APAKAH ITU SENI ?
oleh
Agus Mulyadi Utomo
Seni adalah
penjelmaan dari rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dapat
ditangkap oleh indra manusia. Misalnya indra pendengar yang melahirkan seni suara dan
seni musik, lalu indra penglihatan dan perabaan melahirkan seni rupa 2 dimensi
(dwimatra) dan 3 dimensi (trimatra). Ada yang dilahirkan dengan perantaraan
gerakan, peran dan bunyi-bunyian menjadi seni pentas atau seni pertunjukan, juga
seni tari, dan seni kerawitan. Disamping itu, juga ada dengan gaya tulis-menulis dan
pembacaan menjadi seni sastra dan seni kaligrafi. Sebenarnya apa yang dilahirkan
seni dengan suatu perantaraan bahan atau materi dan peralatan serta ide
tertentu untuk bisa dimengerti atau dirasakan manusia lainnya. Kemudian
dikembangkan lagi sebagai suatu strategi dan keahlian tertentu atau kesenangan,
misalnya seperti seni pertahanan, seni berhitung, seni bela diri, seni memasak,
seni rancang bangun (arsitektur), senirupa dan desain, seni bercocok tanam,
seni pertamanan, seni lingkungan dan sebagainya.
Pada kehidupan masyarakat
agraris tradisional di masa yang lampau, sesungguhnya
tidaklah membedakan antara seni, ilmu pengetahuan,
teknologi dan keagamaan, melainkan lebih banyak menyatu dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan dan keagamaan itu sendiri. Indonesia pada peralihan zaman Batu
ke zaman Perunggu, dikenal sebagai masa “Perundagian” yaitu suatu masa
“kemahiran teknik”, sebagai cikal-bakal industri terutama dalam mengolah bahan dan mengukir logam,
kemudian para ahli ketukangan itu disebut sebagai “Undagi”,
dan sebutan ini masih di kenal di Bali. Sementara
itu orang-orang “cerdik pandai”
atau “orang bijaksana” atau “ahli-ahli” pada masa lampau di Indonesia sering pula
disebut sebagai “Empu”, yaitu sebagai orang yang menguasai akan ilmunya atau “mumpuni”. Pada masa sejarah
kerajaan Hindu ada disebut Empu Gandring sebagai ahli pembuat keris, Empu Tantular sebagai cerdik pandai dengan kitab sastra “Sutasoma”, Empu Prapanca dengan kitab “Negara
Kertagama” dan lain-lain. Empu, di masa kini diberikan kepada seniman dan
budayawan yang telah mumpuni, disetarakan
dengan tingkat master atau maestro atau Doktor sampai Guru Besar,
yakni orang sebagai tempat bertanya yang dianggap ahli di bidangnya. Pada
bidang seni pada umumya, utamanya senirupa yang tentunya ada karyanya yang tergolong
masterpiece.
Bali di masa lalu,
yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Majapahit,
pernah memperoleh sekotak wayang dari Raja
Hayam Wuruk, yang diterima oleh Raja
Gelgel, yaitu Dalem Semara Kepakisan, seusai upacara pensucian roh (Srada) dari Rajapatni,
nenek Hayam Wuruk, pada tahun 1362. Saat
itu tersebutlah
sebuah nama Raden Sangging Prabangkara, Putra Brawijaya terakhir, yang telah melakukan perubahan dan
penyempurnaan warna-warna pada pakaian wayang sesuai dengan martabat
ketokohannya, sehingga dianggap sebagai ahli senirupa atau desainer zaman Majapahit.
Dan kemudian namanya sering dipakai sebagai gelar atau
sebutan untuk para ahli seni rupa atau perancang desain dengan sebutan “Sangging” atau “Sungging” atau “Prabangkara”
yang di kenal di Bali. Dalam
bahasa dan kebudayaan Jawa “Sungging” berarti
menggambar atau istilah ini sanat erat kaitannya dengan menggambar illustrasi
buku. Juru Sungging
atau juru gambar biasanya mengerjakan manuskrip-manuskrip kraton zaman dulu dan
mengisahkan cerita atau kisah pewayangan, seperti Ramayana dan Mahabharata.
Di masyarakat
Bali, yang didominasi oleh pemeluk
agama Hindu, mempunyai konsep penciptaan seni yang sejalan dengan konsep makro dan mikro kosmos dalam kepercayaan magis, berlandaskan Tri Hitha Karana yaitu hubungan manusia
dengan Tuhannya, juga hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia
dengan lingkungannya, untuk mencapai suatu keseimbangan lahir dan batin. Dan ornamen
tradisional Bali, merupakan salah satu bagian penting dari kehidupan masyarakat
Bali terutama yang beragama Hindu, untuk hal khusus dalam hias-menghias
berbagai perlengkapan upacara, adat-istiadat, bangunan, Pura, juga untuk menghias diri (pakaian) maupun lingkungan tertentu
agar tampak indah, sebagai suatu persembahan kepada Tuhannya.
Dalam seni Islam, khusus ornamentasi
memiliki nilai dan arti yang lebih luas serta mempunyai nilai tambah yang lain.
Pengertian yang lebih luas, bahwa ornamentasi memiliki fungsi sebagai motivasi
dasar dalam berkarya dan juga mempunyai kelebihan sebagai lintasan ideologi dan
cara bersikap (trans-ideologi). Seni ornamen tidak hanya sekedar hiasan
permukaan, tetapi berfungsi sebagai pengingat akan tauhid (transedensi Ilahi),
tranfigurasi bahan (perpaduan bahan dengan penggunaan pola ornamen) dan
transfigurasi struktur.
Pengertian Awal
Seni
Pengertian “seni” bagi orang Jawa
adalah “kencing” atau buang “air kecil” dan air kencing itu sering pula disebut sebagai “air
seni”. Perkataan “seni” juga untuk menyatakan suatu
benda berukuran “kecil” atau “mungil” atau “Jlimet”
atau “rumit”. Orang Jawa sering pula
menyebut suatu produk hasil dari kehalusan jiwa manusia yang indah-indah dengan
istilah “kagunan” sebagai sesuatu yang bermanfaat. Sering pula disebut “ngrawit”,
dimana pada umumnya produk yang dihasilkan memang mempunyai tekanan pada
“halus” atau “remitan” atau “rumit” dalam pengerjaannya, yang umumnya disebut
“kerajinan” atau “kriya” yang memerlukan
ketrampilan atau “keprigelan”.
Ada
pemikiran yang lain, bahwa istilah “art” dalam bahasa Inggris telah
mengadopsi dari pemikiran zaman kebudayaan Yunani Kuno (500 SM) yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, yaitu mousike` techne` adalah aktivitas
mental yang dibedakan dari aktivitas kerja secara fisik, yang dibedakan pula
dengan aktivitas berfikir rasional dan berhubungan dengan ilmu pengetahuan atau
epite`me`.
Kata ‘technic” atau “teknik” yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “techne” dipadankan dengan
kata “ars”, “arte”, dan “artista” dalam bahasa Latin, memiliki arti atau makna “kecakapan”
atau “ketrampilan” atau “kemahiran” dalam mengerjakan sesuatu yang berguna, ini merupakan cikal-bakal dari
sebutan “seni”, “ilmu pengetahuan” dan “teknologi” yang ada kemiripannya dengan
arti “kagunan” dalam bahasa Jawa atau sesuatu yang berguna atau
bermanfaat dalam arti luas, kini di Indonesia lazim disebut IPTEKS (Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan
Seni). Istilah
latin ada “ars magna” yang berarti seni yang agung, dipadankan dengan arsitektur
besar dan tinggi serta dinilai sebagai “bangunan agung”. Istilah “ars”
ini berkembang ke Eropa, di Italia menjadi “l’arte”, di Perancis menjadi “l’art”,
di Spanyol menjadi “el arte” dan di Inggris menjadi “art”. Di Belanda
disebut “kunst” untuk seni, dan di Jerman juga dikenal istilah “die
Kunst” disamping “die Art” yang berarti ‘jalan’, ‘cara’
atau ‘modus’. Orang Belanda sering menyebut
“kepintaran” sebagai “Genie” atau “Jenius” yang mirip dengan
“ketangkasan” atau “kemahiran”, seperti istilah “techne” atau “ars”
yang sepadan pula dengan pengertian “seni- kagunan” di Jawa. Sehingga
sampai masa kini pun pengertian “seni-kagunan“ sebagai “kepandaian” atau
“kepintaran” atau “ketangkasan” atau “kemahiran” dan “ketrampilan” masih sering
dipergunakan seperti istilah “seni mengajar”, “seni memasak”, “seni bela diri”,
“seni berhitung”, “seni bercocok tanam”, “seni membaca” , “seni bangunan” dan
lain sebagainya. Kata “artisan” yang berasal dari kata
Latin “artigiano” diserap dari kata “artitus”, “artier”
yang berarti “mengintruksikan dalam seni” dan dipadankan pula dengan pengertian
“tukang” (pekerja bagian produksi yang bersifat teknis) seperti tradisi Beaux
Arts abad 17 di Prancis,
dipersepsikan sebagai tukang yang lahir atas kerja seniman yang memiliki
ide kreatif dari suatu karya seni. Sedangkan kata artistik berhubungan dengan penampilan wujud karya seni atau hasil
karya seniman yang memiliki nilai-nilai tertentu (keindahan relatif) atau mungkin
unik dan bersifat personal.
Pengertian
atau definisi istilah ‘seni’ memang beragam dikalangan pakar pemerhati
kesenian. I Gusti Bagus Sugriwa dalam tulisannya Dasar-dasar
Kesenian Bali, mengatakan bahwa
“seni” berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu “sani”, yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan
atau pencarian yang jujur (IGB Sugriwa, 1957:219-233). Seni menurut WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976)
yaitu suatu karya yang dibuat atau diciptakan dengan kecakapan yang luar biasa
seperti sanjak, lukisan, dan sebagainya. Atau kecakapan menciptakan sesuatu
yang elok dan indah. Definisi seni menurut Ki
Hadjar Dewantara (1962:330), adalah “Segala perbuatan
manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat
menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya”. Menurut Akhdiyat
Kartha Miharja (1961), mengatakan sebagai kegiatan rohani manusia yang
merekfeksikan realited (kenyataan) dalam suatu karya yang berkat bentuk dan
isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani
penerimanya. Pelukis S. Sudjojono,
mengatakan bahwa seni adalah jiwo kethok (jiwa tampak). Lalu Sudarso Sp, menganggap bahwa seni adalah karya manusia yang
mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman batin; pengalaman batin tersebut
disajikan secara indah atau menarik sehingga merangsang timbulnya pengalaman
batin pula pada manusia lain yang menghayatinya. Kelahirannya tidak didorong
oleh hasrat memenuhi kebutuhan pokok, melainkan merupakan usaha melengkapi dan
menyempurnakan derajat kemanusiaannya memenuhi kebutuhan yang sifatnya
spiritual. Sejalan dengan itu, Everyman Encyclopedia, menyebut
segala sesuatu yang dilakukan oleh bukan atas dorongan kebutuhan pokoknya,
melainkan adalah apa saja yang dilakukan semata-mata karena kehendak akan
kemewahan, kenikmatan atau pun karena dorongan kebutuhan spiritual. Leo Tolstoy (1960), menyebut seni
adalah sebagai transmission of feeling.
Dan Aristoteles, berpendapat bahwa
seni adalah imitasi atau realistis tiruan dari alam atau ilahi. Sedangkan Thomas
Munro mengatakan: “Seni adalah alat buatan manusia untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas
manusia lainnya yang melihat. Efek tersebut mencakup tanggapan-tanggapan yang
berujud pengamatan, pengenalan imajinasi, rasional maupun emosional”
(1963:419). Lebih lanjut Herbert Read (1962),
mengatakan bahwa lahirnya sebuah karya seni melalui beberapa tahapan sebagai
suatu proses. Tahapan yang pertama adalah pengamatan kualitas-kualitas bahan
seperti tekstur, warna dan banyak lagi kualitas fisik lainnya yang sulit untuk
didefinisikan. Tahapan kedua yaitu adanya penyusunan hasil daripada pengamatan
kualitas tadi dan menatanya menjadi suatu susunan. Dan ketiga yaitu proses
suatu obyektifikasi dari tahapan-tahapan di atas yang berhubungan dengan
keadaan sebelumnya. Keindahan yang berakhir pada tahapan pertama belum dapat
disebut seni, karena seni jauh telah
melangkah ke arah emosi atau perasaan. Seni telah mengarah pada ungkapan
sebagai “peng-ekspresian” dengan tujuan untuk komunikasi perasaan. Pengertian
yang dikembangkan oleh Fredrich Schiller
dan Herbert Spencer, yakni bahwa
seni lahir dilatarbelakangi adanya dorongan bermain-main (play impuls) yang ada dalam diri seniman.
Berdasarkan uraian sebelumnya dan pengertian secara umum
seni dapatlah pula diterjemahkan
(diinterpretasikan) sebagai ungkapan atau ekspresi, bentuk atau wujud, arti,
simbol, abstraksi, indah, guna atau pakai atau fungsi, kepandaian atau
kepintaran atau kemahiran atau ketangkasan, wakilan (representatif), cantik,
molek, mungil atau kecil, rumit, halus, fungsi, kreasi, imajinasi, intuisi,
menyenangkan, khas, menarik, teknik atau metode dan lain sebagainya. Semua itu,
di dalam ranah seni rupa terdapat elemen visual atau unsur-unsur sat-mata
yang terdiri dari garis, warna, bidang atau ruang, tekstur atau kesan permukaan
bahan, kesan gelap-terang atau cahaya, yang wujud visualnya bisa berupa dua
dimensi atau tiga dimensi.
Sebelum Revolusi
Industri di Eropa, kata “ars” mencakup disiplin
ilmu tata bahasa, logika, dan astrologi. Pada abad pertengahan di Eropa terjadi
pembedaan kelompok ars yaitu “artes
liberales” atau kelompok “seni tinggi” yang terdiri dari bidang tata
bahasa, dialektika, retorika, aritmatika, geometri, musik dan astronomi; Dan “artes
serviles” atau kelompok “seni rendah” yang mengandalkan tenaga kasar
dan berkonotasi “pertukangan”. Dari tujuh bidang-bidang keahlian hanya musik yang masuk “seni tinggi”,
sedangkan untuk lukis, patung, arsitektur,
pembuatan senjata dan alat-alat transpor termasuk katagori “seni rendah”. Kemudian Leonardo
da Vinci (1452-1519), pelukis Italia dari masa Renaissance ini, mempelopori perjuangan dan
berhasil memasukkan atau menaikkan seni lukis ke dalam status “seni tinggi”. Sebagai
orang yang serba bisa dan memiliki kemampuan sebagai arsitek dan ilmuwan itu, Leonardo, beragumentasi bahwa melukis
juga memerlukan pengetahuan “teoritis” seperti matematika, perspektif dan
anatomi serta mempunyai tujuan moral seperti puisi lewat penggambaran sikap dan
ekspresi wajah dalam lukisan. Suatu fenomena kemudian terjadi bersamaan dengan Revolusi Industri di Eropa akhir abad
ke 18 sampai awal abad ke 19, dimana masyarakat industri yang baru tumbuh
menuntut adanya pembagian kerja dan spesialisasi kerja dalam
mengembangkan proses produksi. Dalam masyarakat industri status “seni” menjadi
tiga kelompok yaitu “seni tinggi” (high art), “seni menengah” (middle art),
dan “seni rendah” (low art). Katagori ini masih
memperlihatkan kelanjutan tradisi klasik, yaitu semakin tinggi kedudukan seni
apabila semakin dekat atau tinggi tingkat integrasinya dengan industri,
demikian pula sebaliknya semakin jauh tingkat hubungannya dengan industri maka
semakin rendah pula kedudukan seninya. Pertemuan seni dan industri ini telah
mengakibatkan banyak benturan, dimana
penemuan-penemuan mesin-mesin produksi massal mendorong kalangan industri untuk
mengembangkan teknik produksi dan hanya “menempelkan
seni” dari
reproduksi karya-karya seni klasik yang berstandar
pada bentuk produk yang dihasilkan mesin. Sehingga menimbulkan reaksi
keras dan serius dari kalangan seniman, sebab standariasi dan mekanisasi serta
penempelan begitu saja karya-karya klasik pada produk merupakan ancaman bagi
kelangsungan hidup seni, disamping tidak ada kesesuaian
antara bentuk dan dengan motif
dekorasi yang ditempelkan tersebut. Sehingga akhirnya seni pun harus memutuskan hubungan dengan ikatan-ikatan seni
masa lalu, yang dianggap membelenggu dan
membatasi perkembangan seni, karena tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai
estetika. Otonomi seni diharapkan dapat mempertegas dan meningkatkan standar
nilai estetik secara terus-menerus atau berkelanjutan. Pada akhirnya seni
selalu melahirkan norma yang menjunjung nilai kebaruan, nilai keaslian dan
nilai kreativitas yang lebih lanjut mendasari pandangan pada
seni modern pada abad ke 19 – 20. Ketika seni telah
menjadi komoditi dan tunduk pada hukum permintaan dan penawaran ekonomi, maka
seni dianggap telah jatuh pada selera massa yang
rendah dan seni itu menjadi seni “picisan” atau kitsch. Seni
kitsch
(bahasa Jerman), berarti trash atau
“sampah”, secara harfiah berarti “memungut sampah dari jalan” atau “selera
rendah” atau “seni palsu” (pseudo art). Kritikus Clemen Greenberg, awal keberadaan kitsch
sangat didorong oleh semangat reproduksi sebagai akibat berkembangnya industri,
produksi, konsumsi dan komunikasi massa serta lemahnya ukuran kriteria estetik.
Status rendah ini dikarenakan seni telah kehilangan
“roh seni” atau “jiwa seni”. Jelaslah kiranya pengertian “seni” yang sekarang
dan sepadan dengan “art” adalah datangnya dari Dunia Barat yang terbentuk pada abad
ke 18 sampai abad 20.
(Hidup dan Seni / goesmul@gmail.com)