidup berdampingan atau jarang membaur dengan kelompok Islam lainnya, lebih
banyak berkumpul hanya bersama kelompoknya saja. 9). Syi’ah, yang dimaksud syi’ah adalah mereka yang memuja Ali bin
Abu Tholib dan keturunannya. Mereka menganggap bahwa Ali yang berhak sebagai
Nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat
dan ketiga Kholifah sebelumnya dianggap “tidak sah” serta menamakan sebagai
pecinta ahlul bait (keluarga Nabi).
Ajaran pokok syi’ah: a) mengutuk,
tidak membenarkan atau menolak kekhalifahan
Abu Bakar Ash Shiddiq ra, Umar bin Khoththob ra, dan Utsman bin Affan ra.,
serta mengakui Ali bin Abi Tholib ra.
saja sebagai khalifah; b) kekhalifahan (keimamam) dilakukan secara
turun-temurun sampai 12 imam; c) Imam adalah maksum, tidak pernah berbuat dosa sebagaimana Nabi dan percaya juga
menerima wahyu dan suara Jibril as.; d) tidak menerima hadits yang diriwayatkan selain dari imam mereka. Karenanya tidak mengakui hadits-hadits Bukhori,
Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Nasai. Juga tidak menerima tafsir Al Qur’an selain yang ditafsirkan oleh imam mereka. Tidak menggunakan ushul
fikih dan tidak menerima qias
serta ijmak. Golongan syi’ah ada 22 sekte, yang menonjol
adalah (1) Rafidhoh, paling ekstreem
karena mengkafirkan golongan lain, Jibril telah melakukan kesalahan
menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad bukan kepada Ali bin Abi Tholib, ruh
orang meninggal akan kembali ke dunia
sebagai reinkarnasi, (2) Imamiah (istna ‘asyiriah) percaya bahwa yang berhak memimpin ummat Islam
adalah 12 imam mereka, (3) Ismailiah mempercayai imam itu hanya tujuh orang dari
urutannya sampai ke tujuh dari Ali, (4) Zaidiah
adalah golongan yang moderat dan tidak sepenuhnya sependapat bahwa Ali dan
keturunannya yang berhak menjadi khalifah
dan tidak memvonis ketiga khalifah sebelumnya
tidak sah. 10). Juga ada golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah.
b. Dalam bidang fikih ada empat mazhab yang termasuk golongan Sunni
yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali serta muncul kelompok Syi’i yaitu Zhahiri, Ja’fari dan Zaydi.
Mazhab
Maliki: Imam Maliki (Malik ibn Anas Al Ashbaqi 93-179 H) lahir di Madinah pada tahun 93 H / 712 M, (versi Qodi’Iyad:
93 H – 189 H [2])
konon ia dikandung 12 bulan, bahkan riwayat lain selama 3 tahun. Dan sekitar 57
tahun lebih tua dari Imam Syafi’i. Beliau adalah seorang ulama atau Imam yang
tekun mengumpulkan hadits dan
menghafalnya. Ia hidup pada masa Tabi’in
dan Tabi’tabi’in (orang yang berjumpa
dengan sahabat Nabi dan orang yang berjumpa dengan orang yang telah berjumpa
dengan sahabat Nabi). Pada saat itu Ia hidup di kota kerajaan Islam di Kota Kuffah.
Adapun Madinah, di kala itu termasuk kota yang sepi, hanya dihuni oleh
pemangku-pemangku hadits, ahli
tafsir, ulama ahli tashawuf, meraka
terdiri dari Sahabat Nabi, Tabi’in dan
Tabi’tabiin. Sedang kota Kuffah
didiami oleh jago-jago politik, yang tidak kalah pula fungsinya dengan
ulama-ulama. Oleh sebab itu dasar Mazhab Maliki
diantaranya ialah amalan orang Madinah (Ulama Madinah). Imam Malik adalah
seorang “Huffazh” (penghafal hadits) nomor satu pada zamannya. Tidak
ada seorangpun yang bisa menandingi beliau dalam hal penghafalan hadits. Pada usia 40 tahun 100.000 hadits yang sudah dihafal diluar kepala
itu, lalu diteliti pe-rawi-nya dan
beliau cocokkan dengan ayat-ayat suci Al
Qur’an tentang arti dan tujuannya. Pada akhirnya hanya 5000 hadits yang oleh beliau dianggap shahih. Dan kemudian beliau kumpulkan
menjadi satu dalam kitab yang diberi nama “Almuwaththa”
(yang disepakati). Sesuai dengan namanya “Almuwaththa”
yang disepakati, karena kitab tersebut telah dimufakati oleh 70 ulama fiqih di Madinah. Imam Safi’i
berkomentar: “Kitab yang paling shahih
sesudah Al Qur’an, ialah “Almuwaththa”.[3] Dasar-dasar
pokok dari Mazhab Maliki yaitu berpegang pada: 1) Al Qur’an; 2) Sunnah Rasul SAW yang
dipandang sah; 3) Ijma’ Ahl Madinah ( kadang menolak hadits
yang berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah); 4) Qias (kias
/ analogi / membandingkan); 5) Istislah. (istilah fikih, yaitu pendapat bahwa sesuatu Adalah salih karena berfaedah, bijak untuk kepentingan dan keperluan umum).
Mazhab Maliki ini banyak penganutnya
di Tunisia, Tripoli, Maroko, Aljazair, Mesir Atas dan beberapa daerah Afrika.[4] Mazhab
Syafi’i: Imam Syafi’i (Abu Abdullah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i 150 –
204 H) dilahirkan di Gazza, sebuah kampung di Asqolan, bagian selatan
Palestina, pada tahun 150 H, keturunan suku Quraisj.
Walaupun beliau dilahirkan di Ghazza (Palestina), tetapi tumbuh dewasa dikampung
halamannya di Mekkah. Ayah-Ibunya datang
kesana untuk suatu keperluan dan tidak lama beliau lahir disitu. Beliau menjadi
anak yatim, sebab sejak kecil sebelum mereka kembali ke Mekkah ayahnya telah
wafat di Ghazza. Nama asli dari Imam
Syafi’i adalah Muhammad bin Idris
dengan bergelar Abu Abdillah. Dalam
urutan nasab, beliau mempunyai
hubungan erat dengan nenek moyang Nabi Muhammad SAW. Nenek moyang beliau jika dijabarkan maka sebagai berikut:
Muhammad bin Idris, bin Abbas, bin Utsman, bin Syafi’i bin Saib, bin Abi Yazid,
bin Hasyim, bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, bin Qushal. Dari pihak ibu:
Muhammad bin Fatimah, binti Abdullah, bin Hasan, bin Husen, bin Ali, bin Abi
Thalib r.a. Gelar sebagai Imam Syafi’i diambil dari nama kakek beliau yang ke
empat, yaitu Syafi’i bin Saib. Catatan penting lainnya adalah pada umur 2 tahun
kembali ke Mekkah Almukarramah bersama ibunya. Ketika masih kecil belajar
membaca Al Qur’an kepada Ismail bin
Qusthanthin. Pada usia 9 tahun beliau hafal Al
Qur’an 30 juz diluar kepala. Ia pandai tatabahasa, syair dan ilmu bahasa.
