Laman

Pengikut

Kamis, 03 Mei 2012

AKTUALISASI ISLAM KAFFAH

AKTUALISASI  ISLAM  KAFFAH

oleh Agus Mulyadi Utomo
 Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
goesmul@gmail.com 

Islam adalah agama yang luas cakupannya. Agama Islam tidak hanya mengatur tata hubungan antara seorang hamba dengan Allah. Ajaran Islam mencakup seluruh hajat kehidupan manusia. Islam mengatur berbagai persoalan hidup manusia, dari ekonomi, politik, hukum, keluarga, dan juga lingkungan. Ayat yang memerintahkan agar orang beriman menjalankan Islam secara keseluruhan. Orang Islam wajib mengatur seluruh hidupnya dengan ajaran Islam. Baik dalam masalah amal-ibadah, sosial, ekonomi, budaya, politik, pendidikan dan lain-lainnya.  Ajaran Islam tidak mencampurkan antara yang haq dengan yang bathil, firman Allah: ”Dan janganlah kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, dan kalian menutupi yang haq padahal kalian mengetahui” (Qs. Al-Baqarah;42). Melihat luasnya cakupan ajaran Islam, sangat memungkinkan seorang muslim secara individual bisa melaksanakan seluruh ajaran secara kaffah, yaitu maksudnya melaksanakan secara lahir dan batin, tentu saja dengan bimbingan ruhani dari Guru yang Mursyid.

Dalam menangani persoalan pendidikan otak, fisik-jasmani dan ruhani-gaib (metafisik) yang bernafaskan Islam  dimungkinkan seorang muslim dapat melaksanakannya secara keseluruhan tentu dengan metode yang benar, dalam kehidupan pribadi, rumahtangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan pengamalan Islam secara kaffah bisa dilaksanakan secara berjama’ah dan terbimbing (terpimpin). Ini sesuai dengan seruan di dalam ayat yang berbunyi ’wahai orang-orang yang beriman’, seruan ini menggunakan bentuk kata yang menunjukkan jama’. Bentuk jamak tersebut bisa dimaknai bahwa perintah itu adalah perintah jama’i (kolektif), selain perintah secara individual. Di dalam jama’ah (organisasi) pasti ada pimpinan, ada aturan, ada komitmen, dan ada disiplin. Di antara sikap-sikap yang menunjukkan bahwa kita mengamalkan Islam secara kaffah, adalah sikap taat kepada pimpinan, komitmen kepada jama’ah Islam yang dianut, dengan sikap disiplin terhadap aturan jama’ah. Ketika seseorang bekerja di sebuah institusi Islam yang memiliki visi dan misi untuk menjalankan Islam secara kaffah, otomatis ia telah menjadi bagian dari upaya menjalankan Islam secara kaffah itu sendiri. Karena itu tugas-tugas yang dibebankan oleh pimpinan institusi tersebut harus dilaksanakan sekuat tenaga, penuh dengan tanggung jawab dan amanah. Jika dahulu para sahabat Radhiyallahu 'Anhu sangat takut untuk dipilih menjadi seorang pemimpin untuk mengemban amanah dan bertindak adil serta arif-bijaksana, maka sekarang ini ada banyak orang yang berlomba-lomba menjadi pemimpin. Semua mengaku yang terbaik! Benar sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: "Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan” (HR.Al-Bukhari). Menurut perspektif Islam ada dua peran yang dimainkan oleh seorang pemimpin: [1]

1. Pelayan (khadim), pemimpin adalah pelayan bagi pengikutnya. Seorang pemimpin yang baik bila dimuliakan orang lain (sebagai tanda kemuliaan). Karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa berkhidmat dan menjadi pelayan bagi kaumnya. Seorang pemimpin sejati, mampu meningkatkan kemampuan dirinya (jasmaniah dan ruhaniah) untuk memuliakan dan mengarahkan kebenaran bagi orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih segalanya, dia bekerja lebih keras, dia berpikir lebih kuat, lebih lama dan lebih mendalam dibanding orang yang dipimpinnya. Demikianlah pemimpin sejati yang dicontohkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-orang yang dipimpinnya.

2. Pemandu (muwajjih), pemimpin adalah pemandu yang memberikan arahan pada pengikutnya dan untuk bisa menunjukkan jalan yang terbaik agar selamat sampai di tujuan tentu saja itu baru tercapai dengan sempurna jika di bawah naungan syariat Islam, Al Qur’an dan Hadits serta Ij’ma Ulama.

Diantaranya adanya hal-hal yang menyangkut karakteristik-sifat  pemimpin dalam Islam, yaitu:

1.   Jujur, pemimpin Islam haruslah jujur kepada dirinya sendiri dan pengikutnya. Seorang pemimpin yang jujur akan menjadi contoh terbaik. Pemimpin yang perkataan dengan perbuatannya senantiasa sejalan dengan visi dan misi Al Islam, yaitu Al Qur’an dan Sunnah.
2.   Kompeten, kompeten dalam bidangnya, mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin Islam. Orang akan mengikuti seseorang jika ia benar-benar meyakini bahwa orang yang diikutinya benar-benar tahu apa yang sedang diperbuatnya.
3.   Inspiratif, orang yang mengikutnya bisa merasakan 'aman' dan ’tentram’ jika bersama pemimpinnya, akan membawa pada rasa nyaman dan menimbulkan rasa optimis seburuk apa pun situasi yang sedang dihadapi.
4.   Sabar, pemimpin Islam haruslah sabar dalam menghadapi segala macam persoalan dan keterbatasan, serta tidak bertindak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.
5.   Rendah hati, seorang pemimpin Islam hendaklah memiliki sikap rendah hati. Tidak suka menampakkan kelebihannya (riya) serta tidak merendahkan orang lain.
6.   Musyawarah, dalam menghadapi setiap persoalan, seorang pemimpin Islam haruslah menempuh jalan musyawarah serta tidak menentukan keputusan sendiri. Jika Allah mengatakan kepada Rasul-Nya — padahal beliau adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling banyak ilmunya dan paling banyak idenya. Dalam firman Allah ada menyebut: "Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu" (QS. Ali Imran: 159). Maka bagaimana dengan yang selain beliau ?
7.   Mampu berkomunikasi dengan pengikutnya. Kapasitas ilmiah dan amaliah serta empati sebagai rasa sensitivitas yang tinggi dan baik akan mereka yang dipimpinnya, pada akhirnya akan melahirkan seorang pemimpin dibawahnya yang juga mampu berkomunikasi dengan baik kepada ummatnya. Komunikasi yang baik kepada ummatnya bukanlah sekadar kemampuan retorika yang baik, tetapi juga kemampuan memilih hal yang akan dilempar kepada publik serta timing yang tepat dalam melemparkannya. Kematangan seorang pemimpin akan membuatnya mampu berkomunikasi yang jauh dari sikap emosional. Dan yang terpenting dari semua itu adalah sang pemimpin akhirnya mampu mengambil sebuah kebijakan yang tepat dalam sebuah kondisi yang memang dibutuhkan oleh ummat yang dipimpinnya.
Kekuatan pemimpin dapat dilihat dan dirasakan para pengikutnya, seperti adanya:

1.  Kekuatan iman, Islam, ikhsan, ilmu dan wawasan yang luas. Seluruh nabi dan rasul memimpin dengan kekuatan iman dan ilmu. Nabi Sulaiman Alaihissalam memerintah hampir seluruh makhluk (seperti jin, binatang, angin) dengan ilmu dan keimanan yang kuat. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam dapat menyelesaikan berbagai masalah dengan ilmu dan keimanan yang kuat. Dengan ilmu dan iman seorang pemimpin sanggup memimpin dirinya (seperti memimpin matanya, hatinya, lidahnya, pikiran dan hawa nafsunya) sebelum memimpin orang lain.
2. Ibadah dan amaliah serta taqarrub kepada Allah. Ibadah dan amal serta banyak bertaqarrub kepada Allah, dapat melahirkan kewibaan, ketawadhuan, kesabaran, optimisme, dan tawakkal. Ibadah dan amal serta taqarrub juga akan melahirkan kekuatan ruhaniyah yang dahsyat.
3. Keteladanan. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengajak jihad, beliau bertempur paling depan, juga dalam berperang melawan hawa nafsu, beliau bersedekah paling ringan dan hidup paling bersahaja. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyuruh bertahajud dan berdzikirullah, beliaulah yang kakinya bengkak karena banyak bertahajjud dan dzikir. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menghimbau ummatnya untuk berhias dengan akhlak mulia, beliaulah manusia yang paling mulia akhlaknya.

Adapun karaktristik dari pengikut yang baik dalam Islam, diantaranya adalah:

1. Taat. Seorang pengikut harus patuh kepada pemimpin. Setelah itu pemimpin dibawahnya yang ditunjuk atau dipilih lewat jalan musyawarah-mufakat, maka wajib bagi pengikutnya. Dan yang menang dan yang kalah untuk taat kepadanya, kecuali sang pemimpin telah melanggar ketentuan Allah dan Rasul serta membuat kerusakan. 
2.  Dinamis dan kritis. Seorang pengikut harus dinamis dan kritis dalam mengikuti kepemimpinan seseorang. Islam tidak mengajarkan suatu ketundukan buta atau sekadar ikut-ikutan, pengikut pun akan meningkat ilmu dan amalnya sehingga kemajuan segala bidang akan terjadi.

Bagi pemimpin dan calon pemimpin masa depan, amanah yang diemban bukanlah suatu kemegahan dan kebanggaan. Bahkan demi mengingat beratnya beban amanah, Khalifah Umar bin Khaththab memberikan sebuah ungkapan: "Saya sudah cukup senang jika dapat keluar dari dunia ini dengan impas; tidak mendapat dosa dan tidak pula mendapat pahala". Maka jadikanlah janji Allah itu hiasan dan memasukkannya menjadi pemimpin yang adil dan didalam surga-Nya, sebagai sumber energi kehidupan dari dunia sampai akherat. Dan tentu berlaku pula bagi mereka yang akan memberikan pilihan yang tepat dan benar serta alternatif-alternatif kriteria kepemimpinan selanjutnya untuk menentukan masa depan yang lebih baik. Disadari pula pemilihan pemimpin dalam masyarakat pada umumnya, bahwa kesempatan itu datang terkadang hanya sekali atau dua kali, sehingga mengharuskan untuk melakukan pilihan dengan benar dan tepat. Setelah itu, kemampuan dalam menentukan arah kepemimpinan tidaklah sekuat di saat memilih. Setidaknya, telah berusaha untuk melakukannya. Dan yang pasti, pilihan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhaanahu Wata'ala. Karena itu, akan senantiasa dibutuhkan seorang Muslim yang mampu menentukan pilihannya secara cerdas dan tepat.
Dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang redaksionalnya terdapat kata iman, di antaranya terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 165: yang artinya “Orang-orang yang beriman (kepada Allah) adalah orang yang asyaddu hubban lillah”. Berdasarkan teks ayat tersebut dapat diketahui bahwa iman adalah identik dengan asyaddu hubban lillah. Asyaddu hubban berarti sikap yang menunjukkan kecintaan atau kerinduan yang luar biasa terhadap Allah dan Rasul. Dari ayat tersebut tergambar bahwa iman adalah sikap atau attitude, yaitu kondisi mental yang menunjukkan kecenderungan atau keinginan luar biasa terhadap Allah. Orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk mewujudkan harapan atau kemauan yang dituntut Allah kepadanya. Dan orang yang bertaqwa dapat diartikan memiliki sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan dan peribadatan sesuai ajaran agama Islam secara utuh (kaffah) dan konsisten atau istiqamah serta berprilaku (akhlaq) yang baik.

