Laman

Pengikut

Minggu, 04 Maret 2012

PEMAHAMAN PRODUK KEKRIYAAN

PEMAHAMAN KRIYA PRODUK
Oleh Agus Mulyadi Utomo


 

Setengah abad istilah kekriyaan telah digunakan dalam pendidikan di Indonesia, namun demikian sampai sekarang pengertian kriya masih saja menjadi perdebatan dikalangan akademisi dengan interprestasinya sendiri-sendiri. Kajian kekriyaan dilihat dari  berbagai pandangan dengan berbagai argumentasi yang berbeda, sehingga berimplikasi pada pemahaman peserta didik serta orientasi penciptaan produk kekriyaan yang berbeda-beda pula. Sulitnya menentukan difinisi kriya yang dianggap akurat juga disebabkan oleh adanya perkembangan produk kekriyaan yang begitu pesat, seiring dengan perkembangan IPTEKS itu sendiri. Di samping itu cakupan kriya yang sangat luas serta kreativitas para seniman, kriyawan, perajin dan pengusaha dalam membuat produk kreatif dan inovatif, sehingga agak menyulitkan untuk mendefinisikan kriya secara universal karena akan selalu bersinggungan dengan konsep nilai seni, nilai desain dan nilai produk serta nilai yang lainnya.


          Sungguh sangat ironis, bila masyarakat masih merasa awam dan kurang akrab dengan istilah kriya, secara umum  dipahami oleh masyarakat adalah sebagai kerajinan. Seolah-olah masyarakat tidak mengenal seni kriya, pada hal mereka sebenarnya sudah banyak bergelut dan berjuang dalam bidang tersebut. Mereka tidak memahami bahwa apa yang mereka ciptakan dan menjadi mata pencahariannya adalah bidang kekriyaan. Istilah kriya rupanya hanya dikenal oleh masyarakat akademik, yang mana di lingkungan akademik ini pun masih selalu menjadi ajang perdebatan. Sudah sepantasnya penulis sebagai insan akademis untuk mendiskripsikan kriya dan mensosialisasikan pada masyarakat luas, sehingga produk kekriyaan semakin dikenali dan menjadikan marak tumbuh kembangnya di masyarakat.    

          Kriya termasuk dalam lingkup dunia seni rupa. Bisa sebagai bagian seni tersendiri, yang terpisah dari seni rupa murni. Jika sebelumnya dikenal ada istilah “seni kriya” sebagai bagian dari “seni murni”, namun kemudian menjadi “kriya seni”, lalu menjadi berkembang dan disebut dengan istilah “kriya" saja, yang menghasilkan produk kekriyaan dengan penggunaan beragam bahan dan fungsi.  

Kriya merupakan peng-Indonesia-an dari istilah Inggris yakni Craft, yaitu kemahiran membuat produk yang bernilai artistik (buatan seniman) dengan keterampilan tangan, produk yang dihasilkan umumnya eksklusif dan dibuat tunggal, baik atas pesanan ataupun kegiatan kreatif individual. Ciri karya kriya adalah produk yang memiliki nilai keadiluhungan baik dalam segi estetik (keindahan) maupun guna. Sedangkan karya kriya yang kemudian dibuat secara massal (produksi) umumnya dikenal sebagai barang atau “produk kerajinan”. Gambaran tentang perkembangan produk kekriyaan masa kini, akan dijelaskan mulai dari pemahaman tentang pengertian kriya, lalu tentang pengertian kerajinan yang diikuti hal-hal yang mempengaruhi dalam pekerjaan seperti ergonomi, desain, teknik dan fungsi serta produk itu sendiri. Juga akan dibahas sekilas tentang sejarah tentang kekriyaan Indonesia.

Pengertian Kriya
            Kriya berasal dari kata: “Creat” bisa juga dari “Kria” atau “Kriya” atau “Kr” dari bahasa Sansekerta yg berarti “kerja”, “Karya” (= produk), “Pakaryan” (bhs.Jawa), dan pembuatnya atau pekerja atau penganut (orang) disebut “Kriyawan” atau “Pengrajin” atau “Perajin” atau “Karyawan” atau “Undagi
(kecakapan atau keterampilan teknik) atau “Empu” (cerdik pandai atau ahli yang mumpuni) atau “Ahli Teknik Pertukangan” atau “Ahli Berseni”.

            Untuk menguak pengertian kriya, sebenarnya berasal dari rumpun senirupa pada umumnya. Dari pengertian art (seni Barat), yang semula dari istilah techne (bahasa Yunani), yang berati kecakapan dalam mengolah medium (kemampuan teknik) yang umumnya disebut craftsmanship, ide dan sensibilitas estetis. Kecakapan ‘techne’ tersebut dipadankan dalam bahasa Jawa Kuno yang diistalahkan dengan kata ‘kagunan’, meliputi bidang seni tiga dimensional dan dua dimensional, seperti candi, patung, pahat atau ukir, relief, arsitektur bangunan, lukisan atau gambar, perhiasan atau aksesories, pakaian atau busana, perlengkapan rumah tangga dan mebelair, termasuk seni pertunjukan. Kemudian ada usaha dari berbagai pihak untuk memberikan makna baru di dunia Barat dan memisahkannya dalam artes liberalles (rumpun seni murni), yang melahirkan ‘seni untuk seni’ dan semangat avant garde serta seni modern sampai seni post-modern. Dan artes servilles (rumpun seni terapan atau fungsional), berorientasi pada kebutuhan sosial-ekonomi-budaya dan kebutuhan material yang bersifat fungsional. Selanjutnya produk kekriyaan dalam perkembangannya penuh dengan dinamika, sesuai perkembangan zaman dan komunikasi yang bersifat global.

