KEUNGGULAN SENI KERAMIK BALI ,
TANTANGAN DAN HARAPAN
Oleh Drs. Agus Mulyadi Utomo
1. Sejarah Tradisi
Keramik Bali
Kepandaian membuat gerabah di
Indonesia sudah ada sejak zaman Pra-sejarah, baik untuk tempat minum dan
makanan maupun untuk tujuan pemujaan serta keperluan benda kubur, berdasarkan
hasil temuan berasal dari masa Neolitikum. Tradisi penguburan jenazah dengan tempayan, ditemukan tersebar di
berbagai tempat di Indonesia, seperti di Anyer (Jawa Barat), Sa’bang (Sulawesi
Selatan), Roti (Nusa Tenggara Timur) dan Gilimanuk - Bali ( Kempers, 1960 ). Sesungguhnya kepandaian
membuat benda tanah liat atau keramik di Bali sudah cukup tua umurnya, yaitu
sejak zaman Pra-sejarah. Kemampuan membuat kerajinan ini berlangsung terus
hingga memasuki zaman kerajaan Hindu dan Budha.
Keramik kebutuhan rumah tangga
terutama untuk tempat makanan dan minuman masa Pra-sejarah, dibuat sangat
sederhana dan kebanyakan dengan teknik tatap batu / kayu, tanpa hiasan atau
polos. Kendi, periuk dan piring dari gerabah tersebut ada yang polos dan ada
yang dihias. Berbagai fragmen gerabah yang ditemukan di Gilimanuk, Bali, dengan
berbagai hiasan seperti tali, kulit kerang, hiasan jaring dan lainnya. Aspek – aspek teknis zaman Pra – sejarah
tidaklah menunjukkan suatu perkembangan yang berarti. Saat itu dikenal teknik
tatap batu / kayu serta pembuatan langsung dengan tangan yang disebut teknik “pinching” atau tekan jari serta teknik “coilling” atau pilin atau teknik “tali”.
Memasuki masa Megalitikum
dan Perunggu, gerabah
dibutuhkan sebagai sarana pemujaan arwah nenek moyang, selain sebagai peralatan
rumah tangga. Benda kubur berupa tempayan gerabah, manik-manik perunggu, sarkofagus batu, telah menjadi kebutuhan
relegi dan perlambangan pemujaan arwah yang berkembang. Benda-benda gerabah
sudah banyak yang diberi hiasan, seperti ditemukan di pantai Cekik, Gilimanuk,
oleh R.P. Soejono, yang berhiaskan
tali dan jaring dengan teknik cap. Pada masa tersebut, kemahiran teknik membuat
barang-barang perunggu sedang berkembang. Juga saat itu seni hias menghias
mencapai puncaknya yaitu dengan pola geometrik atau tumpal. Masa kemahiran
teknik ini kemudian dikenal sebagai masa “Perundagian”.
Yang perlu diketahui yaitu penggunaan alat pelarik sudah dikenal ketika akan
memasuki masa Sejarah. Aspek lainnya yang
berkembang adalah kemampuan untuk menghias dengan teknik cap dan torehan yang
tumbuh secara alamiah.
Sejarah mencatat tentang
ditemukannya stupa-stupa kecil dari tanah liat yang termasuk gerabah
lunak di daerah Pejeng, Blahbatuh dan Batuan, Gianyar, dalam jumlah
ribuan dan ada di antaranya terdapat tulisan Pallawa dan Sansekerta
yang bermakna mantra-mantra Budha; Dari beberapa buah stempel tanah liat yang
ditemukan di Pejeng (lihat koleksi Museum Bali), tertulis data tahun 882 Masehi,
yang memuat mantram agama Budha dalam bahasa Sankrit yang mirip dengan
yang ditemukan di Candi Kalasan (778
M). Berdasarkan penemuan tersebut, diperkirakan pengaruh agama Budha di Bali
datangnya lebih dahulu dari agama Hindu. Moerdowo, dalam bukunya “Seni
Budaya Bali-Balinese Arts and Culture” mengemukakan tujuh diantaranya memuat data
mulai tahun 882 s/d 914 Masehi menyebut-nyebut nama seorang Raja Kesari Warmadewa yang bertahta di
di kerajaan Singadwala. Sembilan
tulisan tanah liat memberitakan adanya seorang raja lainnya yaitu Sang Ratu Ugrasena yang bertahta semasa
dengan Empu Sindok dari Jawa Timur
(914 -942 M). Disebutkan pula adanya empat orang raja lagi dari keturunan dinasti
Warmadewa yang menguasai pulau Bali.
Dari data-data tersebut diperkirakan hubungan Bali dengan Jawa Timur terjalin
erat dan mesra, yaitu dengan adanya dinasti Warmadewa yaitu Dharma
Udayana Warmadewa yang mempermaisurikan Sri Gunapriya Dharmapatni, putri raja dari Jawa yaitu cucu dari Empu Sindok yang berkuasa dari tahun
989 s/d 1001 Masehi. Dari perkawinan ini lahirlah Raja Airlangga yang kemudian berkuasa di Jawa dan kawin dengan
putri Jawa. Tidak hanya stempel dan stupika
yang ditemukan, tetapi juga ada patung Budha dan linggayoni yang semuanya diperkirakan abad ke-13 – 14 Masehi (Moerdowo,
1963). Masuknya agama Hindu ke Bali diperkirakan pada saat Raja Jaya Pangus ditaklukkan oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit tahun 1343 Masehi.
Keramik diperkirakan
mulai berkembang sejak zaman Majapahit, dimana keadaan alam sekitar kerajaan tersebut
tidak banyak menyediakan batu-batuan untuk pembuatan candi, patung dan benda
pakai lainnya, sehingga beralih dengan memilih tanah liat sebagai pengganti
batu. Konsep senirupa Hindu dan Budha saat itupun berubah, dimana patung
sebelumnya cenderung 3 dimensi, lalu menjadi 2 dimensi berujud relief seperti
wayang – terutama pada candi-candi Majapahit, dimana karakter tanah liat sangat
menonjol dan kuat pada karya senirupa, tokoh masyarakat dan punakawan menjadi
kekuatan baru dalam seni. Seni Majapahit tidak lagi berorientasi pada “seni
keraton”, tetapi telah menjadi “seni rakyat” dan meluas dikalangan rakyat
jelata, sehingga unsur kepercayaan sebelumnya turut berperan membentuk seni
keramik Majapahit. Dalam kekuasaan Majapahit, Bali saat itu diperintah oleh Raja Dalem Samprangan yang bertahta di
Klungkung (Moerdowo, 1963). Masuknya agama Hindu di Bali sangat berpengaruh
pada pembuatan benda-benda keramik, yaitu dengan adanya berbagai motif dewa
dalam bentuk Trimurti (Tritunggal), Dewi
Sri dan lainnya. Motif Dewi Sri banyak sekali dijumpai di Bali
dalam wujud “Cili” sebagai lambang kesuburan atau “Dewi Padi”. Abad ke- 14
di Bali, diketahui telah dipengaruhi oleh tradisi Hindu Jawa Timur, terlihat
dari benda-benda terracotta yang
bernilai keduniawian yang menggambarkan kehidupan sehari-hari, yaitu perwujudan
dari tokoh-tokoh sosial seperti penari, pemain musik yang menjadi obyek utama -
semuanya bergaya bebas mencerminkan suasana gembira, namun sesampainya di Bali
terjadi perubahan karena kepercayaan sebelumnya turut mempengaruhi. Pada masa Majapahit , patung-patung figur
tampak realistik, sedangkan di Bali tampaknya melalui stilasi atau penyederhanaan bentuk yang kaku, seakan tokoh-tokoh
pria maupun wanita memancarkan kekuatan magis
dengan wajah yang “dingin” dan “kaku”, dimungkinkan bentuk demikian bernilai
sakral untuk pelengkap upacara.
Di dalam kepercayaan
Hindu Bali, benda-benda keramik diperlukan untuk berbagai keperluan suatu
upacara, baik berujud bentuk patung maupun sebagai benda pakai seperti tempat
“tirta” (air suci). Patung-patung ada yang menggambarkan tokoh Rahwana, Raksasa, dewa-dewi, tokoh yang
meninggal, sampai di dapurpun terdapat patung yang menggambarkan bentuk punakawan. Disamping benda hiasan,
kebanyakan dari bentuk patung tersebut melambangkan Dewa Brahma yang sangat di puja di lingkungan dapur, karena ada
anggapan bahwa dapur adalah tempat bersemayamnya Dewa Brahma. Patung lainnya ada yang berbentuk raksasa dengan
prisai ditangannya, merupakan lambang penjaga yang ditempatkan ditempat-tempat
suci atau rumah tinggal. Juga kendaraan Wisnu
atau Wilmana
sering dijumpai dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk pasepan atau pedupaan sebagai lambang Dewa Wisnu. Ada pula singa bersayap dan
gajah-mina, merupakan perpaduan dua
binatang yaitu singa dengan burung dan gajah dengan ikan ( “banaspati”),
sebagai lambang kekuatan alam. Bentuk ini dibuat dengan berbagai variasi sesuai
dengan imajinasi setiap kelompok masyarakat atau daerah yang membuat. Patung Garuda-Wisnu,
kemudian banyak menjadi inspirasi baik dalam material tanah liat atau
keramik,maupun dari kayu dan batu.
Dalam ritual agama Hindu,
ternyata unsur-unsur air, tanah dan api menjadi suatu kebutuhan yang mutlak,
bahwa ada semacam pengertian bahwa manusia berasal dari tanah, kemudian hidup
karena air dan musnah (ngaben) karena
api, untuk kemudian kembali ke asalnya lagi yaitu tanah (wawancara Pemangku I.B.Gde
Partha, Ngaben-Singaraja, 1984). Ada
beberapa macam perlengkapan upacara yang terbuat dari tanah liat tidak dapat
digantikan dengan bahan lain, sehingga kerajinan gerabah bertahan sampai kini
terutama jika ada unsur “memecahkan” seperti dalam upacara ngaben, benda seperti payuk-pere
untuk tempat tirta yang diambil dari
sumber atau tempat suci yang kemudian dipercikkan pada mayat sebelum dan
sesudah dibakar, lalu payuk (periuk) tanah liat tempat air tersebut dibanting
sehingga pecah agar tidak dibawa pulang, hal tersebut dimaksudkan untuk
memutuskan hubungan antara yang meninggal dengan yang masih hidup, sebagai
bentuk ketulusan ditinggal pergi almarhun dan agar tidak mengganggu. Pembuatan
gerabah keperluan tersebut tetap berlangsung hingga kini dan masih
mempergunakan teknik-teknik yang berasal dari masa pra-sejarah (I M Sutaba, 1980). Yang menarik dari para
wanita pembuat keramik adalah penggunaan meja putar sederhana yang digerakkan
oleh perut dan kedua paha dalam posisi berdiri, sekilas tampak seperti orang
menari-nari mengikuti goyangan pinggul atau kedua paha, akibat dari gumpalan
lempung yang diletakkan tidak senter ditengah. Disamping itu di Bali terdapat
kecenderungan atau monopoli dalam tradisi pembuatan gerabah (periuk-belanga)
yang dihubungkan dengan keperluan dapur sebagai tugas kaum wanita, yang dianggap
tak layak atau dianggap tabu dikerjakan oleh kaum pria. Kaum pria hanya sekedar
membantu persiapan bahan dan pembakaran saja. Juga ada bentuk dulang tanah liat untuk keperluan tempat
sajian (sajen) dan kini bisa
digantikan dengan bahan lainnya seperti dari kayu dll. Cubek juga dipergunakan sebagai tempat tulang dan tempat menghaluskan
sisa-sisa tulang setelah dibakar (upacara ngaben)dan
abu tulang tersebut kemudian dibuang ke laut atau danau atau sungai. Pada
daerah tertentu ada sesajen yang di
dalamnya terdapat semacam uang-uangan dari tanah liat yang menggambarkan
senjata dari para dewa atau lambang para dewa-dewi sebagai bekal. Bentuk pasepan atau pedupaan gerabah sering dijumpai berbentuk Wilmana (kendaraan Wisnu). Juga ada
bentuk Singa Ambara Raja. Kendi atau caratan gerabah untuk keperluan upacara memiliki
cucuk yang bervariasi, dari satu cucuk hingga belasan cucuk, tergantung
besar-kecilnya upacara. Caratan
sering digabungkan atau divariasi dengan coblong
(periuk / mangkuk kecil) yang disebut payuk-coblong
atau caratan-coblong berfungsi
sebagai tempat air atau “tirta” yang ditempatkan pada tempat suci (pura atau sanggah), ada semacam kepercayaan bahwa dewa-dewi seperti halnya
manusia yang perlu minum dan membasuh tangan.