Ia menghafalkan kitab al-Muwaththa’
dalam satu malam. Dalam usia 15 tahun diberi tugas oleh gurunya Muslim bin
Khalid Azzanjiy mengajar di Masjidil Haram, memberikan fatwa, sehingga
mengagumkan orang-orang yang naik Hajji
pada masa itu. Pada tahun 170 H, beliau pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam
Maliki dengan membawa sepucuk surat dari
gurunya Muslim bin Khalid yang ditujukan kepada Imam Malik bin Anas. Dalam
perjalanan yang memakan waktu 8 hari 8 malam itu, Imam Syafi’i membaca Al Qur’an 16 kali khatam. Pengetahuannya tentang Al
Qur’an tak terkalahkan di zamannya,
secara istimewa dicurahkan tenaganya untuk mempelajari sunnah Nabi. Sebagai ulama besar dimana
hasil ijtihadnya Imam Syafi’i dikenal
dengan sebutan “Mazan Imam Syafi’i”. Beliau
juga selama setahun tidak pernah pisah dengan Imam Malik. Beliau disamping
menjadi murid juga diangkat sebagai pembantu Imam Malik[5]
dan mengenal dengan baik ajaran Imam Hanafi dan Imam Malik. Ia mengembara ke
Yaman, Baghdad dan menetap di Mesir, dan wafat pada hari kamis malam jum’at
tanggal 29 Rajab 204 H / 820 M, dan dimakamkan di Zahro. Kitab-kitab Imam
Syafi’i antara lain: a) Ar Rizalah
(kitab ushul fiqih pertama), b) Al Umm merupakan kitab besar ilmu fiqih, c) Ikhtifatul Hadits, berisikan tentang perselisihan hadits-hadist Nabi SAW, dan d) Al Musnad, berisikan sandaran (sanad) Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadits-hadits. Ajaran Syafi’i terutama
berdasarkan Sunnah seperti ajaran
Imam Malik, tetapi data-data yang digunakan jauh lebih banyak dan berasal dari
berbagai tempat. Dasar-dasar pokok Mazhab
Syafi’i berpegang pada: 1) Al Qur’an; 2) Tafsir lahirnya Al Qur’an selama tak ada dalil yang
menegaskan bahwa yang dimaksud bukan lahirnya; 3) Sunnah
Nabi SAW; 4) Ijma’ (hukum
yang tak ada dalam Al Qur’an dan Hadits, keputusan diambil alim-ulama dan
atas kata sepakat), yang tidak diketahui ada perselisihan tentang itu; 5) Qias. (ditolak dasar istihsan dan dasar ihtislah). 6) Istidlal.
(suatu istilah fikih, yakni mencari
atau menegakkan dalil daripada penetapan akan dan kesimpulan-kesimpulannya atau
dari seseorang yang mengetahuinya, yang dipandang sebagai ushul fikh). 7) Istishab. (suatu
istilah fikih, yaitu mencari hubungan,
sambungan, berusaha menghubungkan sesuatu dengan keadaan sebelumnya. Berarti
membawa serta sesuatu yang telah ada di masa lalu ke masa sekarang. Istishab merupakan salah satu pegangan
dalam menetapkan hukum yang tidak mempunyai dalil yang tegas dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma maupun Qiyas. Dengan perinsip istishab manusia dapat memberlakukan
suatu dalil hukum yang berlaku pada masa lampau, tanpa adanya keterangan bahwa
hukum itu berlaku seterusnya. Misalnya, memberlakukan ketentuan bahwa asal
hukum segala sesuatu adalah boleh, kecuali bila ada larangan yang jelas, bagi
hal-hal baru yang illatnya tidak
ditemukan sebagai salah satu dasar pokok mazhab
Syafi’i. Sebagian ulama terutama dari
kelompok Hanafiah tidak menerima istishab sebagai pegangan dalam menetapkan
hukum). Penduduk terbanyak masuk dalam mazhab
ini adalah Indonesia, Mesir Bawah, Arabia Barat, Siria, Semenanjung Malaya
(Malaysia-Singapura), Pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, Bahrain dan
beberapa negara di Asia Tengah.[6] Mazhab
Hambali: Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal bin Hilai, lahir
di Baghdad tahun 164 H tumbuh dewasa di kota ini dan wafat pada usia 77 tahun
di hari jum’at Rabi’ul Awwal tahun 241 H / 855 M. Dan di makamkan di Bab Harb
di Kota Baghdad. Nama Hambali ia sandang dari nama datuknya, sejak kecil
dikenal dengan nama Ahmad bin Hambal. Ia belajar ilmu fiqh kepada al-Syafi’I, dan mencurahkan dirinya terhadap sunnah yang menjadikan sebagai tokoh
besar di zamannya. Kitab–kitab Imam Hambali antara lain: a) Tafsir Al Qur’an, b) An Nasikh wal Mansukh, c) Al
Muqoddam wal Muakhkhor fil Qur-an, d) Al
Manasikul Kabir, e) Al Illah, f) Al Musnad yang berisi 40.000 hadits (di Indonesia hanya dikenal Al Musnad terdiri 6 jilid, Al Waro’i dan Ash Sholah). Mazhab Hambali
berdasarkan atas nash, yaitu Al-Qur’an dan Hadist yang shahih, fatwa
sahabat, pendapat sahabat paling dekat dengan Al Qur’an dan hadits, hadits dha’if yang tidak terlalu lemah
dan hadits mursal, dan yang terakhir,
jika terpaksa, juga qiyas. Karena itu
mazhab ini digolongkan sebagai aliran
ahlu ‘l-hadits yang mendahulukan hadits walaupun dhaif daripada ra’ya.
