WAWASAN
TEORI
PENGETAHUAN
PRODUK KRIYA
oleh
AGUS MULYADI UTOMO
gusmultom@gmail.com
gusmultom@gmail.com
I.
P E
N D A H U L U A N
Manusia dalam kehidupan merupakan serangkaian dari masalah-masalah, dimulai
dari sejak kelahirannya telah dihadapkan pada berbagai macam tantangan hidup
dan kehidupan, yang timbulnya bisa bersumber dari dalam diri, lingkungan alam
dan sosial serta budaya, atau saling mempengaruhi atau saling berhubungan satu
dengan lainnya. Dengan menggunakan akal, pikiran dan ketrampilannya, manusia
pada akhirnya mampu mengatasi dan memecahkan berbagai masalah betapapun rumit
dan peliknya, sehingga membuahkan hasil karya dan pemikiran yang bermanfaat ke
arah tingkat kemajuan hidup yang lebih tinggi dan layak.
1.1
Budaya Materi
Bermula dari
kebudayaan paling sederhana yang muncul
pada zaman batu. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kecerdasan, perasaan dan
pengetahuan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pada
zaman itu. Untuk menunjang kelangsungan hidup, manusia kemudian membuat alat-alat dari bahan-bahan yang
diperoleh di alam sekitar mereka. Sebagai contoh, kapak genggam (lihat Gbr 1,2
dan 3) dan alat-alat perburuan (Gbr. 4) yang dibuat dari tulang dan tanduk
binatang.
Setiap saat manusia dihadapkan pada suatu sikap untuk bisa mengambil
keputusan atau tindakan sebagai suatu reaksi terhadap suatu kebutuhan dan
keadaan aman dilingkungan kehidupannya. Kebutuhan dasar yang umumnya berupa
makan-minum (pangan), sandang
(pakaian) dan papan (tempat tinggal).
Dan bila sudah terpenuhinya kebutuhan dasar (jasmani-material) tersebut, lalu
meningkat pada kebutuhan yang bersifat norma-rasa-batiniah, berupa nilai-nilai
tertentu, identitas dan kepribadian serta harga diri atau prestise (status-sosial-budaya) yang setiap saat berubah.
Manusia
selalu bereaksi. Karena itulah, sebagai sesuatu hal yang menyebabkan manusia
melangkah untuk lebih maju dan berkembang. Tindakan untuk bereaksi juga
merupakan tanggapan dari sesuatu hal akan kebutuhan, yang bisa saja timbul dari
individu atau kelompok masyarakat, baik sebagai makhluk biologis maupun sebagai
makhluk sosial-budaya. Bisa dengan reaksi intelektual (akal-ilmiah) atau
emosional (rasa-ekspresi) yang didorong oleh kemauan atau kehendak (karsa)
untuk senantiasa berusaha memenuhi akan kebutuhan dan memecahkan berbagai
permasalahan yang ditemui. Tindakan
berupa kegiatan yang dimulai dari berfikir, merancang hingga mewujudkan
benda-benda bernilai, yang sebenarnya untuk memenuhi suatu kebutuhan adalah
sebagai hasil dari olah cipta, olah akal, olah rasa dan karsa. Setiap orang
tentu ada keinginan untuk bisa mengungkapkan tentang perasaannya, gagasannya,
tanggapannya, pendapatnya, sikap dan pengalamannya sebagai naluri yang
sebenarnya telah diwarisi secara turun-temurun.
Tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1974) adalah:
-
Pertama, sebagai
kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya;
-
Kedua, sebagai suatu
kompleks aktivitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat yang
disebut sistem sosial;
-
Dan ketiga, sebagai
benda-benda hasil karya manusia yang biasa disebut kebudayaan fisik. Berupa
hasil aktivitas manusia seperti benda-benda nyata atau kasat mata, dapat
diraba, dan difoto, mulai benda bangunan besar dan kolosal, lalu candi-candi
serta patung atau arca-arca, pakaian, perhiasan, hingga benda yang kecil
peralatan hidup sehari-hari, benda magis-spiritual, juga sampai pada benda seni
yang murni emosional.
Pandangan
Koentjaraningrat tersebut dalam kenyataan hidup masyarakat sehari-hari tampak
sulit dibedakan satu dengan lainnya, karena bisa terjalin menjadi suatu
rangkaian yang tidak terpisahkan. Adat-istiadat kebiasaan dan kepercayaan serta
agama turut pula mengatur atau memberi arah kepada perbuatan yang menghasilkan
benda-benda fisik nyata sebagai wujud dari konsep yang dianggap bernilai atau
ideal. Kehadiran benda-benda tentu akan berakibat munculnya ide atau gagasan
baru atau benda-benda yang baru pula, demikian seterusnya dan bisa merupakan serangkaian sebab-akibat atau
sebagai proses pembelajaran menuju suatu yang lebih baik dan berkembang.
Kemampuan
pembuatan produk kriya sudah tampak dalam periode budaya agraris (agriculture),
yang menunjukkan perkembangan peradaban. Perkembangan yang secara umum diikuti
oleh suatu peningkatan kebutuhan hidup yaitu seperti keperluan terhadap
peralatan pertanian, dapur, pakaian dan peralatan rumah-tangga lainnya,
sehingga orang kemudian memproduksi beberapa produk seperti: pisau atau parang,
cangkul, cawan, periuk, tempayan, pakaian, perhiasan, kursi dan mebelair serta
perabotan lainnya.
Salah
satu cara yang paling penting dalam hubungan antara manusia secara sosial
adalah melalui perantaraan benda-benda (produk). Budaya materi merupakan
istilah bagi kajian hubungan manusia-benda: kajian mengenai manfaat benda-benda
atau objek-objek. Dengan demikian budaya materi ini menjadi berguna, karena
menunjukkan bahwa materi dan budaya selalu berkombinasi dalam hubungan-hubungan
yang spesifik dan bahwa hubungan-hubungan ini dapat menjadi objek studi wilayah
artefak yang dikenal luas sebagai budaya materi yang mencakup: alat, peralatan,
senjata, ornamen, perkakas domestik, objek-objek relegi, barang-barang antik,
artefak primitif, bahan-bahan tradisi, dan lain-lain. Produk kekriyaan sebagai
artefak merupakan salah satu produk budaya materi yang sangat penting dan
merupakan salah satu sarana yang melaluinya dapat diperoleh satu hubungan dengan masa lalu. Semenjak produk kriya memainkan peran penting
dalam kehidupan sosial di masa lalu, misalnya keramik yang tahan waktu atau
zaman telah menjadi suatu sumber data yang bernilai untuk merekonstruksi
kondisi sosial. Sehingga jejak-jejak perubahan kebudayaan yang tercemin melalui
pengalihan teknologi dan gaya keramik dalam suatu masyarakat akan memberikan
indikasi informasi yang bernilai tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu.