          Dalam bahasa Inggris, kata yang berhubungan dengan makna ‘kriya’ ditemukan dalam arti ‘handycraft’ yaitu berarti pertukangan / keprigelan / ketrampilan tangan. Disini keprigelan, menunjuk keahlian atau ketrampilan yang dapat menghasilkan benda (produk). Sedangkan kata ‘craftsman’ berarti tukang, ahli, juru, seniman, kriyawan, yang mempunyai keahlian tertentu sehingga dapat menghasilkan produk kekriyaan, misalnya mebelair, peralatan rumah tangga, dekorasi interior dan eksterior, model-busana, lukisan, patung dan perhiasan atau aksesories lainnya. Disamping itu ada juga ‘craftsmanship’ berarti keahlian atau ketrampilan (John M. Echols dan Hasan shadily 1993:153,288).

            Pemahaman kriya secara konvensional adalah: kriya sebagai produk kreativitas yang ditunjang dengan kemampuan tangan manusia dan tumbuh dari lingkungan budaya tertentu yang bertumpu pada tradisi, mempunyai sifat etnis, folkloris, dan vernacular. Kriya selalu melibatkan unsur tempat asal, ketrampilan tangan tinggi, kreatifitas, tradisi dan lingkungan. Secara tradisional kriya selalu disosialisasikan dengan daerah penghasilnya.

            Widagdo, menyebut kriya adalah sebagai bentuk budaya dari pra-industri yang masih eksis atau dapat hadir sampai pada masa kini, meskipun dalam kontek yang berbeda. Sebagai produk budaya pra-industri, kriya diciptakan untuk keperluan khusus, yang lebih banyak untuk keperluan seremonial yang sering disebut sebagai karya kriya “Adiluluhung”. Padananannya adalah pada jaman  renaesance adalah “High Culture”. Sedangkan karya yang dibuat untuk kebutuhan profan yang disebut dengan “Mass Culture”. Benda-benda ini mempunyai tujuan pragmagtis dan mempunyai manfaat praktis. (Widagdo,1999: 6.)

          Joop Ave, secara panjang lebar menjelaskan, berpendapat bahwa kriya secara sederhana disamakan atau dianalogikan dengan kerajinan atau terjemahan sebagai “craft” atau “Handicraft”. Menurutnya kriya memiliki pengertian lebih dari sekedar “Craft” yang berarti kerajinan tangan. Meskipun memiliki kesamaan namun kriya memiliki dimensi lain, yang sama dengan karya seni adiluhung (bernilai luhur). Secara harfiah salah satu arti craft adalah ketrampilan manual (manual
skill). Produksi craft memang memerlukan “craftsmanship” yaitu keahlian khusus tidak sekedar tenaga, dalam arti “labor” atau “workmanship” untuk membedakan dengan kerajinan rakyat. Kriya dan kerajinan walaupun kelihatannya hampir sama, tetapi apabila dicermati lebih dalam sangat berbeda. Kerajinan dibuat dengan ketrampilan tertentu, tetapi lebih cenderung membutuhkan “workmanship”, yaitu ketrampilan yang terbentuk karena terbiasa dan dimiliki oleh hampir seluruh masyarakat disuatu daerah tertentu. Sedangkan kriya lebih membutuhkan “craftsmanship” (meskipun tentu saja tidak mungkin tidak membutuhkan “workmanship”) yang dimiliki hanya oleh orang-orang tertentu yang dianggap ahli.

            Tadahiro Baba, salah satu pakar kriya modern Jepang mengatakan bahwa esensi kriya adalah barang hasil ciptaan dari kebudayaan sehari-hari (dialy culture) berbasis tradisi, historis, kepercayaan nilai-nilai dan iklim lokal. Keberadaan barang kriya akan tetap langgeng di tengah masyarakat, apabila benda tersebut digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan strategi pengembangan produk yang meliputi aspek-aspek kebaharuan fungsi, originalitas bentuk dan ketetapan dalam pemilihan atau memerlukan material. Pada dasarnya kriya dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:
1.    Kriya tradisional yang dapat dikategorikan sebagai “Heritage” atau benda-benda peninggalan yang terkait dengan budaya suatu daerah tertentu, sangat terkait dengan sejarah dan kehidupan masa lampau, terutama kehidupan para bangsawan, benda-benda yang terkait dengan tradisi, upacara ritual maupun seremonial.
2.    Kriya baru yang berbasis tradisi yaitu produk-produk yang dihasilkan dan dipakai saat ini, yaitu kriya sebagai bagian dari kehidupan masa kini yang masih mengakar pada tradisi, sebagai bagian dari suatu “living culture”.
3.    Kriya kontemporer yaitu kriya yang diproduksi berbasiskan bentuk dan gaya tanpa harus terikat dengan tradisi masyarakat. Kriya sebagai ekspresi kriyawan untuk memenuhi kepuasan jiwanya.

            Tjetjep Rohendi Rohidi, berpendapat bahwa kriya secara umum dipahami sebagai suatu karya yang dikerjakan dengan menggunakan alat-alat sederhana, mengandalkan kecekatan tangan, dengan dasar industri rumah tangga, dan secara fungsional memiliki kegunaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kepentingan ekonomi. Karya kriya sangat kental merefleksikan lingkungan budaya dan geografis tempat karya itu diciptakan. Dalam karya kriya tercermin pula nilai-nilai estetika, etika, dan logika di samping nilai craftsmanship. Seni kriya eksplorasinya lebih dititik beratkan pada pencarian nilai-nilai masa lalu, originalitas etnis dan kemurnian, khusus, dan tidak mencitrakan pengembangan kearah produktifitas dengan kualitas yang dapat diandalkan.