Ulama-ulama yang berjasa mengembangkan mazhab
Hambali antara lain Abu ‘l-Qasim al-Karkhi (wafat tahun 881 M), Abdu ‘l-Aziz
Ja’far (wafat tahun 910 M), Ibnu Qudamah (wafat tahun 1164 M), Ibnu Taymiah
(wafat 20 Syawal tahun 749 H [7] / 1273 M) dan Ibnu Qayyim (wafat tahun
1296 M). Penganut mazhab ini terutama
terdapat di Arab Saudi.[8]
Dasar-dasar pokok mazhab Hambali berpegang pada: 1) Al Qur’an; 2) Hadits Marfu’;3) Fatwa-fatwa para sahabat dan fatwa-fatwa sahabat
yang lebih dekat pada Qur’an dan Sunnah, diantara fatwa-fatwa yang
berlawanan; 4) Hadits Mursal dan hadits Da’if, ialah hadits yang derajatnya kurang daripada sahih; 5) Qias (kias /
analogi / membandingkan). Mazhab ini
banyak dianut penduduk Arabia Tengah, di Saudi Arabia (terutama kaum Wahabi
dan tokoh lainnya adalah Ibnu Taymiiah[9]
yang kemudian dijadikan sumber doktrin dalam memberantas tradisi pengagungan
(ziarah) kubur para Wali dan orang muslim), juga dipedalaman Oman dan beberapa
tempat disepanjang Teluk Parsi dan beberapa kota Asia Tengah.[10]
Kini mulai berkembang di Malaysia dan Asia tenggara. Mazhab Hanafi: Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada
Ahmad Ibn Hambal: Abu Abdillah. Imam Abu Hanifah Nu’man ibn Thabit al-Taymi (80-150
H). Ia keturunan Parsi, dilahirkan di Basra tahun 699 M dan berusia 70 tahun
dan wafat di Kuffah (Bagdad).[11]
Menurut versi Qodi’Iyad Ia wafat 350 H[12].
Makamnya ada di Al Khoizaron, Baghdad. Nama sebenarnya Nu’man putra dari Tsabit
bin Zautho bin Mah, keturunan bangsa Ajam. Kata ‘hanif’ dalam bahasa Arab
berarti cenderung kepada agama yang benar. Riwayat yang lain mengatakan beliau
erat dengan tinta guna mencatat ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Ayahnya
keturunan Persia yang berasal dari Afganistan. Abu Hanifah pernah berguru
kepada Atha bin Abi Rabah, Imam Muhammad bin Abu Sulayman, Imam Nafi’ Mawla
Ibnu Umar dan Imam Muhammad al-Baqir. Hanifah termasuk tabi’in sebab ia masih
sempat berjumpa dengan beberapa sahabat Nabi Muhammad misalnya Abi Awfa,
Watsilah bin al-Aqsa, Ma’qil bin Yasar, Abullah bin Anis dan Abu Tufayl. Selain
sebagai ulama dan Imam Mazhab,
Hanifah juga wiraswastawan yang berhasil namun hidupnya sangat wara’ dan zuhud
serta pemurah. Hubungannya dengan penguasa tidak begitu baik, karena selalu
menolak tawaran khalifah untuk menjadi Hakim Agung, bahkan Ia sempat dipenjara
dan dihukum dera setiap hari selama 15 hari. Karena tidak berhasil membujuk
Hanifah untuk memangku jabatan Hakim Agung, Khalifah al-Mansyur murka dan memanggilnya menghadap, di Istana Abu
Hanifah disugihi racun lalu dikembalikan ke penjara dan meninggal di penjara.[13]
Beberapa karya tulisnya yang memuat pendapatnya yang disusun para muridnya
antara lain: al-Madsuth, al- jami’u
‘l-kabir, Al-Sayru ‘l-Shaghir, al-‘l-Kabir, dan al-Ziyadah. Abu Hanifah dijuluki sebagai Bapak Ilmu Fikih.[14]
Mazhab Hanafi dikembangkan berdasarkan Al
Qur’an, Sunnah Rasul, fatwa para
sahabat, qiyas, istihsan, adat dan ‘uruf masyarakat. Sikap Abu Hanifah
terhadap hadits sangat hati-hati dan
selektif. Ia lebih banyak menggunakan qiyas
dan juga istihsan. Hal ini ada
hubungannya dengan daerah pertumbuhan mazhab
ini yang jauh dari Madinah dan Mekah, tempat tinggal kebanyakan sahabat
Nabi. Karena itu mazhab Hanafi
seringkali disebut sebagai aliran ahlu‘l-rayu yang lebih mengutamakan
rasio. Perkembangan mazhab Hanafi
cukup luas karena peranan murid-murid Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf (wafat
tahun 731 M) yang pernah menjadi Hakim agung di Baghdad, Muhammad bin
Hasan (wafat tahun 738 M) dan Zufar
(wafat tahun 707 M). Ada ulama penganud mazhab
ini yang membagi fiqih Abu Hanifah
menjadi 3 tingkatan: 1) tingkatan pertama (masa-ilul
ushul) kitabnya berjudul Dhohiru
Riwayah, berisi kupasan dan ketetapan masalah agama oleh Imam Hanafi
bercampur buah pikiran para sahabat Imam Hanafi yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin
Hasan dan lainnya; 2) tingkatan kedua (masa-ilun
Nawadir) tentang masalah-masalah agama, diriwayatkan oleh Imam Hanafi dan
para sahabatnya, kitabnya Haruniyyar,
Jurjaniyyat dan Kaisaniyyat
(Muhammad bin Hasan), serta Al Mujarrod
(Hasan bin Iyad); 3) tingkatan ketiga (Al
Fatawa wal Waqi’at) berisikan masalah-masalah agama dari para ulama mujtahid mazhab Hanafi yang datang
kemudian, karena keterangannya tidak mereka dapat pada pendahulunya, seperti
kitab Al Fatawa wal Waqi’at pertama
yaitu An Nawasil (Abdul Laits As
Samarqondy, wafat 375 H).
Dasar – dasar pokok dari mazhab Hanafi
berpegang pada : 1) Al Qur’an;
2) Sunnah Rasul SAW beserta
peninggalan-peninggalan sahih yang
telah masyhur di antara para ulama;
3) Fatwa-fatwa para sahabat; 4) Qias;
5) Istihsan; Secara bahasa istihsan
berarti menganggap baik sesuatu (hasan),
adalah salah satu cara menetapkan hukum di kalangan ahli ushul fikih. Melalui metode istihsan,
seorang mujtahid meninggalkan hukum
yang didasarkan atas qias jali
(analogi yang jelas persamaan illatnya)
ke hubungan baru yang berdasarkan atas qias
khafi (persamaan illatnya
tersamar) atau dari hukum yang didasarkan pada dalil kulli (alasan yang bersifat umum) ke hukum yang didasarkan atas
dalil juz’i (alasan yang bersifat
khusus). Salah satu contoh mengqiaskan
wakaf kepada sewa-menyewa dan tidak
kepada jual-beli, karena lebih mengutamakan segi kemanfaatannya daripada segi
perpindahan hak milik. Perpindahan hukum itu lebih tepat. Metode istihsan ini lebih banyak digunakan
dikalangan ulama Hanafiyah sebagai
salah satu dasar pokok mazhab Hanafi dan ditolak keras dikalangan
ulama Syafi’iyah. 6) Adat beserta ‘uruf ummat. Penganut mazhab Hanafi terdapat banyak di anak
daerah India, Turki, Afganistan, Kawasan Balkan, China dan Rusia.[15]
Disamping Turki dan India, juga Turkestan, Propinsi-propinsi Buchara dan
Samarkand.[16] Juga di Asia
Tenggara terdapat beberapa pengikut.
a. Dalam
bidang tasawuf ada dua kelompok: 1) Tasawwuf Nashari (ilmi),
yang lebih memusatkan pada pembahasan
masalah ketuhanan (hanya sebagai pengamatan saja) dan yang bersifat filosofis,
ekspresi kesyukuran dalam berfikir dan berbuat seni. 2) Tasawwuf Amali (praktek),
yang lebih memberikan perhatian pada per-amal-an dan per-ibadat-an serta pada
masalah akhlak (adab) yang sesuai Al Qur’an dan
Hadits serta ijma ulama. Berkaitan dengan tasawwuf,
dikenal pula berbagai faham tarekat (jalan/metode).
Tarekatullah yang besar dan mu’tabarah serta berkembang pengaruhnya
diantaranya adalah Naqsyabandiyah yang besar (banyak cabang / kelompok), Qadiriyah,
Syadzaliyah, Syattariyyah, Sammaniyah, Sanusiyah, Idrisiyah, Khalwatiyah,
Tijaniyah, dan masih banyak
lagi.[17] Diantaranya juga ada
tarekat Chisytiyah (terkenal di India), Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
(TQN), Mawlawiyah (dari
Turki), Ni’matullahi (dari Persia) dan tarekat Sanusiayah (dari
Afrika Utara), tarekat Wahidiyah (oleh KH. Madjid Makruf,
1963), tarekat al-Munfaridiyah (oleh Syaikh
H. Muhamad Makmun, di Mekkah, 4-9-1954).
Dalam berbagai pertemuan dari
pemikiran-pemikiran kaum muslimin dan pakar ilmu (cendikiawan muslim) serta
alim-ulama dalam konstelasi dunia modern, telah pula melahirkan banyak kerangka
berfikir, ada salafi, ada yang
bersemboyan “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi” dan ada pula bersemboyan “Maju ke Depan Bersama Al Qur’an”[18]. Dalam kerangka
ini muncul istilah untuk kaum atau golongan masyarakat dan individu muslim
tertentu dengan berbagai tipologi sebutan yaitu: Kaum Islam tradisionalis (kebanyakan
di kampung-kampung, adat kebiasaan turun temurun); Kaum Islam KTP atau Islam keturunan (berdasar hanya identitas kartu tanda penduduk); Kaum Islam modernis ; Kaum Islam modernis-sekular atau Islam Maju (Muhammadiyah); Kaum Islam reformis; kaum cendikiawan muslim; Pengusaha muslim;
Kaum Islam skriptualis; Kaum Islam Sufi atau ikhwan Tarekat; Kaum Nahdliyin (warga Nahdatul Ulama / NU) terutama dari
kalangan pesantren; Kaum Islam
Radikal yang bahasa Arabnya ”Syiddah Al-Tanatu” atau Garis Keras atau Islam
Ekstrem contoh: Persis, Darul Islam, ada sekelompok kecil dari oposan ‘Wahabi-Muhamadiyah’ disebut juga Fundamentalis
Islam yang bahasa Arabnya ”Al-Ushulliyyah” terutama kelompok paling ekstrem dari Khawarij, yaitu: militant
Wahabi radikal, jaringan al-Jemaah
al-Islamiyah (JI) dan Al Qaidah yang “menyebar teror” di dunia selama ada musuh Islam, tindakannya
dianggap sebagai jihad;
Pengembangan Islam di Indonesia pada
abad ke-16 dan selanjutnya, sebagian besar sebenarnya adalah atas usaha kaum sufi-tarekat, terutama penyebarannya oleh pedagang-pedagang
yang merantau di nusantara, sehingga tidak heran apabila pada waktu itu
pemimpin-pemimpin spiritual Islam di Indonesia bukanlah ahli syariah melainkan syaikh tarekat[19]. Selanjutnya Islam mendapat perhatian
khusus dari Penjajah Belanda yang berkuasa karena adanya pemberontakan-pemberontakan
dan juga memainkan peran penting terhadap perlawanan kepada pemerintahan
kolonial, seperti yang terjadi dalam Perang Diponegoro tahun 1825-1830. Dahulu
ada anggapan bahwa orang Indonesia ‘bukanlah muslim benaran’ dan yang dianggap ‘muslim asli’ adalah orang Arab atau yang pandai bahasa Arab serta
pakai pakaian dan topi serba putih, orang jawa disebut dengan ‘wong putihan’
(orang suci). Sehingga orang yang pulang dari haji, seperti juga para kiyai
, yang bergelar K.H. juga dikatagorikan setingkat ulama sebagai pemimpin ummat
yang cenderung melawan penjajah Belanda, disamping menjalankan agama dengan
sungguh-sungguh. Raffles, Gubernur
Jenderal (1811-1816) menulis, “... setiap
orang Arab yang datang dari Mekkah, dan juga setiap orang Jawa yang kembali
dari sana sesudah menunaikan ibadah haji,
di Jawa dianggap orang suci, dan sedemikian rupa kepercayaan rakyat biasa
terhadap mereka sehingga sering sekali orang-orang itu dianggap mempunyai
hubungan dengan kekuatan – kekuatan gaib. Dengan dihormati seperti itu,
tidaklah sulit bagi mereka untuk mengajak anak negeri kepada pemberontakan, dan
mereka menjadi alat yang paling berbahaya ditangan para penguasa pribumi yang
menentang kepentingan Belanda”.[20] Laporan senada
bersifat rahasia dari K.F. Holle, yang menjadi penasehat kehormatan Urusan Bumiputra, prihal tarekat Naqsyabandiyah (tertanggal 5-9-1886) kepada Gubernur Jenderal
Belanda di Batavia tentang keberadaan tarekat Naqsyabandiyah yang ada di
Priangan, sejak tiga puluh tahun silam
dan akhir-akhir ini telah berkembang pesat di daerah Cianjur dimana seluruh
bangsawan telah bergabung dan ’kebangkitan Naqsyabandiyah’
inilah yang kemudian dianggap membahayakan pemerintah Kolonial Belanda.[21] Di masa penjajahan kolonial
dahulu seperti orang Belanda yang berada di Indonesia ada yang hafal Al Qur’an, tetapi bukan sebagai pemeluk
agama Islam tapi untuk memecah-belah. Mereka juga meninggalkan warisan, suatu ‘metode’
lain yang berupa devide et impera untuk kepentingan “politik adu domba” yang
hasilnya efektif dapat memecah-belah ummat Islam. Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) penggagasnya, ia seorang cendekiawan
bangsa Belanda yang di dalam perang Aceh (1873-1904), berhasil secara jitu dalam
menganalisis perlawanan rakyat Aceh, yaitu keberhasilan dalam melawan rakyat
aceh yang bersatu dan kuat dalam memeluk agama Islam itu. Menurutnya, hanyalah
dapat dipatahkan perlawanan kaum muslim dengan cara menumbuhkan perpecahan
diantara para pemimpin agama (ulama) itu sendiri, sehingga kekuatan pun
terpecah menjadi kecil-kecil dan mudah
untuk dikuasai penjajah Belanda. Ia mendarat di Batavia
pada 11 Mei 1889 dan ditunjuk menjadi penasehat pemerintahan kolonial Belanda
untuk urusan pribumi khususnya urusan masyarakat Islam. Juga dakwah yang dikembangkan
oleh Sultan atau Sunan, Wali Songo dan para Kiyai yang turut dalam perjuangan
bangsa melawan penjajah hingga Indonesia merdeka.
