Pemeran Patung Bali-Indonesia Sculptors
Association
Jalinan Generasi Pematung di Bali
Oleh Agus Mulyadi
Utomo
agusmulyadiutomo@yahoo.co.id
goesmul@gmail.com
Bali, Indonesia Sculptors Association yang disingkat B.I.A.S.A.,
menggelar pameran perdana seni patung dari tanggal 29 Agustus s/d 10 September 2004
di Museum Patung Wayan Pendet, Nyuh Kuning Ubud, Gianyar. Pameran yang bertajuk
“Jalinan Benang Merah Generasi Pematung di Bali” yang dibuka oleh Prof. DR. I Wayan
Rai S, MA, Rektor ISI Denpasar itu menampilkan puluhan karya pematung dan didukung oleh beberapa pematung asing
yang berada di Bali.
Pematung yang tergabung dalam
kelompok B.I.A.S.A. (berdiri tgl 22 Januari 2004 di Satria Art Gallery) beranggotakan
para pematung dari generasi 1960 dan
1970-an sampai dengan generasi muda dan mahasiswa yang ingin menyambung dan
menjalin hubungan benang merah yang selama
ini komunikasinya dianggap terputus. Menurut Tjok Udiana Nindia, staff pengajar
Program Studi Patung, ISI Denpasar,yang juga Ketua Harian kelompok ini, menyatakan
terdapat tiga generasi pematung di Bali yang perlu dipertemukan serta
dipersatukan didalam bentuk Association yang
bersifat independen disamping untuk
memperkenalkan mereka lebih baik kepada khalayak. Ia juga berusaha mencarikan
peluang-peluang pameran patung secara konkrit dan berkala dimasa mendatang. Dan
hadir pula disini sebagai konsultan Mr.
Johan Hensen (dari Belanda), Mr. Roy
Thompson (dari Amerika Serikat), Yasco
Kanehera (dari Jepang) dan Gde
Dananjaya Siadja B. COM pengusaha/eksportir dari Ubud-Gianyar. untuk bisa
menjembatani pematung kelompok ini memasuki dunia global (pergaulan nasional -
internasional).
Ajeg Bali dalam Seni Patung
Seni patung tradisional di Bali
ada yang berupa arca ( pahatan dan
relief ) yang biasa dipergunakan
dalam upacara keagamaan (pratima) dan
disucikan (dipasupati) serta dikeramatkan; Juga ada pula yang tidak difungsikan
untuk keagamaan tetapi sebagai benda dekoratif / hiasan dan benda yang bernilai
ungkap/ekspresi atau bahkan sebagai benda wisata (souvenir) yang bernilai ekonomi. Sehingga pembuatan patung
tradisional yang mengambil tokoh atau bentuk yang disakralkan dan menyangkut
agama Hindu, tentu membuat para seniman harus ekstra hati-hati terutama dalam mengambil tema dan makna serta
penerapannya pada karya, yaitu dari bentuk-bentuk yang bersifat religius
menjadi individual atau konsumsi umum, agar dikemudian hari tidak
dipermasalahkan / diprotes oleh masyarakat yang beragama Hindu , seperti cover
majalah, kaset, lirik lagu, cerita TV, sastra dan sebagainya yang menyinggung sentimen
keagamaan dalam rangka inventarisasi dan pelestarian serta pengembangan budaya
Bali itu sendiri. Untuk mengantisipasi pada penerapan
motif/bentuk/hiasan/makna/symbol yang menyangkut sentimen keagamaan, tentu
perlu dikaji secara terinci dan dibuat pedomannya oleh para agamawan agar
masyarakat mengetahui mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dimanfaatkan
oleh individu-individu tertentu, terutama para seniman diluar Bali atau asing
yang mengadopsinya menjadi bentuk pengembangan/baru atau bahkan bisa salah
dalam memaknainya. Sudut pandang setiap individu memang bisa berbeda, akan
tetapi perlu pedoman khusus dalam rangka pelestarian dan pengembangan Budaya
Bali, yang perwujudannya perlu dibahas secara khusus, perubahan makna dan
fungsi serta simbolisnya yang diakibatkan perubahan zaman, termasuk sebagai
pendidikan dan filsafat dalam konteks pendidikan seni dan penciptaan karya
seni. Barangkali kelompok ini idealnya bisa mengadakan sarasehan seni patung
dengan tema yang menyangkut hal
tersebut.
Patung sesungguhnya sudah
memasyarakat di Bali dan terutama pembuatan patung-patung
tradisional yang dibuat dan dipasarkan di daerah kantong-kantong kunjungan
wisata. Namun demikian pameran patung secara “khusus” masih dirasakan langka,
apalagi yang memperlihatkan seni patung kontemporer.
Peristiwa ini perlu dicatat sebagai sebagai suatu langkah awal yang bagus untuk
menuju kesadaran baru dan tekad kebersamaan yang tumbuh dari pematung Bali atas prakarsa para pematung-pematung muda untuk
menjalin hubungan benang merah dengan generasi pendahulunya. Suatu bentuk keakraban
bersama dalam penghayatan karya kreatif dengan segala tantangannya. Suatu
kemajuan dan sekaligus himbauan bagi pematung untuk bisa merangsang kreativitas
serta menggemakan seni dibidang trimatra
ini memasuki era-global yang penuh persaingan.
Berbicara mengenai karya-karya
patung yang digelar, tampaknya pematung Bali masih kuat dipengaruhi seni
tradisi dalam perwujudan bentuk karya, dan menjaga ajeg Bali seperti karya I
Nyoman Rubig yang menampilkan “Kijang Terpanah”, Made Sudiarta dengan “Durma”,
I Gst Made Lod dengan “Bagawanta” I Wayan Ariana dengan karya “Pertarungan
Ganesha dengan Niludraka”, I Made Kisid dengan “Rama Sita dan Kijang”, I Wayan
Kencana berjudul “Ganesha”, Tjok Udiana yang berjudul “Kala”, I Wayan Pugug
dengan judul “Sita Kepundung”, I Made Sutedja dengan “Dewa Ruci”, I Made
Sudarma dengan “Balinese Style”, I Kt
Maria Wungsu dengan judul “Topeng”, Nyoman Sudiarta dengan karya “Kaliyuga” , I
Nyoman Mawi dengan karya berjudul “Babi Menyusui”, Ni wayan Simin dengan judul
“Sang Budha” dan I wayan Patra dengan karya yang berjudul “Kera”, terutama dalam
teknik sederhana seperti pemanfaatan teknik pahatan yang sebagian besar mengggunakan bahan dengan berbagai jenis kayu
dan batu padas.
Belum Spektakuler
Dari keseluruhan karya yang
ditampilkan belum begitu tampak inovasi baru dalam hal teknologi dan belum bisa
dikatakan spektakuler, kreativitas terbatas pada mengubah bentuk dengan teknik
sederhana saja sebatas cakrawala tradisional Bali,
hal tersebut dapat dipahami sebagai langkah awal dan masih dalam rangka wacana
ke depan yang harus digarap para pematung kelompok ini nantinya. Hal ini jelas
terlihat dari sebagian besar karya masih bertumpu dan bergantung pada bahan
kayu dan masih langka yang memanfaatkan metal / besi dan bahan-bahan lainnya.
Namun demikian sedikit ada yang sudah mulai memanfaatkan Resycling paper ( kertas) seperti karya Udiana yang berjudul
“Kala”, lalu karya I Wayan Gawiartha yang berjudul “Rokmu Menyambut” yang
memanfaatkan serbuk gergajian kayu, Dewi Rani dan Ketut Muka dengan media tanah
liat/keramik sebagai bahan – materialnya, Karya-karya yang bentuknya sudah lebih bebas seperti
I Wayan Jana dengan karya yang berjudul “Bulging
Fantasy”.dan karya lainnya yang berjudul “Duri” dibuat oleh Carola Vooges memperlihatkan
kontradiksi dari ketajaman dengan kelembutan atau duri yang tidak berkesan tajam
seperti kerang laut dengan tekstur halus. Juga Pande Wayan Mataram dengan karya
yang berjudul “Satu Kesatuan”. Kepekaan sosial ditampilkan oleh I Made Sukanta
Wahyu dalam karya yang berjudul “Anak Cacat”, juga Made Bratayasa dengan karya berjudul “Rungu”. Imajinasi dari hubungan kasih sayang dan
keintiman ditampilkan para pematung seperti IB Warsaka dengan judul “Ibu dan
Anak”, I Wayan Mudana dengan “Kasih Bunda”, I Kt Putrayasa dengan “Kasih”, IB
Nyoman Mahayana dengan “Keindahan Cinta” dan I Made Rema dengan “Bermesraan”.
Ada patung yang menarik yaitu pada karya I Made Sujana sebagai kritik dari kehidupan
kasih sayang yang berlebihan dengan judul “Satu lobang Rame-rame” terbuat dari
kayu buni yang digambarkan didalam satu batang kayu terdapat seolah-olah ada
banyak bayi tersembul mau keluar dan kaki-kaki bayi dibahagian bawah seolah
akar-akar pohon. Merngisyaratkan apakah suatu kenyataan yang demikian sudah
sedemikian berakarnya dikalangan masyarakat, terutama kebebasan seksual masa kini tanpa
rambu-rambu keagamaan ?
Pameran Patung Kelompok
B.I.A.S.A. di Krane Gallery
Citra Patung Bali
Dalam Lingkup Tradisi
Bali, Indonesia Sculptors Association yang disingkat B.I.A.S.A.,
menggelar pameran seni patung dari tanggal 27 Desember 2004 s/d 5 Januari 2005
di Krene
Gallery, Lungsiakan- Ubud, Gianyar. Pameran yang dibuka oleh Ida Bagus Marka, pemilik Gallery
Marka dari Kemenuh, Sukawati Gianyar ini, menampilkan sekitar 33 patung dari 11
karya pematung, dan 1 diantaranya adalah pematung wanita asing yang tinggal di
Bali.
Seni patung sebagai bagian dari senirupa mempunyai sejarah yang
sama tuanya dengan ummat manusia. Patung memang mempunyai nilai budaya yang
cukup tinggi, baik dalam kehidupan bangsa-bangsa kuno di Dunia ini, maupun di Indonesia termasuk di Bali.
Terutama patung untuk sarana penghormatan,
pemujaan dan upacara keagamaan seperti yang terdapat pada candi-candi, pura, monumen, rumah tinggal dan
sebagainya, bisa dalam perwujudan bentuk
nenekmoyang , bentuk Dewa-dewi, bentuk para pahlawan atau pemimpin atau tokoh
masyarakat, perlambangan-perlambangan khusus, pratima-pratima, bentuk buta
kala, bentuk-bentuk mytologis dan bentuk sakral lainnya yang diambil dari
legenda. Sejak mula dalam pembuatan
patung-patung memang mengarah pada kepentingan tertentu, terutama pada
masyarakat yang terikat dengan kepercayaan tertentu yang sama pula. Sang
pematung tentunya terpengaruh atau mendapat inspirasi dalam kaitannya dengan menganut
kepercayaan tersebut, seperti dalam kepercaayaan animisme, agama Hindu dan
Budha serta Kristen/Katholik.; Maka makna dari perwujudan yang dibuat bagi
pematung tentu bersifat komunikatif, dapat memenuhi fungsinya dengan baik, mudah dimengerti dalam kelompok
masyarakatnya. Misalnya patung yang berada di gereja, kuil, candi, pura dan sebagainya.
Sisi lain yang yang menarik dari
telaah seni patung Bali , bahwa bentuk tradisi lama atau yang diciptakan
ratusan tahun silam masih digarap oleh sebagian kelompok masyarakat Bali di abad ini. Hal ini bisa saja terjadi disebabkan
kehidupan di daerah ini tidak banyak berubah terutama dalam kepercayaan
masyarakatnya yang mayoritas masih memeluk agama Hindu, yang dirasakan sebagai
museum “hidup” yang melanggengkan dari kepercayaan tersebut, disamping mempercayai
akan kekuatan-kekuatan gaib dan nilai sakral-magis dari bentuk perlambangan
tertentu, disamping untuk tolak bala juga sebagai pelengkap ritual dan
persembahan. Disamping itu ada realitas lain yang menunjukkan pelestarian nilai-nilai
tradisional berjalan secara alami, berjalan lintas waktu yang sedikit toleran
terhadap pengaruh luar atau bersifat ekonomis akibat system komunikasi modern
dan perkembangan pariwisata, pendidikan
serta apresiasi masyarakat Bali
sendiri.
Masih Citra Tradisi Bali
Seni patung di Bali
sepertinya sudah menjadi bagian penting perjalanan kesenian yang sejalan dengan
kehidupan masyarakatnya, terutama patung tradisional baik yang berupa arca
(pahatan dan relief) yang biasa dipergunakan dalam upacara keagamaan (pratima) dan disucikan (dipasupati) serta dikeramatkan. Ada pula yang berfungsi
sebagai benda dekoratif atau hiasan dan benda yang bernilai ungkap sebagai
benda wisata (cenderamata) yang bernilai ekonomi. Pada proses pembuatan patung yang mengambil
tokoh atau bentuk yang disakralkan dan menyangkut agama Hindu, tentu seniman
harus ekstra hati-hati, agar dikemudian hari tidak menuai protes sebagaimana
kasus-kasus “pelecehan” symbol-simbol agama yang terjadi belakangan ini. Sudut pandang setiap individu memang bisa
berbeda, tetapi diperlukan pedoman khusus dalam rangka pelestarian dan
pengembangan budaya Bali itu sendiri.
Kemampuan mengukir atau memahat
patung bagi orang Bali sudah tidak diragukan
lagi, tidak memerlukan sekolah khusus, bahkan hanya melihat saja sudah bisa
meniru. Namun demikian dalam
mengolah ide yang bernilai “seni” dan menuangkan ekspresi menjadi bentuk
tertentu dengan bahan tertentu pula memerlukan pengetahuan tersendiri.
Hasil karya patung di Bali, banyak dikembangkan didaerah-daerah tertentu
dan kantong-kantong seni yang kemudian dipasarkan di gallery-gallery, toko-toko
patung / seni pahat yang banyak berjajar dipinggiran jalan protokol atau
jalur-jalur wisata, yang pada umumnya dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan
ekonomi yang merupakan dampak dari perkembangan pariwisata. Sebagian masyarakat
sendiri dalam pembuatan patung sudah tidak asing lagi dan sudah mentradisi yang
sumbernya tentu berakar dari perkembangan patung sederhana zaman prasejarah dan
Hindu Bali kuno. Pengembangan dari bentuk seni patung tradisi, yang semula
dirintis oleh I Nyoman Tjokot
(awalnya tidak dikenal dan dibina oleh seniman R. Bonnet dan Walter Spies sekitar
tahun 1940-an), memanfaatkan akar-akar
kayu yang diambil dari bekas tebangan di hutan yang tidak terpakai untuk bahan
patungnya dan difinishing dengan warna arang serta kapur. Gaya yang
dikembangkan I Tjokot tersebut
sebagai sesuatu yang original dan imajinatif-reaktif dari pola dasar bentuk
yang diperolehnya dari bonggol akar-akar kayu yang bervariasi. Kala itu cara
yang ditempuh dianggap tidak lazim dan nyeleneh
atau menyimpang dari kebiasaan pematung tradisional. Karya patung Tjokot mulai dipasarkan ke Amerika
Serikat sejak tahun 1952-an. Dan I
Tjokot pun akhirnya memperoleh penghargaan semacam maestro pada tahun
1960-an di Colorado-Amerika Serikat. Barulah pada tahun 1969 I Tjokot ini memperoleh Anugrah Seni Wijaya Kusuma dari
pemerintah Indonesia
dan wafat 1 Oktober 1971. Kini seni patung di Bali, setelah I
Tjokot, baik bentuk patung yang baru dan original sekalipun (modern), maupun
bentuk patung tradisional yang telah meningkat jumlah dan variasinya itu
ternyata belum mampu untuk mengubah “citra” patung tradisional Bali serta sepi
dari wacana. Walaupun hasil karya seni tersebut sudah banyak menyebar ke
Mancanegara--- bahkan ada yang diakui sebagai karya orang asing dengan
menunjukkan hak cipta/patennya. Kebanyakan karya lukis dan patung Bali, baru terkenal setelah ditulis dan dibahas dalam
buku-buku oleh orang asing. Akhirnya seni patung Bali
dalam perkembangannya kemudian nyaris tak terdengar gaungnya, tenggelam dalam
arus bisnis / ekspor serta hiruk-pikuknya seni kerajinan dan budaya kerja
semata. Peniruan-peniruan dalam produksi patung tradisional memang sudah dianggap
biasa yang dilakukan oleh masyarakat perajin di Bali,
bahkan penciptanya merasa “bangga” kalau bentuk tersebut ditiru / disenangi dan
berguna bagi orang lain, apalagi bentuk ciptaan tersebut laku dijual dipasaran.
Tentu dampaknya pun akan berbeda dengan kebutuhan yang bersifat individual dan
dari sudut pandang ekonomi modern yang berkembang kemudian (tentu dengan adanya
HaKI). Hal-hal yang bersifat original dan inovasi baru tidak selalu mendapat
perhatian masyarakat perajin dan belum menjadi suatu “kebutuhan” yang mutlak
bagi para perajin dan pematung tradisional dalam upaya melindungi hasil
karyanya, disamping biaya pendaftaran HaKI dirasakan cukup tinggi, juga
prosedur atau tatacara pengajuan, klasifikasi dan detail secara administratif
dianggap agak rumit dan belum terbiasa. Apalagi penelitian dan pembuatan buku
mengenai hal tersebut masih sebatas wacana. Literatur tentang pematung Bali pun baik yang bernuansa modern maupun tradisional
sampai saat ini belum meyakinkan dan masih langka. Tidak seperti halnya dengan perkembangan
Seni Patung Indonesia Baru yakni semenjak 1940-an, yang mengawali
pertumbuhannya dengan berbagai penafsiran dan pandangan yang bersifat
individual serta tidak sambung atau tidak berhubungan dengan seni tradisional manapun, telah merujuk
pada perkembangan seni patung modern yang berasal dari Barat dan dari Perguruan
Tinggi Seni yang ada program seni patung, seperti ITB Bandung dan “ASRI”
Yogyakarta (ISI). Sehingga perkembangan seni patung Indonesia pun dapat terdeteksi
dengan cukup baik. Para pengamat seni patung di Indonesia memang merasa
‘enggan’ atau ‘sengaja’ tidak memasukkan seni patung di Bali sebagai bagian
dari perkembangan seni patung Indonesia, atau dianggap tidak ‘layak’ dibahas dikarenakan
“sarat” dengan unsur ‘tradisi’, yang notabene
memerlukan pembahasan atau “kacamata” khusus yang terkait dengan agama dan
budaya Hindu Bali atau pembahasan yang berbeda serta perlu pengetahuan
tersendiri akan hal itu. Satu-satunya pada masa kini yang dapat mengangkat
citra patung tradisi Bali secara nasional dan
internasional adalah Garuda Wisnu
Kencana (GWK) karya I Nyoman Nuarta (alumni ITB) yang
spektakular dilihat dari ukuran, biaya dan fungsi sosialnya. Adanya Bali, Indonesia Sculptors Association
yang disingkat B.I.A.S.A. yang terbentuk pada 22 Januari 2004, didirikan atas
kesepakatan dan keinginan untuk bersatu melestarikan konsep dan nilai-nilai
tradisi dalam menatap perkembangan seni patung Bali ke depan, diantara para
konseptornya adalah pematung Ida Bagus Alit, I Made Suthedja, Tjok Udiana, IB
Warsaka, IB Mahayana, I Wayan Jana, para mahasiswa Patung PSSRD Unud (Sekarang
ISI Denpasar); dan pecinta seni patung seperti I Made Yudha dan IB Putu Gde
Sutama. Pendirian B.I.A.S.A. kemudian mendapat dukungan luas dari pematung Bali
dalam pertemuan tanggal 2 Mei 2004 di Museum Patung I Wayan Pendet, Nyuh Kuning,Mas,
Ubud-Gianyar seperti I Ketut Muja, I Ketut Widia, I Nyoman Mawi, I Made Kakul,
I Nyoman Rubig mewakili generasi 1940-an; Lalu, Made Bratayasa, Nyoman Sudarta
mewakili pematung tahun 1950-an; Dan I Wayan Sudarma, I Made Sujana, I Ketut
Muka Pendet, Ida Bagus Manik Kencana mewakili pematung 1960-1970-an.
Dilanjutkan dengan menggelar pameran perdananya ditempat yang sama pada tanggal
29 Agustus s/d 10 September 2004 lalu, yang juga didukung oleh pematung asing
diantaranya Carola Vooges dan konsultan asing seperti Johan Hensen dari Belanda, Roy
Thompson dari Amerika Serikat, Yasco
Kanehira dari Jepang, Friedrich
Demolsky dari Austria, Coco Ma
dari Taiwan serta Gallery Siadja, Gallery Marka, Nyana Tilem Gallery, Manis
Gallery dan Uma Dewi Gallery serta lainnya. Kini B.I.A.S.A. diketuai oleh Ida Bagus Alit dan Ketua Pelaksana Harian oleh Tjok Udiana. Tentu pembentukan asosiasi pematung Bali ini dapat memberi
harapan untuk nantinya bisa mendata, meneliti dan membukukan perkembangan seni
patung di Bali secara khusus dan berkala pula.
Apalagi banyak pihak yang mendukung akan hal tersebut seperti gallery-gallery, kolektor, konsultan
luarnegeri dan ISI Denpasar untuk dapat
terwujudkan di masa mendatang, yang nantinya sangat berguna untuk literatur dan
pendidikan seni patung Bali.
Kesebelas pematung yang
berpameran di Krane Gallery Ubud kali ini, memajang sekitar 33 karya dan mereka
itu adalah Ida Bagus Alit, I Md Brata
Yasa, I Gst Md Lod, Pande Wy Mataram, I Wy Mudana, I Kt Muja, I Md Sukanta
Wahyu, I Md Sujana, Made Sudiarta, Tjok Udiana dan Corola Vooges. Menyimak
karya para pematung secara keseluruhan masih banyak yang menggarap bahan
tradisional seperti kayu, dimulai dari kayu waru, sonokeling, suar, jati, belalu, mahoni, frangipani wood, ketapang, sea
hibiscus wood dan ada juga yang mengolah bahan recycling paper (kertas bekas) seperti Tjok Udiana. Para pematung masih banyak berkutat pada
teknik pahatan tradisional, mengikuti alur dan struktur kayu yang memanfaatkan
karakter dan tekstur yang natural, seperti bonggol, serat, akar, cabang, kayu
yang lapuk / seperti rusak (borok) / bolong dan yang bergelombang dalam
membentuk ide seninya, seperti I Kt Muja, I Wy Mudana dan lainnya. Beberapa diantaranya seperti I Md Bratayasa,
Pande Wayan Mataram dan I Made Sujana memanfaatkan sisa-sisa kayu potongan (recycle) yang dirakit / disusun
sedemikian rupa menjadikan sinyal-sinyal untuk direspon daya imajinasi mereka
menjadi bentuk ungkapan / ekspresi. Berbeda dengan I Md Sukanta Wahyu, ia
terkadang juga memanfaatkan kayu yang setengah terbakar untuk memperoleh
efek-efek tertentu seperti kesan magis atau menyeramkan dalam mengusung
symbol-simbol ritual / kehidupan. Made Sudiarta, pematung otodidak ini,
mewujudkan patungnya menggunakan kayu yang telah usang (waste recycle) yang umurnya cukup tua dan Ia tidak mau memotong
kayu yang masih hidup/muda untuk berkarya, semuanya itu didasari oleh
kepercayaan atau ajaran tertentu untuk menjaga keharmonisan dengan alam
semesta. Secara menyeluruh bentuk patung masih menyisakan unsur tradisi, baik
teknik dan finishing, maupun bentuk atau
wujud patung-patungnya. Satu-satunya yang berbeda adalah wanita pematung
asing yang tinggal di Bali yakni Carola Vooges, perwujudan patungnya
murni dari olah pikir dan rasa seni yang bersifat individual (modern). Ia
memperhatikan kejadian-kejadian disekitar atau adanya sebab-akibat dari suatu
hukum alam maupun keadaan alam itu sendiri yang diserasikan dengan unsur bahasa
“rupa” universal kemudian disusun berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan, ritme, komposisi, tekstur dan bahannya
menjadikan ekspresi tersendiri.
Pameran Patung Kelompok
B.I.A.S.A. di Bali Zoo Park-Singapadu
Beragam
Bentuk, Citra dan Makna Karya Tri Matra
Bali, Indonesia Sculptors Association yang disingkat B.I.A.S.A.,
menggelar pameran seni patung dari tanggal 9 April s/d 9
Mei 2005 di Bali Zoo Park, Singapadu,
Sukawati, Gianyar. Ir. Anak Agung Gede
Putra, pimpinan Bali Zoo Park, dalam sambutannya menganggap tepat Bali Zoo Park turut ambil bagian dalam
pengembangan dan pelestarian alam serta kegiatan seni mulai dari yang terkait issue politik, budaya dan
kejadian-kejadian tertentu seperti bencana alam yang akhir-akhir ini kerap
terjadi di Indonesia dan bahkan di Dunia. Pameran yang keempat kalinya ini dibuka oleh Pemred
Majalah Seni “Suardi”, I Wayan Suardika, sabtu sore 9/4/05, yang mengatakan bahwa alam sudah sejak dulu
kala telah menjadi bagian dari inspirasi para seniman. Pada acara pembukaan
pameran dimeriahkan oleh geliat 3 penari kontemporer
yang meniru gerakan dan suara binatang serta kehidupan yang ada di alam
pimpinan I Wayan Sura, S.Sn. Pameran
yang mengusung tema “Inspirasi Alam” ini menampilkan puluhan karya tiga dimensi
dan beberapa lukisan dari 45 karya pematung, Pecinta seni Ratnawati mengatakan akan
membawa beberapa karya untuk dipamerkan di Singapura dalam Be Bali Expo, Suntec-Singapore 26 May – 29 May 2005
mendatang.
Alam yang terdiri dari binatang, tumbuh-tumbuhan, manusia,
pemandangan alam, alam benda dan lain sebagainya, memang telah menjadi sumber
inspirasi terbesar bagi para perupa / seniman di Dunia sejak adanya
lukisan-lukisan di goa-goa, patung / candi batu dan keramik zaman pra-sejarah,
lalu karya-karya seni zaman sejarah hingga kesenian zaman modern dan post-modern
saat ini. Mulai dari yang primitif, mimesis, naturalis, realis, ekspresionis
sampai yang abstrak hingga yang kontemporer, alam dan kejadian-kejadian
yang ada di jagat raya ini tetap menarik untuk digali dan menjadi bagian yang
tak habis-habisnya memberikan inspirasi dan kontribusi sebagai sumber pemikiran
untuk lahirnya karya-karya seni.
Seni patung (dari to sculpt =memahat), pada masa kini
pengertiannya telah meluas, bukan saja membentuk dengan teknik pahatan, tetapi
juga bisa mencetak, menempel, meniup, membakar dan memanaskan sampai
mengeksploitir kemungkinan-kemungkinan lain seperti dalam bidang teknologi
kimia, fisika, konstruksi, elektronik dan komputer. Sampai saat ini boleh dikata
bahwa patung adalah merupakan hasil perwujudan idea perupa / seniman dalam bentuk tri-matra yang secara kasat mata terlihat mempunyai kedalaman,
ruang, volume, massa,
yang dapat diraba. Pada hakekatnya semua seniman sama, yakni berusaha secara
kreatif menciptakan karya berdasarkan dorongan jiwa / batinnya, melalui media
yang dianggap paling dekat dengan dirinya, apakah itu kayu, batu, metal / logam / besi, tanah liat
(lempung), serat, semen-pasir, padas, kertas atau apa saja, yang kesemuanya
merupakan semata-mata sebagai ungkapan batin atau ekspresi tentang sesuatu hal
yang dianggap penting atau bermakna.
Alam binatang dan tumbuhan
Mengamati hasil karya pematung
yang bertajuk ” Nature Inspiration”
ini terlihat sebagian dari mereka menampilkan aneka bentuk satwa. Diantaranya
adalah I Kt Santika dengan “Kanguru”, I
Nyoman Rubig dengan harimau dan kijang. Tjok Udiana Nindhia P dengan burung, I Nyoman Mawi dengan kera berjudul”Bojog 1-2”,
lalu I Made Kakul menampilkan “Ikan
Arwana”, IG Pt Diarya Raditya menampilkan “Penyu”, IGM Lod dengan “Bebek” nya,
I Kt Muka Pendet dengan “Kodok” dan “Orang Hutan”, IM Sujana dengan ayam, dan I
Wayan Mawi menampilkan “Buaya” dan “Fauna Laut”. Bentuk
karya patung mereka bervariasi ada yang realis, ada pula yang digayakan dan disederhanakan,
juga ada yang menjadikan symbol dan mengusung makna tertentu. Misalnya karya
dari IB Manik Kencana yang mencoba menggayakan gajah dengan mengambil esensi
dari bentuk “Ganesha”. Lalu karya Sujana yang berjudul ”Konflik Sosial” berupa adu ayam, “Flu Burung” dari IGM Lod
berupa ayam yang sekarat, karya I N Rubig yang menampilkan perkelahian /
perburuan harimau memangsa kijang berjudul “ Yang Lemah Tetap Mati”, suatu
sindiran situasi sosial. Lalu Tjok Udiana menggambarkan “kebebasan” dengan
sekelompok burung terbang. Beda dengan Suardina yang menampilkan dua binatang
ulat bulu yang menjijikkan seolah mengusung telur bermahkota yang berukuran
lebih besar dari ukuran tubuhnya dengan judul “Rakus”, suatu sindiran lagi yang
mengarah pada kritik sosial-budaya. Lain lagi dengan Pande Mataran, Ia
mengambil bentuk daun yang digantung dengan ukuran besar yang ditengahnya ada
lubang yang digantungi pula dengan bentuk jantung-hati diberi judul ”Cinta
Alam”.
Citra tradisi
Citra tradisi Bali
masih secara konsisten ditampilkan bahkan menjadi cirri khas dari kelompok
B.I.A.S.A. harus ada anggotanya yang terus-menerus mengusungnya. Interaksi pematung tradisional dengan pematung modern,
kontempotrer dan yang bersifat akademis serta lainnya justru akan memberikan
nilai positif bagi pengembangan jenis patung ini ke depan dan memperkaya
khasanah seni patung Bali itu sendiri.
Mereka-mereka itu adalah Cok Raka dengan karya “Bidadari”, I Kt Widya dengan
menampilkan “Sita Lebuh Geni” dan “Tantri”, I W Yasna dengan karya berjudul
“Dewi Kadru” dan “Peniup Serul;ing”. Kemudian I W Mudana menampilkan bentuk
patung yang seolah melar atau memanjang berjudul “Sri Kidang” dan “Dewi Kadru”,
Windu Maya Segara memajang karya berjudul “Rama Hanoman” dan”Garuda”. Juga dengan
I W Rupik yang menampilkan “Impian Rahwana”, I M Surawan dengan karya “Krena
Mukti”, I K Adi Kusuma dengan patung
berjudul “Ratih”. Pematung seperti Puja Natih dan Sukanta Wahyu memperlihatkan
suatu kecendrungan untuk mempertahankan citra tradisi Bali
yang kuat.
Ekspresi dan kontemporer
Mereka seperti I Ketut Muja, I Wy
Gawiartha, AM Utomo, Sukanta Wahyu, IB Alit, Astawa, I W Budarma, I W Gawiarta,
IW Jana, I Kt Muja, IB Manik Kencana, Rani, Ayu Srijati, Suardina, IB Pt Gd
Sutama, I Md Surawan, I Kt Lukiana, I M Kisid dan Sudiarta, mereka semua telah
mulai cenderung melihat hal-hal yang agak berbeda dari rekannya lain.
Katakanlah seperti IB Ari Munarta dengan menampilkan bentuk abstrak yang diberi
judul “Alam Maya”, demikian pula dengan I W Jana dengan karya yang berjudul
“Pertemuan”. Lalu Gawiarta dengan karya kontemporer
yang berjudul “ Mengejar Impian” dan “Pergi Ke Pesta” terbuat dari karung goni
dan lapisan / serat pelepah pohon yang diberi lapisan resin dan serbuk gergaji
agar kaku berbentuk pakaian pria dan wanita (baju, jas, celana dan rok panjang).
Pakaian yang terbuat dari karung goni ini mengingatkan pada masa-masa
penjajahan Jepang dulu, bentuk dibuat Gawiarta tersebut seolah-olah ada yang
mengenakannya yang sedang berlari / berjalan dan cukup menarik perhatian bila digantung
serta terkena angin berputar-putar. Suatu gambaran ekspresi kecemasan tersendiri
dari pematung I Ketut Muja dengan karyanya yang berjudul “Tawa dan Tangis
Berada di Mulut Singa dan Buaya”. Lain dengan Sukanta Wahyu yang menampilkan bentuk patung agak magis, berwarna gelap kehitam-hitaman dan
bentuknya agak seram, berbentuk seperti sosok manusia langka atau bentuk yang
tidak biasa. Ia juga berimajinasi tentang sesuatu bentuk mahluk “aneh” dengan
karya yang diberi judul “ Langka I – IV” dan ”Lingga Yoni” merupakan suatu kekuatan
ekspresi tersendiri.
Karya patung yang mengingatkan
kita kepada Tuhan YME digarap oleh Adi Kusuma yang menampilkan tokoh spiritual
agama Hindu yang berjudul” Pedanda”. Lalu Puja Natih dengan karya berwujud
manusia setengah badan dengan posisi memuja cara agama Hindu yang berjudul
“Menuju Yang Kuasa” . Berbeda dengan Puja Natih, A M Utomo mencoba memberi
peringatan dengan pandangan secara agama Islam (Sufi: Tasauf Islam / Tarekatullah)
dengan karya berjudul “ Hidup Sesudah Mati” dan “Bencana”. Dengan mengingat “Allah” atau dzikir menurutnya hati akan terasa lebih
tenang, lunak dan damai. A.M. Utomo terobsesi agar hidup ini bisa damai di
hati, di dunia dan di akherat, mengingat akan peringatan Allah SWT memasuki kurun 15 Hijriah yang menurutnya terdapat
banyak bencana alam (Aceh,Nias,dll), huru-hara, wabah penyakit yang menyerang
ternak dan manusia (fisik dan rohani), dan sebagainya.
Pameran Patung Kelompok B.I.A.S.A. dan
Lukisan Kelompok B.A.P.A. di Melia Bali
MEMBANGUN EKSISTENSI PERUPA BALI DALAM ASOSIASI
Sejumlah 70 seniman, terdiri
dari 38 pematung dan 32 pelukis yang tergabung dalam kelompok Bali Indonesia Sculptor Association (B.I.A.S.A.)
dan Bali Artist Painters Association
(B.A.P.A.) bekerjasama dengan Melia Bali
Villas & Spa Resort menggelar karya dalam pameran di Hotel Melia Bali
Villas & Spa Resort, Nusa Dua, dalam
rangka memperingati HUT. Hotel
tersebut ke-20 dan HUT Ke-60 RI, mulai dari tanggal 8 s/d 17 Agustus 2005. Karya-karya
yang tampil dalam pameran yang dibuka
oleh Alfonso Romero, General Manager
Melia Bali tersebut berjumlah sekitar 350
itu menurut John Raja, Ast. Director
of Human Resources disesuaikan dengan jumlah Hotel Melia di seluruh Dunia. Ada suatu seleksi yang
diterapkan di Hotel Melia, terutama karya yang berbau politik dan keagamaan,
dan lebih suka yang bersifat universal, disebabkan untuk kenyamanan para tamu
hotel. Kehadiran karya cukup beragam, baik corak dan maupun gayanya, ada yang mengajegkan pola
tradisi Bali dan ada yang cenderung bebas
ekspresi serta modern-kontemporer.
Untuk pertama
kalinya Hotel Melia Bali di Kawasan Nusa Dua melirik para seniman Bali dan
mengundang mereka untuk berpameran di Hotel, yang sebelumnya di kawasan Nusa
Dua sejak tahun 1996, BTDC menyelenggarakan kegiatan Festifal Nusa Dua secara
berkesinambungan. Pada tahun 2000, khususnya Hotel Grant
Hyatt dan Club Med juga sudah memulainya. Bagi Hotel Melia Bali hal ini untuk
pertama kalinya diselenggarakan dengan mengundang sekaligus dua Asosiasi,
kelompok pematung dan pelukis. Sebagai
suatu yang menggembirakan adalah adanya perhatian pihak Hotel berbintang lima
tersebut, namun karena belum adanya pengertian yang memadai tentang nilai
sebuah pameran, maka pameran kali pertama ini, karya para seniman dipajang pada
tempat yang kurang memadai atau kurang pas sehingga penampilan karya tidak
maksimal. Dipajang sebagian pada jalan-jalan, yang terkadang terganggu dengan
pantulan sinar matahari (siluet), serta pencahayaan diwaktu malam yang kurang
pas, disamping itu efeknya terlihat menjadi murahan bak pasar seni. Semestinya
ada suatu ruang yang khusus disediakan untuk itu. Namun demikian kepedulian
Hotel tentang kehadiran seniman untuk berpameran tersebut menjadi suatu yang
harus ditiru bagi hotel lainnya, yaitu memberi pelayanan kepada wisatawan tentang
informasi dan perkembangan seni-budaya yang ada di Bali.
Patung
Setahun sudah
kelompok B.I.A.S.A membangun eksistesinya, sejak pameran perdananya di bulan
Agustus 2004 lalu. Sebagai kelompok yang bersifat terbuka, asosiasi ini tentu
suatu saat akan tumbuh menjadi organisasi yang cukup besar dan banyak seniman
akan bergantung padanya. Untuk itu perlu dikelola sedemikian rupa dan
professional. Sampai saat ini menurut Ketua Harian asosiasi ini, Cok Udiana NP,
banyak permintaan dan tawaran untuk mengikuti berbagai pameran, baik di dalam
negeri maupun luar negeri, sehingga agak kewalahan untuk menjadwalkannya.
Disamping itu, Udiana juga menginformasikan bahwa para anggota asosiasi ini
juga dapat memanfaatkan informasi dan promosi melalui jaringan internet
bekerjasama dengan pihak tertentu, yakni pertamakali dengan menyerahkan profil
seniman dan beberapa foto karya dilihat dari 4 sisi selama setahun untuk
kemudian diperbaharuai lagi. B.I.A.S.A.
mencoba membangun kerjasama dengan pihak lain sebagai link untuk pemasaran karya patung di dalam dan luar negeri. Pameran di Melia Bali,
patung yang tampil ada yang terbuat dari kayu, batu, beton, mixed media, keramik dan lain sebagainya. Tetapi yang dominan
masih terbuat dari berbagai jenis kayu. Simak karya beberapa pematung,
diantaranya “Tertawa” dari I Md. Sukanta
Wahyu yang menampilkan bentuk agak magis
dan terkadang jenaka karena adanya distorsi pada bagian tertentu memperkuat karakter eksprersi yang diangkat
sekaligus dengan menonjolkan efek pembakaran serta penyemiran. Lalu karya
Cokorda Raka, mencoba mengangkat mitos, apakah itu muncul dalam serial cerita
di Televisi atau CD yang beredar dipasaran, atau merupakan imajinasinya tentang
“Istana Dewi Ular” yang terlihat dinamis dalam memperlakukan dan memanfaatkan
kondisi kayu. Juga Wayan Budarma dengan karya yang mirip “Putri Duyung”. Berbeda
dengan I Nyoman Suardina, karyanya tampak lebih terlihat formal, suatu bentuk
yang mirip pyramid atau segi tiga yang tegas dikombinasi dengan bentuk organis
seperti serangga cukup harmonis. Karya yang sedikit modern-kontemporer, adalah
dari I B Dharma Putra dengan judul “Broken
Home”, I B Ari Munartha dengan
karya”Love Forever”, bentuk keduanya cenderung abstrak atau terkadaf sedikit
figurative, namun masih terlihat sifat bentuk dasarnya. I Ketut Muja, mencoba
mempertemukan dunia sekala dan niskala, mempertemukan realitas-realitas yang
ada baik realitas rekaan semata maupun dari sastra, legenda atau dongeng
sekalipun, yang terkadang mewujudkan secara kasatmata seolah bentuk abstrak
namun karakter bahan seperti kayu masih tetap dipertahankan. I Wayan Mudana
menampilkan bentuk yang begitu ramai akan gerakan dan komposisi dari
figur-figur gubahannya yang bentuknya menyesuaikan dengan bentuk dasar kayu
pilihannya. Lain lagi dengan AM Utomo, dengan karya yang berjudul “Menahan
Angin Ribut”, menampilkan citra Indonesia merdeka dengan pengorbanan para
pahlawan bangsa, dengan darah, keringat dan do’a membangun Indonesia bersatu,
semuanya seolah bendera yang sedang berkibar menonjolkan warna merah-putih
melawan angin, namun dibalik itu ada banyak noda mewarnainya, memberi citra
negative, suara sumbang yang bisa mencemarkan nilai-nilai luhur yang dibangun
bangsa ini seperti korupsi, terorisme, penindasan, perjudian, narkoba,
prostitusi dan lain sebagainya. Suatu kritik sosial, mencoba mengajak untuk
introspeksi diri agar semuanya kembali sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Karya patung-keramik yang hadir dari Anton Dharmawan, Ni Pt Eka Arisanti, IGAM
Dewi Rani M, I A Gd Artayani dari ISI Denpasar. Disampin itu pematung lain yang
hadir adalah IB. Alit, Kt. Muka Pendet, Pande Wayan Mataram, IB Pt Sutama, I M
Sujana, I Gst Md Lod, Parwata Siman, Kisid, Kakul, Raditya Sumantra, Yasna,
Suamba, Sudiarta, Surawan, Mudana, Gawiartha, Yefta, Pujanatih, Rubig dan
Rupik, Nyoman Mawi dan Junko Hasumi ( dari Jepang) dll.
Lukisan
Bali Artist Painters Association
(B.A.P.A.), terbentuk akhir Juli lalu di prakarsai oleh beberapa nama
diantaranya adalah IB Alit, Udiana, Cok Raka, Agus MU dan lainnya. Pameran di
Melia Bali ini untuk pertama kalinya, selanjutnya menurut pemrakarsa akan
dijajagi kemungkinan untuk membuat Balai Lelang karya dengan persyaratan yang
mudah dengan mencari sponsor dan bekerja sama dengan pihak lain, bisa dalam
negeri maupun luar negeri untuk memberikan kemudahan bagi seniman melanjutkan
kerja profesinya dan bisa hidup layak dengan karyanya secara terbuka (transparan).
Tentu gagasan ini cukup menantang dan ini pernah digagas oleh ISSRI (Ikatan
Sarjana Seni Rupa) Bali namun hingga sekarang
tidak ada gaungnya. Bahkan kalau mungkin nantinya bisa membentuk kampung
seniman, seperti yang digagas Gung Tjidera (PSSRD Unud). Seperti halnya
B.I.A.S.A. diperlukan penanganan yang professional dan pelayanan yang adil
kepada anggotanya, yang diperkirakan B.A.P.A. ini akan eksis dan banyak seniman
bergabung. Apalagi dalam waktu dekat
ini akan meluncurkan buku yang berisikan informasi tentang seniman dan
karya-karyanya serta akan disebar ke kalangan tertentu baik dalam negeri maupun
luar negeri. Suatu gagasan cemerlang, namun perlu diperjuangkan. Bagaimanapun
baiknya suatu karya kalau tidak dipublikasikan tentu bukanlah apa-apa, menjadi
benda tak berarti dan kesepian.
Menyimak karya-lukisan yang tampil di
Hotel Melia Bali, memang masih beragam corak dan gaya, mulai dari yang realis,
natural, figuratif, naif, ekspresif sampai dengan yang abstrak. Beberapa karya
realis seperti karya I Nyoman Wijaya yang berjudul “Mimpi” dan I Wy Hendra
Kusma berjudul ”Pasar Kintamani”, juga dari I Wy Beratha Yasa. Agus menampilkan
beberapa karya berjudul “Transparansi”, “Menari Di Atas Penderitaan &
Kesuksesan”, “Embryo”, “Menembus Batas” dan “Dunia Relung Ornamen”. Ida Bagus Alit menampilkan karya yang
menjurus figuratif agak naif, dengan warna-warna cerah/terang dan warna dasar
yang disusun sedemikian rupa cukup dinamis sebagai komposisi warna yang
kontras. Nama-nama pelukis yang turut serta memajang karya diantaranya adalah
Ketut Mantra, Sutama, Yoshiko (dari Jepang), Beratha Yasa, Cundrawan,
Sarantika, Endrawan, Budarta, Tirtayasa, Kembang Adnyana, Partama, Tarka,
Paramahita, Haryadi, Ega, Apriani, Muka Pendet, Muja, Sukadana, Tjok Mas
Astiti, Supriyatini, Sunama, Mandiyoga, Doni Duarsa dan Arthana. Namun
disayangkan banyak karya yang kurang bisa dinikmati dengan baik, karena
pemajangannya di tempat yang tidak semestinya, terganggu oleh sinar matahari
yang masuk dan sehingga mengganggu penglihatan, ada terawang disana dan siluet.
Beberapa karya patung modern dari Agus Mulyadi Utomo