          Edi Sedyawati, yang juga mengulas kriya mengatakan bahwa kata “kriya” yang digunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata sansekerta Kriya(F), yang juga diambil alih ke dalam bahasa Jawa Kuna yang artinya “ Pekerjaan, tindakan khususnya pekerjaan yang berkenaan dengan upacara keagamaan”. Dalam kitab agama Hindu disebutkan, bahwa ada empat konsep yang harus dipahami yang terdiri dari Jnana, Yoga ,Carya, dan Kriya. Jnana menjelaskan konsep-konsep tentang kebenaran keagamaan, Yoga menjelaskan tentang metode tindakan fisik dan mental untuk menyatukan diri dengan kebenaran tertinggi, Carya menjelaskan tentang prilaku baik dalam kehidupan sehari-hari, dan Kriya menjelaskan tentang teknik-teknik pembuatan benda-benda sarana peribadatan seperti candi-candi dan arca-arca dewata. Dengan demikian seni yang dilahirkan lewat jalur kriya bukanlah karya seni yang dapat memiliki kebebasan individu melainkan diarahkan pada konsep kebenaran.

          Yan-Yan Sunarya, mendefinisikan kriya lebih jauh, Ia menjelaskan bahwa kriya sebagai ‘produk’ yang dihasilkan dalam suatu proses kegiatan dengan atau tanpa bantuan mesin, bernilai estetik, keunikan, keakraban, kegunaan dan dapat bukan sekedar hasil ketrampilan dan bakat yang dimiliki semata, tetapi merupakan ‘produk’ yang sarat pengetahuan, teknologi dan seni. Tidak semua karya yang dibuat dengan ketrampilan tangan dapat disebut kriya. Dalam pemaknaan kriya terdapat batasan-batasan yang dijadikan patokan untuk menyatakan karya tersebut karya kriya. Batasan tersebut adalah wilayah seni dan desain yang merupakan unsur utama dalam penciptaan karya kriya. Perpaduan antara unsur seni dan desain ditambah dengan keahlian khusus (teknis)  menyebabkan kriya mempunyai nilai lebih.
                                                                          
            Ada pendapat yang mengatakan bahwa istilah ’kriya’ sebenarnya digali dari khasanah budaya Indonesia, tepatnya dari budaya Jawa Inggil atau tinggi, suatu budaya yang berkembang di dalam lingkup istana pada sistem kerajaan. Denis Lombard dalam bukunya berjudul “Nusa Jawa: Silang budaya”, Ia menyatakan bahwa ‘istilah kriya yang diambil dari kryan menunjukkan pada hierarki strata pada masa kerajaan Majapahit adalah sebagai berikut; “Pertama-tama terdapat para mantri, atau pejabat tinggi serta para arya atau kaum bangsawan, lalu para kryan yang berstatus kesatriya dan para wali atau perwira, yang tampaknya juga merupakan semacam golongan bangsawan rendah” (Denis Lombard dalam Gustami, 2002). Juga yang dalam bahasa Jawa ada disebut “Pakaryan”, adalah merupakan  suatu “pekerjaan” yang pada umumnya hasil dari pekerjaan itu sering disebut sebagai “karya”. Orang Jawa sering menyebut sesuatu produk hasil dari
kehalusan jiwa manusia yang indah-indah dengan istilah “kagunan” sebagai sesuatu yang bermanfaat atau berguna. Ada pula yang berpendapat bahwa kata ‘kriya’ atau ‘kria’ berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “kerja”. Juga sering disebut dengan “kerawitan” atau “ngrawit”, umumnya produk yang dihasilkan memang mempunyai tekanan ‘jlimet’ atau ‘remitan’ atau ‘halus’ dan ‘rumit’ pengerjaannya sebagai hasil dari ketrampilan tangan atau ‘ke-prigel-an’ (Inggris: handicraft). 

            Dr. Sudjoko, mengatakan bahwa banyak orang makin tersesat apabila tidak berani menyebut kriyawan adalah seorang kreator atau penggubah, sebab menurut asal kata ‘creat’ sama dengan ‘kria’ atau ‘kr’’ yang sama-sama berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya ‘kerja’ (Sudjoko, 1983).  
            Sementara itu menurut Prof. Dr. I Made Bandem kata “kriya” dalam bahasa indonesia berarti pekerjaan (ketrampilan tangan). Di dalam bahasa Inggris disebut craft berarti energi atau kekuatan. Pada kenyataannya bahwa seni kriya sering dimaksudkan sebagai karya yang dihasilkan karena skill atau ketrampilan seseorang”. Seni kriya merupakan cabang seni yang menekankan pada ketrampilan tangan yang tinggi dalam proses pengerjaannya. Kemudian istilah ini diartikan sebagai keterampilan dan dikaitkan dengan sebuah prosesi tertentu seperti yang terlihat dalam craftsworker (pengrajin). Pada kenyataannya bahwa seni kriya sering dimaksud sebagai karya yang dihasilkan karena skill atau ketrampilan seseorang. Diketahui bahwa semua kerja dan ekspresi seni membutuhkan ketrampilan. Dalam tradisi Jawa dikenal sebutan kagunan. Dijelaskan dalam kamus Bausastra Jawa definisi kagunan (kegunan) adalah kepinteran / yeyasan ingkang adipeni / Wudaring pambudi nganakake kaendahan gegambaran, kidung, ngukir-ukir. Penjelasan itu menunjukkan posisi dan pentingnya ketrampilan dalam membuat benda sehari-hari, karena itu apabila karya seni dalam penciptaannya tidak didasari dengan kepekaan dan ketrampilan yang baik, maka karya tersebut tidak bisa dinikmati sebagai karya seni. (Bandem,2002).

          Seni kriya oleh Prof. Dr. Timbul Haryono, yang mensinyalir berasal dari kata “Kr” (bhs. Sanskerta) yang berarti ‘mengerjakan’, dari akar kata tersebut kemudian menjadi ‘karya, kriya dan kerja’. Dalam arti khusus adalah mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan benda atau obyek yang bernilai seni (Timbul Haryono: 2002). 

