SEJARAH SENI RUPA BALI KUNO
Oleh
AGUS MULYADI UTOMO
Di Bali, seni rupa dikenal sejak zaman Pra-sejarah
atau dimulai zaman Mesolitikum-Megalitikum-Neolitikum, yaitu pada tahun 3.000 Sebelum
Masehi, dimana manusia saat itu sudah mulai hidup menetap dan bercocok tanam
serta membentuk kelompok-kelompok masyarakat. Sebagai masyarakat yg menetap,
hidupnya memerlukan peralatan atau perlengkapan untuk kebutuhan sehari-hari,
diantaranya adalah tempat menyimpan cairan (minuman) dan makanan yg dibuat dari
gerabah (tanah liat), logam dan bahan dari alam seperti kayu, daun, buah-buah berkulit keras, bambu, batok kelapa, dll. Para pemuka masyarakat /
pemimpin, kemudian sangat
mempengaruhi kehidupan selanjutnya, dimana orang yg dihormati dan dipercaya
tersebut dianggap dapat melindungi warganya, bahkan sampai meninggalpun tatap masih dianggap dapat mempengaruhi manusia yg masih
hidup.
Muncullah kemudian suatu bentuk
kepercayaan yaitu penghormatan kepada
nenek-moyang, maka sbg penghormatan dibuatlah
perlambangan-perlambangan dan pemujaan-pemujaan untuk menenangkan arwah
nenek moyang mereka. Penyertaan benda kubur seperti patung kecil (figurin), manik-manik (perhiasan) serta tempat makanan dan minuman
merupakan bentuk dari penghormatan leluhur sebagai bekal dlm perjalanan ke alam
baka. Periuk kecil berisi perhiasan dan periuk besar berisi tulang-belulang adalah hasil tradisi kepercayaan masyarakat
di zaman Pra-sejarah. nTradisi penguburan jenazah
dengan tempayan, ditemukan tersebar di berbagai tempat di Indonesia, seperti yang ditemukan di Gilimanuk, Bali ( Kempers, 1960). Juga seperti di Anyer (Jawa Barat), Sa’bang (Sulawesi Selatan) dan Roti (Nusa Tenggara Timur). Keramik untuk kebutuhan rumah
tangga ditemuakan juga, terutama tempat makanan dan minuman masa Pra-sejarah, dibuat sangat
sederhana dan kebanyakan dengan teknik tatap batu atau kayu, tanpa hiasan atau
polos. Kendi, periuk, piring yang semuanya dari gerabah ada yang polos dan ada
yang dihias. Berbagai fragmen gerabah ditemukan di Gilimanuk, Bali, dengan
berbagai hiasan seperti tali, kulit kerang , hiasan jaring-jaring dan lainnya.
Bersamaan dengan masa
Megalitikum dan Perunggu, gerabah dibutuhkan sebagai sarana pemujaan arwah
nenek moyang, selain sebagai peralatan rumah tangga. Benda kubur berupa tempayan
gerabah, manik-manik perunggu, sarkofagus batu, telah menjadi kebutuhan relegi
dan perlambangan pemujaan arwah yg berkembang.Benda-benda gerabah sudah
banyak yg diberi hiasan, seperti
ditemukan di Gilimanuk, di pantai Cekik yang berhias tali dan jaring dengan
teknik cap (R.P. Soejono). Pada masa tersebut (neolitik), kemahiran teknik membuat
barang-barang perunggu berkembang.Juga saat itu seni hias menghias
mencapai puncaknya yaitu dengan pola geometrik atau tumpal. Masa kemahiran
teknik ini kemudian lebih dikenal sebagai masa “Perundagian” (awal produksi/industri).
Aspek – aspek teknis zaman Pra – sejarah tidaklah menunjukkan suatu perkembangan yg berarti. Yg perlu diketahui yaitu penggunaan alat pelarik /putar sudah mulai dikenal ketika akan memasuki masa Sejarah.Sebelumnya dikenal teknik tatap batu / kayu serta pembuatan langsung dengan tangan yg disebut teknik “pinching” atau tekan jari serta teknik “coilling” atau pilin atau teknik “tali”.Aspek lainnya adalah kemampuan dlm menghias dgn teknik cap dan torehan yg tumbuh secara alamiah.
Ornamen Bali, diperkirakan sudah ada mulai sejak zaman pra-sejarah, yakni zaman Neolitikum. Zaman perunggu, dgn diketemukannya nekara berukuran besar (1,86 meter dengan garis tengah 1,60 meter), yang dianggap suci oleh penduduk Hindu Bali hingga kini, dipercaya bahwa nekara ini adalah bulan yang jatuh dari langit dan disimpan di Pura Penataran Sasih (Bulan) di Desa Intaran, Pejeng. Di Desa Manuaba, telah ditemukan pula sebagian dari cetakan batu untuk membuat nekara dan dihiasi ukiran hiasan seperti yang terdapat di Nekara Pejeng, kini disimpan di Pura di desa tsb. Dgn demikian pada zaman Neolitik sudah ada kemahiran untuk mengolah logam dan hiasan ornamen untuk suatu produksi, sebagai bagian dari sejarah adanya kegiatan industri.
Pada masyarakat agraris tradisional di masa yg lampau tidaklah membedakan atau mempermasalahkan antara seni, ilmu pengetahuan, teknologi dan keagamaan, melainkan lebih banyak menyatu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan itu sendiri. Indonesia di Z. Neolitik masa Z. Perunggu, dikenal sebagai masa “Perundagian” yaitu suatu masa “kemahiran teknik” terutama dlm mengolah bahan, memproduksi dan mengukir logam ―> ahli ketukangan disebut sbg “Undagi” Dan Orang-orang “cerdik pandai” atau “orang bijaksana” atau “ahli-ahli” pada masa lampau disebut “Empu” yaitu orang yg menguasai akan ilmunya atau “mumpuni”.
