MENGENAL PERBEDAAN MAZHAB
oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
Fikih merupakan ajaran Islam tentang hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an (3%) sebagai dasar hukum yang diperjelas dengan hadits Nabi SAW. Mazhab fikih pengertiannya adalah “tempat tujuan atau rujukan
pemahaman hukum Islam”.
Mazhab sebagai aliran fiqih, terdapat empat mazhab terkenal. Keempat mazhab fikih Islam yang pada umumnya diakui ekistensinya di dalam masyarakat muslim dan termasuk golongan ahli sunnah diantaranya Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi. Semua ummat Islam apapun mazhabnya haruslah menjadikan Rasulullah SAW sebagai panutannya [1],
terutama dalam bersikap dan moral kehidupannya sebagai orang yang
jujur, ikhlas, sabar, tegar, amanah, penyayang, terbuka, taat beribadah
maupun beramal-sholeh, ramah, berakhlaq dan sebagainya.
Ada pula mazhab Syi’ah (salah satu sektenya Rafidiyah: terkenal bersikap menolak ke-khalifah-an Abu Bakar, Umar, dan Usman. Mereka hanya mengakui ke-khalifah-an Ali). Mazhab lainnya yaitu Zhahiri, Dhahiriyah / Dawudi dinisbatkan oleh Dawud Ibn Khalaf, Zaydy, Awza’i, Jaririyah dibentuk oleh al-Thabari, Sofyan dan oleh al-Tsawri. Namun sejumlah mazhab tersebut tidak berkembang dan tidak bertahan. Mazhab Ja’fari adalah sebagai pelopor lahirnya mazhab-mazhab lainnya.
Mengapa kita perlu mengenal perbedaan yang ada diantara penganut aliran ke-Islaman tertentu, terutama mengenai fikih dan perbandingan mazhab?
Ini dimaksudkan agar supaya ada saling pengertian antar golongan dan
tidak saling memutlakkan pendapat pribadi atau golongan sebagai yang
paling benar, supaya tidak mudah memvonis seseorang atau golongan lain
sebagai aliran sesat, disamping untuk menambah pengetahuan ke-Islam-an
dan ke-Iman-an kita. Juga menekankan perlunya pemahaman yang baik
mengenai ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan ummat Islam). Sebagaimana disebutkan Al-Qur’an: “Sesungguhnya
semua orang yang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah diantara dua
saudaramu, bertaqwalah kepada Allah mudah-mudahan kamu mendapat
rahmat-Nya”. Maksudnya adalah kompromi (give and take),
tidak boleh mengklaim sebagai yang paling benar. Dan tidak perlu ada
kekerasan serta pemaksaan terhadap golongan lain untuk mengikuti atau
mengakui apa yang menjadi keyakinan kelompoknya. Haruslah dipahami bahwa
Islam itu adalah ‘damai’ dan perbedaan-perbedaan itu adalah ‘wajar’
serta dapat pula diambil hikmahnya. Perbedaan-perbedaan terutama fikih ini sudah terjadi sejak masa Rasul
dan masa para sahabat. Diantaranya kasus Abu Bakar dan Umar, Ibn Mas’ud
dan Utsman, juga masalah menyembelihan dan bercukur dalam hajji, tayamum dan shalat lagi, dan sebagainya.
Ada beberapa catatan mengenai perbedaan pendapat fikih seperti dalam hal shalat, masalah perkawinan dan lainnya. Adapun contohnya sebagai berikut ini:
- Dalam masalah shalat: mengusap kepala dalam wudhu menurut ahli sunnah mazhab Maliki seluruh kepala tanpa telinga, mazhab Syafi’i sebagian kepala, mazhab Hanafi seperempat kepala, mazhab Hambali seluruh kepala dengan telinga, dan kelompok Syi’ah yaitu mazhab Ja’fari sebagian kepala depan. Membaca surat Al-Fatihah dalam shalat fardhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah wajib dalam semua rakaat, sedang Hanafi tidak wajib, dan menurut Ja’fari wajib dalam dua rakaat pertama. Dalam hal mengucap salam menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah wajib, menurut Hanafi tidak wajib dan menurut Ja’fari adalah sunnat. Dalam hal Qunut Subuh dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi melakukan Qunut Subuh dan Maghrib, menurut Maliki dianjurkan (mustahabb), Syafi’i sunnat, dan menurut Hanafi tidak boleh. Dalam shalat jamaah Jum’at jumlah minimal menurut Maliki 12 orang laki-laki, Syafi’i dan Hambali 40 orang laki-laki, Hanafi 5 orang laki-laki, dan Ja’fari 4 orang laki-laki. Wudhu menyentuh wanita menurut Maliki batal kalau dengan telapak tangan, Syafi’i dan Hambali adalah batal, Hanafi dan Ja’fari tidak batal. Shalat jamak karena bepergian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah boleh, sedang Hanafi adalah tidak boleh, dan Ja’fari mewajibkan. Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi melakukan jamak tanpa sebab (tidak bepergian, tidak hujan dan tidak pula sedang berperang). Menurut Syafi’i dan Hambali adalah boleh, sedang Maliki dan Hanafi tidak boleh dilakukan, dan menurut Ja’fari adalah wajib. Shalat berjamaah menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Ja’fari adalah sunnat, sedangkan Hambali adalah wajib. Dan untuk shalat Tarawih menurut Syafi’i, Hanafi dan Hambali 20 rakaat, dan Maliki 36 rakaat.