Telaah melalui perubahan stifistik, morfologi, dan teknologi akan mencerminkan
bagaimana pengaruh dari pembuatan keramik yang inovatif dalam masyarakat maupun
akibat-akibat dari konteks sosial dan kultural. Oleh karena itu studi perubahan
melalui produk keramik atau melalui kajian terhadap sebab-akibat atau atas
reaksi terhadap perubahan tertentu dalam masyarakat pembuatnya akan memberikan
informasi tersebut. Seperti juga produk
karya seni murni dan arsitektur, objek-objek yang dihasilkan secara industrial
dapat dilihat sebagai manifestasi perubahan dalam iklim mental dan sebagai
kehendak sejarah. Karena dalam perencanaan (desain)
yang merupakan upaya secara sadar untuk mengadakan tatanan yang bermakna,
sehingga bentuk dari artefak manusia, melalui desainnya, dapat dipahami khususnya dalam konteks waktu.
Semua
kebudayaan secara konstan berubah, tidak ada kebudayaan yang statis sepenuhnya.
Bahkan dalam semua sistem sosio-kultural juga selalu mengalami perubahan,
walaupun tingkat dan bentuk perubahan berbeda-beda dari situasi satu ke situasi
lainnya. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat perubahan seperti: perubahan
dalam lingkungan fisik, jumlah, penyebaran, komposisi penduduk, kontak dan
isolasi, nilai dan sikap, struktur sosial, kebutuhan yang dirasakan,
adat-istiadat dan budaya. Sementara itu perubahan pada umumnya akan mengikut
sertakan modifikasi dalam lingkungan sosio-kultural atau lingkungan fisik.
Lingkungan sosio-kultural lebih menunjuk pada orang, kebudayaan, dan
masyarakat, sedangkan lingkungan fisik menunjuk pada tata ekologi tertentu,
baik alami maupun buatan manusia (Koentjaraningrat: 1984, 90).
Dalam
studi perubahan produk kekriyaan, ada tiga masalah teoritis yang perlu ditelaah
dalam kaitannya dengan konteks sosial dan kultural adalah: rangsangan terhadap
perubahan, faktor internal dan eksternal dalam proses perubahan, dan arah dalam
proses inovasi. Proses perubahan sosial dan kultural menunjukkan berbagai
variasi seperti: penemuan, invensi dan difusi. Penemuan adalah suatu kegiatan
untuk menjadikan sadar atas sesuatu, terkadang yang telah ada sebelumnya tidak
dirasakan dan disadari. Invensi adalah suatu kombinasi baru dari objek-objek
atau pengetahuan yang telah ada untuk membuat suatu produk baru atau merupakan
suatu sintesis dari bahan dan kondisi atau praktek yang ada sebelumnya. Dalam
konteks seperti itu, invensi dapat diartikan sebagai "pembuatan".
Perubahan yang berkaitan dengan konteks sosio-kultural tersebut, kaum
intelektual berperan sebagai pendahulu dalam pembentukan sistem pengetahuan
masyarakat. Di samping itu terdapat kelompok-kelompok pembawa budaya tertentu
yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan kontur budaya konsumen sebagai
konsekuensi kemampuannya di dalam mempengaruhi perkembangan fashion, gaya hidup, seni dan budaya.
Dalam pembentukan selera kesenian,
massa disini mempunyai peranan besar dan penting, sementara itu para investor
dan pasar juga ikut berperan besar sebagai pembuat cita rasa massa dan
pembentuk nilai-nilai budaya bangsa. Secara luas dibangun oleh kaum intelektual
yang mencakup: kriyawan, ahli, peneliti, sarjana, dan seniman serta desainer
sebagai sumber daya kreativitas. Daya kreativitas yang dimiliki kaum
intelektual tersebut pada gilirannya akan melahirkan berbagai inovasi baru.
Istilah
inovasi seringkali digunakan untuk mencakup hasil penemuan dan invensi
tersebut, hal ini tentu merupakan pikiran, perilaku, atau sesuatu yang baru,
karena secara kualitatif berbeda dari bentuk semula. Sehingga inovasi secara
longgar dipandang sebagai adopsi terhadap suatu proses dan bentuk yang baru.
Inovasi merupakan suatu ide atau konstelasi ide, tetapi beberapa inovasi yang
melalui sifatnya kadangkala hanya tinggal dalam organisasi mental, sementara
yang lain mungkin merupakan bentuk ekspresi yang tampak dan nyata.
Inovasi
pada produk kriya tampak pada munculnya proses dan bentukan produk baru, suatu
produk yang berkembang yang bersifat non-tradisional. Produksi bentuk-bentuk non-tradisional ini didasarkan pada ide-ide dari
luar yang tumbuh dari tuntutan konsumen yang terus berubah. Untuk memahami
perubahan produk kriya sebagai konsekuensi adopsi inovasi, maka telaah yang
memusatkan analisis pada masyarakat, dengan memperhatikan pertama kali pada
dasar teknik produksi ekonomisnya adalah menjadi penting. Oleh karena dalam
lingkup demikian terjadinya perubahan akan dapat diamati dan dirumuskan tentang
perubahan-perubahan seperti teknik proses bahan baku, teknik produksi,
mesin-mesin yang memproduksi, pakaian, perabotan, perumahan dan sebagainya,
juga merupakan teknik-teknik, dengan melalui perubahan-perubahan tersebut yang
akan mempengaruhi masyarakat (Karl Mennhei, 1985: 119).
Di
samping hal tersebut, dalam studi perubahan produk kriya, ada tiga masalah
teoritis yang perlu ditelaah dalam kaitannya dengan konteks sosial dan kultural
adalah sebagai rangsangan terhadap
perubahan, faktor internal dan eksternal dalam proses perubahan serta arah
dalam proses inovasi. Berkaitan dengan rangsangan perubahan tersebut, perlu
juga memahami karakteristik dari kerajinan tangan (skill) itu sendiri.
Secara
etnografis faktor-faktor eksternal mencakup berbagai aspek integrasi, ekonomi
internasional, pengenaan ekonomi uang komunikasi yang baik dan fasilitas
transportasi, suatu peningkatan dalam wisata nasional dan internasional, minimnya
bahan bakar dan penebangan hutan dan emigrasi dari daerah pedesaan ke
kota-kota.
Tuntutan
pasar dan pengembangan pasar wisata merupakan dua kepentingan yang berkait dan
berpengaruh pada sistem produk kekriyaan. Sementara itu proses inovasi dan
alasan mengapa kelompok tertentu dalam suatu masyarakat memilih untuk
memperbaharui pandangan inovasi dalam masyarakat pertukangan atau perajin
mencakup dua hal: yakni dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Inovasi dari
atas ke bawah terjadi manakala pekerja senirupa ahli yang kaya, atau paling
tidak telah mapan dalam perdagangannya terikat dalam inovasi. Inovasi dari
bawah ke atas melibatkan hal baru, bentuk-bentuk luar yang menduduki sesuatu
yang baru, yang tidak memanfaatkan celah ekonomi sebelumnya. Proses inovasi
dari atas ke bawah melibatkan pengawasan negara sebagai suatu mekanisme dari
atas ke bawah yang membimbing inovasi. Sementara itu proses inovasi dari bawah ke atas berasal dari
sumber-sumber di luar kontrol negara. Evidensi
inovasi dari bawah ke atas makin
tampak dalam gabungan "orang-orang biasa" dan melibatkan perubahan
yang mempertinggi jaminan ekonomi mereka. Sedangkan arah inovasi berkaitan
dengan suatu kombinasi antara ekonomi dan martabat (prestise), di satu sisi pembaharuan itu mernperoleh keuntungan
secara ekonornis dan disisi lain mempersyaratkan kepedulian terhadap
aspek-aspek kultural yang ada.
Benda-benda fisik yang mempunyai nilai fungsi atau bermanfaat ganda baik
untuk perlengkapan hidup sehari-hari maupun untuk keperluan khusus misalnya
untuk tujuan keindahan atau dekoratif (pajangan) pada awalnya disebut sebagai
benda-benda kriya. Benda-benda kriya
yang berasal dari daerah-daerah merupakan lambang atau citra dan cita rasa
masyarakat daerah tersebut, sesuai dengan kepribadian masyarakat
dilingkungannya yang tentunya ada perbedaan sedikit atau banyak dengan
masyarakat daerah lainnya, karena adat kebiasaan atau kepercayaan-agama atau kompleks sistem referensi yang bisa juga berbeda satu dengan
yang lain. Semakin khusus dan khas gaya yang dimiliki benda atau produk kriya
maka semakin mudah dikenali dan mentradisi serta berkembang mencapai puncak
mutu dan kejayaan serta kemudian menjadi bersifat klasik. Lalu bagaimanakah
kelanjutan benda-benda kekriyaan dengan wacana kekinian dengan wawasan
intelektual (ilmiah) sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern di era global ?
Untuk menjawabnya diperlukan pemahaman dan wawasan tentang kekriyaan itu
sendiri, terutama bagi para kriyawan muda, pengusaha, pelaku pasar, mahasiswa
dan calon mahasiswa, serta perajin untuk dapat memberikan arah dalam
pengembangan kriya masa depan. Apalagi kini berkembang wacana dan
perdebatan-perdebatan dikalangan praktisi dan akademisi, tentang berbagai hal
tentang hasil karya dan konsep pengembangan serta pendidikan di perguruan
tinggi seni. Lalu bagaimanakah kelanjutan benda-benda (produk) kriya dengan
wacana kekinian dengan wawasan intelektual (ilmiah) sesuai dengan kebutuhan
masyarakat modern di era global ? Untuk menjawabnya tentu diperlukan pemahaman
dan wawasan tentang kekriyaan itu sendiri, terutama bagi para kriyawan muda,
pengusaha, pelaku pasar, mahasiswa dan perajin untuk dapat memberikan arah
dalam pengembangan kriya masa depan. Apalagi kini berkembang wacana dan
perdebatan dikalangan praktisi dan akademisi, tentang berbagai hal tentang
hasil produk kriya dan konsep pengembangannya serta pendidikan di perguruan tinggi seni.
Kekriyaan memiliki flesibilitas yang tinggi, bisa berupa
kecendrungan-kecendrungan, bisa perpaduan atau tergantung dari cara
mendudukannya serta wawasan yang dipergunakan oleh seniman atau perajin atau desainer. Pemahaman tentang kriya perlu
diperjelas dan terarah, sehingga sesuai dengan kebutuhan yang makin berkembang
dan kompleks seperti kondisi masyarakat saat kini. Pengembangan seni menuju spesialisasi kriya, adalah wacana
keilmuan yang khas. Untuk bisa eksis
secara mandiri, tentunya tidak berada dalam pengertian senirupa umum (awam)
yang sepertinya tumpang- tindih (overlaping).
Wawasan dan pengertian yang jelas akan kekriyaan sangat dibutuhkan, untuk dapat
menentukan sikap yang profesional bagi mereka yang menekuni kekriyaan.
II. PEMAHAMAN PRODUK
KEKRIYAAN
Setengah abad istilah kekriyaan telah digunakan dalam pendidikan, namun
demikian sampai sekarang pengertian kriya masih saja menjadi perdebatan
dikalangan akademisi dengan interprestasinya sendiri-sendiri. Kajian kekriyaan
dilihat dari berbagai pandangan dengan berbagai argumentasi yang berbeda,
sehingga berimplikasi pada pemahaman peserta didik serta orientasi penciptaan
produk kekriyaan yang berbeda-beda pula. Sulitnya menentukan difinisi kriya
yang dianggap akurat juga disebabkan oleh adanya perkembangan produk kekriyaan
yang begitu pesat, seiring dengan perkembangan IPTEKS itu sendiri. Di samping
itu cakupan kriya yang sangat luas serta kreativitas para seniman, kriyawan,
perajin dan pengusaha dalam membuat produk kreatif dan inovatif, sehingga agak
menyulitkan untuk mendefinisikan kriya secara universal karena akan selalu
bersinggungan dengan konsep nilai seni, nilai desain dan nilai produk serta nilai yang lainnya.
Sungguh sangat ironis, bila
masyarakat masih merasa awam dan kurang akrab dengan istilah kriya, secara umum
dipahami oleh masyarakat adalah sebagai kerajinan. Seolah-olah masyarakat tidak
mengenal seni kriya, pada hal mereka sebenarnya sudah banyak bergelut dan
berjuang dalam bidang tersebut. Mereka tidak memahami bahwa apa yang mereka
ciptakan dan menjadi mata pencahariannya adalah bidang kekriyaan. Istilah kriya
rupanya hanya dikenal oleh masyarakat akademik, yang mana di lingkungan
akademik ini pun masih selalu menjadi ajang perdebatan. Sudah sepantasnya
penulis sebagai insan akademis untuk mendiskripsikan kriya dan
mensosialisasikan pada masyarakat luas, sehingga produk kekriyaan semakin
dikenali dan menjadikan marak tumbuh kembangnya di masyarakat.
Kriya termasuk dalam lingkup dunia
seni rupa. Bisa sebagai bagian seni tersendiri, yang terpisah dari seni rupa
murni. Jika sebelumnya dikenal ada istilah “seni kriya” sebagai bagian dari
“seni murni”, namun kemudian menjadi “kriya seni”, lalu menjadi berkembang dan
disebut dengan istilah “kriya" saja, yang menghasilkan produk kekriyaan
dengan penggunaan beragam bahan dan fungsi.
Kriya merupakan
peng-Indonesia-an dari istilah Inggris yakni Craft, yaitu kemahiran membuat produk yang bernilai artistik (buatan seniman) dengan
keterampilan tangan, produk yang dihasilkan umumnya eksklusif dan dibuat
tunggal, baik atas pesanan ataupun kegiatan kreatif individual. Ciri karya
kriya adalah produk yang memiliki nilai keadiluhungan baik dalam segi estetik (keindahan) maupun guna.
Sedangkan karya kriya yang kemudian dibuat secara massal (produksi) umumnya
dikenal sebagai barang atau “produk kerajinan”. Gambaran tentang perkembangan
produk kekriyaan masa kini, akan dijelaskan mulai dari pemahaman tentang
pengertian kriya, lalu tentang pengertian kerajinan yang diikuti hal-hal yang
mempengaruhi dalam pekerjaan seperti ergonomi, desain, teknik dan fungsi serta
produk itu sendiri. Juga akan dibahas sekilas tentang sejarah tentang kekriyaan
Indonesia.
2.1 Pengertian Kriya
Kriya berasal dari kata: “Creat”
bisa juga dari “Kria” atau “Kriya” atau “Kr” dari bahasa Sansekerta yg
berarti “kerja”, “Karya” (= produk), “Pakaryan”
(bhs.Jawa), dan pembuatnya atau pekerja atau penganut (orang) disebut
“Kriyawan” atau “Pengrajin” atau “Perajin” atau “Karyawan” atau “Undagi” (kecakapan atau keterampilan
teknik) atau “Empu” (cerdik pandai
atau ahli yang mumpuni) atau “Ahli Teknik Pertukangan” atau “Ahli Berseni”.
Untuk menguak pengertian kriya, sebenarnya berasal dari rumpun senirupa
pada umumnya. Dari pengertian art (seni
Barat), yang semula dari istilah techne
(bahasa Yunani), yang berati kecakapan dalam mengolah medium (kemampuan teknik)
yang umumnya disebut craftsmanship,
ide dan sensibilitas estetis. Kecakapan ‘techne’
tersebut dipadankan dalam bahasa Jawa Kuno yang diistalahkan dengan kata ‘kagunan’, meliputi bidang seni tiga
dimensional dan dua dimensional, seperti candi, patung, pahat atau ukir,
relief, arsitektur bangunan, lukisan atau gambar, perhiasan atau aksesories,
pakaian atau busana, perlengkapan rumah tangga dan mebelair, termasuk seni
pertunjukan. Kemudian ada usaha dari berbagai pihak untuk memberikan makna baru
di dunia Barat dan memisahkannya dalam artes
liberalles (rumpun seni murni), yang melahirkan ‘seni untuk seni’ dan
semangat avant garde serta seni
modern sampai seni post-modern. Dan artes servilles (rumpun seni terapan
atau fungsional), berorientasi pada kebutuhan sosial-ekonomi-budaya dan
kebutuhan material yang bersifat fungsional. Selanjutnya produk kekriyaan dalam
perkembangannya penuh dengan dinamika, sesuai perkembangan zaman dan komunikasi
yang bersifat global.
Dalam bahasa Inggris, kata yang
berhubungan dengan makna ‘kriya’
ditemukan dalam arti ‘handycraft’
yaitu berarti pertukangan / keprigelan / ketrampilan tangan. Disini keprigelan,
menunjuk keahlian atau ketrampilan yang dapat menghasilkan benda (produk). Sedangkan
kata ‘craftsman’ berarti tukang,
ahli, juru, seniman, kriyawan, yang mempunyai keahlian tertentu sehingga dapat
menghasilkan produk kekriyaan, misalnya mebelair, peralatan rumah tangga,
dekorasi interior dan eksterior, model-busana, lukisan, patung dan perhiasan
atau aksesories lainnya. Disamping itu ada juga ‘craftsmanship’ berarti keahlian atau ketrampilan (John M. Echols
dan Hasan shadily 1993:153,288).
Pemahaman kriya secara konvensional adalah: kriya sebagai produk
kreativitas yang ditunjang dengan kemampuan tangan manusia dan tumbuh dari
lingkungan budaya tertentu yang bertumpu pada tradisi, mempunyai sifat etnis, folkloris, dan vernacular. Kriya selalu melibatkan unsur tempat asal, ketrampilan
tangan tinggi, kreatifitas, tradisi dan lingkungan. Secara tradisional kriya
selalu disosialisasikan dengan daerah penghasilnya.
Widagdo, menyebut kriya adalah sebagai bentuk budaya dari pra-industri yang masih
eksis atau dapat hadir sampai pada masa kini, meskipun dalam kontek yang
berbeda. Sebagai produk budaya pra-industri, kriya diciptakan untuk keperluan
khusus, yang lebih banyak untuk keperluan seremonial yang sering disebut
sebagai karya kriya “Adiluluhung”.
Padananannya adalah pada jaman renaesance adalah “High Culture”. Sedangkan
karya yang dibuat untuk kebutuhan profan yang disebut dengan “Mass Culture”. Benda-benda ini
mempunyai tujuan pragmagtis dan mempunyai manfaat praktis. (Widagdo,1999: 6.)
Joop
Ave, secara panjang lebar menjelaskan, berpendapat bahwa kriya secara
sederhana disamakan atau dianalogikan dengan kerajinan atau terjemahan sebagai “craft” atau “Handicraft”. Menurutnya kriya memiliki pengertian lebih dari
sekedar “Craft” yang berarti kerajinan
tangan. Meskipun memiliki kesamaan namun kriya memiliki dimensi lain, yang sama
dengan karya seni adiluhung (bernilai
luhur). Secara harfiah salah satu arti craft
adalah ketrampilan manual (manual skill).
Produksi craft memang memerlukan “craftsmanship” yaitu keahlian khusus
tidak sekedar tenaga, dalam arti “labor”
atau “workmanship” untuk membedakan
dengan kerajinan rakyat. Kriya dan kerajinan walaupun kelihatannya hampir sama,
tetapi apabila dicermati lebih dalam sangat berbeda. Kerajinan dibuat dengan
ketrampilan tertentu, tetapi lebih cenderung membutuhkan “workmanship”, yaitu ketrampilan yang terbentuk karena terbiasa dan
dimiliki oleh hampir seluruh masyarakat disuatu daerah tertentu. Sedangkan
kriya lebih membutuhkan “craftsmanship”
(meskipun tentu saja tidak mungkin tidak membutuhkan “workmanship”) yang dimiliki hanya oleh orang-orang tertentu yang
dianggap ahli.
Tadahiro Baba, salah satu pakar kriya modern
Jepang mengatakan bahwa esensi kriya adalah barang hasil ciptaan dari
kebudayaan sehari-hari (dialy culture)
berbasis tradisi, historis, kepercayaan nilai-nilai dan iklim lokal. Keberadaan
barang kriya akan tetap langgeng di tengah masyarakat, apabila benda tersebut
digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan strategi pengembangan produk yang
meliputi aspek-aspek kebaharuan fungsi, originalitas bentuk dan ketetapan dalam
pemilihan atau memerlukan material. Pada dasarnya kriya dapat dikategorikan
menjadi tiga yaitu:
1. Kriya tradisional yang dapat dikategorikan sebagai “Heritage” atau benda-benda peninggalan yang terkait dengan budaya
suatu daerah tertentu, sangat terkait dengan sejarah dan kehidupan masa lampau,
terutama kehidupan para bangsawan, benda-benda yang terkait dengan tradisi,
upacara ritual maupun seremonial.
2. Kriya baru yang berbasis tradisi yaitu produk-produk yang dihasilkan dan
dipakai saat ini, yaitu kriya sebagai bagian dari kehidupan masa kini yang
masih mengakar pada tradisi, sebagai bagian dari suatu “living culture”.
3.
Kriya kontemporer yaitu
kriya yang diproduksi berbasiskan bentuk dan gaya tanpa harus terikat dengan
tradisi masyarakat. Kriya
sebagai ekspresi kriyawan untuk memenuhi kepuasan jiwanya.
Tjetjep Rohendi Rohidi, berpendapat bahwa
kriya secara umum dipahami sebagai suatu karya yang dikerjakan dengan
menggunakan alat-alat sederhana, mengandalkan kecekatan tangan, dengan dasar
industri rumah tangga, dan secara fungsional memiliki kegunaan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan kepentingan ekonomi. Karya kriya sangat kental merefleksikan lingkungan budaya dan geografis
tempat karya itu diciptakan. Dalam karya kriya tercermin pula nilai-nilai
estetika, etika, dan logika di samping nilai craftsmanship. Seni kriya eksplorasinya lebih dititik beratkan pada
pencarian nilai-nilai masa lalu, originalitas etnis dan kemurnian, khusus, dan
tidak mencitrakan pengembangan kearah produktifitas dengan kualitas yang dapat
diandalkan.
Edi
Sedyawati, yang juga mengulas kriya mengatakan bahwa kata “kriya” yang
digunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata sansekerta Kriya(F), yang
juga diambil alih ke dalam bahasa Jawa Kuna yang artinya “ Pekerjaan, tindakan
khususnya pekerjaan yang berkenaan dengan upacara keagamaan”. Dalam kitab agama
Hindu disebutkan, bahwa ada empat konsep yang harus dipahami yang terdiri dari Jnana, Yoga, Carya, dan Kriya. Jnana menjelaskan konsep-konsep tentang
kebenaran keagamaan, Yoga menjelaskan
tentang metode tindakan fisik dan mental untuk menyatukan diri dengan kebenaran
tertinggi, Carya menjelaskan tentang
prilaku baik dalam kehidupan sehari-hari, dan Kriya menjelaskan tentang teknik-teknik pembuatan benda-benda
sarana peribadatan seperti candi-candi dan arca-arca dewata. Dengan demikian
seni yang dilahirkan lewat jalur kriya
bukanlah karya seni yang dapat memiliki kebebasan individu melainkan diarahkan
pada konsep kebenaran.
Yan-Yan
Sunarya, mendefinisikan kriya lebih jauh, Ia menjelaskan bahwa kriya
sebagai ‘produk’ yang dihasilkan dalam suatu proses kegiatan dengan atau tanpa
bantuan mesin, bernilai estetik, keunikan, keakraban, kegunaan dan dapat bukan
sekedar hasil ketrampilan dan bakat yang dimiliki semata, tetapi merupakan
‘produk’ yang sarat pengetahuan, teknologi dan seni. Tidak semua karya yang
dibuat dengan ketrampilan tangan dapat disebut kriya. Dalam pemaknaan kriya
terdapat batasan-batasan yang dijadikan patokan untuk menyatakan karya tersebut
karya kriya. Batasan tersebut adalah wilayah seni dan desain yang merupakan
unsur utama dalam penciptaan karya kriya. Perpaduan antara unsur seni dan
desain ditambah dengan keahlian khusus (teknis)
menyebabkan kriya mempunyai nilai lebih.
Ada pendapat yang
mengatakan bahwa istilah ’kriya’ sebenarnya digali
dari khasanah budaya Indonesia, tepatnya dari budaya Jawa Inggil atau tinggi, suatu budaya yang berkembang di dalam lingkup
istana pada sistem kerajaan. Denis
Lombard dalam bukunya berjudul “Nusa Jawa: Silang budaya”, Ia menyatakan
bahwa ‘istilah kriya yang diambil dari kryan menunjukkan pada hierarki strata pada masa kerajaan
Majapahit adalah sebagai berikut; “Pertama-tama terdapat para mantri, atau pejabat tinggi serta para arya atau kaum bangsawan, lalu para kryan yang berstatus kesatriya dan para wali atau perwira, yang tampaknya juga merupakan semacam golongan
bangsawan rendah” (Denis Lombard dalam Gustami, 2002). Juga yang dalam bahasa Jawa ada disebut “Pakaryan”,
adalah merupakan suatu “pekerjaan” yang
pada umumnya hasil dari pekerjaan itu sering disebut sebagai “karya”. Orang
Jawa sering menyebut sesuatu produk hasil dari kehalusan jiwa manusia yang
indah-indah dengan istilah “kagunan”
sebagai sesuatu yang bermanfaat atau berguna. Ada
pula yang berpendapat bahwa kata ‘kriya’ atau ‘kria’ berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “kerja”. Juga sering disebut dengan “kerawitan” atau “ngrawit”, umumnya produk yang dihasilkan memang mempunyai tekanan ‘jlimet’ atau ‘remitan’ atau ‘halus’ dan ‘rumit’ pengerjaannya sebagai hasil dari
ketrampilan tangan atau ‘ke-prigel-an’
(Inggris: handicraft).
Dr. Sudjoko, mengatakan bahwa banyak orang
makin tersesat apabila tidak berani menyebut kriyawan adalah seorang kreator
atau penggubah, sebab menurut asal kata ‘creat’ sama dengan ‘kria’ atau ‘kr’’ yang sama-sama berasal
dari bahasa Sansekerta yang artinya
‘kerja’ (Sudjoko, 1983).
Sementara
itu menurut Prof. Dr. I Made Bandem
kata “kriya” dalam bahasa indonesia berarti pekerjaan (ketrampilan tangan). Di dalam bahasa Inggris disebut craft
berarti energi atau kekuatan. Pada kenyataannya bahwa seni kriya
sering dimaksudkan sebagai karya yang dihasilkan karena skill atau ketrampilan seseorang”. Seni kriya merupakan cabang seni yang menekankan pada ketrampilan tangan
yang tinggi dalam proses pengerjaannya. Kemudian istilah ini diartikan sebagai
keterampilan dan dikaitkan dengan sebuah prosesi tertentu seperti yang terlihat
dalam craftsworker (pengrajin). Pada
kenyataannya bahwa seni kriya sering dimaksud sebagai karya yang dihasilkan
karena skill atau ketrampilan
seseorang. Diketahui bahwa semua kerja dan ekspresi seni membutuhkan
ketrampilan. Dalam tradisi Jawa dikenal sebutan kagunan. Dijelaskan dalam kamus
Bausastra Jawa definisi kagunan
(kegunan) adalah kepinteran / yeyasan
ingkang adipeni / Wudaring pambudi nganakake kaendahan gegambaran, kidung, ngukir-ukir. Penjelasan itu menunjukkan posisi
dan pentingnya ketrampilan dalam membuat benda sehari-hari, karena itu apabila
karya seni dalam penciptaannya tidak didasari dengan kepekaan dan ketrampilan
yang baik, maka karya tersebut tidak bisa dinikmati sebagai karya seni. (Bandem,2002).
Seni kriya oleh Prof. Dr. Timbul Haryono, yang
mensinyalir berasal dari kata “Kr”
(bhs. Sanskerta) yang berarti
‘mengerjakan’, dari akar kata tersebut kemudian menjadi ‘karya, kriya dan
kerja’. Dalam arti khusus adalah mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan benda
atau obyek yang bernilai seni (Timbul Haryono: 2002).
Dalam pergulatan mengenai asal muasal
kriya Prof. Dr. Seodarso Sp.,
mengungkapkan bahwa “perkataan kriya memang belum lama dipakai dalam bahasa
Indonesia; perkataan kriya itu berasal dari bahasa Sansekerta yang dalam kamus Wojowasito diberi arti sebagai
pekerjaan, perbuatan, dan dari kamus Winter diartikan sebagai ‘demel’’ atau membuat (Soedarso, dalam Asmudjo, 2000). Soedarso Sp. Menjelaskan
bahwa seni kriya adalah cabang seni rupa yang sangat memerlukan kekriyaan (craftsmanship) yang tinggi seperti
misalnya ukir kayu, seni keramik, anyam-anyaman dan sebagainya. Cabang seni ini
merupakan penghasil seni terapan yang kecil-kecil yang pembuatannya memerlukan
keahlian yang tinggi, sehingga hampir-hampir si seniman tidak sempat
menyisihkan perhatiannya untuk berekpresi. Sesungguhnya dahulu semua seni
adalah seni kriya, tetapi dalam perkembangan zaman cabang-cabang seni yang
lebih ekspresif, yang murni estetik dan kurang mementingkan kekriyaan
memisahkan diri. Namun dalam perkembangannya, selanjutnya seni kriya ada yang
menjadi kriya murni, seni murni dan kriya seni terapan (produk fungsional)
karena desakan kemajuan industri kreatif dewasa ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kriya diartikan sebagai ‘pekerjaan
tangan’. Demikian juga dalam Kamus Bahasa Kawi-Indonesia,
kriya diartikan sebagai ‘pekerjaan’ atau ‘perbuatan’ (Wojowasito, 1994). Dan orang yang membuat benda-benda kriya
disebut sebagai ‘kriyawan’ atau ‘karyawan’, namun ada sedikit perbedaannya dari
kedua sebutan itu. Pada kriyawan lebih tertuju kepada konseptor pelaksana penciptaan,
sedangkan karyawan adalah sebagai pekerja yang memproduksi. Tampaknya di
Indonesia masih belum memasyarakat dalam penggunaan kata ‘kriya’ dibandingkan
dengan kata ‘kerajinan’ dikarenakan penonjolan pada hal-hal yang bersifat kerja
(individual) yang rajin dan telaten. Demikian pula pada instansi pemerintah
yang cenderung menyebut benda-benda hasil kerajinan untuk benda-benda kriya. Dari uraian tersebut dapat ditarik satu kata kunci yang
dapat menjelaskan pengertian kriya adalah: kerja, pekerjaan, perbuatan, membuat
benda, yang dalam hal ini bisa juga diartikan sebagai ‘penciptaan produk’,
khususnya karya fungsional atau seni terapan yang didukung oleh ketrampilan (skill) yang tinggi, atau
dengan metode teknik reproduksi untuk membuat benda secara massal.
Masuknya
agama Hindu dan Budha, memberikan perubahan tidak saja dalam hal kepercayaan,
tetapi juga pada sistem sosial dalam masyarakat. Struktur pemerintahan kerajaan
dan sistem kasta menimbulkan
tingkatan status sosial dalam masyarakat. Masuknya pengaruh Hindu–Budha di
Indonesia terjadi akibat asimilasi serta adaptasi kebudayaan Hindu-Budha dari
India, yang dibawa oleh para pedagang dan pendeta Hindu-Budha tersebut dalam
kebudayaan prasejarah di Indonesia. Kedua sistem keagamaan ini mengalami
akulturasi dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya di Indonesia yaitu
pengkultusan terhadap arwah nenek-moyang, dan kepercayaan terhadap spirit yang
ada yang di pengaruhi alam sekitar. Kemudian kerap tumpang tindih dan bahkan
terpadu ke dalam pemujaan-pemujaan sinkretisme
Hindu-Budha Indonesia (Claire Holt terjemahan Soedarsono, 2000). Tumbuh dan
berkembangnya kebudayan Hindu-Budha di Indonesia, melahirkan kesenian
berupa seni ukir dengan aneka ragam hias dan patung perwujudan dewa-dewa.
Dalam sistem sosial ini, kemudian lahir sistem pemerintahan kerajaan yang
berdasarkan kepada kepercayaan Hindu seperti kerajaan Sriwijaya di Sumatra,
kerajaan Kutai di Kalimantan, kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat, Mataram Kuno
Jawa Tengah, hingga kerajaan Majapahit di Jawa Timur dengan Maha Patih Gajah
Mada yang tersohor, yang kemudian membawa pengaruh Budha-Hindu sampai ke Bali,
dan kegiatan seni ukir tradisional sampai sekarang masih diwarisi dan
berkembang.
Melalui tradisi besar di Jawa, telah melahirkan istilah kriya untuk
menyebut hasil seni yang diciptakan. Senimannya disebut “Abdi Dalem Kriya”,
yang dewasa ini lebih dikenal dengan sebutan “kriyawan”, dimana para kriyawan melakukan pekerjaannya
dikukuhkan dengan sebutan “Kriyan”.
Suatu nama yang dapat ditemukan di daerah Yogyakarta, Surakarta, Cirebon,
Jepara, dan daerah Jawa lainnya (Gustami,1991,2). Menyimak pendapat Prof.
SP. Gustami yang menguraikan bahwa; seni kriya merupakan warisan seni
budaya yang adiluhung, yang pada
zaman kerajaan di Jawa mendapat tempat lebih tinggi dari kerajinan. Seni kriya
ini mulanya dikonsumsi oleh kalangan bangsawan dan masyarakat elit. Sedangkan
yang disebut kerajinan didukung oleh masyarakat umum atau kawula alit, yakni masyarakat yang hidup di luar tembok keraton.
Seni kriya dipandang sebagai seni yang unik dan berkualitas tinggi karena
didukung oleh craftmanship yang juga tinggi. Lain
dengan kerajinan dianggap atau dipandang kasar dan terkesan tidak tuntas. Hal
ini bisa dibedakan pada pembuatan keris
dengan pisau, baik dalam proses, bahan, atau kemampuan si pembuatnya. Lebih
lanjut Gustami menjelaskan perbedaan antara kriya dan kerajinan dapat disimak
pada keprofesiannya, dimana kriya dimasa lalu yang berada dalam lingkungan
istana untuk pembuatnya diberikan gelar Empu, yang dalam perwujudannya produknya sangat mementingkan nilai
estetika dan kualitas skill. Sementara kerajinan yang tumbuh di luar lingkungan
istana, si-pembuatnya disebut dengan Pandhe (tukang). Perwujudan benda produk kerajinan hanya mengutamakan
fungsi dan kegunaan (kagunan) yang
diperuntukkan untuk mendukung kebutuhan praktis bagi masyarakat atau rakyat
(Gustami, 2002). Pengulangan-pengulangan dan minimnya akan pemikiran seni (art) ataupun estetika adalah satu ciri
penanda benda kerajinan. Pemisahan yang berdasarkan strata atau kedudukan
tersebut mencerminkan posisi dan eksistensi seni kriya di masa lalu di Jawa.
Seni kriya bukanlah karya yang dibuat dengan intensitas rajin semata, di
dalamnya juga bisa terkandung nilai-nilai keindahan (estetika) dan juga
kualitas skill yang tinggi. Sedangkan kerajinan tumbuh atas desakan
kebutuhan praktis dengan mempergunakan bahan yang tersedia dan berdasarkan
pengalaman kerja yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari. Kembali
ditegaskan oleh Gustami, bahwa seni
kriya adalah karya seni yang unik dan punya karakteristik di dalamnya
terkandung muatan-muatan nilai estetik, simbolik, filosofis dan sekaligus bisa
fungsional, oleh karena itu dalam proses
perwujudannya harus pula didukung craftmenship yang tinggi, yang berakibat kehadiran dari seni kriya
digolongkan dalam kelompok seni adiluhung
(Gustami, 1992:71).
Dari beberapa pendapat yang telah dibahas
sebelumnya, menjelaskan bahwa wujud awal seni kriya lebih banyak ditujukan
sebagai seni pakai (terapan). Praktek seni kriya pada awal-mula bertujuan untuk
membuat barang-barang fungsional, baik ditujukan untuk kepentingan keagamaan
(religius) atau kebutuhan praktis dalam kehidupan manusia seperti adanya
perkakas rumah tangga. Contohnya dapat disaksikan pada artefak-artefak berupa
kapak dan perkakas pada jaman batu serta peninggalan-peninggalan dari bahan
perunggu pada jaman logam berupa nekara,
moko, candrasa, kapak, bejana dari logam dan tanah liat, hingga produk
perhiasan seperti gelang, kalung dan cincin. Benda-benda tersebut dipakai
sebagai perhiasan, pakaian, perlengkapan prosesi upacara ritual adat (suku)
serta kegiatan ritual yang bersifat kepercayaan untuk penghormatan terhadap
arwah nenek-moyang.
A.S.Hombay,
menyatakan bahwa Kriya juga disebut seni terapan (applied art) yaitu seni terap yang dibuat dengan teknik ketrampilan
yang tinggi untuk mencapai ciri-ciri dekoratif (A.S.Hombay,1963:144). Sedangkan
wujud
dari kriya dapat dikategorikan kedalam berbagai bidang, tergantung dari cara
pengelompokannya. Pengelompokan berasarkan bahan yang digunakan, misal terdiri
dari kriya bamboo, kriya kayu, kriya
perak, kriya keramik / tanah liat, kriya batik, dan sebagainya.
Dilihat dari teknik pembuatannya, maka kriya bisa dibedakan menjadi: kriya ukir
/ pahat, kriya logam, kriya anyam, dan lain-lain. Disamping itu, dikenal juga
sebutan kriya modern dan kriya tradisional.
Arkeolog (UGM), Atmosudiro, dkk, memerinci bahwa seni kriya adalah semua hasil karya manusia yang memerlukan keahlian khusus
yang berkaitan dengan tangan, sehingga
kriya sering disebut kerajinan tangan. Seni kriya dihasilkan melalui keahlian
manusia dalam mengolah bahan mentah, menjadi produk dan ruang lingkupnya dapat
ditelusuri melalui bahan yang dipergunakan tersebut, diantaranya batu, tanah
liat, kayu, logam, benang, tulang, cangkang kerang, kulit, kaca, dedaunan, buah
kering, plastik, serat, dll. Seni kriya juga dapat dikelompokkan menurut tujuan
penciptaannya dan kegunaannya menjadi
fungsi praktis, estetis, simbolis dan religius (Atmosudiro, 2001: 107-110)
Dalam buku ’Tinjauan Kriya
Indonesia’ dijelaskan secara panjang lebar oleh Sugeng Toukio M, sebagai berikut: Kria (Jw = Kriya; Bausastra Jawa-Indonesia) adalah
pekerjaan tangan; seperti pandai besi, dalam bahasa Kawi, kriya juga berarti
pekerjaan, perbuatan, upacara. Kria;
secara umum menunjukan suatu kegiatan atau aktifitas manusia berkaitan dengan peyasaan bebarang. Dari pengertian di atas dapat
dirangkum pengertian kriya sebagai berikut:
· Merupakan hasil dari
kegiatan manusia yang berkaitan peyasaan
bebarang (kebutuhan produk) untuk memenuhi kebutuhan manusia.
·
Suatu kegiatan yang
melibatkan kemahiran dalam memadukan pemakaian bahan dan alat menjadi bebarang meguna (produk berguna /
fungsional).
· Suatu kegiatan yang
mencerminkan kegiatan, ketrampilan, daya nalar untuk menghasilkan kekayaan yang
manusiawi, meguna dan memiliki nilai
keindahan sepadan dengan norma yang berlaku.
·
Merupakan pekerjaan
yang bertautan dengan ketrampilan tangan dan bersifat keutasan (utas = tukang,
juru, ahli) dalam menghasilkan karya
yang meguna (fungsional).
Seni kriya sebagai salah satu cabang
seni rupa yang memiliki akar budaya yang panjang dalam sejarah kebudayaan
Indonesia, dimasa lampau hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kini
dengan kemajuan ilmu, teknologi, seni dan sosial-ekonomi, antara lain adalah
sebagai komoditas perdagangan dan pemenuhan kebutuhan ekspresi, kini telah
terjadi perubahan yang sangat kompleks.
Peran
seni kriyapun kini menjadi semakin berkembang, tidak saja sebagai komponen
dalam hal kepercayaan keagamaan, namun juga telah menjadi konsumsi golongan
elit tertentu, para pengusaha, pejabat publik yaitu sebagai penanda status
sosial. Kondisi tersebut menjadikan kriya sebagai seni yang bersifat elitis
karena menduduki posisi terhormat pada masa kini. Hampir tidak berbeda dengan
kerajinan, yang cenderung tumbuh dari kalangan masyarakat biasa atau golongan
rakyat jelata, menjadi semacam inspirasi yang mencitrakan kedekatan individu,
apalagi sebagai publik figur, untuk
tujuan politis, sosial, ekonomis tertentu atau sebagai bentuk kemapanan ekonomi
yang menandai status seseorang. Artinya,
tingkatan ekonomi yang dimiliki seseorang dapat membedakan posisi mereka dari
orang lain dengan koleksi produk kriya. Yang secara sederhana kekuasan
ditentukan oleh kemampuan ekonomi idividu. Dalam sistem masyarakat modern
kondisi ini telah berubah, kaum elit yang sekarang digantikan kalangan
konglomerat (pemilik modal). Kondisi ini membawa dampak bagi posisi kriya,
menjadikan kriya tidak lagi menjadi seni yang bersifat spesial karena posisi
terhormatnya di masa lalu dan kini sudah terancam tidak eksis lagi, kriya seni
kini menjadi sebuah artefak warisan dari masa lalu. Terlebih lagi dalam
industri dan budaya seperti sekarang ini, kedudukan kriya seni, kini telah
bergeser sebagai produk kriya obyek pasar, yang diproduksi secara massal dan
diperjualbelikan demi kepentingan kegiatan ekonomi. Kriya kini mengalami
desakralisasi dari posisi yang terhormat di masa lalu, yang adiluhung merupakan artefak yang tetap
dihormati namun sekaligus juga direduksi dan diproduksi secara terus-menerus,
karena banyak orang membutuhkannya baik untuk perlengkapan rumah tangga,
menghiasi setiap rumah tinggal, hotel, kantor, tempat publik yang menyiratkan
kemajuan dan apresiasi yang juga telah berkembang melengkapi kegiatan arsitektur
interior dan eksterior serta rumah mode.
Kehadiran
produk kriya pada jenjang pendidikan tinggi adalah sebuah upaya untuk
mengangkat harkat kekriyaan dari hanya sebagai artefak, dan untuk menjadikannya
sebagai kegiatan seni murni atau seni terapan, yang memiliki nilai tertentu
(sebagai pilihan atau alternatif), berwawasan ilmu seni-budaya dan
sosial-ekonomis, sehingga bisa eksis dan terhormat sekaligus mampu menyesuaikan
diri dengan perkembangan jaman. Inilah tugas berat insan akademis, sebagai agen
perubahan, dan kampus bukan lagi sebagai ”menara gading” bagi masyarakatnya.
Sejalan
dengan perkembangan jaman, konsep kekriyaan pun terus berkembang. Perubahan
senantiasa menyertai setiap gerak laju praktek pembuatan produk kriya,
khususnya di kalangan akademis yang mengalami pergeseran orientasi penciptaan
dalam senirupa.