Di Indonesia ada juga yang mengembangkan
cara berfikir populisme dan elitisme, yaitu suatu gaya berfikir multikultural-plural
dan rasional-demokratis,
suatu pandangan tentang Islam yang dalam Al
Qur’an mengatakan: ”Bagimu agamamu, bagiku agamaku” yang memberikan peluang untuk menganut
agama atau aliran berbeda dengan prinsip saling menghormati, memberikan dan
menebarkan kasih sayang sebagai rahmatan li al-aalamiin yang
berbasis pada kesejukan, pluralitas,
demokrasi, rasional, ilmiah dan amaliah, yang dikembangkan oleh mantan Presiden
RI ke-4 , KH. Abdurrahman Wahid,
yang populer disebut Gus Dur (NU) dan juga akademisi seperti Prof. DR. Nurcholis Majid yang populer
disebut Cak Nur (Muhammadiyah). Nurcholis Majid ini dianggap sebagai tokoh
pembaharu pemikiran Islam Indonesia, dalam bidang teologi, filsafat, budaya dan
politik. Menurut Nur Syam guru besar
sosiologi dari IAIN Sunan Ampel yang mengatakan bahwa pemikiran Gus Dur dan Cak
Nur ini telah menjadi ikon pemikiran Islam di Indonesia dan bahkan dunia
Internasional yang keduanya mengembangkan teologi
Islam inklusif [22] dan toleran atau dipopulerkan mewacanakan keberagaman yang kemudian dilawankan
dengan doktrin Islam Radikal atau Islam
Garis Keras.
Dewasa ini lembaga-lembaga atau badan-badan
atau organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi yang berbasis keagamaan
Islam tumbuh dimana-mana, baik di Indonesia maupun di manca negara dengan lingkup dan obyek garapan yang
beragam. Perkembangan Dunia Islam berikutnya dalam menghadapi berbagai
tantangan ideologi dan cara berfikir, maka dibangunlah pola-pola cara berfikir
dalam sistem ilmiah, yakni: Sistem
sosial-politik-pemerintahan yang Islami (Aceh); Sistem sosial-ekonomi-bisnis
Islami; Sistem hukum Islami; Sistem
penyediaan makan-minum Islami dan sertifikasi halal; Sistem amal,
zakat, infak dan sodaqoh; Sistem
penyaluran bantuan untuk kaum duafa
dan yatim-piatu; Sistem pengobatan dan kedokteran Islami; Sistem
keuangan dan perbankan Islami (Bank Syariah);
Sistem pendidikan Islami; Sistem
pemberdayaan SDM ummat Islam; Seni-budaya Islami; Wisata Islami, Wakaf dan sebagainya. Lebih
jauh lagi adalah membentuk Islamisasi
pada berbagai disiplin ilmu, baik yang bersifat individual, kelompok
masyarakat, lokal, regional, nasional dan global. Sehingga mendorong para
alim-ulama, pakar ilmu agama dan cendikiawan muslim untuk mengadakan reinterpretasi
dan mem-formulasi kembali
konsep-konsep ke-Islam-an yang dianggap relevan dengan tantangan zaman
yaitu: “Islam itu sesuai dengan setiap
waktu (saat) dan tempat” (wa Islam
shalihun li kulli zaman wa makan) yang menandai perkembangan Dunia Islam di
berbagai kawasan dan belahan dunia hingga saat ini serta untuk dapat mewujudkan
masyarakat yang ber-keadilan, damai, maju, sejahtera, disiplin, penuh berokah
hidup di Dunia dan di Akherat kelak.
Setiap muslim dapat menyebarkan
Islam dan melaksanakan dakwah
sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an
surat Ali Imran ayat 104: ”Dan
hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Didukung pula oleh hadits yakni: “Sampaikanlah
(dari aku) meskipun satu ayat”. Dakwah
dimaksud bisa bil lisanil haal yakni
dengan mendidik, mengajak dan mencerdaskan ummat ke arah pelaksanaan Islam
secara keseluruhan (kaffah), bisa juga bil haal saja yaitu dengan contoh
perbuatan dan amal sholeh serta akhlaqul karimah. Berdakwah berasal dari kata “da’a yad’u dakwatan” yang artinya ‘mengajak’
(mengundang) seseorang untuk berbuat kebaikan, oleh dan untuk siapa saja.
Bahkan merupakan kewajiban setiap muslim untuk berdakwah sesuai firman Allah:
“Berdakwahlah
kalian kepada jalan Allah dengan hikmah, suri tauladan (mauidzah hasanah /
nasehat yang baik) dan perdebatan (mujadalah / tukar pikiran / ketegasan)
dengan baik”. Dalam Islam, berdakwah
itu dilakukan dengan santun, dengan kasih sayang dan ketegasan serta penuh kedamaian,
dan bukan dengan kekerasan apalagi dengan pemaksaan - pemaksaan yang hasilnya kontra
produktif.
Apa itu J i h a d
?
Ummat muslim dalam memperjuangkan
Islam dan ke-Islaman-nya, harus dengan cara yang benar terutama dalam ber-jihad
(berjuang) di jalan Allah, dijelaskan dalam QS. Al
Hajj ayat 78: “Dan berjuanglah kamu pada agama Allah dengan perjuangan yang sebenarnya“.
