SENIRUPA
oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com/senirupa
goesmul@blogspot.com
Penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam
jiwa manusia, sebenarnya dilahirkan dengan suatu perantaraan bahan dan peralatan
ke dalam bentuk seni yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Misalnya indra pendengar melahirkan seni suara dan seni
musik, lalu indra penglihatan dan perabaan melahirkan seni rupa 2 dimensi
(dwimatra) dan 3 dimensi (trimatra). Ada yang dilahirkan dengan perantaraan
gerakan, peran dan bunyi-bunyian menjadi seni pentas atau pertunjukan, seni
tari, dan seni kerawitan. Disamping itu, juga ada dengan gaya tulis-menulis dan
pembacaan menjadi seni sastra dan seni kaligrafi. Kemudian dikembangkan lagi sebagai
suatu strategi dan keahlian tertentu atau kesenangan, misalnya seperti seni
pertahanan, seni berhitung, seni bela diri, seni memasak, seni rancang bangun
(arsitektur), senirupa dan desain, seni bercocok tanam, seni pertamanan, seni
lingkungan dan sebagainya.
Pada kehidupan masyarakat agraris
tradisional di masa yang lampau, tidaklah
membedakan antara seni, ilmu pengetahuan, teknologi dan keagamaan, melainkan
lebih banyak menyatu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan itu
sendiri. Indonesia pada peralihan zaman Batu ke zaman Perunggu, dikenal sebagai
masa “Perundagian” yaitu suatu masa “kemahiran teknik”, sebagai cikal-bakal industri terutama dalam
mengolah bahan dan
mengukir logam, kemudian para ahli
ketukangan itu disebut sebagai “Undagi”, dan sebutan ini masih di kenal di Bali. Sementara itu orang-orang “cerdik
pandai” atau “orang bijaksana” atau “ahli-ahli” pada masa lampau di Indonesia
sering pula disebut sebagai “Empu”, yaitu sebagai orang yang
menguasai akan ilmunya atau “mumpuni”.
Pada masa sejarah kerajaan Hindu ada
disebut Empu Gandring sebagai ahli
pembuat keris, Empu Tantular sebagai
cerdik pandai dengan kitab sastra “Sutasoma”,
Empu Prapanca dengan kitab “Negara Kertagama” dan lain-lain. Empu, di masa kini diberikan kepada seniman dan budayawan yang telah mumpuni, disetarakan dengan tingkat master
atau maestro
atau Doktor sampai Guru Besar, yakni orang tempat bertanya
yang ahli di bidang senirupa dan ada karyanya tergolong masterpiece.
Bali di masa lalu, yang merupakan
bagian dari wilayah kekuasaan Majapahit, pernah
memperoleh sekotak wayang dari Raja
Hayam Wuruk, yang diterima oleh Raja
Gelgel, yaitu Dalem Semara Kepakisan, seusai upacara pensucian roh (Srada)
dari Rajapatni, nenek Hayam Wuruk, pada tahun 1362. Saat itu tersebutlah sebuah nama Raden Sangging Prabangkara, Putra Brawijaya
terakhir, yang telah melakukan perubahan dan penyempurnaan warna-warna pada
pakaian wayang sesuai dengan martabat ketokohannya, sehingga dianggap sebagai ahli senirupa atau
desainer zaman Majapahit. Dan kemudian namanya sering dipakai sebagai gelar atau
sebutan untuk para ahli seni rupa atau perancang desain dengan sebutan “Sangging” atau “Sungging” atau “Prabangkara” yang di kenal di Bali. Dalam bahasa dan kebudayaan Jawa “Sungging”
berarti menggambar atau istilah ini
sanat erat kaitannya dengan menggambar illustrasi buku. Juru Sungging atau juru gambar biasanya mengerjakan
manuskrip-manuskrip kraton zaman dulu dan mengisahkan cerita atau kisah
pewayangan, seperti Ramayana dan Mahabharata.
Pengertian Awal Seni
Pengertian “seni” bagi orang Jawa adalah “kencing” atau buang “air kecil”
dan air kencing itu sering pula disebut
sebagai “air seni”. Perkataan “seni” juga untuk menyatakan suatu
benda berukuran “kecil” atau “mungil” atau “Jlimet”
atau “rumit”. Orang Jawa sering pula
menyebut suatu produk hasil dari kehalusan jiwa manusia yang indah-indah dengan
istilah “kagunan” sebagai sesuatu yang bermanfaat. Sering pula disebut “ngrawit”,
dimana pada umumnya produk yang dihasilkan memang mempunyai tekanan pada
“halus” atau “remitan” atau “rumit” dalam pengerjaannya, yang umumnya disebut
“kerajinan” atau “kriya” yang
memerlukan ketrampilan atau “keprigelan”.
Ada pemikiran yang lain, bahwa istilah “art” dalam
bahasa Inggris telah mengadopsi dari pemikiran zaman kebudayaan Yunani Kuno (500
SM) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, yaitu mousike` techne`
adalah aktivitas mental yang dibedakan dari aktivitas kerja secara fisik, yang
dibedakan pula dengan aktivitas berfikir rasional dan berhubungan dengan ilmu
pengetahuan atau epite`me`. Kata ‘technic” atau “teknik”
yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “techne” dipadankan dengan kata “ars”, “arte”, dan “artista” dalam bahasa Latin,
memiliki arti atau makna “kecakapan” atau “ketrampilan” atau “kemahiran” dalam mengerjakan sesuatu yang berguna, ini merupakan cikal-bakal dari sebutan “seni”, “ilmu
pengetahuan” dan “teknologi” yang ada kemiripannya dengan arti “kagunan”
dalam bahasa Jawa atau sesuatu yang berguna atau bermanfaat dalam arti luas, kini di Indonesia lazim disebut IPTEKS (Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan
Seni). Istilah latin ada “ars magna” yang berarti
seni yang agung, dipadankan dengan arsitektur besar dan tinggi serta dinilai sebagai
“bangunan agung”. Istilah “ars” ini berkembang ke Eropa, di
Italia menjadi “l’arte”, di Perancis menjadi “l’art”, di Spanyol
menjadi “el arte” dan di Inggris menjadi “art”. Di Belanda
disebut “kunst” untuk seni, dan di Jerman juga dikenal istilah “die
Kunst” disamping “die Art” yang berarti ‘jalan’, ‘cara’
atau ‘modus’. Orang Belanda sering menyebut “kepintaran” sebagai “Genie” atau “Jenius”
yang mirip dengan “ketangkasan” atau “kemahiran”, seperti istilah “techne”
atau “ars” yang sepadan pula dengan pengertian “seni- kagunan” di Jawa.
Sehingga sampai masa kini pun pengertian
“seni-kagunan“ sebagai “kepandaian” atau “kepintaran” atau
“ketangkasan” atau “kemahiran” dan “ketrampilan” masih sering dipergunakan
seperti istilah “seni mengajar”, “seni memasak”, “seni bela diri”, “seni
berhitung”, “seni bercocok tanam”, “seni membaca” , “seni bangunan” dan lain
sebagainya. Kata “artisan”
yang berasal dari kata Latin “artigiano” diserap dari kata “artitus”,
“artier”
yang berarti “mengintruksikan dalam seni” dan dipadankan pula dengan pengertian
“tukang” (pekerja bagian produksi yang bersifat teknis) seperti tradisi Beaux
Arts abad 17 di Prancis,
dipersepsikan sebagai tukang yang lahir atas kerja seniman yang memiliki
ide kreatif dari suatu karya seni. Sedangkan kata artistik berhubungan dengan penampilan wujud karya seni atau hasil
karya seniman yang memiliki nilai-nilai tertentu (keindahan relatif) atau mungkin
unik dan bersifat personal.
Pengertian atau definisi istilah ‘seni’ memang beragam dikalangan pakar
pemerhati kesenian. I Gusti Bagus
Sugriwa dalam tulisannya Dasar-dasar
Kesenian Bali, mengatakan bahwa
“seni” berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu “sani”, yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan
atau pencarian yang jujur (IGB Sugriwa, 1957:219-233). Seni menurut WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976)
yaitu suatu karya yang dibuat atau diciptakan dengan kecakapan yang luar biasa
seperti sanjak, lukisan, dan sebagainya. Atau kecakapan menciptakan sesuatu
yang elok dan indah. Definisi seni menurut Ki
Hadjar Dewantara (1962:330), adalah “Segala
perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga
dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya”. Menurut Akhdiyat
Kartha Miharja (1961), mengatakan sebagai kegiatan rohani manusia yang
merekfeksikan realited (kenyataan) dalam suatu karya yang berkat bentuk dan
isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani
penerimanya. Pelukis S. Sudjojono,
mengatakan bahwa seni adalah jiwo kethok (jiwa tampak). Lalu Sudarso Sp, menganggap bahwa seni adalah karya manusia yang
mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman batin; pengalaman batin tersebut
disajikan secara indah atau menarik sehingga merangsang timbulnya pengalaman
batin pula pada manusia lain yang menghayatinya. Kelahirannya tidak didorong
oleh hasrat memenuhi kebutuhan pokok, melainkan merupakan usaha melengkapi dan
menyempurnakan derajat kemanusiaannya memenuhi kebutuhan yang sifatnya
spiritual. Sejalan dengan itu, Everyman Encyclopedia, menyebut
segala sesuatu yang dilakukan oleh bukan atas dorongan kebutuhan pokoknya,
melainkan adalah apa saja yang dilakukan semata-mata karena kehendak akan
kemewahan, kenikmatan atau pun karena dorongan kebutuhan spiritual. Leo Tolstoy (1960), menyebut seni
adalah sebagai transmission of feeling.
Dan Aristoteles, berpendapat bahwa
seni adalah imitasi atau realistis tiruan dari alam atau ilahi. Sedangkan Thomas Munro mengatakan: “Seni adalah
alat buatan manusia untuk menimbulkan
efek-efek psikologis atas manusia lainnya yang melihat. Efek tersebut mencakup
tanggapan-tanggapan yang berujud pengamatan, pengenalan imajinasi, rasional
maupun emosional” (1963:419). Lebih lanjut Herbert
Read (1962), mengatakan bahwa lahirnya sebuah karya seni melalui beberapa
tahapan sebagai suatu proses. Tahapan yang pertama adalah pengamatan
kualitas-kualitas bahan seperti tekstur, warna dan banyak lagi kualitas fisik
lainnya yang sulit untuk didefinisikan. Tahapan kedua yaitu adanya penyusunan
hasil daripada pengamatan kualitas tadi dan menatanya menjadi suatu susunan.
Dan ketiga yaitu proses suatu obyektifikasi dari tahapan-tahapan di atas yang
berhubungan dengan keadaan sebelumnya. Keindahan yang berakhir pada tahapan
pertama belum dapat disebut seni, karena seni jauh telah melangkah ke arah emosi atau perasaan.
Seni telah mengarah pada ungkapan sebagai “peng-ekspresian” dengan tujuan untuk
komunikasi perasaan. Pengertian yang
dikembangkan oleh Fredrich Schiller
dan Herbert Spencer, yakni bahwa
seni lahir dilatarbelakangi adanya dorongan bermain-main (play impuls) yang ada dalam diri seniman.
Berdasarkan uraian
sebelumnya dan pengertian secara umum seni dapatlah pula diterjemahkan (diinterpretasikan) sebagai ungkapan atau ekspresi,
bentuk atau wujud, arti, simbol, abstraksi, indah, guna atau pakai atau fungsi,
kepandaian atau kepintaran atau kemahiran atau ketangkasan, wakilan
(representatif), cantik, molek, mungil atau kecil, rumit, halus, fungsi,
kreasi, imajinasi, intuisi, menyenangkan, khas, menarik, teknik atau metode dan
lain sebagainya. Semua itu, di dalam ranah seni
rupa terdapat elemen visual atau unsur-unsur sat-mata yang terdiri dari garis,
warna, bidang atau ruang, tekstur atau kesan permukaan bahan, kesan
gelap-terang atau cahaya, yang wujud visualnya bisa berupa dua dimensi atau
tiga dimensi.
Sebelum Revolusi Industri di Eropa, kata “ars” mencakup disiplin ilmu tata
bahasa, logika, dan astrologi. Pada abad pertengahan di Eropa terjadi pembedaan
kelompok ars yaitu “artes
liberales” atau kelompok “seni tinggi” yang terdiri dari bidang tata
bahasa, dialektika, retorika, aritmatika, geometri, musik dan astronomi; Dan “artes
serviles” atau kelompok “seni rendah” yang mengandalkan tenaga kasar
dan berkonotasi “pertukangan”. Dari tujuh bidang-bidang keahlian hanya musik yang masuk “seni tinggi”, sedangkan untuk lukis, patung, arsitektur, pembuatan senjata dan
alat-alat transpor termasuk katagori “seni rendah”. Kemudian Leonardo
da Vinci (1452-1519), pelukis Italia dari masa Renaissance ini, mempelopori perjuangan dan berhasil memasukkan atau menaikkan seni lukis
ke dalam status “seni tinggi”. Sebagai orang yang serba bisa dan memiliki
kemampuan sebagai arsitek dan ilmuwan itu, Leonardo,
beragumentasi bahwa melukis juga memerlukan pengetahuan “teoritis” seperti
matematika, perspektif dan anatomi serta mempunyai tujuan moral seperti puisi
lewat penggambaran sikap dan ekspresi wajah dalam lukisan. Suatu fenomena
kemudian terjadi bersamaan dengan Revolusi
Industri di Eropa akhir abad ke 18 sampai awal abad ke 19, dimana
masyarakat industri yang baru tumbuh menuntut adanya pembagian kerja dan spesialisasi
kerja dalam mengembangkan proses produksi. Dalam masyarakat industri status
“seni” menjadi tiga kelompok yaitu “seni
tinggi” (high art), “seni menengah” (middle art), dan “seni
rendah” (low art). Katagori ini
masih memperlihatkan kelanjutan tradisi klasik, yaitu semakin tinggi kedudukan
seni apabila semakin dekat atau tinggi tingkat integrasinya dengan industri,
demikian pula sebaliknya semakin jauh tingkat hubungannya dengan industri maka
semakin rendah pula kedudukan seninya. Pertemuan seni dan industri ini telah mengakibatkan banyak benturan, dimana
penemuan-penemuan mesin-mesin produksi massal mendorong kalangan industri untuk
mengembangkan teknik produksi dan hanya “menempelkan seni” dari reproduksi
karya-karya seni klasik yang berstandar pada bentuk produk yang dihasilkan mesin. Sehingga menimbulkan reaksi keras dan serius dari
kalangan seniman, sebab standariasi dan mekanisasi serta penempelan begitu saja
karya-karya klasik pada produk merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup seni,
disamping tidak ada kesesuaian antara bentuk dan dengan motif
dekorasi yang ditempelkan tersebut. Sehingga akhirnya seni pun harus memutuskan hubungan dengan ikatan-ikatan seni
masa lalu, yang dianggap
membelenggu dan membatasi perkembangan seni, karena tidak ada hubungannya
dengan nilai-nilai estetika. Otonomi seni diharapkan dapat mempertegas dan
meningkatkan standar nilai estetik secara terus-menerus atau berkelanjutan.
Pada akhirnya seni selalu melahirkan norma yang menjunjung nilai kebaruan,
nilai keaslian dan nilai kreativitas yang lebih lanjut mendasari pandangan pada seni modern pada abad ke 19 – 20. Ketika seni telah
menjadi komoditi dan tunduk pada hukum permintaan dan penawaran ekonomi, maka
seni dianggap telah jatuh pada selera
massa yang rendah dan seni itu menjadi seni “picisan” atau kitsch. Seni kitsch (bahasa Jerman), berarti trash atau “sampah”, secara harfiah
berarti “memungut sampah dari jalan” atau “selera rendah” atau “seni palsu” (pseudo
art). Kritikus Clemen Greenberg,
awal keberadaan kitsch sangat didorong oleh semangat reproduksi sebagai akibat
berkembangnya industri, produksi, konsumsi dan komunikasi massa serta lemahnya
ukuran kriteria estetik. Status rendah ini dikarenakan seni telah kehilangan “roh seni” atau “jiwa
seni”. Jelaslah kiranya pengertian “seni” yang sekarang dan sepadan dengan “art”
adalah datangnya dari Dunia Barat yang terbentuk pada abad ke 18 sampai abad
20.
Penggunaan Istilah Seni Rupa
Istilah “seni rupa” di
Indonesia muncul dalam surat-surat kabar untuk pertama kali pada masa
pendudukan Jepang, dalam suatu laporan dan
resensi tentang pameran lukisan. Sanento
Yuliman (1983), menulis bahwa pemerintah pendudukan ketika itu secara resmi menggunakan istilah tersebut, dipakai dalam sebutan
“bagian seni rupa” yaitu nama bagian dari Keimin Bunka
Shidosho (Pusat Kebudayaan) yang berurusan terutama dalam hal lukis-melukis. Para seniman sebelumnya tidak begitu
populer menggunakan istilah “seni” atau “seniman” yang sepadan dengan “art” atau “artis”, yakni ketika itu masih mempergunakan
istilah “ahli gambar” pada nama PERSAGI yakni singkatan Persatuan Ahli Gambar Indonesia, juga pada Balai Pendidikan
Universiter Guru Gambar dan sebagainya. Kamus
Modern Bahasa Indonesia dari Mohammad
Zain, terbit sekitar tahun 1950, menerangkan bahwa yang masuk seni rupa
ialah seni lukis, seni pahat dan seni patung. Memang hingga kini dalam
pemakaian populer, istilah “senirupa” sering digunakan dengan lingkup
pengertian yang terbatas pada seni lukis, dan seni pahat atau seni patung. Akan
tetapi pendidikan formal senirupa di Indonesia dalam perkembangannya telah pula memperluas lingkup pengertian istilah itu. Pendidikan tinggi seni rupa dapat menyelenggarakan
sejumlah keahlian seperti seni grafis atau desain grafis atau desain komunikasi visual, desain industri atau desain
produk, desain interior atau arsitektur interior, desain tekstil, seni keramik,
seni lukis, seni patung dan seni kriya terdiri dari produk tekstil-kayu-logam-kulit-keramik
dan sebagainya. Sanento Yuliman, kritikus dan pengajar perguruan tinggi seni
di Bandung ini telah mempopulerkan istilah seni
rupa atas (high art) di Indonesia.
Ia menyebutkan bahwa seni dihasilkan untuk keperluan kemewahan dan sebagai
produk-produk eksklusif. Dan seni yang berhubungan dengan teknologi maju,
industri impor, juga berkaitan dengan adanya pertumbuhan lapisan masyarakat
atas dan menengah di kota-kota besar. Ia juga merujuk pada seni lukis, seni
patung modern masuk pada golongan ini, begitu pula yang disebut desain (terdiri:
interior, produk, grafis, dll). Disamping itu, ada yang disebut seni rupa bawah (low art), yaitu seni yang distribusinya, produksinya dan
komsumsinya berlangsung di lapisan masyarakat sosial bagian bawah dan menengah
pada kota-kota besar, terutama di kota kecil dan pedesaan. Jelasnya, ‘seni rupa
bawah’ berhubungan dengan masyarakat ekonomi lemah dan taraf hidup rendah, yang
dipraktekkan oleh golongan kurang mampu, kurang terpelajar, berhungan dengan
teknologi sederhana atau bersifat lokal dan tradisi.
Namun pemahaman seperti di atas, terutama
masa kini, dikala masuk era-globalisasi dan teknologi informasi yang berkembang,
telah memperkecil sekat-sekat antar bangsa, pemahaman seni pun tidak lagi terkotak-kotak,
tidak terbatas, bersifat pluralitas, universal, demokratis, bahkan kebebasan
dan keterbukaan. Bahkan ada yang mengedepankan industri kreatif dan berbasis
lingkungan. Juga ada upaya-upaya lain untuk menstarakan pandangan dan
penghargaan atau pengakuan dunia global tentang seni yang ada di Indonesia,
dengan cara mengangkat budaya lokal ketingkat internasional. Komunitas-komunitas
seni bermunculan dan saling berebut pengaruh serta bersaing untuk menunjukkan
kekuatan baru dalam kancah seni rupa Dunia. Kini tidak lagi ada batas-batas yang
ketat tentang seni itu sendiri, baik bersifat lokal, regional maupun global. Dengan
kebebasan dalam cara berfikir dan mengemukakan pendapat personal di Era
Reformasi, sesungguhnya telah membuka jalan yang seluas-luasnya untuk berkembangnya
paradigma seni (kontemporer) dan bahkan telah melewati batas-batas antar jenis
kesenian itu sendiri, perpaduan dari berbagai instrumen seni yang berbasis pada
persoalan kreativitas dan inovatif serta kebutuhan yang bersifat khusus.
Konsep Penciptaan Seni
Bermula dari penciptaan produk seni sebagai
persembahan atau penghormatan kepada ruh nenek moyang dan yang bersifat
spiritual (magis) serta sederhana sejak zaman batu prasejarah. Lalu memasuki masa
perundagian
(neolitik), sebagai awal dari
kepandaian teknik (industri) yang memiliki ciri diantaranya produksi bahan
logam-perunggu dan cetak mencetak, serta pola hias dan ukiran yang lebih
bervariasi dari zaman sebelumnya. Dan kemudian berkembang dengan pesat ketika
manusia memasuki zaman sejarah dan semakin beragam lagi ketika masuk zaman
kemerdekaan, dimana pusat-pusat kegiatan seni bermunculan dan kegiatan seni
mulai mengkhusus dan berciri khas serta bersifat individual dan modern. Kini
seni memasuki zaman kebebasan, sesuai dengan perkembangan dan penguasaan teknologi dan komunikasi serta informasi dunia
yang telah mengglobal, telah meniadakan pengkotak-kotakan seni, bersifat lintas
agama-komunitas-bangsa, social-ekonomi, dan menonjolkan industri-kreatif-ramah
lingkungan serta menyiratkan persaingan.
Seperti hanya lempung atau tanah liat. awalnya adalah bahan baku untuk benda atau produk tiga dimensi
(trimatra) seperti patung, keramik dan produk lainnya, yang memiliki sifat plastis dan penurut atau mudah dibentuk untuk apa saja yang diinginkan.
Sebenarnya, ini berangkat dari karakter awal yang tidak menentu dan
bersifat abstrak. Sehingga apapun yang terkandung dalam suatu benda atau produk – baik sebagai benda
teknis, benda praktis (pakai), benda estetis, maupun sebagai benda spiritual
(magis) – adalah berasal dari suatu imajinasi, yang datang dari
penciptanya. Kebebasan yang begitu luas membentang, memang merangsang daya
cipta dan imajinasi serta pengembangan IPTEKS. Sisi lain dari dampak kebebasan itu bisa berakibat buruk, misalnya karena benda atau produk menjadi tidak bermutu
dan kehilangan arah dan tujuannya dengan kata lain menjadi benda “iseng” tanpa
arti, apalagi produk ciptaan itu menentang
atau melanggar hukum formal. Dan pandangan seni sampai saat ini masih terlihat atau
dirasakan tumpang tindih (overlaping) atau
terpadu dan sulit dibedakan. Bahkan ada yang
sengaja mengaburkan identitas individu, kelompok, ras, kelokalan dan mencari
hal-hal yang universal, bersifat plural serta bersifat multi tafsir. Ada yg bertahan dengan pengkotak-kotakan
ragam-jenis seni, terutama untuk apresiasi dan pemaknaannya satu dengan
lainnya. Umumnya belum banyak yang mempersoalkan ciri khas perbedaan, kecenderungan
dalam mengolah seni. Konsep penciptaan seni seperti yang diuraikan, dalam dunia pendidikan di perguran tinggi memiliki tiga arah
pengembangan — sebagai seni murni, seni kriya (kerajinan) seni pakai (desain).
Pada dasarnya ketiga
bagian seni tersebut mempunyai ciri khas dan penonjolan masing-masing secara
terpisah. Apabila ciri khas dikembangkan, terlihat dalam
analisis pada bagan harus ditarik keluar, maka konsep
penciptaan seni dapat berdiri sendiri tanpa ada kecenderungan dan perpaduan
seni. Disamping itu suasana tumpang tindih atau terpadu, kurang mendukung perkembangan seni itu sendiri. Kedudukan seni kriya
(kerajinan) berada ditengah-tengah yang menunjukkan bahwa seni ini umumnya lebih berupa kecenderungan, baik
ke seni murni atau ke seni pakai dalam prosentase
dan tergantung dari wawasan para kriyawan itu sendiri apabila ingin memiliki ciri khas serta harus berdiri sendiri.
Konsep penciptaan produk seni seperti arah
kedudukan seni yang diuraikan bagan di atas, memiliki tiga arah pengembangan —
pertama sebagai produk ekspresi (ungkapan
seni); Kedua sebagai produk kriya yang menekankan craftsmanship (handicraft / craft); Dan
ketiga sebagai produk pakai yang
bernilai fungsi-guna.
Pada dasarnya ketiga
bagian seni tersebut mempunyai ciri khas dan penonjolan masing-masing secara
terpisah. Apabila ciri khas dikembangkan, simak dalam analisis pada bagan 1
& 2, harus ditarik keluar untuk
memiliki ciri khas, maka konsep penciptaan produk seni dapat berdiri sendiri
tanpa ada unsur-unsur kecenderungan dan keterpaduan dalam pandangan seni.
Suasana tumpang tindih seperti itu seringkali memang dapat memberi suatu gambaran
yaitu betapa kompleksnya cara pandang seni dan memberikan kontribusi yang positif
bagi pelaku seni, pengamat seni dan masyarakat penikmat seni.
Seni Rupa Murni
Senirupa yang dibuat untuk tujuan yang murni dan bernilai ungkap, termasuk
sebagai “seni murni” atau fine art, yang lazim disebut pula sebagai
“seni ekspresi” karena identitas dan emosi penciptaannya yang menonjol serta
tidak mengulang-ulang (tidak digandakan secara massal), dan dibuat oleh
individu atau pribadi yang bebas tidak terikat (merdeka). Seni jenis ini
melayani kebutuhan atau kehidupan jiwa seperti adanya suasana hati atau batin
atau perasaan, hasrat dan ekspresi atau ungkapan serta emosi, secara sadar atau
tidak merupakan perwujudan nilai-nilai tertentu dari kehidupan manusia itu
sendiri. Bisa dikatakan seni ini sebagai “seni bebas” yang pembuatannya tidak
terikat oleh kegunaan atau fungsi pakai tertentu, tetapi muncul sebagai karya
itu sendiri. Pencetus gaya ini, seperti L’art
pour l’art atau “seni untuk seni” adalah seorang Perancis yang bernama Thephile
Gautier (Lionella Venturi, 1964:237-266). Gautier bereaksi terhadap
keadaan zamannya, dimana seni dimanfaatkan untuk tujuan dan tendensi politik,
komersial materialistik maupun moralistik. Ia menginginkan agar seni
“dimurrnikan”, dinikmati dan dihargai bukan karena alasan lain diluar seni itu
sendiri. Demikian pula yang terjadi di Indonesia pada zaman LEKRA,
dimana politik adalah sebagai panglima, maka seni harus mengabdi kepadanya. Seni yang “murni” seharusnya
bebas propaganda dan tendensi di luar seni. Demikian pula kehadiran “seni
murni”, merupakan suatu perwujudan yang original
dan mengandung suatu kejujuran emosional secara individual, berdiri
sendiri, secara khusus bereksistensi mandiri, merupakan proyeksi preferensi,
apresiasi dan kesadaran akan nilai-nilai kehidupan dan kepribadian, baik secara
rasional maupun irasional (intuitif).
Karya Agus Mulyadio Utomo dan Laba ( foto 1) serta Hilda Sidharta (foto 2)
Pembuatan “seni murni” mempunyai maksud untuk dapat mengkomunikasikan
pemikiran atau penyampaian ekspresi (ungkapan) melalui bahasa rupa, lewat
bahan, tekstur, warna, bentuk, ruang, bidang, garis, simbol dan lain
sebagainya, yang menjadi suatu susunan dan dapat membangkitkan masyarakat
apresiasi. Pembuatan seni jenis ini atas dasar kesenangan dan telah menjadi
ciri khas yakni dibuat dalam jumlah terbatas, bahkan sebagai benda satu-satunya
di Dunia. Dengan demikian kehadiran “seni murni” ini patut untuk diperhitungkan
dan direnungi sebagai manifestasi kebudayaan bangsa, sebagai bagian dari
kehidupan, yang juga ikut berperan dalam mencerdaskan masyarakat, dapat sebagai
media untuk menyalurkan hasrat, emosi atau ekspresi atau pikiran sehingga
kehidupan menjadi selaras dan seimbang, baik material maupun spiritual. Lebih
lanjut pada perkembangannya, seni murni tidak lagi terkotak-kotak, bersifat
universal, bebas dan dikatakan hidup dalam dinamika masyarakatnya.
Seni Pakai
Seni pakai atau ”applied
art” atau ”seni terapan” dibuat untuk tujuan yang bersifat praktis dan
fungsional, terutama untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagai “seni pakai”, jenis seni
ini merupakan produk hasil dari suatu rancangan atau desain, baik untuk
keperluan yang bersifat fisik atau material seperti peralatan rumah tangga
(wadah atau perabotan), maupun sebagai bahan dan komponen suatu rancang bangun.
Seni pakai bersifat umum dengan kegunaan yang khusus dan bervariasi, dimana
setiap produknya mementingkan segi praktis dan fungsi yang optimal serta
efisien. Karena bersifat umum yaitu untuk kepentingan masyarakat yang luas,
maka seni pakai harus memenuhi standar industri dan mutu yang berlaku di setiap
negara. Kalau dalam negeri disebut Standar Industri Indonesia (SII) atau
Standar Nasional Indonesia (SNI), ada pula Standar Industri
Internasional yang berlaku, misalnya ISO dan lain-lain. Semua itu untuk
melindungi kepentingan konsumen, apalagi kini telah ada undang-undang yang
mengatur hal itu. Dan para pengusaha harus melaporkan secara kontinyu hasil
produksinya ke Departemen atau
Kementrian terkait, disamping untuk pengendalian mutu dan pengontrolan
serta sebagai obyek pajak.
Benda-benda seni pakai diproduksi oleh
mesin-mesin (pabrik) yang menghasilkan produk massal dengan bentuk serupa
(standar) dan diawasi oleh pemerintah atau lembaga konsumen. Hal-hal yang
tercantum dalam SII atau SNI biasanya meliputi ruang lingkup dan
prosedur, definisi, klasifikasi, cara pengambilan contoh (sample), cara
uji, syarat lulus uji, syarat penandaan, cara pengemasan, dilengkapi dengan
tabel-tabel dan gambar-gambar desain.
Untuk dapat
bersaing dipasaran, produk seni pakai menawarkan berbagai keuntungan atau
kelebihan, keterjangkauan daya beli (murah) atau berbagai kelas mutu produk,
kepraktisan, pemenuhan kebutuhan dan juga perlindungan konsumen. Karena itu
produk seni pakai harus direncanakan sedemikian rupa, dengan memperhatikan segi
keamanan atau keselamatan, kenyamanan, kebersihan atau kesehatan dalam pemakaian
produk. Pertimbangan lainnya dalam mendesain adalah dari sudut pandang ekonomi,
sosial, budaya, fisiologis dan ergonomis, psikologi, teknologi dan estetikanya.
Seni pakai dalam memenuhi tuntutan fungsinya menerapkan prinsip-prinsip
sebagai berikut ini: a) Bentuk sesederhana mungkin dan estetis atau indah; b)
Bentuk pakai yang dihasilkan minim dari unsur ekspresi dan imajinasi; c) Dapat
menampilkan keindahan yang mengikuti fungsinya; d) Keindahan muncul dengan
sendirinya secara wajar disaat benda tersebut dipergunakan; Dan terakhir, e)
Adanya hubungan antara barang dengan sipemakai.
Kebutuhan masyarakat akan produk seni pakai senantiasa berkembang dan
semakin kompleks sifatnya, maka desain-desain alternatif dan baru selalu akan
mengikuti, dimana bentuknya pun juga bervariasi sebagai pilihan (alternatif).
Dalam hal ini konsumen bebas memilih sesuai dengan seleranya, baik bentuk,
ukuran, warnanya dan harganya. Seringkali terjadi, benda pakai ini jarang
dipergunakan karena bentuknya teramat indah atau hiasannya (dekorasi)
berlebihan, sehingga fungsinyapun beralih menjadi benda pajangan di ruang tamu,
tidak sesuai dengan fungsi sebenarnya.
Tampaknya tanggungjawab desainer cukup besar dan penting, terutama pada
masyarakat konsumen, produsen dan kesempatan kerja. Sudah selayaknya hasil
karya para desainer dihargai dan layak diberi perlindungan seperti yang diatur
dalam Undang-undang HaKI (Hak akan Kekayaan Intelektual) seperti Hak
Cipta, Paten, Produk Industri, dan lain-lainnya.
Demikian pula pada produk yang bersifat teknis, termasuk dalam seni pakai
dengan penekanan khusus sebagai bagian dari keperluan desain atau rancangan
teknis tertentu, bisa berupa material multifungsi, komponen konstruksi, tata
laksana pembuatan bahan-bahan bangunan, peralatan elektrik dan lain-lain.
Pengembangan IPTEKS, merupakan tim proyek yang melibatkan berbagai disiplin
ilmu. Pada seni pakai yang bersifat teknis, desain harus disesuaikan dengan
kebutuhan dan fungsi serta sistem teknologi yang dikehendaki tim proyek
(bersama).
Seni Kriya
Seni kerajinan
yang memiliki ciri khas sebagai pekerjaan tangan (handicraft), termasuk
kelompok seni kriya (craft). Sedangkan “kriya” atau “kria” yang berasal
dari kata “creat” ini dalam bahasa Sansekerta
berarti “kerja” dan bahasa Jawanya “pakaryan” dan masyarakat pada
umumnya menyebut sebagai “kerajinan”. Jika diurai dari akar keilmuannya, masih
terus terjadi perdebatan dikalangan praktisi maupun akademisi bidang seni rupa.
Bidang kriya atau kerajinan ini menjadi ajang perebutan antara masuk disiplin
ilmu seni murni atau desain sehingga muncul istilah “kriya seni”, “kriya
desain” atau “seni kriya” dan “desain kriya”. Karena kriya memiliki fleksibilitas
yang tinggi, bisa berupa kecendrerungan-kecenderungan, berada ditengah-tengah
dan tergantung dari kedudukan dan wawasan yang dipergunakan, yang bisa pula berada
di wilayah atau kubu dari seni murni atau seni pakai (seni terapan atau desain).
Sudarso SP, mengatakan bahwa
seni kriya adalah cabang seni rupa yang sangat memerlukan kekriyaan (craftmanship)
yang tinggi, seperti ukir kayu, keramik dan anyaman, dsbnya (1988:14).
Sedangkan Wardiman Djoyonegoro, Mendikbud R.I. dalam sambutan Pameran
Seni Terapan 1994, menyatakan bahwa seni tersebut tidak hanya mengandalkan
kerajinan dan ketrampilan tangan, melainkan hasilnya mengandung makna sebagai
karya cipta seni yang kreatif dan inovatif. Seni kriya pada hakekatnya tertuju
pada penekanan bobot kekriyaan (craftsmanship) yang memungkinkan
lahirnya nilai seni terapan dalam bentuk ekspresi baru sesuai tuntutan budaya
masa kini. Seni kerajinan ini sering pula disebut sebagai “seni rakyat” karena
pendukungnya banyak dari rakyat biasa dan disebut “seni tradisional” karena
banyak menghidupkan seni-seni tradisional. Juga disebut pula “industri
rumah-tangga” atau home-industry yang memproduksi secara terbatas dengan
peralatan sederhana. Dan disebut sebagai “seni ladenan” karena sering membuat
atau melayani pesanan, yang segala sesuatunya (sedikit atau banyak) ditentukan
oleh pemesan, baik motif, bentuk, warna, desain maupun teknologinya.
Tentu saja produk
kerajinan bisa dipakai untuk kegunaan tertentu, tetapi bukanlah tujuan yang
utama. Seringkali hadir sebagai benda yang bersifat dekoratif atau cenderamata.
Karena ketidak jelasan batasan dari seni kerajinan ini, terjadi perpaduan
antara seni seni pakai, seni murni dan seni kerajinan. Untuk menciptakan seni
kerajinan keramik yang khas, diperlukan wawasan seni agar dapat mendudukkan
posisinya secara mandiri dan dapat mengembangkan ciri-ciri yang menonjol dari
visualisasi kegiatan kriya tersebut. Ciri khas yang sangat menonjol dari seni kerajinan
ini adalah mengutamakan segi keindahan (ornamen dan dekorasi) yang menghibur
mata, sebagai pajangan, pekerjaan tangan-tangan trampil yang luar biasa dengan
produksi terbatas (manual-tradisional-sederhana). Prinsip dasar dari
seni kriya ini menampilkan hal-hal berikut: a) Bentuknya indah; b) Terkadang dapat
difungsikan sebagai benda pakai, tetapi bukan menjadi tujuan yang utama; c)
Fungsi benda mengikuti bentuk dan keindahannya; d) Sebagai benda dekoratif atau
aksesoris atau cenderamata (souvenir) atau pajangan; e) Dibuat dengan
tangan-tangan trampil sebagai perkerjaan tangan tradisional; f) Menampilkan
unsur-unsur seni tradisional atau ciri khas daerah; g) Memperlihatkan sifat-sifat
rajin, tekun, sabar, rumit, artistik, trampil, halus dan unik; Dan terakhir, h)
Dapat menjadi tradisi (mentradisi) sebagai kepandaian yang turun-temurun atau
diwariskan.
Banyak kalangan
merasakan bahwa Seni kerajinan sebagai pengulangan-pengulangan bentuk yang
sudah ada, baik yang tradisional atau yang klasik, dan pada umumnya
memperlihatkan atau mempertahankan nilai-nilai lama atau klasik. Kerajinan juga
nenunjukkan konotasi negatif sebagai jenis suatu pekerjaan yang
“mengulang-ulang” dari bentuk yang sama dan positifnya memiliki sifat “rajin”
atau “teliti”. Kenyataan ini membuat perkembangan seni kriya termasuk lambat,
terutama mengulang bentuk-bentuk yang laris dan laku dijual (selera massa) yang
menambah kelambatan dalam pengembangannya, perubahan hanya sekitar pada bahan
baku saja. Wiyoso Yudoseputro, ahli seni rupa, mengatakan dalam
pengantar pameran seni terapan (1994) bahwa dalam pengembangan seni kriya
Indonesia sebagai seni terapan masa kini, diharapkan mampu menampilkan
nilai-nilai guna baru berdasarkan imajinasi dan daya kreasi atau ekspresi para
perupa. Kecenderungan untuk memandang produk kriya sebagai hasil produksi
massal dan karya ulang sering mengecilkan arti dari kandungan nilai sebagai
karya seni terapan. Lebih lanjut Wiyoso mengharapkan lahirnya
bentuk-bentuk baru dan orisinil tanpa harus mengulang-ulang kaidah seni lama
yang tidak sesuai dengan kebutuhan budaya masa kini. Jadi makna dasar kriya
tertuju pada penekanan pada “bobot kekriyaan” (craftsmanship)
yang melahirkan nilai seni terapan baru sesuai tuntutan zaman. Ciptaan-ciptaan
tangan trampil ini sering “ jatuh “ sebagai benda “iseng” atau kitsch
tanpa arti, tanpa tujuan yang jelas, yang tidak lagi menarik bagi orang yang
memiliki intelektualitas tinggi dan bagi mereka yang haus akan arti kehidupan
dan ilmu pengetahuan. Namun demikian sentuhan tangan-tangan trampil ini justru
merupakan daya tarik terbesar, karena menghasilkan barang yang tidak kaku dan
“dingin” seperti buatan mesin, terasa “hangat” dan akrab serta sangat manusiawi.
Walaun di zaman teknologi komputer canggih seperti sekarang ini dimana dapat
dengan mudah memprogram barang dengan baik, indah dan sempurna, namun tetap
saja berkesan “tidak hidup” serta terasa jauh dari manusia dan “kering” akibat
buatan mesin-mesin. Kerinduan manusia modern terhadap sentuhan tangan, membuat
seni lama hidup kembali atau mengalami perubahan dan pengembangan atau ada
semacam himbauan untuk “kembali ke alam” (back to nature).
Keramik F.Widayanto (foto 1) dan keramik Tradisional dari Bali Timur (foto 2)
Benda-benda kerajinan, apabila difungsikan
sebagai benda pakai belum tentu mengikuti standar mutu yang telah ditetapkan
pemerintah dalam (SII atau SNI), karena dibuat dengan tangan yang
sulit dikontrol dan sering terjadi penyimpangan-penyimpangan serta bukan buatan
mesin (pabrik) yang mudah diawasi. Umumnya produk jenis ini dibuat dengan
peralatan sederhana (manual) dan bahan bakunya dibuat berdasarkan
pengalaman semata, bahkan hanya berdasarkan perasaan belaka; Sehingga proses
pengerjaannya terkadang tidak terencana dan tidak tercatat pula serta tidak
mudah untuk dikendalikan. Semua itu berdasarkan kepekaan semata, yang berdampak
negatif, dimana kemungkinan produk dapat saja membahayakan (keracunan dan
lain-lain) bagi kesehatan atau keselamatan konsumen maupun perajin itu sendiri,
terutama penggunaan bahan-bahan yang beracun untuk tempat makanan dan minuman
(cairan). Untuk itulah pemerintah diharapkan dapat membuka unit-unit pelayanan
teknis dan bahan baku yang siap pakai, juga memberikan bimbingan terkait dengan
desain kerajinan yang pengelolaannya dapat pula diserahkan kepada swasta atau
instansi terkait.
Hasil karya kriya atau kerajinan
yang bermutu tinggi adalah sebuah dambaan. Kriyawan atau perajin dituntut untuk
memiliki citarasa yang tinggi, ketrampilan yang tinggi, dapat mengembangkan
seni lama dengan citarasa baru, unik dan eksklusif. Tentu dengan kesungguhan
dan bantuan berbagai pihak hasilnya tentu tidak mustahil menjadi duta-duta seni
dan budaya bangsa yang membanggakan. Kebutuhan artistik dan estetik baru dalam
kriya masa kini menjadi tugas pakar-pakar seni dan kriyawan sehingga produknya
menjadi komoditi ekspor non-migas yang handal serta mampu bersaing di pasar
global.
goesmul@gmail.com
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com/Senirupa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar