Oleh
Agus Mulyadi Utomo
Hidup
dan Seni.goesmul.blogspot.com
goesmul@gmail.com
Seni grafis adalah cabang seni rupa dua dimensional yang bersifat wujud
gambar (pictorial) atau seni ‘grafi’ (seni menulis/menggambar) yang
menggunakan metode cetak sebagai alat ungkapan estetika. Penggunaan metode
cetak memungkinkan pelipatgandaan lembaran karya gambar. Sedangkan, kegandaan
karya seni selalu menimbulkan pertanyaan tentang: mana karya seni yang asli dan
mana karya reproduksi. Untuk menjawab pertanyaan di atas, umunya mengandalkan
dua konvensi yang berlaku di dalam
dunia seni grafis. Yaitu pertama, grafis sebagai seni membatasi diri pada
metode cetak tradisional; dimana berlaku pengerjaan dengan tangan dan setengah
mekanis. Proses cetak-masinal atau fotomekanis
(misalnya cetak offset sekarang)
tidak diakui telah melahirkan karya grafis
seni, melainkan dianggap sebagai usaha reproduksi semata-mata. Konvensi yang kedua, adalah bahwa setiap
karya harus dihasilkan oleh seniman yang sama, penciptanya, dan atau
bekerjasama dengan artisan pencetak
dengan tanda tangan pada setiap lembar karya yang dihasilkannya, sesuai dengan
jumlah yang dikehendaki oleh senimannya itu. Di luar itu, setiap cetak ulang
atau penanbahan cetakan, dianggap tidak otentik. Hal ini kemudian diatur dengan
beberapa peraturan praktis, seperti penulisan nomor serta jumlah eksemplar pada setiap karya; perusakan
pelat klise setelah jumlah cetakan
yang diinginkan terpenuhi dan lain-lain.
Hal di atas pernah digariskan oleh Comite
Nasional de la Geavure Perancis pada tahun 1964, tetapi sebuah konvensi tetap hanya semacam kesepakatan
yang tidak mempunyai sanksi. Sementara
itu, seni grafis sebagai sarana
kreatifitas selalu berubah. Seniman mencoba ide-ide, serta teknik-teknik baru.
Apa yang diebut dengan istilah seni pun selalu berubah secara fenomenal; sukar
dirumuskan . Bagaimana bentuk kesenian kita pada masa mendatang? Dibutuhkan
studi serta aksi penciptaan yang intensif untuk menjawabnya.
Secara sederhana, seni grafis adalah bentuk ungkapan seni rupa
dua dimensi yang memanfaatkan metode cetak-mencetak. Karenanya, karya grafis memungkinkan berjumlah lebih dari
satu, berbeda dengan karya lukis yang tunggal atau hanya satu. Dengan demikian
suatu karya grafis yang sama dapat
dinikmati atau dimiliki oleh banyak peminat. Proses cetak dalam seni grafis cenderung terbatas pada proses
yang normal atau sebagai ‘seni mekanis’, suatu proses yang langsung melibatkan
keterampilan tangan sang seniman.
Meskipun keduanya menggunakan proses cetak,
karya seni grafis dibedakan dari
karya reproduksi. Karya reproduksi lahir dari kebutuhan untuk memperbanyak
suatu karya tunggal (misalnya lukisan, foto),
biasanya dengan teknik cetak mekanis-fotografis,
dan cenderung untuk kebutuhan massa. Sedangkan karya seni grafis bertitik tolak dari kebutuhan seni si senimannya.
Karena faktor pekerjaan yang seringkali
membutuhkan waktu yang lama dan peralatan cetak yang sederhana, maka jumlah
edisi suatu karya grafis biasanya
terbatas dan disebut sebagai karya “cetak murni” (original prints). Untuk mempertegas orisinalitas karya senimannya, yakni dengan menggunakan pensil
memberi catatan di bagian bawah di luar gambarnya, yaitu tanda tangan, tahun
pembuatan, judul karya, dan tanda nomor urut cetak serta jumlah edisinya.
Misalnya 10/25 berarti cetakan ke 10 dan jumlah edisi seluruhnya 25.
Proses seni grafis dapat diklasifikasikan menjadi empat proses dasar, yaitu:
cetak-tinggi (relief print),
cetak-dalam (intaglio), cetak-dalam (lithography) dan cetak-saring (serigraphy). Cetak tinggi, disebut demikian karena permukaan acuan
cetak / klise yang akan menerima
tinta berada paling tinggi. Pencetakan dilakukan dengan gosokan.
Termasuk ke dalam proses cetak ini: cukilan kayu (woodcut), cukilan lino (linocut) dan wood-engraving.
Ciri khas ungkapan rupa karya cukilan kayu
terletak pada permukaan efek serat kayu (tekstur),
kesederhanaan rupa gambar (bentuk) dan kesan kontras antara gambar (bidang positif) dengan dasar gambar (bidang negatif), khususnya pada karya
hitam-putih. Cetak tinggi (proses relief / cameo
/ xylograf), contoh umum yang kita temui sehari-hari adalah stempel dan cetak hand-press. Klisenya
berupa sebuah relief, dimana yang akan tercetak berada pada permukaan yang
lebih tinggi dari lempengan klisenya.
Permukaan itu kemudian dirol dengan tinta cetak. Ketika ditekankan pada
lembaran kertas, klise itu akan
meninggalkan gambar sesuai dengan polagambar permukaan yang paling tinggi. Yang
termasuk ke dalam proses ini adalah cukilan kayu, torehan kayu (wood-engraving) dan cukilan lino (linolium adalah sejanis karet khusus yang dibuat untuk pencetakan).
Cetak dalam (intaglio), adalah proses cetak dalam bisa dikatakan secara terbalik
dari pada proses cetak tinggi. Pada teknik ini, gambar atau imaji yang tercetak
berasal dari celah garis atau bidang yang lebih dalam dari permukaan pelat klisenya. Bahan klise biasanya dari pelat logam: tembaga atau zinc. Pelat
ini dicelahi atau diukir menurut gambar yang diinginkan. Setalah itu, semacam
tinta khusus dimasukkan kedalam celah garis gambar. Tinta yang “mengotori” bagian atas permukaan klise dibersihkan dengan tangan dan
kertas pembersih. Dengan memakai alat press,
klise ini kemudian ditekankan dengan
kuat pada selembar kertas lembab. Karena tekanan yang kuat itu, serta daya
serap kertas terhadap tinta, maka gambar pun berpindah dari atas pelat ke atas
lembaran kertas. Ada
dua cara mencelahi pelat logam untuk membuat klise cetak dalam. Yaitu pertama, dengan cara menorah langsung
dengan pusut ukir (burin) seperti
pada proses torehan logam (metal
engraving); atau menggores dengan semacam jarum baja (tempo dulu intan sering dipergunakan untuk
mengganti jarum baja yang susah didapat) seperti pada proses goresan kering (dry point). Cara kedua adalah melalui
proses kimiawi, seperti pada etsa dan
aquatint.
Cetak dalam (intaglio). Kata lain dari prinsip cetak ini sebetulnya kebalikan
dari cetak tinggi, di mana yang akan pindah ke atas berada di bagian acuan
cetaknya (tembaga). Pencetakan dilakukan dengan mesin khusus, mesin etsa. Dari segi prosesnya, intaglio ini dapat dibagi dua, yaitu
yang menggunakan asam: etsa (etching)
dan aquatint, sedangkan yang tanpa asam: drypoint, engraving dan mezzotint. Masing-masing teknik cetak
ini kadangkala berdiri sendiri, karena setiap teknik tersebut memiliki ciri
ungkapan yang khas. Etsa dengan
kelembutan dan keluwesan garisnya, aquatint
dengan keragaman nada warna dan teksturnya, drypoint
dengan kekasaran garisnya, engraving
dengan katajaman garisnya dan mezzotint
dengan kepekatan nada warna yang hampir serupa dengan karya aquatint. Karena potensi artistic masing-masing itu maka
seringkali suatu teknik, misalnya etsa,
dikombinasikan dengan aquatint atau drypoint, atau bahkan memanfaatkan
seluruh teknik-teknik tadi dalam satu karya, sehingga karya itu memiliki
keragaman ungkapan rupa yang kaya.
Karya Seni Grafis
Agus Mulyadi Utomo
Judul 'Feodal' , tahun 1979
Teknik Intaglio-drypoit
Karya Seni Grafis
Agus Mulyadi Utomo
Judul 'Feodal' , tahun 1979
Teknik Intaglio-drypoit
Karya Seni Grafis
Agus Mulyadi Utomo
Judul 'Dialog Imajiner' , tahun 1976
Teknik Intaglio-drypoit
Cetak datar (planograf), litografi adalah sebuah teknik cetak datar, yang merupakan “leluhur” cetak offset sekarang. Pada teknik ini, gambar yang akan tercetak berada pada bidang datar dari klisenya. Semacam batu barkapur adalah bahan klise bagian ini. Batu digosok sedemikian rupa sehingga memberikan permukaan datar dan halus. Setelah itu, seniman menggambari permukaan batu dengan pensil atau tinta berkadar lemak. Begitu gambar selesai, bidang batu kemudian dilapisi campuran larutan gon arab dengan asam. Bila peng-asam-an telah dianggap cukup, lapisan gom arab ini kemudian dibersihkan dengan air dan terpentin. Dalam keadaan basah demikian akan melihat suatu kenyataan bahwa gambar pensil berlemak akan menolak air; sebaliknya bagian permukaan batu yang terbasahi air akan menolak lemak. Pada saat itulah menintai (beri tinta) gambar dengan semacam tinta berlemak. Hingga dengan demikian tinta koheif terhadap gambar pensil berlemak. Sehelai kertas, kemudian diletakkan diatas batu itu. Dengan tekanan yang keras dan rata dari alat press, gambar pun berpindah dari atas ke atas kertas. Batu dibasahi, ditintai kembali, dicetak kembali. Demikianlah, hingga kita mendapat sebanyak cetakan yang diinginkan.
Cetak datar, Lithografi merupakan satu-satunya media
yang mengandalkan proses ini. Disebut proses cetak datar karena acuan
cetaknya (batu, seng atau aluminium offset) tidak mengalami
peninggian atau pendalaman seperti pada proses cetak tinggi atau dalam. Proses
ini berangkat dari pemanfaatan suatu kenyataan bahwa air dan minyak tidak dapat
bersatu. Sebuah batu Bavaria atau aluminium offset, setelah dibuat peka, digambari dengan bahan
berlemak (tusche). Sesudah gambar itu
kering seluruh permukaan acuan cetak itu dilumuri dengan cairan campuran gom arab (Arabic gum) dengan asam (nitrat). Proses kimiawi ini, dalam
jangka waktu tertentu, bekerja sedemikian rupa sehingga bagian berlemak
(gambar) akan melekat kuat pada permukaan acuan cetak, sedangkan bagian yang
lain akan bersifat mengundang air. Permukaan dicuci dengan air dan terpentine lalu tinta cetak dirolkan di
atasnya dan tinta tesebut hanya akan melekat di bagian gambarnya saja, karena
bagian lain menolaknya. Pencetakan
(pemindahan ke atas kertas) dilakukan dengan penekanan memakai mesin khusus lithografi. Ungkapan rupa karya lithografi cenderung memperlihatkan
efek-efek kelembutan dari cairan tusche
atau crayon maupun pensil lithografi. Medium ini diketemukan oleh Alois
Senefelder, seorang Jerman, pada tahun 1798 dan proses ini kemudian merintis ke
arah proses cetak offset yang kita
kenal dewasa ini.
Cetak saring. Sesuai dengan istilahnya, proses
ini mengandalkan penyaringan dalam pencetakannya. Di sini yang berperan sebagai acuan cetak
adalah alat saring yang dikenal sebagai “monil”
atau semacam kain sutra. Sederhananya, bagian bergambar merupakan bagian
terbuka pada saringan itu, dengan demikian bagian bergambar (terbuka) akan
meloloskan tinta ke atas kertas. Potensi ungkapan rupa cetak-saring teletak
pada kemampuan proses ini untuk menterapkan banyak warna pada karyanya dan
warna-warna itu bisa tampil utuh dan tetap cerah.
Cetak saring / silkscreen printing / serigrafi / atau lebih populer sebagai sablon merupakan medium seni grafis yang paling dikenal di masyarakat luas dewasa ini. Dalam kreatifitasnya, seniman grafis tidak jarang mengombinasikan beberapa medium dalam satu karya, misalnya intaglio dengan lithografi, atau cukilan kayu dengan cetak saring, dan sebagainya. Bahkan kini pemanfaatan proses fotografi dalam seni grafis bukanlah hal yang baru lagi.
Cetak saring / silkscreen printing / serigrafi / atau lebih populer sebagai sablon merupakan medium seni grafis yang paling dikenal di masyarakat luas dewasa ini. Dalam kreatifitasnya, seniman grafis tidak jarang mengombinasikan beberapa medium dalam satu karya, misalnya intaglio dengan lithografi, atau cukilan kayu dengan cetak saring, dan sebagainya. Bahkan kini pemanfaatan proses fotografi dalam seni grafis bukanlah hal yang baru lagi.
Dalam abad ke-19 orang biasanya
membagi cara cetak-grafik dalam 4
golongan: cetak-timbul, cetak-rakam,
cetak-bidang dan tehnik sablon.
Dengan mengelompokkan ini akan dicoba untuk menerangkan dalam garis besar
macam-macam permukaan dari mana warna dialihkan ke atas kertas, sehingga
terjadi suatu cetak-grafis.
Cetak-rakam atau pengukir pada suatu permukaan adalah cara yang tertua
untuk menghasilkan suatu gambar atau lukisan. Dimulai dengan jejak kaki manusia
purba sampai dengan tulisan-tatah dan tanda tera
kerajaan, orang selalu mengerat atau menggores tanda-tanda diatas suatu
permukaan. Dalam hal yang belakangan ini gambar yang diukir, dicetak pada bahan
yang lunak, pada mana tera dicetak
diatasnya. Ketika cetakan lepas dari kertas, orang menemukan bahwa papan yang
diukir timbul (relief) lebih mudah
dan cepat dicetak dari pada gambar yang diukir ke dalam. Papan-papan
cetak-timbul ini melicinkan jalan ke penemuan huruf bergerak dan ketika
keterampilan pengukir kayu itu dianggap sebagai seni, orang mengembangkan
tehnik-tehnik mencetak yang baru.
Cetak-bidang memerlukan pengetahuan
yang mendalam mengenai kimia, karena harus mengalihkan sebuah gambar dari suatu
bidang rata ke suatu bidang rata yang lain. Sebagai contoh dari tehnik ini
sering disebut lithography (menulis
diatas batu), tetapi juga papan dari logam dan bahan sentetis lain dapat
dikerjakan menurut cara ini. Lithography
/ litografi suatu tipe cetak timbul, digunakan baik sebagai proses kesenian
maupun proses cetak untuk usaha. Litografi
dicetak dari batu kecuali untuk usaha menggunakan lembaran logam halus.
Gambar ditulis / dilukis langsung secara terbalik pada lembaran batu dengan
menggunakan pastel atau tinta. Litograf yang mengandung sabun atau
minyak. Asam yang mengandung minyak
dari bahan tersebut merupakan sabun yang tak dapat dilarautkan di atas
permukaan dan dapat menahan air. Selanjutnya bila dibuat ketat agar jangan
bertebaran dengan menggunakan larutan Gom-Arab
dan garam massa lukisan dicuci dengan
terpentin dan air, maka siaplah untuk
diberi tinta melalui sebuah rol untuk dicetak. Proses ini ditemukan tahun 1798
oleh Aloys Senefelder dari Jerman. Ia menggunakan batu kapur yang hingga kini
masih dianggap sebagai yang terbaik untuk litografi
sebagai proses kesenian.
Baru dalam abad ke-20,
tehnik sablon diakui sebagai seni. Dalam seni rakyat orang sejak ratusan tahun telah
menggunakan kertas yang dikerat-kerat. Sablon-sablon
dalam seni mula-mula hanya digunakan untuk mempercepat cara mewarnai
bagan-bagan dengan tangan. Baru dalam tahun-tahun tiga-puluhan cetak sarangan /
cetak saring / cetak bidang yang berasal dari tehnik sablon diakui sebagai seni, dan dari semua cara mencetak justru
tehnik ini paling menonjol sesudah Perang Dunia ke II.
Seni Grafis dengan teknik Cetak Saring / Sablon:
Karya Agus Mulyadi Utomo berjudul
'Perkampungan" 1976 (Foto 1) dan
Karya Agus Mulyadi Utomo berjudul
'Perkampungan" 1976 (Foto 1) dan
"Duka Korban Bom Bali Satu" 2002 (Foto 2)
Dari tahun ke tahun semua cara mencetak ini mengalami perubahan yang penting, berdasarkan pada bahan-bahan yang baru dan penggunaan penemuan-penemuan ilmiah. Pada akhir-akhir ini diikut sertakan fotografi pada semua tehnik mencetak, menghasilkan metode-metode yang baru. Seniman tidak hanya menggunakan foto-foto melainkan juga membuat bahan yang cocok, peka cahaya dan pada akhirnya memakai cara industrial seperti litografi-offset. (dalam arti komersiil, litografi artinya khusus pembuatan gambar secara foto-mekanis).
Begitu
bagan litografi, ukiran kayu dan
sebagainya selesai dicetak, si seniman membubuhkan tanda-tandanya dan nomor pada
tiap tindasan. Sekarang menjadi kebiasaan, bahwa si seniman atau si penerbit
menulis jumlah cetakan (oplah) pada
tiap tindasan kedua dan jumlah cetakan 75 helai. Tersebar anggapan yang keliru
bahwa tindasan-tindasan itu diberi nomor menurut urutan mencetaknya. Seringkali
si seniman atau si pencetak memilih cetakan-cetakan yang terbagus dan
memberikannya nomor-nomor rendah. Pemberian nomor dan tanda-tanda pada
gambar-gambar ini menjamin keasliannya kepada si pembeli. Membatasi
cetakan-cetakan itu dalam jumlah tertentu berdasarkan 3 hal:
1. Permukaan
papan cetakan menjadi lusuh hal mana mempengaruhi mutu tindasan.
2. Si
seniman yang mencetak karyanya sendiri, ingin memulai karya baru dan
menghentikan
percetakan.
3. Si pencetak atau si penerbit menyesuaikan
jumlah cetakan dengan pasaran dan permntaan.
Cetak
Timbul
Pada cetak timbul orang menggunakan pencetakan dari bahan
kertas yang dikerat atau diukir. Cetakan terjadi melalui bagian-bagian yang
timbul dan telah diwarnai pada bahan yang dicetak. Bahan yang dicetak dapat
juga diletakkan yang akan dicetak dapat juga diletakkan dengan sisi bawah pada
sebuah relief dan bagian atas digosok dengan kapur berwarna dan sebagainya.
Cukilan Kayu
Gambar dikerjakan pada satu atau
beberapa tingkat atas kayu yang lunak, biasanya mengikuti arah serat,
bagian-bagian yang tidak ikut dicetak dicukil dengan pisau atau alat cukil.
Bagian-bagian yang tidak dicukil diberi warna dan dicetak pada kertas yang
terletak diatas papan kayu dengan alat khusus atau dengan menekan dengan
telapak tangan atau dimasukkan ke dalam alat pres. Biasanya untuk tiap warna
orang memerlukan satu tingkat tersendiri pada papan kayu itu, tetapi pada papan
kayu yang sama dapat juga diberi warna macam-macam yang terpisah dengan rapi.
Pada sementara cetakan , serat-serat kayu itu tampil dengan nyata.
Cukilan Linoleum
Linoleum
adalah bahan yang lunak dan rata, yang dapat dipakai seperti kayu.
Cetak
timbul dengan bahan-bahan lain
Pencetakan dapat dirangkai dari bahan yang
berbeda-beda lalu dipakai untuk cetak timbul (relief). Dengan karton, kawat, benang dan bahan-bahan lain dengan
kekuatan yang sepadan dapat dicapai hasil yang menarik.
Cetak Rakam
Pada cara cetak-rakam orang membuat pencetakan dari sebuah papan logam, biasanya
dari tembaga atau seng, yang permukaannya dikerjakan
secara mekanis atau kimiawi. Pencetakan dilakukan dengan menggosokkan warna
kedalam goresan yang beraneka-ragam, yang terletak dibawah permukaan papan.
Warna yang lebih digosok dari permukaan dan papan yang telah diwarnai ditekan
dengan kuat diatas kertas yang basah atau bahan yang serupa. Warna tersebut
disedot oleh kertas dari papan tersebut lebih kecil dari pada kertas itu,
pinggiran papan tercetak pada kertas tersebut.
CARA DENGAN TANGAN
Ukiran Tembaga
Ukiran
bergaris yang klasik itu dikerjakan dengan alat khusus, sebuah pinsil baja yang
bersegi, yang mengores sebuah goresan dari papan logam, dengan meninggalkan
bekas berbentuk V yang menyempit pada permulaan dan akhir garis. Garis-garis yang dicetak dengan cara ini kelihatan terang
dan bersih.
Ukiran dengan jarum
Jarum untuk mengukir ini
adalah sebuah alat runcing dari logam keras atau intan. Bila menggambar
dengan alat ini pada sebuah papan, maka guratan yang mengelilingi ukiran
gambar, membentuk sebagai goresan yang halus. Apabila papan ini diwarnai,
pewarna melekat pada goresan-goresan tersebut, yang menghasilkan garis-garis
yang halus pada pencetakan. Karena goresan-goresan ini membentuk sebuah relief,
maka relief ini lama-lama kena tekan sewaktu dicetak sehingga papan tadi harus digalvanisir dengan besi, bilamana
hendak mencetak dalam jumlah yang besar dengan mutu yang sama.
Seni
mengikis
Sebuah
alat pengukir baja dengan ujung-ujung yang runcing digunakan untuk membuat
kasar permukaan papan, pada mana pewarna melekat, sehingga diatas kertas
terjadi sebuah tekstur yang rata dan halus seperti beludru. Bagian yang lebih
terang dan garis-garis didapatkan dengan menghaluskan logam yang dikasarkan
tadi dengan alat pengikis, seperti rempelas (ampelas) atau sebuah alat
yang tumpul. Dengan dadu putar itu dapat dibuat kasar dengan cara yang sama.
CARA
KIMIAWI
Ukiran
Etsa
Sebuah
papan tembaga atau seng disiram dengan lak atau bahan lain yang dimaksudkan sebagai etsa. Dasar yang keras diperoleh bilamana orang menggunakan lak yang mengering seluruhnya, sehingga
garis-garis halus dapat digurat dengan sebuah jarum baja. Pada pencetakan buku
orang memberi dasar etsa lunak dan
tak dapat mengeras pada papan, yang dapat mengelupas dari papan begitu ia
ditekan untuk pencetakan. Metode ketiga adalah tehnik “mengelupas” dimana orang
menggambar dengan “air gula” atas bahan lain yang dapat dicairkan dengan lak aspal. Apabila papan itu ditekan
dalam air, maka bagian-bagian yang dikerjakan dengan cairan gula akan mengelupas dari dasar etsa, sehingga papan tersebut pada bagian-bagian ini terbuka. Orang mendapatkan tekstur-tekstur,
bilamana bagian-bagian terbuka dikerjakan dengan cara cetak tekan atau metode aqua tinta. Dimana
juga lapisan dasar hanya melindungi papan pada bagian-bagian yang tertutup.
Bagian-bagian yang tak terlindungi akan terkikis apabila papan itu digantung
dalam larutan asam yang cocok. Waktu, kadar cairan asam
dan mutu yang tertentu dari bahan papan menentukan dalamnya guratan etsa. Bagian tertentu yang
di etsa dapat dibuat lebih dalam dari
bagian yang lain dengan menge-lak
bagian-bagian yang tertinggal. Bagian-bagian tertentu yang di etsa dapat dibuat lebih dalam dari
bagian-bagian lain dengan menge-lak
bagian-bagian yang tersisa dengan merendam papan itu sekali lagi dalam cairan asam. Begitu ukiran selesai, dasar etsa dicuci dan dicetak dari papan
seperti cara d atas. Garis yang diukir sederhana sangat rata dan bertepi
lembut. Cairan etsa dapat juga
langsung disapukan dengan kuas pada papan yang tidak diberi lapisan dasar,
tetapi dengan cara ini sangat sukar diperkirakan hasilnya, karena waktunya
sukar ditentukan dan sapuan kuas pertama lebih lama pengaruhnya dari pada
sapuan yang terakhir. Lagi pula harus memakai cairan asam yang keras dan memerlukan
kuas yang mudah dipakai.
Aqua-
tinta / Aquatint
Sebuah papan dari tembaga
atau seng ditaburi dengan dammar dan dipanaskan. Dammar itu
mencair dan mengental sewaktu menjadi dingin. Hasilnya adalah suatu permukaan
yang retak berbutir-butir. Sekarang papan itu diredam dalam cairan dimana
cairan tersebut masuk melalui sela-sela butir-butir tadi. Dengan menutupi
bagian-bagian yang tidak akan di etsa lebih
lanjut, orang mendapatkan bagian-bagian yang terang dan yang gelap. Sebagaimana
namanya, warna-warna aqua memperlihatkan
ragam semu yang mengingatkan kita akan gambar cat air atau tinta bak.
CARA
CETAK DASAR
Litografi
berdasar
pada pengalaman bahwa lemak dan air tidak dapat dicampur. Gambar dilukis dengan
pensil lemak dan atau tinta bak diatas semacam batu kapur, papan seng atau aluminium yang permukaannya sudah diolah, atau orang mengalihkannya
dari kertas khusus ke atas batu atau papan (cara terbalik). Batu atau papan itu
disapu dengan cairan campuran dari asam
dan gom arab, sehingga lukisan melekat
pada batu. Pada batu yang sekali lagi dibasahi dengan air itu, hanya lukisan
itulah yang mengisap warna cetak yang berlemak itu. Sesudah dibasahi dan diberi
warna, sehelai kertas yang basah ataupun kering diletakkan diatas batu tersebut
ditekan dengan alat pres pada bahan yang akan dicetak. Biasanya diperlukan
batu-batu sebanyak adanya warna juga yang saling menutupi, untuk menghasilkan
tingkat warna yang dikehendaki. Ketelitian yang luar biasa diperlukan pada
penataan gambar-gambar tersebut satu di atas yang lain.
Tehnik
sablon
Pada
tehnik sablon orang menggunakan sablon positif atau negatif dari bahan
tipis; seperti kertas atau kain yang
kuat. Gambar cetak didapatkan dengan menyapu warna melalui celah-celah dari sablon itu. Cetak saring (proses sablon / serigraf), prinsip dari teknik ini sebenarnya sederhana. Yaitu
meloloskan zat pewarna (tinta cetak) ke atas bidang yang akan dicetak sesuai
dengan sebuah pola gambar tertentu. Cara yang paling sederhana untuk membuat
pola sablon adalah dengan melobangi
lembaran film atau kertas yang tahan
pada zat pewarna yang dipakai. Kemudian
lembaran berlobang yang tahan pada zat pewarna yang dipakai. Kemudian lembaran
berlobang ini diletakkan di atas kertas yang akan dicetak. Setelah lobang
disapu secara rata dengan zat pewarna, kemudian pola diangkat, hasilnya adalah
sebuah gambar sesuai dengan bidang tinta yang lolos melalui lobang pola
tersebut. Teknik sablon sederhana seperti di atas, telah
dikembangkan dengan memakai saringan halus, yang memungkinkan hasil cetakan
yang rata dan bervariasi. Kain kasa untuk saringan, biasanya terbuat dari sutra sintetis atau monyl yang diberi rangka kayu. Monyl
dilabur
dengan agar-agar chroom gelatin yang
peka cahaya. Kemudian sebuah rencana gambar kertas transparan, dipindahan ke
atas monyl dengan melalui proses
penyinaran. Bagian-bagian gelatin yang
kena cahaya mengeras. Sedangkan bagian-bagian gelap berupa gambar terbongkar
ketika monyl dicuci. Dengan demikian,
kita mendapatkan saringan sesuai dengan gambar rencana.
Tehnik
pochoir
Cara
ini hakekatnya ialah, bahwa celah-celah sebuah sablon diberi warna melalui sebuah pres atau kuas. Pada tehnik tua
ini masih kelihatan cara kerja khas si seniman.
Serigrafi atau
cetak saringan
Sebaiknya sablon itu terdiri dari film
yang dapat merekat sendiri, yang diletakkan pada tenunan yang halus, seperti sutera
dan akhir-akhir ini juga dari kain sintetis.
Melalui tenunan tersebut yang direntangkan pada bingkai kayu yang persegi
panjang atau bujur sangkar, pewarna melalui tetunan itu, orang menggunakan
sebuah penggaris baja khusus, dan harus dibuat jumlah saringan sebanyak itu
juga dapat langsung dilukis di atas tetunan yang disapu dengan suatu cairan,
sehingga lukisan mengelupas dan dengan begitu pewarna hanya melalui bagian-bagian
yang bersih ini. Sekarang orang juga menggunakan metode fotografi pada cetak. Serigrafi
saringan ini yang dilapisi bahan agar yang ‘peka cahaya’ dan sebuah foto disinari. Bagian-bagian yang kena
cahaya mengeras. Bagian-bagian yang gelap dan tidak kena cahaya; ada gambarnya
dan tetap lunak dicuci dengan air, sehingga kering dan pewarna dapat melalui
tempat-tempat ini (Riva Castleman, Modern Grafik, 1945). Seni
grafis adalah salah satu bidang seni rupa yang bergerak pada bidang pencetakan,
baik pencetakan yang berupa teknik manual maupun yang sudah digital, diantara
keduanya sama-sama grafis istilahnya namun dalam takaran seni perlu dibahas
lebih lanjut. Seni grafis secara kasar dapat digolongkan ke dalam salah satu
seni murni, hal ini didasarkan atas tujuan dan fungsi yang dibawa,yaitu untuk
memenuhi kepuasan atau untuk mengekspresikan diri. Adapun jika tujuan itu sudah
bergeser dari tujuan awal untuk memenuhi kepuaasan atau mengekspresikan
diri,maka timbul pertanyaan apakah seni grafis tersebut dapat digolongkan
kedalam seni murni atau seni terapan?,hal ini perlu dikaji lebih lanjut.
Perkembangan dunia percetakan tidak dapat dipungkiri telah berjalan dengan cepat. Meski demikian secara dasar teknik-teknik yang dipergunakan sama dengan berbagai teknik yang sudah lama digunakan seperti relief print, intaglio print, dsb, hanya saja ada beberapa aplikasi baru yang dapat digunakan dalam pembuatan seni grafis yang tidak jarang hasil yang dicapai lebih memuaskan. Aplikasi tersebut berupa pemanfaatan media komputerisasi sebagai sarana desain juga sarana pemudah pencetakan melalui digital printing.
Pemanfaatan media komputeisasi ini merupakan pemicu awal munculnya anggapan bahwa seni grafis mulai bergeser dari fungsi awalnya sebagai seni murni menjadi fungsi seni terapan bersanding dengan seni kriya dan desain. Anggapan pergeseran ini didasarkan pada tujuan pembutan karya itu sendiri, dengan munculnya media komputer maka kemudahan dalam hal pencapaian kuantitas yang diinginkan semakin menjanjikan sehingga semakin menggiurkan para seniman grafis ( pada mulanya) untuk terjun dalam dunia marketing. Selain dikuatkan oleh berbagai kemudahan tersebut pergeseran juga didorong oleh kebutuhan hidup yang semakin pelik disertai penyediaan peralatan untuk komputerisasi yang tidak murah.
Namun dalam hal ini tidak semuanya teknik grafis dapat dipukul rata dengan komputerisasi secara absolut, ada tiga teknik dari 4 teknik yang tidak dapat menggunakan teknik komputerisasi, yaitu teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak datar. Adapun cetak sablon dapat diganti dengan komputerisasi dikarenakan konsep dasar sablon adalah penciptaan karya 2 D tanpa tekstur, dan tanpa degradasi yang detail yang kesemua itu dapat dilakukan oleh komputer dengan mudah dan hasil yang lebih memuaskan (memakai software pendukung seperti corel,adobe,auto cad,dsb)
Teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak datar tidak dapat dipukul rata dengan sistem komputerisasi karena ketiganya memiliki ciri khusus yang tidak dapat digantikan fungsinya oleh komputer , meskipun dapat digantikan maka akan mempunyai karakteristik sendiri. Ciri- ciri khusus tersebut antara lain adalah ketiganya memiliki unsur tekstur,dan unsur goresan alamiah yang dihasilkan oleh acuan serta efek warna yang dapat diolah secara khusus oleh seniman dengan gayanya sendiri tentunya. Selain itu ada ciri khusus yang sifatnya dilandaskan pada kerumitan dan usaha keras yang dilakukan untuk menghasilkan karya grafis yang spektakuler, kerumitan dan usaha keras ini dapat mencangkup semua jenis teknik sebab kerumitan selalu disandarkan pada hal yang sifatnya manual dari pada otomatis (komputer).
Guru besar Seni Grafis Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Setiawan Sabana, mengungkapkan,”
berkembangnysa seni rupa, khususnya seni grafis, tidak independen. Banyak faktor lain yang memengaruhi, terutama infrastruktur atau teknik dan bahan dasar pembentuk media seni. “ Setiawan menegaskan,” seni grafis “berhak” berkembang dan sejajar dengan seni rupa lainnya. Seni tidak bisa dikotak-kotakkan dalam arus utama tertentu. “Janganlah kita batasi dan persoalkan medianya. Yang penting, isinya. Seni grafis yang konvensional sekalipun tidak bisa menutup diri dari perubahan zaman. Kontemporerisasi menjadi pilihan. Sebab, sejatinya negara ini memang tidak punya akar tradisi seni grafis. Kalau kita terus mengacu ke Eropa, kapan kita akan mengejar,” (kompas, 20 Maret 2007) Sehingga dalam kaitannya dengan media yang dipakai dalam pengungkapan kreatifitas seni grafis seharusnya tidak perlu diperdebatkan, yang utama adalah seni grafis yang meng-indonesia. Kajian singkat di atas adalah secarik pembahasan terkait muncullah istilah seni murni dan seni terapan. Keduanya adalah sama-sama seni hanya saja karena perbedaan tujuan dan perkembangan teknologilah istilah tersebut muncul. Teknologi adalah ikon terpenting yang memunculkan istilah tersebut. Teknologi adalah ikon modern, juga modernisasi. Semakin canggih teknologi semakin modern, dan itulah modernisasi. Modernisasi adalah sebuah upaya menyesuaikan kebiasaan dengan konstelasi ( gaya atau tren) dunia (Jim Supangkat). Konstelasi abad modern pada awalnya didominasi pemikiran Eropa Barat dan Amerika. Namun dalam era globalisasi, formasi konstelasi dunia ditentukan pola perkembangan negara-negara maju. Kedua tahap itu pada kenyataannya mengakibatkan sebuah penyeragaman dunia.
Seni grafis secara tidak langsung ( pada teknik tertentu) mulai menjamah modernisasi ( seni grafis modern). Hal ini ditandai dengan munculnya teknik-teknik kreatif baru sebagaimana Rolf Nesch (1893-1975), yang mendapat pengakuan internasional untuk teknik grafis logam, dan artis Sámi John Savio (1902-1938), dengan cetakan kayunya. Stanley Hayter Atelier 17 di Paris, yang berspesialisasi dalam teknik mencetak banyak warna hanya dengan menggunakan satu pelat. Berbagai teknik baru mulai diperkenalkan pada tahun 1970, termasuk cetakan di atas kain sutra, dan kebangkitan seni sketsa baik yang mengandung arti kiasan maupun tidak. Tahun 1970 seringkali dianggap sebagai jaman keemasan seni grafis, Nama yang patut diperhitungkan dalam beberapa tahun terakhir termasuk Bjørn-Willy Mortensen (1941-1993), Per Kleiva (b1933) dan Anders Kjær (1940). (http://www.norwegia.or.id/culture/painting/graphic/graphic.htm)
Dengan munculnya seni grafis modern maka ajang kreatifitas seniman garfis tidak dapat dibendung karena konsep dasar seni modern adalah unsur kreatifitas untuk memunculkan sesuatu yang baru. Sehingg a peluang kemunculan seni grafis terapan semakin besar. Hal ini ditandai dengan kemunculan omzet digital printing dan sablon yang digelar dalam pasar komersial. Padahal konsep dasar seni (termasuk seni rupa- seni grafis-) terkait estetika seni itu sendiri terletak pada nilainya, sedang nilai itu tidak dapat dikurskan dalam bentuk nominal secara pasti karena nilai itu adalah hal abstrak yang tidak memiliki batasan. Kalaupun karya seni itu dapat dipasarkan maka harga yang didapat adalah biaya operasional dan ongkos seniman atau pencipta, bukan harga dari nilai yang dimiliki karya tersebut. Selain hal itu terdapat manipulasi nilai karya seni grafis yang semakin mempertajam munculnya seni grafis terapan yaitu karya yang disandarkan pada permintaan pasar bukan pada kepuasan ekspresi pencipta.
Penggolongan Seni Grafis Berdasarkan Teknik
Penggolongan seni grafis berdasarkan teknik ini dikarenakan perbedaan acuan dan persyaratan yang harus dimiliki masing-masing teknik. Adapun teknik-teknik tersebut adalah teknik cetak tinggi ( Relief Print), teknik seni cetak datar (Surface screen), teknik cetak dalam ( intaglio print) dan tekni cetak saring( silk -screen).
Perkembangan dunia percetakan tidak dapat dipungkiri telah berjalan dengan cepat. Meski demikian secara dasar teknik-teknik yang dipergunakan sama dengan berbagai teknik yang sudah lama digunakan seperti relief print, intaglio print, dsb, hanya saja ada beberapa aplikasi baru yang dapat digunakan dalam pembuatan seni grafis yang tidak jarang hasil yang dicapai lebih memuaskan. Aplikasi tersebut berupa pemanfaatan media komputerisasi sebagai sarana desain juga sarana pemudah pencetakan melalui digital printing.
Pemanfaatan media komputeisasi ini merupakan pemicu awal munculnya anggapan bahwa seni grafis mulai bergeser dari fungsi awalnya sebagai seni murni menjadi fungsi seni terapan bersanding dengan seni kriya dan desain. Anggapan pergeseran ini didasarkan pada tujuan pembutan karya itu sendiri, dengan munculnya media komputer maka kemudahan dalam hal pencapaian kuantitas yang diinginkan semakin menjanjikan sehingga semakin menggiurkan para seniman grafis ( pada mulanya) untuk terjun dalam dunia marketing. Selain dikuatkan oleh berbagai kemudahan tersebut pergeseran juga didorong oleh kebutuhan hidup yang semakin pelik disertai penyediaan peralatan untuk komputerisasi yang tidak murah.
Namun dalam hal ini tidak semuanya teknik grafis dapat dipukul rata dengan komputerisasi secara absolut, ada tiga teknik dari 4 teknik yang tidak dapat menggunakan teknik komputerisasi, yaitu teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak datar. Adapun cetak sablon dapat diganti dengan komputerisasi dikarenakan konsep dasar sablon adalah penciptaan karya 2 D tanpa tekstur, dan tanpa degradasi yang detail yang kesemua itu dapat dilakukan oleh komputer dengan mudah dan hasil yang lebih memuaskan (memakai software pendukung seperti corel,adobe,auto cad,dsb)
Teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak datar tidak dapat dipukul rata dengan sistem komputerisasi karena ketiganya memiliki ciri khusus yang tidak dapat digantikan fungsinya oleh komputer , meskipun dapat digantikan maka akan mempunyai karakteristik sendiri. Ciri- ciri khusus tersebut antara lain adalah ketiganya memiliki unsur tekstur,dan unsur goresan alamiah yang dihasilkan oleh acuan serta efek warna yang dapat diolah secara khusus oleh seniman dengan gayanya sendiri tentunya. Selain itu ada ciri khusus yang sifatnya dilandaskan pada kerumitan dan usaha keras yang dilakukan untuk menghasilkan karya grafis yang spektakuler, kerumitan dan usaha keras ini dapat mencangkup semua jenis teknik sebab kerumitan selalu disandarkan pada hal yang sifatnya manual dari pada otomatis (komputer).
Guru besar Seni Grafis Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Setiawan Sabana, mengungkapkan,”
berkembangnysa seni rupa, khususnya seni grafis, tidak independen. Banyak faktor lain yang memengaruhi, terutama infrastruktur atau teknik dan bahan dasar pembentuk media seni. “ Setiawan menegaskan,” seni grafis “berhak” berkembang dan sejajar dengan seni rupa lainnya. Seni tidak bisa dikotak-kotakkan dalam arus utama tertentu. “Janganlah kita batasi dan persoalkan medianya. Yang penting, isinya. Seni grafis yang konvensional sekalipun tidak bisa menutup diri dari perubahan zaman. Kontemporerisasi menjadi pilihan. Sebab, sejatinya negara ini memang tidak punya akar tradisi seni grafis. Kalau kita terus mengacu ke Eropa, kapan kita akan mengejar,” (kompas, 20 Maret 2007) Sehingga dalam kaitannya dengan media yang dipakai dalam pengungkapan kreatifitas seni grafis seharusnya tidak perlu diperdebatkan, yang utama adalah seni grafis yang meng-indonesia. Kajian singkat di atas adalah secarik pembahasan terkait muncullah istilah seni murni dan seni terapan. Keduanya adalah sama-sama seni hanya saja karena perbedaan tujuan dan perkembangan teknologilah istilah tersebut muncul. Teknologi adalah ikon terpenting yang memunculkan istilah tersebut. Teknologi adalah ikon modern, juga modernisasi. Semakin canggih teknologi semakin modern, dan itulah modernisasi. Modernisasi adalah sebuah upaya menyesuaikan kebiasaan dengan konstelasi ( gaya atau tren) dunia (Jim Supangkat). Konstelasi abad modern pada awalnya didominasi pemikiran Eropa Barat dan Amerika. Namun dalam era globalisasi, formasi konstelasi dunia ditentukan pola perkembangan negara-negara maju. Kedua tahap itu pada kenyataannya mengakibatkan sebuah penyeragaman dunia.
Seni grafis secara tidak langsung ( pada teknik tertentu) mulai menjamah modernisasi ( seni grafis modern). Hal ini ditandai dengan munculnya teknik-teknik kreatif baru sebagaimana Rolf Nesch (1893-1975), yang mendapat pengakuan internasional untuk teknik grafis logam, dan artis Sámi John Savio (1902-1938), dengan cetakan kayunya. Stanley Hayter Atelier 17 di Paris, yang berspesialisasi dalam teknik mencetak banyak warna hanya dengan menggunakan satu pelat. Berbagai teknik baru mulai diperkenalkan pada tahun 1970, termasuk cetakan di atas kain sutra, dan kebangkitan seni sketsa baik yang mengandung arti kiasan maupun tidak. Tahun 1970 seringkali dianggap sebagai jaman keemasan seni grafis, Nama yang patut diperhitungkan dalam beberapa tahun terakhir termasuk Bjørn-Willy Mortensen (1941-1993), Per Kleiva (b1933) dan Anders Kjær (1940). (http://www.norwegia.or.id/culture/painting/graphic/graphic.htm)
Dengan munculnya seni grafis modern maka ajang kreatifitas seniman garfis tidak dapat dibendung karena konsep dasar seni modern adalah unsur kreatifitas untuk memunculkan sesuatu yang baru. Sehingg a peluang kemunculan seni grafis terapan semakin besar. Hal ini ditandai dengan kemunculan omzet digital printing dan sablon yang digelar dalam pasar komersial. Padahal konsep dasar seni (termasuk seni rupa- seni grafis-) terkait estetika seni itu sendiri terletak pada nilainya, sedang nilai itu tidak dapat dikurskan dalam bentuk nominal secara pasti karena nilai itu adalah hal abstrak yang tidak memiliki batasan. Kalaupun karya seni itu dapat dipasarkan maka harga yang didapat adalah biaya operasional dan ongkos seniman atau pencipta, bukan harga dari nilai yang dimiliki karya tersebut. Selain hal itu terdapat manipulasi nilai karya seni grafis yang semakin mempertajam munculnya seni grafis terapan yaitu karya yang disandarkan pada permintaan pasar bukan pada kepuasan ekspresi pencipta.
Penggolongan Seni Grafis Berdasarkan Teknik
Penggolongan seni grafis berdasarkan teknik ini dikarenakan perbedaan acuan dan persyaratan yang harus dimiliki masing-masing teknik. Adapun teknik-teknik tersebut adalah teknik cetak tinggi ( Relief Print), teknik seni cetak datar (Surface screen), teknik cetak dalam ( intaglio print) dan tekni cetak saring( silk -screen).
Teknik Seni Cetak Tinggi ( Relief Print)
Pengertian
Seni Cetak tinggi; Relief print atau Cetak Tinggi adalah salah satu dari beberapa macam teknik
print atau cetak yang memiliki acuan permukaan timbul atau meninggi,.dimana
berfungsi sebagai penghantar tinta (baik monokrom atau polikrom). Sedang bagian
yang dasar atau permukaan yang tidak timbul merupakan bagian yang tidak akan
terkena tinta atau disebut bagian negatif,sedang bagian yang kena tinta disebut
bagian positif. Untuk memperoleh wujud acuan yang timbul tersebut dapat dikerjakan dengan cara
menghilangkan bagian-bagian yang tidak diperlukan menghantarkan tinta,sehingga
tinggal bagian-bagian yang difungsikan sebagai penghantar warna atau tinta.
Menoreh bagian-bagian yang tidak diperlukan bukan satu-satunya cara atau
tekhnik untuk mewujudkan acuan cetak timbul,teknik laiin dapat pula dapat pula
diperoleh dengan menempelkan atau merekatkan bahan-bahan yang akan dipergunakan
sebagai penghantar warna atau tinta cetak.teknik ini merupakan teknik lain
untuk mewujudkan acuan cetak timbul yang sederhana pula. Tapi perlu diwaspadai
bahwa penggunaan metode tempel ini memiliki kelemahan pada bagian
tempelnya/kolasenya jika pengelemannya dan bahan yang digunakan tidak baik.
Salah satu sifat cetak timbul atau cetak tinggi adalah bila acuannya sendiri
diamati baik-baik, maka permukaan acuan akan tampak sebgai permukaan yang
berukir atau berelief. Karena itu cetak tinggi disebut pula sebagai cetak
relief atau relief print.
Sebagaimana telah disinggung pada paragraf di atas bahwa untuk memperoleh acuan dapat diperoleh dengan cara menoreh atau menempel, maka berikut akan dijelaskan beberapa jenis teknik cetak tinggi.
Sebagaimana telah disinggung pada paragraf di atas bahwa untuk memperoleh acuan dapat diperoleh dengan cara menoreh atau menempel, maka berikut akan dijelaskan beberapa jenis teknik cetak tinggi.
Beberapa
Jenis Teknik Cetak Tinggi.
Teknik
Woodcut/ Cukil Kayu
Sejarah
Singkat Perkembangan Teknik Woodcut/ Cukil Kayu/ relief
Cukil kayu / woodcut yang sering disebut juga sebagai xilografi (xylography),
sebagai teknis grafis paling awal, kian lama kian ditinggalkan meskipun
sebenarnya masih cukup bermanfaat bagi beberapa kebudayaan, mengingat
kelebihan-kelebihan yang bermanfaat bagi perjuangan-perjuangan pada kondisi
tertentu.
Teknik cukil kayu ini di China telah digunakan untuk mencetak gambar dan tulisan sejak abad ke-5. sedangkan di Eropa teknik ini dikembangkan sekitar tahun 1400an hingga teknik serupa dimassalkan oleh Gutenberg. Di Jepang cukil kayu yang dikenal sebagai Ukiyo-e, pernah mengalami masa keemasan di masa periode Edo (1600-1868 Masehi). Cetakan-cetakan tersebut berupa fiksi yang banyak bersubyekkan dunia Geisha serta prostitusi yang marak di jaman feodal Jepang saat itu. Cetakan-cetakan tersebut sangat digandrungi masyarakat klas menengah atas saat itu. Cetakan-cetakan yang halus dirilis dalam ilustrasi buku ini kemudian menjadi ikon seni rupa Jepang saat itu, bahkan Ukiyo-e merupakan cikal bakal bagi perkembangan komik Jepang ang membanjiri toko buku-toko buku dunia saat ini. Namun dengan adanya Restorasi Meiji, sebagai respon dari tekanan Komodor Perry bersama Delegasi Amerika dalam Perjanjian Tanagawa pada tahun 1854 untuk membuka pasar serta peradabannya. Setelahnya, para interprenur barat telah memboyong tradisi seni Jepang ke dunia barat tewrutama ke Paris. Setelah kedatangan mereka, produk-produk seni budaya termasuk tradisi cukil kayu membanjiri dunia barat terutama Paris yang menjadi pusat kesenian saat itu. para pelukis beraliran Impresionist maupun post-Impresionis beramai-ramai menggunakan semangat, teknik ataupun efek teknik Ukiyo-e dalam berkarya. Sedangkan di Jepang sendiri perkenalan teknik cetak yang lebih efisien untuk industri pencetakan modern yang diimport dari dunia barat telah meredupkan tradisi Ukiyo-e. Di Eropa banyak pula pekarya yang menggunakan media ini untuk berkarya serta mengekspresikan pandangan sosial politiknya. seperti Kathe Kolwitz yang dengan lihainya menggambarkan pergolakan politik di masa dan tempatnya berpijak.Sedangkan di Indonesia sebelum dan setelah jatuhnya Rezim Orde Baru di bawah komando Jendral bintang lima Soeharto cukil kayu menjamur sebagai alat untuk memotret realita; merespon permasalahan sosial hingga mengagitasi( merombak) kesadaran masa untuk berontak dan melawan kezaliman yang digelorakan oleh JAKER (Jaringan Kerja kesenian Rakyat) termasuk kelompok-kelompok yang ada diorbit mereka seperti Komunitas Anak-Anak Sanggar Suka Banjir, Solo yang telah mengenal alat ini seperti yang terlihat disebuah terbitan alternatif Ajang sebelum keruntuhan rezim di atas. Perlu disebut, Penggunaan media cukil kayu pernah mencapai masa keemasannya ketika media ini diusung oleh Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi yang berbasiskan mahasiswa-mahasiswa ISI (Institut Seni Indonesia). Karya-karya tinggi estetika yang bertemakan ajakan melawan sisa-sisa orde baru, tema lingkungan hidup serta tema kerakyartan lainnya. Dewasa ini media propaganda cukil kayu semakin ditinggalkan. Tradisi ini hanya tersisa dibeberapa komunitas marjinal seperti Sanggar Caping, Nurani Senja, Indie Art, JAKER, serta beberapa komunitas lainnya. Hal ini disebabkan oleh dua hal yang mendasar. Pertama, sebagai media berekspresi telah berkembang media-media baru seperti berkembangnya teknis pencetakan. Pencetakan selebaran, poster maupun media propaganda lainnya semakin massal, mudah dan murah.Kedua, berkembang pesatnya komputer grafis mengakibatkan migrasinya sebagian besar pekarya untuk menggunakan photoshop, Corel Draw dan lain sebagainya sebagai bahasa visual.
Namun ketika hak paten didengungkan, termasuk software komputer grafis sepenuhnya berpaten sebagai konsekuensi dari globalisasi, sehingga berimbas kepada harga yang mahal kalau tidak berhadapan dengan mekanisme hukum sebagai pembajak, beberapa pihak mencoba kembali menggunakan kembali seni cukil kayu. Termasuk yang dilakukan oleh Galeri Publik, institute for Global Justice yang bekerja sama dengan JAKER dan Indie art. Mereka mengadakan diskusi tentang media ini dan kemudian merancang serta melaksanakan workshop-workshop cukil kayu di beberapa komunitas kaum miskin kota dan komunitas buruh dipinggiran Jakarta yang kemudian dipamerkan. Ternyata sambutan masyarakat begitu antusias, ketika hasil karya manual dapat diperbanyak secara instan. Tema-temanya pun beragam, tetapi ternyata banyak dari karya-karya pesaerta workshop yang kebanyakan pemuda, pekerja seni maupun buruh ini banyak bicara tentang sistem ekonomi politik yang ada dikaitkan dengan realitas sosial yang ada. Dari gambaran kekumuhan di bawah jembatan layang, hingga badan-badan ekonomi dunia yang samar samar mereka pahami sebagai penyebab krisis ekonomi yang ada. Jelas sudah rakyat awam membutuhkan media-media alternatif untuk ‘berbicara’ ketika media massa besar dirasakan kurang menggambarkan permasalahan sesungguhnya di tingkatan keseharian. Nampaknya gairah itu menyeruak kembali. (http://revitriyoso.multiply.com/journal/item/16/CUKIL_KAYU_MEDIA_PROPAGANDA)
Pengertian dan Prosedur Teknik woodcut/ Relief/ Cukil Kayu
Teknik woodcut adalah teknik cetak tinggi yang menggunakan bahan dasar sebuah papan kayu yang diratakn permukaanya. Jenis kayu dan bentuk kayu yang digunakan tergantung selera penciptanya sendiri. Adapun urutan kerja atau proses kerja pembuatan karya grafis dengan teknik ini adalah sbb:
Pertama, merencanakan desain atau gambar kerja yang merupakan tuangan ide yang unik lagi artistik pada suatu bidang gambar. Rencana atau desain ini harus dibuat terlebih dahulu sebab tanpa melalui fase ini proses pembuatannya nanti akan terhambat atau akan gagal. Kedua, memilah gambar mana yang akan dijadikan sebagai penghantar tinta dan mana yang bukan. Ketiga, memindahkan rencana atau desain tersebut ke permukaan atau bidang papan kayu yang akan dicukil atau ditoreh. Keempat, menoreh atau mencukil bagian yang tidak digunakan untuk menghantarkan tinta ( bagian negatif) dengan menggunakan pisau cukil( wood cut). Teknik mencukil ini hendaknya memperhatikan arah serat kayu, disamping itu kondisi alat cukilnya juga tajam.
Kelima, setelah pekerjaan menoreh atau mencukil diangap selesai, maka acuan cetak telah terwujud, dengan demikian acuan siap untuk dilumuri warna atau tinta cetak terlebih dahulu.
Teknik cukil kayu ini di China telah digunakan untuk mencetak gambar dan tulisan sejak abad ke-5. sedangkan di Eropa teknik ini dikembangkan sekitar tahun 1400an hingga teknik serupa dimassalkan oleh Gutenberg. Di Jepang cukil kayu yang dikenal sebagai Ukiyo-e, pernah mengalami masa keemasan di masa periode Edo (1600-1868 Masehi). Cetakan-cetakan tersebut berupa fiksi yang banyak bersubyekkan dunia Geisha serta prostitusi yang marak di jaman feodal Jepang saat itu. Cetakan-cetakan tersebut sangat digandrungi masyarakat klas menengah atas saat itu. Cetakan-cetakan yang halus dirilis dalam ilustrasi buku ini kemudian menjadi ikon seni rupa Jepang saat itu, bahkan Ukiyo-e merupakan cikal bakal bagi perkembangan komik Jepang ang membanjiri toko buku-toko buku dunia saat ini. Namun dengan adanya Restorasi Meiji, sebagai respon dari tekanan Komodor Perry bersama Delegasi Amerika dalam Perjanjian Tanagawa pada tahun 1854 untuk membuka pasar serta peradabannya. Setelahnya, para interprenur barat telah memboyong tradisi seni Jepang ke dunia barat tewrutama ke Paris. Setelah kedatangan mereka, produk-produk seni budaya termasuk tradisi cukil kayu membanjiri dunia barat terutama Paris yang menjadi pusat kesenian saat itu. para pelukis beraliran Impresionist maupun post-Impresionis beramai-ramai menggunakan semangat, teknik ataupun efek teknik Ukiyo-e dalam berkarya. Sedangkan di Jepang sendiri perkenalan teknik cetak yang lebih efisien untuk industri pencetakan modern yang diimport dari dunia barat telah meredupkan tradisi Ukiyo-e. Di Eropa banyak pula pekarya yang menggunakan media ini untuk berkarya serta mengekspresikan pandangan sosial politiknya. seperti Kathe Kolwitz yang dengan lihainya menggambarkan pergolakan politik di masa dan tempatnya berpijak.Sedangkan di Indonesia sebelum dan setelah jatuhnya Rezim Orde Baru di bawah komando Jendral bintang lima Soeharto cukil kayu menjamur sebagai alat untuk memotret realita; merespon permasalahan sosial hingga mengagitasi( merombak) kesadaran masa untuk berontak dan melawan kezaliman yang digelorakan oleh JAKER (Jaringan Kerja kesenian Rakyat) termasuk kelompok-kelompok yang ada diorbit mereka seperti Komunitas Anak-Anak Sanggar Suka Banjir, Solo yang telah mengenal alat ini seperti yang terlihat disebuah terbitan alternatif Ajang sebelum keruntuhan rezim di atas. Perlu disebut, Penggunaan media cukil kayu pernah mencapai masa keemasannya ketika media ini diusung oleh Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi yang berbasiskan mahasiswa-mahasiswa ISI (Institut Seni Indonesia). Karya-karya tinggi estetika yang bertemakan ajakan melawan sisa-sisa orde baru, tema lingkungan hidup serta tema kerakyartan lainnya. Dewasa ini media propaganda cukil kayu semakin ditinggalkan. Tradisi ini hanya tersisa dibeberapa komunitas marjinal seperti Sanggar Caping, Nurani Senja, Indie Art, JAKER, serta beberapa komunitas lainnya. Hal ini disebabkan oleh dua hal yang mendasar. Pertama, sebagai media berekspresi telah berkembang media-media baru seperti berkembangnya teknis pencetakan. Pencetakan selebaran, poster maupun media propaganda lainnya semakin massal, mudah dan murah.Kedua, berkembang pesatnya komputer grafis mengakibatkan migrasinya sebagian besar pekarya untuk menggunakan photoshop, Corel Draw dan lain sebagainya sebagai bahasa visual.
Namun ketika hak paten didengungkan, termasuk software komputer grafis sepenuhnya berpaten sebagai konsekuensi dari globalisasi, sehingga berimbas kepada harga yang mahal kalau tidak berhadapan dengan mekanisme hukum sebagai pembajak, beberapa pihak mencoba kembali menggunakan kembali seni cukil kayu. Termasuk yang dilakukan oleh Galeri Publik, institute for Global Justice yang bekerja sama dengan JAKER dan Indie art. Mereka mengadakan diskusi tentang media ini dan kemudian merancang serta melaksanakan workshop-workshop cukil kayu di beberapa komunitas kaum miskin kota dan komunitas buruh dipinggiran Jakarta yang kemudian dipamerkan. Ternyata sambutan masyarakat begitu antusias, ketika hasil karya manual dapat diperbanyak secara instan. Tema-temanya pun beragam, tetapi ternyata banyak dari karya-karya pesaerta workshop yang kebanyakan pemuda, pekerja seni maupun buruh ini banyak bicara tentang sistem ekonomi politik yang ada dikaitkan dengan realitas sosial yang ada. Dari gambaran kekumuhan di bawah jembatan layang, hingga badan-badan ekonomi dunia yang samar samar mereka pahami sebagai penyebab krisis ekonomi yang ada. Jelas sudah rakyat awam membutuhkan media-media alternatif untuk ‘berbicara’ ketika media massa besar dirasakan kurang menggambarkan permasalahan sesungguhnya di tingkatan keseharian. Nampaknya gairah itu menyeruak kembali. (http://revitriyoso.multiply.com/journal/item/16/CUKIL_KAYU_MEDIA_PROPAGANDA)
Pengertian dan Prosedur Teknik woodcut/ Relief/ Cukil Kayu
Teknik woodcut adalah teknik cetak tinggi yang menggunakan bahan dasar sebuah papan kayu yang diratakn permukaanya. Jenis kayu dan bentuk kayu yang digunakan tergantung selera penciptanya sendiri. Adapun urutan kerja atau proses kerja pembuatan karya grafis dengan teknik ini adalah sbb:
Pertama, merencanakan desain atau gambar kerja yang merupakan tuangan ide yang unik lagi artistik pada suatu bidang gambar. Rencana atau desain ini harus dibuat terlebih dahulu sebab tanpa melalui fase ini proses pembuatannya nanti akan terhambat atau akan gagal. Kedua, memilah gambar mana yang akan dijadikan sebagai penghantar tinta dan mana yang bukan. Ketiga, memindahkan rencana atau desain tersebut ke permukaan atau bidang papan kayu yang akan dicukil atau ditoreh. Keempat, menoreh atau mencukil bagian yang tidak digunakan untuk menghantarkan tinta ( bagian negatif) dengan menggunakan pisau cukil( wood cut). Teknik mencukil ini hendaknya memperhatikan arah serat kayu, disamping itu kondisi alat cukilnya juga tajam.
Kelima, setelah pekerjaan menoreh atau mencukil diangap selesai, maka acuan cetak telah terwujud, dengan demikian acuan siap untuk dilumuri warna atau tinta cetak terlebih dahulu.
Pada
prinsipnya setiap acuan atau bagian yang positif akan dipergunakan dalam proses
pencetakan hanya untuk satu warna saja,oleh karena itu bila menghendaki atau
ingin membuat karya yang multi warna atau poli warna, maka acuan yang
dipergunakan untuk menghantarkan warna harus sesuai dengan jumlah warna yang
dikehendaki. Tentunya tanpa menyiapkan atau merencanakan desain yang lengkap
atau rinci alan mengalami kesulitan dalam mencari ketepatan atau kesempurnaan
hasil cetakannya. Dengan demikian untuk memudahkan dan mencari ketepatan atau
kesempurnaan hasil karya, pertama-tama harus dibuat desain induk yang telah
lengkap dengan warna yang dikehendaki,yang kemudian dibuat separasi gambar
kerja. Sehingga untuk setiap warna ditera terpisah pada bidang bahan acuan yang
berlainan.
Peralatan Cetak Tinggi
Karya cetak tinggi dapat terwujud melaluia beberapa cara yaitu teknik Woodblock,Hardboard, Linocut, dan Collage. Karena perbedaan teknik itulah
maka alat yang dipergunakan berbeda pula, alat tersebut antara lain sebagai berikut:
Pisau Cukil
Alat ini dipergunakan untuk mencukil bagian dari kayu yang tidak dipergunakan untuk menghantarkan tinta. Bentuk ujung pisau cukil bervariasi,yaiut berbentuk lengkung kecil, dan lengkung sedang, berbentuk “v” kecil dan “v” besar, beerbentuk datar, dan berbentuk serong.
Karya cetak tinggi dapat terwujud melaluia beberapa cara yaitu teknik Woodblock,Hardboard, Linocut, dan Collage. Karena perbedaan teknik itulah
maka alat yang dipergunakan berbeda pula, alat tersebut antara lain sebagai berikut:
Pisau Cukil
Alat ini dipergunakan untuk mencukil bagian dari kayu yang tidak dipergunakan untuk menghantarkan tinta. Bentuk ujung pisau cukil bervariasi,yaiut berbentuk lengkung kecil, dan lengkung sedang, berbentuk “v” kecil dan “v” besar, beerbentuk datar, dan berbentuk serong.
kaca
Alat ini digunakan untuk mengaduk atau tempat mengolah tinta,
Alat Kapi/ Palet
Alat ini digunakan untuk mengaduk atau mencampur tinta di permukaan kaca.
Alat ini digunakan untuk mengaduk atau tempat mengolah tinta,
Alat Kapi/ Palet
Alat ini digunakan untuk mengaduk atau mencampur tinta di permukaan kaca.
Rol
Alat ini terbuat dari karet dengan pegangan kayu ada pula yang besi. Rol karet ini berfungsi untuk menghantarkan tinta dari kaca setelah megalami fase pengolahan, ke kayu yang telah ditoreh dengan pisau cukil.
Alat ini terbuat dari karet dengan pegangan kayu ada pula yang besi. Rol karet ini berfungsi untuk menghantarkan tinta dari kaca setelah megalami fase pengolahan, ke kayu yang telah ditoreh dengan pisau cukil.
Hand-Press
Hand-press atau alat tekan adalah alat yang digunakan untuk mencetak acuan kebidang kertas.
Hand-press atau alat tekan adalah alat yang digunakan untuk mencetak acuan kebidang kertas.
Bahan Cetak Tinggi
Bahan yang digunakan secara umum adalah Tinta,Afduner/Tiner, dan Kertas manila atau sejenisnya baik berwarna maupun tidak. Sedang bahan secara Khusus tergantung teknik yang digunakan, teknik Woodblock menggunakan bahan kayu, teknik Harboard menggunakan bahan Hardboard, teknik Linocut menggunakan bahan linolium, teknik Collage menggunakan bahan karton atau bahan lain yang memiliki sifat-sifat seperti karton.
Bahan yang digunakan secara umum adalah Tinta,Afduner/Tiner, dan Kertas manila atau sejenisnya baik berwarna maupun tidak. Sedang bahan secara Khusus tergantung teknik yang digunakan, teknik Woodblock menggunakan bahan kayu, teknik Harboard menggunakan bahan Hardboard, teknik Linocut menggunakan bahan linolium, teknik Collage menggunakan bahan karton atau bahan lain yang memiliki sifat-sifat seperti karton.
Karya Seni Grafis Teknik Cetak Saring atau Sablon dari Agus Mulyadi Utomo
ijin buat tugas yok :))
BalasHapus1 lagi, itu bener dari indo??
BalasHapusTerima kasih informasinya...
BalasHapusSangat bermanfaat.
KISAH CERITA AYAH SAYA SEMBUH BERKAT BANTUAN ABAH HJ MALIK IBRAHIM
BalasHapusAssalamualaikum saya atas nama Rany anak dari bapak Bambang saya ingin berbagi cerita masalah penyakit yang di derita ayah saya, ayah saya sudah 5 tahun menderita penyakit aneh yang tidak masuk akal, bahkan ayah saya tidak aktif kerja selama 5 tahun gara gara penyakit yang di deritanya, singkat cerita suatu hari waktu itu saya bermain di rmh temen saya dan kebetulan saya ada waktu itu di saat proses pengobatan ibu temen saya lewat HP , percaya nda percaya subahana lah di hari itu juga mama temen saya langsung berjalan yang dulu'nya cuma duduk di kursi rodah selama 3 tahun,singkat cerita semua orang yang waktu itu menyaksikan pengobatan bapak kyai hj Malik lewat ponsel, betul betul kaget karena mama temen saya langsung berjalan setelah di sampaikan kepada hj Malik untuk berjalan,subahanallah, dan saya juga memberanikan diri meminta no hp bapak kyai hj malik, dan sesampainya saya di rmh saya juga memberanikan diri untuk menghubungi kyai hj Malik dan menyampaikan penyakit yang di derita ayah saya, dan setelah saya melakukan apa yang di perintahkan sama BPK kyai hj Malik, 1 jam kemudian Alhamdulillah bapak saya juga langsung sembuh dari penyakitnya lewat doa bapak kyai hj Malik kepada Allah subahanallah wataala ,Alhamdulillah berkat bantuan bpk ustad kyai hj Malik sekarang ayah saya sudah sembuh dari penyakit yang di deritanya selama 5 tahun, bagi saudara/i yang mau di bantu penyembuhan masalah penyakit gaib non gaib anda bisa konsultasi langsung kepada bapak kyai hj Malik no hp WA beliau 0823-5240-6469 semoga lewat bantuan beliau anda bisa terbebas dari penyakit anda. Terima kasih