QS. At Taubah ayat 73 : “Wahai
Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik itu, dan bersikaplah
keras terhadap mereka“. Keras
yang dimaksud disini adalah dalam arti berjuang sekuat tenaga dan daya melawan
ideologi yang tidak islami dan itu semua dilakukan dengan santun atau ber-adab (ahlaqul karimah), bukan dengan membunuh orang. Islam memberikan penghargaan
terhadap hidup dan kehidupan seperti firman Allah dalam QS. Al Maidah
ayat 32: “....barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena hukuman
pembunuhan, atau karena membuat bencana di bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.
Dan sesungguhnya telah datang rasul-rasul Kami kepada mereka dengan (membawa)
keterangan-keterangan, kemudian sesungguhnya banyak di antara mereka sesudah
itu melampai batas di bumi”. Dan Nabi Muhammad SAW pun bersabda: “Seorang muslim selalu dalam kelapangan
agamanya, selama tidak terlibat dalam perkara hukum pertumpahan darah yang
haram“. Jelas diterangkan disini bahwa maksud berjihad adalah bukan dengan jalan kejahatan dan membunuh atau
pertumpahan darah orang yang hukumnya adalah ‘haram’. Sesungguhnya Allah
tidak memperkenankan ummat (beda agama atau sesama Islam) bermusuh-musuhan satu
dengan lainnya serta melampaui batas, kecuali terhadap kelaliman. Firman Allah dalam QS. Al Baqarah ayat 190, 191, 192, 193, 194 dan 256 yang berbunyi:
“Dan
Perangilah pada jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, dan janganlah
melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas” (190). Lagi, “Dan perangilah mereka dimana saja kamu
jumpai dan usirlah mereka dari tempat mana kamu telah terusir, dan fitnah itu
lebih berbahaya dari pembunuhan. Dan janganlahkamu perangi mereka di Masjidil
Haram kecuali mereka memerangi kamu disana, tetapi jika mereka memerangi kamu,
maka perangilah mereka. Demikianlah pembalasan terhadap orang-orang kafir”
(191). Lalu, “Maka jika mereka berhenti (memerangimu), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (192). Seterusnya, “Dan perangilah mereka itu
sehingga tidak ada fitnah dan adalah agama bagi Allah semata-mata. Maka jika mereka
berhenti , maka tidak ada permusuhan lagi kecuali terhadap orang-orang yang
zalim” (193). Kemudian “ ........Maka barangsiapa yang yang menyerang
kamu, maka seranglah mereka sebagaimana mereka menyerang kamu. Dan bertaqwalah
kepada Allah dan ketahuilah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang taqwa”
(194). Akhirnya, “Tidak ada paksaan dalam agama (Islam) (karena) sungguh telah jelas
jalan yang benar dari jalan yang salah .....” (256).
Umumnya dalam berjuang menegakkan
Islam terdapat istilah jihad, dimana kata jihad itu berasal dari akar kata jahd atau juhd yang berarti tenaga, usaha, atau kekuatan. Jihad berarti berjuang dengan ‘keras dan
sekuat tenaga’ untuk membela diri atau menangkis serangan musuh. Jihad perlu dijelaskan terutama untuk
kaum muda agar tidak salah langkah, karena term
tersebut menimbulkan perdebatan panjang dan bisa menjadi menakutkan.
Mengerucutnya pengertian jihad yang
keliru menjadi sebab dimana seluruh aksi terorisme di dunia dengan gamblang
mengaksesnya dalam situs-situs komunikasi-informasi global. Doktrin jihad ternyata dapat dan bahkan telah
mampu membangkitkan emosi keagamaan yang didasarkan atas nama ukhuwah (solidaritas antar ummat Islam)
yang bersifat umum dan global, bahkan dikonotasikan dengan holy war (perang suci),
sehingga orientalis Barat menuduh Islam sebagai ‘agama perang dan pedang’, karena
berbagai aksi militer suka rela atau
semacam laskar pembela Islam yang menggantikan peran militer / polisi resmi, biasa
digunakan sebagai pembentukan karakter dan sarana pelatihan serta pengkaderan,
hingga dalam perkembangannya yang terakhir dikala ruang geraknya terbatas dan
terdesak berubah bentuk menjadi ‘kenekatan’ sampai sebagai ‘terorisme’ (bom
bunuh diri / bom manusia) yang sesungguhnya sangat merugikan dunia Islam, dimana
banyak ummat Islam juga turut terbunuh dan tidak pandang bulu dari anak-anak
hingga dewasa, wanita sampai orang tua pun ikut tewas, ini dianggapnya sebagai
‘ekses’ dari jihad yang keliru
tersebut. Insiden Bom Bali I di Kuta pada 12 Oktober 2002 yang mencederai 209
dan menewaskan 202 orang tersebut, lalu Bom Bali II, kemudian Bom Mega Kuningan
di Hotel JW Mariott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009, bom bunuh diri di luar
negeri seperti Amerika, Inggris, Timur Tengah, Pakistan, India, dll,
membuktikan bahwa masih bercokolnya momok gerakan ‘Islam radikal’ yang
mengatasnamakan agama (kelompok), yang bejuang dengan kerangka nilai (doktrin)
dan identitas kelompok ‘fundamentalis dan radikalis’ tertentu (Wahabi, Khawarij, Al Qaidah, JI),
sebagai bentuk warisan masa lalu dengan konstruksi perjuangan yang juga selalu baru.