Ditemukannya stupa-stupa kecil dari tanah liat yang termasuk gerabah lunak di daerah Pejeng, Blahbatuh dan Batuan, Gianyar, dalam jumlah ribuan dan ada di antaranya terdapat tulisan Pallawa dan Sansekerta yg bermakna mantra-mantra Budha; Dan beberapa buah stempel tanah liat yang ditemukan di Pejeng (koleksi Museum Bali), tertulis data tahun 882 A.D memuat Mantram agama Budha dalam bahasa Sankrit yang mirip dengan yang ditemukan di Candi Kalasan (778 A.D). Berdasarkan penemuan tersebut, diperkirakan pengaruh agama Budha di Bali datangnya lebih dahulu dari agama Hindu.
Aspek – aspek teknis zaman Pra – sejarah tidaklah menunjukkan suatu perkembangan yg berarti. Yg perlu diketahui yaitu penggunaan alat pelarik /putar sudah mulai dikenal ketika akan memasuki masa Sejarah.Sebelumnya dikenal teknik tatap batu / kayu serta pembuatan langsung dengan tangan yg disebut teknik “pinching” atau tekan jari serta teknik “coilling” atau pilin atau teknik “tali”.Aspek lainnya adalah kemampuan dlm menghias dgn teknik cap dan torehan yg tumbuh secara alamiah.
Ornamen Bali, diperkirakan sudah ada mulai sejak zaman pra-sejarah, yakni zaman Neolitikum. Zaman perunggu, dgn diketemukannya nekara berukuran besar (1,86 meter dengan garis tengah 1,60 meter), yang dianggap suci oleh penduduk Hindu Bali hingga kini, dipercaya bahwa nekara ini adalah bulan yang jatuh dari langit dan disimpan di Pura Penataran Sasih (Bulan) di Desa Intaran, Pejeng. Di Desa Manuaba, telah ditemukan pula sebagian dari cetakan batu untuk membuat nekara dan dihiasi ukiran hiasan seperti yang terdapat di Nekara Pejeng, kini disimpan di Pura di desa tsb. Dgn demikian pada zaman Neolitik sudah ada kemahiran untuk mengolah logam dan hiasan ornamen untuk suatu produksi, sebagai bagian dari sejarah adanya kegiatan industri.
Pada masyarakat agraris tradisional di masa yg lampau tidaklah membedakan atau mempermasalahkan antara seni, ilmu pengetahuan, teknologi dan keagamaan, melainkan lebih banyak menyatu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan itu sendiri. Indonesia di Z. Neolitik masa Z. Perunggu, dikenal sebagai masa “Perundagian” yaitu suatu masa “kemahiran teknik” terutama dlm mengolah bahan, memproduksi dan mengukir logam ―> ahli ketukangan disebut sbg “Undagi” Dan Orang-orang “cerdik pandai” atau “orang bijaksana” atau “ahli-ahli” pada masa lampau disebut “Empu” yaitu orang yg menguasai akan ilmunya atau “mumpuni”.
Ditemukannya stupa-stupa kecil dari tanah liat yang termasuk gerabah lunak di daerah Pejeng, Blahbatuh dan Batuan, Gianyar, dalam jumlah ribuan dan ada di antaranya terdapat tulisan Pallawa dan Sansekerta yg bermakna mantra-mantra Budha; Dan beberapa buah stempel tanah liat yang ditemukan di Pejeng (koleksi Museum Bali), tertulis data tahun 882 A.D memuat Mantram agama Budha dalam bahasa Sankrit yang mirip dengan yang ditemukan di Candi Kalasan (778 A.D). Berdasarkan penemuan tersebut, diperkirakan pengaruh agama Budha di Bali datangnya lebih dahulu dari agama Hindu.
Suatu bukti perkembangan agama Budha dengan ditemukan 1).Berupa arca Budha Dyani Budha Aksobya. 2).Beberapa materai tanah liat berbahasa Sansekerta dlm stupa arca Budha dgn nama “Ye-Te” : ‘Ye dharma hetu-prabhawa hentum tesantathagato hyawadat tesan ca yo nirodka evam wadi mahasra manah ‘ (Goris, 1948) Artinya: “Sang Budha berkata demikian bahwa Dharma ialah sebab segala kejadian dan sebab dari kehancuran dan penderitaan. Demikian ajaran Sang Maha Pertapa” (Sumber: Pura Pagulingan, Tirta Empul-Goa Gajah). Masuknya agama Hindu ke Bali diperkirakan pada
saat Raja Yaya Pangus ditaklukkan oleh Patih Gajah Mada dari
Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam kekuasaan Majapahit , Bali diperintah oleh Raja Dalem Samprangan yang bertahta di Klungkung (Moerdowo, 1963). Masuknya agama Hindu di Bali sangat berpengaruh
pada pembuatan benda-benda keramik, yaitu dengan adanya berbagai motif dewa
dalam bentuk Trimurti (Tritunggal) Dewi Sri dan lainnya. Buku “Seni Budaya Bali-Balinese Arts
and Culture” (Moerdowo): ada tujuh tulisan diantaranya memuat data mulai tahun 882 s/d 914
A.D dan menyebut nama seorang Raja Kesari Warmadewa yg bertahta di di kerajaan Singadwala. Sembilan tulisan tanah liat memberitakan adanya
seorang raja lainnya yaitu Sang Ratu Ugrasena yg
bertahta semasa dengan Empu Sindok dari Jawa Timur (914-942 A.D). Disebutkan pula adanya empat orang raja lagi dari
keturunan dinasti Warmadewa yg menguasai pulau Bali.