          Dalam pergulatan mengenai asal muasal kriya Prof. Dr. Seodarso Sp., mengungkapkan bahwa “perkataan kriya memang belum lama dipakai dalam bahasa Indonesia; perkataan kriya  itu berasal dari bahasa Sansekerta yang dalam kamus Wojowasito diberi arti sebagai pekerjaan, perbuatan, dan dari kamus Winter diartikan sebagai  ‘demel’’ atau membuat (Soedarso, dalam Asmudjo, 2000). Soedarso Sp. Menjelaskan bahwa seni kriya adalah cabang seni rupa yang sangat memerlukan kekriyaan (craftsmanship) yang tinggi seperti misalnya ukir kayu, seni keramik, anyam-anyaman dan sebagainya. Cabang seni ini merupakan penghasil seni terapan yang kecil-kecil yang pembuatannya memerlukan keahlian yang tinggi, sehingga hampir-hampir si seniman tidak sempat menyisihkan perhatiannya untuk berekpresi. Sesungguhnya dahulu semua seni adalah seni kriya, tetapi dalam perkembangan zaman cabang-cabang seni yang lebih ekspresif, yang murni estetik dan kurang mementingkan kekriyaan memisahkan diri. Namun dalam perkembangannya, selanjutnya seni kriya ada yang menjadi kriya murni seni murni dan kriya seni terapan (produk fungsional) karena desakan kemajuan industri kreatif dewasa ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kriya diartikan sebagai ‘pekerjaan tangan’. Demikian juga dalam Kamus Bahasa Kawi-Indonesia, kriya diartikan sebagai ‘pekerjaan’ atau ‘perbuatan’ (Wojowasito, 1994).  Dan orang yang membuat benda-benda kriya disebut sebagai ‘kriyawan’ atau ‘karyawan’, namun ada sedikit perbedaannya dari kedua sebutan itu. Pada kriyawan lebih tertuju kepada konseptor pelaksana penciptaan, sedangkan karyawan adalah sebagai pekerja yang memproduksi. Tampaknya di Indonesia masih belum memasyarakat dalam penggunaan kata ‘kriya’ dibandingkan dengan kata ‘kerajinan’ dikarenakan penonjolan pada hal-hal yang bersifat kerja (individual) yang rajin dan telaten. Demikian pula pada instansi pemerintah yang cenderung menyebut benda-benda hasil kerajinan untuk benda-benda kriya. Dari uraian tersebut dapat ditarik satu kata kunci yang dapat menjelaskan pengertian kriya adalah: kerja, pekerjaan, perbuatan, membuat benda, yang dalam hal ini bisa juga diartikan sebagai ‘penciptaan produk’, khususnya karya fungsional atau seni terapan yang didukung oleh ketrampilan (skill) yang tinggi, atau dengan metode teknik reproduksi untuk membuat benda secara massal. 

          Masuknya agama Hindu dan Budha, memberikan perubahan tidak saja dalam hal kepercayaan, tetapi juga pada sistem sosial dalam masyarakat. Struktur pemerintahan kerajaan dan sistem kasta menimbulkan tingkatan status sosial dalam masyarakat. Masuknya pengaruh Hindu–Budha di Indonesia terjadi akibat asimilasi serta adaptasi kebudayaan Hindu-Budha dari India, yang dibawa oleh para pedagang dan pendeta Hindu-Budha tersebut dalam kebudayaan prasejarah di Indonesia. Kedua sistem keagamaan ini mengalami akulturasi dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya di Indonesia yaitu pengkultusan terhadap arwah nenek-moyang, dan kepercayaan terhadap spirit yang ada yang di pengaruhi alam sekitar. Kemudian kerap tumpang tindih dan bahkan
terpadu ke dalam pemujaan-pemujaan sinkretisme Hindu-Budha Indonesia (Claire Holt terjemahan Soedarsono, 2000). Tumbuh dan berkembangnya kebudayan Hindu-Budha di Indonesia, melahirkan kesenian berupa  seni ukir dengan aneka ragam hias dan patung perwujudan dewa-dewa. Dalam sistem sosial ini, kemudian lahir sistem pemerintahan kerajaan yang berdasarkan kepada kepercayaan Hindu seperti kerajaan Sriwijaya di Sumatra, kerajaan Kutai di Kalimantan, kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat, Mataram Kuno Jawa Tengah, hingga kerajaan Majapahit di Jawa Timur dengan Maha Patih Gajah Mada yang tersohor, yang kemudian membawa pengaruh Budha-Hindu sampai ke Bali, dan kegiatan seni ukir tradisional sampai sekarang masih diwarisi dan berkembang.               

          Melalui tradisi besar di Jawa, telah melahirkan istilah kriya untuk menyebut hasil seni yang diciptakan. Senimannya disebut “Abdi Dalem Kriya”, yang dewasa ini lebih dikenal dengan sebutan “kriyawan”,  dimana para kriyawan melakukan pekerjaannya dikukuhkan dengan sebutan “Kriyan”. Suatu nama yang dapat ditemukan di daerah Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Jepara, dan daerah Jawa lainnya. (Gustami,1991,2). Menyimak pendapat Prof. SP. Gustami yang menguraikan bahwa; seni kriya merupakan warisan seni budaya yang adiluhung, yang pada zaman kerajaan di Jawa mendapat tempat lebih tinggi dari kerajinan. Seni kriya ini mulanya dikonsumsi oleh kalangan bangsawan dan masyarakat elit. Sedangkan yang disebut kerajinan didukung oleh masyarakat umum atau kawula alit, yakni masyarakat yang hidup di luar tembok keraton. Seni kriya dipandang sebagai seni yang unik dan berkualitas tinggi karena didukung oleh craftmanship yang juga tinggi. Lain dengan kerajinan dianggap atau dipandang kasar dan terkesan tidak tuntas. Hal ini bisa dibedakan pada  pembuatan keris dengan pisau, baik dalam proses, bahan, atau kemampuan si pembuatnya. Lebih lanjut Gustami menjelaskan perbedaan antara kriya dan kerajinan dapat disimak pada keprofesiannya, dimana kriya dimasa lalu yang berada dalam lingkungan istana untuk pembuatnya diberikan gelar Empu, yang dalam perwujudannya produknya sangat mementingkan nilai estetika dan kualitas skill. Sementara kerajinan yang tumbuh di luar lingkungan istana, si-pembuatnya disebut dengan Pandhe (tukang). Perwujudan benda produk kerajinan hanya mengutamakan fungsi dan kegunaan (kagunan) yang diperuntukkan untuk mendukung kebutuhan praktis bagi masyarakat atau rakyat (Gustami, 2002). Pengulangan-pengulangan dan minimnya akan pemikiran seni (art) ataupun estetika adalah satu ciri penanda benda kerajinan. Pemisahan yang berdasarkan strata atau kedudukan tersebut mencerminkan posisi dan eksistensi seni kriya di masa lalu di Jawa. Seni kriya bukanlah karya yang dibuat dengan intensitas rajin semata, di dalamnya juga bisa terkandung nilai-nilai keindahan (estetika) dan juga kualitas skill yang tinggi. Sedangkan kerajinan tumbuh atas desakan kebutuhan praktis dengan mempergunakan bahan yang tersedia dan berdasarkan pengalaman kerja yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari. Kembali  ditegaskan oleh  Gustami, bahwa seni kriya adalah karya seni yang unik dan punya karakteristik di dalamnya terkandung muatan-muatan nilai estetik, simbolik, filosofis dan sekaligus bisa fungsional,  oleh karena itu dalam proses perwujudannya harus pula didukung  craftmenship yang tinggi, yang berakibat kehadiran dari seni kriya digolongkan dalam kelompok seni adiluhung (Gustami, 1992:71).