Opini tentang terorisme kini hadir kepermukaan, sebelumnya didahului oleh peran
kelompok-kelompok yang disebut ‘Fundamentalisme’, ‘Radikalisme’ atau ‘Islam
Garis Keras’ itu. Pengaruh politik keagamaan yang berasal dari Timur Tengah ke
Indonesia tersebut bisa jadi memang sebagai pemicu. Memang sejak lama terjalin hubungan
masyarakat Indonesia dengan masyarakat Timur Tengah, bisa dikatakan sangat
dekat dan kental, dapatlah kemudian segera dimaklumi bahwa daerah tersebut
menjadi pusat rujukan ummat Islam, baik dalam berhaji,
ziarah maupun belajar agama, bergaul
dsbnya, sehingga memunculkan jaringan organisasi, ke-ulama-an, politik Islam, sampai gerakan dakwah. Gerakan Islam Radikal adalah merupakan fragmentasi dari
beragam organisasi yang berfaham mendekati (kurang lebih sama), sangat literal
dan dogmatis terhadap ajaran dan meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya
solusi mengatasi krisis multidimensi yang melanda Indonesia dan dunia. Mereka
sangat resistensi terhadap segala sesuatu yang berbau ‘ke-Barat-barat-an’ dan
perbedaan ekonomi mencolok serta ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat, juga
terhadap kelompok Islam lain yang berbeda pemahaman. Perjuangan yang tak kenal
lelah itu dibungkus dengan kata ’jihad’
jika ia gugur dianggap masuk surga, berdalih untuk menegakkan syari’at Islam. Radikalisme (syiddah al-tanatu), adalah aliran keras,
eksklusif, berfikiran pendek dan sempit, kaku, tidak kaffah (sepenggal) serta memonopoli kebenaran. Gejalanya tsb sebenarnya
sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW
masih hidup. Dikisahkan dalam hadits sahih
riwayat Muslim, ketika di daerah Ja’ranah Nabi Muhammad membagikan fai’ (harta rampasan perang) dari
wilayah Thaif dan Hunain, tiba-tiba seorang sahabat yang bernama
Dzul-Khuwaishirah dari Bani Tamin melayangkan protes kepada beliau. “Bersikap
adillah wahai Muhammad !’ Nabi Muhammad pun dengan tegas menjawab “Celaka
kamu ! Tidak ada orang yang lebih adil dari aku. Karena apa yang kami lakukan
berdasar petunjuk Allah !”. Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi
Muhamad bersabda: “Suatu saat akan muncul sekelompok kecil dari ummatku yang membaca Al
Qur’an, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu sejelek-jeleknya
makhluk di dunia ini”. Terbukti setelah Nabi wafat, pada 35 H,
terbunuhnya Khalifah Usman bin
Affan oleh kelompok Islam ekstrem dan disusul terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib oleh ummat Islam sendiri yang ekstrem,
diwakili kelompok yang berfaham ideologi Khawarij.
Golombang Islam Garis Keras yang saat ini berkembang (Wahabi, JI, Al-Qaidah) sebenarnya dipengaruhi oleh pola khawarij ini, merupakan refleksi
pemahaman yang dangkal (sathiyyah)
dan belum tuntas, tidak menyeluruh dan tidak kaffah.
Jihad juga dapat dilihat dalam perspektif dar al Islam (negeri
damai) dan dar al harb (negeri yang dilanda peperangan) yang ditegakkan
atas sebuah pertimbangan yaitu untuk mempertahankan diri. Konsep awal jihad ini merujuk pada perang dalam
sejarah perjuangan Islam, dimana kebiasaan suku Arab adalah berperang. Dalam
Islam perang yang sah menurut hukum serta terhormat bila dilancarkan dalam
bentuk mempertahankan diri terhadap agresi musuh. Tidak memerangi (membunuh)
orang yang tidak beriman. Dan bahkan justru harus mendakwahkan Islam. Juga bila
berperang pun didasarkan etika perang yang melarang membunuh anak-anak,
perempuan dan orang tua.
Perjuangan dalam pengertian jihad dapat dibedakan dalam 3 kategori,
yaitu:
1) Melawan musuh yang tampak,
adalah usaha atau perjuangan melawan
serangan terhadap Islam, baik bersifat fisik maupun bersifat ide. Terutama ada indikasi penindasan ummat Islam
(Pengertian inilah dilegitimasi dan dipahami oleh kelompok Wahabi Ekstrem dan Islam
Garis Keras yang merujuk pada QS. At Taubah ayat 73 di atas (bersikaplah
keras terhadap mereka), sebagai pemaksaan kehendak dan sebagai
pembenaran doktrin ideologi mereka, yang cenderung berfikir “hitam-putih”, suatu pemahaman
yang dangkal dan hanya sepotong saja (tidak menyeluruh), yaitu dalih untuk berjihad dengan membunuh dan berperang
melawan musuh-musuh Islam, yang kenyataannya ada orang Islam sendiri yang
banyak terbunuh).
2) Melawan syetan, baik yang tidak nyata (gaib) maupun yang nyata. QS. Al-Israa’ ayat 53: “....... Sesungguhnya
syetan menghasut di antara mereka. Sesungguhya syetan bagi manusia adalah musuh
yang nyata”
3) Melawan hawa nafsu (dalam diri sendiri), sesuai hadits Nabi yang disabdakan sesudah Perang
Badar (2 H), bahwa tidak ada lagi perang besar dan yang ada adalah perang
terhadap hawa nafsu (diri sendiri), anjuran kepada ummat Islam melawan hawa nafsu
dalam rangka mencapai kesempurnaan budi pekerti.
Keterangan: nomor 2 dan 3, adalah jihad atau perjuangan batin manusia
melawan bujukan ke arah keburukan, kemungkaran, kejahilan, keangkara-murkaan,
kejahatan, dan keinginan rendah dalam diri manusia itu sendiri. Perjuangan tersebut bisa menempuh jihad di jalan-Nya yaitu dengan ber-dzikrullah, tersebut dalam QS. At-Taubah ayat 24: “Katakanlah,
“Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang khawatir merugi dan tempat tinggal yang kamu
sukai, lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul–Nya dan (dari) berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah
tidak menunjuki kaum yang fasik”. Disebutkan bahwa jihad di jalan-Nya yaitu dengan berdzikrullah ternyata lebih utama dari jihad fi sabilillah, Rasulullah
SAW bersabda: “Seandainya seseorang memukulkan pedangnya kepada orang-orang kafir dan
musrik hingga patah dan berlumuran darah, tentulah orang-orang yang berdzikir
kepada Allah lebih utama daripadanya” (HR. Tirmidzi dari Abi Said
Al-Khudri ra.). Maknanya adalah jika seseorang mencintai keduniawian dan
melebihi cinta terhadap Allah, Rasul dan Jihad di jalan-Nya (dzikir),
Allah akan murka dan mendatangkan
malapetaka.
Beberapa ulama membedakan jihad dalam beberapa tingkatan:
1. Jihad akbar (perjuangan
yang ter-besar), adalah perjuangan
melawan hawa nafsu diri sendiri.
2. Jihad kabir (perjuangan besar),
adalah perjuangan menyebarkan dan mendakwahkan ajaran Islam.
3. Jihad shaaghiir (perjuangan kecil) adalah perjuangan
membela diri melawan agresi musuh yang menyerang ummat Islam.
4. Jihad
ashghar (perjuangan ter-kecil) adalah mengganggu kebebasan beragama serta untuk
keadilan.