Patung figur tokoh sakti, tokoh pewayangan, dewa-dewi, pria dan wanita yang
terbuat dari gerabah di Bali kemudian hadir dan berkembang hingga kini dengan
stilasi yang khas, terkadang memancarkan kekuatan magis dan kaku serta memiliki
nilai sakral, bahkan ada pula yang tampil jenaka.
Kebutuhan keramik sebagai
benda pakai (fungsional) diawali dengan persentuhan kebudayaan Barat. Pada
zaman Penjajahan Belanda tahun 1849. Bali bagian utara yaitu Buleleng, mulai
dipengaruhi oleh kebudayaan Barat dengan masuknya berbagai peralatan rumah
tangga. Motif hias patra wolanda
yakni ornamen bentuk daun anggur, yang sebelumnya sebagai sesuatu yang asing
tak dikenal di Bali (Moedowo,1963), merupakan pengaruh hiasan keramik dari Belanda
. Bandar atau pelabuhan di Buleleng disinggahi kapal-kapal Belanda dan membawa
keramik asing berfungsi benda pakai yang menjadi salah satu komoditi, keramik tersebut
ada yang berasal dari China, Vietnam, Jepang, Persia, Philipina dan Belanda
sendiri. Motif yang dikembangkan dari
benda keramik yang hadir di Bali dan menjadi hiasan yang khas Bali seperti patra china, patra mesir dan lainnya diterapkan pada benda yang terbuat dari
batu, kayu serta kain. Barang-barang temuan dari bawaan Belanda tersebut di
Bali kemudian ada yang dikeramatkan dan ada pula menjadi koleksi Museum.
Setelah Indenesia Merdeka
di daerah Banyuning, Buleleng, dikenal jedding
berukir (semacam gentong besar). Pembuatan
benda gerabah seperti paso, kekep,
pengelaklakan, coblong, caratan, pane, payuk, pot, gebeh (tempayan), cubek,
jun, keren, pasepan, pemugbug atau dore,
dulang, bata dan genteng kemudian diproduksi secara massal sebagai
ketrampilan yang diwariskan secara turun temurun dari leluhur mereka dibeberapa
daerah di Bali, seperti Pejaten, Binoh, Bedulu, Pering, Blahbatuh, Jasi,
Banyuning, Banyubiru, Melaya, Bunutin
dan Tojan.
Pengetahuan keramik
bakaran madya dan tinggi atau keramik batu dan porselin adalah ilmu yang baru
dan tidaklah tumbuh dari akar budaya tradisional Indonesia, melainkan cangkokan
dan pendekatan baru saat-saat terakhir penjajahan Belanda dan masuknya
penjajahan Jepang. Perkembangan keramik setelah memasuki masa kemerdekaan
tumbuh dari dua “rahim”, yaitu dari sektor industri baik besar dan kecil
(industri rumah tangga), maupun dari kreator perorangan yang kebanyakan dari
kalangan seniman dan akademisi (pendidik senirupa). Perguruan tinggi senirupa banyak melahirkan
keramikus-keramikus muda yang mengangkat citra keramik tradisional menjadi
keramik modern yang eksklusif dan menarik.
2. Pengertian
Keramik Masa Kini
Lempung atau tanah liat
adalah bahan baku keramik, yang mempunyai sifat plastis dan mudah dibentuk
dalam keadaan basah (lembab). Pada umumnya tanah liat memiliki karakter yang
tidak menentu dan tidak memperlihatkan sesuatu yang alami seperti yang dimiliki
batu dan kayu. Karena sifat-sifat yang penurut itu dan tidak banyak memberikan resistensi apapun sehingga lempung dapat
dipergunakan untuk keperluan yang luas dan tidak terbatas, misalnya untuk
bangunan, tembok pembatas pekarangan, perabotan rumah tangga, benda teknis,
benda hias dan benda ekspresi.
Sebenarnya, apapun yang
terkandung dalam suatu benda keramik, baik sebagai benda teknis, benda praktis
(pakai), benda estetis, maupun sebagai benda spiritual (magis), adalah berasal
dari daya “imajinasi” penciptanya
saja. Namun demikian sifat yang penurut itu, tidak akan banyak bermanfaat apabila
tidak didukung oleh ilmu pengetahuan, teknologi dan seni untuk merekayasa
lempung menjadi keras, kedap air, tahan panas, tahan dingin, awet, berfungsi
pakai dan mempunyai bentuk yang indah serta menarik. Disamping itu arah
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang ilmu keramik sampai sekarang
ini telah semakin meluas dan kompleks, sehingga pengertiannya pada masa kini
dan mendatang tidak lagi sederhana, dikarenakan riset bahan, seni,
sosial-budaya-ekonomi dan teknologi terus bergulir serta berkembang dengan
pesatnya di era keterbukaan (kesejagatan / globalisasi) yang sarat dengan
persaingan.
Tidak dipungkiri lagi
bahwa spesialisasi ilmu terus
dilakukan, karena semakin dirasakan perlu untuk dapat lebih mendalami dan mengembangkannya.
Dunia senirupa, khusus ilmu keramik dalam pandangan seni memerlukan suatu
wawasan tertentu untuk memudahkan dalam mendudukkan, mencirikan, mengkonsep
penciptaan karya dan memahami akan arah pengembangannya, baik sebagai seni
pakai (fungsional), seni kerajinan maupun sebagai seni murni. Dalam kenyataan
sehari-hari, seringkali terlihat secara visual produk atau karya keramik hanya
berupa kecenderungan-kecenderungan dan perpaduan dari seni pakai, seni
kerajinan dan seni murni. Belum banyak kalangan dan para pegiat senirupa serta
keramikus yang mencoba menonjolkan “ciri khas” masing-masing dari ketiga bagian ilmu seni tersebut sebagai
spesialisasi ilmu tersendiri. Apalagi
kini pandangan seni dan teknologi dalam ilmu keramik ada yang bersifat teknis
(fisika & Kimia), ilmu pakai-guna (fungsi praktis), kriya (seni kerajinan),
ekspresi (seni murni), dimana kini strata pengembangannya sangat relatif.
Bagi penghobi keramik,
bahan tanah liat itu mudah sekali dibentuk karena sifatnya plastis, sehingga
bermacam bentuk bisa dibuat. Untuk itulah diperlukan pengarahan bagi pegiat
keramik, perajin dan pecinta keramik agar tidak membuat benda keramik yang
bersifat “iseng tanpa arti”, tetapi
mampu membuat bentuk keramik yang berkualitas, berintelektual, bermakna, bernilai
ungkap (ekspresi), atau berguna bagi kehidupan sehari-hari serta hasilnya dapat
dibanggakan sebagai warisan berharga yang diperuntukkan untuk generasi
mendatang. Kebebasan yang teramat besar dan penggunaan yang begitu luas dari
pemanfaatan tanah liat, tentu dapat merangsang daya cipta, imajinasi dan
pengembangan IPTEKS. Disisi lain
dari dampak kebebasan itu, dapat berakibat buruk karena benda keramik menjadi
tidak bermutu akibat kehilangan “arah” dan “tujuan” yang jelas, dengan kata
lain menjadi “benda iseng” tanpa “arti”.
Sejalan dengan perkembangan budaya manusia, maka
kehadiran seni keramik tentu mengalami peningkatan baik kuantitas maupun
kualitasnya. Disertai pula kandungan makna dan filosofis serta konsep
penciptaan yang semua itu bergayut dengan nilai-nilai yang mencakup segi-segi
material, teknologi, ilmu pengetahuan, seni, spiritual, fungsi-fungsi religi,
ekspresi pribadi sampai pada kemanusiaan itu sendiri. Tanah liat atau lempung ternyata memberikan
banyak kemungkinan bentuk dengan berbagai variasinya, karena bahannya mudah
dibentuk, termasuk dalam pengungkapan ekspresi dari pancaran emosi dan
kesadaran tentang nilai-nilai tertentu yang dianggap bermakna.
Perkembangan keramik
Indonesia dewasa ini ditandai dengan perkembangan industri, yang melibatkan
banyak desainer dalam perancangan produk yang berkualitas yang dibuat secara
massal melalui mesin-mesin berteknologi canggih. Selain keramik yang berada di
jalur industri massal, adapula keramik yang diproduksi terbatas oleh kriyawan
atau perajin berupa benda hias, benda rumah tangga dan cenderamata. Disamping
itu terdapat pula keramik yang dibuat khusus dan benda tersebut merupakan benda
tiada duanya atau merupakan satu-satunya di Dunia, yang dibuat oleh seniman individu,
benda tersebut sering disebut sebagai benda “ekspresi” yang memiliki daya tarik
tersendiri.
Kelompok perajin dan
seniman keramik di Indonesia belumlah berkembang sebagaimana mestinya, bila
dibandingkan dengan laju pertumbuhan industri massal padat modal. Hal ini
karena kurangnya apresiasi dan langkanya penyelenggaraan pameran-pameran
keramik, disamping itu penguasaan teknologi keramik bakaran madya dan tinggi
masih relatif baru di Indonesia.
Pengembangan konsep
penciptaan keramik yang terarah dan berwawasan ke depan kini memang dirasakan
perlu untuk meningkatkan kreativitas, produktivitas dan kualitas keramik.
Kebutuhan dan minat terhadap keramik juga perlu ditumbuh kembangkan serta
didorong kepermukaan untuk masuk millennium
ketiga dan pasar bebas. Dengan terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan selera
pasar melalui seni dan desain, akan dengan sendirinya masa depan perkeramikan,
produksi dan penciptaan keramik akan cerah.
Sentuhan tangan-tangan trampil yang berwawasan ke depan dan bercitarasa
tinggi mempunyai harapan untuk bersaing
dalam kehidupan global dan pasar Dunia.
- Istilah dan Pengertian Keramik
Buku Dictionary of Art yang
ditulis Bernard S. Myers menyatakan
bahwa, kata keramik berasal dari bahasa Yunani
Kuno yaitu “keramos” yang berarti
tanah liat (Myers, 1969:429). Dictionary of Art tulisan Mills J.F.M. menyebutkan bahwa kata
keramik berasal dari bahasa Gerika yaitu kata “keramikos” yang berarti benda–benda yang
terbuat dari tanah liat; yang merupakan suatu istilah umum untuk studi seni
dari pottery dalam arti kata yang
luas, termasuk segala macam bentuk benda
yang terbuat dari tanah liat dan dibakar serta mengeras oleh api (
Mills, 1965:39). Ruth Lee, dalam
bukunya yang berjudul Exploring The World of Pottery menjelaskan
bahwa istilah Yunani untuk kata
keramik ialah “keramos” yang berasal
dari kata “keramikos” suatu daerah di
Athena di sekitar pintu gerbang Dypilon tempat tinggal kebanyakan kaum perajin
tanah liat, dimana mereka juga bekerja dan menjual keramik (Ruth Lee, 1971:25).
Ditelusuri lebih jauh oleh para peneliti, ditemukan bahwa sebenarnya “keramos” itu merupakan nama salah satu
dewa di Yunani. Encyclopedia of The Arts menjelaskan bahwa di dalam mitologi
Yunani, “Keramos”, adalah putra Dewi
Ariaduc (Ariadne) dengan Dewa Baccus,
yang merupakan dewa pelindung para pembuat keramik (Runes, 1946:151). Seperti
telah diketahui bahwa orang Yunani juga sangat percaya kepada banyak dewa
(lihat mitologi Yunani), dimana
setiap jenis pekerjaan atau kegiatan yang berhubungan dengan kebutuhan manusia
ada dewa-dewanya yang diharapkan selalu dapat membantu serta melindunginya.
Pengertian keramik adalah
cakupan untuk semua benda yang terbuat dari tanah liat (lempung), yang mengalami
proses panas atau pembakaran sehingga mengeras. Balai Besar Keramik Bandung, mendefinisikan keramik sebagai
berikut:
“Keramik adalah produk
yang terbuat dari bahan galian anorganik
non - logam yang telah mengalami proses panas yang tinggi. Dan bahan jadinya
mempunyai struktur kristalin dan non-kristalin atau campuran dari padanya”
(Praptopo Sumitro, dkk, 1984:15).
Definisi keramik yang
pengertiannya luas dan umum adalah “bahan-bahan yang dibakar tinggi”, termasuk
didalamnya adalah semen, gibs, besi (metal) dan lain sebagainya. Karena hal
itulah sebutan keramik bervariasi seperti gerabah,
tembikar, mayolika, email, keramik
putih, terracota, porselin, keramik batu (stoneware), benda tanah liat, barang pecah-belah, benda api, cermet (keramik-metal), gelas, semen
api, keramik halus, kaca, silikon dan
lain sebagainya.
Pengertian keramik dapat
pula dipandang dari bentuk visualnya (wujud rupa), dari bahan material ( kimia
- fisik ) dan teknologinya ( teknik kimia, teknik fisika, teknologi proses,
dll. ), serta dari fungsi praktis, konsep seni dan desain. Bila ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan
dan teknologi (Iptek), keramik dapat digolongkan dalam lingkup silika
enjinering (Teknik Kimia) karena bahan materialnya menjadi titik pusat
perhatian dan karakteristiknya. Bisa juga digolongkan dalam lingkup fisika-enjinering
( Teknik Fisika ), hal ini bila ditinjau dari sifat fisik dan cara pemanasan
atau pembakarannya. Iptek - material ini
meneropong berbagai segi keramik modern. Dari bahan baku, bahan mentah,
pemrosesan, sampai dengan analisis dan penerapannya untuk berbagai rekayasa
teknologi mutakhir. Rekayasa canggih tersebut meliputi elektronika dan outomotif serta komputer, juga
akhir-akhir ini telah merambah ke bidang biologi (tulang dan gigi) yang mengetengahkan keramik modern yang
menakjubkan. Dengan demikian keramik juga termasuk dalam lingkup bidang ilmu
Teknik dan MIPA.
Arah baru dari
pengembangan riset bahan keramik pada akhir abad 20 ditandai dengan Iptek-bahan
yaitu “Material Multifungsi” yang
penggunaannya teramat banyak, termasuk piranti (komponen) elektronika (elektro-keramik),
komponen bertegangan tinggi dan suhu tinggi seperti mesin dan cerobong pesawat,
komponen untuk industri produksi seperti permrosesan gelas dan logam serta
piranti dari proses manufaktur (alat potong dan lainnya). Lapisan pelindung pesawat antariksa dan
kendaraan hipersonik Angkatan Laut
Amerika memakai bahan multifungsi yang tahan pada suasana oksidatif dan reduktif serta
menghambat suhu dingin dan aliran cepat suhu yang amat panas (Anton J.H.,
1994:100). Gelas-keramik alumunium
silikat sebagai bahan pelapis dan komposit karbon-karbon (C-C), sangat stabil pada suhu panas
1500°C. Pemrosesan sol-gel sangat
baik untuk membuat bahan-multifungsi misalnya optika silikat,
keramik-metal (cermet) dan lainnya.
Selain itu, pengembangan baru IPTEKS yang menggabungkan biologi, kimia-fisik
dan DNA -rekombinan, para ahli telah dapat
menciptakan bahan untuk perbaikan enamel gigi manusia. Teknologi canggih dan
eksperimentasi terus berlangsung dan kemudian Zircone-Y merupakan hasil
temuan cemerlang (gambar 02), sehingga para ahli mampu menjadikan keramik
sebagai bahan mentah terkeras dan sangat kuat, tahan terhadap goresan, panas
dan berbagai bentuk efek kimia dan mekanik. Temuan tersebut telah diterapkan
dan dimanfaatkan oleh pabrik jam tangan merek Rado La Coupole ‘Ceramique’
dipadukan dengan batu sapir dan oksidasi metal serta kilauan berlian di
beberapa sudutnya membuat nyaman dan menyatu
dengan keindahan desain (gambar 03). Lalu pemanfaatan tulang sebagai
komposit keramik yang mengandung serat organik (kolagen) dan mineral, merupakan bahan baku (biologi-material) yang
cukup potensial. Dan kini telah dimanfaatkan oleh perusahaan patungan dalam
negeri yaitu PT. Han Kook Keramik Indonesia, yang meramu tulang sapi dengan
tanah liat sebagai bahan baku peralatan rumah tangga.
Pengertian keramik secara
“khusus” dikaitkan dengan bidang senirupa, yang ditinjau dari segi perwujudan
bentuknya. Secara umum disebut sebagai “seni keramik”, yaitu suatu pengertian
dari proses pengubahan atau penciptaan benda yang bernilai “seni”. Hasil dari pengolahan, penyusunan dan proses kreasi seni tersebut biasa disebut
sebagai “keramik seni”. Penciptaan
bentuk keramik ada hubungannya dengan penyusunan dari unsur-unsur sat-mata
(elemen visual) dan latar belakang atau tujuan dari pembuatan, yang tertuang
dalam kegiatan perancangan atau mendesain, disamping menyangkut kreativitas
juga bisa berupa ungkapan (ekspresi).
Cara pandang keramik di dalam bidang senirupa bisa berada dalam kajian
seni murni atau bisa dalam kajian seni kriya atau bisa dalam kajian seni pakai
(terapan) dan kajian desain.
Riset bahan keramik dan
seni keramik terus bergulir dengan wawasan yang semakin luas, kompleks, rinci
serta mendalam; sehingga pengertian keramik masa kini dan mendatang tidak lagi
sederhana atau sekedar keterampilan dan ketekunan mengolah lempung belaka,
tetapi sudah berwajah Iptek tinggi. Dengan demikian, spesialisasi keahlian
perlu dikembangkan untuk memudahkan dalam mengarahkan dan mendalami keramik.
Untuk memudahkan dalam
menanggapi persoalan-persoalan keramik,
dalam hal ini ada beberapa cara pandang yaitu keramik sebagai “meterial”
(bahan), yaitu pembahasan yang meliputi bahan baku dan bahan mentah serta
Iptek-material seperti masalah tanah atau lempung, batuan, bahan galian, air,
bahan glasir, komposisi bahan, yang meliputi pembahasan ilmu kimia dan fisika.
Keramik juga bisa dilihat dari sudut “teknik”, yang meliputi proses pembuatan,
teknologi proses, penerapan kimia dan fisika, bahan konstruksi dan arsitektur, tungku dan pembakaran, komponen rekayasa
teknologi pesawat, komputer, elektro, dapur tinggi (pengecoran) dan lain
sebagainya. Dan cara pandang yang khas adalah keramik sebagai “konsep visual”,
yang berhubungan dengan pengorganisasian
dan penyusunan unsur-unsur sat-mata (element
visual) berkaitan dengan bidang senirupa dan desain.
4. Kualitas dan
Sebutan Keramik
Ada beberapa mutu keramik
yang secara umum beredar dalam masyarakat diantaranya sebagai berikut:
a) Gerabah atau terracotta ( Bhs. Itali = tanah liat
bakar), earthenware ( Bhs. Inggris),
aardewerk
(Bhs. Belanda), terbuat dari tanah liat
yang plastis dan mudah dibentuk dengan tangan, yang dibakar di bawah suhu 1000ยบ C. Keramik jenis
ini struktur dan teksturnya rapuh, kasar dan terdapat pori-pori, sehingga untuk
dapat kedap air biasanya dilapisi glasir, semen, cat atau bahan pelapis
lainnya. Gerabah termasuk golongan keramik yang berkualitas rendah. Sebutan
“gerabah lunak” karena dibakar dibawah 1000°C dan disebut “gerabah keras”
karena dibakar 1000°C. Contoh gerabah misalnya: bata, genteng, paso, periuk, anglo, celengan, pot,
kendi, gentong, dll. Genteng-genteng yang terbaru kini telah berglasir
warna-warni yang cukup menarik dan menambah kekuatan dan mutunya. Ada pula sebutan
“gerabah halus” dikarenakan pembuatannya halus dan tampak indah atau hiasannya
menonjol. Sedangkan disebut “gerabah kasar” disebabkan tanpa hiasan atau polos,
misalnya bata. Sebutan sebagai “gerabah padat” karena dibakar sampai 1200°C.
b) Keramik Batu atau stoneware ( Bhs. Inggris), steengoet
( Bhs. Belanda), terbuat dari campuran tanah plastis dengan tanah refractory
( tahan suhu tinggi) sehingga pembakarannya pun meningkat dari suhu pijar
1200ยบC hingga 1300ยบC. Seperti nama yang disandangnya, sebagai “keramik batu”,
benda jenis golongan ini mempunyai struktur dan tekstur yang kokoh, kuat, padat dan berat
seperti batu. Keramik batu ini termasuk
golongan keramik kualitas madya atau menengah. Jenis keramik ini sering disebut
pula sebagai “gerabah padat” yang dipijar sampai suhu 1200ยบC.
c) Porselin atau poslen, porcelain ( Bhs. Inggris ), termasuk jenis keramik bakaran
tinggi suhu pijar 1350ยบ C atau 1400ยบ C bahkan ada yang lebih tinggi lagi hingga
1500ยบC. Bahan yang dipergunakan adalah lempung murni berwarna putih / terang
yang bersifat refractory seperti kaolin ( Bhs. China: Kaoling), alumina dan silika. Badan
porselin setelah dibakar berwarna putih dan bahkan bisa tembus cahaya dan
seringkali disebut sebagai “keramik putih”. Pengembara Venesia, Marco Polo, menciptakan nama porselin
ketika pertama kalinya melihat bahan
ajaib itu di Asia, yaitu dalam perjalanannya ke Istana Kublai Khan. Ia menamakannya “porcellana” atau kulit kerang karena
permukaannya seperti gelas dan keras (Herman, 1984:6). Porselin yang tampaknya
tipis dan rapuh, sebenarnya mempunyai kekuatan, dimana struktur dan teksturnya
padat dan rapat serta keras seperti gelas, karena dipijar suhu tinggi dan
terjadi vitrifikasi (penggelasan).
Secara teknis, keramik ini mempunyai kualitas yang tinggi dan bagus, disamping
mempunyai daya tarik khusus dalam hal keindahan dan kelembutan khas porselin.
Juga bahan porselin yang putih tersebut sangat peka dan cemerlang terhadap
warna glasir serta semakin tinggi suhu pijarnya semakin nyaring bunyinya bila body keramik di pukul / terbentur benda logam.
d) Keramik Baru atau New Ceramic, adalah jenis keramik yang
bersifat teknis ( Sumitro: 1984 ) ,
diproses untuk keperluan teknologi (canggih) seperti peralatan mobil ( busi), perlengkapan listrik (zekering, kompor), bahan konstruksi,
piranti komputer, dapur tinggi, cerobong pesawat, kristal-optik, keramik-metal (cermet),
keramik-multilapis, keramik- multifungsi, komposit-keramik, silikon, bio-keramik,
keramik-magnetik, gigi porselin, dll. Bentuk dan material keramik
disesuaikan dengan keperluan yang
bersifat teknis, seperti tahan benturan, tahan gesek, tahan panas, tahan dingin, isolator, pelapis, piranti lunak atau komponen teknis lainnya.
e) Keramik rakyat / tradisi, jenis keramik ini terdapat dimana-mana,
terutama dipedesaan yang dibuat secara turun temurun dengan teknik sederhana
atau tradisional sebagai pekerjaan tangan (kerajinan) yang cenderung sebagai
industri rumah tangga. Produk keramik ini meliputi peralatan rumah tangga,
peralatan upacara, benda hias, cenderamata dan lain sebagainya. Keramik
tradisional ini umumnya memiliki pasar untuk masyarakat golongan bawah dan
menengah. Namun demikian pada perkembangannya telah mampu menembus pasaran
ekspor, hotel dan restoran, pariwisata dan kelompok pecinta lingkungan serta
golongan tertentu.
f) Keramik industri, diproduksi oleh pabrik-pabrik
secara masinal dengan memanfaatkan teknologi canggih yang sifatnya padat modal,
mengutamakan pembuatan benda-benda keperluan umum dan yang bersifat teknis serta
memiliki nilai ekonomi. Di samping itu keramik jenis ini dirancang secara
massal (mass-product) bersifat
praktis dan fungsional dengan pasaran masyarakat luas dan untuk keperluan
ekspor. Keramik industri banyak melibatkan para desainer dan insinyur sebagai
tim kerja.
g) Keramik seni, adalah hasil karya para
seniman, desainer, perajin, keramikus, baik secara individu maupun kelompok
sanggar-sanggar atau studio. Keramik jenis ini memiliki ciri khusus adanya
penonjolan keindahan atau ekspresi tersendiri. Benda seni ini tidak terikat
oleh kegunaan tertentu, tetapi dibuat lebih banyak berdasarkan kesenangan,
bersifat eksklusif dan unik. Produksi benda keramik seni sangat terbatas,
bahkan bersifat “tunggal” atau satu-satunya di Dunia, sehingga kepemilikannya dapat
membuat kebanggaan tersendiri. Keramik jenis ini pasarannya hanya pada
masyarakat golongan tertentu saja, yakni orang-orang yang tertarik atau yang
berminat saja.
h) Keramik berat, adalah jenis keramik yang
memiliki struktur dan tekstur yang kasar serta berbobot ( relatif berat ).
Keramik yang rapuh dan berpori-pori termasuk juga dalam kelompok ini. Produk “
keramik berat” ini contohnya adalah mortar, bata, hong, semen, gibs, benda tahan api (bata api), abrasive, insulator dan
lain sebagainya.
i) Keramik halus, adalah produk keramik yang
mempunyai kesan halus dan lembut, berbobot ringan, strukturnya kokoh dan kuat,
benda kedap air, juga benda yang memiliki nilai keindahan dan seni. Contoh
“keramik halus” seperti porselin, saniter, kaca, glasir, ubin atau tegel
keramik, peralatan makan dan minum (tableware),
vitrous teknik, keramik-metal, sircon, patung, guci, vas bunga, kap
lampu, pewadahan IC pada komputer
dan elektronik, kristal dan lainnya.
j) Keramik galian, meliputi bahan-bahan mentah dan
galian seperti kaolin, feldspar, silika, sircon, gibs, kapur, bauxite, ballclay, batu bara, marmer, pumice, magnesit, lempung, silimanit, andalusit, titan, timbel, nikel,
mangan, alumunium dan lain sebagainya.
k) Keramik pakai, meliputi benda-benda yang bersifat
praktis dan berguna dalam kehidupan sehari-hari (handled). Barang pakai-guna ini senantiasa berkembang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, yang mengutamakan fungsi pakainya. Contoh benda pakai
seperti piring, cangkir, mangkuk, saniter, wastafel, kap lampu, tempat
perhiasan, teko, kendi, zakering, fitting, periuk, pemanggang sate dan
lain sebagainya.
l) Keramik teknis, adalah keramik untuk keperluan
teknis (teknologi) misalnya untuk keperluan mesin (onderdil) mutakhir seperti glow plug dan hot plug dari mesin diesel, ujung lengan rocker (Mitsubishi), turbo
charger (Nissan), bata tahan api, semen api, alat tenun porselin, busi
motor dan mobil, landasan kumparan kompor listrik, sircon lapisan luar pesawat antariksa dan lapisan dalam cerobong
roket atau pesawat (combustion area),
ceramic-metal (cermet), pewadahan IC elektonik
dan komputer, gelas-keramik alumunium
silikat, material multifungsi, bio-keramik
untuk kesehatan dan ilmu kedokteran, metalurgi
dan sebagainya.
m) Keramik
psikhis, adalah keramik yang cenderung sebagai benda spiritual / magis atau benda ungkap atau benda
kejiwaan, seperti benda kubur, benda hias, peralatan upacara agama atau adat,
benda ekspresi, benda seni, patung-patung, keramik lukisan, relief, benda kriya
(kerajinan), termasuk benda arkeologi
atau benda bersejarah dan lain sebagainya.
5. Pelayanan
Teknis Keramik
Bermula dari keinginan dan usaha
pemerintah untuk mewujudkan ide pelestarian seni budaya Bali melalui keramik
tahun 1980-an, maka didirikanlah suatu lembaga resmi yang diberi nama Pusat Penelitian dan Pengembangan Seni
Keramik dan Porselin Bali atau
disingkat P3SKP -Bali.
Lembaga ini bertujuan untuk membina dan mengarahkan pemanfaatan potensi
seni keramik Bali yang ada. Disamping itu guna meningkatkan kegiatan dari
masyarakat perajin dalam rangka memperkuat kepribadian dan kebanggaan nasional
yang dapat pula menunjang kegiatan pariwisata dan ekspor komoditi. P3SKP -Bali
didirikan atas gagasan dari Menteri Ristek / Ketua BPP .
Teknologi Prof. DR. B.J. Habibie,
Gubernur KDH Tk.I Provinsi Bali Prof.
DR. Ida Bagus Mantra dan Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ida Bagus Oka. Peletakan batu pertama dari pembangunan
sarana dan prasarana lembaga ini dilakukan pada tanggal 17 Oktober 1981 oleh
Menristek yaitu Prof. DR. B.J. Habibie
dan operasional dimulai bulan September 1982, dengan fasilitas dari BPPT, Pemda Bali, Departemen
Perindustrian dan tenaga pelaksana dari Universitas Udayana. P3SKP -Bali dibangun di pulau kecil bernama Tanah
Kilap, termasuk kawasan Desa Suwung Kauh, Denpasar. Ketua pelaksana pertama
adalah Drs. I Made Yasana, staf
pengajar Jurusan Kriya Keramik di PSSRD Universitas Udayana (kini ISI Denpasar). Kini
lembaga ini dikelola murni oleh BPPT dan ditingkatkan menjadi Unit Pelayanan Teknis atau UPT-PSTKP Bali, yang melayani sampai
wilayah Nusa Tenggara, seniman dan mahasiswa praktek.
6. Pendidikan
Keramik
Pendidikan keramik
sebenarnya telah dimulai dari pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan
Pertama (SMP ) dan Sekolah Lanjutan
Atas (SMA) yang dimasukkan dalam mata pelajaran “membentuk” atau “keterampilan”
atau “senirupa”, baik dalam kurikulum maupun dalam bentuk ekstra kurikuler.
Disamping itu, juga terdapat sekolah lanjutan atas yang khusus dibidang ini
yaitu Sekolah Menengah Industri Keramik (SMIK)
dan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR)
yang sekarang masuk kelompok Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Penciptaan bentuk / wujud keramik ada hubungannya dengan konsep “Seni” khususnya
“senirupa”, karena menyangkut cara penyusunan unsur – unsur sat – mata (elemen
visual) dan latar belakang atau tujuan dari pembuatan keramik yang menyangkut
fungsi, bahan, ekspresi dan kreativitas. Berdasarkan hal tersebut keramik juga
merupakan pendidikan ketrampilan atau kriya, seni dan desain.
Dari sudut ilmu
pengetahuan (Iptek), keramik bisa digolongkan dalam lingkup Silika Enjinering (Teknik Kimia) karena
bahan materialnya merupakan titik pusat perhatian dan karakteristiknya. Bisa
digolongkan dalam lingkup Fisika
Enjinering (Fisika Teknik) bila ditinjau dari cara pemanasan/pembakaran. Dengan demikian pengetahuan ilmu keramik
telah masuk dalam lingkup bidang Teknik
dan MIPA tetapi tidak secara
khusus dan merupakan bagian kecil dari ilmu kimia dan fisika. Iptek material
yang kini meneropong berbagai segi keramik modern, dari bahan mentah, bahan
baku, pemrosesan sampai dengan analisis dan penerapannya untuk rekayasa
teknologi mutakhir. Juga menyangkut teknik mikroskopi, sinar, analisis
permukaan atas pemrosesan dan simakan retakan – patahan, serta berbagai
terapannya. Pendidikan tinggi keramik di Indonesia cenderung berada dalam
lingkup pendidikan senirupa, karena ilmu bahan dan teknologi keramik di
indonesia tertinggal jauh dengan Dunia Barat serta kurang menonjol. Disamping
itu ilmu senirupa yang cukup kaya dengan seni tradisional Indonesia sangat
lumrah memasukan keramik kedalam lingkup perguruan tinggi seni, senirupa, kriya
dan desain. Disamping itu dalam ilmu pendidikan, keramik dimasukan dalam
lingkup sastra dan seni. Perguruan tinggi di Bali yang mengelola program studi
keramik adalah ISI Denpasar.
7. Konsep
Penciptaan Seni Keramik
Lempung atau tanah liat adalah bahan baku keramik yang
memiliki sifat plastis dan menurut atau mudah dibentuk apa saja dengan
berangkat dari karakter awal yang tidak menentu (abstrak). Sehingga apapun yang
terkandung dalam suatu benda keramik – baik sebagai benda teknis, benda praktis
(pakai), benda estetis, maupun sebagai benda spiritual (magis) – berasal dari
Imajinasi penciptanya saja. Kebebasan yang begitu luas memang merangsang daya
cipta dan imajinasi serta pengembangan IPTEK. Sisi lain dari dampak kebebasan
itu berakibat buruk karena benda keramik menjadi tidak bermutu dan kehilangan
arah dan tujuannya dengan kata lain menjadi benda “iseng” tanpa arti.
Pandangan seni keramik
sampai saat ini masih tumpang tindih (overlaping)
atau terpadu. Umumnya belum banyak yang mempersoalkan ciri khas perbedaan,
kecenderungan dalam mengolah seni keramik. Konsep penciptaan seni keramik
seperti yang diuraikan, memiliki tiga arah pengembangan — sebagai seni murni,
seni kriya (kerajinan) dan seni pakai. Pada dasarnya ketiga bagian seni keramik
tersebut mempunyai ciri khas dan penonjolan masing-masing secara terpisah.
Apabila ciri khas dikembangkan maka konsep penciptaan seni dapat berdiri
sendiri tanpa ada kecenderungan dan perpaduan seni. Disamping itu suasana tumpang tindih (overlaping) kurang mendukung
perkembangan seni keramik itu sendiri. Kedudukan seni kriya (kerajinan) berada pada
posisi ditengah-tengah yang menunjukkan seni ini umumnya lebih berupa kecenderungan,
baik ke seni murni atau ke seni pakai tergantung dari wawasan para kriyawan itu
sendiri
Pengembangan seni keramik
diperlukan spesialisasi, Karena penyempitan bidang garapan akan memudahkan
didalam mempelajari serta mendalaminya. Dengan arah pengembangan yang jelas
tentu mutunya akan meningkat dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
tuntutan kebutuhan masyarakat yang juga semakin berkembang. Sikap yang semakin
jelas dalam pengembangan seni keramik diperlukan khususnya dalam dunia pendidikan
yang bersifat formal dan pembinaan seni di masyarakat pada umumnya. Keramik
tidaklah lepas dari unsur teknologi dan seni, yang merupakan dwi-tunggal yang
pengembangannya relatif.
a) Seni Keramik Murni
Keramik yang dibuat untuk
tujuan yang murni bernilai ungkap termasuk sebagai “seni murni” atau fine art, yang lazim disebut sebagai
“keramik ekspresi” karena identitas dan emosi penciptaannya menonjol serta
tidak mengulang-ulang (tidak digandakan secara massal) yang dibuat oleh
individu atau pribadi yang bebas tidak terikat (merdeka). Keramik jenis ini
melayani kebutuhan atau kehidupan jiwa seperti adanya suasana hati atau batin
atau perasaan, hasrat dan ekspresi atau
ungkapan serta emosi, secara sadar atau tidak merupakan perwujudan nilai-nilai
tertentu dari kehidupan manusia itu sendiri.
Bisa dikatakan keramik ini
sebagai “keramik bebas” yang
pembuatannya tidak terikat oleh kegunaan
atau fungsi pakai tertentu, tetapi muncul sebagai karya itu
sendiri.
Pencetus gaya ini,
seperti L’art pour l’art atau
“seni untuk seni” adalah seorang
Perancis yang bernama Thephile Gautier
(Lionella Venturi, 1964:237-266). Gautier
bereaksi terhadap keadaan zamannya, dimana seni dimanfaatkan untuk tujuan dan tendensi politik, komersial
materialistik maupun moralistik. Ia menginginkan agar seni “dimurrnikan”,
dinikmati dan dihargai bukan karena alasan lain diluar seni itu sendiri.
Demikian pula yang terjadi pada zaman LEKRA,
dimana politik adalah sebagai panglima, maka seni harus mengabdi kepadanya.
Seni yang “murni” harus bebas propaganda dan tendensi di luar seni. Demikian
pula kehadiran “seni murni” dalam keramik, merupakan suatu perwujudan yang
original dan mengandung kejujuran emosional secara individual, berdiri sendiri,
secara khusus bereksistensi mandiri, merupakan proyeksi preferensi, apresiasi
dan kesadaran akan nilai-nilai kehidupan dan kepribadian, baik secara rasional
maupun irasional (intuitif).
Pembuatan keramik “seni
murni” mempunyai maksud untuk mengkomunikasikan pemikiran atau penyampaian
ekspresi melalui bahasa rupa, lewat bahan, tekstur, warna, bentuk, ruang,
bidang, garis, simbol dan lain sebagainya, yang menjadi suatu susunan dan dapat
membangkitkan masyarakat apresiasi. Pembuatan keramik jenis ini atas dasar
kesenangan dan telah menjadi ciri khas yakni dibuat dalam jumlah terbatas,
bahkan sebagai benda satu-satunya di Dunia. Dengan demikian kehadiran “seni
murni” ini patut untuk diperhitungkan dan direnungi sebagai manifestasi
kebudayaan bangsa, sebagai bagian dari kehidupan, yang juga ikut berperan dalam
mencerdaskan masyarakat, dapat sebagai media untuk menyalurkan hasrat, emosi
atau ekspresi atau pikiran sehingga kehidupan menjadi selaras dan seimbang, baik material maupun spiritual. Lebih lanjut pada perkembangannya, seni
keramik murni tidak lagi terkotak-kotak, bersifat universal, bebas dan hidup
dalam dinamika masyarakatnya. Suatu ungkapan yang sangat pribadi sekali.
Akhirnya semua itu dikembalikan kepada masyarakat apresiasi, untuk dinikmati,
ditonton, ditafsirkan atau dikritik. Perjalanan dari tahapan proses pembuatan
seni sangat menarik untuk disimak, karena akan memberikan berbagai pengalaman
batin dan juga inspirasi dalam proses kreasi yang menunjukkan bagaiman seorang
seniman mendalami seni dan materi keramik sebagai media ekspresi atau komunikasi.
b) Seni Keramik Pakai dan Keramik Teknis
Keramik pakai dibuat untuk
tujuan yang bersifat praktis dan
fungsional, terutama untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagai “seni pakai” keramik jenis ini merupakan produk hasil dari
suatu rancangan atau desain, baik untuk keperluan yang bersifat fisik atau
material seperti peralatan rumah tangga ( wadah atau perabotan), maupun sebagai
bahan dan komponen suatu rancang bangun. Keramik pakai bersifat umum denganj
kegunaan khusus dan bervariasi, dimana setiap produknya mementingkan segi
praktis dan fungsi yang optimal serta efisien. Karena bersifat umum yaitu untuk
kepentingan masyarakat luas, maka
keramik pakai harus memenuhi standar industri yang berlaku di setiap
negara. Kalau dalam negeri disebut Standar Industri Indonesia ( SII )
atau Standar Nasional Indonesia ( SNI
), ada pula Standar Industri Internasional yang berlaku, misalnya ISO, dll. Semua itu untuk melindungi
kepentingan konsumen, apalagi kini telah ada undang-undang yang mengatur hal
itu. Dan para pengusaha harus melaporkan secara kontinyu hasil produksinya ke
Departemen terkait disamping untuk pengendalian mutu dan pengontrolan serta sebagai obyek pajak.
Benda-benda keramik pakai
diproduksi oleh mesin-mesin (pabrik) yang menghasilkan produk massal dengan
bentuk serupa (standar) dan diawasi oleh pemerintah atau lembaga konsumen.
Hal-hal yang tercantum dalam SII atau
SNI biasanya meliputi ruang lingkup
dan prosedur, definisi, klasifikasi, cara pengambilan contoh (sample) , cara uji, syarat lulus uji,
syarat penandaan, cara pengemasan, dilengkapi dengan tabel-tabel dan
gambar-gambar. Untuk dapat bersaing dipasaran, produk keramik pakai menawarkan
keterjangkauan (murah), kepraktisan, pemenuhan kebutuhan dan perlindungan
konsumen. Karena itu harus direncanakan sedemikian rupa memperhatikan segi
keamanan atau keselamatan, kenyamanan, kebersihan atau kesehatan dalam
pemakaian produk. Pertimbangan lainnya dalam mendesain adalah dari sudut
pandang ekonomi, sosial, budaya, fisiologis (ergonomi), psikologi, teknologi
dan estetikanya.
Seni keramik pakai dalam
memenuhi tuntutan fungsinya menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut ini: a)
Bentuk sesederhana mungkin dan estetis atau indah; b) Bentuk pakai yang
dihasilkan minim dari unsur ekspresi dan imajinasi; c) Dapat menampilkan
keindahan yang mengikuti fungsinya; d) Keindahan muncul dengan sendirinya
secara wajar disaat benda tersebut dipergunakan; Dan terakhir, e) Adanya
hubungan antara barang dengan sipemakai.
Kebutuhan masyarakat
senantiasa berkembang dan semakin kompleks sifatnya, maka desain-desain
alternatif dan baru selalu akan mengikuti.
Contoh lainnya yaitu desain perlengkapan mandi dari porselin (lihat
foto), wastafel, urinoir dan lain-lainnya, dimana
bentuknya juga bervariasi sebagai pilihan (alternatif). Dalam hal ini konsumen
bebas memilih sesuai dengan seleranya, baik bentuk, ukuran, warnanya dan
harganya.
Seringkali terjadi, benda
pakai ini jarang dipergunakan karena bentuknya teramat indah atau hiasannya
(dekorasi) berlebihan, sehingga fungsinyapun beralih menjadi benda pajangan di
ruang tamu, tidak sesuai dengan fungsi sebenarnya. Tampaknya tanggungjawab
desainer cukup besar dan penting, terutama pada masyarakat konsumen, produsen
dan kesempatan kerja. Sudah selayaknya hasil karya desainer dihargai dan layak
diberi perlindungan seperti yang diatur dalam Undang-undang HaKI
( Hak akan Kekayaan Intelektual) seperti Hak Cipta, Paten, Produk Industri, dllnya.
Demikian pula keramik
yang bersifat teknis, termasuk dalam seni keramik pakai dengan penekanan khusus
sebagai bagian dari keperluan desain atau rancangan teknis tertentu, bisa
berupa material multifungsi, dapur suhu tinggi dan pengecoran, komponen
konstruksi, tata laksana pembuatan gigi palsu porselin, bahan-bahan bangunan
(lihat foto) dan peralatan elektrik seperti sekring, kompor, penyaring air,
fitting dll. Pengembangan IPTEKS
material, merupakan tim proyek yang
melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti pembuatan rotor turbo-charger atau onderdil mobil (lihat tabel 3), penyaring
air minum (ceramic filter) dan busi motor (lihat gambar 30), pembuatan I C
piranti elektronika dan komputer (pewadahan) dll. Pada keramik yang bersifat teknis, desain
harus disesuaikan dengan kebutuhan dan fungsi serta sistem teknologi yang
dikehendaki tim proyek (bersama).
c)
Seni Keramik
Kerajinan
Keramik kerajinan memiliki ciri
khas sebagai pekerjaan tangan (handicraft)
yang termasuk kriya (craft).
Sedangkan “kriya” atau “kria” yang berasal dari kata “creat”
ini bahasa Sansekertanya berarti “kerja” dan bahasa Jawanya “pakaryan”
dan masyarakat pada umumnya menyebut sebagai “kerajinan”. Jika diurai dari akar
keilmuannya, masih terus terjadi perdebatan dikalangan praktisi maupun
akademisi bidang seni rupa. Bidang kriya atau kerajinan ini menjadi ajang perebutan
antara masuk disiplin ilmu seni murni atau desain sehingga muncul istilah
“kriya seni”, “kriya desain” atau “seni kriya” dan “desain kriya”. Karena kriya
memiliki fleksibilitas yang tinggi,
bisa berupa kecendrerungan-kecenderungan, berada ditengah-tengah dan tergantung
dari kedudukan dan wawasan yang dipergunakan,
yang bisa berada di wilayah atau kubu dari seni murni atau seni pakai
(seni terapan /desain).
Sudarso SP,
mengatakan bahwa seni kriya adalah cabang seni rupa yang sangat memerlukan
kekriyaan (craftmanship) yang tinggi,
seperti ukir kayu, keramik dan anyaman, dsbnya (1988:14). Sedangkan Wardiman Djoyonegoro, Mendikbud R.I.
dalam sambutan Pameran Seni Terapan 1994, menyatakan bahwa seni tersebut tidak
hanya mengandalkan kerajinan dan ketrampilan tangan, melainkan hasilnya
mengandung makna sebagai karya cipta seni yang kreatif dan inovatif. Seni kriya
pada hakekatnya tertuju pada penekanan bobot kekriyaan (craftsmanship) yang memungkinkan lahirnya nilai seni terapan dalam
bentuk ekspresi baru sesuai tuntutan budaya masa kini. Seni keramik kerajinan
ini sering pula disebut sebagai “seni rakyat” karena pendukungnya banyak dari
rakyat biasa dan disebut “seni tradisional” karena banyak menghidupkan
seni-seni tradisional, Juga disebut pula “industri rumah-tangga” atau home-industry yang memproduksi secara
terbatas dengan peralatan sederhana. Dan disebut sebagai “seni ladenan” karena
sering membuat atau melayani pesanan, yang segala sesuatunya (sedikit atau
banyak) ditentukan oleh pemesan, baik motif, bentuk, warna, desain maupun
teknologinya.
Barang-barang kerajinan
bisa saja dipakai untuk kegunaan tertentu, tetapi bukanlah tujuan yang utama.
Seringkali hadir sebagai benda yang bersifat dekoratif atau cenderamata. Karena
ketidak jelasan batasan dari seni keramik kerajinan ini, terjadi perpaduan
antara seni seni pakai, seni murni dan seni kerajinan. Untuk menciptakan seni
kerajinan keramik yang khas, diperlukan wawasan agar dapat mendudukkan
posisinya secara mandiri dan dapat mengembangkan ciri-ciri yang menonjol dari
visualisasi kegiatan kriya tersebut.
Ciri khas yang sangat menonjol dari seni keramik kerajinan ini adalah
mengutamakan segi keindahan (dekorasi) yang menghibur mata , sebagai pajangan,
pekerjaan tangan-tangan trampil luar biasa dengan produksi terbatas (manual-tradisional). Prinsip dasar dari
seni keramik kerajinan ini menampilkan hal-hal berikut: a) Bentuknya indah; b)
Dapat difungsikan sebagai benda pakai, tetapi bukan menjadi tujuan yang utama;
c) Fungsi benda mengikuti bentuk dan keindahannya; d) Sebagai benda dekoratif
atau aksesoris atau cenderamata (souvenir)
atau pajangan; e) Dibuat dengan tangan-tangan trampil sebagai perkerjaan tangan
tardisional; f) Menampilkan unsur-unsur seni tradisional atau ciri kas daerah;
g) Memperlihatkan sifat-sifat rajin, tekun, sabar, rumit, artistik, trampil,
halus dan unik; Dan terakhir, h) Dapat menjadi tradisi (mentradisi) sebagai
kepandaian yang turun-temurun atau diwariskan.
Banyak kalangan merasakan
bahwa Seni kerajinan sebagai pengulangan-pengulangan bentuk yang sudah ada,
baik yang tadisional atau yang klasik, dan pada umumnya memperlihatkan atau
mempertahankan nilai-nilai lama. Kerajinan juga nenunjukkan konotasi negatif
sebagai jenis suatu pekerjaan yang “mengulang-ulang” dari bentuk yang sama dan
positifnya memiliki sifat “rajin” atau “teliti”. Kenyataan ini membuat
perkembangan seni kriya termasuk lambat, terutama mengulang bentuk-bentuk yang
laris dan laku dijual (selera massa) yang menambah kelambatan dalam
pengembangannya, perubahan hanya sekitar bahan baku saja. Wiyoso Yudoseputro, ahli seni rupa, mengatakan dalam pengantar
pameran seni terapan (1994) bahwa dalam pengembangan seni kriya Indonesia sebagai seni terapan
masa kini, diharapkan mampu menampilkan nilai-nilai guna baru berdasarkan
imajinasi dan daya kreasi atau ekspresi para perupa. Kecenderungan untuk
memandang produk kriya sebagai hasil produksi massal dan karya ulang sering
mengecilkan arti dari kandungan nilai sebagai karya seni terapan. Lebih lanjut Wiyoso mengharapkan lahirnya
bentuk-bentuk baru dan orisinil tanpa harus mengulang-ulang kaidah seni lama
yang tidak sesuai dengan kebutuhan budaya masa kini. Jadi makna dasar kriya
tertuju pada penekanan pada “bobot kekriyaan” (craftsmanship) yang
melahirkan nilai seni terapan baru sesuai tuntutan zaman. Ciptaan-ciptaan
tangan ini sering “ jatuh “ sebagai benda “iseng” atau kitsch tanpa arti, tanpa tujuan yang jelas, yang tidak lagi menarik
bagi orang yang memiliki intelektualitas tinggi dan bagi mereka yang haus akan
arti kehidupan dan ilmu pengetahuan.
Namun demikian sentuhan tangan-tangan trampil ini justru merupakan daya
tarik terbesar, karena menghasilkan barang yang tidak kaku dan “dingin” seperti buatan mesin, terasa
“hangat” dan akrab serta sangat manusiawi. Walaun di zaman teknologi komputer
canggih seperti sekarang ini dimana dapat dengan mudah memprogram barang dengan
baik, indah dan sempurna, namun tetap saja berkesan “idak hidup” serta jauh
dari manusia dan “kering” akibat buatan mesin-mesin. Kerinduan manusia modern terhadap
sentuhan tangan, membuat seni lama hidup kembali atau mengalami perubahan dan
pengembangan atau ada semacam himbauan untuk “kembali ke alam” ( back to nature).
Benda-benda kerajinan,
apabila difungsikan sebagai benda pakai belum tentu mengikuti standar mutu yang
telah ditetapkan pemerintah dalam (SII atau SNI), karena dibuat dengan tangan yang
sulit dikontrol dan sering terjadi penyimpangan-penyimpangan serta bukan buatan
mesin (pabrik) yang mudah diawasi. Umumnya produk jenis ini dibuat dengan peralatan
sederhana (manual) dan bahan bakunya
dibuat berdasarkan pengalaman semata, bahkan hanya berdasarkan perasaan belaka;
Sehingga proses pengerjaannya terkadang tidak terencana dan tidak tercatat pula
serta tidak mudah untuk dikendalikan.
Semua itu berdasarkan kepekaan semata, yang berdampak negatif, dimana
kemungkinan produk dapat membahayakan (keracunan,dll) bagi kesehatan atau keselamatan konsumen maupun perajin itu
sendiri, terutama penggunaan bahan-bahan yang beracun untuk tempat makanan dan
minuman (cairan). Untuk itulah pemerintah diharapkan dapat membuka unit-unit
pelayanan teknis dan bahan baku yang siap pakai, yang pengelolaannya dapat
diserahkan kepada swasta atau instansi terkait.
Hasil karya keramik
kerajinan yang bermutu tinggi adalah dambaan, perajin dituntut untuk memiliki
citarasa yang tinggi, ketrampilan yang tinggi, dapat mengembangkan seni lama
dengan citarasa baru, unik dan eksklusif, dan hasilnya tentu tidak mustahil
menjadi duta-duta seni dan budaya bangsa yang membanggakan. Kebutuhan artistik
dan estetik baru dalam kriya masa kini menjadi tugas pakar-pakar seni dan kriyawan sehingga produknya menjadi
komoditi ekspor non-migas yang handal serta mampu bersaing di pasar global.
8. Tinjauan Seni Keramik Bali
Seni keramik Bali yang berada di
sentra-sentra kerajinan dan industri kecil - menengah terutama keramik kerajinan
dan pakai mengalami perkembangan sesuai dengan konsumsi atau kebutuhan
masyarakat yang telah maju sudah tidak terelakkan lagi, juga untuk tujuan-tujuan
ekspor. Daerah penghasil gerabah yang menonjol di Bali adalah Pejaten di Kabupaten Tabanan; Pering, Prangsada dan
Bedulu di Kabupaten Gianyar; Tojan di Kabupaten Klungkung; Jasi dan Subagan di
Kabupetan Karangasem; Bunutin di Kabupaten Bangli; Banyuning di Kabupaten
Buleleng; Banyubiru dan Melaya di Kabupaten Jembrana dan Kapal dan Binoh di
Kodya Denpasar. Berlangsungnya pembuatan gerabah tradisi di Bali ini karena
diperlukan sebagai sarana peribadatan agama Hindu. Barang-barang gerabah dari
tanah liat ini tidak dapat digantikan dengan bahan lain seperti plastik,
alumunium, seng dan lainnya kecuali oleh emas. Disamping itu patung gerabah
diperlukan untuk pemujaan yang diungkapkan melalui tokoh-tokoh pewayangan,
dewa-dewi dan tokoh-tokoh sakti lainnya. Juga keperluan rumah tangga
sehari-hari masih diperlukan seperti gentong atau Jedding, payuk (periuk),
coblong (mangkuk), Caratan (kendi),
dulang (tempat buah/sesajen). Sentra-sentra pembuatan
gerabah di Bali sebanyak 27 lokasi. Keramik Kerajinan sudah cukup maju di Bali,
terdapat di sentra-sentra produksi seperti di Kabupaten Tabanan sebanyak 21
perusahaan yang berada di daerah Pejaten ; Kabupaten Badung ada sekitar 19
usaha di daerah Kapal; Kabupaten
Buleleng ada 5 pengusaha di daerah
Banyuning ; Kabupaten Gianyar ada 15
pengusaha di Ubud, Blahbatuh dan Bedulu; Kabupaten Karangasem terdapat 10
pengusaha yang berada di daerah Jasi
dan Kodya Denpasar terdapat 15
pengusaha yang tersebar di dalam Kota.
Perusahaan kerajinan keramik tersebut diantaranya adalah “Jati Agung” , CV. Bali Permata, PT. Jenggala
Keramik, CV. Bali Keramik , UD. Merta sedana, UD. Trinadi, “Tantri Keramik”, CV. Keramik
Pejaten, UD. Sadia, PT. Bali Moon, UD.
Pertiwi UD. Meryri Ceramic, UD. Alus,
UD. Indah Karya, Calu’X Ceramics, CV. Cicak atau Studio Keramik “Cik Cak”,
“Keramik Beji”, “Bali Pot Ceramic”, “Tana Mera”, “Mangku Banyuning” , “Keramik
Binoh” dan masih banyak lagi yang lainnya.
Perajin seperti Made Tegeg yang
akrab dipanggil Pan Sadia, adalah
perajin berasal dari Basangtamiang, Kelurahan Kapal, Badung, telah memegang
sertifikat penghargaan Gubernur Bali, Prof. DR. Ida Bagus Mantra dan
“Upakarti”, atas usahanya memajukan keramik tradisional. Perajin yang cukup
kondang lainnya di Pejaten adalah I
Wayan Kuturan, bertempat tinggal di Banjar Pangkung, Kecamatan Kediri,
Tabanan, tepatnya 10 km kearah selatan dari Kecamatan Kediri. Pria lulusan SD
tahun 1966, sejak kecil sudah menekuni pembuatan keramik tradisional yaitu
pembuatan patung yang diterapkan dipuncak bangunan suci (kelentingan) dan peralatan upacara dari leluhurnya. Dimulai tahun 1963, sepulang sekalah ia
membantu keluarganya membuat peralatan upacara sambil membuat sesuatu yang baru
berupa patung manusia khas Bali yang dibuat sederhana agak lucu memenuhi
sudut-sudut rumahnya. Suatu ketika kedatangan seorang pelukis bernama Kay It, turut berkecimpung dalam
pembuatan seni kerajinan gerabah, memberikan banyak inspirasi dan masukan
berharga bagi Kuturan, dimana proporsi dan aksen artistik mulai diterapkan. Kay
It turut membantu pemasaran dan akhirnya gaya “kuturan” menjadi tradisi
masyarakat sekitarnya, ditiru oleh perajin yang disebut sebagai “gaya Kuturan”,
yang banyak dimanfaatkan sebagai pelengkap taman (eksterior) di hotel-hotel di Bali. Banyak wisatawan membelinya dan
sebagai komoditi ekspor, seperti ke Australia, New Zeland, Belanda, Italia,
Jerman, Inggris dan Perancis. Produksi keramik Bali ada berbentuk barang
kebutuhan rumah tangga, peralatan makan-minum untuk Hotel dan Restoran,
keperluan eksterior dan bangunan serta
pertamanan, hiasan, patung, wadah-wadah, cenderamata, aksesories dan keperluan
ekspor. Gerabaha Bali mengami “booming” pada tahun 1980 sanpai dengan 1990-an,
sehingga pemerintah merintis pembentukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Seni
Keramik dan Porselin Bali (P3SKP ).
Benda hias dan cenderamata menjadi andalan karena menunjang pariwisata. Banyak
memanfaatkan hiasan tradisional Bali dan mereka sadar menjual nama Bali dan
yang sedang nge-trend di mancanegara
yaitu dengan menempelkan “trade mark Bali”
hasil produksinya sampai dikenal di luar negeri. Lukisan gaya Ubud dan Batuan
serta ukiran khas Bali banyak menghiasi piring dan bentuk-bentuk wadah lainnya,
seperti guci, gentong, vas dan lainnya.
Para perajin dan usaha kecil kerajinan keramik di Bali banyak memperoleh
bantuan dan bimbingan serta latihan menyangkut teknologi keramik, desain dan
proses pengembangan usaha dari BPPT-UPT PSTKP Bali, PT. Sucofindo, PSSRD
Universitas Udayana, Deperindag Bali, Dekranas Bali dan Instansi lainnya. Desa
Pejaten pernah memperoleh bantuan yang bersifat kemanusiaan dan tidak mengikat
dari Belanda yang dikenal dengan Humanistic
Institute for Co Operation With Developing
Countries. Pemerintah Belanda
juga memdrop peralatan keramik bakaran madya yang dibelikan di Singapura
sebanyak 11 unit lengkap dengan tungku dan seorang tenaga ahli keramik
kebangsaan Belanda yang bernama Hester
Tjebes untuk membina perajin Pejaten. Sebanyak 43 orang dididik yang
tergabung dalam Koperasi Keramik Pejaten, terutama menyangkut pembuatan dan
pengolahan bahan, teknik pembentukan, teknik pembakaran, pembuatan glasir,
pembuatan desain, dan segala sesuatu menyangkut produksi dan manajemen.
Demikian pula dengan seni murni atau ekspresi sesuai dengan kemajuan
tingkat perekonomian dan apresiasi masyarakat serta sudah memasuki pasaran
internasional. Kebanyakan dari mereka menolak karyanya menjadi benda pakai dan
seringkali menyebutnya sebagai “keramik kreatif” atau “keramik ekspresi”.
Sebagai yang tergolong seni keramik murni, para penciptanya mempunyai maksud
dan tujuan tertentu. Pengungkapan seni secara bebas dan tidak terikat oleh kegunaan
atau fungsi pakai tertentu. Karya-karya seniman keramik ini berdiri
sendiri dan mempunyai daya tarik sendiri serta eksistensi sendiri pula.
Penilaiannya tentu sangat relatif, subyektif dan individualis serta tak
terukur.
Sejajar dengan
tendensi pembuatan keramik benda pakai dengan tangan (handmade), terlihat juga suatu aliran yang membuat keramik hias dan
seni dengan tangan juga. Terjadilah kemudian pembuatan patung-patung keramik.
Dua atau tiga aliran , yaitu pembuatan benda pakai, benda hias dan benda
ekspresi digarap dengan proses pekerjaan tangan, dan hal tersebut berlangsung
terus hingga kini. Terkadang terlihat
samar-samar akan batas-batas dari aliran
tersebut, bisa terjadi perpaduan seni atau suatu sintesa dari aliran yang ada. Atau berupa kecendrungan-kecendrungan
seni. Bentuk-bentuk alam, organis, tradisi, flora-fauna, abstrak, geometris
mewarnai keramik-modern. Suatu sifat dan ungkapan yang bernafaskan kontemporer
telah terjadi.
Sejalan dengan perkembangan budaya manusia, maka
kehadiran seni keramik di Bali mengalami peningkatan baik kuantitas maupun
kualitasnya. Disertai pula dengan kandungan makna filosofis serta konsep
penciptaan yang semua itu bergayut dengan nilai-nilai tertentu mencakup
segi-segi material, teknologi, ilmu pengetahuan, seni, spiiritual,
fungsi-fungsi religi dan keagamaan, ekspresi pribadi sampai pada kemanusiaan
itu sendiri. Tanah liat atau lempung
ternyata memberikan banyak kemungkinan bentuk dengan variasinya, karena
bahannya mudah dibentuk, termasuk dalam pengungkapan ekspresi dari pancaran
emosi dan kesadaran tentang nilai-nilai tertentu yang dianggap bermakna.
Aksara Bali dan “Rerajahan”
Keramik yang biasa
dipergunakan untuk upacara keagamaan (Hindu) di Bali adalah jenis gerabah
sederhana tanpa dekorasi dengan penekanan fungsi guna dari benda tersebut.
Penggunaan gerabah disini dimaksudkan memilki unsur kepercayaan bahwa air,
tanah dan api menjadi kebutuhan dalam kelahiran, kehidupan dan kematian (ngaben). Untuk itulah , akhirnya gerabah
tidak dapat digantikan oleh bahan lain seperti plastik misalnya, terutama dalam
ritual yang ada unsur ”memecahkan” atau “membanting”. Dalam upacara tertentu,
penggunaan keramik berglasir dengan dekorasi yang indah bisa diterapkan. Ada
suatu anggapan bahwa untuk suatu persembahan kepada dewa atau Yang Maha Kuasa
sebagai rasa hormat, haruslah dihias seindah-indahnya, semakin indah semakin
sempurna. Sehingga Bali layak disebut sebagai pusat pengembangan seni dan
budaya, karena dukungan agamanya. Mewujudkan keramik berglasir atau tidak
berglasir dengan menerapkan aksara Bali dan rerajahan,
yang berkesan tradisi dan berciri nilai budaya tergolong langka. Apalagi aksara
Bali kurang diminati generasi muda. Dan rerajahan dengan nilai magis yang memiliki karakter
tersendiri, hanya diketahui sebagian kecil masyarakat terutama generasi tua.
Aksara Bali biasanya dipergunakan oleh masyarakat Bali untuk berkomunikasi
lewat tulisan, baik untuk prasasti, syair, geguritan,
kekawin, maupun dalam ajaran agama
Hindu. Berdasarkan sifatnya, aksara Bali dapat dibedakan menjadi dua—aksara
umum (wreasta) dan aksara suci (Wija aksara). Wreasta yang lumrah terdiri dari 18 huruf dengan perlengkapannya
seperti yang diajarkan pada sekolah umumnya. Sedangkan wija aksara diyakini umat Hindu sebagai perlambang dari Tuhan dan
manivestasinya, yang menguasai kehidupan dan bersemayam dalam diri (buana alit) dan di alam semesta (buana agung). Aksara suci ini meliputi dasa aksara, panca aksara, tri aksara, dwi aksara dan eka aksara serta perlengkapannya meliputi nada sebagai simbol bintang dan udara, windu sebagai simbol matahari dan api, serta arda chandra sebagai simbol bulan dan angin. Adalah Ni Ketut Nurini, telah menerapkan
aksara Bali ke dalam bentuk dan dekorasi keramik. Ia menerapkan wija aksara dengan bentuk yang luwes dan
unik, penuh arti simbolik, berupa Dewa,
senjata Dewa, organ tubuh dan warna pengider
Nawa Sanga untuk peralatan upacara suci seperti tempat tirta (air suci), dengan
maksud untuk menambah keutamaan dan seni pada peralatan upacara serta
diharapkan mampu mendorong nilai spiritual pemakainya. Bentuk alat upacara yang
diberi aksara suci adalah tenpat toyo
anyar, jun tandeg, jun penglukatan,mjun pere, mkumba, sangku, pasepan, coblong,
bija cupu, canting dan tabuhan. Untuk
benda pakai dalam rumah tangga, Nurini menerapkan aksara wreasta, sesuai dengan benda yang dibuat, seperti dulang, sesenden, bokoran, kendi
dan lainnya. Berbeda dengan keramik Nurini, karya keramik I Ketut Japa, mengambil “rerajahan” yang diterapkan pada benda keramik. Rerajahan bagi orang awam masih merupakan misteri,
tidak banyak yang paham tentang keberadaannya. Unsur budaya tradisional ini
hampir ditinggalkan oleh masyarakatnya, terutama generasi muda. Rerajahan diyakini sebagai sesuatu yang
sakral seakan memiliki “jiwa” dan kekuatan magis. Pada umumnya rerajahan berupa gambar-gambar yang
unik, dengan aksara suci dan perlambangan suci lainnya. Apabila unsurnya dibuat
seperti aslinya serta diberi mantera-mantera dan upacara pasupati, diyakini rerajahan
memiliki kekuatan gaib dan memepengaruhi pemiliknya. Apabila unsur-unsur untuk
menghidupkan rerajahan tidak lengkap,
maka fungsinya tidak lagi sempurna. Japa menerapkan motif rerajahan dengan ekstra hati-hati, untuk tidak menurunkan
nilai-nilai kesakralannya. Tentu Ia lebih banyak menerapkan pada bentuk
benda-benda yang tidak dipakai sehari-hari atau sebagai benda pajangan. Guna
lebih menghilangkan kesan sakral, Ia
menstilasi sedemikian rupa pada ukuran
yang cukup besar dari ukuran benda
umumnya. Rerajahan yang
diterapkan pada benda keramik berupa rajah
api-apian, naga, tumbal wong kawitan, butha sungsang, penangkep jagat, cakara, La prana,
tumbal dan tri aksara.
Pola Anyaman Dalam Keramik
Pada masa 2000 s/d
2003, keramik yang tampil, katakanlah dari keramikus Ida Bagus Agung Muartha dan Tjok
Yuda Ardian serta Samiyasa, yang
memamerkan karyanya beberapa waktu lalu, Ia membuat keramik yang terinspirasi
oleh pola anyaman. Ia sengaja meniru pola-pola anyaman yang ada dan diterapkan dengan media keramik / tanah liat
dengan berbagai fungsi seperti vas bunga kering, guci, kap lampu, tempat
payung, tempat koran atau majalah dll.
Muartha lebih
banyak mengukir dengan meniru pola–pola anyaman dan tidak memanfaatkan teknik
cap / stempel seperti hasil penemuan masa Neolitik. Ia membangun citra baru
pola anyaman dalam media keramik, ada yang diterawang dan ada pula yang
memanfaatkan pewarnaan glasir dan oksida besi / Fe untuk mempertegas pola anyaman.
Suatu yang sederhana, namun secara teknis cukup rumit dan meninggalkan sifat fragile, yang membedakan keranjang
anyaman bambu / rotan dengan benda pecah belah yang terbuat dari tanah liat.
Suatu keindahan tersendiri dari citra
anyaman dalam media keramik.
Tjok Yuda Ardian disini mengambil
bentuk-bentuk sederhana yang terkendali, seperti wadah berbentuk silender, vas, guci, mangkuk, bola
dan ujung peluru dengan mengusung citra anyaman dalam media keramik.
Anyaman tradisional berdasarkan letak pakan dan lungsi, selang satu hingga
selang delapan, ada yang dinamakan motif tegak, serung (serong), sasak,
renggang, tumpal, segitiga, segiempat, segilima, segidelapan, truntun, truntun kombinasi, kepar, kepar bebas, kepar serung,
kombinasi dll. Disamping itu Tjok Yuda mengkombinasikannya dengan motif cili, motif khas Bali yang sering
dipergunakan pada bebantenan, tamiang dan hiasan dinding dan lain
sebagainya. Pada karyanya ada yang mengambil bentuk vas, pertama menunjukkan
berbedaan kulit luar yang halus berwarna glasir hijau celadon dan kulit isi
yang memperlihatkan anyaman motif renggang berwarna coklat biskuit dari efek Fe
(oksida besi) untuk mempertegas bentuk dan tumpang-tindih anyaman,
mengelupas sebagian seolah mengikuti
bentuk benda; sedangkan yang kedua, Ia mengambil motif anyaman kombinasi dengan
bentuk cili, yang diterapkan memusat
pada bagian tengahnya saja. Pada karya yang lain seperti bentuk ujung peluru,
dengan anyaman yang seolah-olah seperti jalan turun / naik mengitari gunung
dengan kombinasi motif cili. Demikian pula dengan bentuk silinder, dimana
anyaman melingkar turun / naik dengan kombinasi cili pada bagian bawah. Jenis anyaman kepar terdapat pada karya berbentuk vas seperti susunan dua bola dan bagian atasnya
berbentuk silinder, dengan warna glasir hijau dan anyaman warna biskuit efek Fe
yang dibakar 1250 derajat Celsius.
9. Keunggulan, Permasalahan, Tantangan dan
Harapan
Kelompok perajin dan
seniman keramik di Indonesia pada umumnya, khususnya di Bali, belumlah
berkembang sebagaimana mestinya, bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan
industri massal padat modal. Hal ini karena kurangnya apresiasi masyarakat dan
langkanya penyelenggaraan pameran-pameran keramik, disamping itu penguasaan
teknologi keramik bakaran madya dan tinggi masih relatif baru di Indonesia.
Pengembangan konsep
penciptaan keramik yang terarah dan berwawasan ke depan kini memang dirasakan
perlu untuk meningkatkan kreativitas, produktivitas dan kualitas keramik.
Kebutuhan dan minat terhadap keramik juga perlu ditumbuh kembangkan serta
didorong kepermukaan untuk masuk millennium
ketiga dan pasar bebas. Dengan terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan selera
pasar melalui seni dan desain, akan dengan sendirinya masa depan perkeramikan,
produksi dan penciptaan keramik akan cerah.
Sentuhan tangan-tangan trampil yang berwawasan ke depan dan bercitarasa
tinggi mempunyai harapan untuk bersaing
dalam kehidupan global dan pasar Dunia.
Banyaknya
muncul berbagai produk seni, tidak terlepas dari kemampuan masyarakat dalam merekayasa
dan mengekspresikan berbagai imajinasi kedalam bentuk keramik-patung, keramik-lukisan,
produk kerajinan keramik, keramik pakai (fungsional) dan produk keramik
komponen teknologi lainnya. Melihat dari sisi bentuk dan penampilan yang
beredar dan berkembang serta menonjol dimasyarakat Indonesia cenderung masuk
pada bidang senirupa dan produk. Namun
demikian tidak lepas menerapkan ilmu kimia keramik dan fisika yang bersifat
praktis atau terapan. Dari segi teknologi keramik, Indonesia pada umumnya tertinggal
jauh dengan Barat yang sudah memproduksi keramik dengan teknologi tinggi yakni untuk
cerobong roket dan pesawat ulang-alik. Namun demikian yang menjadi kebanggaan
bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya Bali adalah yang berkaitan dengan
seni-budaya dan bersifat tradisional dengan
nilai kerajinan memiliki daya tarik tersendiri yang justru dikagumi oleh orang
Barat. Disamping itu kebutuhan akan barang pakai sehari-hari seperti tempat
makanan dan minuman memang memiliki citarasa dan kepuasan tersendiri
dibandingkan dengan bahan lain. Juga kebutuhan untuk bahan-bahan bangunan
memang sudah nyata dan bahkan menjadi produk komoditi ekspor bersaing harga
dengan negara lainnya. Harapan ke depan bidang keramik di Bali, merujuk pada
seni ekpresi dan kerajinan karena adanya kekayaan seni-budaya Indonesia dan Bali
itu sendiri, yang sampai saat ini mampu serta unggul untuk menarik perhatian
wisatawan dalam dan luar negeri.
Kenyataan
lain yang dihadapi perguruan tinggi adalah publikasi dan informasi tentang keberadaan
bidang keramik ini, disamping belum sepenuhnya memperoleh perhatian dan
dukungan dari pemegang kebijakan. Sehingga calon mahasiswa keramik yang masuk
perguruan tinggi sangat minim, disebabkan
sosialisasi ke SMU dan SMK hanya
sebatas brosur stensilan. Seandainya
kelangkaan mahasiswa ini berlanjut, tentu harus ada strategi baru, sebagai
tantangan bagi pemegang kebijakan. Apakah nama dari program studi keramik diganti
dengan mengikuti trend yang berkembang
sehingga dapat mengundang minat calon mahasiswa, misalnya menjadi desain produk
keramik.
Disamping itu hingga kini
pameran keramik sangat langka adanya dan perlu didorong untuk mengimbangi
perkembangan kehidupan yang memasuki era global agar tidak ketinggalan dengan
negara maju lainnya di Dunia. Demikian juga penerbitan buku-buku tentang
keramik sangat jarang, apalagi yang menampilkan karya-karya keramik lokal.
10. Kesimpulan
Keterampilan
membuat keramik di Bali khususnya gerabah sudah dimulai sejak masa Pra-sejarah
(neolitikum), berlanjut masuknya agama Budha dan Hindu hingga masa kini. Kerajinan
keramik tradisional banyak terlihat dan diproduksi dibeberapa daerah di Bali.
Keramik seni modern dan ekspresi sekarang juga sudah ada yang diperjual
belikan, namun pertumbuhannya belum seperti yang diharapkan, dan masih
diperlukan dorongan dari semua pihak. Kebutuhan masyarakat Bali yang beragama
Hindu menggunakan gerabah untuk perlengkapan upacara khususnya ngaben tidak tergantikan oleh bahan
lainnya. Ada beberapa daerah seperti
Banyuning dan Pering (Blahbatuh) masih terlihat menggunakan teknik putar dengan
paha atau perut seperti orang menari yang diperkirakan warisan teknik masa
pra-sejarah (nenek moyang) akibat peletakan gumpalan tanah liat yang tidak
senter (ditengah).- dan itu hanya dikerjakan oleh wanita tua saja, sedangkan
wanita muda sudah merasa malu. Kebutuhan keramik bakaran tinggi memang relatif
baru dan merupakan cangkokan dari masa penjajahan (Belanda & Jepang) dan
hubungan perdagangan luar negeri terutama dengan China dan Eropa. Pengertian
keramik masa kini tidak lagi sederhana, diperlukan wawasan luas untuk dapat
mendudukkan, mengkonsep dan arah pengembangan tentang keramik. Menjadi
tantangan perguruan tinggi senirupa untuk menumbuh kembangkan minat tentang
keramik, untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan produk keramik yang
berkualitas dan peluang usaha.
Pustaka:
Agung, A.A Gde Putra,
1977-1978, Perkembangan Seni Keramik
Tradisional di Bali, Sasana Budaya Bali, Denpasar
Anton, J H, 1994, Mengenal Keramik Modern, Andi Ofst,
Yogyakarta
Bernard, S Myers, 1969, Dictionary
of Art, The City College, New York
Goris, R, 1953, Bali, Atlas Kebudayaan, Pemerintah RI
Kempers, AJ Bernet, 1960, Bali Purbakala, PT. Ichtiar, jakarta
Komite Seni Rupa DKJ,
1984, Seni Rupa Berkala No. 4,
Jakarta
Leonello V, 1964, Histori
of Criticim, Dutton, New York
Moerdowo, 1963, Seni Budaya Bali-Balinese Arts and Culture, PN. Fadjar Bhakti, Surabaya
Nelson, 1960, Ceramics,
Holt R and W Inc, U.S.A
Ruth Lee, 1971, Eksploring
The Wold of Pottery, U.S.A
Sutaba, I Made, 1980, Pra-sejarah Bali, BU Yayasan Purbakala
Bali, Denpasar
Sudarso, SP, 1988,
Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk
Apresiasi Seni, Suku Dayar Sana, Yogyakarta
Utomo, Agus M, 1984, Keramik Banyuning dan Pering, Skripsi
FSRD-ITB, Bandung
Utomo, Agus M, 1990, Tinjauan Keramik, PSSRD Unud, Denpasar
Yuliati, Luh Kade Citha,
1982, Metode Pembuatan Gerabah di Bali,
Skripsi Arkeologi, Unud, Denpasar
goesmul@gmail.com /hidup dan seni:goesmul.blogspot.com