          Surat Al-Baqarah ayat 177 menjelaskan karakteristik orang-orang yang bertaqwa, yang secara umum dapat dikelompokkan dalam lima indikator ketaqwaan yaitu:

-        Pertama, iman kepada Allah dan Rasul, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi, pada hari akhir dan takdir Allah. Indikator ketaqwaan yang ini adalah memelihara fitrah iman.
-          Indikator taqwa yang kedua adalah mencintai sesama ummat muslim dan manusia yang diwujudkan melalui kesanggupan mengorbankan harta. Mengeluarkan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang terputus di perjalanan, orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban dan memerdekakan hamba sahaya.
-          Ketiga, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Indikator taqwa  ini adalah memelihara ibadah formal.
-      Keempat, menepati janji, yang dalam pengertian lain adalah memelihara kehormatan diri.
-       Kelima, sabar di saat kepayahan, menderta sakit, kesusahan, dan di waktu perang, atau dengan kata lain memiliki semangat perjuangan menegakkan kebenaran, atau punya rasa pengharapan yang lebih baik (optimis).

          Implementasi iman dan ketaqwaan dalam kehidupan modern yaitu dalam rangka menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal, konsep dan pelaksanaan, fikiran dan perbuatan. Dengan demikian bertauhid adalah menegakkan ke-Tuhan-an, artinya yakin dan percaya kepada Allah dan Rasul (Ulama Pewaris Ilmu Rasulullah) semata, melalui fikiran dan membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan. 

Bertitik tolak dari upaya meraih ridhlo Allah SWT,  sebagai upaya menghadapi krisis global-multidimensional yang melanda Indonesia dan dunia ummat manusia, terjadi demoralisasi akhlak, iman memudar, amanah yang disalah gunakan, kemerosotan kasih sayang dan perdamaian, berkecamuknya perang ideologi antar agama maupun sesama agama, pertikaian antar kelompok masyarakat, kerusuhan, korupsi, penganiayaan, kriminalisasi, terorisme, huru-hara, perkosaan, gizi buruk dan berbagai penyakit baru yang mengancam kehidupan, kemiskinan, pembunuhan dan perusakan alam sebagai suatu kejadian yang memprihatinkan dan memilukan. Keadaan ini semakin terasa berat dengan timbulnya bencana alam yang bertubi-tubi, membuat kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat dan berkeluarga, tidak lagi harmonis dan demokratis, saling menyalahkan satu dengan lainnya, sehingga menimbulkan kesengsaraan dan kekacauan. Situasi dan kondisi ini merupakan tanda bahwa ummat manusia berada diambang kehancuran. Untuk itu kita harus sadar dan introspeksi diri dalam menangkap isyarat dan tanda-tanda alam yang diberikan Allah SWT, untuk kemudian segera mengatasinya. Gejala-gejala tersebut berada dalam murka ilahi, karena merosotnya akhlaq, keyakinan dan prilaku yang telah melanggar ketuntuan Allah sebagaimana firmannya dalam QS. Al-Anfaal ayat 73: ”Jikalau kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah, niscaya akan terjadi kekacauan dimuka bumi dan kerusakan yang sangat besar”.  
                
Menjalankan Islam secara lengkap atau kaffah adalah merupakan keniscayaan dan diharapkan menjadi semacam realitas kehidupan kaum muslimin yang menuju masyarakat Madani, yaitu menjadikan Khairu Ummah, Kalifatul fil’ardh dan rahmatan lil alamin, yang bisa didambakan. Disamping itu sebagai alternatif jalan keluar dari era krisis yang global sekarang ini disegala bidang kehidupan, yaitu adanya ketidak pastian dalam berbagai hal dan menjawab mutu religiusitas pada akhir kurun 15 dimana begitu banyak terjadi bala-bencana serta huru-hara yang dahsyat baik yang ditimbulkan oleh alam maupun oleh perbuatan manusia sendiri. Semua itu adalah merupakan peringatan Allah SWT untuk manusia agar kembali memurnikan jalan Iman, Taqwa, Islam dan Ihsan serta memperbaiki akhlaq. Pendidikan agama Islam sekarang telah maju hingga perguruan tinggi. Namun demikian pendidikan pada umumnya dilihat dari hasil keluarannya belum menjalankannya secara lengkap (kaffah) dan tidak membuahkan akhlaq mulia seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, baru sampai mempelajari secara fisik dan olah pikir, belum sampai pada dimensi metafisik (ruhani).

            Untuk mengaktualisasikan Islam secara kaffah menuju masyarakat Madani, konsep besarnya adalah perpaduan yang seimbang antara dzikir dan fikir serta adab perbuatan. Juga antara hati dan otak, fisik dan metafisik (jamani dan ruhani), semuanya harus berjalan seiring. Hal inilah yang telah nyata dalam sejarah Islam (Arab-Islam), dalam waktu 5 abad dunia Islam telah berjaya secara gilang-gemilang. Namun kini Dunia Arab dan Dunia Islam pun terpuruk, dimana angkara murka, korupsi, kemaksiatan, ketidakadilan dan penindasan terhadap ummat Islam, akhlaq yang buruk terjadi dimana-mana dan merajalela. Menurut Prof. Oberon, dari Amerika: ”Jika ummat Islam di Indonesia, sesungguhnya kembali mengamalkan rahasia-rahasia kemenangan Nabi besarnya, pasti Indonesia akan jaya sejayanya dan menjadi suatu negara yang tidak dapat ditentang karena mereka bukan dalam teori saja, tetapi dalam realitas beserta dengan kodrat Allah yang Maha Besar”.

            Dengan dzikir, yang juga menunjukkan hubungan dengan Allah SWT, merupakan wujud atau buah dari pada ke-Islam-an, peng-Esa-an, ke-Iman-an dan ke-Taqwa-an yang sebenar-benarnya, karena semua adalah merupakan ajaran Rasulullah SAW. Begitu banyak karunia yang telah Allah Ta'ala berikan kepada kita. Ni'matul iman, ni'matul Islam, nikmat sehat dan waktu luang. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : "Ada dua karunia yang banyak hamba Allah melalaikan, yaitu nikmat sehat dan waktu luang". Disamping berdzikir, diperlukan juga sebagai bagian dari pengembangan dan kemampuan berfikir untuk menangkap konsep-konsep alam semesta. Kemajuan manusia saat ini dapat terbukti, dengan adanya kemajuan ilmu, teknologi dan seni (IPTEKS) yang menunjukkan bahwa cara pendidikan akal manusia telah mencapai tahap yang benar dan jelas serta tak perlu diragukan lagi. Hanya saja diperlukan pendidikan yang bersifat ruhani yang lurus dan benar menurut Islam kaffah.

            Manusia kaum muslimin pada kenyataannya masih banyak yang lupa mengingat Allah SWT. Hubungan manusia dengan Tuhan harus kongkrit sebagai manusia Ulul Albab, yakni mereka yang dzikir ketika berdiri, duduk dan berbaring, yang pada hakekatnya manusia bisa ingat Allah SWT sepanjang waktu, sehingga akan terbimbing tingkah lakunya dan takut untuk berbuat yang tidak layak apalagi yang dimurkai Allah, sebagai proses pendidikan hati (ruhani) dan mental. Dan hal tersebut sebagai pembelajaran manusia untuk mengenal akan dirinya sebagai hamba Allah dan mengenal Allah sebagai tujuan hidup tertinggi. Kemudian barulah manusia memikirkan untuk bisa hidup dan bermasyarakat serta menjaga keseimbangan alam semesta untuk kesejahteraan ummat.

             Realitas konkrit dari manusia yang beriman seperti firman Allah dalam surat QS..Al Anfaal ayat 2-4  sebagai berikut: “Innamal mu’minuunal ladziina idzaa dzukirallaahu wajilat quluubuhum wa idzaa tuliyat ‘alaihim aayaatuhuu zaadat-hum iimaanaw wa ‘alaa rabbihim yatawakkaluun. Alladziina yuqiimuunash shaalaata wa mim maa razaqnaahum yunfiquun. Ulaa-ika humul mu’minuuna haqqal lahum darajaatun ‘inda rabbihim wa maghfirataw wa rizqun kariim”, artinya: “ Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah apabila disebut (nama) Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan mereka bertawakkal kepada Tuhannya. (Yaitu) orang-orang yang mmendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rejeki yang kami karuniakan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang mukmin yang sebenarnya.  Mereka akan memperoleh beberapa derajat (kehormatan) di sisi Tuhannya, ampunan dan rezeki yang mulia”.

            Metode atau cara atau jalan atau aturan atau hukum seperti yang umumnya disebut adalah Syari’at yang bersifat lahiriyah (Al Maidah: 48, As Syura: 13, 21, Al Jatsiah: 18) dan Tarekat yang bersifat batiniyah (An Nisa: 168-169, Thaha: 63, 77, Al Ahqaaf: 30, Al Mu’minuun: 17, Al Jin: 11, 16) merupakan suatu ilmu yang saling berkaitan erat. Tarekat yang benar harus berdiri di atas syari’at yang benar pula. Keduanya memang cara yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk dimensi lahir dan batin. Tarekat merupakan laboratorium pembuktian kebenaran Islam Mulia Raya secara konkrit dan kaffah, bukan hanya sampai pada akal tetapi sampai pada dimensi ruhani (metafisik) yang menjangkau alam Jabarut, alam Malakut dan alam Rabbani.

            Untuk mendekat kepada Allah memang tidak pandang bulu, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, berpangkat atau tidak berpangkat, memiliki jabatan atau tidak menjabat. Bisa dilakukan oleh semua orang dengan syarat berakal sehat dan bersungguh-sungguh. Kesungguhan itupun juga bertingkat-tingkat mulai dari kemauan untuk sungguh-sungguh, mau ikhlas menjalaninya sesuai dengan kemampuan dan terus-menerus menempuh dijalanNya dengan tidak mengenal menyerah (sikaf hanif). Semua orang dapat melaksanakannya, terutama yang mau menjalaninya haruslah ikhlas dan tidak dipaksa, karena agama tidak pernah dan tidak boleh memaksa, Allah pasti membimbing mereka-mereka yang memang sungguh-sungguh yang akhirnya membenarkan ke-Esa-an Allah SWT untuk menuju iman, taqwa yang sebenarnya sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an Al Maidah: 35, sehingga metode dan bukti-bukti kebenaran menjadi sebuah realitas yang konkrit. Sesungguhnya tidak ada aturan yang lebih sempurna dari aturan Allah SWT sendiri, manusia hanya menjalankan saja semampu-mampunya dan seikhlas-ikhlasnya, demi pekembangan zaman (Al ‘Ashr: 1-3), yang menunjukkan betapa pentingnya waktu, agar manusia yang beriman dapat mengisi waktunya semaksimal mungkin dengan amal kebajikan agar tidak merugi baik di Dunia maupun di Akherat. Simak QS. Al Ashr yang berbunyi “Wal ‘ashr. Innal insaana la fii khusr. Illal ladziina aamanuu wa ‘amilush shaalihaati wa tawaashau bil haqqi wa tawaashau bish shabr”, artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran”. Keberhasilan itu akan akan tampak hasilnya setelah bekerja keras, rajin, disiplin, etos kerja yang tinggi dan mempunyai keyakinan kuat serta cerdik dalam berusaha. Hasil tidak akan turun begitu saja dari langit, sunnatullah berlaku disini, dimana hukum sebab-akibat mengiringi setiap langkah manusia dalam mengarungi samudra kehidupan. Imam Safi’i pernah berkata: ”Siapa yang bersungguh sungguh pasti akan mendapat”.

Islam adalah agama yang luas cakupannya. Agama Islam tidak hanya mengatur tata hubungan antara seorang hamba dengan Allah. Ajaran islam mencakup seluruh hajat kehidupan manusia. Islam mengatur berbagai persoalan hidup manusia, dari sosial-ekonomi, politik, hukum-keadilan, pendidikan, individu-keluarga-kekerabatan, berbangsa dan bernegara, sampai juga pada masalah lingkungan alam. Ayat-ayat Allah SWT yang memerintahkan agar orang beriman untuk menjalankan Islam secara keseluruhan. Orang Islam wajib mengatur seluruh hidupnya dengan ajaran Islam. Baik dalam masalah amal-ibadah, sosial, ekonomi, budaya, politik, pendidikan dan lain-lainnya.  Ajaran Islam tidak mencampurkan antara yang haq dengan yang bathil, firman Allah: ”Dan janganlah kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, dan kalian menutupi yang haq padahal kalian mengetahui” (Qs. Al-Baqarah;42).  Melihat luasnya cakupan ajaran Islam, sangat dimungkinkan seorang muslim secara individual untuk bisa melaksanakan seluruh ajaran secara kaffah, yaitu maksudnya melaksanakan ajaran yang bersumber Al Qur’an secara lahir dan batin, tentu dengan bimbingan ruhani dari Guru yang Mursyid, karena jalan Iman terutama ruhani (gaib) itu sangat halus dan mudah menyesatkan. Dalam menangani persoalan pendidikan yang bernafaskan Islam dimungkinkan bagi seorang muslim bisa melaksanakannya secara keseluruhan tentu dengan metode yang benar. Pelaksanaan pengamalan Islam secara kaffah bisa dilaksanakan secara jama’ah dan terbimbing. Ini sesuai dengan seruan di dalam ayat tersebut, ’wahai orang-orang yang beriman’, seruan ini menggunakan bentuk kata yang menunjukkan jama’. Bentuk jamak tersebut bisa dimaknai bahwa perintah itu adalah perintah jama’i, selain perintah secara individual. Di dalam jama’ah (organisasi) pasti ada pimpinan, ada aturan, ada komitmen, dan ada disiplin. Di antara sikap-sikap yang menunjukkan bahwa kita mengamalkan Islam secara kaffah, adalah sikap taat kepada pimpinan, komitmen kepada jama’ah Islam, sikap disiplin terhadap aturan jama’ah. Ketika seseorang bekerja di sebuah institusi Islam yang memiliki misi untuk menjalankan Islam secara kaffah, otomatis ia telah menjadi bagian dari upaya menjalankan Islam secara kaffah. Karena itu tugas-tugas yang dibebankan oleh pimpinan institusi berbasis keagamaan tersebut harus dilaksanan sekuat tenaga, penuh dengan tanggung jawab dan amanah.
Negara-Negara Islam yang mencoba mengubah konstitusinya dengan memberlakukan syari’at Islam, walaupun harus belajar dan merangkak pada awalnya, apalagi karena mereka pernah dijajah oleh Negara non Muslim, katakanlah seperti Mesir dan Sudan yang akhirnya berhasil menjadikan syari’at Islam sebagai landasan berpikir dalam sistem bernegara mereka. Semangat inilah yang kemudian mengilhami kaum muslimin yang mempraktekkan sistem tersebut di Aceh Darusalam, dengan menampilkan hukum syari’at Islam di Aceh yang mulai dilaksanakan pada Tahun 2001, namun sampai tahun 2009, masih  saja terjadi pelanggaran syari’at yang bertaburan di Aceh, dari beberapa macam pelanggaran yang ditampilkan oleh  polisi syari’at dalam tabel dengan merujuk pada surat kabar yang beredar di Aceh. Melihat kenyataan ini, mengajak pembaca untuk memiliki cinta hakiki terhadap agama tauhid ini, tidak hanya turut menaburkan benih-benih syari’at saja, tapi dengan melaksanakan juga Islam kaffah dan metode dalam tarekat secara benar di Bumi Serambi Mekkah ini, bahkan kesemua penjuru dunia dimana ada kehidupan muslim. Bagaimanakah syari’at Islam yang sudah diberlakukan di Aceh, untuk bisa menjadikannya Islam kaffah, siapa dan faktor apa saja yang dibutuhkan untuk mengubah Aceh menjadi kaffah, apakah hanya dengan bermodal pendidikan saja ? Apa dan siapa elemen paling berpengaruh terhadap kondisi syari’at Islam di Aceh ? Kebanyakan hanya mengambil dari hal-hal yang bersifat fisik atau jasmani serta meteri saja, belum pada hal-hal ruhani yang bersifat metafisika Islam yang menjadikannya kaffah. Namun upaya yang dilakukan selama ini patut diapresiasi, karena sudah meletakkan dasar Islami dalam pengelolaan pemerintahan dan pri-kehidupan bermasyarakat, kini hanya perlu penambahan metode dalam berdzikrullah, sehingga menjadikannya menarik dan sempurna lagi dalam menjalani kehidupan, baik itu sebagai pembelajaran untuk mencontoh visi Rasulullah menuju masyarakat yang Madani, terutama untuk generasi muda Islam maupun untuk meneruskan komitmen dan misi Islam kaffah tersebut. Pada akhirnya perlu ditegakkan dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan keagamaan, dengan cara mengajak ummat untuk lebih jauh lagi dalam berpikir dan berusaha mengaplikasikannya sebagaimana yang sebenarnya kekaffahan dan dalam syari’at Islam yang benar serta sesuai dengan tuntutan Al Qur’an dan Hadist Rasululullah SAW.

Sejak didirikannya suatu kelompok diskusi Islam Liberal (Milis), yaitu pada tanggal 8 Maret 2001, telah pula mendiskusikan berbagai isu mengenai Islam, negara, dan kemasyarakatan. Kelompok diskusi ini diikuti oleh lebih dari 400 anggota, termasuk para penulis, intelektual, dan pengamat politik. Dimoderatori oleh Luthfi Assyaukanie dari Jaringan Islam Liberal (JIL), diskusi berikut mengangkat isu Islam dan konsep kaffah (sempurna). Kelompok ini mengajukan suatu pikiran yang rupanya mengganjal dalam benak beberapa kelompok ummat muslim, yaitu perihal Islam kaffah. Apakah beragama itu harus kaffah ? “Kaffah” itu artinya adalah menyeluruh. Mereka ada yang menggambarkannya dengan bahasa matematik, yaitu “kaffah” diartikan sebagai sudut 360 derajat atau lingkaran penuh. Apakah mungkin beragama secara lingkaran penuh ? Menurut bahasa mereka, secara kejiwaan, orang memerlukan variasi tindakan, keragaman laku. Ada bidang-bidang dalam kehidupan, di mana agama memainkan peran penting, ada pula bidang-bidang lain yang tidak memerlukan dari agama. Mereka menganggap agama yang “kaffah” itu hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami “sofistikasi” kehidupan seperti zaman modern. Masyarakat Madinah pada zaman Nabi adalah masyarakat sederhana yang belum mengalami kerumitan-kerumitan struktur seperti zaman ini. Masyarakat modern mengalami perubahan yang radikal, mengalami proliferasi bidang-bidang yang begitu kaya. Ledakan bidang-bidang kehidupan zaman modern ini jelas tidak bisa diatasi seluruhnya dengan agama. Ini adalah pandangan yang terpenggal dan sempit. Islam kaffah yang dimaksud yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seorang muslim adalah diniatkan karena Allah, baik dalam beribadah dan beramal sholeh, maupun dalam aspek kehidupan mulai yang bersifat individual, rumah tangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, atau yang bersifat hablumminnallah dan hablumminannas yang bersifat jasmani dan ruhani, dimana muslim harus merasakan selalu diawasi dan beserta Allah, sehingga dalam bertindak dan berfikir dalam koridor yang juga selalu mencari ridha Allah dan berakhlaqul karimah, sehingga ketenangan dan kedamaian serta kemajuan pun terjadi atau terwujud. 

Beragama secara kaffah biasa difahami sebagai pelaksanaan diktum-diktum keagamaan secara harafiah, tekstual, menyeluruh, persis seperti diktum itu dilaksanakan pada zaman Nabi. Tentu pemaknaan kaffah semacam ini bukanlah satu-satunya pemaknaan yang dimungkinkan. Tetapi, salah satu pengertian yang populer mengenai kaffah adalah “meng-copy kehidupan Nabi seperti apa adanya.” Ambillah contoh berikut ini. Kalau kita mau hidup beragama (ber-Islam) secara kaffah, maka konsekwensinya adalah boleh jadi seluruh industri hiburan modern sekarang ini harus dihentikan. Kita tak bisa lagi menikmati film-film Hollywood. Padahal, industri hiburan menempati kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan di zaman modern, dari layar genggam, layar kaca sampai layar lebar dan layar dunia maya. Di Malaysia, PAS, suatu partai yang mewakili pandangan ke-Islam-an yang konservatif, hendak melarang seni Melayu lokal dan Makyong. Di Indonesia ada FPI, Hizbud Tahrir dan yang lain-lain, mau menutup tempat-tempat hiburan. Di Afghanistan orang-orang diwajibkan berjenggot. Di mana-mana, ketika Islam konservatif bangkit, dunia hiburan selalu menjadi korban. Apakah hiburan tak boleh? Tentu “boleh saja!”, asalkan sesuai dengan Islam dan yang bersifat mendidik atau mencerdaskan masyarakat.

 Kalau kita ber-Islam secara kaffah, pertanyaannya adalah “how kaffah can you go?” Masing-masing orang berlomba paling kaffah dari yang lain. Orang-orang ada yang masih satu senti kurang kaffah dianggapnya kurang “Islami” oleh orang-orang lain yang kebetulan sudah satu senti lebih kaffah, dan seterusnya. Sehingga membuat tak sanggup lagi hidup dalam lingkungan di mana orang-orang di dalamnya berlomba menunjukkan kesalehan secara obsesif. Itu cara beragama yang mencari nilai dan sanjungan dari manusia, tapi juga harus diingat ada nilai plus yang diukur dari ketentuan Allah dan Rasul, adalah beragama yang kaffah secara lahir-batin dan kebanyakan kaum muslimin dari segi batinnya inilah yang kebanyakan tertinggal. Ada saat-saat kita beragama dengan khusyuk, ada saat kita bisa menghibur diri sendiri dengan asyik, bahkan ada yang keterusan dan menyebabkan lupa akan kewajiban kepada Allah. Panduan yang layak kita petik dari agama adalah peringatan, ajaran tentang larangan dan kewajiban, melatih diri, mengetahui yang “israf” atau berlebihan. Beragama secara kaffah, karena visi-misi agama sebenarnya adalah sebagai penyeimbang hidup manusia untuk tidak “berat sebelah” antara keperluan dunia dan akherat. Masalahnya adalah bagaimana mendudukkan urutan kepentingan berdasar manfaat, menomor urutkan yang sesuai peruntukannya dan porsinya, dari urusan ketuhanan (akherat) sampai kepada urusan keduniaan atau sebaliknya, harus sesuai tempat dan fungsinya. Tidak dibolik-balik, jangan sampai seperti kepala berfungsi sebagai kaki atau kaki berfungsi jadi kepala, disini harus melihat dan bisa menyesuaikan dengan tujuan, fungsi alami dan keperuntukannya. Bisa saja menuju ke arah destruktif dalam hidup dan ini hanyalah sebagai sebuah tawaran ide untuk mendinamisasi kehidupan yang akan dipilih kaum muslim. Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan pengakuan manusia, apalagi bersifat memaksa dan dipaksakan. Seharusnyalah manusia (kita) yang sangat membutuhkan Allah dan Rasul untuk pegangan hidup, tentu yang dapat menentramkan jiwa, mendamaikan, dan membimbing ke arah yang menuju kebaikan dan kemajuan. 

Islam yang dipahami, merupakan agama yang telah mencapai ke-kaffah-an, dilihat dari kandungan Al Qur’an dan Sunnah. Hanyalah pada mereka-mereka yang terus-menerus berdebat tentang kebenaran masing-masing dan berkutat selalu dalam soal fikih (3%) saja, yang menguras banyak energi dan menghabiskan waktu. Sehingga unsur lainnya seperti akidah dan akhlak yang merupakan bagian terbesar (97%) luput dari pelaksanaan dan pembahasan. Kaffah disini, juga menyangkut tentang tiangnya agama, yaitu rukun Islam, rukun iman dan ikhsan. Sedangkan telaah lain hanyalah sebagai pendorong, penguat dan pembangkit serta untuk pembuktian akan kebenaran Islam itu sendiri. Memang, dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, namun kesempurnaan itu harus dijelaskan dan kemudian diamalkan. Juga ada tersurat, tersirat dan tersembunyi, daripada kandungan isi seluruh Al-Qur’an, disamping kesempurnaan juga didukung hadits dan sunnatullah. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menuntut manusia untuk menggunakan akalnya, untuk menyimak dan memahami dan menjelaskannya sehingga masuk di akal (ilmiah). Hal ini menunjukkan bahwa kesempurnaan Al-Qur’an juga berbentuk dasar-dasar dalil dan hukum yang diperuntukkan bagi yang berakal, tapi bagi ummat pengikut atau jema’ah masih memerlukan lagi tambahan, yaitu berupa tafsiran, ijtihad dari ahli fikih atau ulama untuk mengarahkan dan  membimbing menuju ke-kaffah-annya itu.

Berbeda pendapat soal kaffah pun terjadi, yang karena itulah dalam pemahamannya, tentang konsep kaffah itu menjadi melebar ke mana-mana, sesuatu yang bisa dihindari jikalau istilah itu didudukkan dalam konteks Al-Qur’an dan sunnah Rasul yang sebenarnya. Banyak yang sudah “terpengaruh” dengan penafsiran awam dan dipahami secara literal. Dalam konteks “silmi” yang berarti “islam”, kita bisa membandingkannya dengan asbabun nuzul ayat tersebut, yang jelas memberikan impresi berbeda dari yang selama ini dipahami dari kaum literalis. Dikisahkan, ayat itu diturunkan untuk Abdullah bin Salam, seorang Yahudi Madinah yang konon setelah masuk Islam dan tetap menjalankan ritual-ritual keagamaan lamanya (ia masih menjalankan ritual sabat dan membaca taurat dalam shalat), sesuatu yang membuat para sahabat “cemburu” dan kemudian protes kepada Nabi. Lalu, turunlah ayat “udkhulu fissilmi kaffah” itu sebagai protes untuk sikap keberagamaan Abdullah yang sinkretis itu.

Jadi, “kaffah” itu ada hubungannya dengan “ber-Islam secara total” seperti selama ini dipahami, tapi berupa pesan untuk menjalankan Islam sesuai pesan Al Qur’an dan Sunnah, tidak terpenggal penggal, menjalankannya sesuai dengan ’tiangnya agama’, serta bermetode bagi yang menggunakan akalnya.

Dalam kehidupan yang plural, bagi ummat haruslah dibedakan atau dipecah menjadi dua bagian. Di satu pihak adalah kehidupan bersifat privat atau pribadi, disini agama memainkan peranan yang sangat penting, dimana dalam kehidupan ini dikembangkan apresiasi dan penghayatan yang mendalam dan khusyuk terhadap dimensi-dimensi spiritual dan berkadar metafisik. Di pihak lain adalah kehidupan bersifat publik yang harus diatur sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan masyarakat umum yang ada. Agama disini hanyalah menjadi inspirasi untuk pengaturan itu. Dalam kehidupan publik, Tuhan menyerahkan semua hal pada voting. “Antum a’lamu bi umuri dunyakum”, kata Nabi: ” Kalian lebih tahu urusanmu dan yang anda hadapi setiap hari”. Lalu: “Fa-ma sakata ‘anhusy syari’u fahuwa ‘afwun” kata Nabi dalam hadits yang lain, apa-apa yang agama diam, maka itu berarti memang bukan urusan agama, ia urusan duniawi yang menjadi kawasan “mubah” (diperbolehkan). Suatu pandangan bahwa kaidah Islam sangatlah sederhana: Pertama, kaidah dasar dalam urusan ritual adalah semua hal yang tidak memperoleh pengesahan dari agama, adalah haram (al ashlu fil ‘ibadati al hurmatu), seperti orang tidak boleh menciptakan cara tersendiri untuk shalat, harus seperti yang diajarkan Nabi SAW, “Shallu kama ra-aitumuni ushalli” (shalatlah sebagaimana kalian lihat aku shalat). Ritual-ritual Islam sudah ditetapkan dengan pasti, tinggal dijalankan saja secara fisik dan hanya menambahkan unsur khusuk (metafisik) dalam batiniahnya. Kedua, kaidah untuk kehidupan duniawi, yaitu semua hal adalah boleh, kecuali yang jelas-jelas dilarang oleh agama, kecuali yang atas alasan konsensus publik dilarang, atau karena alasan kemanfaatan dan kesehatan.

Dengan pandangan semacam ini, sebetulnya keinginan untuk mengatakan bahwa “birokratisasi kehidupan” yang sekuler adalah satu jenis pengaturan kehidupan yang paling masuk akal masa sekarang ini. Dalam pengaturan yang semacam itu, terdapat kemungkinan yang tanpa batas untuk mengoreksi kesalahan dan penyelewengan yang terjadi khusus dalam pengaturan kehidupan publik.  Sebab, semua perkara ditentukan melalui proses “duniawi” yang relatif, tidak mempunyai klaim keabsolutan. Karena itu, sikap paling ideal sebagai muslim sekarang ini adalah secara individual menghayati relijiusitas yang mendalam, lalu mengembangkan penghayatan spiritual yang penuh dengan harapan, cinta pada Allah dan RasulNya (pewarisnya). Dengan kata lain, secara individual model yang ideal adalah yang mencintai Allah secara tuntas dan tanpa batas. Secara sosial, turut mengembangkan kehidupan publik berdasarkan kesepakatan-kesepakatan umum yang dicapai secara demokratis. Kehidupan publik  dikembangkan berdasarkan inspirasi cinta ketuhanan, bukan berdasarkan diktum-diktum harafiah agama dan menyangkut fiqh. Rasio dan nalar yang sehat adalah panduan utama dalam pengelolaan ruang publik ini. Harus ada yang jadi model sebagai tokoh masyarakat yang baik atau ulama sebagai panutan dan contohan, juga termasuk tokoh yang tepat seperti terdapat dalam sejarah Islam.

Dalam wawasan seperti ini, “ke-kaffah-an” Islam hanya dikembangkan dalam kehidupan pribadi dan sudah final dan abadi. Dalam sistem sosial, yang multi agama ini tak ada suatu sistem yang “kaffah”. Sistem sosial yang “kaffah” adalah sistem yang ’totaliter’ dan tidak bisa dibatalkan oleh konsensus. Sistem yang tak bisa dibatalkan oleh konsensus dan voting, tidak layak dijadikan sebagai landasan pengelolaan kehidupan ramai yang bersifat multi agama dan keyakinan. Sistem sosial sebaiknya atau seharusnya selalu bersifat provisionaris, alias sementara, bukan “kaffah” seperti pemahaman awam.

Beragama itu pengertiannya bukan seperti kontrak kerja yang mengharuskan full time atau tidak bolehkah beragama secara part time ? Beragama yang baik, adalah melaksanakan suatu penghayatan, dimana semua tingkah laku perbuatan, perkataan, cara berfikir, niatnya mulai dari bangun tidur, mencari nafkah, sampai tidur lagi harus sesuai tuntunan Islam, bahkan sampai ke toilet pun harus “beragama”, karena setiap saat setan-iblis itu selalu mengincar kelengahan dan kelemahan kita. 

Istilah kaffah ada yang berpendapat sebagai multi tafsir. Kaffah menurut mazhab yang satu tentu berbeda dengan kaffah menurut mazhab yang lain. Persoalannya hanya pada otoritas. Kata kaffah sendiri bukan sebuah istilah final untuk menentukan benar atau salah, sempurna atau tidaknya tingkat keagamaan seseorang. Manusia hanya sekedar penafsir terhadap simbol ketuhanan dan keberagamaan. Dalam proses penafsiran, terkandung relativitas yang tinggi. Ada yang mengartikan kaffah adalah meniru sepenuhnya masa-masa Nabi SAW. Mereka berusaha memindahkan masa silam kepada masa kini; memelihara jenggot, pakai sorban, perempuan pakai cadar dan sebagainya. Jenggot, sorban, cadar bagi mereka adalah bagian dari ke-Islam-an mereka. Sayangnya mereka yang di Timur Tengah (Irak, Iran, Taliban, Afganistan, dsbnya) dalam berperang tidak memakai pedang dan naik onta atau kuda saat melawan Amerika, seperti peperangan pada masa Nabi dahulu. Tetapi kini sudah menggunakan senjata berteknologi canggih, dan inilah sebuah fakta material, ini pula kekaffahan bersifat umum yang dimaksud diyakini dan dipahami kini, bahwa Islam sesuai dengan zamannya. 

Sistem tata kelola organisasi kedepan yang berbasis informasi dan teknologi, dengan berpegang ajaran Al Qur’an dan Al Hadits, yang selalu untuk menegakkan Islam dan iman-taqwa serta megajarkan manusia agar menjadi ikhsan, maka hal tersebut adalah suatu kenicayaan yang dibutuhkan oleh sebuah organisasi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam secara kaffah itu adalah suatu usaha menjalani hidup ini dengan berlandaskan keimanan dan ketaqwaan yang lurus dan benar. Jadi semua perbuatan dari dimulai bangun sampai tidur lagi merupakan ibadah dan harus berlandaskan azas-azas Islam. Intinya tidak mengenal adanya sekulerisme seperti yang difahami oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Disarankan kembalilah ke pemikiran yang murni dan akal sehat, yaitu Diennullah Islam yang artinya tunduk dan patuh pada Hukum-hukum Allah.

Implementasi ekonomi berbasis syariah juga mendukung Islam menjadi lengkap (kaffah) merujuk firman Allah dalam surah Al-Jatsiyah ayat 18 : ”Kemudian kami jadikan bagi kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syariah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna (syumul). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek amal-ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain QS. 5: 3, 6: 38, 16: 89. Kesempurnaan Islam itu tidak saja diakui oleh intelektual muslim, tetapi juga para orientalist barat, di antaranya H.A.R Gibb yang mengatakan, “ Islam is much more than a system of theology it’s a complete civilization.” Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-Qur’an, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Al Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum masalah ekonomi. C.C. Torrey dalam The Commercial Theological Term in the Quran menerangkan bahwa Al Qur’an memakai 20 terminologi bisnis. Ungkapan tersebut malahan diulang sebanyak 720 kali. Dua puluh terminologi bisnis tersebut antara lain,  1.Tijarah, 2. Bai’, 3. Isytara, 4. Dain (Tadayan) , 5. Rizq, 6. Riba, 7. dinar, 8. dirham, 9. qismah 10. harb / mudharabah, 11. Syirkah, 12. Rahn, 13.Ijarah / ujrah, 14. Amwal 15.Fadhlillah 17. akad / ’ukud 18. Mizan (timbangan) dalam perdagangan, 19. Kail (takaran) dalam perdagangan, 20. waraq (mata uang). Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits beliau juga  menyebutkan bahwa: “Hendaklah kamu kuasai bisnis, karena 90 % pintu rezeki ada dalam bisnis” (H.R.Ahmad), dimana sebenarnya para pedagang (pebisnis) adalah sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk bisa menguasai perdagangan atau bisnis. Berikutnya: ”Sesungguhnya sebaik-baik usaha / profesi adalah usaha perdagangan” (H.R.Baihaqi)[2]. Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada sektor ekonomi, karena itu tidaklah mengherankan jika ribuan buku Islam membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas pada topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’i salam, istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya.  Selain dalam kitab-kitab  fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Seluruh kitab fikih Islam membahas masalah muamalah, contoh : Al-Umm (Imam Syafi’i), Majmu’ Syarah Muhazzab (Imam Nawawi), Majmu Fatawa (Ibnu Taimiyah). Sekitar 1/3 isi kitab tersebut berisi tentang kajian muamalah. Oleh karena itulah maka Prof. Dr. Umer Ibrahim Vadillo (intelektual asal Scotlandia) pernah menyatakan dalam ceramahnya di Program Pascasarjana  IAIN Medan,  bahwa 1/3 ajaran Islam berisi tentang muamalah.  Materi kajian ekonomi Islam pada masa klasik cukup maju dan berkembang. Shiddiqi dalam hal ini menuturkan: “Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan / supply and demand, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, industri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur”.[3] Lebih lanjut Shiddiqi mengatakan: “Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide (pemikiran) ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah  kita memiliki kesinambungan dari serentetan pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja, monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh yang diberikan atas  khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi”. [4] Ibnu Khaldun lebih jauh mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Robert Malthus. Boulakia bahkan menyatakan bahwa: “Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang…[5]

Ekonomi merupakan pilar peradaban. Sebagai salah satu pilar kemajuan dari peradaban Islam adalah amwal (wealth) atau ekonomi. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengatakan “Ekonomi adalah tiang dan pilar paling penting untuk membangun peradaban Islam (Imarah). Tanpa kemapanan ekonomi, maka kejayaan Islam sulit dicapai bahkan tak mungkin diwujudkan. Ekonomi penting untuk membangun negara dan menciptakan kesejahteraan ummat”. [6] Namun demikian, ada riwayat Imam Muslim dan Ahmad ada menyebut dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Pada akhir ummatku akan ada seorang khalifah yang melimpahkan harta selimpah-limpahnya dan ia sama sekali tidak akan menghitung-hitungnya”.

Asy-Syatibi, Al-Ghazali dan seluruh ulama ushul yang banyak membahas maqashid syari’ah, senantiasa memasukkan amwal sebagai pilar maqashid. Shah Waliullah Ad-Dahlawy, ulama terkemuka dari India, (1703-1762) juga berkata, “Kesejahteraan ekonomi merupakan prasyarat untuk suatu kehidupan yang baik. Tingkat kesejahteraan ekonomi sangat menentukan tingkat kehidupan. Seseorang bila semakin tinggi tingkat kesejahteraan ekonominya, akan semakin mudah pula untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (hayatan thayyibah)”.

Para ulama Islam sepanjang sejarah, khususnya sampai pada abad 10 Hijriyah senantiasa melakukan kajian ekonomi Islam. Karena itu kitab-kitab Islam tentang muamalah (ekonomi Islam) sangat banyak dan berlimpah. Para ulama dahulu tidak pernah mengabaikan kajian muamalah dalam kitab-kitab fikih mereka dan di dalam halaqah (surau atau masjid dan pengajian-pengajian) ke-Islam-an mereka. Tetapi pada kini telah terjadi keanehan yang luar biasa, dimana kajian-kajian ekonomi Islam jarang sekali di dibahas di surau atau mesjid dan pengajian. Sehingga perekonomian ummat Islam berbasis ekonomi syari’ah kurang dimengerti dan tertinggal, memudahkan ekonomi ribawi berkembang. Tradisi keilmuwan ekonomi yang eksis di masa silam, harus dihidupkan kembali, agar berfungsi mensejahterakan ummat Islam sebagaimana zaman Rasulullah  dapat diwujudkan kembali.

Didapatkan suatu gambaran yang demikian maju dan berkembang pada ekonomi Islam di masa lalu dan sungguh sangat disayangkan, yaitu sekitar 7 abad  sejak abad 13 s/d abad 20 menuju ke 21, ajaran–ajaran Islam tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan kaum muslimin, sehingga kemiskinan yang mendekati kekufuran sering terjadi. Akibatnya ekonomi Islam pun terbenam dan mengalami kebekuan (stagnasi), dan ekonomi dikuasai oleh yang bukan muslim. Dampak selanjutnya, ummat Islam tertinggal  dan terpuruk dalam bidang ekonomi. Apalagi setelah masuknya kolonialisme barat ke Indonesia, yang mengajarkan doktrrin-doktrin ekonomi ribawi (kapitalisme), khususnya sejak abad 18 sd abad 20 menuju 21. Proses ini berlangsung cukup lama, sehingga paradigma dan sibghah ummat Islam menjadi terbiasa dengan sistem kapitalisme dan malahan  sistem, konsep dan teori-teori itu menjadi berkarat dalam pemikiran ummat Islam. Maka sebagai konsekuensinya, ketika ajaran ekonomi Islam kembali mau ditawarkan kepada ummat Islam, banyak dari mereka melakukan penolakan, karena dalam pikirannya telah mengkristal suatu pemikiran ekonomi ribawi, pemikiran ekonomi kapitalisme sampai neo-kapitalis-liberalisme. Padahal ekonomi syari’ah adalah ajaran Islam yang harus diikuti dan diamalkan, sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam Al-Qur’an dalam surah Al-Jatsiyah ayat 18. Jelaslah paparan di atas menunjukkan bahwa Islam memiliki ajaran ekonomi Islam yang cukup luar biasa. Sebagai konsekuensinya, muslim  harus mengamalkan kembali ajaran ekonomi Islam tersebut agar menjadi lengkap (kaffah) tidak sepotong-potong serta tuntas, dengan penyesuaian-penyesuaian disana-sini terutama dengan teknologi komunikasi-informasi yang menglobal dimasa kini.

Tidak sedikit kaum muslimin yang telah terperosok kepada Islam persial ( separoh – separoh ). Memang benar dalam bidang ibadah, amal sholeh, akad perkawinan, dan kematian ummat Islam mengikuti ajaran Islam, tapi dalam bidang dan aktivitas ekonomi, banyak sekali ummat Islam mengabaikan ajaran ekonomi syari’ah dan bergumul dengan sistem ekonomi ribawi. Dana ummat Islam, seperti ONH,  tabungannya, uang masjid, uang Perguruan Tinggi Islam, dana organisasi Islam, uang perusahaan yang dimiliki kaum muslimin, dan dana masyarakat Islam secara luas, telah diputar dan dibisniskan secara ribawi melalui bank umum dan lembaga keuangan yang bukan sesuai dengan prinsip syari’ah Islam.

Kebangkitan kembali ekonomi Islam baru tiga dasawarsa menjelang abad 21 dengan memunculkan suatu kesadaran baru dari ummat Islam untuk mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah, sehingga ajaran Islam tentang ekonomi mendapat perhatian dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

Pada era globalisasi ini telah lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah yang cukup handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang mu’amalah. Sebagai suatu realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah Internasional Development Bank (IDB) di Jeddah. Kemudian diikuti oleh  berbagai negara, baik negeri muslim maupun non-muslim, yang mengembangkan pula lembaga – lembaga keuangan berbasis syariah. Di dunia sekarang telah berkembang lebih dari 400an lembaga keuangan dan perbankan yang tersebar di 75 Negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan aset – aset bank mencatat jumlah cukup fantastis yaitu 15 % setahun. Kinerja bank – bank Islam tersebut ternyata cukup tangguh dengan hasil keuntungannya di atas perbankan umum  yang  konvensional. Salah satu bank terbesar di AS, City Bank telah membuka unit syariah dan menurut laporan keuangan terakhir pendapatan terbesar City Bank berasal dari unit syariah. Demikian pula ABN Amro yang terpusat di Belanda dan merupakan bank terbesar di Eropa dan HSBC yang berpusat di Hongkong serta ANZ di Australia, lembaga-lembaga tersebut telah membuka unit-unit syariah.[7] Agustianto, mengatakan bahwa di Indonesia, bank Islam baru hadir pada tahun 1992, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Sampai tahun 1998, Bank Mualamat masih menjadi pemain tunggal dalam belantika perbankan syari’ah di Indonesia, ditambah 78 BPR Syari’ah.



 


Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank konvensional yang saat itu berjumlah 240 mengalami negative spread yang berakibat pada likuidas, kecuali bank Islam. Pada November 1997, 16 bank ditutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah bank masuk kategori BTO dalam pengawasan BPPN. Tetapi kondisi itu berbeda dengan perbankan syari`ah. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpanan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread. Sedangkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah (BLBI) 700an triliun rupiah yang sampai hari ini bermasalah. Kalau tidak ada BLBI dan rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi  dari pemerintah, niscaya semua bank tewas dilikuidasi. Pada masa krisis moneter berlangsung, hampir seluruh bank melakukan kebijakan uang ketat. Kucuran kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak kondusif, di mana suku bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya. Berbeda dengan bank konvensional yang mengetatkan kucuran kredit, bank syari`ah malah sebaliknya, yaitu dengan mengekstensifkan kucuran pembiyaannya, baik kepada pegusaha kecil maupun menengah. Hal ini terbukti, di masa krisis yang lalu di mana sampai akhir 1998, ketika krisis tengah melanda, bank Muamalat menyalurkan pembiayaan Rp 392 milyar. Dan sampai akhir 1999 ketika krisis masih juga berlangsung bank Muamalat meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 milyar, dengan tingkat kemacetan 0% (non ferforming loan). Pada saat itu malah CAR Bank Muamalat sempat mencapai 16,5%, jauh di atas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%). Oleh karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam Undang-Undang ini diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-Undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk konversi kepada sistem syari`ah, baik dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun konversi secara total ke sistem syari`ah. Peluang itu ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional. Beberapa bank yang  konversi dan akan membuka cabang syari`ah antara lain  bank Syariah Mandiri, Bank IFI Syari’ah, Bank BNI Syariah, BRI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank BTN Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah, dll. Kini telah berkembang 19 Bank Syariah, 25 Asuransi Syari’ah, Pasar Modal syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 BMT (Koperasi Syariah), dan Ahad – Net Internasional yang bergerak di bidang sektor riel. Kalau pada masa lalu, sebelum hadirnya lembaga–lembaga keuangan syariah, umat Islam secara darurat berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tetapi pada masa kini, di mana lembaga keuangan syariah telah berkembang, maka alasan darurat tidak ada lagi. Ini artinya, dana umat Islam harus masuk ke lembaga – lembaga keuangan syariah yang bebas riba. Manfaat dari mengamalkan ekonomi syari’ah jelas dapat mendatangkan manfaat yang besar terutama bagi umat Islam itu sendiri. Yakni dapat mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya tidak lagi persial. Bila umat Islam masih bergelut dan mengamalkan ekonomi ribawi, berarti keIslamannya belum kaffah, sebab ajaran ekonomi syariah diabaikannya. Juga dalam menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah melalui bank syariah, asuransi syari’ah, reksadana syari’ah, pegadaian syari’ah atau BMT, mendapatkan keuntungan duniawi dan ukhrawi. Keuntungan duniawi berupa keuntungan bagi hasil, keuntungan ukhrawi adalah terbebasnya dari unsur riba yang diharamkan. Selain itu seorang muslim yang mengamalkan ekonomi syariah, mendapatkan pahala, karena telah mengamalkan ajaran Islam dan meninggalkan ribawi. Praktek ekonomi yang  berdasarkan syariah Islam bernilai ibadah, karena telah mengamalkan syari’ah Allah SWT. Disamping itu mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga bank syariah, Asuransi atau BMT, berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat Islam sendiri, berarti pula mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat, sebab dana yang terkumpul di lembaga keuangan syariah itu dapat digunakan ummat Islam itu sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha kaum muslimin. Dan berarti juga mendukung gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab dana yang terkumpul tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk usaha-usaha atau proyek–proyek yang halal. Bank syariah tidak akan mau membiayai usaha-usaha haram, seperti pabrik minuman keras, usaha perjudian, usaha narkoba, hotel yang digunakan untuk kemaksiatan atau tempat hiburan yang bernuansa munkar, seperti cafe-diskotik seronok, dan sebagainya. Dengan hadirnya lembaga-lembaga keuangan syariah, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT), Reksadana Syari’ah, pasar modal syari’ah, pegadaian syari’ah,dll, maka menjadi keharusan bagi umat Islam, untuk hijrah dari sistem ekonomi konvensional ribawi kepada sistem ekonomi syariah dalam rangka menuju Islam yang lengkap dan kaffah. [8]

Dalam acara dialog lintas keimanan di Perth, Australia, belum lama ini telah menghasilkan sejumlah rumusan strategis. Salah satunya menyebutkan bahwa seseorang menjadi radikalis bukan hanya disebabkan pemahaman eksklusif keagamaan, tetapi berkaitan dengan masalah perlakuan tidak adil yang menimpanya, yang mengakibatkan hidupnya miskin dan terpinggirkan.[9] Dialog lintas keimanan itu sebenarnya untuk mengingatkan setiap negara, pemeluk agama, dan bangsa-bangsa di muka bumi bahwa akar problem radikalisme yang berujung ’terorisme’ tidak selalu disebabkan oleh ideologi dan klaim kebenaran (truth claims) agama. Aksi itu juga bisa disebabkan oleh praktik-praktik ketidakadilan ekonomi atau pemarjinalisasian dan ketidakpuasan hidup yang telah menimpa kaum miskin. Seseorang atau suatu komunitas yang semula tidak pernah mengenal dan mempelajari pola berpikir dan cara berlaku radikal, bisa terpancing dan tergiring untuk membentuk sikap dan juga emosionalnya menjadi radikalis. Mereka terdidik oleh suatu suatu keadaan dan produk kebijakan negara atau regulasi politik-ekonomi-hukum yang bersifat represif, disparitas, dan meminggirkan, yang berakibat menjadi sekumpulan manusia yang merasa tidak berguna, tidak berdaya, dan akrab dengan keprihatinan. Mereka itu pada akhirnya menjatuhkan opsi sebagai radikalis atau teroris bukan semata-mata untuk mencari kompensasi atas luka atau penderitaan akibat adanya ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi yang menimpanya dibanding para elit politik dan orang yang dekat kekuasaan. Kondisi inilah yang bisa dimanfaatkan dan ditunggangi pihak-pihak tertentu yang tidak puas sebagai ujung tombak kekacauan, terorisme dan radikalisme. Obsesi untuk memperoleh kembali akan derajat kemanusiaan yang telah terhempaskan sebagai issu yang dapat menarik simpati kaum terpinggirkan ini, dengan cara mencoba menunjukkan bahwa mereka masih mempunyai suatu kekuatan dan kemampuan untuk dapat menciptakan perjuangan fisik, yang juga menghalalkan segala cara dan diagendakan oleh sejarah. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengingatkan, agar perhatian pemerintahan suatu negara tidak "selalu" tertuju pada kelompok tertentu saja. Jangan sampai Negara juga bisa menjadi akar penyebab utama yang mendorong dan "menyuburkan" paham teroris ini. Orang miskin yang digiring itu boleh jadi memang bukan saja untuk dijadikan mesin utama gerakan teroris. Tetapi mereka bisa digunakan sebagai elemen dari jaringan untuk melakukan suatu aktivitas yang sudah dirumuskan atau ditarget pihak tertentu. Aktivitas ini berkategori sebagai perwujudan misi berbahaya (mission imposible). Salah satu misi yang dianggap tidak mungkin bisa dilakukan masyarakat pada umumnya, justru bisa dilakukan orang miskin yang berfikir pendek, dan terpuaskan walau hanya memperoleh imbalan sebungkus nasi saja atau beberapa puluh ribu rupiah saja. Tindakan ini dijadikan opsi bukan semata sebagai bagian dari upaya membebaskan dirinya dari kemiskinan, tetapi juga sebagai kritik radikal untuk mengingatkan kebijakan negara yang telah berlaku tidak adil. Orang miskin tidak selalu diam menerima realitas ekonomi kepahitan (ketidakadilan) yang sedang menimpanya, apalagi ketika ketidakadilan yang dialaminya sudah tergolong ketidakadilan berlapis atau sistemik. Mereka memang tidak cepat bereaksi atas penderitaan yang menimpanya. Tetapi, mereka bisa secepat mungkin menunjukkan kekuatan fisiknya manakala ada kekuatan lain yang "mendidik" cara melampiaskan kekesalan atau mengorganisasikan kemarahannya. Naim Mudlor (2008), menyebut bahwa ketidakadilan berlapis dapat menyulut kemarahan dan kekerasan berlanjut. Siapa saja yang menjadi korban ketidakadilan ekonomi ini umumnya emosinya sulit dikendalikan. Kecenderungannya adalah mencari kompensasi sebagai bagian dari upaya untuk mengembalikan harkat kemanusiaannya. Dia tidak akan tinggal diam dan rela menerima ketidakadilan yang menimpanya, sehingga menjadikan negara dan pejabat pembuat kebijakan sebagai sasaran gerakan radikalnya demi mengembalikan kedaulatan keadilan hukum-sosial-ekonomi. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa ini, ketidakadilan tidak bisa dianggap sebagai "penyakit kronis". Padahal, akibat ketidakadilan yang dimenangkan dan diabsahkan ini mampu menguliti hak-hak fundamental orang miskin. Dari hak fundamental yang tercerabut ini, sebagai penyebab terbentuknya radikalis sampai jadi terorisme.

Ketidakadilan merupakan praktik yang bermodus meminggirkan atau meng-eliminasi hak-hak seseorang dan masyarakat. Dalam ketidakadilan hukum, sosial dan ekonomi, sebenarnya disana terdapat pelanggaran hak-hak masyarakat. Kearogansian, ketakseimbangan, dan kriminalisasi yang kemudian dimenangkan, sementara kebenaran, keadilan, dan persamaan derajat bisa dikalahkan. Orang miskin yang dirampas hak-haknya atau dijauhkan dari kebijakan yang memanusiakan dirinya, tidak dirambahnya kesejahteraan, dan bahkan digiring sekadar menjadikan sekedar ongkos untuk kepentingan pembangunan atau ditempatkan sebagai pelengkap-penderita dari keserakahan segelintir orang yang ’berbaju petugas’. Komunitas dari akar rumput ini tidak bisa disalahkan kalau kemudian menjadikan negara sebagai objek radikalisme atau terorisme. Secara umum tidak ada orang miskin yang jelas-jelas dalam kehidupan nyata kesehariannya, apalagi telah akrab dengan penderitaan atau berbagai bentuk keprihatinan, kemudian menjatuhkan opsi untuk kemudian terlibat dengan gerakan-gerakan yang lebih menderitakan lagi seperti menjadi teroris. Mereka bisa dan mudah tergelincir atau digiring (dididik) menjadi teroris akibat kondisi ketidakberdayaan atau keprihatinan yang dialami yang sejalan dengan adanya ulah negarawan atau pemimpin atau pejabat publik  yang kurang peduli pada ”penderitaan” atau "memiskinkan".

Kondisi yang paradok dan disparitas antara orang miskin dan orang kaya yang punya keleluasaan selama ini masih menghegomoni negeri, yang seringnya meminta lebih banyak atau menjarah negara dengan berbagai kasus korupsi, hal ini bukan datang dari orang miskin, tetapi dari orang kaya atau elemen penyelenggara atau aparat negara itu sendiri, yang dengan rakusnya menggerogoti dan membuat celah-celah serta payung kebijakan untuk semakin dapat memperkayakan dan mensejahterakan orang-orang tertentu saja. Sementara orang miskin terus saja tak berdaya atau termarjinalkan (empowerless).

Jika ingin mencegah berkembangbiaknya radikalis atau teroris yang bersumber dari orang-orang miskin dan teraniaya, sudah saatnyalah elite-elite politik dan penyelenggara negara ini tidak meneruskan sikap dan kebijakan memperkaya diri untuk komunuitas eksklusifnya saja lewat kebijakan yang istimewa. Di sini orang miskin hanya bisa gigit jari, menjadi penonton, tidak bisa menikmati kemajuan yang didengungkan dan yang selalu merana, sementara orang kaya dan yang lagi berkuasa akan semakin makmur di puncak piramida keningratannya.

Sebagaimana perhatian terhadap ilmu syar’i yang diambil dari kitab Al Qur’an dan Sunnah adalah wajib adanya, sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah, yang pemahamannya dapat ditempuh dalam pelajaran di sekolah, perguruan tinggi, masjid-masjid, pengajian-pengajian dan berbagai sarana informasi dan komunikasi. Sebagaimana wajib pula untuk memperhatikan urusan amar ma’ruf dan nahi munkar dan saling menasehati dalam perkara yang hak. Sesungguhnya kebutuhan terus meningkat bahkan keharusan menyeru manusia (agar kembali kepada jalan agamanya dan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar). Sekarang banyak waktu telah berlalu begitu saja dan banyak pekerjaan yang sia-sia. Maka wajib bagi para pemuda muslim untuk berbaik sangka kepada ulama pewaris Nabi dan mengambil ilmu dan fatwa yang baik dan benar-benar lurus. Hendaklah diketahui bahwa termasuk sebagian dari apa yang diusahakan oleh musuh-musuh agama ini (Islam) adalah bisa menumbuhkan benih-benih perselisihan, terutama antar pemuda Islam, antar kelompok dengan ulamanya, dan antara mereka dengan pemerintahnya, hingga kekuatan Islam melemah, sehingga mudah bagi musuh (setan) menguasai mereka, maka wajiblah semuanya untuk mewaspadai hal ini.

Ummat Islam masa Nabi SAW bersatu dan sejahtera. Namun telah berabad pula Islam terpecah-belah, dikuasai oleh peperangan, kebencian, ketidakadilan dan hal-hal yang mencerai beraikan mereka. Demikian pula mereka telah diliputi kejahilan, dikuasai fanatisme kesukuan dan banyak orang yang telah kembali kepada kesyirikan serta melaksanaan hukum rimba, yang mana  kuat akan memangsa yang lemah. Kini diperlukan adalah bisa menghadirkan pemimpin yang mampu untuk menyatukan ummat di bawah bendera tauhid, hingga tersebarlah keamanan, kenyamanan dan kemakmuran, berkembangnya ilmu pengetahuan dan keagamaan untuk menyingkap kegelapan, kejahilan sampai tersebar pula persaudaraan Islam yang dibangun di atas tauhid kepada Allah dan berjalan di atas petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (pewarisnya).

Para pemuda umumnya memiliki hubungan yang kokoh dengan para ulama dan pemimpin. Mereka ini ibarat satu jama’ah dan tidak berkelompok-kelompok, satu manhaj (jalan) dan terbagi-bagi menjadi beberapa manhaj, mereka berada dalam kondisi persatuan yang kuat yang jauh dari sikap guluw (berlebih-lebihan) dan sikap tafrith (menggampangkan / meremehkan). Ungkapan di atas sangat jelas pada pelajaran yang menanamkan prinsip yang wasath (menengah) ini merujuk Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang difirmankan Allah: ”Dan demikianlah Kami jadikan kamu sebagai ummat yang wasath” (QS. Al Baqarah: 143). Artinya, wasath yang adil dan terpilih di antara ummat untuk menghindari perpecahan. Sehingga keseluruhannya menjadi contoh dalam menempuh jalan yang menengah ini, antara yang melampaui batas dan yang cenderung melecehkan.

Pada akhir zaman ini, telah bermunculan berbagai suara dan tentang tulisan kebebasan serta hak asazi manusia, berbagai seminar yang mengajak orang-orang untuk berpikiran pendek atau pun berbelit, juga cenderung kepada pembentukan partai-partai dan kelompok-kelompok kecil yang bisa merapuhkan tonggak-tonggak kekuatan persatuan ummat, ada yang mengajak kepada pemisahan diri dari jama’ah yang haq dan bergabung dalam jama’ah hizbiyyah yang sempit dan mengambil jalan pintas, ada yang  mengajak kepada sikap ekstremisme dan melampaui batas,  juga ada melakukan berbagai cara yang jitu dan sampai pada penipuan, sehingga mengakibatkan keretakan dan perpecahan.  Mereka berupaya menjauhkan generasi muda dari ilmu-ilmu agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ada yang menyibukkan mereka semua dengan nasyid-nasyid yang dapat menimbulkan semangat tertentu dan menyebarkannya kemana-mana, melalui media informasi dan komunikasi yang bisa dibaca, diakses, dilihat dan didengar.

Setelah ada penjelasan dan keterangan tentang sebab-sebab timbulnya pemikiran negatif yang menyusup ke dalam agama dan ummat muslim, maka ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab, yaitu bagaimanakah cara membentengi pemuda muslim dari pemikiran ini? Untuk membendung bahaya pemikiran takfir ini, maka sepatutnya baik secara individu maupun bersamaan seluruh muslim untuk menempuh beberapa langkah sebagai berikut:

1.   Mengajak generasi muda kita agar memegang teguh Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah serta kembali kepada keduanya dalam segala urusan, Allah ta’ala berfirman : “Dan perpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai”(QS. Ali Imran : 103). Dan Allah berfirman :“Dan apa saja yang kamu perselisikan tentangnya maka hukumnya diserahkan kepada Allah” (QS. Asy Syura : 10). Dengan demikian maka berpegang teguh pada kitab Allah adalah benteng dan sandaran yang kokoh, yang dengannya Allah memelihara dari kejatuhan kepada lembah kebinasaan.

2.   Penekanan pada pemahaman Al Qur’an dan Sunnah sejalan dengan pemahaman salafush shalih, hal ini tidak dapat terwujud terkecuali jika kaum muslimin memahami agama mereka melalui para ulama rabbaniyyin yang senantiasa berupaya membersihkan diri dan melaksanakan perintah Allah dan Sunnah Rasulullah dari perubahan yang dilakukan oleh orang –orang yang melampaui batas terhadap kitab Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Tanyakanlah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui”(QS. An Nahl : 43). Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri diantara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil amri)” (QS. An-Nisaa’: 83)


3. Menjauhi tempat-tempat yang menjadi sumber fitnah untuk memelihara diri dari kejahatan fitnah tersebut dan pengaruhnya yang buruk, Allah Ta’ala berfirman : “Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dhalim saja di antara kamu“ (QS. Al Anfaal : 25). Yang demikian, dilakukan dengan menyegerakan diri untuk beramal shaleh di jalan Allah agar terpelihara hamba dari serangan fitnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segeralah kalian beramal sebelum datangnya berbegai fitnah yang berurutan ibarat kegelapan malam, yang mana seseorang di sore hari dia beriman dan di pagi hari dia telah menjadi kafir atau di pagi dia beriman dan di sore hari dia telah menjadi kafir, dia menjual agamanya dengan kesenangan dunia”. Dan dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah bersabda: ”Akan terjadi berbagai fitnah, orang yang duduk (yang menjauhinya) lebih baik dari pada orang yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik dari pada orang yang berjalan, orang yang berjalan lebih baik daripada orang berlari dan barang siapa yang mendekatinya akan dibinasakannya, barang siapa mendapat tempat perlindungan hendaklah ia berlindung padanya” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

4.   Bersungguh-sungguh dalam beribadah dan taqwa kepada Allah Azza wa Jalla dengan menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya kerena itulah jalan keselamatan dari segala sesuatu yang dibenci, Allah Ta’ala berfirman : “Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah Dia akan menjadikan urusannya mudah” (QS. At-Tahrim : 4). Dan Allah berfirman: “Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar” (QS At-Tahrim : 3). Dengan demikian bertaqwa kepada Allah Ta’ala, istiqamah di atas syari’at-Nya dan mengamalkan berbagai amalan yang diridhai-Nya merupakan sebab bagi datangnya setiap keberuntungan dan keselamatan di dunia dan di akherat.

5.   Membendung dan melenyapkan segala fenomena kemaksiatan karena sesungguhnya tidaklah kaum muslimin akan ditimpa berbagai fitnah dan cobaan, kejelekan dan perbedaan kecuali hanyalah bersumber dari menyebarnya kemaksiatan dan kemungkaran, dan apa-apa yang menimpa mereka berupa musibah, tiada lain kecuali disebabkan karena perbuatan-perbuatan tangan mereka sendiri, Allah Ta’ala berfirman : ”Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata:Dari mana datangnya (kekalahan) ini?Katakanlah:Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS.Al-Baqarah : 165). Dan: “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan-tangan manusia” (QS. Ar Ruum : 41)

6.  Menepati dengan teguh pemahaman perihal ketaatan kepada Allah dan Rasul serta pemimpin yang mengurusi urusan kaum muslimin di dalam hal yang ma’ruf, Allah ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan para pemimpin kamu” (QS. An-Nisa' : 59). Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha bagi kamu tiga hal dan Dia murka bagi kamu tiga hal, Dia ridha bagi kamu untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, berpegang teguh kepada tali agama-Nya semuanya dan tidak bercerai berai dan agar kamu menasihati pemimpin yang diangkat oleh Allah untuk mengurusi urusan kamu”. Dan Nabi SAW bersabda: ”Ada tiga hal yang mana hati seorang muslim tidak akan dengki terhadapnya selamanya: mengikhlaskan amal ibadah semata-mata kerena Allah, menasihati para pemimpin dan menetapi jama’ah kaum muslimin”. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Barangsiapa melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dibencinya hendaklah ia bersabar karena sesungguhnya orang yang berpisah dari jama’ah kaum muslimin sejengkal lalu dia meninggal, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah” (Hadits riwayat Bukhari dari hadits Hudzaifah). Lalu Hudzaifah bertanya : “Apakah yang engkau perintahkan wahai Rasulullah jika aku mendapati hal itu? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau menetapi jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka”. Hudzaifah bertanya lagi : “Jika tidak terdapat jama’ah dan Imam pada kaum muslimin ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tinggalkanlah kelompok-kelompok itu semuanya walaupun engkau menggigit pokok pohon hingga kematian menjumpaimu dan engkau dalam keadaan yang demikian itu

7. Senantiasa memohon pertolongan (kepada Allah) dengan berlaku sabar dalam menghadapi berbagai macam kesulitan, karena kesabaran mampu meredakan kebanyakan dari fitnah dan ujian. Allah berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan dengan berlaku sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah : 153). Juga berfirman :“Dan bersabarlah terhadap apa-apa yang menimpamu” (QS. Luqman:17). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Sangat menakjubkan perkara seorang mukmin, sungguh semua urusannya adalah kebaikan baginya, jika dia diberi ujian dengan hal-hal yang menyenangkan dia bersyukur, maka itu merupakan kebaikan baginya, dan jika ia ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan ia bersabar, maka itu merupakan kebaikan baginya. Yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapapun kecuali seorang mukmin”.


8.   Menangani segala urusan dengan lembut, penuh kehati-hatian, tidak tergesa-gesa dalam mengeluarkan hukum dan fatwa, serta jauh dari sikap yang ditimbulkan oleh perasaan spontanitas dan kemarahan. Itulah sikap para Nabi dan Rasul serta para pengikut mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka bertaubat kepada Allah” (QS.Huud : 75). Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Asyaj bin Abdil Qais: ”Bahwasanya dalam dirimu terdapat dua perangai yang keduanya dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu sikap penyantun dan penuh kehati-hatian”.

9.   Menghiasi diri dengan sikap lemah-lembut, baik dalam berinteraksi dan lembut dalam menangani berbagai macam fitnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah sikap lembut itu ada pada suatu (urusan) kecuali akan menghiasi dan tidak pula ia ditinggalkan dari suatu (urusan) kecuali akan memperburuk urusan itu”. Beliau Nabi SAW juga bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala urusan”.

10.  Bersungguh-sungguh dalam menggambarkan berbagai urusan sesuai dengan realitanya, memahami dan mengetahuinya, meneliti kedalamannya serta memperkirakan dampak yang bisa ditimbulkan, apa pula bahayanya. Hukum yang dikenakan sesuai dengan gambaran yang masuk akal, seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Seorang muslim tidak boleh terkecoh dan tertipu dengan sekedar hanya melihat pada fenomena gambaran suatu perkara. Akan tetapi seorang mukmin berkewajiban harus senantiasa dalam keadaan berjaga dan sadar bagi setiap sesuatu yang berputar disekelilingnya, sehingga tidak tertipu oleh ’pakaian’ luarnya atau secara fisik, sementara mereka mempersiapkan untuk bisa mencelakakan, bersama dengan itu diperlukan keteguhan sebagai upaya untuk mencapai pada tujuan dan sasaran dakwah, dan tidak mudah mengalah mundur dari manhaj dijalan Allah yang haq serta tidak tergesa-gesa dalam mengeluarkan hukum atau menjerumuskan diri dalam masalah-masalah syari’at tanpa ilmu, Allah Subhanahu wa Ta’ala’ berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al -Isra : 36).

11. Senantiasa untuk selalu tatsabbut (benar-benar meneliti) dalam segala urusan dan tidak mengambil prinsip terhadap isu-isu, apalagi yang disebarkan melalui sarana-sarana informasi dan jaringan internet yang banyak bertujuan mengusik kaum muslimin serta memecah belah dan melemahkan persatuan muslim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al Hujurat : 6). Dan Nabi SAW bersabda: “Hati-hatilah kalian dari bersangka, karena sesungguhnya persangkaan adalah perkataan yang paling dusta”.

12. Dalam memvonis seseorang dengan istilah yang sering digunakan yang mengatakan seorang itu kafir atau fasiq atau ahlul bid’ah, untuk segera kembali kepada ketentuan syari’at dalam Al-Qur’an dan sunnah serta bersikap waspada dari menghukumi kaum muslimin dengan serampangan tanpa sikap kehati-hatian dan penelitian yang tatsabbut terhadap segala sesuatu yang didengar dan dilihat. Karena sikap serampangan dalam masalah ini mengandung bahaya. Karena haram bagi seorang muslim untuk mengkafirkan saudaranya sesama muslim dengan menunjuk secara individu meskipun dia tetap melaksanakan suatu perbuatan yang mengharuskan menjadi kafir. Namun semua itu harus terpenuhi segala persyaratan pengkafiran dan lenyap segala penghalang (yang menghalang dari kekufuran). Dan Nabi SAW memperingatkan agar waspada dari perbuatan tersebut dengan bersabda : “Tidaklah seseorang menuduh fasiq atau kafir kepada orang lain kecuali tindakan itu akan kembali kepadanya jika tidak demikian keadaan temannya yang dituduh dengan tuduhan tersebut” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dari hadits Abu Dzar). Dari Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapa yang berkata kepada saudaranya : “Wahai kafir”, berarti telah kembali kepada salah satu dari keduanya” (Hadits Riwayat Bukhari - Muslim). Dalam menerangkan makna hadits ini Ibnu Daqiq Al ‘Ied berkata : “Ini merupakan ancaman yang besar bagi siapa saja yang mengkafirkan siapa saja dari kaum muslimin padahal tidak demikian keadaannya, dan perbuatan ini adalah kebinasaan yang besar, telah terjerumus di dalamnya sejumlah besar dari golongan orang-orang mutakallimin dan mereka yang menisbatkan diri kepada sunnah dan Ahlul Hadits tatkala mereka berselisih dalam masalah aqidah, maka merekapun berlebih-lebihan dalam mensikapi orang yang menyelisihi mereka dan menghukumi mereka dengan kekafiran”. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menguatkan pendapat ini dengan mengatakan: “Aku diantara orang yang paling melarang terhadap penisbatan orang tertentu kepada kekafiran, kefasiqan dan kemaksiatan kecuali jika telah diketahui bahwa hujjah telah benar-benar ditegakkan atasnya. Yang mana barang siapa menyelishinya terkadang dia menjadi kafir atau fasiq atau sebagai pelaku kemaksiatan dan sesungguhnya aku menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengampuni umat ini akan kesalahannya dan itu mencakup kesalahan dalam berbagai masalah yang bersifat berita secara perkataan maupun masalah-masalah perbuatan”.

Inilah sebagian perkara yang sepatutnya dipelihara seorang muslim untuk munculnya berbagai fitnah dan merupakan kewajiban bagi seluruh kaum muslimin baik secara individu maupun masyarakat, pemerintah maupun rakyat dan ulama, para penuntut ilmu hendaknya memberantas berbagai fitnah serta mencabutnya dari akar-akarnya masalahnya, apalagi yang sedang terjadi pada saat ini berupa fitnah-fitnah pengkafiran yang telah sampai pada penghalalan darah dan harta benda kaum muslimin serta tindakan pengrusakan terhadap bangunan publik (milik masyarakat, rakyat dan ummat) dengan menggunakan sarana-sarana penghancuran dan peledakan bom. Yang mana mereka juga didukung secara finansial oleh sebagian organisasi gelap atau individu yang tak puas dengan kondisi tertentu dan penulis yang dibayar serta menyebarkan fatwa-fatwa yang menyesatkan, yang tentunya akan menjerumuskan generasi muda, terutama bagi mereka yang belum matang pemikirannya dan menamakan itu semuanya sebagai jihad dan ini adalah termasuk pemberian nama terhadap sesuatu yang tidak semestinya.

Sikap Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, bahwasanya jihad itu disyariatkan dan akan tetap ada hingga hari kiamat, dibelakang setiap pemimpin muslim yang baik maupun yang fasik, dan setiap orang muslim wajib menyiapkan diri untuk berjihad hingga di jalan Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mati sedang dia belum berperang (berjihad / melawan hawa nafsu) dan tidak pernah terdetik dalam dirinya untuk berperang maka dia mati diatas salah satu cabang kemunafikan

Sikap orang-orang yang meremehkan masalah berjihad walupun terpenuhi segala persyaratan dan faktor-faktor penunjangnya, dengan sangkaan bahwa yang tersisa saat ini hanyalah jihad akbar, yang dimaksudkan ini yaitu jihad an-nafs (jihad melawan hawa nafsu). Sebagai manhajnya orang sufi yang suka berdzikir di berbagai negeri dengan berbekal dakwah yang mengatakan  “Kembalilah dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar atau kepada jihad akbar yaitu berjuang melawan hawa nafsu”.

Suatu kelompok yang kemudian menamakan jihad dengan tidak semestinya adalah penganut paham “khawarij” zaman ini. Para pendahulunya telah keluar dari kaum muslimin semenjak terbunuhnya Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib (semoga Allah meridhai keduanya), hingga keluarnya kelompok ini bersama Dajjal, sebagaimana hal ini diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka membaca Al Qur’an yang tidak melampaui kerongkongan mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamai mereka sebagai : “Anjing neraka”.

Maka wajib bagi setiap kaum muslimin sesuai dengan kemampuannya masing-masing untuk menyingkapi dan menerangkan kebaikan, hingga tidak tersebar kerusakan di dunia, karena hal ini adalah termasuk tolong-menolong untuk kebajikan dan tidak untuk perbuatan dosa dan permusuhan. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al Maidah : 3). Hadits yang datangnya dari Rasulullah SAW : “Semoga laknat Allah ditimpakan atas orang yang melindungi orang yang berbuat kejahatan”.

Mudah-mudahan Allah menjaga kita semuanya dari tipu daya musuh (setan), dan wajib bagi kaum muslimin bertaqwa kepada Allah baik secara sembunyi maupun terang-terangan, dan bertaubat dengan jujur dan sebenar-benarnya dari segala dosa. Karena sesungguhnya tiada turun satu bencana melainkan disebabkan dosa yang telah diperbuat oleh hambanya dan tiadalah malapetaka itu akan hilang melainkan dengan adanya taubat.

Begitu banyak karunia yang telah Allah Ta'ala berikan kepada manusia, yaitu ni'matul iman, ni'matul Islam, nikmat sehat dan waktu luang. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : "Ada dua karunia yang banyak hamba Allah melalaikan, yaitu nikmat sehat dan waktu luang". Dan Umar bin Qais juga pernah mengungkapkan bahwa: “Bila engkau mendapatkan kesempatan berbuat baik, lakukanlah kebaikan itu meski sekali, niscaya engkau akan menjadi ahlinya”.

Setiap muslim sebaiknya selalu meningkatkan kualitas dan pengendalian diri serta bertekat untuk selalu lebih baik pada setiap harinya, tiap bulannya dan tiap tahunnya. Dalam riwayat yang dikutip Iman Al-Baihaqi: “Barangsiapa yang hari ininya sama dengan hari kemarinnya maka ia adalah orang tertipu, dan barangsiapa yang hari ininya lebih buruk  dari hari kemarinnya maka ia terkutuk, dan barangsiapa yang tidak pernah mengalami peningkatan maka ia berada dalam kekurangan, sedemikian rupa sehingga mati lebih baik untuknya. Barangsiapa rindu akan surga  maka bersegeralah kepada berbagai jenis kebaikan”. Dengan demikian akan dilakukan evaluasi dan instrospeksi serta perbaikan secara terus menerus, secara berkala untuk mencapai kesuksesan dan tentunya kebahagiaan serta ridha Allah.

Akhirnya memohon dan mendo’a kepadaMu, ya Allah !, semoga dapat memanfaatkan waktu luang dalam keadaan sehat dengan karya yang tiada kesia-siaan serta dapat memperbaiki keadaan kaum muslimin Indonesia. Juga Allah SWT dapat menjauhkan negeri kaum muslimin dari segenap keburukan dan perkara yang dibenci. Semoga Allah melimpahkan taufiq kepada kita semua untuk tetap berpegang teguh dengan agama yang haq ini, tetap konsisten menjalaninya dan meninggalkan apa saja yang bertentangan dengannya, hanya Allah lah penguasa segala galanya. Semoga pula shalawat dan salam diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para shahabat, dan pewaris ilmu Rasulullah serta orang yang beriman dan taqwa (mukmin / mukhsin) yang telah menempuh di jalan-Nya. Amin ya Robal alamin.


[1]  Al Fikrah No.11 Tahun X/08 Rabiul Akhir 1430 H - www.wahdah.or.id

[2]   Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 2, tp, tt, hlm 86
[3] Shiddiqy, Muhammad Nejatullah, Muslim Economic Thinking,  A Survey of Contemporary
       Literature, dalam buku  Studies in Islamic Economics, International Centre for Research in
        Islamic Economics King Abdul Aziz Jeddah  and The Islamic Foundation, United Kingdom, 1976, hlm. 261

[4]    Muslim Economic Thingking, Islamic Fondation United Kingdom, 1976, hal  264
[5] Boulakia, Jean David C., Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist, Journal of Political  Economiy 79 (5) September –October 1971: 1105-1118
[6]   Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Ringkasan dari Bab 3,4 dan 5)
[7] Agustianto, MA,  Materi Khutbah Jum’at, di Mesjid Al-Balagh Kompleks Bulog, 17 April           2006 & Mesjid Al-Ikhwan Depertemen Luar Negeri, 12 Mei 2006
[8] Ibid, Agustianto
[9] Jawa Pos, 31 Oktober 2009..
goesmul@gmail.com
agusmulyadiutomo@yahoo.co.id 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar