oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
agusmulyadiutomo@yahoo.co.id
Saat menjadi pembicara pada diskusi panel
yang digagas Panitia Muktamar V Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia di IICC
Bogor, Mendikbud RI mengatakan, pengembangan kurikulum berbasis akhlak mulia
dirasakan sangat mendesak untuk memberikan pendidikan karakter bagi generasi bangsa."Kurikulum berbasis akhlak mulia
dikembangkan untuk menanamkan karakter bagi anak-anak Indonesia," kata M
Nuh. Menurut dia, pendidikan karakter penting
ditanamkan di sekolah sehingga lulusan yang dihasilkan menjadi generasi masa
depan bangsa yang memiliki karakter kuat."Kemajuan dan kemandirian sebuah
bangsa antara lain dibangun melalui karakter yang kuat," kata M Nuh yang
juga a`wan Syuriah PWNU Jawa Timur. Oleh karena itu, lanjut M Nuh, mulai 2011
Kemdiknas mengembangkan kurikulum berbasis akhlak mulia sebagai upaya membangun
karakter bangsa. Ia mengatakan, pengembangan kurikulum
berbasis akhlak mulia dilakukan dengan menanamkan moralitas dan akhlak mulia
dalam berbagai mata pelajaran yang diajarkan di kelas. "Akhlak dan moralitas harus masuk
dalam semua mata pelajaran yang diajarkan pada peserta didik," demikian
Mendikbud M Nuh.
"Akhlak
mulia harus menjadi ruh pendidikan nasional kita," katanya di sela-sela
mengikuti Diskusi Panel dengan tema "Membangun Indonesia Madani Berbasis
Akhlak Mulia" yang digagas Panitia Muktamar-V ICMI di IPB di Bogor. Muktamar-V Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) yang berlangsung pada 4-7 Desember dipusatkan di IICC Kota
Bogor dan Pembukaannya dilakukan Wakil Presiden (Wapres) Boediono. Menurut M Nuh, akhlak mulia harus menjadi
perhatian besar para pemangku kepentingan pendidikan nasional. Dia mengajak guru, dosen, ahli dan
pemerhati pendidikan, agar menjadikan akhlak mulia sebagai spirit dalam
membangun dunia pendidikan."Akhlak mulia harus menjadi ruh
pendidikan nasional kita, agar luaran yang dihasilkan memiliki karakter yang
baik," paparnya. Dia menambahkan, akhlak mulia harus
dijadikan seperti oksigen. Ia harus dimasukkan dalam semua mata pelajaran. Dengan menjadikan akhlak sebagai oksigen
yang masuk dalam semua mata pelajaran, ia berharap para peserta didik akan
menginternalisasi nilai-nilai moralitas dan akhlak mulia dalam kehidupannya."Penanaman akhlak sebagai ruh dan
oksigen pendidikan, diharapkan akan mendorong terwujudnya luaran yang
berkarakter," demikian M Nuh
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. (Al-A’raaf:
199)
Ayat ini menurut Az-Zamaksyari dan Ibnu Asyur termasuk kategori “Ajma’u Ayatin fi Makarimil Akhlak”, ayat yang paling komprehensif dan lengkap tentang bangunan akhlak yang mulia, karena bangunan sebuah akhlak yang terpuji tidak lepas dari tiga hal yang disebutkan oleh ayat diatas, yaitu mema’afkan atas tindakan dan prilaku yang tidak terpuji dari orang lain, senantiasa berusaha melakukan dan menyebarkan kebaikan, serta berpaling dari tindakan yang tidak patut.
Imam Ar-Razi pula memahami ayat ini sebagai manhaj yang lurus dalam bermu’amalah dengan sesama manusia yang jelas menggambarkan sebuah nilai akhlak yang luhur sebagai cermin akan keluhuran ajaran Islam, terutama di tengah ketidak menentuan bangunan akhlak umat ini.
Secara tematis, mayoritas tema surah Al-A’raaf memang berbicara tentang prilaku dan perbuatan tidak bermoral dan jahil orang-orang musyrik, maka menurut Ibnu ‘Asyur, sesungguhnya ayat ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an atas perilaku umumnya orang-orang musyrik. Bahkan posisi ayat ini yang berada di akhir surah Al-A’raaf sangat tepat dijadikan sebagai penutup surah dalam pandangan Sayid Quthb dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an karena merupakan arahan dan taujih langsung Allah swt kepada Rasul-Nya Muhammad saw dan orang-orang yang beriman bersama beliau saat mereka berada di Makkah dalam menghadapi kebodohan dan kesesatan orang-orang jahiliyah di Makkah pada periode awal perkembangan Islam.
Berdasarkan tematisasi ayat yang berbicara tentang akhlak mema’afkan, maka ayat yang mengandung perintah mema’afkan ternyata ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW sebagai teladan dalam sifat ini. Dalam surah Al-Baqarah: 109 misalnya, Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw agar tetap menjunjung tinggi akhlak mema’afkan kepada setiap yang beliau temui dalam perjalanan dakwahnya. Allah swt berfirman, “Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Bahkan dalam surah Ali Imran: 159, Allah menggambarkan rahasia sukses dakwah Rasulullah saw yang dianugerahi nikmat yang teragung dari Allah swt yaitu nikmat senantiasa bersikap lemah lembut, lapang dada dan mema’afkan terhadap perilaku kasar orang lain , “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Secara redaksional, perintah mema’afkan dalam ayat Makarimil Akhlak di atas bersifat umum dalam segala bentuknya. Ibnu ‘Asyur menyimpulkan hal tersebut berdasarkan analisa bahasa pada kata “Al-Afwu” yang merupakan lafadz umum dalam bentuk “ta’riful jinsi” (keumuman dalam jenis dan bentuk mema’afkan). Mema’afkan disini bisa diartikan sebagai sikap berlapang dada, tidak membalas prilaku buruk orang, bahkan mendoakan kebaikan untuk mereka. Namun tetap keumuman Al-Afwu disini tidak mutlak dalam setiap keadaan dan setiap waktu, seperti terhadap orang yang membunuh sesama muslim dengan sengaja tanpa alasan yang benar, atau terhadap orang yang melanggar aturan Allah swt secara terang-terangan berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits yang mengecualikan keumuman tersebut.
Demi keutamaan dan keagungan kandungan ayat diatas, Rasulullah saw menjelaskannya sendiri dalam bentuk tafsir nabawi yang tersebut dalam musnad Imam Ahmad dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah saw pernah memberitahukan kepadanya tentang kemuliaan akhlak penghuni dunia. Rasulullah saw berpesan: “Hendaklah kamu menghubungkan tali silaturahim dengan orang yang justru berusaha memutuskannya, memberi kepada orang yang selalu berusaha menghalangi kebaikan itu datang kepadamu, serta bersedia mema’afkan terhadap orang yang mendzalimimu”.
Penafsiran Rasulullah saw terhadap ayat diatas sangat jelas korelasinya. Seseorang yang menghubungkan silaturahim kepada orang yang memutuskannya berarti ia telah mema’afkan. Seseorang yang memberi kepada orang yang mengharamkan pemberian berarti ia telah datang kepadanya dengan sesuatu yang ma’ruf. Serta seseorang yang memaafkan kepada orang yang telah berbuat aniaya berarti ia telah berpaling dari orang-orang yang jahil.
Bahkan secara aplikatif, perintah ayat ini mampu membendung emosi Umar bin Khattab saat mendengar kritikan pedas Uyainah bin Hishn atas kepemimpinan Umar. Uyainah berkata kepada Umar, “Wahai Ibnu Khattab, sesungguhnya engkau tidak pernah memberi kebaikan kepada kami dan tidak pernah memutuskan perkara kami dengan adil”. Melihat reaksi kemarahan Umar yang hendak memukul Uyainah, Al-Hurr bin Qays yang mendampingi saudaranya Uyainah mengingatkan umar dengan ayat Makarimil Akhlak, “Ingatlah wahai Umar, Allah telah memerintahkan nabi-Nya agar mampu menahan amarah dan mema’afkan orang lain. Sungguh tindakan engkau termasuk prilaku orang-orang jahil”. Kemudian Al-Hurr membacakan ayat ini. Seketika Umar terdiam merenungkan ayat yang disampaikan oleh saudaranya. Dan semenjak peristiwa ini, Umar sangat mudah tersentuh dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menegur tindakan atau prilakunya yang kurang terpuji. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas).
Sungguh dalam keseharian kita, di sekeliling kita, tipologi orang-orang jahil, orang-orang yang mengabaikan aturan, norma dan nilai-nilai kebaikan Islam akan sering kita temui. Jika sikap yang kita tunjukkan kepada mereka juga mengabaikan aturan Allah swt, maka bisa jadi kita memang termasuk kelompok orang-orang jahil seperti mereka. Namun kita berharap, mudah-mudahan nilai spritualitas dan moralitas yang telah tertanam selama proses madrasah Ramadhan masih tetap membekas dan mewarnai sikap dan prilaku kehidupan kita, sehingga tampilan akhlak yang mulia senantiasa menyertai ucapan, sikap dan tindakan kita terhadap sesama, untuk kebaikan bersama umat. Allahu A’lam
AKHLAQUL KARIMAH
Manusia
yang sempurna: Muhammad SAW
Lahir 20
April 571 Masehi.Bermula sebagai manusia biasa,
pengembala, buta
huruf & pedagang. Menikah
dengan Siti Khadijah, ketika sempurna akhlaqnya berpredikat sebagai “Al-Amin” Sebagai
Nabi berumur 25
tahun. Butuh
waktu selama 15 tahun ( proses pendidikan ruhani) hingga
menjadi Nabi Agung atau Rasul (umur 40 tahun, 6 bulan dan 8 hari menurut tahun
Qamariyah), yaitu pada tanggal 6 Agustus, 17 Ramadhan 610 Masehi (Dep.Agama RI,1984),
ditandai dengan turunnya 5 ayat perintah untuk membaca dan memahami asal
kejadian manusia. Selama 13 tahun
berikutnya beliau memasuki proses lanjutan penyempurnaan hingga ditandai suatu
peristiwa bersifat ruhani atau metafisik dalam peristiwa “Isra Mi’raj” pada hari Kamis, 26 Saffar 1 Hijriah, bulan September 622 Masehi,
untuk menerima perintah sholat.
Sesungguhnya pada diri Rasulullah
itu ada suri tauladan yang sempurna (ahlaqul karimah), yaitu bagi orang
yang mengharap rahmat pada hari akhir dan yang banyak ber-dzikir.
Akhlaq (plural) dari kata khuluq atau khulq, arti
‘perangai’ atau ‘tabiat’ atau budi pekerti atau tingkah laku. Khalaq berarti kejadian atau buatan. Secara
etimologi akhlaq adalah perangai atau budi pekerti atau tingkah
laku atau
tabiat, bisa juga sebagai sistem prilaku
yang dibuat (QS. Asy Syuara 137).
Secara terminologis akhlaq adalah ilmu yang menentukan
batas antara yang baik dan yang buruk, antara yang terbaik dan yang tercela,
baik itu tentang perkataan maupun perbuatan manusia lahir dan batin.
Akhlaq itu bisa saja baik dan bisa
juga buruk, tergantung dari tata nilai yang dipakai sebagai pedomannya. Ahklaq yang baik biasa disebut ahlaqul karimah, akhlaq mahmudah (budi
pekerti mulia atau terpuji, akhlaq sayyi’ah / akhlaq
madmumah (budi pekerti jahat / tercela).
Akhlaq bersifat fitriyah yaitu sifat bawaan yang melekat dalam fitrah
seseorang, yang
dengannya ia diciptakan, baik fisik maupun mental kejiwaanya.
Akhlaq muktasabah yaitu sifat yang sebelumnya tidak ada namun
kemudian diperoleh atau dipengaruhi oleh lingkungan alam dan sosial,
pendidikan, pelatihan dan pengalaman.
Pengembangan akhlaq dalam kehidupan meliputi
kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, organisasi, bisnis, profesi, berbangsa
dan bernegara, lingkungan alam dan sosial, ilmu
pengetahuan dan teknologi, pendidikan, seni dan budaya.
•Akhlaqul karimah = pola prilaku yg dilandasi (memanifestasikan) nilai-nilai iman, islam dan ikhsan.
•Di Indonesia kata-akhlaq secara sosiologis mengandung nilai dan konotasi baik.
•Jika seseorang dikatakan
ber-akhlaq, itu berarti orang tsb telah berbudi-pekerti
baik.
“Orang yang paling baik ke-Islamannya ialah orang yang paling baik akhlaqnya” (HR. HR. Ahmad).
. Dalam riwayat Bukhari dan
Muslim disebutkan ”Sesungguhnya sebaik-baik
kalian ialah yang terbaik akhlaqnya”
•Apa yg dikehendaki ajaran Islam yg demikian luas
dan dalam ? Jawabnya pendek atau
sederhana saja, yakni Islam menghendaki agar
menjadi orang yg baik dan ber-akhlaqul
karimah !
•Untuk maksud itulah Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT ke permukaan bumi, sesuai sabda Rasulullah SAW yg artinya: “Sesungguhnya
aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlaq / budi pekerti yang luhur / mulia” (HR. Ahmad, Baihaqi dan Malik).
. Akhlaq punya nilai yg
tinggi dan utama.
Sudah
sepantasnya setiap muslim mengambil akhlaq sebagai perhiasan dlm
kehidupannya. Rasulullah pernah
ditanya tentang kriteria orang yg paling
banyak masuk surga. Beliau menjawab : “Taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik” (HR.Tirmizi).
Dalam
sabdanya Nabi SAW menegaskan bahwa:” Orang mu’min yg paling sempurna imannya, adalah orang yg paling baik akhlaq /
budi pekertinya” (HR. Tirmizi).
Dari
Jabir r.a berkata, Rasulullah
SAW bersabda:
“ Sesungguhnya orang yg paling saya kasihi dan yg paling dekat padaku
majelisnya di hari kiamat ialah yg terbaik budi pekertinya” (HR. Tirmizi).
Akhlaqul Karimah adalah akhlaq yg terpuji Allah SWT ,QS. Al Qalam : 4 yg artinya: “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi
pekerti yang agung”. Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk menyampaikan risalah Al-Islam, sekaligus sebagai Rahmatan-lil ‘alamin , sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta bukan untuk kebahagiaan ummat Islam saja, juga untuk seluruh ummat
manusia”.
Norma dan peraturan diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan,
sedangkan akhlaq-nya berfungsi sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik), sebagai contohan dari para pribadi
ummat muslim khususnya untuk ditiru, juga oleh ummat manusia lainnya.
Nabi Muhammad SAW sejak mula kehidupannya terkenal berbudi pekerti baik dan tanpa
cela. Sejak usia muda beliau telah memperoleh gelar kehormatan dari kaumnya
sebagai Al-Amin (yang jujur dan sangat dapat dipercaya).
‘Aisyah sendiri, ketika
ditanya tentang apa dan bagaimana akhlaq
Rasulullah SAW , beliau menjawab bahwa ”Akhlaq Rasulullah itu adalah Al Qur’an”.
Meneladani Rasul melalui pemahaman Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah cara mencapai derajat akhlaq mulia.
•Al Qur’an QS. Al-Ahzab : 21 yg artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
tauladan yg baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yg mengharap (rahmat) Allah
dan (keselamatan di) hari kiamat dan banyak menyebut Allah”. Sifat-sifat
inilah yang menjadi panutan bagi para ummat muslim seluruhnya. Karena akhlaqul karimah inilah kemudian Rasulullah sangat dihormati dan disegani
baik lawan (musuh dalam perang) maupun kawan (para sahabat).
•Sifat-sifat
utama ada pada
diri Rasulullah SAW. seperti lemah lembut, rendah hati, jujur,
terpercaya, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh,
santun dan tidak mabuk sanjungan (pujian). Rasulullah tidak pernah berputus asa dalam berusaha dan dgn
cepat melupakan hal-hal yg tidak berkenan dalam hatinya serta tidak mendendam.
•Akhlaq adalah suatu perbuatan yg
dilakukan berulang kali sehingga menjadi adat kebiasaan dengan suatu kesadaran
dan bukan tanpa kesengajaan atau karena paksaan. Kesadaran tersebut terbit dari
dalam diri atau dari jiwa-batinnya (ruhani) yg diikuti oleh badan-jasmaninya
(fisiknya).
•Sumber akhlaq yg Islami (adab) bisa dari nilai-nilai keagamaan
itu sendiri yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
•Akhlaq juga merupakan “buah” dari pelaksanaan ilmu amaliyah dan ibadah. Orang yg telah menjalankan
Islam secara lengkap (kaffah), tentu akan tercermin dan terpancar suatu akhlaq yg baik dalam segala tingkah laku dan
perbuatannya. Ibarat seperti buah yg penampilannya mengundang selera atau
ranum, bersih, segar dan cerah, tentu saja kulit penampilan luar itu akan atau
dapat menggambarkan “rasa” dari isi buah tersebut.
•Akhlaq yg tidak bersumber dari unsur
keagamaan (sekuler) bisa juga terlihat baik karena adanya kepatuhan kepada
adat-istiadat, seni-budaya, peraturan atau kebiasaan tertentu yg merujuk pada
unsur perasaan dan tatalaku yg bersifat umum (universal), yg umumnya termasuk
dalam ilmu etika, budi pekerti, kesopan-santunan / tata krama dan sebagainya. Namun demikian, bisa saja kita tertipu akan
penampilan luarnya, namun di dalam hati ternyata tidak demikian.
•Banyak
hal yg dapat mempengaruhi prilaku seseorang, bisa dari keluarga terdekatnya,
adat istiadat, keturunan, bakat, kesukuan, lingkungan dan kehidupan itu sendiri
yg dialami dan sebagainya.
Macam-macam
Akhlaq
1. Akhlaq Terpuji:
a. Qana’ah, yaitu rela menerima apa adanya
serta menjauhkan diri dari sikap tidak puas.
b. Zuhud, yaitu menghindari /
meninggalkan / menjauhi
sifat mencintai ke-duniawian (yg berlebih-lebihan), karena semua itu tidak
kekal tapi semata-mata karena ibadah kepada Allah SWT dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, bermasyarakat, berkeluarga dan kehidupan pribadi.
c. Iffah, yaitu
menjauhkan (menahan) diri dari yg tidak halal / memelihara dari meminta-minta.
d. Syaja’ah, yaitu keberanian diri untuk
menegakkan kebenaran dan menyingkirkan kemungkaran.
2. Akhlaq Tercela:
a. Hasud / dengki,
yaitu sifat iri hati terhadap nikmat Allah SWT yang diberikan kepada orang
lain.
b. Ghibah, yaitu menceritakan aib dan
kejelekan orang lain sehingga menurunkan martabat dan kehormatan.
c. Naminah, yaitu mengadu domba dua orang
atau lebih dengan tujuan agar saling bermusuhan.
d. Tahassus, yaitu menyiarkan kesalahan dan
kejelekan orang lain.
e. Munafik, yaitu menyembunyikan kekafiran
dalam hatinya dan menampakkan iman dengan lidahnya.
f. Memaki / menista, yaitu penghinaan dengan kata-kata yg
busuk dengan maksud untuk menghinakan.
g. Qattah, yaitu menyadap pembicaraan
orang lain kemudian hasil pendengarannya yg tidak lengkap ini setelah ditambah
dan dikurangi disiarkan kepada masyarakat luas.
•Ditegaskan
dalam QS. Al-An’aam: 132 “Wa li kullin darajaatum mim
maa’amil;uu wa maa rabbuka bi ghaafilin‘ammaa ya’maluun”, artinya:
“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (yg sesuai) dengan apa yg
dikerjakannya. Dan Tuhanmu (Allah) tidak lengah dari apa yg mereka kerjakan “.
