PENGERTIAN DESAIN PRODUK KEKRIYAAN
Oleh
Drs. Agus Mulyadi Utomo, M.Erg
(
Materi Pelatihan Teori dan Teknis Guru SMA/SMK di Provinsi Bali )
I.
P E N D A H U L U A N
Manusia dimulai dari sejak kelahirannya telah dihadapkan
pada berbagai macam tantangan hidup dan kehidupan. Manusia juga dalam kehidupannya
merupakan serangkaian dari masalah-masalah, yang
timbulnya bisa bersumber dari dalam diri, lingkungan alam dan sosial serta
budaya, atau saling berinteraksi
atau saling berhubungan dan mempengaruhi satu
dengan lainnya. Setiap saat
manusia akan dihadapkan kepada suatu sikap untuk bisa mengambil keputusan atau tindakan sebagai reaksi terhadap kebutuhan dan
keamanan dilingkungan kehidupannya.
Kebutuhan dasar umumnya berupa makan-minum (pangan), sandang
(pakaian) dan papan (tempat tinggal), dan bila sudah terpenuhinya kebutuhan dasar bersifat jasmani-material tersebut, lalu meningkat kepada kebutuhan bersifat norma-rasa-batiniah, berupa nilai-nilai
tertentu seperti identitas, kepribadian, harga diri-prestise
(status-sosial-budaya), yg setiap saat juga berubah dan berkembang.
Dengan menggunakan
kemampuan akal, pikiran dan ketrampilannya, manusia pada akhirnya
mampu mengatasi dan memecahkan berbagai masalah betapapun rumit dan peliknya,
sehingga membuahkan hasil karya dan pemikiran atau ilmu yang bermanfaat ke arah tingkat kemajuan hidup yang lebih tinggi dan layak. Disamping itu
tingkat kebutuhan manusia setiap saat pun selalu meningkat dan berkembang
mengikuti selera zamannya.
Apabila kebutuhan yang bersifat pokok dan
kebutuhan umum (publik) atau kolektif sudah terpenuhi. Maka level kebutuhan
manusia pun semakin meningkat atau mengerucut dan menuju level kebutuhan
tertinggi yang bersifat invidual, karena ego pribadinya juga semakin bersifat
khusus dan khas.
Pembuatan produk kriya dalam periode budaya agraris (agriculture),
menunjukkan suatu perkembangan dari peradaban manusia. Perkembangan secara umum diikuti suatu peningkatan kebutuhan hidup. Sehingga
memproduksi peralatan pertanian, dapur,
pakaian dan peralatan rumah-tangga lainnya, seperti: pisau, parang, cangkul, cawan,
periuk, tempayan, pakaian, perhiasan, keris, kursi, mebelair dan perabotan lainnya.
Salah satu
cara yang paling penting dalam hubungan antara manusia secara sosial adalah melalui perantaraan benda-benda
(produk). Menjadikan kegiatan perencanaan (desain) sebagai upaya dengan sadar untuk mengadakan suatu tatanan yang bermakna atau bernilai tertentu. Melalui desain tentu dapat dipahami khususnya dalam konteks waktu, dimana produk dimaksud pada akhirnya sebagai bentuk dari artefak manusia.
Indonesia
masuk pusaran perpolitikan, ketika baru merdeka dan dilanjutkan membangun
disegala bidang, dari Orde Lama sampai Orde Baru dengan program yang dikenal
sebagai Pelita dan P4, saat itu masih dirasakan sangat kental kehidupan
bergotong-royong, dimana orang menyadari bahwa kepentingan umum (publik/negara)
lebih utama dan dinomor-satukan dari pada kepentingan lain seperti pribadi,
kelompok dan golongan. Namun ketika ada perubahan yang menjadi masa Reformasi
dan mengamandemen UUD. Mengadopsi nilai-nilai kehidupan global, bersifat keterbukaan
dan memasukkan nilai kebebasan dalam menyatakan pendapat, juga yang bersifat
ego pribadi atau individual, yakni penghargaan tentang nilai-nilai Hak Azasi
Manusia (HAM) disemua lini.
Kini
perhatian Negara kepada dunia pendidikan sebesar 20% dari nilai APBN, termasuk Research IPTEKS dan seni-budaya. Lalu terhadap
penegakan hukum, pembangunan sarana dan prasarana serta infrastruktur yaitu
jaringan komunikasi-informasi dan
pekerjaan umum. Kemudian meningkatkan kesejahteraan rakyat yaitu melalui sistem
perekonomian dan perdagangan, industri dan kepariwisataan serta berupa
penanggulangan bencana atau jaminan sosial, Juga di bidang kesehatan, pelayanan
dan kenyamanan publik, kesetaraan gender, ketertiban, keamanan dan anti
korupsi. Termasuk penghargaan terhadap hak individual dalam hukum dan ekonomi
seperti Hak Cipta, Hak Paten, Merek dan Hak Industrial (Haki), memasuki pasar
bebas dan era globalisasi.
Kemajuan
yang telah dicapai dalam pembangunan di satu sisi, akan tetapi pada sisi yang
lain, terjadi melemahnya nilai-nilai kebangsaan terutama persatuan dan
kesatuan, budaya gotong-royong, toleransi, semua itu mulai terkikis dengan
nilai-nilai yang sarat dengan kepentingan yang bersifat ego-pribadi, golongan
atau kelompok tertentu.
Pada
masa kini, faktor yang melemahkan sendi persatuan dan kesatuan bernegara serta
adanya peningkatan egoisitas pribadi, yang turut menjadikan banyaknya kasus
korupsi. Akhirnya mulailah dicarikan akar permasalahan, solusi atau jalan
keluarnya. Salah satunya adalah melalui dunia pendidikan, seni dan kebudayaan,
dengan cara menanamkan nilai-nilai moral (akhlak) atau budi-pekerti yang luhur,
mengembalikan pendidikan budi-pekerti yang lama lenyap di sekolah yang
tergantikan dengan sistem kecerdasan IQ saja dan kecerdasan yang lain
terabaikan. Dengan suatu harapan dapat
menjadikan generasi mendatang lebih baik lagi, beretika dan berbudi luhur.
Kepuasan
tentu bersifat sementara dan temporer. Menusia bisa saja sewaktu-waktu merasa
tidak puas dengan apa yang telah dicapainya, apakah karena bosan atau karena
rutinitas ? Banyak ahli dan professional yang
menganjurkan agar jangan pernah merasa bosan dengan profesi yang
dipilih, bahkan harus merasa senang hingga suatu saat disadari apa yang
dikerjakan bermanfaat bagi diri dan orang lain. Apabila dalam melakukan sesuatu
dengan perasaan senang, maka betapa berat beban tugas yang diemban akan menjadi
terasa lebih ringan dan baik.