          Dari beberapa pendapat yang telah dibahas sebelumnya, menjelaskan bahwa wujud awal seni kriya lebih banyak ditujukan sebagai seni pakai (terapan). Praktek seni kriya pada awal-mula bertujuan untuk membuat barang-barang fungsional, baik ditujukan untuk kepentingan keagamaan (religius) atau kebutuhan praktis dalam kehidupan manusia seperti adanya
perkakas rumah tangga. Contohnya dapat disaksikan pada artefak-artefak berupa kapak dan perkakas pada jaman batu serta peninggalan-peninggalan dari bahan perunggu pada jaman logam berupa nekara, moko, candrasa, kapak, bejana dari logam dan tanah liat, hingga produk perhiasan seperti gelang, kalung dan cincin. Benda-benda tersebut dipakai sebagai perhiasan, pakaian, perlengkapan prosesi upacara ritual adat (suku) serta kegiatan ritual yang bersifat kepercayaan untuk penghormatan terhadap arwah nenek-moyang.              
                            
          A.S.Hombay, menyatakan bahwa Kriya juga disebut seni terapan (applied art) yaitu seni terap yang dibuat dengan teknik ketrampilan yang tinggi untuk mencapai ciri-ciri dekoratif (A.S.Hombay,1963:144). Sedangkan wujud dari kriya dapat dikategorikan kedalam berbagai bidang, tergantung dari cara pengelompokannya. Pengelompokan berasarkan bahan yang digunakan, misal terdiri dari kriya bamboo, kriya kayu, kriya perak, kriya keramik / tanah liat, kriya batik, dan sebagainya. Dilihat dari teknik pembuatannya, maka kriya bisa dibedakan menjadi: kriya ukir / pahat, kriya logam, kriya anyam, dan lain-lain. Disamping itu, dikenal juga sebutan kriya modern dan kriya tradisional.

          Arkeolog (UGM), Atmosudiro, dkk, memerinci bahwa seni kriya adalah semua hasil karya manusia yang memerlukan keahlian khusus yang berkaitan dengan  tangan, sehingga kriya sering disebut kerajinan tangan. Seni kriya dihasilkan melalui keahlian manusia dalam mengolah bahan mentah, menjadi produk dan ruang lingkupnya dapat ditelusuri melalui bahan yang dipergunakan tersebut, diantaranya batu, tanah liat, kayu, logam, benang, tulang, cangkang kerang, kulit, kaca, dedaunan, buah kering, plastik, serat, dll. Seni kriya juga dapat dikelompokkan menurut tujuan penciptaannya dan  kegunaannya menjadi fungsi praktis, estetis, simbolis dan religius (Atmosudiro, 2001: 107-110) 

          Dalam buku ’Tinjauan Kriya Indonesia’ dijelaskan secara panjang lebar oleh Sugeng Toukio M, sebagai berikut: Kria (Jw = Kriya; Bausastra Jawa-Indonesia) adalah pekerjaan tangan; seperti pandai besi, dalam bahasa Kawi, kriya juga berarti pekerjaan, perbuatan, upacara. Kria; secara umum menunjukan suatu kegiatan atau aktifitas manusia berkaitan dengan peyasaan bebarang. Dari pengertian di atas dapat dirangkum pengertian kriya sebagai berikut:

  • Merupakan hasil dari kegiatan manusia yang berkaitan peyasaan bebarang (kebutuhan produk) untuk memenuhi kebutuhan manusia.
  • Suatu kegiatan yang melibatkan kemahiran dalam memadukan pemakaian bahan dan alat menjadi bebarang meguna (produk berguna / fungsional).
  • Suatu kegiatan yang mencerminkan kegiatan, ketrampilan, daya nalar untuk menghasilkan kekayaan yang manusiawi, meguna dan memiliki nilai keindahan sepadan dengan norma yang berlaku.
  • Merupakan pekerjaan yang bertautan dengan ketrampilan tangan dan bersifat keutasan (utas = tukang, juru, ahli) dalam menghasilkan karya yang meguna (fungsional).

          Seni kriya sebagai salah satu cabang seni rupa yang memiliki akar budaya yang panjang dalam sejarah kebudayaan Indonesia, dimasa lampau hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kini dengan kemajuan ilmu, teknologi, seni dan sosial-ekonomi, antara lain adalah sebagai komoditas perdagangan dan pemenuhan kebutuhan ekspresi, kini telah terjadi perubahan yang sangat kompleks.

          Peran seni kriyapun kini menjadi semakin berkembang, tidak saja sebagai komponen dalam hal kepercayaan keagamaan, namun juga telah menjadi konsumsi golongan elit tertentu, para pengusaha, pejabat publik yaitu sebagai penanda status sosial. Kondisi tersebut menjadikan kriya sebagai seni yang bersifat elitis karena menduduki posisi terhormat pada masa kini. Hampir tidak berbeda dengan kerajinan, yang cenderung tumbuh dari kalangan masyarakat biasa atau golongan rakyat jelata, menjadi semacam inspirasi yang mencitrakan kedekatan individu, apalagi sebagai publik figur, untuk tujuan politis, sosial, ekonomis tertentu atau sebagai bentuk kemapanan ekonomi yang menandai status seseorang.  Artinya, tingkatan ekonomi yang dimiliki seseorang dapat membedakan posisi mereka dari orang lain dengan koleksi produk kriya. Yang secara sederhana kekuasan ditentukan oleh kemampuan ekonomi idividu. Dalam sistem masyarakat modern kondisi ini telah berubah, kaum elit yang sekarang digantikan kalangan konglomerat (pemilik modal). Kondisi ini membawa dampak bagi pada posisi kriya, menjadikan kriya tidak lagi menjadi seni yang bersifat spesial karena posisi terhormatnya di masa lalu dan kini sudah terancam tidak eksis lagi, kriya seni  kini menjadi sebuah artefak warisan dari masa lalu. Terlebih lagi dalam industri dan budaya seperti sekarang ini, kedudukan kriya seni, kini telah bergeser sebagai produk kriya obyek pasar, yang diproduksi secara massal dan diperjualbelikan demi kepentingan kegiatan ekonomi. Kriya kini mengalami desakralisasi dari posisi yang terhormat di masa lalu, yang adiluhung merupakan artefak yang tetap dihormati namun sekaligus juga direduksi dan diproduksi secara terus-menerus, karena banyak orang membutuhkannya baik untuk perlengkapan rumah tangga, menghiasi setiap rumah tinggal, hotel, kantor, tempat publik yang menyiratkan kemajuan dan apresiasi yang juga telah berkembang melengkapi kegiatan arsitek interior dan eksterior serta rumah mode.

          Kehadiran produk kriya pada jenjang pendidikan tinggi adalah sebuah upaya untuk mengangkat harkat kekriyaan dari hanya sebagai artefak, dan untuk menjadikannya sebagai kegiatan seni murni atau seni terapan, yang memiliki nilai tertentu (sebagai pilihan atau alternatif), berwawasan ilmu seni-budaya dan sosial-ekonomis, sehingga bisa eksis dan terhormat sekaligus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Inilah tugas berat insan akademis, sebagai agen perubahan, dan kampus bukan lagi sebagai ”menara gading” bagi masyarakatnya.      

          Sejalan dengan perkembangan jaman, konsep kekriyaan pun terus berkembang. Perubahan senantiasa menyertai setiap gerak laju praktek pembuatan produk kriya, khususnya di kalangan akademis yang mengalami pergeseran orientasi penciptaan dalam senirupa.

Beberapa sumber menyebut konsep kriya memiliki pengertian yang mirip dengan ‘craft’, istilah tersebut dipergunakan dalam menyebut suatu cabang seni yang mengutamakan ketrampilan dibanding dengan ekspresi  (Feldman, Edmund Burk, 1967). Kriya juga dipandang sebagai seni terapan (applied art) yang dibuat dengan teknik ketrampilan tinggi untuk mencapai suatu ciri-ciri dekoratif (A.S. Homby, 1963). Dalam bahasa Inggris makna kriya ditemukan dalam pengertian “handicraft” yang berarti pertukangan / ketrampilan tangan / keprigelan. Sedangkan kata ‘craft’ itu sendiri berarti suatu keahlian atau ketrampilan yang menghasilkan benda atau produk. Untuk kata ‘craftsman’ yang berarti tukang, ahli, juru, seniman yang memiliki ketrampilan teknik, yang menunjuk kepada seseorang yang dapat menghasilkan benda-benda kriya. Disamping itu ada juga disebut sebagai ‘craftsmanship’ yang berarti keahlian atau ketrampilan (John M. Echolss dan Hassan S, 1993).  Dalam buku Word Book Multimedia Encyclopedia, pendapat tentang ‘craft’ adalah sebagai benda kriya yang diciptakan untuk keperluan dekorasi, atau sebagai sarana ungkapan imajinasi pembuat atau ekspresi seni (Lois Moren, 1977). Pada “kriya” atau “kria” yang berasal dari kata “creat”  ini, dalam bahasa Sansekertanya berarti “kerja” dan bahasa Jawanya disebut “pakaryan” serta masyarakat pada umumnya menyebut sebagai “kerajinan”. Jika diurai dari akar keilmuannya, masih terus terjadi perdebatan dikalangan praktisi maupun akademisi bidang seni rupa. Bidang kekriyaan atau kerajinan ini menjadi ajang perebutan, antara masuk disiplin ilmu seni murni atau ilmu desain sehingga muncul istilah “kriya seni”, “kriya desain” atau “seni kriya” dan “desain kriya”. Karena kriya memiliki fleksibilitas yang tinggi, bisa berupa kecendrerungan-kecenderungan, berada ditengah-tengah dan tergantung dari kedudukan dan wawasan yang dipergunakan, yang bisa berada di wilayah atau kubu dari seni murni atau seni pakai atau seni produk (seni terapan desain). 

Pengertian Kerajinan

            Benda-benda hasil kerja perajin yang selama ini biasa disebut hasil kerajinan, sesungguhnya adalah juga benda-benda kriya. Beberapa sumber menyebutkan konsep kriya memiliki arti yang sama dengan craft. Istilah tersebut dipergunakan untuk menyebutkan suatu cabang seni yang mengutamakan keterampilan tangan dibanding ekspresi (Edmun Burk Fledman, 1967: 144). Kerajinan memiliki ciri khas sebagai pekerjaan tangan (handicraft) yang termasuk kriya (craft). Menurut pendapat Feldman Burk Feldman, kerajinan tangan memiki ciri-ciri antara lain bahwa:

1). Suatu objek buatan tangan, biasanya direncanakan dan dikerjakan oleh orang yang sama. Hal ini biasa dilakukan oleh perajin-seniman, akan tetapi banyak desa kerajinan dengan ekonomi pra-industri, pembagian kerja terjadi, sehingga seniman mungkin menggerakan desain yang diciptakan oleh orang lain dan tenaga kerja anggota keluarga melaksanakan dengansedikit pengulangan.
2). Perajin tidak hanya melaksanakan sendiri seluruh karya, tetapi juga menambah dan mengatur (menyempurnakan) desainnya menurut kebutuhan nasabah atau pelanggannya. Oleh karena itu karaktetistik kerajinan tangan mencakup tanggung jawab yang utuh terhadap penciptaan objek dan penyesuaian disain dan pelaksanaan bagi kebutuhan individu patron.
3). Keunikan objek kerajinan tangan mungkin didasarkan pada keistimewaan teknik perajin atau keinginan  tertentu dari patron. 
4).  Sisi lain kerajinan dalam budaya pra-industri adalah, secara paradoksal, kesamaan relatiffnya, dalam artian bahwa variasi dalam detail terjadi karena duplikasi secara absolut tidak mungkin pada barang buatan tangan, walaupun demikian secara umum terdapat sedikit perubahan dari apa yang dilakukan oleh perajin terhadap produk yang dihasilkan. Faktor internal secara pasti mempengaruhi perubahan produk, seperti misalnva pertumbuhan penduduk bertindak sebagai pendorong ekonomi yang kuat, sama pentingnya dengan individu-individu inovatif yang membuka hubungan sosial yang tegas oleh hubungan patron-klien.

Melalui tradisi kecil di Jawa, telah lahir pula istilah “Kerajinan” sebagai sebutan hasil karya yang diciptakan para “perajin”. Adapun tempat dimana mereka melakukan kegiatannya disebut “Desa Kerajinan”, oleh karenanya istilah ini menjadi lebih memasyarakat dan banyak dipergunakan oleh instansi pemerintah.

          Berdasarkan hasil dari penelusuran yang ada dan telah penulis lakukan, maka perlu diketahui pula tentang apa dan bagaimana disebut kerajinan, bersangkutan dengan bentuk, motif, desain dan teknik serta finishing.
1). Kata kerajinan, dalam kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Poerwadarminta, terdapat kata rajin yang diartikan. a). Suka dan giat bekerja, b). Kerap kali melakukan sesuatu, sedangkan kata kerajinan itu sendiri adalah, a). Hal yang bersifat rajin atau kegetolan, b). industri; perusahaan membuat sesuatu; barang-barang hasil pekerjaan tangan; kerajinan rumah tangga atau kerajinan kecil yang dikerjakan dirumah, pekerjaan tangan (bukan dengan mesin), (1976:792). Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” oleh Poerwadarminta, juga ada kata terampil, yang diartikan sebagai cekatan, cakap mengerjakan sesuatu, keterampilan yang berarti kecekatan; kecakapan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik dan cermat, (1976:1088). Dan menurut Ermen Makmur dalam bukunya “Kerajinan Pandai Besi Sumatera Barat”, menjelaskan bahwa kerajinan tangan adalah jenis kesenian yang menghasilkan berbagai barang perabotan, hiasan atau barang-barang lain yang artistik, yang terbuat dari bahan kayu, besi, logam, kain dan lain sebagainya, (1995/1966:11).                                                          
2). Motif, menurut Sayed Muhammad, yang mengatakan bahwa motif merupakan salah satu aspek psikis yang paling berpengaruh dalam tingkah laku individu. Motif diartikan sebagai suatu keadaan yang sangat komplek dalam organisme (individu) yang mengarahkan perilakunya kepada satu tujuan, baik disadari atau tidak. Perilaku tersebut bertujuan untuk mendapatkan insentif, jadi dapat
    disimpulkan bahwa adanya keinginan diluar need dan drives untuk memperoleh sesuatu hal. Drives didasarkan adanya dorongan untuk pemenuhan kebutuhan dasar sedangkan need lebih sering digunakan pada keinginan-keinginan kebutuhan yang dianggap kurang dalam suatu kebutuhan-kebutuhan individu, (2007:1). Dan Poerwadarminta dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” menjelaskan bahwa motif itu adalah, a). Sebab-sebab yang menjadi dorongan; tindakan seseorang, b). Dasar pikiran atau pendapat, c). Sesuatu yang menjadi pokok dalam cerita, gambar dan lain sebagainya, (1976:655).
3). Desain, menurut A. M. Utomo, dalam tulisannya di Bali Post yaitu “Mengusut Asal Mula dan Pemahaman Desain” menjelaskan bahwa pengertian desain menurut terminologinya dari bahasa Latin (desionare) atau bahasa Inggris (design). John Echols dalam kamusnya mengatakan sebagai potongan, pola, model, mode, konstruksi, tujuan dan rencana. Sedangkan Kamus Webster, pengertian desain itu sendiri lebih luas seperti gagasan awal, rancangan, perencanaan, pola, susunan, rencana, proyek, hasil yang tepat, produksi, membuat, mencipta, menyiapkan, meningkatkan, pikiran, maksud, kejelasan dan seterusnya. Khusus dalam seni rupa, desain dapat diartikan sebagai pengorganisasian atau penyusunan elemen-elemen visual sedemikian rupa menjadi kesatuan organik dan harmoni antara bagian-bagian serta secara keseluruhan. Dalam proses desain dikenal beberapa prinsip desain sebagai (a) kesatuan, (b) keseimbangan, (c) perbandingan, (d) tekanan, (e) irama, dan (f) keselarasan, (2004:1). Menurut Agus Sachari dalam bukunya “Desain dan Dunia Kesenirupaan Indonesia dalam Wacana Transformasi Budaya”, membagi dua bentuk dari desain itu sendiri: a). Desain adalah terjemahan fisik mengenai aspek sosial, ekonomi dan tata hidup manusia serta merupakan       cerminan budaya zaman. b). Desain adalah salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud, desain adalah produk dari nilai-nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu, (2001:10).                  
4). Teknik, dalam “Kamus Filsafat” karya Lorens Bagus menjelaskan bahwa teknik berasal dari kata Yunani techne (seni, keterampilan, kerajinan, kerajinan tangan, seuatu sistem atau metode pembuatan atau pengerjaan sesuatu). Istilah ini menunjukkan kepada pengetahuan dan penerapan prinsip-prinsip yang diperlukan dalam menghasilkan objek-objek dan menyelesaikan tujuan-tujuan khusus. Arti techne yang umum menunjukkan pada pengetahuan tentang bagaimana mengerjakan atau membuat hal-hal (sebagaimana lawan dari mengapa hal-hal berada sebagaimana adanya); bagaimana mencapai tujuan yang diinginkan atau bagaimana memproduksi sesuatu (1996:1080-1081). Menurut Poerwadarminta dalam “Kamus Umum Bahasa Indonesia” menjelaskan bahwa teknik merupakan, a). Pengetahuan atau kepandaian membuat sesuatu yang berkenaan dengan hasil industri, bangunan, mesin dan sebagainya, b). Teknik merupakan cara, kepandaian, membuat sesuatu atau melakukan sesuatu yang berkenaan dengan kesenian, (1976:1035).
5). Finishing, menyangkut tentang penyelesaian akhir bahan-bahan atau penampilan akhir suatu produk yang siap untuk dipasarkan atau dipamerkan atau dikemas.


        Dari buku : Produk Kekriyaan
            email: goesmul@gmail.com   

Pustaka

                                                                          

Anonim, 2006. Jurnal Ilmu Desain, dalam : Imam Buchori Zainudin, Desain, Sains Desain dan Sains tentang Desain: Telaah Filsafat Ilmu. hal. 17 – 34

Anonim,  2006. Jurnal Ilmu Desain, Widagdo, Estetika Dalam Perjalanan Sejarah: Arti dan Peranannya dalam Desain. hal. 3-16

Anonim, 1995. Creativity and Madness: Psychological Studies of Art and Artist  Burbank, Aimed Press, hal.18

Anonim, 2005, BAHASA DAN SENI, Tahun 33, Nomor 1, Februari 2005

Astuti, Ambar. 1997. Pengetahuan Keramik. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Atmosudiro, Sumijati, dkk, Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya, SPSP. Prv.JawaTengah dan Jur. Arkeologi FIB-UGM

Atmosudiro, Sumijati. 1984. Notes on the Tradition of Pottery Making in the Region of Kasongan, Regency of Bantul. dalam Satyawati

Donald Tamplin. 1991. The Arts: A History of Expression in the 20th Century. London: Harrap, hal. 7

Enget,dkk, 2008. Kriya Kayu untuk SMK, Jilid 2, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, hal. 421 – 424.

Francis, Abraham M. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum Pembangunan. Yogyakarta.

Feldman, B.F. 1967. Art As Image and Idea. Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice Hall Inc.

Gustami, Sp. 1985. et al., Pola Hidup dan Produk Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Gustami, Sp. 1988. Seni Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta: Kontinuitas dan Perubahannya , Tesis S2 Universitas Gajah Mada.

http://www.google.co.id/produk, akses 3/08/2010

Haryono, Bedjo. 1995-1996. Pembuatan Kerajinan Tanah Liat Tradisional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman DIY.

Konperensi Kriya, 1999. Tahun Kriya dan Rekayasa 1999,  Institut Teknologi Bandung, 26 Nov” 99.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia Jakarta.

Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. (Terj. Hasti T. Champion), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Manhei, Karl. 1985. Sosiologi Sistematis. (Terj: Soerjono Soekanto), Rajawali, Jakarta.

Manuaba, Bunga Rampai Ergonomi Vol. 1, Kumpulan Artikel PS Ergonomi – Fisiologi Kerja, Unud Denpasar, 1998, Hal. 1

Manuaba, Catatan Kuliah S-2 Ergonomi, 2006

Muchtar, Bud. 1991. Daya Cipta di Bidang Kriya dalam Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. B.P. ISI. Yogyakarta.

Munro, Thomas,1969. The Arts and Their Interrelations. Cleveland and London: The Press of Case Western Reserve University

Soegondho, Santoso. 1995. Tradisi Gerabah di Indonesia: Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Kini. Himpunan Keramik Indonesia, Jakarta.



Stark, Miriam T. and William A. Longacre. 1993. Kalinga Ceramics and New Technologies: Social and Cultural Contexts of Ceramics Change, dalam W. D. Kingery (Ed), Ceramics and Civilizition: The Social and Cultural Contexs of New Ceramic Technologies. Volume VI, The American Ceramic Society, Westerville, OH.

Sritomo W. Subroto, Proceeding Seminar Nasional Ergonomi 2006, 21-22 Nopember 2006, Auditorium Ged. A-D Usakti, Jakarta, hal. 11

Soedarso Sp., 1987. Tinjauan Seni: Pengantar Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakarta

Tamplin, Donald, 1991. The Arts: A History of Expression in the 20th Century. London: Harrap

Virshup, Evelyn,1995. Jackson Pollok Art Versus Alchohol. dalam Barry Panter dan Virshup. Creativity and Madness: Psychological Studies of Art and Artist. Burbank: Aimed Press, 1995.

Wiyoso Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta

Wiyoso Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,  hal.151.

Yuswadi Saliya, 1999. Pendekatan Interdisiplin dalam Desain: Suatu Penjelajahan Awal. Hal. 785 – 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar