PEMAHAMAN KRIYA PRODUK
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Setengah abad istilah kekriyaan telah digunakan dalam
pendidikan di Indonesia, namun demikian sampai sekarang pengertian kriya masih saja menjadi
perdebatan dikalangan akademisi dengan interprestasinya sendiri-sendiri. Kajian
kekriyaan dilihat dari berbagai
pandangan dengan berbagai argumentasi yang berbeda, sehingga berimplikasi pada
pemahaman peserta didik serta orientasi penciptaan produk kekriyaan yang
berbeda-beda pula. Sulitnya menentukan difinisi kriya yang dianggap akurat juga
disebabkan oleh adanya perkembangan produk kekriyaan yang begitu pesat, seiring
dengan perkembangan IPTEKS itu sendiri. Di samping itu cakupan kriya yang
sangat luas serta kreativitas para seniman, kriyawan, perajin dan pengusaha
dalam membuat produk kreatif dan inovatif, sehingga agak menyulitkan untuk
mendefinisikan kriya secara universal karena akan selalu bersinggungan dengan
konsep nilai seni, nilai desain dan
nilai produk serta nilai yang lainnya.
Sungguh sangat ironis, bila masyarakat
masih merasa awam dan kurang akrab dengan istilah kriya, secara umum dipahami oleh masyarakat adalah sebagai kerajinan.
Seolah-olah masyarakat tidak mengenal seni kriya, pada hal mereka sebenarnya sudah
banyak bergelut dan berjuang dalam bidang tersebut. Mereka tidak memahami bahwa
apa yang mereka ciptakan dan menjadi mata pencahariannya adalah bidang kekriyaan.
Istilah kriya rupanya hanya dikenal oleh masyarakat akademik, yang mana di
lingkungan akademik ini pun masih selalu menjadi ajang perdebatan. Sudah sepantasnya
penulis sebagai insan akademis untuk mendiskripsikan kriya dan
mensosialisasikan pada masyarakat luas, sehingga produk kekriyaan semakin
dikenali dan menjadikan marak tumbuh kembangnya di masyarakat.
Kriya termasuk dalam lingkup
dunia seni rupa. Bisa sebagai bagian seni tersendiri, yang terpisah dari seni
rupa murni. Jika sebelumnya dikenal ada istilah “seni kriya” sebagai bagian
dari “seni murni”, namun kemudian menjadi “kriya seni”, lalu menjadi berkembang
dan disebut dengan istilah “kriya" saja, yang menghasilkan produk
kekriyaan dengan penggunaan beragam bahan dan fungsi.
Kriya merupakan peng-Indonesia-an dari istilah Inggris yakni Craft, yaitu kemahiran membuat produk
yang bernilai artistik (buatan
seniman) dengan keterampilan tangan, produk yang dihasilkan umumnya eksklusif
dan dibuat tunggal, baik atas pesanan ataupun kegiatan kreatif individual. Ciri
karya kriya adalah produk yang memiliki nilai keadiluhungan baik dalam segi estetik (keindahan) maupun guna.
Sedangkan karya kriya yang kemudian dibuat secara massal (produksi) umumnya
dikenal sebagai barang atau “produk kerajinan”. Gambaran tentang perkembangan produk
kekriyaan masa kini, akan dijelaskan mulai dari pemahaman tentang pengertian
kriya, lalu tentang pengertian kerajinan yang diikuti hal-hal yang mempengaruhi
dalam pekerjaan seperti ergonomi, desain, teknik dan fungsi serta produk itu
sendiri. Juga akan dibahas sekilas tentang sejarah tentang kekriyaan Indonesia.
Pengertian Kriya
Kriya berasal dari kata: “Creat” bisa juga dari “Kria” atau “Kriya” atau “Kr” dari bahasa
Sansekerta yg berarti “kerja”,
“Karya” (= produk), “Pakaryan”
(bhs.Jawa), dan pembuatnya atau pekerja atau penganut (orang) disebut
“Kriyawan” atau “Pengrajin” atau “Perajin” atau “Karyawan” atau “Undagi”
(kecakapan atau keterampilan teknik) atau “Empu” (cerdik pandai atau ahli yang mumpuni) atau “Ahli Teknik
Pertukangan” atau “Ahli Berseni”.
Untuk menguak pengertian kriya,
sebenarnya berasal dari rumpun senirupa pada umumnya. Dari pengertian art (seni Barat), yang semula dari
istilah techne (bahasa Yunani), yang
berati kecakapan dalam mengolah medium (kemampuan teknik) yang umumnya disebut craftsmanship, ide dan sensibilitas
estetis. Kecakapan ‘techne’ tersebut
dipadankan dalam bahasa Jawa Kuno yang diistalahkan dengan kata ‘kagunan’, meliputi bidang seni tiga
dimensional dan dua dimensional, seperti candi, patung, pahat atau ukir,
relief, arsitektur bangunan, lukisan atau gambar, perhiasan atau aksesories,
pakaian atau busana, perlengkapan rumah tangga dan mebelair, termasuk seni
pertunjukan. Kemudian ada usaha dari berbagai pihak untuk memberikan makna baru
di dunia Barat dan memisahkannya dalam artes
liberalles (rumpun seni murni), yang melahirkan ‘seni untuk seni’ dan
semangat avant garde serta seni
modern sampai seni post-modern. Dan artes servilles (rumpun seni terapan
atau fungsional), berorientasi pada kebutuhan sosial-ekonomi-budaya dan
kebutuhan material yang bersifat fungsional. Selanjutnya produk kekriyaan dalam
perkembangannya penuh dengan dinamika, sesuai perkembangan zaman dan komunikasi
yang bersifat global.
Dalam bahasa Inggris, kata
yang berhubungan dengan makna ‘kriya’
ditemukan dalam arti ‘handycraft’
yaitu berarti pertukangan / keprigelan / ketrampilan tangan. Disini keprigelan,
menunjuk keahlian atau ketrampilan yang dapat menghasilkan benda (produk).
Sedangkan kata ‘craftsman’ berarti
tukang, ahli, juru, seniman, kriyawan, yang mempunyai keahlian tertentu sehingga
dapat menghasilkan produk kekriyaan, misalnya mebelair, peralatan rumah tangga,
dekorasi interior dan eksterior, model-busana, lukisan, patung dan perhiasan
atau aksesories lainnya. Disamping itu ada juga ‘craftsmanship’ berarti keahlian atau ketrampilan (John M. Echols
dan Hasan shadily 1993:153,288).
Pemahaman kriya secara konvensional
adalah: kriya sebagai produk kreativitas yang ditunjang dengan kemampuan tangan
manusia dan tumbuh dari lingkungan budaya tertentu yang bertumpu pada tradisi,
mempunyai sifat etnis, folkloris, dan
vernacular. Kriya selalu melibatkan
unsur tempat asal, ketrampilan tangan tinggi, kreatifitas, tradisi dan
lingkungan. Secara tradisional kriya selalu disosialisasikan dengan daerah
penghasilnya.
Widagdo, menyebut kriya adalah sebagai bentuk budaya dari pra-industri
yang masih eksis atau dapat hadir sampai pada masa kini, meskipun dalam kontek
yang berbeda. Sebagai produk budaya pra-industri, kriya diciptakan untuk
keperluan khusus, yang lebih banyak untuk keperluan seremonial yang sering
disebut sebagai karya kriya “Adiluluhung”.
Padananannya adalah pada jaman renaesance adalah “High Culture”. Sedangkan
karya yang dibuat untuk kebutuhan profan yang disebut dengan “Mass Culture”. Benda-benda ini
mempunyai tujuan pragmagtis dan mempunyai manfaat praktis. (Widagdo,1999: 6.)
Joop Ave, secara panjang lebar menjelaskan, berpendapat bahwa kriya
secara sederhana disamakan atau dianalogikan dengan kerajinan atau terjemahan
sebagai “craft” atau “Handicraft”. Menurutnya kriya memiliki pengertian
lebih dari sekedar “Craft” yang
berarti kerajinan tangan. Meskipun memiliki kesamaan namun kriya memiliki dimensi
lain, yang sama dengan karya seni adiluhung
(bernilai luhur). Secara harfiah salah satu arti craft adalah ketrampilan manual (manual
skill). Produksi craft memang memerlukan
“craftsmanship” yaitu keahlian khusus
tidak sekedar tenaga, dalam arti “labor”
atau “workmanship” untuk membedakan
dengan kerajinan rakyat. Kriya dan kerajinan walaupun kelihatannya hampir sama,
tetapi apabila dicermati lebih dalam sangat berbeda. Kerajinan dibuat dengan
ketrampilan tertentu, tetapi lebih cenderung membutuhkan “workmanship”, yaitu ketrampilan yang terbentuk karena terbiasa dan
dimiliki oleh hampir seluruh masyarakat disuatu daerah tertentu. Sedangkan
kriya lebih membutuhkan “craftsmanship”
(meskipun tentu saja tidak mungkin tidak membutuhkan “workmanship”) yang dimiliki hanya oleh orang-orang tertentu yang
dianggap ahli.
Tadahiro Baba, salah satu
pakar kriya modern Jepang mengatakan bahwa esensi kriya adalah barang hasil
ciptaan dari kebudayaan sehari-hari (dialy
culture) berbasis tradisi, historis, kepercayaan nilai-nilai dan iklim
lokal. Keberadaan barang kriya akan tetap langgeng di tengah masyarakat,
apabila benda tersebut digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan strategi
pengembangan produk yang meliputi aspek-aspek kebaharuan fungsi, originalitas
bentuk dan ketetapan dalam pemilihan atau memerlukan material. Pada dasarnya
kriya dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:
1. Kriya tradisional yang dapat dikategorikan sebagai “Heritage” atau benda-benda peninggalan yang terkait dengan budaya
suatu daerah tertentu, sangat terkait dengan sejarah dan kehidupan masa lampau,
terutama kehidupan para bangsawan, benda-benda yang terkait dengan tradisi,
upacara ritual maupun seremonial.
2. Kriya baru yang berbasis tradisi yaitu produk-produk yang dihasilkan dan
dipakai saat ini, yaitu kriya sebagai bagian dari kehidupan masa kini yang
masih mengakar pada tradisi, sebagai bagian dari suatu “living culture”.
3.
Kriya kontemporer yaitu
kriya yang diproduksi berbasiskan bentuk dan gaya tanpa harus terikat dengan
tradisi masyarakat. Kriya
sebagai ekspresi kriyawan untuk memenuhi kepuasan jiwanya.
Tjetjep
Rohendi Rohidi,
berpendapat bahwa kriya secara umum dipahami sebagai suatu karya yang
dikerjakan dengan menggunakan alat-alat sederhana, mengandalkan kecekatan
tangan, dengan dasar industri rumah tangga, dan secara fungsional memiliki
kegunaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kepentingan ekonomi. Karya kriya sangat kental merefleksikan lingkungan budaya dan geografis
tempat karya itu diciptakan. Dalam karya kriya tercermin pula nilai-nilai
estetika, etika, dan logika di samping nilai craftsmanship. Seni kriya eksplorasinya lebih dititik beratkan pada
pencarian nilai-nilai masa lalu, originalitas etnis dan kemurnian, khusus, dan tidak
mencitrakan pengembangan kearah produktifitas dengan kualitas yang dapat
diandalkan.
Edi Sedyawati, yang juga mengulas kriya mengatakan bahwa kata “kriya”
yang digunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata sansekerta Kriya(F), yang
juga diambil alih ke dalam bahasa Jawa Kuna yang artinya “ Pekerjaan, tindakan
khususnya pekerjaan yang berkenaan dengan upacara keagamaan”. Dalam kitab agama
Hindu disebutkan, bahwa ada empat konsep yang harus dipahami yang terdiri dari Jnana, Yoga ,Carya, dan Kriya. Jnana menjelaskan konsep-konsep tentang
kebenaran keagamaan, Yoga menjelaskan
tentang metode tindakan fisik dan mental untuk menyatukan diri dengan kebenaran
tertinggi, Carya menjelaskan tentang
prilaku baik dalam kehidupan sehari-hari, dan Kriya menjelaskan tentang teknik-teknik pembuatan benda-benda sarana
peribadatan seperti candi-candi dan arca-arca dewata. Dengan demikian seni yang
dilahirkan lewat jalur kriya bukanlah
karya seni yang dapat memiliki kebebasan individu melainkan diarahkan pada
konsep kebenaran.