Kemudian
manusia menginginkan inovasi, sesuatu yang baru, atau karena dorongan
kreativitas, disamping karena ilmu pengetahuan
yang bertambah maju sehingga hasil karya sebelumnya mendapat koreksi
atau kritikan sehingga dilakukan perbaikan-perbaikan. Karena hal yang demikian
itulah, yang menyebabkan produk-produk hasil perekayasaan atau desain produk
tidaklah mandeg dan bahkan terus berkembang menyesuaikan dengan tuntutan akan
kebutuhan dari masyarakatnya.
Pada
gilirannya, manusia ada berkeinginan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan
zaman kekinian, yang sudah serba canggih. Manusia mencari berbagai solusi untuk
dapat memecahkan atau menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi, salah
satunya adalah dengan memahami dan mengetahui cara mengaplikasikan ilmu senirupa
dan desain, terhadap penciptaan (desain) produk kekriyaan. Hal ini untuk
mengupayakan berbagai hasil karya desain produk agar lebih bersifat manusiawi, nyaman,
aman, efisien dan bermutu lebih baik serta tetap mengikuti wawasan dan
perkembangan dari ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, yang juga kini terus
berkembang menyesuaikan zamannya.
II.
SEJARAH DESAIN
PRODUK KRIYA
Adanya produk atau benda kriya, bermula dari adanya kebudayaan material paling sederhana yang muncul pada zaman
batu. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kecerdasan, perasaan dan
pengetahuan yang dimiliki dan disesuaikan dengan situasi serta
kondisi yang dihadapi pada zaman tersebut. Semua itu
dimaksudkan untuk dapat bertahan dan menunjang kelangsungan hidup, manusia kemudian membuat alat-alat dari bahan-bahan yang
diperoleh di alam sekitar mereka. Sebagai contoh dan
bukti, yakni adanya penemuan kapak genggam dari batu
dan alat-alat perburuan
yang dibuat dari tulang dan tanduk binatang.
Kebutuhan hidup dan kehidupan manusia terus berlangsung dari waktu ke
waktu, dari tidak memiliki apa-apa, dengan berbekal akal dan pikiran, memulai
berburu, menghindari ancaman musuh, menyelamatkan diri keganasan alam, berpakaian,
berteduh, mencari ketenangan, kenyamanan, kesenangan dan sebagainya. Tidak
hanya sekedar mencari makan, tetapi kemudian menetap dan bertani, berkumpul
atau bermasyarakat, berbudaya dan berbudi luhur.
Ditilik dari sudut manapun tentang evolusi
manusia, ternyata manusia sejak awal mulanya telah memiliki apa yang
disebut dengan akal budi dan memiliki sejumlah tuntutan hidup dan kehidupan,
baik sebagai kebutuhan yang bersifat material maupun keperluan yang bersifat
spiritual.
Permulaan adanya benda-benda guna lebih jelas diperkirakan sejak Zaman Batu Tua (Palaeolitikum), dengan
pembuatan perlengkapan kebutuhan
sehari-hari seperti ‘kapak batu’ atau ‘kapak genggam’
yang
sangat sederhana, alat
berburu seperti tombak, alat menangkap ikan dan lainnya. Produk tersebut, selain dari batu juga terbuat dari tulang-belulang, tanduk dan kayu, pada umumnya masih berbentuk sederhana. Masa ini orang masih
berpindah-pindah dan mengembara.
Ralph Mayer dalam bukunya A Dictionary of Art Term and Techniques, menyatakan bahwa
kebanyakan seni primitif dibuat dari kayu, batu dan tanah liat, yang diciptakan
untuk beberapa tujuan relegi atau tujuan yang praktis (Mayer, 1969). Awal mulanya
keramik dibuat cenderung fungsional sebagai “wadah”. Inspirasi dari pembuatan wadah tersebut berasal alam (sebagai sumber ide desain) yakni pemanfaatan buah-buahan berkulit tebal seperti labu yang isinya
dikeluarkan
untuk tempat cairan/air, batok kelapa
yang keras untuk makan-minum dan sebagainya. Juga pemanfaatan dari ruas-ruas batang
pohon bambu untuk tempat minum atau cairan. Sebagai
pembungkus dan dipergunakan untuk tempat makanan (Jw: pincuk) biasa
dipergunakan daun-daunan berukuran besar seperti daun pisang, daun talas dan lainnya, bahkan dipergunakan sampai kini
sebagai bahan yang ramah lingkungan.
Pada Zaman Batu Tengah (Mesolitikum), orang mulai menetap di goa-goa (sebagai manusia goa) dan mulai bercocok tanam serta menjinakkan binatang. Perlengkapan
sehari-hari sudah mulai diolah
dengan dihaluskan dan kapak batu sudah mulai dibentuk lebih rapi
dan mulai diberi “leher” atau pegangan agar lebih mudah dipakai. Tempat
penyimpanan makanan dan minuman dari buah-buahan berkulit tebal dan pakaian
dari kulit kayu atau binatang serta dedaunan untuk alas dan atap tempat
berteduh,
semua itu merupakan suatu keterampilan yang
mulai terus dikembangkan.
Benda-benda kriya guna untuk tempat makanan dan minuman berkembang, dengan
ditemukan api dan dapat memanfaatkanya seperti pembuatan
gerabah dari tanah liat juga telah
dimulai sejak zaman ini. Penemuan teknik membuat keramik ini atau pengetahuan
mengenai sifat tanah liat yang mengeras setelah dibakar, diperoleh secara tidak
sengaja oleh orang primitif pada zaman Pra-sejarah, ketika melihat cekungan bekas telapak kaki dan bekas batu pada tanah
basah yang digenangi air hujan, yang memberi inspirasi (ide desain), dimana air yang tergenang tersebut dapat bertahan lama bahkan bisa
berhari-hari lamanya. Berdasarkan kenyataan tersebut, suatu ketika orang
memakai keranjang bambu yang dilapisi tanah liat sebagai tempat atau wadah
cairan (liquid) dan wadah semacam ini
tentu tidaklah bertahan lama. Secara tidak sengaja keranjang tersebut dibuang keperapian
dengan maksud untuk dimusnahkan. Namun yang terjadi keranjangnya musnah, sedang
tanah pelapis masih tersisa dan ditemukan mengeras dengan meninggalkan bekas
anyaman keranjang. Dari pengalaman-pengalaman itulah, orang mulai dengan
sengaja membentuk tanah liat secara utuh sebagai wadah, yaitu produk
fungsional dan juga untuk keperluan religi
lainnya.Di
masa ini juga lukisan cap tangan dan lukisan binatang buruan mulai dibuat dan
diterapkan untuk menghiasi dinding-dinding goa.
Pada Zaman Batu Baru (Neolitik), kapak batu yang disebut sebagai
‘kapak persegi bergagang’ ini telah dibentuk dan digosok halus serta diberi
tangkai atau gagang
dari bahan lain, bahkan diberi hiasan. Penemuan ini
menunjukkan bahwa pembuatan benda telah berdasarkan pada sebuah “konsep” dan
kegunaan sebagai tujuan dari pembuatan kapak tersebut, yang mencakup aspek bentuk, keamanan pemakaian, teknik dan keindahan dengan
diberi hiasan atau dekorasi. Zaman ini juga banyak dibuat benda pemujaan
atau relegi berupa patung dari batu besar (Zaman
Megalitikum)
dan sudah dibentuk symbol-simbol nenek moyang dan diberi ukiran. Dengan diketemukan tanah liat yang mengeras, secara tidak sengaja mereka telah menemukan keramik dengan
unsur-unsur dekorasinya sekaligus. Lebih lanjut hiasan diterapkan secara
sengaja, yaitu menggunakan kulit kerang, kulit kayu, permukaan batu, tali,
anyaman, serat tumbuh-tumbuhan, kain atau benda-benda keras lain yang
bertekstur atau bermotif, dengan cara mengecapkannya pada permukaan benda dalam
keadaan masih basah (lembab) sebelum dibakar. Berdasarkan sejarah kebudayaan, yang menunjukkan bahwa kriya sudah ada sebelumnya dan berkembang kepandaian
dalam pemanfaatan teknologi api dengan bahan logam. Adanya kebudayaan yang banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan Perunggu Tiongkok itu, yang disebut kebudayaan Dongson, telah
mempengaruhi hasil kriya Indonesia yaitu dengan pembuatan
‘kapak perunggu’ yang disebut dengan ‘kapak corong’ atau ‘kapak sepatu’. Bentuk
kapak ini mempunyai corong kelompang tempat memasang gagang atau seperti lubang
sepatu. Kapak perunggu yang ditemukan di Indonesia ada yang berukuran besar,
sedang dan kecil, ada yang polos dan ada yang diberi hiasan, ada yang pendek
dan ada yang panjang yang disebut Candrasa.
Kapak berukuran besar diperkirakan sebagai alat perlengkapan upacara, seperti
halnya candrasa tersebut, dipergunakan sebagai tanda kebesaran atau kekuasaan, bukan untuk bekerja
biasa
dan bentuknya cukup indah dan unik.
Masa prasejarah sudah dikenal akan busana dengan perhiasan, seperti cincin,
gelang, anting-anting, binggel, kalung dan manik-manik, ada yg polos dan berdekorasi
motif sederhana. Saat itu muncul tokoh-tokoh adat, pemimpin suku. Adanya
kekuatan alam serta kehadiran dari benda ciptaan yang dianggap memiliki
kekuatan magis serta kepercayaan yang dianggap melindungi, melahirkan suatu
bentuk ritual kepercayaan pemujaan terhadap roh para pemimpin atau nenek
moyang. Sehubungan dengan kepercayaan tersebut, manusia bekerja keras untuk
menciptakan lambang-lambang tradisi spiritual yang bersifat magis untuk
keperluan ritual (upacara) dan pemberian bekal kubur bagi nenek moyang. Hal
tersebut dilakukan sebagai suatu usaha untuk menghormati dan mempersembahkan
hasil karya terbaik, sebagai suatu bentuk pengorbanan dan kesetiaan kepada para
pemimpin atau tokoh yang telah disucikan.
Bersamaan dengan masa Megalitikum
dan Perunggu, gerabah dibutuhkan sebagai sarana pemujaan arwah nenek moyang,
selain sebagai peralatan rumah tangga. Benda kubur berupa tempayan gerabah,
manik-manik perunggu, sarkofagus
batu, telah menjadi kebutuhan relegi dan perlambangan pemujaan arwah yang
berkembang. Benda-benda gerabah sudah banyak
yang diberi hiasan, seperti ditemukan di Gilimanuk, di pantai Cekik oleh
R.P. Soejono, yang berhias tali dan
jaring dengan teknik cap. Pada masa tersebut, kemahiran teknik membuat
barang-barang perunggu berkembang. Juga saat itu seni hias menghias mencapai
puncaknya yaitu dengan pola geometrik atau tumpal. Masa kemahiran teknik ini
kemudian dikenal sebagai masa “Perundagian”.
Bangsa Indonesia sejak zaman Neolitik
atau pra-sejarah sudah pandai mengukir, membuat bejana dan membuat patung, baik
berbahan batu, logam maupun dari tulang dan kayu serta dari tanah liat (gerabah). Sejalan dengan kemajuan teknik
di masa yang disebut sebagai ‘prundagian”
(kemahiran teknik) tersebut, manusia mampu memproduksi benda perunggu dengan
cetakan reproduksi, sebagai cikal bakal industri.
Perjalanan hidup dan kehidupan manusia selanjutnya menunjukkan akan
peningkatan cara berfikir dan tingkat kecerdasan untuk memenuhi kebutuhan
kehidupan yang semakin kompleks, bahkan kemudian manusia memikirkan,
membayangkan, memperkirakan, memperhitungkan dan merencanakan kebutuhan hidup
serta kehidupan yang akan dijalani di masa yang mendatang.
I.
PENGERTIAN DESAIN
Desain atau anggitan atau sungging, secara awam
pengertiannya adalah motif contoh, mode, pola, dan model. Menurut Purwadarminto, anggitan adalah “menyusun atau menggubah atau mengarang” (KBI,
1976). Kata ‘desain’ merupakan kata serapan dari istilah asing ‘disegno’,
yaitu gambar atau rancangan yang dihasilkan oleh seniman patung dan seniman
lukis sebelum mereka memulai bekerja. Gambar
tersebut dapat berupa sketsa (coretan bebas) atau gambar yang telah terukur
atau berskala. Desain dalam ranah senirupa merupakan pengorganisasian atau
penyusunan elemen-elemen visual atau unsur-unsur sat-mata sedemikian rupa
sehingga menjadi kesatuan organik, ada hubungan dan hormoni antara bagian dan
secara keseluruhan.
Pengertian desain menurut
terminologinya dari bahasa Latin yaitu “designare” atau bahasa Inggris “design”
(to mark out). John Echols (1975) dalam kamusnya mengatakan sebagai potongan,
pola, model, mode, konstruksi, tujuan dan rencana. Sedangkan Kamus Webster (1974), pengertiannya adalah gagasan
awal, rancangan, perencanaan, pola, susunan, rencana, proyek, hasil yang tepat,
produksi, membuat, mencipta, menyiapkan, meningkatkan, pikiran, maksud,
kejelasan dan sterusnya. Demikian Webster berfikir jauh lebih luas
akan beban makna. Desain
merupakan rancangan atau seleksi atau aransemen dari elemen formal karya seni.
Dapat dikatakan ekspresi konsep seniman dalam berkarya yang mengkomposisikan
berbagai elemen dan unsur yang mendukung.
Desain terkait dengan
komponen visual seperti garis, warna, bentuk, bangun, tekstur, cahaya atau
gelap-terang. Desain pada saat-saat tertentu bisa dianggap sebagai sebuah karya
seni yang selesai, hal tersebut juga tergantung konsep dan desainernya sendiri
sebagai pencipta karya. Dalam
sejarah, arti kata ‘desain’ berkembang luas maknanya menjadi tidak sekedar
merancang atau membuat karya seni patung dan lukis serta kekriyaan saja,
melainkan menjadi segala kegiatan perancangan produk pakai untuk keperluan
rumah tangga sehari-hari seperti alat-alat dapur, produk keramik, mebelair atau
furniture, alat-alat elektronik,
tekstil, pakaian, hingga berbagai keperluan manusia lainnya misalnya otomotif,
pesawat terbang, produk pertanian dan sebagainya. Barulah setelah Perang Dunia ke II tatkala bisnis modern yang mencanangkan modal, pemasaran dan
industrialisasi melanda Eropa Barat dan Amerika, persaingan tak terelakkan lagi
dan konsekuensinya setiap industriawan atau pengusaha harus menyusun strategi
untuk menjawab dan menjabarkan kebutuhan konsumen yang beraneka ragam, dari
daya beli, latar belakang sosial-budaya, cita-rasa dan tuntutan lainnya, dengan mengangkat perancang yang disebut sebagai “desainer” bertugas atau berprofesi menelaah bentuk fisik produk. Juga memikirkan pula
kelayakan
produk dari masalah psikologis, fisiologis-ergonomis, sosial, ekonomis, estetis, fungsi dan teknis.
Prinsip-prinsip
desain merupakan hasil dari eksperimentasi jangka panjang, baik secara empiris maupun intuitif. Desain merupakan suatu proses dan
hasil dari proses tersebut yang berupa: bentuk, gaya dan makna yang telah di
rencanakan. Secara semantik kebermaknaan itu dikemas dalam bentuk ekspresi
seperti: "indah", “lucu", sejuk", “mungil", "tersembunyi", "realistik",
"abstrak", "baik”, “nyaman dipergunakan”, “praktis”, “simple”, “akrab” dan lain
sebagainya, disamping itu juga terdapat makna-makna sosial
lainnya.
Banyak
faktor yang dapat
mempengaruhi proses desain yakni: gagasan dari desainer;
faktor teknologi yang menentukan dalam pembuatan produk;
tuntutan sosio-ekonomis, proses manufaktur dan konsumsi produk akhir; konteks kultural yang
memberikan tumbuhnya suatu
kebutuhan terhadap suatu objek dan kondisi dari manufakturnya. Demikian juga pada hasil atau produk jadi, sebagai realisasi dari
suatu proses, yang merupakan objektifikasi dari kesadaran manusia. Sehingga desain, melalui suatu produk yang diciptakan dapat dikatakan dipengaruhi oleh suatu
kebutuhan, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi ideologi dan perubahan sosial.
Sebagai budaya fisik
yang dilahirkan dari kegiatan berpikir atau gagasan dengan pertimbangan
perasaan, yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
sosial-budaya-ekonomi-teknologi, penemuan Ipteks, tata nilai, politik, etika
dan estetika serta berbagai proyeksi perkembangan atas kebutuhan dimasa depan.
Sehingga desain dapat mewakili peradaban suatu bangsa, di era tahun 1980 hingga
1990 negara Singapura, Malaysia dan Thailand telah memperhitungkan desain.
Sedang Philipina sentra kriya lebih dahulu dikembangkan.
Selama dalam
perjalanan sejarah, kriya dan desain,
dimana teknologi telah diterima dan dipahami oleh umat manusia serta menjadikan
desain sebagai suatu kegiatan yang “khusus” atau
“tersendiri” dari bagian kegiatan industri. Desain merupakan juga bagian dari
aktifitas suatu penelitian dan pengembangan bentuk yang direncanakan, yang
kemudian menjadi bagian tersendiri dari proses rangkaian kerja untuk dapat direalisasikan. Sehingga
desain dinilai semakin berperan penting dalam peradaban manusia, terutama untuk
menunjang industri dan peningkatan kualitas hidup dan kehidupan.
Desain (wikipedia) menterjemahkannya sebagai seni terapan,
arsitektur, dan berbagai pencapaian kreatif lainnya. Dalam sebuah kalimat, kata “desain” bisa digunakan baik
sebagai kata benda maupun kata kerja. Sebagai kata kerja, “desain” memiliki
arti “proses untuk membuat dan
menciptakan obyek baru”. Sebagai kata benda, “desain” digunakan untuk
menyebut “hasil akhir dari sebuah proses kreatif”, baik itu berwujud sebuah rencana, proposal, atau
berbentuk obyek nyata. Pengertian
desain sejauh ini hanya membahas apa
sebenamya yang dimaksud dengan “desain”. Bila ditinjau dari istilah “disain” atau “desain” dalam ejaan bahasa
Indonesia, berasal dari kata “design” dalam bahasa Inggris.
Istilah desain, secara umum dapat berarti: potongan, model, moda, bentuk atau
pola; konstruksi, rencana, mempunyai maksud, merencanakan dengan baik atau
bagus atau indah bentuknya. Istilah “disain”, dalam ejaan bahasa Indonesia,
merupakan suatu istilah yang dituliskan berdasar bunyi pengucapan (pelafalan)
dari kata design dalam bahasa
Inggris. Suku-kata “de” pada kata design
dalam bahasa Inggris, umumnya diucapkan seperti mengucapkan suku
kata Vi
dalam bahasa Indonesia. Sedangkan suku-kata "sign" pada kata design dalam bahasa Inggris, umumnya
diucapkan (dilafalkan) seperti mengucapkan suku-kata "sain" dalam bahasa Indonesia. Karenanya, istilah design dalam bahasa Inggris, kemudian
dituliskan menjadi ”disain” dalam ejaan bahasa Indonesia, sesuai dengan bunyi
pelafalannya. Istilah desain dalam
ejaan bahasa Indonesia, juga merupakan suatu istilah yang dituliskan berdasar
bunyi pengucapan (pelafalan) dari kata design
dalam bahasa Inggris, tetapi dengan sedikit perbedaan pada bunyi pengucapan
(pelafalan) suku-kata "de" pada kata "design"
dalam bahasa Inggris, yang dilafalkan dengan penekanan lebih banyak ke arah
bunyi "e", dari pada bunyi
"i". Karena itulah
kemudian penulisannya dalam ejaan bahasa Indonesia, menjadi "desain". Bagaimanapun juga, kedua
istilah ini, yaitu istilah disain atau desain, adalah bermakna sama dan arti
kedua istilah ini tidak dibedakan, dengan pengertian yang setara. Kata
’mendesain’, mempunyai pengertian yang secara umum adalah merancang, merencana,
merancang-bangun, atau mereka-yasa; yang artinya setara dengan istilah to
design atau "designing" dalam bahasa
Inggris. Istilah ini mempunyai makna melakukan kegiatan (aktivitas, proses)
untuk menghasilkan suatu desain atau rancangan atau rancang-bangun.
Selama perjalanan
sejarah kriya dan desain, dimana teknologi telah diterima dan dipahami oleh
umat manusia serta menjadikan desain sebagai suatu kegiatan “khusus” atau
“tersendiri” dari bagian kegiatan industri. Desain merupakan juga bagian dari
aktifitas suatu penelitian dan pengembangan bentuk, yang kemudian menjadi bagian
tersendiri dari proses kerja dengan pendekatan antar dan lintas disiplin ilmu, seperti
memasukkan dan mengintergrasikan dengan ilmu ergonomi. Untuk dapat merealisasikannya, pemikiran desain terus-menerus mengalami
perkembangan dan perubahan yang mengikuti perkembangan IPTEKS. Desain baru yang
berbasis industri maju, kini tidak lepas dari komputerisasi dan digital, system
komunikasi-informasi global (internet, seluler), dalam dunia persaingan telah
membangkitkan suatu kesadaran desain dan penemuan-penemuan baru (inovasi),
disamping itu bernafaskan pola berfikir yang khusus dan umum (universal).
II.
DESAIN
MENURUT PENDAPAT AHLI
Zaman Revolusi Industri (1745-1770 M) menawarkan teknik
produksi dan material baru, di Eropa, dimana
industri massal ini kemudian menghasilkan barang-barang pakai yang menjadi
murah, baik dalam mutu maupun ekonomi. Karena proses industrialisasi yang dinilai
kurang humanis, telah menciptakan trauma dan reaksi sosial dari sekelompok
seniman, kriyawan dan desainer. Memasuki suatu masa spesialisasi dan otonomi seni, dimana
bidang teknik dipisahkan dengan bidang seni, sehingga seni bukan lagi bagian
penting dalam keteknikan. Kejenuhan akan hasil industri, membuat orang – orang
tertentu mulai menolak buatan mesin yang dianggap kaku dan polos tanpa sentuhan
tangan manusia. Hal inilah yang membuat para pengusaha dan pemilik modal
kembali menarik seni disaat barang atau produk pabrik tidak laku dan menjadi
murah. Dalam hal ini agar supaya produk terjual atau dapat menarik pembeli
kemudian para pengusaha atau industriawan membeli seni seperti barang lepas
yang tidak ada hubungannya dengan produksi, kemudian menempelkan begitu saja
pada benda produksinya. Mereka para pengusaha industri membeli seni dari berbagai masa seperti zaman klasik Yunani, gaya Neo-clasic, seni Barok,
Rococo
dan
Renaissance dengan menerapkannya pada produk industri dengan seenaknya
saja. Tindakkan yang dianggap
keliru ini menunjukkan belum adanya pengertian terhadap
persoalan yang sebenarnya dan beranggapan bahwa seni tidak ada hubungannya
dengan mesin. Saat itu belum disadari bahwa masalah tersebut dapat di atasi
dengan “perencanaan” bentuk yang akan dihasilkan oleh mesin yang dikenal
sekarang sebagai industrial design atau desain produk.
William Morris (1870) adalah salah seorang yang mempertanyakan kembali akan hasil industri dan menganjurkan untuk kembali kepada ketrampilan atau
kriya atau kerajinan tangan, yaitu
mencari kemungkinan baru dengan memadukan atau mempertemukan antara fungsi yang
praktis dengan seni sebagai unsur keindahan. Pertemuan antara seni dan industri
sebagai “seni tengah”, yang awal kemunculannya disebut sebagai “seni industri” atau “seni dekoratif” atau “seni terapan” itu dan pada akhirnya disebut sebagai “desain”.
Lembaga Bauhaus,
1919, di Weimar-Jerman, seolah-olah merupakan tonggak pembaharuan kegiatan
desain yang disebabkan masyarakat Barat yang gemar sekali menghias benda secara
berlebihan, setelah gerakan Art &
Craft dan Noveau di Eropa.
Gerakan ini dipimpin oleh John Ruskin,
William Morris, Norman Shaw dan C.R. Ashbee.
Kemudian mendapat dukungan arsitek A.W.
Pugin tahun 1988, dikala mereka mempromosikan karya-karya yang
berketerampilan tinggi.
Melalui gerakan “Art & Craft” (seni dan kerajinan) atau gerakan sosial
anti industri (1850-1900), memberikan nafas baru
kepada barang pakai dengan menekankan pada faktor fungsi dan dekorasi yang sesuai dengan metode industri atau sistem pembuatan produk dalam jumlah
banyak. Selain “desain”, juga “kriya” termasuk dalam “seni tengah” ini
memiliki persamaan yang berkaitan dengan proses penciptaan obyek pakai.
Sedangkan perbedaannya
adalah desain menghasilkan rancangan yang berupa gambar-sketsa,
foto, diagram, model, spesifikasi verbal dan numerik, maka kriya hasil akhirnya
adalah benda pakai. Dalam proses desain industri realisasi produk dilakukan
dengan proses manufaktur. Sedangkan
kriya, produknya dikerjakan secara tradisional dan manual
mulai dari bahan mentah hingga menjadi produk benda pakai, sebagai tradisi techne
di masa lalu. Muncullah kemudian suatu istilah “machine art” atau “seni Mesin” yang menunjukkan perlunya
unsur seni diterapkan pada produk yang dihasilkan mesin (1900-1930). Kemudian “seni industri” atau
“industrial
art” terjadi ketika mekanisasi semakin berkembang di berbagai industri manukfakturing. Sistem tersebut ternyata
menuntut ketrampilan ketukangan dan wawasan industri si seniman dalam
merangcang produk.
Barulah setelah Perang Dunia ke II tatkala bisnis modern yang
mencanangkan modal, pemasaran dan industrialisasi telah melanda Eropa Barat dan Amerika, dimana persaingan tak
terelakkan lagi dan konsekuensinya setiap industriawan atau pengusaha harus
menyusun strategi untuk menjawab dan menjabarkan kebutuhan konsumen yang
beraneka ragam, dari daya beli, latar belakang sosial-budaya, cita-rasa dan
tuntutan lainnya. Dan kemudian
mengangkat banyak perancang yang
disebut sebagai “desainer” yang berprofesi menelaah bentuk fisik produk dan
memikirkan pula kelayakan psikologis, fisiologis-ergonomis, sosial,
ekonomis, estetis, fungsi dan teknis.
Pengertian desain dan
perkembangannya pada abad 20, Walter
Grofius (1919), mengatakan desain adalah suatu kreasi seniman untuk
memenuhi kebutuhan tertentu dengan cara tertentu. Lembaga Bauhaus (1919) di Weimar Jerman, dianggap
sebagai pembaharuan kegiatan desain, karena masyarakat Barat saat itu gemar
menghias benda-benda secara berlebihan setelah masa Art Noveau dan Art
& Craft terjadi di Eropa. Muncullah kemudian gerakan “fungsionalisme
dan rasionalisme” sebagai implementasi dari positivisme yang digagas oleh Comte, telah menjadi spirit
pengembangan awal desain yakni falsafah “form
follow fuction” oleh Sulivan.
Desain rasionalistis puncaknya terjadi tahun 1960-an, dimana Acher mengatakan bahwa desain merupakan
pemecahan masalah dengan target yang jelas, dan sebagai bentuk kebutuhan badani
dan rohani manusia yang dijabarkan melalui berbagai bidang pengalaman, keahlian
dan pengetahuan yang mencerminkan perhatian apresiasi dan adaptasi terhadap
lingkungan sekelilingnya, terutama berhubungan dengan bentuk, komposisi, arti,
nilai dan berbagai tujuan benda buatan manusia. Lalu Alexander berpendapat bahwa desain sebagai temuan unsur yang paling
obyektif.
Victor Papanek, seorang pemikir desain terkenal
merumuskan, bahwa tujuan desain sebagai “pengubah lingkungan manusia dan
peralatannya, bahkan lebih jauh lagi mengubah manusia itu sendiri”. Berikut ini
beberapa pendapat tentang desain, seperti Alexander
(1963), seorang arsitek yang menyatakan bahwa desain sebagai
pencarian komponen fisik yang paling tepat. Seorang Guru Besar Royal Academy of Art, London, Bruce Archer, menyatakan sebagai
aktifitas pemecahan masalah yang terarah. Lalu Gregory mengatakan “Mempertautkan situasi (kenyataan) dengan produk
untuk mendapatkan kepuasan”. Dan J.K.
Page menyebut sebagai “Lompatan yang penuh imajinasi dari kenyataan kini ke
kemungkinan-kemungkinan masa mendatang”. Ditelusuri lebih jauh secara filosofis
oleh J.C Jones, sebagai peragaan
suatu keyakinan akan kebenaran, merupakan tindakan dan inisiatif untuk merubah karya
manusia. Sedangkan Reswich
dan Guy Bonsiepe yang menekankan
pada unsur-unsur inovatif dan kreatif sebagai ”Suatu kegiatan menjadikan
sesuatu keadaan tidak ada ke ada yang mempunyai daya guna”. Persoalan desain
tidak hanya sekedar bentuk dan dekorasi saja, tetapi lebih mendalam lagi pada
suatu kebutuhan hidup manusia itu sendiri.
Akademikus dari
FSRD-ITB, Imam Buchori, berpendapat dan mengatakan bahwa
desain mengalami perkembangan makna, tidak lagi suatu kegiatan menggambar,
melainkan kegiatan ilmiah. Memang masih terdapat polemik antara desain sebagai
kegiatan enjinering ataukah sebagai kegiatan intuitif, namun
menekankan pada desain sesungguhnya adalah berurusan dengan nilai-nilai. Dan bersifat
relatif terhadap acuan nilai yang dianut oleh pengambil keputusan. Oleh karena
itu, desain akan terus berkembang dengan dua pendekatan, yakni engineering
dan humanities.
Melatari lahirnya sains desain, yang membuktikan bahwa desain, baik konsep dan teori maupun
konfigurasi artefaknya selalu
bersifat kontekstual.
Sedang Guru Besar ITB, Widagdo, berpendapat bahwa desain selalu mengacu pada estetika dan
tidak semata berkenaan dengan persepsi visual-fisikal saja, namun mencakup
konsep yang abstrak, yakni yang benar, teratur dan berguna. Ia memaparkan bahwa
estetika memiliki watak transendental,
keberaturan, dan pragmatik. Estetika memperoleh tantangan ketika modernisme memilah antara “kegunaan”
dan “estetik”, sebagaimana antara desain dan seni. Selanjutnya post-modern
juga melepas estetika, dari persepsi tentang keindahan menuju pada pluralisme
makna. Metoda dasar yang digagaskan para pemikir dunia ribuan tahun lalu,
khususnya desainer, hendaknya memperjuangkan kebenaran estetik, sebab “desain
adalah suatu kearifan yang ditampakkan”.
Kegiatan
desain kemudian dipahami sebagai kegiatan mencari solusi dari suatu kebutuhan, maka dapat dikatakan bahwa bidang keahlian desain dalam
rangka menyamakan persepsi dan mengkaji gagasan keserumpunan desain, dikenal akan hal-hal yang khusus
tentang “mechanical engineering design”.
Sebagai contoh desain yang berciri
”murni” mesin dan desain yang
memerlukan keahlian multi-disiplin
yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkaji kontribusi dari
masing-masing bidang keahlian. Untuk menyamakan dan membangun persepsi
keserumpunan, diperlukan
suatu komunikasi dan
sinergi kompetensi, yang menyatakan kontribusi berbagai disiplin ke dalam suatu desain dengan
permasalahan yang semakin rumit.
Desain sebagai kegiatan interdisiplin bisa
didekati dari berbagai sudut. Secara umum, arsitek ITB, Yuswadi Saliya,
menelusuri literasi sejarah untuk mengamati kecenderungan baru, seperti
fenomena gerakan Renaisance dan pencerahan di Eropa (Barat) beserta dampak
paradigmatik sosial-budayanya terhadap pemahaman ranah desain atau seperti
kebangkitan kembali akan kesadaran tubuh dan pengalaman pragmatik sehari-hari.
Secara khusus, Ia juga menyoroti gagasan simbiosis
Kurokawa dari Jepang yang
mencerminkan pendekatan ketimuran bersandingan dengan gagasan adaptasi (Piaget /Norberg-Schulz)
sebagai landasan desain yang baru. Cara untuk tahu secara desain, sebagai budaya ketiga (cross), diketengahkan sebagai pembanding terhadap
kecenderungan dikotomik-hegemonik
modernis yang dipandang bermasalah. Gagasan Richard Buchanan diajukan sebagai excursus, untuk membaca kategorisasi dalam wacana desain secara
interdisipliner. Penjelajahan awal ini diakhiri secara terbuka dengan
mengemukakan berbagai kemungkinan dalam bentuk amsal sesudah terbebasnya kembali
berbagai variabel dalam desain.
Rachel
Cooper,
juga menyoroti gaya hidup metropolitan dan cara berkompetisi, sampai pada post-modern Indonesia atau dalam ranah
budaya kontemporer. Pengertian dan persepsi desain selalu berubah, sejalan
dengan peradaban itu sendiri atau menyuarakan budaya zamannya. Tindakan ini
terkait dengan pemberian jaminan kontinuitas, juga adanya inovasi dan kreativitas
penciptaan produk masa depan, sebagai strategi dan pemberian makna yang baru.
III.
TINJAUAN DESAIN
Tinjauan desain merupakan suatu ilmu untuk mencermati, mengamati
dan mengkritisi berbagai fenomena desain maupun hal-hal lain yang berkaitan
dengan dunia keperancangan secara umum, baik yang berbentuk fisik atau teraga
(karya fisik) maupun yang berupa konsep atau tak teraga (konseptual), hingga
berdampak pada masyarakat. Objek
orientasi dan kajian dari tinjauan desain menyangkut keberbagai
bidang disiplin ilmu. Tinjauan desain membahas antara lain : a) Teori desain,
b) Karya dan proses desain, c)
Nilai-nilai estetik karya desain, d) Gaya hidup, e) Dampak sosial karya desain,
dan f) Sejarah desain.
Teori desain, merupakan
pengetahuan tentang perencanaan dan pembuatan sesuatu, ilmu desain merupakan
‘akumulasi’ berbagai bidang disiplin ilmu, misalnya: ilmu seni, ilmu humaniora,
profesi kemanusian, socio behavior
science, sain dan teknologi. Adapun
parameter–parameter keilmuan dalam bidang desain, pada umumnya meliputi :
1) Sain & Teknologi :
Sain dan Teknologi memiliki parameter “yang terukur” dan
memiliki kriteria “Validitas”. Aspek yang menjadi indikasi adalah : “Benar/Tidak
Benar”. Sebagai contoh dapat dilihat pada penggunaan material (bahan baku)
untuk suatu produk desain, berdasarkan keilmuan (sain) dapat diamati dan
dibuktikan konsep penggunaan material yang benar/salah, misalnya: material yang
benar diterapkan untuk produk mobil adalah logam, dan yang tidak benar adalah
material plastik. Demikian pula halnya dengan Teknologi, dimana konsep
teknologi menegaskan bahwa teknik penyambungan komponen mobil yang benar adalah
dengan cara dilas menggunakan teknologi tingkat tinggi, dan yang tidak benar
adalah dengan cara dilem. Sangat jelas, bahwa parameter yang digunakan sangat
terukur dan memiliki validitas (tingkat kebenaran yang tinggi).
2) Seni :
Parameter yang digunakan untuk mengkaji desain dari seni adalah “Apresiasi”,
sehingga kriteria yang dimaksud adalah “Relevansi”, karena keberhasilan
dari suatu produk seni dapat diukur dari karya-karya yang relevan dengan
kebutuhan publik. Indikasi yang dilihat meliputi: “Aspek Estetik atau nilai
Baik atau Buruk”. Sebagai contoh apabila menilai suatu produk desain dari
aspek seni yang terkandung di dalamnya, maka sangat mungkin dipastikan bahwa
setiap orang yang menilai, akan memiliki visi (pandangan) yang berbeda,
tergantung dari wawasan, ilmu seni yang dimiliki dan kepentingannya serta selera
yang dimilikinya terhadap produk tersebut. Misalnya, seorang yang memiliki
wawasan, ilmu dan taste yang tinggi
terhadap karya seni serta berada dalam lingkungan gaya hidup hi-class,
akan memberikan penilaian dan penghargaan yang yang sangat tinggi pada produk-produk
haute couture, dibandingkan dengan masyarakat golongan menengah ke bawah
yang kurang memiliki wawasan, ilmu dan taste
terhadap karya seni fashion.
3) Humaniora, Profesi Kemanusian & Socio Behavior Science:
Berkaitan
dengan Fenomena yang berhubungan dengan aspek kemanusiaan. Parameter yang berkaitan dengan ketiga bidang keilmuan di
atas adalah “Fenomena eksistensi manusia”, sehingga kriteria yang
ditetapkan adalah pada Aspek “Pantas atau Tidak Pantas”. Sebagai contoh
penggunaan busana pada lingkungan (kultur, profesi dan lingkup sosial)
tertentu, akan sangat berbeda dan sangat normatif apabila dibandingkan dengan
lingkungan lainnya. Misalnya, busana panggung yang biasa digunakan oleh seorang
biduanita akan sangat tidak pantas apabila digunakan oleh seorang guru untuk
aktivitas mengajarnya, demikina pula sebaliknya, seragam guru tidak pantas
digunakan oleh seorang artis pada saat melakukan show di atas panggung. Contoh lain adalah pada penggunaan busana
pesta. Masyarakat Eropa dan masyarakat Barat lainnya tentu sangat menerima dan
merasa pantas apabila mengenakan gaun dengan model dada terbuka pada saat
menghadiri pesta malam, namun masyarakat Timur pada umumnya akan merasa risih
dan merasa tidak ethis.
Ide desain dapat diinpirasikan oleh alam, mahluk hidup, menjadi
bersifat teknis seperti konstruksi jembatan dan alat angkut serta lainnya. Ide-ide lainnya misalnya sebagai berikut:
Dari
melihat alam dan lingkungan sekitar.
Berdasarkan
pengalaman.
Berdasarkan
kebutuhan atau permintaan atau survey pasar.
Memperbaiki
suatu kondisi.
Ilmu dan
teknologi yang berkembang.
Adanya
suatu permasalahan tertentu.
Budaya
dan tradisi
Gaya
hidup dan globalisasi
Seni dan
daya kreasi atau inovasi individual.
Studi dan
riset serta mendaras kepustakaan.
Adapun tinjauan terhadap karya desain
umumnya meliputi hal-hal sebagai berikut di bawah ini:
a.
Orientasi pada Kreator (Desainer) :
Orisinalitas Ide Life
time Design
Kreativitas
Intuisi
Keterampilan
Keunikan
Tradisi
Style Pribadi
Trend Setter
b. Orientasi pada Produk :
Engineering
Efisiensi
Produktifitas Produksi Massa
Strategi Pasar Standarisasi
Strategi Harga Inovasi
Laba Promosi
Marketing Merek
c. Orientasi pada Konsumen
Gaya Hidup
Globalisasi
Etnicity Faktor Geografis
Prilaku Konsumen Just In Time
Design Life Cycle Function
Follow Form
Peluang
Masing-masing
kalangan, mempunyai sifat, keakhlian dan spesialisasi tertentu dengan latar
ilmu pengetahuan dan teknologi yg dimiliki juga berbeda. Sehingga untuk membuat
sebuah produk (terutama produk industri yang rumit), diperlukan
perencana-perencana atau desainer yg berasal dari berbagai kalangan atau
disiplin ilmu yg berbeda. Sedangkan proses pelaksanaannya, lebih bersifat antar
disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi. Para pelaku proses desain, para
pembuat rencana, serta para pembuat produk dimasa kini, jikalau diperluas dapat
meliputi berbagai kalangan yg sangat beragam, dgn lingkungan yg beragam pula.
I.
PRINSIP DESAIN
Desain juga merupakan
aktivitas menata unsur-unsur karya seni yang memerlukan pedoman atau azas-azas
desain khususnya dalam seni rupa. Desain dapat diartikan sebagai pengorganisasian atau penyusunan
elemen-elemen visual sedemikian rupa menjadi kesatuan organik dan harmonis
antara bagian-bagian serta secara keseluruhan, yang dalam proses desain dikenal ada beberapa “prinsip desain” atau principles of design sebagai berikut: 1)
Kesatuan (unity); 2) Keseimbangan (balance); 3) Perbandingan (proportion); 4) Tekanan (center of interest / point of emphasis);
5) Irama (rhytme); Dan 6) Keselarasan (harmony).
Pengetahuan tentang beragam prinsip desain dan dekorasi yang sangat
diinginkan pada saat merencanakan dekorasi. Pengetahuan ini akan membantu untuk
merencanakan desain yang lebih menarik dan menyenangkan. Desain yang berarti
susunan, memperhatikan dengan seksama bahwa ada perubahan dari ketidakteraturan
menjadi teratur atau terarah, ini biasanya berarti pula semacam aturan tentang
sesuatu, meliputi prinsip-prinsip berikut ini:
a) Repetition adalah mengulang motif yang sama
dalam segala arah.
b) Rhythm adalah gerakan anggun yang
diciptakan dengan menempatkan garis, bentuk, nada atau warna dalam suatu garis
dimana mata dapat melihat dengan jelas.
c) Balance adalah efek tenang dari daya tarik yang
seimbang pada masing-masing sisi dari garis tengah semu.
d) Proportion adalah hubungan antara berbagai
jenis dan ukuran satu sama lain.
e) Alternation adalah pengulangan satu atau dua
motif dalam susunan yang biasa.
f)
Sequence adalah perubahan seragam diantara bagian yang terpisah atau seri. Anda dapat memberi
efek dengan garis, nada dan warna.
g)
Radiation adalah pembentukan yang anggun dari bagian
desain dari suatu titik tengah atau axis.
h)
Parallelism adalah lanjutan dari garis atau bentuk pada
arah yang sama, kurang lebih dengan jarak yang sama.
i)
Transition adalah mengubah dari satu garis, bentuk, nada atau warna menjadi sesuatu
yang berbeda.
j)
Symmetry adalah menempatkan dua bentuk yang sama persis di masing-masing sisi
dengan jarak yang sama dari garis tengah.
k)
Bisymmetry tepat bila setengah dari bentuk tersebut berada di masing-masing sisi.
l)
Quadrilateral symmetry bila empat bentuk ditempatkan disekeliling axis.
m) Contras adalah tekanan yang datang dari
garis, warna, bentuk, tekstur yang berbeda besar dan kecil, panjang dan pendek,
tinggi dan rendah.
n) Emphasis adalah penempatan bagian desain
dimana mata melihat hal terpenting terlebih dahulu. Dari situ akan membawa
kepada detail lain supaya memenuhi kepentingannya sebagai pusat daya tarik.
Mungkin satu
illustrasi yang dianggap bagus di alam dari semua prinsip tersebut di atas,
adalah bentuk kepingan salju. Dimana pada setiap kepingnya dianggap sempurna,
memiliki ragam bentuk yang tak terbatas dan tak ada yang sama satu dengan yang
lain.
Kegiatan
mendesain sebagai suatu aktivitas yang ditujukan untuk menghasilkan suatu
produk, yang secara fungsional sangat dekat kaitannya dengan aspek manusia dengan
fenomenanya. Kehadiran karya desain produk dan kekriyaan, merupakan salah satu
aspek yang menjadi pemicu berkembangnya gaya hidup (lifestyle) dalam
masyarakat.
Pustaka
Anonim, 2006. Jurnal Ilmu Desain, dalam : Imam Buchori Zainudin, Desain, Sains Desain dan Sains
tentang Desain: Telaah Filsafat Ilmu. hal. 17 – 34
Anonim, 2006. Jurnal Ilmu Desain, Widagdo, Estetika Dalam Perjalanan Sejarah: Arti dan Peranannya dalam Desain. hal. 3-16
Anonim, 1995. Creativity and
Madness: Psychological Studies of Art and Artist Burbank, Aimed Press, hal.18
Atmosudiro, Sumijati, dkk, Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya, SPSP.
Prv.JawaTengah dan Jur. Arkeologi FIB-UGM
Atmosudiro, Sumijati. 1984. Notes on the Tradition of Pottery Making
in the Region of Kasongan, Regency of Bantul. dalam Satyawati
Donald Tamplin. 1991. The
Arts: A History of Expression in the
20th Century. London: Harrap, hal. 7
Enget,dkk, 2008. Kriya Kayu untuk
SMK, Jilid 2, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional,
hal. 421 – 424.
Feldman, B.F. 1967. Art As Image and Idea. Englewood Cliffs, New Jersey,
Prentice Hall Inc.
Gustami, Sp. 1985. et al., Pola Hidup dan Produk Kerajinan Keramik
Kasongan. Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan,
Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan
Nusantara.
Gustami, Sp. 1988. Seni Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta: Kontinuitas
dan Perubahannya , Tesis S2 Universitas Gajah Mada.
Konperensi Kriya, 1999. Tahun Kriya dan Rekayasa 1999, Institut Teknologi Bandung, 26 Nov” 99.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. (Terj.
Hasti T. Champion), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Muchtar, Bud. 1991. Daya Cipta di Bidang Kriya dalam Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. B.P. ISI. Yogyakarta.
Munro, Thomas,1969. The Arts and Their Interrelations.
Cleveland and London: The Press of Case Western Reserve University
Soegondho, Santoso. 1995. Tradisi Gerabah di
Indonesia: Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Kini. Himpunan
Keramik Indonesia, Jakarta.
Soedarso Sp., 1987. Tinjauan Seni: Pengantar Apresiasi Seni,
Saku Dayar Sana, Yogyakarta
Tamplin, Donald, 1991. The Arts: A History of Expression in the 20th Century. London: Harrap
Yuswadi Saliya, 1999. Pendekatan Interdisiplin dalam Desain: Suatu
Penjelajahan Awal. Hal. 785
– 8