Manusia adalah mahluk sosial yang
dalam hidup dan kehidupannya memerlukan orang (mahluk) lain. Karena itu,
manusia perlu orang atau mahluk lain dalam memenuhi hasrat (biologis, spiritual
dan material) untuk keperluan hidup dan kehidupannya. Sebagai mahluk sosial
perlu juga bergaul dan bermasyarakat agar dapat lebih maju. Islam mengajarkan
untuk ber-etika dan menghormati serta menjaga hubungan baik dengan tetangganya,
walaupun bukan seagama. Nabi SAW
bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah memuliakan
tetangganya” (HR. Bukhari).
Orang memeluk agama Islam tidak bisa
dipaksakan, apalagi ia sudah memeluk agama lain, seperti yang tercantum dalam QS. Al Kafirun ayat 6: “Bagi
kamu agamamu, dan bagiku agamaku“.
Juga QS. Al Ankabut ayat 46: “Dan
janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang lebih
baik“. Memaksa untuk beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya pun tidak boleh
dilakukan, firman Allah “Dan
jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya, Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya? (QS.
Yunus: 99). Karena semuanya itu atas izin Allah SWT, ”Dan tidak ada
seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan
kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya” (QS. Yunus: 100). Nabi Muhammad sendiri
pernah mengajak paman beliau yang bernama Abu Thalib untuk masuk
Islam, akan tetapi sampai saat meninggalnya belum juga memeluk agama
Islam, walau jasa beliau paman Nabi dalam melindungi dan pembela Islam tidak
diragukan lagi. Itulah sebabnya Rasulullah menangis ketika paman beliau
meninggal dan atas kejadian itu turunlah wahyu Allah: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang
kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya....” (QS. Al-Qasas: 56).
Agama
pada akhirnya mengalami depersonalisasi, dan hanya mengandalkan pembacaan pada
teks-teks suci Al Qur’an dan hadits Nabi serta kehilangan figur
pembimbing sebagai percontohan yang mendekati sempurna dengan latar belakang
yang juga baik. Maka pembacaan lain dari buku-buku keagamaan yang begitu banyak
bersifat pluralitas menjadi tak terhindarkan lagi, yang mana keragaman
pembacaan teks seperti ini menjadikan kehidupan beragama menjadi dinamis,
berkembang dan tumbuh menjadi banyak kelompok sejauh mana tulisan dicetak dan
pembacaan itu sampai ditangan pembacanya, didukung kemudahan material, media
komunikasi-informasi dan kebebasan serta sesuai kebutuhan masing-masing
individu. Apakah pemikiran keagamaan masyarakat telah mengalami pergeseran dan
toleran terhadap pemikiran keagamaan yang bukan arus utama (non-mainstream) ? Tidak ada perubahan
yang signifikan menghadapi perkembangan baru terutama yang dipandang menyempal
dari arus utama. Penekanan terutama dalam mencari
kebenaran seperti sabda Nabi Muhammad SAW
dalam Al-Hadits (shahih) sebagai berikut yang artinya “Ummatku akan berpecah-belah
menjadi tujuh puluh tiga golongan (firqah), sedangkan yang selamat hanya satu
golongan”. Sesungguhnya perbedaan-perbedaan
pandangan di dalam masalah agama Islam, terutama aliran dalam setiap kelompok
atau golongan (firqah) serta berbagai
kontradiksi metodenya hingga merupakan “lautan
yang amat dalam serta dapat menenggelamkan banyak ummat manusia yang
tak selamat kecuali beberapa gelintir manusia atau sekelompok orang saja, yang
masing masing kelompok tentu menduga kelompoknya itulah yang selamat”.[23]
Di dalam firman Allah SWT dalam QS. Al
Mu’minun: 53 “Fa taqaththa’uu amrahum
bainahum zuburan kullu hizbim bi maa ladaihim farihuun” yang artinya: “Mereka
berpecah-belah tentang urusannya menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan
merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka (masing-masing)”,
seperti iklan ‘kecap’ masing-masing kolompok mengatakan no. 1 (klaim yang
paling benar). Untuk itulah diharapkan ummat Islam berfikir dan meriset serta
mencari akan kebenaran yang sejati. Kalau sudah demikian haruslah dicari
kebenaran itu (hadits: carilah ilmu agama bila perlu sampai ke
negeri China), tidak hanya sampai pada ilmu
yakin atau pun ainul yakin (masih
katanya), tapi sampai merasakan haqqul
yakin (seyakin-yakinnya). Dalam kemajemukan yang semakin cepat (hiperpluralisme) seperti masa kini,
diperlukan sikap kritis dan konstruktif. Persoalan yang muncul adalah perbedaan
pandang sebagai sebuah fenomena, ada yang moderat, ada kelompok yang mengklaim
paling benar dan ada pula yang dianggap sesat (dalal). Kata sesat dengan mudahnya muncul bahkan boros dipakai
sebagai label terhadap paham selain yang dianut kelompoknya atau yang dikenal
sebagai golongan ‘baru’ atau dia merasa ‘asing’, karena ketidaktahuannya yang
tanpa diriset terlebih dahulu, sehingga terjadilah anarkisme dan penghakiman secara
sepihak oleh massa. Mengapa tidak ada forum yang menempuh jalan dialog yang
damai ketika menghadapi perbedaan dan kemajemukan, sebagai manajemen penanganan
konflik adalah sebenarnya bagian dari ajaran etika yang merujuk Al Qur’an, dengan mengutamakan unsur
keadaban dalam Islam yang bersifat damai dan bukan dalam suasana kekerasan
(tekanan). Dalam mendialogkan kesesatan (dalal),
pada Al Qur’an disebut dalal sebanyak 191 kali, sebagai al-furqaan sebagai pemaparan secara
tegas antara yang benar dan salah. Perbedaan pandang dalam menafsirkan adalah
suatu hal yang wajar dan dialog diperlukan meredam gejolak dengan cara-cara
yang santun, tidak menghina, tidak menekan dan membebani serta harus ada sebuah
kesadaran bahwa berada dalam ruang yang hiperpluralistik.
Rasulullah SAW bersabda: “Perbedaan
pendapat diantara umatKu adalah Rahmat” (Hadits).
[1] Samsul Rijal Hamid, Buku Pintar
Agama Islam, LPKAI ‘Cahaya Salam’, Bogor, 2008, hal 69-80
[2] Qodi’Iyad Ibn Musa Al Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah Muhammad SAW Keistimewaan Personal Keteladanan
Bersalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 812
[9] Budi Munawar, Rachman,Argumen Pengalaman Iman Neo-Sufisme
Nurcholish Madjid, dalam Tsaqafah, Vol.1, no.1, 2002,
hal 56
[12] Qodi’Iyad Ibn Musa Al
Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah
Muhammad SAW Keistimewaan Personal Keteladanan Bersalah, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 786
Tidak ada komentar:
Posting Komentar