Yan-Yan Sunarya, mendefinisikan kriya lebih jauh, Ia menjelaskan
bahwa kriya sebagai ‘produk’ yang dihasilkan dalam suatu proses kegiatan dengan
atau tanpa bantuan mesin, bernilai estetik, keunikan, keakraban, kegunaan dan
dapat bukan sekedar hasil ketrampilan dan bakat yang dimiliki semata, tetapi
merupakan ‘produk’ yang sarat pengetahuan, teknologi dan seni. Tidak semua
karya yang dibuat dengan ketrampilan tangan dapat disebut kriya. Dalam
pemaknaan kriya terdapat batasan-batasan yang dijadikan patokan untuk
menyatakan karya tersebut karya kriya. Batasan tersebut adalah wilayah seni dan
desain yang merupakan unsur utama dalam penciptaan karya kriya. Perpaduan
antara unsur seni dan desain ditambah dengan keahlian khusus (teknis) menyebabkan kriya mempunyai nilai lebih.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa istilah
’kriya’ sebenarnya digali dari khasanah budaya Indonesia, tepatnya dari budaya
Jawa Inggil atau tinggi, suatu budaya
yang berkembang di dalam lingkup istana pada sistem kerajaan. Denis Lombard dalam bukunya berjudul
“Nusa Jawa: Silang budaya”, Ia menyatakan bahwa ‘istilah kriya yang diambil
dari kryan menunjukkan
pada hierarki strata pada masa
kerajaan Majapahit adalah sebagai berikut; “Pertama-tama terdapat para mantri, atau pejabat tinggi serta para arya atau kaum bangsawan, lalu para kryan yang berstatus kesatriya dan para wali atau perwira, yang tampaknya juga merupakan semacam golongan
bangsawan rendah” (Denis Lombard dalam Gustami, 2002). Juga yang dalam bahasa Jawa ada disebut “Pakaryan”,
adalah merupakan suatu “pekerjaan” yang
pada umumnya hasil dari pekerjaan itu sering disebut sebagai “karya”. Orang
Jawa sering menyebut sesuatu produk hasil dari
kehalusan jiwa manusia yang indah-indah dengan istilah “kagunan” sebagai sesuatu yang bermanfaat
atau berguna. Ada pula yang berpendapat bahwa kata
‘kriya’ atau ‘kria’ berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti
“kerja”. Juga sering disebut dengan “kerawitan”
atau “ngrawit”, umumnya produk yang
dihasilkan memang mempunyai tekanan ‘jlimet’
atau ‘remitan’ atau ‘halus’ dan
‘rumit’ pengerjaannya sebagai hasil dari ketrampilan tangan atau ‘ke-prigel-an’ (Inggris: handicraft).
Dr. Sudjoko, mengatakan
bahwa banyak orang makin tersesat apabila tidak berani menyebut kriyawan adalah
seorang kreator atau penggubah, sebab menurut asal kata ‘creat’ sama dengan ‘kria’ atau ‘kr’’ yang sama-sama berasal
dari bahasa Sansekerta yang artinya
‘kerja’ (Sudjoko, 1983).
Sementara itu menurut Prof. Dr. I Made Bandem kata “kriya” dalam bahasa indonesia berarti
pekerjaan (ketrampilan tangan). Di dalam
bahasa Inggris disebut craft berarti energi atau
kekuatan. Pada kenyataannya bahwa seni kriya sering dimaksudkan sebagai karya
yang dihasilkan karena skill atau ketrampilan seseorang”. Seni kriya merupakan cabang seni yang menekankan pada ketrampilan tangan yang
tinggi dalam proses pengerjaannya. Kemudian istilah ini diartikan sebagai
keterampilan dan dikaitkan dengan sebuah prosesi tertentu seperti yang terlihat
dalam craftsworker (pengrajin). Pada
kenyataannya bahwa seni kriya sering dimaksud sebagai karya yang dihasilkan
karena skill atau ketrampilan
seseorang. Diketahui bahwa semua kerja dan ekspresi seni membutuhkan
ketrampilan. Dalam tradisi Jawa dikenal sebutan kagunan. Dijelaskan dalam kamus
Bausastra Jawa definisi kagunan
(kegunan) adalah kepinteran / yeyasan
ingkang adipeni / Wudaring pambudi nganakake kaendahan gegambaran, kidung, ngukir-ukir. Penjelasan itu menunjukkan posisi
dan pentingnya ketrampilan dalam membuat benda sehari-hari, karena itu apabila karya seni dalam
penciptaannya tidak didasari dengan kepekaan dan ketrampilan yang baik, maka
karya tersebut tidak bisa dinikmati sebagai karya seni. (Bandem,2002).
Seni kriya
oleh Prof. Dr. Timbul Haryono, yang
mensinyalir berasal dari kata “Kr”
(bhs. Sanskerta) yang berarti
‘mengerjakan’, dari akar kata tersebut kemudian menjadi ‘karya, kriya dan
kerja’. Dalam arti khusus adalah mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan benda
atau obyek yang bernilai seni (Timbul Haryono: 2002).
Dalam pergulatan mengenai
asal muasal kriya Prof. Dr. Seodarso Sp.,
mengungkapkan bahwa “perkataan kriya memang belum lama dipakai dalam bahasa
Indonesia; perkataan kriya itu berasal dari bahasa Sansekerta yang dalam kamus Wojowasito diberi arti sebagai
pekerjaan, perbuatan, dan dari kamus Winter diartikan sebagai ‘demel’’ atau
membuat (Soedarso, dalam Asmudjo, 2000). Soedarso Sp. Menjelaskan bahwa seni
kriya adalah cabang seni rupa yang sangat memerlukan kekriyaan (craftsmanship) yang tinggi seperti
misalnya ukir kayu, seni keramik, anyam-anyaman dan sebagainya. Cabang seni ini
merupakan penghasil seni terapan yang kecil-kecil yang pembuatannya memerlukan
keahlian yang tinggi, sehingga hampir-hampir si seniman tidak sempat
menyisihkan perhatiannya untuk berekpresi. Sesungguhnya dahulu semua seni adalah
seni kriya, tetapi dalam perkembangan zaman cabang-cabang seni yang lebih
ekspresif, yang murni estetik dan kurang mementingkan kekriyaan memisahkan
diri. Namun dalam perkembangannya, selanjutnya seni kriya ada yang menjadi
kriya murni seni murni dan kriya seni terapan (produk fungsional) karena
desakan kemajuan industri kreatif dewasa ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kriya diartikan
sebagai ‘pekerjaan tangan’. Demikian juga dalam Kamus Bahasa Kawi-Indonesia, kriya diartikan sebagai
‘pekerjaan’ atau ‘perbuatan’ (Wojowasito, 1994). Dan orang yang membuat benda-benda kriya
disebut sebagai ‘kriyawan’ atau ‘karyawan’, namun ada sedikit perbedaannya dari
kedua sebutan itu. Pada kriyawan lebih tertuju kepada konseptor pelaksana penciptaan,
sedangkan karyawan adalah sebagai pekerja yang memproduksi. Tampaknya di
Indonesia masih belum memasyarakat dalam penggunaan kata ‘kriya’ dibandingkan
dengan kata ‘kerajinan’ dikarenakan penonjolan pada hal-hal yang bersifat kerja
(individual) yang rajin dan telaten. Demikian pula pada instansi pemerintah
yang cenderung menyebut benda-benda hasil kerajinan untuk benda-benda kriya. Dari uraian tersebut dapat ditarik satu kata kunci yang
dapat menjelaskan pengertian kriya adalah: kerja, pekerjaan, perbuatan, membuat
benda, yang dalam hal ini bisa juga diartikan sebagai ‘penciptaan produk’,
khususnya karya fungsional atau seni terapan yang didukung oleh ketrampilan (skill) yang tinggi, atau
dengan metode teknik reproduksi untuk membuat benda secara massal.
Masuknya
agama Hindu dan Budha, memberikan perubahan tidak saja dalam hal kepercayaan,
tetapi juga pada sistem sosial dalam masyarakat. Struktur pemerintahan kerajaan
dan sistem kasta menimbulkan
tingkatan status sosial dalam masyarakat. Masuknya pengaruh Hindu–Budha di
Indonesia terjadi akibat asimilasi serta adaptasi kebudayaan Hindu-Budha dari
India, yang dibawa oleh para pedagang dan pendeta Hindu-Budha tersebut dalam
kebudayaan prasejarah di Indonesia. Kedua sistem keagamaan ini mengalami
akulturasi dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya di Indonesia yaitu
pengkultusan terhadap arwah nenek-moyang, dan kepercayaan terhadap spirit yang
ada yang di pengaruhi alam sekitar. Kemudian kerap tumpang tindih dan bahkan
terpadu ke dalam pemujaan-pemujaan sinkretisme Hindu-Budha Indonesia (Claire Holt terjemahan
Soedarsono, 2000). Tumbuh dan berkembangnya kebudayan Hindu-Budha di Indonesia,
melahirkan kesenian berupa seni ukir dengan aneka ragam hias dan patung
perwujudan dewa-dewa. Dalam sistem sosial ini, kemudian lahir sistem pemerintahan
kerajaan yang berdasarkan kepada kepercayaan Hindu seperti kerajaan Sriwijaya
di Sumatra, kerajaan Kutai di Kalimantan, kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat,
Mataram Kuno Jawa Tengah, hingga kerajaan Majapahit di Jawa Timur dengan Maha
Patih Gajah Mada yang tersohor, yang kemudian membawa pengaruh Budha-Hindu
sampai ke Bali, dan kegiatan seni ukir tradisional sampai sekarang masih
diwarisi dan berkembang.
Melalui tradisi besar di Jawa, telah melahirkan istilah kriya untuk
menyebut hasil seni yang diciptakan. Senimannya disebut “Abdi Dalem Kriya”,
yang dewasa ini lebih dikenal dengan sebutan “kriyawan”, dimana para kriyawan melakukan pekerjaannya
dikukuhkan dengan sebutan “Kriyan”.
Suatu nama yang dapat ditemukan di daerah Yogyakarta, Surakarta, Cirebon,
Jepara, dan daerah Jawa lainnya. (Gustami,1991,2). Menyimak
pendapat Prof. SP. Gustami yang
menguraikan bahwa; seni kriya merupakan warisan seni budaya yang adiluhung, yang pada zaman kerajaan di
Jawa mendapat tempat lebih tinggi dari kerajinan. Seni kriya ini mulanya dikonsumsi
oleh kalangan bangsawan dan masyarakat elit. Sedangkan yang disebut kerajinan
didukung oleh masyarakat umum atau kawula
alit, yakni masyarakat yang hidup di luar tembok keraton. Seni kriya
dipandang sebagai seni yang unik dan berkualitas tinggi karena didukung oleh craftmanship yang juga tinggi. Lain dengan kerajinan dianggap atau dipandang kasar dan
terkesan tidak tuntas. Hal ini bisa dibedakan pada pembuatan keris dengan pisau, baik dalam proses,
bahan, atau kemampuan si pembuatnya. Lebih lanjut Gustami menjelaskan perbedaan antara kriya dan kerajinan dapat disimak pada
keprofesiannya, dimana kriya dimasa lalu yang berada dalam lingkungan istana
untuk pembuatnya diberikan gelar Empu, yang dalam perwujudannya produknya sangat mementingkan
nilai estetika dan kualitas skill. Sementara
kerajinan yang tumbuh di luar lingkungan istana, si-pembuatnya disebut dengan Pandhe (tukang). Perwujudan benda produk kerajinan hanya
mengutamakan fungsi dan kegunaan (kagunan)
yang diperuntukkan untuk mendukung kebutuhan praktis bagi masyarakat atau
rakyat (Gustami, 2002). Pengulangan-pengulangan dan minimnya akan pemikiran
seni (art) ataupun estetika adalah
satu ciri penanda benda kerajinan. Pemisahan yang berdasarkan strata atau
kedudukan tersebut mencerminkan posisi dan eksistensi seni kriya di masa lalu
di Jawa. Seni kriya bukanlah karya yang dibuat dengan intensitas rajin
semata, di dalamnya juga bisa terkandung nilai-nilai keindahan (estetika) dan
juga kualitas skill yang tinggi. Sedangkan
kerajinan tumbuh atas desakan kebutuhan praktis dengan mempergunakan bahan yang
tersedia dan berdasarkan pengalaman kerja yang diperoleh dari kehidupan
sehari-hari. Kembali ditegaskan oleh Gustami, bahwa seni kriya adalah karya seni
yang unik dan punya karakteristik di dalamnya terkandung muatan-muatan nilai
estetik, simbolik, filosofis dan sekaligus bisa fungsional, oleh karena itu dalam proses perwujudannya harus
pula didukung craftmenship yang tinggi, yang berakibat kehadiran dari
seni kriya digolongkan dalam kelompok seni adiluhung
(Gustami, 1992:71).
Dari
beberapa pendapat yang telah dibahas sebelumnya, menjelaskan bahwa wujud awal
seni kriya lebih banyak ditujukan sebagai seni pakai (terapan). Praktek seni
kriya pada awal-mula bertujuan untuk membuat barang-barang fungsional, baik
ditujukan untuk kepentingan keagamaan (religius) atau kebutuhan praktis dalam
kehidupan manusia seperti adanya
perkakas rumah tangga. Contohnya dapat disaksikan pada
artefak-artefak berupa kapak dan perkakas pada jaman batu serta
peninggalan-peninggalan dari bahan perunggu pada jaman logam berupa nekara, moko, candrasa, kapak, bejana
dari logam dan tanah liat, hingga produk perhiasan seperti gelang, kalung dan
cincin. Benda-benda tersebut dipakai sebagai perhiasan, pakaian, perlengkapan prosesi
upacara ritual adat (suku) serta kegiatan ritual yang bersifat kepercayaan
untuk penghormatan terhadap arwah nenek-moyang.
A.S.Hombay, menyatakan bahwa Kriya juga disebut seni terapan (applied art) yaitu seni terap yang
dibuat dengan teknik ketrampilan yang tinggi untuk mencapai ciri-ciri dekoratif
(A.S.Hombay,1963:144). Sedangkan wujud dari kriya dapat dikategorikan kedalam
berbagai bidang, tergantung dari cara pengelompokannya. Pengelompokan
berasarkan bahan yang digunakan, misal terdiri dari kriya bamboo, kriya kayu, kriya perak, kriya keramik / tanah liat, kriya
batik, dan sebagainya. Dilihat dari teknik pembuatannya, maka kriya bisa
dibedakan menjadi: kriya ukir / pahat, kriya logam, kriya anyam, dan lain-lain.
Disamping itu, dikenal juga sebutan kriya modern dan kriya tradisional.
Arkeolog
(UGM), Atmosudiro, dkk, memerinci
bahwa seni kriya adalah semua hasil karya manusia yang
memerlukan keahlian khusus yang berkaitan dengan tangan, sehingga kriya sering disebut
kerajinan tangan. Seni kriya dihasilkan melalui keahlian manusia dalam mengolah
bahan mentah, menjadi produk dan ruang lingkupnya dapat ditelusuri melalui bahan
yang dipergunakan tersebut, diantaranya batu, tanah liat, kayu, logam, benang,
tulang, cangkang kerang, kulit, kaca, dedaunan, buah kering, plastik, serat,
dll. Seni kriya juga dapat dikelompokkan menurut tujuan penciptaannya dan kegunaannya menjadi fungsi praktis, estetis,
simbolis dan religius (Atmosudiro, 2001: 107-110)
Dalam buku ’Tinjauan Kriya
Indonesia’ dijelaskan secara panjang lebar oleh Sugeng Toukio M, sebagai berikut: Kria (Jw = Kriya; Bausastra Jawa-Indonesia) adalah
pekerjaan tangan; seperti pandai besi, dalam bahasa Kawi, kriya juga berarti
pekerjaan, perbuatan, upacara. Kria;
secara umum menunjukan suatu kegiatan atau aktifitas manusia berkaitan dengan peyasaan bebarang. Dari pengertian di atas dapat
dirangkum pengertian kriya sebagai berikut:
- Merupakan hasil dari kegiatan manusia yang berkaitan peyasaan bebarang (kebutuhan produk) untuk memenuhi kebutuhan manusia.
- Suatu kegiatan yang melibatkan kemahiran dalam memadukan pemakaian bahan dan alat menjadi bebarang meguna (produk berguna / fungsional).
- Suatu kegiatan yang mencerminkan kegiatan, ketrampilan, daya nalar untuk menghasilkan kekayaan yang manusiawi, meguna dan memiliki nilai keindahan sepadan dengan norma yang berlaku.
- Merupakan pekerjaan yang bertautan dengan ketrampilan tangan dan bersifat keutasan (utas = tukang, juru, ahli) dalam menghasilkan karya yang meguna (fungsional).
Seni kriya sebagai salah
satu cabang seni rupa yang memiliki akar budaya yang panjang dalam sejarah
kebudayaan Indonesia, dimasa lampau hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kini dengan kemajuan ilmu, teknologi, seni dan sosial-ekonomi, antara lain
adalah sebagai komoditas perdagangan dan pemenuhan kebutuhan ekspresi, kini
telah terjadi perubahan yang sangat kompleks.
Peran
seni kriyapun kini menjadi semakin berkembang, tidak saja sebagai komponen
dalam hal kepercayaan keagamaan, namun juga telah menjadi konsumsi golongan
elit tertentu, para pengusaha, pejabat publik yaitu sebagai penanda status
sosial. Kondisi tersebut menjadikan kriya sebagai seni yang bersifat elitis
karena menduduki posisi terhormat pada masa kini. Hampir tidak berbeda dengan
kerajinan, yang cenderung tumbuh dari kalangan masyarakat biasa atau golongan
rakyat jelata, menjadi semacam inspirasi yang mencitrakan kedekatan individu,
apalagi sebagai publik figur, untuk
tujuan politis, sosial, ekonomis tertentu atau sebagai bentuk kemapanan ekonomi
yang menandai status seseorang. Artinya,
tingkatan ekonomi yang dimiliki seseorang dapat membedakan posisi mereka dari
orang lain dengan koleksi produk kriya. Yang secara sederhana kekuasan
ditentukan oleh kemampuan ekonomi idividu. Dalam sistem masyarakat modern
kondisi ini telah berubah, kaum elit yang sekarang digantikan kalangan
konglomerat (pemilik modal). Kondisi ini membawa dampak bagi pada posisi kriya,
menjadikan kriya tidak lagi menjadi seni yang bersifat spesial karena posisi
terhormatnya di masa lalu dan kini sudah terancam tidak eksis lagi, kriya seni kini menjadi sebuah artefak warisan dari masa
lalu. Terlebih lagi dalam industri dan budaya seperti sekarang ini, kedudukan
kriya seni, kini telah bergeser sebagai produk kriya obyek pasar, yang
diproduksi secara massal dan diperjualbelikan demi kepentingan kegiatan ekonomi.
Kriya kini mengalami desakralisasi dari posisi yang terhormat di masa lalu,
yang adiluhung merupakan artefak yang
tetap dihormati namun sekaligus juga direduksi dan diproduksi secara
terus-menerus, karena banyak orang membutuhkannya baik untuk perlengkapan rumah
tangga, menghiasi setiap rumah tinggal, hotel, kantor, tempat publik yang
menyiratkan kemajuan dan apresiasi yang juga telah berkembang melengkapi
kegiatan arsitek interior dan eksterior serta rumah mode.
Kehadiran
produk kriya pada jenjang pendidikan tinggi adalah sebuah upaya untuk mengangkat
harkat kekriyaan dari hanya sebagai artefak, dan untuk menjadikannya sebagai kegiatan
seni murni atau seni terapan, yang memiliki nilai tertentu (sebagai pilihan
atau alternatif), berwawasan ilmu seni-budaya dan sosial-ekonomis, sehingga bisa
eksis dan terhormat sekaligus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan
jaman. Inilah tugas berat insan akademis, sebagai agen perubahan, dan kampus
bukan lagi sebagai ”menara gading” bagi masyarakatnya.
Sejalan
dengan perkembangan jaman, konsep kekriyaan pun terus berkembang. Perubahan
senantiasa menyertai setiap gerak laju praktek pembuatan produk kriya,
khususnya di kalangan akademis yang mengalami pergeseran orientasi penciptaan
dalam senirupa.
Beberapa sumber
menyebut konsep kriya memiliki pengertian yang mirip dengan ‘craft’, istilah tersebut dipergunakan
dalam menyebut suatu cabang seni yang mengutamakan ketrampilan dibanding dengan
ekspresi (Feldman, Edmund Burk, 1967). Kriya
juga dipandang sebagai seni terapan (applied
art) yang dibuat dengan teknik ketrampilan tinggi untuk mencapai suatu
ciri-ciri dekoratif (A.S. Homby, 1963). Dalam bahasa Inggris makna kriya
ditemukan dalam pengertian “handicraft”
yang berarti pertukangan / ketrampilan tangan / keprigelan. Sedangkan kata ‘craft’
itu sendiri berarti suatu keahlian atau ketrampilan yang menghasilkan benda
atau produk. Untuk kata ‘craftsman’
yang berarti tukang, ahli, juru, seniman yang memiliki ketrampilan teknik, yang
menunjuk kepada seseorang yang dapat menghasilkan benda-benda kriya. Disamping
itu ada juga disebut sebagai ‘craftsmanship’
yang berarti keahlian atau ketrampilan (John M. Echolss dan Hassan S, 1993). Dalam buku Word Book Multimedia Encyclopedia,
pendapat tentang ‘craft’ adalah
sebagai benda kriya yang diciptakan untuk keperluan dekorasi, atau sebagai
sarana ungkapan imajinasi pembuat atau ekspresi seni (Lois Moren, 1977). Pada “kriya” atau “kria” yang berasal dari kata “creat” ini, dalam bahasa Sansekertanya berarti “kerja” dan bahasa
Jawanya disebut “pakaryan” serta
masyarakat pada umumnya menyebut sebagai “kerajinan”. Jika diurai dari akar
keilmuannya, masih terus terjadi perdebatan dikalangan praktisi maupun
akademisi bidang seni rupa. Bidang kekriyaan atau kerajinan ini menjadi ajang
perebutan, antara masuk disiplin ilmu seni murni atau ilmu desain sehingga
muncul istilah “kriya seni”, “kriya desain” atau “seni kriya” dan “desain
kriya”. Karena kriya memiliki fleksibilitas
yang tinggi, bisa berupa kecendrerungan-kecenderungan, berada ditengah-tengah
dan tergantung dari kedudukan dan wawasan yang dipergunakan, yang bisa berada
di wilayah atau kubu dari seni murni atau seni pakai atau seni produk (seni
terapan desain).
Pengertian Kerajinan
Benda-benda hasil kerja perajin
yang selama ini biasa disebut hasil kerajinan, sesungguhnya adalah juga
benda-benda kriya. Beberapa sumber menyebutkan konsep kriya memiliki arti yang
sama dengan craft. Istilah tersebut
dipergunakan untuk menyebutkan suatu cabang seni yang mengutamakan keterampilan
tangan dibanding ekspresi (Edmun Burk Fledman, 1967: 144). Kerajinan memiliki
ciri khas sebagai pekerjaan tangan (handicraft)
yang termasuk kriya (craft). Menurut
pendapat Feldman Burk Feldman,
kerajinan tangan memiki ciri-ciri antara lain bahwa:
1). Suatu objek buatan tangan, biasanya direncanakan dan
dikerjakan oleh orang yang sama. Hal ini biasa dilakukan oleh perajin-seniman,
akan tetapi banyak desa kerajinan dengan ekonomi pra-industri, pembagian kerja
terjadi, sehingga seniman mungkin menggerakan desain yang diciptakan oleh orang
lain dan tenaga kerja anggota keluarga melaksanakan dengansedikit pengulangan.
2). Perajin tidak hanya melaksanakan sendiri seluruh
karya, tetapi juga menambah dan mengatur (menyempurnakan) desainnya menurut
kebutuhan nasabah atau pelanggannya. Oleh karena itu karaktetistik kerajinan
tangan mencakup tanggung jawab yang utuh terhadap penciptaan objek dan
penyesuaian disain dan pelaksanaan bagi kebutuhan individu patron.
3). Keunikan objek kerajinan tangan mungkin
didasarkan pada keistimewaan teknik
perajin atau keinginan tertentu dari
patron.
4). Sisi lain
kerajinan dalam budaya pra-industri adalah, secara paradoksal, kesamaan
relatiffnya, dalam artian bahwa variasi dalam detail terjadi karena duplikasi
secara absolut tidak mungkin pada barang buatan tangan, walaupun demikian
secara umum terdapat sedikit perubahan dari apa yang dilakukan oleh perajin
terhadap produk yang dihasilkan. Faktor internal secara pasti mempengaruhi
perubahan produk, seperti misalnva pertumbuhan penduduk bertindak sebagai
pendorong ekonomi yang kuat, sama pentingnya dengan individu-individu inovatif
yang membuka hubungan sosial yang tegas oleh hubungan patron-klien.
Melalui tradisi kecil di Jawa, telah lahir pula istilah
“Kerajinan” sebagai sebutan hasil karya yang diciptakan para “perajin”. Adapun
tempat dimana mereka melakukan kegiatannya disebut “Desa Kerajinan”, oleh
karenanya istilah ini menjadi lebih memasyarakat dan banyak dipergunakan oleh
instansi pemerintah.
Berdasarkan
hasil dari penelusuran yang ada dan telah penulis lakukan, maka perlu diketahui
pula tentang apa dan bagaimana disebut kerajinan, bersangkutan dengan bentuk, motif,
desain dan teknik serta finishing.
1). Kata kerajinan, dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia oleh Poerwadarminta, terdapat kata rajin
yang diartikan. a). Suka dan giat bekerja, b). Kerap kali melakukan sesuatu,
sedangkan kata kerajinan itu sendiri adalah, a). Hal yang bersifat rajin atau
kegetolan, b). industri; perusahaan membuat sesuatu; barang-barang hasil
pekerjaan tangan; kerajinan rumah tangga atau kerajinan kecil yang dikerjakan
dirumah, pekerjaan tangan (bukan dengan mesin), (1976:792). Dalam “Kamus Besar
Bahasa Indonesia” oleh Poerwadarminta, juga ada kata terampil, yang diartikan
sebagai cekatan, cakap mengerjakan sesuatu, keterampilan yang berarti
kecekatan; kecakapan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik dan
cermat, (1976:1088). Dan menurut Ermen
Makmur dalam bukunya “Kerajinan Pandai Besi Sumatera Barat”, menjelaskan
bahwa kerajinan tangan adalah jenis kesenian yang menghasilkan berbagai barang
perabotan, hiasan atau barang-barang lain yang artistik, yang terbuat dari
bahan kayu, besi, logam, kain dan lain sebagainya, (1995/1966:11).
2). Motif, menurut Sayed
Muhammad, yang mengatakan bahwa motif merupakan salah satu aspek psikis
yang paling berpengaruh dalam tingkah laku individu. Motif diartikan sebagai
suatu keadaan yang sangat komplek dalam organisme (individu) yang mengarahkan
perilakunya kepada satu tujuan, baik disadari atau tidak. Perilaku tersebut
bertujuan untuk mendapatkan insentif, jadi dapat
disimpulkan bahwa adanya keinginan diluar need dan drives untuk
memperoleh sesuatu hal. Drives
didasarkan adanya dorongan untuk pemenuhan kebutuhan dasar sedangkan need lebih sering digunakan pada
keinginan-keinginan kebutuhan yang dianggap kurang dalam suatu
kebutuhan-kebutuhan individu, (2007:1). Dan Poerwadarminta dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” menjelaskan
bahwa motif itu adalah, a). Sebab-sebab yang menjadi dorongan; tindakan
seseorang, b). Dasar pikiran atau pendapat, c). Sesuatu yang menjadi pokok
dalam cerita, gambar dan lain sebagainya, (1976:655).
3). Desain, menurut A. M. Utomo, dalam tulisannya di Bali Post yaitu “Mengusut Asal
Mula dan Pemahaman Desain”
menjelaskan bahwa pengertian desain
menurut terminologinya dari bahasa Latin (desionare)
atau bahasa Inggris (design). John Echols dalam kamusnya mengatakan
sebagai potongan, pola, model, mode, konstruksi, tujuan dan rencana. Sedangkan
Kamus Webster, pengertian desain itu
sendiri lebih luas seperti gagasan awal, rancangan, perencanaan, pola, susunan,
rencana, proyek, hasil yang tepat, produksi, membuat, mencipta, menyiapkan,
meningkatkan, pikiran, maksud, kejelasan dan seterusnya. Khusus dalam seni
rupa, desain dapat diartikan sebagai pengorganisasian atau penyusunan elemen-elemen
visual sedemikian rupa menjadi kesatuan organik dan harmoni antara
bagian-bagian serta secara keseluruhan. Dalam proses desain dikenal beberapa prinsip desain
sebagai (a) kesatuan, (b) keseimbangan, (c) perbandingan, (d) tekanan, (e)
irama, dan (f) keselarasan, (2004:1). Menurut Agus Sachari dalam bukunya “Desain
dan Dunia Kesenirupaan Indonesia dalam Wacana Transformasi Budaya”, membagi dua
bentuk dari desain itu sendiri: a). Desain adalah terjemahan fisik mengenai
aspek sosial, ekonomi dan tata hidup manusia serta merupakan cerminan budaya zaman. b). Desain adalah salah satu manifestasi
kebudayaan yang berwujud, desain
adalah produk dari nilai-nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu,
(2001:10).
4). Teknik, dalam “Kamus Filsafat” karya Lorens Bagus menjelaskan bahwa teknik berasal dari kata Yunani techne (seni, keterampilan, kerajinan,
kerajinan tangan, seuatu sistem atau metode pembuatan atau pengerjaan sesuatu).
Istilah ini menunjukkan kepada pengetahuan dan penerapan prinsip-prinsip yang
diperlukan dalam menghasilkan objek-objek dan menyelesaikan tujuan-tujuan
khusus. Arti techne yang umum
menunjukkan pada pengetahuan tentang bagaimana mengerjakan atau membuat hal-hal
(sebagaimana lawan dari mengapa hal-hal berada sebagaimana adanya); bagaimana
mencapai tujuan yang diinginkan atau bagaimana memproduksi sesuatu (1996:1080-1081).
Menurut Poerwadarminta dalam “Kamus
Umum Bahasa Indonesia” menjelaskan bahwa teknik merupakan, a). Pengetahuan atau
kepandaian membuat sesuatu yang berkenaan dengan hasil industri, bangunan,
mesin dan sebagainya, b). Teknik merupakan cara, kepandaian, membuat sesuatu
atau melakukan sesuatu yang berkenaan dengan kesenian, (1976:1035).
5). Finishing, menyangkut tentang penyelesaian akhir bahan-bahan atau penampilan akhir
suatu produk yang siap untuk dipasarkan atau dipamerkan atau dikemas.
Dari buku : Produk Kekriyaan
email: goesmul@gmail.com
Pustaka
Anonim,
2006. Jurnal Ilmu Desain, dalam :
Imam Buchori Zainudin, Desain, Sains Desain dan Sains
tentang Desain: Telaah Filsafat Ilmu. hal. 17 –
34
Anonim, 2006. Jurnal Ilmu Desain, Widagdo, Estetika Dalam Perjalanan Sejarah: Arti dan Peranannya dalam Desain. hal. 3-16
Anonim, 1995. Creativity
and Madness: Psychological Studies of Art and Artist Burbank, Aimed Press, hal.18
Anonim, 2005, BAHASA
DAN SENI, Tahun 33, Nomor 1, Februari 2005
Astuti, Ambar. 1997. Pengetahuan Keramik. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
Atmosudiro, Sumijati, dkk, Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya, SPSP. Prv.JawaTengah dan Jur.
Arkeologi FIB-UGM
Atmosudiro,
Sumijati. 1984. Notes on the
Tradition of Pottery Making in the Region of Kasongan, Regency of Bantul.
dalam Satyawati
Donald
Tamplin. 1991. The Arts: A History of
Expression in the 20th Century. London: Harrap, hal. 7
Enget,dkk, 2008. Kriya
Kayu untuk SMK, Jilid 2, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional, hal. 421 – 424.
Francis, Abraham M. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga:
Suatu Teori Umum Pembangunan. Yogyakarta.
Feldman,
B.F. 1967. Art As Image and Idea. Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice Hall Inc.
Gustami, Sp. 1985. et al., Pola Hidup dan Produk
Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian Pengkajian
Kebudayaan Nusantara.
Gustami, Sp. 1988. Seni Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta: Kontinuitas
dan Perubahannya , Tesis S2 Universitas Gajah Mada.
Haryono, Bedjo. 1995-1996. Pembuatan Kerajinan Tanah Liat
Tradisional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian Proyek
Pembinaan Permuseuman DIY.
Konperensi Kriya, 1999. Tahun Kriya dan Rekayasa 1999, Institut Teknologi Bandung, 26 Nov” 99.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan. Gramedia Jakarta.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. (Terj.
Hasti T. Champion), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Manhei, Karl. 1985. Sosiologi Sistematis.
(Terj: Soerjono Soekanto), Rajawali, Jakarta.
Manuaba, Bunga Rampai Ergonomi Vol.
1, Kumpulan Artikel PS Ergonomi – Fisiologi Kerja, Unud Denpasar, 1998,
Hal. 1
Manuaba, Catatan Kuliah S-2 Ergonomi, 2006
Muchtar, Bud. 1991. Daya Cipta di Bidang Kriya dalam Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. B.P. ISI. Yogyakarta.
Munro,
Thomas,1969. The Arts and Their
Interrelations. Cleveland and London: The Press of Case Western Reserve
University
Soegondho, Santoso. 1995. Tradisi Gerabah di
Indonesia: Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Kini. Himpunan
Keramik Indonesia, Jakarta.
Stark,
Miriam T. and William A. Longacre. 1993. Kalinga
Ceramics and New Technologies: Social and Cultural Contexts of Ceramics Change,
dalam W. D. Kingery (Ed), Ceramics and Civilizition: The Social and Cultural
Contexs of New Ceramic Technologies. Volume VI, The American Ceramic
Society, Westerville, OH.
Sritomo W. Subroto, Proceeding Seminar Nasional Ergonomi
2006, 21-22 Nopember 2006, Auditorium Ged. A-D Usakti, Jakarta, hal. 11
Soedarso Sp., 1987. Tinjauan Seni: Pengantar Apresiasi Seni,
Saku Dayar Sana, Yogyakarta
Tamplin, Donald, 1991. The Arts: A History of Expression in the 20th Century.
London: Harrap
Virshup,
Evelyn,1995. Jackson Pollok Art Versus Alchohol. dalam Barry Panter dan Virshup.
Creativity and Madness: Psychological Studies of Art and Artist. Burbank: Aimed Press,
1995.
Wiyoso
Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Wiyoso Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,
hal.151.
Yuswadi
Saliya, 1999. Pendekatan Interdisiplin dalam Desain: Suatu Penjelajahan Awal. Hal. 785 – 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar