Laman

Senin, 05 Maret 2012

Produk Kriya Murni

Produk Kriya Murni

 oleh Agus Mulyadi Utomo

           Kriya murni memiliki ciri khas sebagai pekerjaan tangan (handicraft). Sedangkan masyarakat pada umumnya menyebut sebagai “kerajinan”. Karena produk kriya memiliki fleksibilitas yang tinggi, bisa memiliki ciri khas, bisa berupa kecendrerungan-kecenderungan, bisa berada ditengah-tengah sebagai perpaduan seni dan tergantung dari cara mendudukkan serta wawasan yang dipergunakan,  yang bisa berada di wilayah atau kubu dari seni murni atau seni pakai (seni terapan /desain). 
            Sudarso SP, mengatakan bahwa seni kriya adalah cabang seni rupa yang sangat memerlukan kekriyaan (craftmanship) yang tinggi, seperti ukir kayu, logam, keramik, tekstil dan anyaman, dsbnya (1988:14). Sedangkan Wardiman Djoyonegoro, mantan Mendikbud R.I. yang dalam sambutan Pameran Seni Terapan 1994, menyatakan bahwa seni tersebut tidak hanya mengandalkan kerajinan dan ketrampilan tangan belaka, melainkan hasilnya mengandung makna sebagai karya cipta seni yang kreatif dan inovatif. Seni kriya pada hakekatnya tertuju pada penekanan bobot kekriyaan (craftsmanship) yang memungkinkan lahirnya nilai seni terapan atau dalam bentuk ekspresi baru sesuai tuntutan budaya masa kini. Seni kriya ini sering pula disebut sebagai “seni rakyat” karena pendukungnya banyak dari kalangan rakyat biasa, dan disebut “seni tradisional” karena banyak menghidupkan seni-seni tradisional. Juga disebut pula “industri rumah-tangga” atau home-industry yang memproduksi secara terbatas dengan peralatan sederhana. Dan disebut sebagai “seni ladenan” karena sering membuat atau melayani pesanan, yang segala sesuatunya (sedikit atau banyak) ditentukan oleh pemesan, baik motif, bentuk, warna, desain maupun teknologinya. 
             Barang-barang kriya bisa saja dipakai untuk kegunaan tertentu, tetapi bukanlah tujuan yang utama. Seringkali hadir sebagai benda yang bersifat dekoratif atau cenderamata. Karena ketidak jelasan batasan dari seni ini, terjadi perpaduan antara seni pakai, seni murni dan seni kriya. Untuk menciptakan seni kriya yang khas, diperlukan wawasan agar dapat mendudukkan posisinya secara mandiri dan dapat mengembangkan ciri-ciri yang menonjol dari visualisasi  kegiatan kriya tersebut. Ciri khas yang sangat menonjol dari seni kriya ini adalah mengutamakan segi keindahan (dekorasi) yang menghibur mata , sebagai pajangan, pekerjaan tangan-tangan trampil luar biasa dengan produksi terbatas (manual-tradisional). Prinsip dasar dari seni keramik kerajinan ini menampilkan hal-hal berikut: a) Bentuknya indah; b) Dapat difungsikan sebagai benda pakai, tetapi bukan menjadi tujuan yang utama; c) Fungsi benda mengikuti bentuk dan keindahannya; d) Sebagai benda dekoratif atau aksesoris atau cenderamata (souvenir) atau pajangan; e) Dibuat dengan tangan-tangan trampil sebagai perkerjaan tangan tardisional; f) Menampilkan unsur-unsur seni tradisional atau ciri kas daerah; g) Memperlihatkan sifat-sifat rajin, tekun, sabar, rumit, artistik, trampil, halus dan unik; Dan terakhir, h) Dapat menjadi tradisi (mentradisi) sebagai kepandaian yang turun-temurun atau diwariskan.