- Dalam masalah perkawinan: akad nikah tanpa wali menurut Syafi’i dan Hambali adalah batal, menurut Maliki, Hanafi dan Ja’fari adalah sah. Adanya saksi dalam akad nikah menurut Syafi’i, Hanafi, Hambali adalah wajib, menurut Maliki tidak wajib dan Ja’fari dianjurkan (mustahabb). Walimahan menurut Syafi’i adalah wajib dan Maliki adalah sunnat. Kifarat bila bersetubuh pada bulan Ramadhan menurut Syafi’i hanya pada pria saja, sedang Maliki pada pria dan wanita. Bermain-main (bukan bersetubuh) pada saat haid menurut Syafi’i dan Hanafi adalah haram kalau tanpa aling-aling (pakaian / kain), menurut Maliki adalam haram, sedang Hambali dan Ja’fari adalah boleh. Saksi dalam talak menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali adalah tidak perlu, sedangkan menurut Ja’fari adalah wajib.
- Dalam masalah lainnya: seperti masalah air mani menurut Syafi’i dan Hambali adalah suci, sedang menurut Maliki, Hambali dan Ja’fari adalah najis. Wudhu kemudian muntah menurut Syafi’i, Maliki dan Ja’fari tidak batal, menurut Hanafi batal jikalau penuhi mulut, dan bagi Hambali adalah batal. Bermalam di Mina pada hari Tasyriq menurut Syafi’i dan Maliki adalah wajib, Hanafi sunnat, Ja’fari dan Hambali adalah boleh. Menyentuh mushaf Qur’an tanpa wudhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hanafi adalah haram, sedangkan menurut Hambali dan Ja’fari boleh dengan aling-aling. Buka puasa dalam perjalanan menurut Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali adalah boleh, dan menurut Ja’fari justru diwajibkan. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan lainnya.
Dalam sejarah pengkajian fikih, bermunculan ahlu mazhab,
antara lain: Hasan Basri, Ats Tsaury Ibnu Abi Laila, Al Auza’iy, Al
Laitsi dan Imam Dawud Al Zhairi. Perkembangan dari waktu ke waktu,
setelah diadakan evaluasi dan seleksi sampai saat ini hanya empat mazhab yang mendapat dukungan para ulama yaitu Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi.
1.
Mazhab Maliki
Imam Maliki (Malik ibn Anas Al Ashbaqi 93-179 H) lahir di Madinah pada tahun 93 H / 712 M, (versi
Qodi’Iyad: 93 H – 189 H [2])
konon ia dikandung 12 bulan, bahkan riwayat lain selama 3 tahun. Dan sekitar 57
tahun lebih tua dari Imam Syafi’i.
Beliau adalah seorang ulama atau Imam yang tekun mengumpulkan hadits dan menghafalnya. Ia hidup pada
masa Tabi’in dan Tabi’tabi’in (orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi dan orang
yang berjumpa dengan orang yang telah berjumpa dengan sahabat Nabi). Pada saat
itu Ia hidup di kota kerajaan Islam di Kota Kuffah. Adapun Madinah,
di kala itu termasuk kota yang sepi, hanya dihuni oleh pemangku-pemangku hadits, ahli tafsir, ulama ahli tashawuf, meraka terdiri dari Sahabat
Nabi, Tabi’in dan Tabi’tabiin. Sedang kota Kuffah didiami
oleh jago-jago politik, yang tidak kalah pula fungsinya dengan ulama-ulama.
Oleh sebab itu dasar Mazhab Maliki
diantaranya ialah amalan orang Madinah (Ulama Madinah). Imam
Malik adalah seorang “Huffazh”
(penghafal hadits) nomor satu pada
zamannya. Tidak ada seorangpun yang bisa menandingi beliau dalam hal
penghafalan hadits. Pada usia 40
tahun 100.000 hadits yang sudah
dihafal diluar kepala itu, lalu diteliti pe-rawi-nya
dan beliau cocokkan dengan ayat-ayat suci Al
Qur’an tentang arti dan tujuannya. Pada akhirnya hanya 5000 hadits yang oleh beliau dianggap shahih. Dan kemudian beliau kumpulkan
menjadi satu dalam kitab yang diberi nama “Almuwaththa”
(yang disepakati). Sesuai dengan namanya “Almuwaththa”
yang disepakati, karena kitab tersebut telah dimufakati oleh 70 ulama fiqih di Madinah. Imam Safi’i berkomentar: “Kitab yang paling shahih sesudah Al Qur’an,
ialah “Almuwaththa”.[3]
Maliki ialah mazhab fiqh
yang tertua dalam Islam sunni. Mazhab Maliki diamalkan di Utara Afrika dan
sebahagian Afrika Barat. Mahzab ini
mempunyai bilangan pengikut lebih kurang 25% daripada muslim.
Mazhab ini berbeda daripada
tiga mazhab yang lain kerana terdapat
tambahan kepada sumbernya. Selain menggunakan Al Qur’an, hadis, ijma' dan qiyas,
Imam Maliki juga menggunakan amalan orang Islam Madinah pada zamannya itu
sebagai sumber tambahan. Mengikuti arahan Imam Malik, merupakan juga amalan
orang Madinah dilihat sebagai sunnah
yang hidup seakan memandang Nabi Muhammad berhijrah, tinggal dan wafat di Madinah, dimana kebanyakan sahabat
Nabi tinggal di Madinah. Kesannya, hadits
yang dikaji oleh mazhab ini agak
berbeda daripada mazhab yang lain.
Dasar-dasar pokok dari Mazhab Maliki
yaitu berpegang pada:
1) Al Qur’an;
2) Sunnah Rasul SAW yang
dipandang sah;
3) Ijma’
Ahl Madinah (kadang menolak hadits yang berlawanan atau tidak diamalkan
oleh para ulama Madinah);
4) Qias (kias / analogi / membandingkan);
5) Istislah. (istilah fikih,
yaitu pendapat bahwa sesuatu
Adalah salih karena berfaedah, bijak untuk
kepentingan dan keperluan umum)
Mazhab ini
banyak penganutnya di Tunisia, Tripoli, Maroko, Aljazair, Mesir Atas dan
beberapa daerah Afrika.[4]
2.
Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i (Abu Abdullah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i 150 – 204
H) dilahirkan di Gazza, sebuah
kampung diAsqolan, bagian selatan Palestina, pada tahun 150 H, keturunan suku
Quraisj. Walaupun beliau dilahirkan di Ghazza (Palestina), tetapi tumbuh dewasa
kampung halamannya di Mekkah. Ayah-Ibunya datang kesana untuk suatu
keperluan dan tidak lama beliau lahir disitu. Beliau menjadi anak yatim, sebab
sejak kecil sebelum mereka kembali ke Mekkah ayahnya telah wafat di Ghazza. Nama asli dari Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris dengan bergelar Abu Abdillah. Dalam urutan nasab, beliau mempunyai hubungan erat
dengan nenek moyang Nabi Muhammad SAW.
Nenek moyang beliau jika dijabarkan maka sebagai berikut: Muhammad bin Idris,
bin Abbas, bin Utsman, bin Syafi’i bin Saib, bin Abi Yazid, bin Hasyim, bin
Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, bin Qushal. Dari pihak ibu: Muhammad bin
Fatimah, binti Abdullah, bin Hasan, bin Husen, bin Ali, bin Abi Thalib r.a.
Gelar sebagai Imam Syafi’i diambil
dari nama kakek beliau yang ke empat, yaitu Syafi’i bin Saib. Catatan penting
lainnya adalah pada umur 2 tahun kembali ke Mekkah Almukarramah bersama ibunya.
Ketika masih kecil belajar membaca Al
Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthin. Pada usia 9 tahun beliau hafal Al Qur’an 30 juz diluar kepala. Ia
pandai tatabahasa, syair dan ilmu bahasa. Ia menghafalkan kitab al-Muwaththa’ dalam satu malam. Dalam
usia 15 tahun diberi tugas oleh gurunya Muslim bin Khalid Azzanjiy mengajar di
Masjidil Haram, memberikan fatwa, sehingga mengagumkan orang-orang yang naik Hajji pada masa itu. Pada tahun 170 H,
beliau pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Maliki dengan membawa
sepucuk surat dari gurunya Muslim bin Khalid yang ditujukan kepada Imam Malik
bin Anas. Dalam perjalanan yang memakan waktu 8 hari 8 malam itu, Imam Syafi’i
membaca Al Qur’an 16 kali khatam. Pengetahuannya tentang Al Qur’an tak terkalahkan di
zamannya, secara istimewa dicurahkan
tenaganya untuk mempelajari sunnah
Nabi. Sebagai ulama besar dimana hasil ijtihadnya
Imam Syafi’i dikenal dengan sebutan “Mazan
Imam Syafi’i”. Beliau juga selama setahun tidak pernah pisah dengan Imam
Malik. Beliau disamping menjadi murid juga diangkat sebagai pembantu Imam Malik[5]
dan mengenal dengan baik ajaran Imam
Hanafi dan Imam Malik. Ia
mengembara ke Yaman, Baghdad dan menetap di Mesir, dan wafat pada hari kamis
malam jum’at tanggal 29 Rajab 204 H / 820 M, dan dimakamkan di Zahro. Kitab-kitab
Imam Syafi’i antara lain: a) Ar Rizalah
(kitab ushul fiqih pertama), b) Al Umm merupakan kitab besar ilmu fiqih, c) Ikhtifatul Hadits, berisikan tentang perselisihan hadits-hadist Nabi SAW, dan d) Al Musnad, berisikan sandaran (sanad) Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadits-hadits. Ajaran Syafi’i terutama
berdasarkan Sunnah seperti ajaran
Imam Malik, tetapi data-data yang digunakan jauh lebih banyak dan berasal dari
berbagai tempat. Dasar-dasar mazhab
Syafi’i dapat dilihat dalam kitab Usul
al-Fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh
al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi’i menjelaskan kerangka dan
prinsip mazhabnya serta beberapa
contoh dalam merumuskan hukum far'iyyah
(yang bersifat cabang).
Dasar-dasar atau asas-asas pokok mazhab Syafi’i
berpegang pada:
1) Al
Qur’an;
2) Tafsir lahiriahnya Al Qur’an selama tak ada dalil yang
menegaskan
bahwa yang dimaksud bukan lahiriahnya; Imam Syafi’i pertama sekali selalu mencari
alasannya dari Al-Qur'an dalam
menetapkan hukum Islam.
3) Sunnah Nabi SAW; Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika
tidak ditemukan rujukan dari Al-Qur’an.
Imam Syafi’i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir
As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
4) Ijma’ ,hukum
yang tak ada dalam Al Qur’an dan Hadits, keputusan diambil alim-ulama dan
atas kata sepakat (tidak diketahui ada perselisihan tentang sesuatu); Ijma’ para Sahabat Nabi, yang tak diketahui pula ada
perselisihan tentang hal itu. Ijma'
yang diterima Imam Syafi’i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya
hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
5) Qias
(ditolak dasar istihsan dan dasar ihtislah). Kias yang
dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya.
Akan tetapi Imam Syafi’i menolak dasar istihsan
dan istislah sebagai salah satu cara
menetapkan hukum Islam.
6) Istidlal, adalah suatu istilah fikih, yakni mencari atau menegakkan
dalil daripada penetapan akan dan kesimpulan-kesimpulannya atau dari seseorang
yang mengetahuinya, yang dipandang sebagai ushul
fikh.
7) Istishab
(suatu istilah fikih), yaitu
mencari hubungan, sambungan, berusaha menghubungkan sesuatu dengan keadaan
sebelumnya. Berarti membawa serta sesuatu yang telah ada di masa lalu ke
masa sekarang. Istishab merupakan
salah satu pegangan dalam menetapkan hukum yang tidak mempunyai dalil yang
tegas dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma
maupun Qiyas. Dengan perinsip istishab manusia dapat memberlakukan
suatu dalil hukum yang berlaku pada masa lampau, tanpa adanya keterangan bahwa
hukum itu berlaku seterusnya. Misalnya, memberlakukan ketentuan bahwa asal
hukum segala sesuatu adalah boleh, kecuali bila ada larangan yang jelas, bagi
hal-hal baru yang illatnya tidak
ditemukan. Salah satu dasar pokok mazhab
Syafi’i. Sebagian ulama terutama dari
kelompok Hanafiah tidak menerima istishab sebagai pegangan dalam
menetapkan hukum).
Penduduk terbanyak masuk dalam mazhab ini adalah Indonesia, Mesir Bawah, Arabia Barat (Saudi Arabia), Syria,
Semenanjung Malaya (Malaysia-Singapura), Pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut,
Bahrain, Indonesia dan beberapa negara di Asia Tengah.[6]
Imam Syafi’i,
begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, terasa begitu lekat di
dalam hati, setelah nama-nama seperti Khulafaur
Rasyidin. Namun orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam kapasitasnya
sebagai ahli fiqih. Padahal sebenarnya
beliau juga adalah tokoh dari kalangan ummat Islam dengan multi keahlian. Ketika
memasuki Baghdad, beliau dijuluki Nashirul
Hadits (pembela hadits). Dan Imam
Adz-Dzahabi menjuluki beliau dengan sebutan Nashirus
Sunnah (pembela sunnah) dan salah
seorang Mujaddid (pembaharu) pada abad kedua hijriyah. Muhammad bin Ali bin Shabbah Al-Baldani berkata: “Inilah wasiat
Imam Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya, ‘Hendaklah Anda
bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Satu,
yang tiada sekutu bagiNya. Dan
sesungguhnya Muhammad bin Abdillah adalah hamba dan RasulNya. Kami tidak
membedakan para rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, Tuhan
semesta alam yang tiada bersekutu dengan sesuatu pun. Untuk itulah aku diperintah,
dan saya termasuk golongan orang yang menyerahkan diri kepadaNya. Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala membangkitkan orang dari kubur dan sesungguhnya Surga
itu haq, Neraka itu haq, adzab Neraka itu haq, hisab itu haq dan timbangan amal
serta jembatan itu haq dan benar adanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas
hambaNya sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan
mati, dan dibangkitkan lagi Insya-Allah. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah
kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan makhluk ciptaanNya. Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin
dengan mata telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka
mendengar firmanNya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy. Sesungguhnya takdir,
baik buruknya adalah berasal dari Allah Yang Maha Perkasa dan Agung. Tidak
terjadi sesuatu kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dan Dia
tetapkan dalam qadha’ qadarNya. Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah
Baginda Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali radhiallahu’anhum. Aku
mencintai dan setia kepada mereka, dan memohonkan ampun bagi mereka, bagi
pengikut perang Jamal dan Shiffin, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, dan
bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin negara Islam (yang berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah) selama mereka mendirikan shalat. Tidak boleh
membangkang serta memberontak mereka dengan senjata. Kekhilafahan
(kepemimpinan) berada di tangan orang Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang
banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah
haram. Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala sejauh yang engkau mampu. Ikutilah shalat Jum’at,
jama’ah dan sunnah (Rasullullah Shallallahu’alaihi wasallam). Berimanlah dan
pelajarilah agama ini. Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka
bimbinglah aku membaca “Laailahaillallah wahdahu lasyarikalahu waanna
Muhammadan ‘abduhu warasuluh”.
Di antaranya yang
diriwayatkan oleh Abu Tsaur dan Abu Syu’aib tentang wasiat Imam Syafi’i adalah:
“Aku tidak mengkafirkan seseorang dari
ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa besar, aku serahkan
mereka kepada Allah Azza Wajalla dan kepada takdir serta iradah-Nya, baik atau
buruknya, dan keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah dia, dan
siapa yang dikehendakiNya menjadi mukmin, mukminlah dia. Tetapi Allah Subhanahu
wa Ta’ala tidak ridha dengan keburukan
dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia memerintahkan
ketaatan, mencintai dan meridhainya. Orang yang baik dari ummat Muhammad
Shallallahu’alaihi wasallam masuk Surga bukan karena kebaikannya (tetapi karena
rahmatNya). Dan orang jahat masuk Neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia
menciptakan makhluk berdasarkan keinginan dan kehendakNya, maka segala sesuatu
dimudahkan bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat dalam
hadits. (Riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya). Aku mengakui hak pendahulu
Islam yang sholeh yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyertai
NabiNya, mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari apa yang terjadi di
antara mereka, pertentangan ataupun peperangan baik besar maupun kecil. Aku
mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman kemudian Ali radhiallahu
‘anhum. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku, bahwa
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan, bukan makhluk yang diciptakan.
Sedangkan mempermasalahkan lafazh (ucapan seseorang yang melafazhkan Al-Qur’an
apakah makhluk atau bukan) adalah bid’ah, begitu pula sikap tawaqquf (diam,
tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu bukan makhluk, juga tidak mau mengatakan
Al-Qur’an itu makhluk”) adalah bid’ah. Iman adalah ucapan dan amalan yang
mengalami pasang surut.[7]
Kesimpulan wasiat
di atas yaitu bahwa aqidah Imam
Syafi’i adalah aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Sumber aqidah Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: sebuah ucapan seperti apapun
tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) Kitabullah atau Sunnah
RasulNya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah,
maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya)[8], Waallu a’lam. Manhaj Imam Syafi’i
dalam aqidah menetapkan apa yang
ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan RasulNya, dan menolak apa yang
ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
RasulNya. Karena itu beliau
menetapkan sifat istiwa’ (Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di
atas), ru’yatul mukminin lirrabbihim
(orang mukmin melihat Tuhannya) dan lain sebagainya. Dalam hal sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Imam Syafi’i
mengimani makna zhahirnya lafazh
tanpa takwil (meniadakan makna
tersebut) apalagi ta’thil
(membelokkan maknanya). Beliau berkata: “Hadits
itu berdasarkan zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka
makna yang lebih mirip dengan zhahirnya itu yang lebih utama.” [9]
Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang harus diimani, maka beliau menjawab,
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitabNya dan
dijelaskan oleh NabiNya kepada ummatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya
setelah hujjah (keterangan) sampai
kepadanya karena Al-Qur’an turun
dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu. Maka barangsiapa yang menolaknya
setelah tegaknya hujjah, ia adalah
kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah,
ia adalah ma’dzur (diampuni) karena
kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan
pemikiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini”
(dua tangan), dengan firmanNya, yang artinya: “Tetapi kedua tangan Allah terbuka”
(QS: Al-Maidah: 64). Dia memiliki
wajah, dengan firmanNya, yang artinya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali
wajahNya” (QS: Al-Qashash:
88)”.[10]
Kata-kata “As-Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam Syafi’i dimaksudkan untuk
tiga arti. Pertama, adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah, berarti lawan dari bid’ah. Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan dari kalam atau ra’yu). Berarti ilmu tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu pula sebaliknya. Imam
Syafi’i berkata: “Siapa yang mendalami
ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika
ombaknya sedang menggunung”.[11]
Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i dengan
sebutan Ahlul Hadits. Karena itu
beliau juga berwasiat: “Ikutilah Ahlul
Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya.”[12]
Dan “Ahli Hadits di setiap zaman adalah
bagaikan sahabat Nabi.” [13]
Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh Imam Syafi’i untuk diikuti
adalah Imam Ahmad bin Hambal, murid Imam Syafi’i sendiri yang menurut Imam
Nawawi: “Imam Ahmad adalah imamnya Ashhabul
Hadits, imam Ahli Hadits”.[14]
Pemikiran fiqih mazhab Syafi’i ini
diawali oleh Imam Syafi’i, yang hidup pada zaman pertentangan antara aliran
ahli hadits (cenderung berpegang pada
teks hadits) dan ahl al-ra'y (cenderung berpegang pada akal fikiran atau ijtihad). Imam Syafi’i belajar kepada
Imam Malik sebagai tokoh ahli hadits,
dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh ahl al-ra'y yang juga murid Imam Abu Hanifah.
Imam Syafii kemudian merumuskan aliran
atau mazhabnya sendiri, yang dapat
dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi’i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun
demikian mazhab Syafii menerima
penggunaan qiyas secara lebih luas
ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut,
keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fiqih,
Usul al-Fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut;
dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.
Imam Syafi’i pada awalnya pernah
tinggal menetap di Baghdad.
Selama ia tinggal di sana,
ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya,
yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim (pendapat yang lama). Ketika
kemudian Imam Syafi’i pindah ke Mesir kerena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil
mempengaruhi kekhalifahan, ia melihat
kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian
mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru
yang berbeda, atau yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid (pendapat yang
baru). Imam Syafi’i berpendapat bahwa qaul
jadid tidak berarti menghapus qaul
qadim. Jika terdapat kondisi yang cocok baik dengan qaul qadim maupun dengan qaul
jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian, kedua qaul tersebut sampai sekarang masih
tetap dianggap berlaku oleh para pemegang mazhab
Syafi’i.
Penyebar-luasan pemikiran mazhab Syafi’i berbeda dengan mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip
dasar mazhab Syafi’i terutama
disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama Imam
Syafi’i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan mazhab Syafi’i pada awalnya adalah: Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w.
846), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878), dan Ar-Rabi bin Sulaiman
al-Marawi (w. 884).
Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal
sebagai ulama hadits terkemuka dan
pendiri firqah mazhab Hanbali, juga
pernah belajar kepada Imam Syafi’i. Selain itu, masih banyak ulama-ulama yang
kemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan mazhab Syafi’i, antara lain:Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, Imam
Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa'i, Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah,
Imam Tabari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Abu Daud, Imam Nawawi, Imam
As-Suyuti, Imam Ibnu Katsir, Imam Dhahabi, dan Imam Al-Hakim.
Imam Syafi’i terkenal sebagai perumus
pertama metodologi hukum Islam (Usul
al-Fiqh), tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, melainkan ilmu ini baru
lahir setelah Imam Syafi’i menulis Ar-Risalah.
Mazhab Syafi’i umumnya dianggap sebagai mazhab
yang paling konservatif diantara mazhab-mazhab
fiqih sunni lainnya, dimana berbagai ilmu keIslaman telah berkembang berkat
dorongan metodologi hukum Islam dari para pendukung mazhab ini. Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya
tingkat ketelitian yang dituntut oleh mazhab
Syafi’i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang
menjadi pendukung setia mazhab ini. Di
antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Ahli Sunah Waljamaah di bidang mereka masing-masing. Saat ini, mazhab Syafi’i diperkirakan diikuti oleh
28%-35% ummat Islam sedunia, dan merupakan mazhab
terbesar dalam hal jumlah pengikut.
3.
Mazhab Hambali
Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal bin Hilai, lahir
di Baghdad tahun 164 H tumbuh dewasa di kota ini dan wafat pada usia 77 tahun
di hari jum’at Rabi’ul Awwal tahun 241 H / 855 M. Setelah menderita sakit
selama beberapa minggu. Dan di makamkan di Bab Harb di Kota Baghdad. Nama
Hambali ia sandang dari nama datuknya, sejak kecil dikenal dengan nama Ahmad
bin Hambal. Ia belajar ilmu fiqh kepada
al-Syafi’I, dan mencurahkan dirinya terhadap sunnah yang menjadikan sebagai tokoh besar di zamannya. Kitab–kitab
Imam Hambali antara lain: a) Tafsir Al
Qur’an, b) An Nasikh wal Mansukh,
c) Al Muqoddam wal Muakhkhor fil Qur-an,
d) Al Manasikul Kabir, e) Al Illah, f) Al Musnad yang berisi 40.000 hadits
(di Indonesia hanya dikenal Al Musnad
terdiri 6 jilid, Al Waro’i dan Ash Sholah). Mazhab Hambali berdasarkan atas nash,
yaitu Al-Qur’an dan Hadist yang shahih, fatwa sahabat, pendapat sahabat paling dekat dengan Al Qur’an dan hadits, hadits dha’if
yang tidak terlalu lemah dan hadits
mursal, dan yang terakhir, jika terpaksa, juga qiyas. Karena itu mazhab
ini digolongkan sebagai aliran ahlu
‘l-hadits yang mendahulukan hadits walaupun
dhaif daripada ra’ya. Ulama-ulama yang berjasa mengembangkan mazhab Hambali antara
lain Abu ‘l-Qasim al-Karkhi (wafat tahun 881 M), Abdu ‘l-Aziz Ja’far (wafat
tahun 910 M), Ibnu Qudamah (wafat tahun 1164 M), Ibnu Taymiah (wafat 20 Syawal
tahun 749 H [15] / 1273 M) dan Ibnu Qayyim (wafat tahun
1296 M). Penganut mazhab ini terutama
terdapat di Arab Saudi.[16]
Mazhab Hanbali adalah satu daripada empat mazhab fiqih terkenal dalam aliran ahli sunnah wal jamaah Mazhab ini juga mendapat pengikut dari aliran Wahabi dan Salafi tetapi
posisi ini tidak diakui oleh sarjana Islam. Aliran Salafi merujuk mazhab Hanbali
sebagai mazhab Athari. Mazhab Hambali ini kebanyakan diamalkan
oleh masyarakat Islam di Semenanjung Arab.
Dasar-dasar pokok mazhab Hambali
berpegang pada:
1)
Al Qur’an;
2)
Hadits Marfu’;
3)
Fatwa-fatwa para sahabat dan fatwa-fatwa
sahabat yang lebih dekat pada Qur’an
dan Sunnah, diantara fatwa-fatwa yang
berlawanan;
4)
Hadits Mursal dan hadits
Da’if, ialah hadits yang
derajatnya kurang daripada sahih;
5)
Qias (kias / analogi / membandingkan).
Mazhab ini
banyak dianut penduduk Arabia Tengah, di Saudi Arabia (terutama kaum Wahabi dan tokoh lainnya adalah Ibnu Taymiiah[17]
yang kemudian dijadikan sumber doktrin dalam memberantas tradisi pengagungan
(ziarah) kubur para Wali dan orang muslim), juga dipedalaman Oman dan beberapa
tempat disepanjang Teluk Parsi dan beberapa kota Asia Tengah.[18]
Kini mulai berkembang di Malaysia dan Asia tenggara.
4.
Mazhab Hanafi (699-767)
Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada
Ahmad Ibn Hambal: Abu Abdillah. Imam Abu
Hanifah Nu’man ibn Thabit al-Taymi (80-150 H). Ia keturunan Parsi,
dilahirkan di Basra tahun 699 M dan berusia 70 tahun dan wafat pada bulan Rajab
tahun 150 H, di Kuffah (Bagdad).[19]
Menurut versi Qodi’Iyad Ia wafat 350 H[20].
Makamnya ada di Al Khoizaron, Baghdad. Nama sebenarnya Nu’man putra dari Tsabit
bin Zautho bin Mah, keturunan bangsa Ajam. Kata ‘hanif’ dalam bahasa Arab
berarti cenderung kepada agama yang benar. Riwayat yang lain mengatakan beliau
erat dengan tinta guna mencatat ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Ayahnya
keturunan Persia yang berasal dari Afganistan. Abu Hanifah pernah berguru kepada Atha bin Abi Rabah, Imam Muhammad
bin Abu Sulayman, Imam Nafi’ Mawla Ibnu Umar dan Imam Muhammad al-Baqir.
Hanifah termasuk tabi’in sebab ia masih sempat berjumpa dengan beberapa sahabat
Nabi Muhammad misalnya Abi Awfa, Watsilah bin al-Aqsa, Ma’qil bin Yasar, Abullah
bin Anis dan Abu Tufayl. Selain sebagai ulama dan Imam Mazhab, Hanifah juga wiraswastawan yang berhasil namun hidupnya
sangat wara’ dan zuhud serta pemurah. Hubungannya dengan penguasa tidak begitu
baik, karena selalu menolak tawaran khalifah untuk menjadi Hakim Agung, bahkan
Ia sempat dipenjara dan dihukum dera setiap hari selama 15 hari. Karena tidak
berhasil membujuk Hanifah memangku jabatan Hakim Agung, Khalifah al-Mansyur murka dan memanggilnya menghadap, di Istana Abu
Hanifah disugihi racun lalu dikembalikan ke penjara dan meninggal di penjara.[21]
Beberapa karya tulisnya yang memuat pendapatnya yang disusun para muridnya
antara lain: al-Madsuth, al- jami’u
‘l-kabir, Al-Sayru ‘l-Shaghir, al-‘l-Kabir, dan al-Ziyadah. Abu Hanifah dijuluki sebagai Bapak Ilmu Fiqih.[22]
Mazhab Hanafi dikembangkan berdasarkan Al
Qur’an, Sunnah Rasul, fatwa para
sahabat, qiyas, istihsan, adat dan ‘uruf masyarakat. Sikap Abu Hanifah
terhadap hadits sangat hati-hati dan
selektif. Ia lebih banyak menggunakan qiyas
dan juga istihsan. Hal ini ada
hubungannya dengan daerah pertumbuhan mazhab
ini yang jauh dari Madinah dan Mekah, tempat tinggal kebanyakan sahabat
Nabi. Karena itu mazhab Hanafi
seringkali disebut sebagai aliran ahlu ‘l-rayu yang lebih mengutamakan
rasio. Perkembangan mazhab Hanafi
cukup luas karena peranan murid-murid Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf (wafat
tahun 731 M) yang pernah menjadi Hakim agung di Baghdad, Muhammad bin
Hasan (wafat tahun 738 M) dan Zufar
(wafat tahun 707 M). Ada ulama penganud mazhab
ini yang membagi fiqih Abu Hanifah
menjadi 3 tingkatan: 1) tingkatan pertama (masa-ilul
ushul) kitabnya berjudul Dhohiru
Riwayah, berisi kupasan dan ketetapan masalah agama oleh Imam Hanafi
bercampur buah pikiran para sahabat Imam Hanafi yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin
Hasan dan lainnya; 2) tingkatan kedua (masa-ilun
Nawadir) tentang masalah-masalah agama, diriwayatkan oleh Imam Hanafi dan
para sahabatnya, kitabnya Haruniyyar,
Jurjaniyyat dan Kaisaniyyat
(Muhammad bin Hasan), serta Al Mujarrod
(Hasan bin Iyad); 3) tingkatan ketiga (Al
Fatawa wal Waqi’at) berisikan masalah-masalah agama dari para ulama mujtahid mazhab Hanafi yang datang
kemudian, karena keterangannya tidak mereka dapat pada pendahulunya, seperti
kitab Al Fatawa wal Waqi’at pertama
yaitu An Nawasil (Abdul Laits As
Samarqondy, wafat 375 H).
Mazhab Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam sunni. Suatu mazhab yang dikenal sebagai mazhab
paling terbuka kepada idea modern. Mazhab
ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam sunni Mesir, Turki, sub-benua India dan sebahagian Afrika Barat,
walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat pendapatnya mengenai
amalan Islam. Mazhab Hanafi merupakan
mazhab yang dianut dengan sekitar 30%
pengikut. Kehadiran mazhab ini tidak boleh dilihat sebagai perbedaan mutlak
seperti dalam Kristian (Prostestan dan Katolik) dan beberapa agama lain.
Sebaliknya ini merupakan perbedaan yang sehat melalui pendapat yang logis dan
idea dalam memahami Islam. Perkara pokok seperti akidah atau tauhid masih
sama dan tidak berubah.
Dasar – dasar pokok dari mazhab Hanafi
berpegang pada :
1) Al Qur’an;
2) Sunnah
Rasul SAW beserta peninggalan-peninggalan
sahih yang telah masyhur di
antara para ulama;
3) Fatwa-fatwa para sahabat;
4) Qias;
5) Istihsan; Secara bahasa istihsan berarti menganggap
baik sesuatu (hasan), adalah
salah satu cara menetapkan hukum di
kalangan ahli ushul fikih. Melalui
metode istihsan, seorang mujtahid meninggalkan hukum yang
didasarkan atas qias jali (analogi
yang jelas persamaan illatnya) ke
hubungan baru yang berdasarkan atas qias
khafi (persamaan illatnya
tersamar) atau dari hukum yang didasarkan pada dalil kulli (alasan yang bersifat umum) ke hukum yang didasarkan atas
dalil juz’i (alasan yang bersifat
khusus). Salah satu contoh mengqiaskan wakaf kepada sewa-menyewa dan tidak
kepada jual-beli, karena lebih mengutamakan segi kemanfaatannya daripada segi
perpindahan hak milik. Perpindahan hukum itu lebih tepat. Metode istihsan ini lebih banyak digunakan
dikalangan ulama Hanafiyah sebagai
salah satu dasar pokok mazhab Hanafi dan ditolak keras dikalangan
ulama Syafi’iyah.
6) Adat beserta ‘uruf umat.
Penganut mazhab Hanafi terdapat banyak di anak
daerah India, Turki, Afganistan, Kawasan Balkan, China dan Rusia.[23]
Disamping Turki dan India, juga Turkestan, Propinsi-propinsi Buchara dan
Samarkand.[24] Juga di
Asia Tenggara mendapat beberapa pengikut.
[1] Prof.Dr. KH. Said Agil Siraj, Republika: 26-03-2007
[2] Qodi’Iyad Ibn
Musa Al Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah
Muhammad SAW Keistimewaan Personal Keteladanan Bersalah, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 812
[7] Al-Amru bil Ittiba’, As-Suyuthi, hal 152-154,
tahqiq Mustofa Asyur; Ijtima’ul Juyusyil
Islamiyah, Ibnul Qayyim hal 165.
[10] Manaqib Asy-Syafi’i, Baihaqi hal 1-412, 413; Ushul
I’tiqad Ahlis Sunnah, Al- Lalikai, hal 2 - 702; Siyar
A’lam An-Nubala’, hal 10 – 79, 80; Ijtima’ Al-Juyusy Al- Islamiyah,
Ibnul Qayyim, hal 94.
[11] Al-Mizanul Kubra, Asy-Sya’rani, hal 1-60, As-Sunnah
dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yang datang dari Rasulullah selain Al-Qur’an.
[17] Budi Munawar, Rachman,
Argumen Pengalaman Iman Neo-Sufisme Nurcholish Madjid, dalam Tsaqafah, Vol.1, no.1, 2002,
hal 56
[20] Qodi’Iyad Ibn Musa Al
Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah
Muhammad SAW : Keistime- waan Personal Keteladanan Bersalah, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 786
Tidak ada komentar:
Posting Komentar