•Dalam QS. Az-Zalzalah: 7 -
8 “Fa may ya’mal mitsqaala dzarratin khairay yarah. Wa may
ya’mal mitsqaala dzarratin syarray yarah”, artinya:”
Barangsiapa yg mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan
melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa yg mengerjakan kejahatan seberat zarrah (atom) pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)-nya pula”.
•Islam
tidak mengajarkan perbuatan-perbuatan yg keji dan yg mungkar-mungkar, seperti: memerangi / membunuh atau mencelakai (nge-bom,
menteror, kekerasan, main hakim sendiri, dll) terhadap orang lain yg tidak
seagama atau tidak se-iman atau mereka yg tersesat, terkecuali bila dalam
keadaan terdesak dan tertindas serta tiada jalan lain untuk berdamai lagi.
•Nabi
Muhammad SAW bersabda yg artinya : ”Kekejian dan perbuatan
keji, sama sekali bukan dari ajaran Islam. Sesungguhnya orang yang terbaik
ke-Islam-annya adalah yang terbaik budi
pekertinya” (HR. Tirmizi).
•Akhlaq yg baik dapat mencairkan,
atau sebagai penebus dosa, bahkan prilaku yg baik tersebut dapat menutupi
kelemahan dalam beribadah dan meninggikan derajat seseorang muslim.
•Anjuran
dan Sabda Rasulullah SAW yg artinya: ”Ber-taqwa-lah kepada Allah di manapun kamu berada. Ikutilah perbuatan buruk
dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapusnya. Dan ber-akhlaq-lah yg baik terhadap sesama manusia” (HR. Thabrani).
•Sabda Rasulullah SAW yg
artinya: “Budi pekerti yg baik dapat mencairkan dosa seperti air mencairkan
gumpalan salju. Sedangkan perangai buruk dapat merusak amal shaleh sebagaimana cuka merusak madu” (HR. Baihaqi).
•Budi
pekerti ini ternyata tinggi nilainya. Sabda Rasulullah SAW yg
artinya:” Tidak ada sesuatu yg lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada
hari kiamat kelak, dibandingkan budi pekerti yg baik. Orang yg berbudi pekerti
luhur dapat mencapai martabat orang yg ber-puasa dan mendirikan sholat” (HR. Ahmad bin Hambal).
•Rasulullah SAW
bersabda: ” Budi pekerti yg baik, manusia dapat mencapai martabat yang tinggi
dan kedudukan mulia di akherat, sekalipun ibadahnya lemah. Dengan perangai
buruk orang akan menempati kedudukan paling bawah di dalam neraka jahanam” (HR. Thabrani).
•Sabda Rasulullah SAW , artinya:
”Seorang muslim yg biasa-biasa saja dalam beribadah, namun
memiliki budi pekerti yg baik dan terpuji akan mencapai derajat setaraf dengan
orang-orang yg banyak sholat,
puasa dan membaca Al-Qur’an” (HR. Ahmad bin Hambal).
•Dua amal
(perbuatan) baik tinggikan derajat seseorang: Ibnu Umar r.a. mengungkapkan, Rasullullah SAW bersabda: “ Carilah oleh kalian derajat yg
tinggi di sisi Allah, yakni dengan cara: Pertama, bersikap penyantun terhadap orang yg
tidak mengetahui tentang dirimu. Kedua, memberi kepada orang yg tidak pernah
memberi kepadamu” (HR. ‘Addi).
•Akhlaq yang tidak bersumber dari unsur keagamaan
(sekuler) bisa juga terlihat baik karena adanya kepatuhan kepada adat-istiadat,
seni-budaya, peraturan atau kebiasaan tertentu yang merujuk pada unsur perasaan
dan tatalaku yang bersifat umum (universal), yang umumnya termasuk dalam ilmu
etika, budi pekerti, kesopan-santunan atau tata krama dan sebagainya. Namun demikian, bisa saja kita tertipu akan
penampilan luarnya, namun di dalam hati ternyata tidak demikian.
•Banyak hal yang dapat
mempengaruhi prilaku seseorang, bisa dari keluarga terdekatnya, adat istiadat,
keturunan, bakat, kesukuan, lingkungan dan kehidupan itu sendiri yang dialami
dan sebagainya.