          Banyak kalangan merasakan bahwa seni kriya atau kerajinan sebagai pengulangan-pengulangan bentuk yang sudah ada, baik yang tadisional atau yang klasik, dan pada umumnya memperlihatkan atau mempertahankan nilai-nilai lama. Kerajinan juga nenunjukkan konotasi negatif sebagai jenis suatu pekerjaan yang “mengulang-ulang” dari bentuk yang sama dan positifnya memiliki sifat “rajin” atau “teliti”. Kenyataan ini membuat perkembangan seni kriya termasuk lambat, terutama mengulang bentuk-bentuk yang laris dan laku dijual (selera massa) yang menambah kelambatan dalam pengembangannya, perubahan hanya sekitar bahan baku saja. Wiyoso Yudoseputro, ahli seni rupa, mengatakan dalam pengantar pameran seni terapan (1994) bahwa dalam pengembangan  seni kriya Indonesia sebagai seni terapan masa kini, diharapkan mampu menampilkan nilai-nilai guna baru berdasarkan imajinasi dan daya kreasi atau ekspresi para perupa. Kecenderungan untuk memandang produk kriya sebagai hasil produksi massal dan karya ulang sering mengecilkan arti dari kandungan nilai sebagai karya seni terapan. Lebih lanjut Wiyoso mengharapkan lahirnya bentuk-bentuk baru dan orisinil tanpa harus mengulang-ulang kaidah seni lama yang tidak sesuai dengan kebutuhan budaya masa kini. Jadi makna dasar kriya tertuju pada penekanan pada “bobot kekriyaan” (craftsmanship) yang melahirkan nilai seni terapan baru sesuai tuntutan zaman. Ciptaan-ciptaan tangan ini sering “ jatuh “ sebagai benda “iseng” atau kitsch tanpa arti, tanpa tujuan yang jelas, yang tidak lagi menarik bagi orang yang memiliki intelektualitas tinggi dan bagi mereka yang haus akan arti kehidupan dan ilmu pengetahuan.  Namun demikian sentuhan tangan-tangan trampil ini justru merupakan daya tarik terbesar, karena menghasilkan barang yang tidak kaku  dan “dingin” seperti buatan mesin, terasa “hangat” dan akrab serta sangat manusiawi. Walau di zaman teknologi komputer canggih seperti sekarang ini dimana dapat dengan mudah memprogram barang dengan baik, indah dan sempurna, namun tetap saja berkesan “tidak hidup” dan terasa “kering” akibat buatan mesin-mesin serta jauh dari manusia. Kerinduan manusia modern terhadap sentuhan tangan, membuat seni lama hidup kembali atau mengalami perubahan dan pengembangan atau ada semacam himbauan untuk “kembali ke alam” ( back to nature).
          Benda-benda kerajinan, apabila difungsikan sebagai benda pakai belum tentu mengikuti standar mutu yang telah ditetapkan pemerintah dalam (SII atau SNI), karena dibuat dengan tangan yang sulit dikontrol dan sering terjadi penyimpangan-penyimpangan serta bukan buatan mesin (pabrik) yang mudah diawasi. Umumnya produk jenis ini dibuat dengan peralatan sederhana (manual) dan bahan bakunya dibuat berdasarkan pengalaman semata, bahkan hanya berdasarkan perasaan belaka; Sehingga proses pengerjaannya terkadang tidak terencana dan tidak tercatat pula serta tidak mudah untuk dikendalikan.  Semua itu berdasarkan kepekaan semata, yang berdampak negatif, dimana kemungkinan produk dapat membahayakan (keracunan) bagi kesehatan  atau keselamatan konsumen maupun perajin itu sendiri, terutama penggunaan bahan-bahan yang beracun untuk tempat makanan dan minuman (cairan). Hasil karya kriya atau kerajinan yang bermutu tinggi adalah dambaan, kriyawan dan perajin dituntut untuk memiliki citarasa yang tinggi, ketrampilan yang tinggi, dapat mengembangkan seni lama dengan citarasa baru, unik dan eksklusif, dan hasilnya tentu tidak mustahil menjadi duta-duta seni dan budaya bangsa yang membanggakan. Kebutuhan artistik dan estetik baru dalam kriya masa kini menjadi tugas pakar-pakar seni dan kriyawan akademisi sehingga produk yang dihasilkan menjadi komoditi ekspor non-migas yang handal serta mampu bersaing di pasar global.

Dari Buku :" Produk Kekriyaan" 2011
blogspot.goesmul.com / Hidup dan Seni
goesmul@gmail.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar