Paradigma Seni Lukis Kontemporer dan Beberapa Pendapat
Kekontemporeran
Oleh
Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
goesmul@gmail.com
Pada seni klasik, dapat ditemukan komposisi bentuk
dan isi cerita atau legenda seperti lukisan Monalisa, dimana terdapat spiritual
abad itu tentang “perempuan” yang tidak akan ditemukan pada zaman sesudahnya.
Karena adanya evolusi/difusi kebudayaan maka terjadi perubahan yang disebabkan
oleh lingkungan dan waktu. Seni klasik menjadi seni peralihan yang disebut
“impressionisme”. Pelukis Renoir dan Manet kala itu berprinsip
bahwa “manusia berjarak obyektif dengan barang fisik dan manusia berperasaan
lebih unggul dari benda”. Pada era impresionisme terdapat jarak sebagai batas
yang tak terjembatani antara subjek dengan objek, antara manusia dengan alam.
Kreativitas seniman terus bergulir dan berkembang,
yakni ada yang meninggalkan pola pikir lama dan berkutat untuk menemukan pola
pikir baru. Bermula ditinggalkannya paradigma klasik renaissance ke paradigma baru yaitu impressionisme (permulaan abad 20), lalu expressionisme, abstrak, dadaisme,
kubisme, abstrak ekspressionisme, abstrak formalisme, pop-art, neo-dada,
optic-art, minimalisme, surrealisme dllnya. Semua gaya (isme) yang berasal
dari Barat itu menyebar dan menguasai dunia serta mengkokohkan sebagai seni
modern dunia atau modernisme yang sering disebut “Seni Tinggi” (Advance Guard).
Seni rupa modern Barat mengklaim dunia sebagai ruang
lingkupnya yang berakar pada internasionalisasi ide-ide Barat yang disebut westernisasi, yang kemudian
membangkitkan reaksi dari Negara-negara non-Barat. Munculnya perkembangan arus
utama (mainstream) di pusat-pusat
seni rupa modern yang menyudutkan senirupa di luar Eropa-Amerika dan ditolaknya
standar nilai serta perkembangan perifery
di luar arus utama, dimana seluruh museum dan gallery seni rupa modern di
Amerika menolak karya-karya modern Indonesia dan Thailand. Sebagai reaksi
kejadian ini maka muncullah pameran-pameran internasional ( KIAS ) dari
negara-negara Non-Blok (GNB).
Modernisme pada intinya merupakan suatu keyakinan
akan kemandirian nilai estetika yang harus ditingkatkan secara terus-menerus.
Keyakinan tersebut melahirkan norma-norma kebaharuan, keaslian dan kreativitas.
Seniman dituntut untuk menciptakan kebaruan dan keaslian (original), sehingga
terjadi penolakan-penolakan semenjak tahun 1960-an dan awal 1970-an serta
semakin memuncak pada masa berikutnya.
Pada pertengahan abad ke 20, modernisme dianggap
sebagai suatu beban oleh kaum muda dan mulai ditentang, yang setelah modernisme
disebut post-modernism atau post-mo, maka muncullah paradigma
baru yakni seni kontemporer. Seni Kontemporer memberi terobosan baru
yang sangat bebas dalam pengekspresian emosi seniman dan terasa tanpa beban.
Seni Kontemporer dapat dipandang secara apresiatif
sebagai kegairahan intelektual, setidak-tidaknya menjadi modal bagi tumbuhnya
daya respon dalam menyongsong era baru yaitu post-modern, yang dianggap positif
mengimbangi humanisme dan intelektual daripada kecenderungan dehumanisasi dan
kedangkalan budaya modern yang dimotori ekonomi kapitalis yang transnasional
serta inovasi teknologi yang semakin canggih.
Di Barat tahun 1970-an, muncul suatu reaksi terhadap
idealisme high art (Advance Guard) dan muncul era
post-modern yang menampilkan multivariousness.
Pendekatan pluralistik yang menekankan unity kebersamaan dalam keragaman,
merupakan kesamaan reaksi di arus utama terhadap standar-standar senirupa
internasional sebagai arus baru perkembangan dan pemikiran seni rupa
kontemporer yang lepas dari universalisme; Dan kaburnya batasan seni rupa modern
dari seni rupa kontemporer (Jim Supangkat, 1995). Pada seni kontemporer,
seniman bebas untuk menengok ke masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Dapat
pula mamakai kekayaan budaya sendiri dan dapat pula memanfaatkan serta meminjam
kekayaan budaya etnis lain sehingga pilihannya tak terbatas banyaknya. Juga
tiada lagi “kebenaran tunggal” dan muncul pluralisme. Inilah paradigma baru seni kontemporer yang
mengandung makna netral dari pengertian seni masa kini. Walaupun situasinya
modern disemangati Garde Depan dengan merebaknya happening art , performance art
dan seni instalasi . Juga atas
kehadiran isu-isu multicultural, gender, sosial, bangkitnya
spiritualisme, periferi dan lainnya
(Asmodjo, 1995).
Post-modernism atau pasca-modernisme yang bermula
dari gerakan seni masa kini telah bergeser menjadi gerakan budaya. Pergeseran
ini dimungkinkan bukan hanya disebabkan basis material kebudayaan (difusi
kebudayaan) seperti dari manufactur
ke machinofactur atau reproduksi,
dari teknologi industri ke teknologi informasi, dari tata sosial produksi ke
reproduksi; Tetapi juga karena para filsuf mengumumkan “kematian zaman
modern” untuk menegakkan “unity” kesepakatan dalam kebersamaan
sebagai dasar pembenaran yang plural sebagai paradigma baru serta wacana
seni kontemporer.
Untuk memperoleh kejelasan tentang seni kontemporer,
penulis membahas mulai dari seni modern, kemudian bagaimana seni modern akan
keluar dari legenda yang menyatakan bahwa seni yang merupakan ekspresi dunia
obyektif (fisik) tersebut kemudian masuk ke dalam seni kontemporer atau post-mo.
Seni
Modern
Kehidupan manusia memiliki dua pijakan dasar yang
kuat, yakni pertama ada dunia (world)
dan kedua ada sikap dasar (basic attitude).
Pada sikap dasar terdapat tiga jenis interest
yaitu obyectivating (pengobyektifan),
expressive (ungkapan) dan norma comformative (penyesuaian norma). Dunia
manusiapun terdiri dari tiga adalah dunia obyektif, dunia sosial dan dunia
subyektif (Emmanuel S, 1993). Seni dalam modernitas hanya ditemukan dalam dunia
obyektif dan dunia subyektif. Namun estetika dalam modernisme sebagai ekspresi
hanya akan ditemukan dalam bidang yang amat khusus umpamanya erotisme. Kesenian modern bukanlah
produk sosial, artinya sikap atas rasionalitas ekspresif, sedangkan dunianya
adalah dunia obyektif.
Diawali oleh Cezanne, dimana jarak antara
manusia dan alam dibatasi dengan cara si subyek menguasai obyek dengan
mengekspresikannya. Dunia obyektif dan subyektif yang terpisah dicoba disatukan
walaupun dengan cara menguasai objek. Karena itu dalam seni modern unsur yang
subyektif adalah sesuatu yang kurang baik dan tidak alamiah, sehingga Cezanne bukan melukiskan perasaannya tetapi melukis
objek di luar dirinya. Objek ditangkap bentuk-bentuk murninya (kubistis) atau menggambar motif dari
suatu struktur (geometris, antropometris, anatomis, dll). Cezanne bukan
mengekpresikan perasaannya, tetapi menganalisa sesuatu untuk diambil bentuk
dasarnya, lalu dikeluarkan lagi ke atas kanvasnya.
Seni modern adalah upaya menangkap gejala alam
secara obyektif dan ekspresi adalah pewujud (realiser) serta pengantara
(moduler) dari konsep yang obyektif itu. Ini berarti bahwa bukan perasaan yang
mau disampaikan, tapi konsep obyektif mengenai alamlah yang diwujudkan, tanpa
perspektif, tanpa efek cahaya, tapi struktur atau motif yang menetap yang
hendak ditangkap dan diungkapkan. Dalam seni modern unsur perasaan mulai
ditinggalkan dan yang tersisa adalah analisa. Menurut Habermas adalah
rasionalitas yang dikuasai oleh dunia obyektif. Puncak seni modern adalah
distorsi dari bentuk atau mencari bentuk yang murni seperti lukisan Pablo
Picasso, Mondrian dan lainnya. Dari sini muncul ilmu baru seni rupa
yang disebut “distorsi” atau perubahan bentuk.
Pada
tahun 1938, pikiran S. Soedjojono (masa PERSAGI), pada intinya
menyatakan bahwa seni adalah otonom, dengan semboyannya “ seni harus berjiwa
nampak”. Gaya ekspessionisme waktu itu sangat diyakini memiliki nilai
universal. Universalitas nilai estetik, individualisme, originalitas, menekuni
“satu gaya” telah menjadi ciri utama modernisme yang membawa pembaharuan
dengan istilah humanisme universal. Modernisme di Indonesia kemudian
dikembangkan oleh Seni Rupa ITB dengan gaya kubistis,
lalu berkembang kearah abstrak formalisme yang pada zaman Lekra
ditentang dimana seni harus dapat dimanfaatkan sebagai sarana sosial dan
politik, perlawanan cultural yang disebut “Seni Realisme Sosial”. Prinsipnya
seni tidak otonom, melainkan sebagai alat/propaganda, dipakai melakukan
perbuatan sosial sebagai pengaruh marxism
Uni Soviet.
Seni Kontemporer
Berdasarkan kodrat evolusi dan difusi kebudayaan,
maka muncullah gerakan baru dalam seni rupa, yakni surrealis. Pada seni modern, seniman menangkap objek, maka pada
seni surrealis seniman tidak lagi
melihat objek, tetapi larut dan tenggelam ke dalam atau berada di bawah/atas
objek itu. Seringkali dikatakan bahwa seniman menggambarkan bentuk-bentuk di
atas kenyataan (surrealite). Dunia
semacam ini dipengaruhi oleh psikoanalisa.
Lukisan Dali yang terkenal seperti “Perjamuan Terakhir”, yang
menjungkirbalikkan konsep perjamuan terakhir dalam agama Kristen. Demikian pula
dengan lukisan “Jam Yang Meleleh”, yakni persoalan ruang dan waktu yang
ditembus gagasan surrealis. Tahapan
gaya surrealis ini memacu munculnya
seni pasca-modern atau post-mo atau
seni kontemporer.
Tokoh seni rupa pasca-modern yang kondang adalah Christo.
Pada seni ini, jarak antara objek dan subjek tidak ada lagi. Masalah estetika
tidak terlalu diperhitungkan, sebaliknya yang dianggap penting adalam mampu
tidaknya tubuh, perasaan dan seluruh karya itu berada dalam totalitas. Artinya,
apakah seluruh karya itu dapat secara utuh berkomunikasi dengan pengamat, bukan
dalam arti berkomunikasi secara konseptual melainkan secara langsung. Dengan
kata lain terjadi komunikasi antara karya dengan pengamatnya. Misalnya
komunikasi dapat dirasakan ketika Christo (1985) menutupi jembatan Pont
Neuf di Pusat Kota Paris dengan kain. Juga karya Cristo yang mutakhir yang
berjudul “The Gates”, tahun 2005, dengan membungkus sebagian Central Park,
New York yang terbentang sejauh 36 kilometer dan menghabiskan dana sebesar 20
Juta dollar AS yang hanya dipamerkan selama 16 hari (sejak 12 Pebruari 2005).
Karya semacam ini, dapat berkomunikasi langsung dan itu bukan berarti kesenian
dalam arti modern (ungkapan atas objek fisik), tetapi suatu karya yang dengan
manusianya bisa saling tukar menukar perasaan. Christo tidak
bersibuk-sibuk dengan keindahan, tetapi sangat menguras tenaga dan dana demi
komunikasi. Ia tidak lagi mewujudkan objek secara obyektif, tapi justru
menjamin komunikasi dengan lingkungan fisik maupun dengan manusia. Karya
tersebut bukanlah objek saja, tetapi sekaligus subjek dan objeknya, dianggap
dapat “berbicara” dan “berhubungan” bahkan dapat dikembangkan dalam suatu
perdebatan. Keindahan adalah rasa gembira yang dapat ditangkap, dimana
seseorang secara fisik/perasaan menyentuh kebenaran. Yang dipentingkan adalah bahasa
visual tidak dibatasi oleh konsep atau ketika teknologi telah sampai kepada
tingkat yang paling tinggi. Dalam komunikasi global, maka dalam ruang gelappun
masih bisa berkomunikasi, dalam jiwa masih terdapat gerakan kembali ke alam
nyata dan konkrit.
Beberapa
unsur pokok Post-mo sebagai berikut:
1. Pasca-modernitas adalah sikap atas keadaan yang
berarti, perasaan terhimpit terhadap mitologi, legenda dll., atau tidak terlalu
sreg dengan keadaan dulu (pra-modern) maupun sekarang (modern). Dalam
modernitas diganti dengan peran yang besar dari Negara, teknologi dan pasar.
2. Karena tidak yakin dengan rasionalitas modern,
maka post-mo memberi tekanan yang besar bukan pada rasionalitas tetapi pada
kepekaan, bukan pada fungsi tetapi pada khayal/mimpi, bukan pada konsep tapi
pada bentuk visual (fisik), bukan pada objek tapi pada keintiman.
3. Yang
khas pada post-mo adalah sikap untuk
tidak melihat masalah sosial pada hirarki, melainkan melihat bahwa semua
masalah berada pada tempatnya masing-masing. Norma akhir pada pasca-modern
bukan lagi pada benar/salah tetapi pada adil/tidak adilnya dan bebas/terhimpit.
Pada era modern, hirarki terjadi antara orang yang produktif dan yang tidak
produktif. Namun pasca-modern atau kontemporer hirarki dan legitimasi
ditinggalkan atau tidak diperdulikan lagi.
Menurut Helmi Y. Haska,
pasca-modernism adalah suatu keadaan yang terganggu, seperti karya pelukis
Jerman: Yoseph Buys dengan penulis Amerika Richad Barthelma. Kaum
modernis yang dianut teguh hingga Perang Dunia II menandaskan bahwa seni dapat
mengurangi ketegangan dalam hidup dan menjadi anggapan kesenian peradaban Barat
(Eropa). Kaum modernis seperti Picasso, Matisse, Yeats, James Joyce,
Stavinsky dll, menyadari dan menghadapi unsur-unsur yang saling
bertentangan, yang kemudian kutub-kutub tersebut mereka seimbangkan dalam seni.
Tetapi setelah modernisme tergelincir ke dalam pasca-modernism mereka putus
asa, hasratpun hilang, seperti tidak ada kemampuan untuk melampaui
jurang-jurang itu. Seniman modernis menyadari bahwa lewat karya seni
menciptakan keseimbangan baru antara diri dan seni, telah dilindas oleh kaum post-mo. Landasan dasar yang sering
dikutuk Barat adalah jarak, keenganan, kedalaman, esensialisme,
antrophomorphisme, humanisme, analogi dan terutama penglihatan.
Lukisan Cat Air Karya Agus Mulyadi Utomo, Stasun KA Yogyakarta, 1975
Perkembangan
Seni Rupa di Indonesia
Aliran-aliran seni dunia atau isme-isme yang masuk
Indonesia tidak pernah menghadirkan pemahaman yang komprehensip, hanya dapat
menangkap siluet dan bayang-bayangnya saja. Pada masa 1930-an masuk aliran romantisme di bidang sastra sementara di
bidang seni rupa masuk aliran realisme dan
naturalisme. Sedangkan marxisme dan realisme sosial masuk pada 1950-an dan awal 1960-an. Bersamaan
dengan realisme dan naturalisme, masuk pula ekspressionisme, surrealisme, kubisme dan
abstrakisme, yaitu suatu aliran yang
sifatnya individual, eksistensialis dan humanis universal.
Masuknya post-modernisme
membawa tiupan angin besar pada dekade 1980-an dan sampai kini belum memperoleh
pemahaman yang konkrit/jelas. Semangatnya sudah tampak sejak tahun 1970-an
dikumandangkan melalui Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (SERABI) tahun
1975, dimana saat itu post-modernisme
belum disebut-sebut. Kebudayaan Indonesia sebenarnya menyimpan potensi post-mo yang tercermin dalam konsep Bhineka
Tunggal Ika, dimana salah satu ciri post-mo
adalah pluralitas budaya
(kebinekaan), semangat pluralitas dan
menghargai perbedaan / yang lain secara penuh dan menolak system berfikir
total. Pada hubungan internasional, post-modern
Indonesia adalah kepekaan untuk tidak mengklaim gaya berfikir Barat sebagai
yang berlaku universal, melainkan hanya sebagai salah satu budaya yang
berkembang sekarang, sejajar dengan budaya lain dan hak hidupnya harus
dihargai. Karenanya post-modern
sebagai fenomena budaya yang tampil dalam arsitektur, sastra, filsafat
kontemporer, seni lukis, seni patung , seni kriya dan senirupa lainnya,
ditandai dalam gaya kubisme yang
akhirnya berkembang menuju abstrak
formalisme. Sedangkan ASRI waktu itu (kini ISI Yogyakarta, sebelumnya STSRI
“ASRI”) mengembangkan naturalisme dan
realisme. Pada akhirnya setelah
munculnya SERABI keduanya bersatu dan menelorkan post-modernisme atau seni kontemporer. Kurikulum terus
bergerak sesuai dengan kemajuan zaman, sementara isme-isme belum secara utuh
dipahami, maka untuk penyesuaian dan jalan pintas kebanyakan mahasiswa
mengikuti post- mo yang banyak
memberi kemudahan dan harapan, yang tidak banyak memberi beban seperti masa
sebelumnya.
Indonesia adalah bagian dari Negara –negara yang
bernasib menjadi objek serbuan berbagai gelombang kebudayaan pada semua tahap
serta sekaligus. Dan ketika post-modernism
atau seni kontemporer hadir,
pergumulan seni rupa Indonesia untuk menjadi modern saja belum tuntas. Begitu
saratnya kontradiksi dalam kebudayaan Indonesia, sehingga unsur-unsur
tradisional menghambat proses modernisasi dan sebaliknya unsur modern disikapi
secara tradisional.
Post-mo meyakini kebenaran yang plural yang tidak menutupi diri atas
kebenaran yang dimunculkan lewat peradaban non-Barat, maka prospek
perjuangannya diharapkan mampu menghadapi post-mo
dunia, karena bukan menyoalkan baik atau jelek, setuju atau tidak setuju,
melainkan Indonesia menyikapinya untuk kepentingan sendiri dalam kerangka
kebudayaan dan peradaban Indonesia.
Kehadiran post-mo
adalah jawaban dari kejenuhan isme-isme yang ada sebelumnya. Konsep “asal
beda” atau “kebaruan yang terus menerus” adalah konsep modernisme yang ditolak
oleh post-mo atau kontemporer.
Semangat post-mo sebenarnya cocok
untuk kondisi Indonesia sesuai konsep Bhineka Tunggal Ikanya. Namun demikian ,
kaum muda yang membawa semangat post-mo,
diharapkan memiliki kemampuan selektif, kematangan berfikir (intelektualitas)
dan kematangan mental serta kritis terhadap aspek-aspek yang dihadapi secara
actual. Perkembangan IPTEK’S, teknologi dan media informasi abad ini
memperlihatkan transformasi kultur yang begitu cepat. Perguruan tinggi seni
rupa di Indonesia merespon pengembangan post-mo
ini..
Jim Supangkat, 13/07/2008, mensinyalir belakangan ini beredar cukup
luas pertanyaan ”apakah seni kontemporer”
yang punya tujuan praktis menemukan pengertiannya yang bisa digunakan untuk
mengenali ciri- cirinya pada karya seni (rupa). Keinginan itu tidak akan mudah
terpenuhi karena ruang makna ”seni kontemporer” kosong. Isi ruang makna ini
jejak-jejak pemikiran modern yang sudah tidak dipercayai lagi tetapi menjadi
pangkal persoalan seni kontemporer. Karena itu, upaya terbaik memahami seni
kontemporer adalah mengenali jejak-jejak pemikiran modern—berkembang sampai
pertengahan abad ke-20—pada ruang maknanya.
Pemikiran modern itu percaya dunia
modern bersifat homogen. Tidak terpecah-pecah oleh kebudayaan etnik dan
tradisi-tradisi. Dalam pemikiran modern, dunia yang terpecah-pecah ini
mencerminkan dunia masa lalu. Dipengaruhi keyakinan itu, persoalan tradisi dan
budaya tidak populer pada pemikiran modern. Para pendukungnya tidak suka
menggunakan istilah ”kebudayaan modern” walau tidak sampai menyebut istilah ini
salah.
Dalam teori-teori budaya ada
keyakinan seni adalah tanda penting budaya. Dalam pemikiran modern pemahaman
ini tersingkir. Bila seni dikaitkan dengan budaya akan muncul bermacam-macam
seni mengikuti keragaman tradisi. Pada pemikiran modern, hanya ada satu seni di
dunia modern yang homogen, yaitu seni modern. Premis-premis seni modern ini
muncul di Eropa pada abad ke-19 melalui pemikiran filosof-filosof Kant dan Hegel. Sejumlah
pandangan melihatnya sebagai terusan perkembangan seni pada kebudayaan Barat.
Namun lebih banyak yang melihatnya sebagai pemikiran yang muncul bersama
pemikiran modern lain—kebanyakan muncul di Eropa juga.
Seni
modern itu berkaitan dengan dunia pemikiran. Seperti dikemukakan Hegel, muara dari
semua ekspresi seni adalah filsafat. Mencerminkan pemikiran modern yang
mengutamakan kemajuan, seni modern percaya juga pada keperintisan dan seni
diniscayakan berjalan mendahului zamannya. Karena itu, seni modern disebut juga seni avant garde. Demi terobosan seniman
berada di luar zamannya, di luar masyarakat dan di luar semua konvensi sosial.
Dipengaruhi
materialisme — yang mendasari seluruh pemikiran modern — seni modern
mengutamakan kekonkretan (dalam upaya memahami ”the real”). Karena itu, manifestasi seni
modern yang utama adalah seni rupa (membawa sifat konkret). Persepsi ini
membuat seni rupa menjadi ”jantung” seni modern. Pemikiran seni terkonsentrasi
di dunia seni rupa ini dan sejarah seni rupa modern dipercaya mencerminkan
sejarah seni modern. Infrastruktur seni modern yang paling kompleks, megah, dan
mahal — museum-museum — adalah infrastruktur seni rupa.
Seni
modern dekat juga dengan ilmu pengetahuan yang menandai kejayaan dunia modern.
Ilmu pengetahuan menggali dunia material dengan kepercayaan pada obyektivitas. Seni modern adalah seni yang diarahkan
mencari obyektivitas (mencari the
real presence of being). Seperti ilmu pengetahuan, seni modern
mengenal otoritas yaitu pranata (lembaga dan orang-orang) yang dipercaya paling
menguasai ”ilmu seni” dan mampu menentukan cutting edge perkembangan yang
menandakan terobosan baru. Persepsi ini membuat seni modern merupakan bagian infrastruktur seni yang dikendalikan
otoritas seni dan bukan bagian dari budaya apalagi masyarakat (kebanyakan).
Pemikiran
modern itu bertahan cuma enam dekade pada abad ke-20. Sesudah itu muncul
tanda-tanda keruntuhan. Salah satu tanda
penting keruntuhan ini adalah gagalnya proyek besar konstruktivisme menghimpun semua pemikiran
dalam perkembangan seabad untuk menemukan esensi yang bisa menunjukkan
hukum-hukum alam dan kehidupan (universal
laws). Seperti kisah keruntuhan menara Babil, upaya mengatasi hambatan bahasa dalam penghimpunan pemikiran
seabad itu goyah ketika dikritik melalui gramatologi Derrida,
khususnya tentang pengertian ”presence”.
Kritik ini seperti membuka kotak pandora berbagai ”keburukan” pemikiran modern
tanpa bisa dicegah muncul ke permukaan.
Pada
pergolakan itu, pemikiran budaya muncul
ke permukaan. Pangkalnya adalah sikap kritis melihat pengabaian budaya dan
masyarakat pada pemikiran modern yang membuat dunia modern yang dibayangkan
sama sekali bukan representasi kehidupan (modern) masa kini. Dari kritik ini
muncul pemikiran baru yang berpangkal pada pertanyaan, lalu apakah ”budaya masa kini” (contemporary culture ).
Pemikiran seni dipengaruhi pergolakan itu dan memunculkan perubahan besar dalam
memahami seni. Berkembang kesadaran
bahwa seni bukan bagian dari infrastruktur seni yang dikendalikan otoritas
seni, tetapi bagian dari budaya. Seniman tidak berada di luar masyarakat
dan karena itu ekspresi seni berkaitan dengan budaya yang sedang dipersoalkan
yaitu contemporary culture.
Dari sinilah muncul istilah ”seni
kontemporer” atau contemporary
art.
Dua
pemikiran berlawanan arah bisa disebutkan sebagai agenda pencarian makna seni
kontemporer. Di satu sisi, bagaimana menempatkan budaya yang mencerminkan
tradisi dan keragaman ke lingkup budaya kontemporer. Di sisi lain, bagaimana
melihat globalisasi yang melahirkan keseragaman — seperti prediksi pemikiran
modern — dalam budaya kontemporer.
Di
dunia tari, teater, dan musik yang diabaikan pemikiran seni modern (sastra
senantiasa dikaji terpisah) pemahaman tentang keragaman budaya tidak
menimbulkan pergolakan. Sejak dekade 1960 muncul upaya mencampurkan estetik
modern dan estetik tradisi-tradisi. Maka di dunia tari, teater, dan musik,
gejala seni kontemporer sudah bisa dibaca.
Pencapaian itu tidak terlihat di dunia
seni rupa yang di masa lalu merupakan ”jantung” pemikiran seni modern. Terjadi
upaya sulit melepaskan pemahaman seni yang sudah terstruktur. Pergolakan
pemikiran yang terjadi tidak bisa melepaskan diri dari epistemologi Cartesian
(mendasari pemikiran modern) yang bipolar.
Kendati terkesan paling heboh, gejala di dunia seni rupa ini telah memacetkan
pemikiran seni kontemporer dan membuat ruang makna dari ”seni kontemporer”
dianggap masih kosong.
Ketika pertanyaan, apakah seni
kontemporer meluas di Tanah Air, kehebohan di dunia seni rupa yang mencuri
perhatian itu telah membangun persangkaan bahwa persoalan seni kontemporer
adalah persoalan seni rupa. Di dunia seni rupa Indonesia, contemporary art, dibaca,
dipahami, dan dikaji sebagai ”seni rupa
kontemporer”, yang lepas dari ”seni kontemporer”. Terjadi distorsi
pemahaman yang mengandung kebingungan karena tidak umum diketahui bahwa istilah
”art” dalam
bahasa Inggris berarti ”seni” dan sekaligus ”seni rupa”, sedang dalam bahasa
Indonesia keduanya terpisah dengan jelas.
Pengertian
”art” dalam
bahasa Inggris itu mencerminkan persepsi seni pada pemikiran modern yang sulit
dipahami dan membuat peluasan seni modern ke tingkat dunia menjadi gagal karena
membingungkan. Di dunia seni rupa Indonesia, muncul persoalan seni dunia yang
mutakhir, kebingungan ini merambat ke pemahaman seni kontemporer.
Seni
kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh oleh dampak
modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya
adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Jadi seni kontemporer adalah seni yang
tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman
sekarang. Lukisan atau produk kriya kontemporer adalah karya yang secara
tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan yang
tidak lagi terikat pada Rennaissance.
Begitu pula dengan tarian, tampak lebih kreatif dan modern.
Kata “kontemporer” yang berasal dari
kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu). Sehingga menegaskan bahwa seni
kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang
sedang dilalui. Atau pendapat yang mengatakan bahwa “seni rupa kontemporer
adalah seni yang melawan tradisi modernisme Barat”. Ini sebagai pengembangan
dari wacana post-modern
dan post-colonialism
yang berusaha membangkitkan wacana pemunculan indegenous art. Atau khasanah seni lokal yang
menjadi tempat tinggal (negara) para seniman.
Secara awam seni
kontemporer bisa diartikan sebagai berikut: Tiadanya sekat antara berbagai
disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung, grafis,
kriya, teater, tari, musik, anarki, omong kosong, hingga aksi politik. Punya
gairah dan nafsu ”moralistik” yang berkaitan dengan matra sosial dan politik
sebagai tesis. Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan
komoditas pewacanaan, sebagai aktualitas berita yang fashionable.
Kaitan
seni kontemporer dan seni post-modern,
menurut pandangan Yasraf
Amir Piliang, pemerhati seni, pengertian seni kontemporer
adalah seni yang dibuat masa kini, jadi berkaitan dengan waktu. Sedangkan seni post-modern adalah seni yang
mengumpulkan idiom-idiom baru. Lebih jelasnya dikatakan bahwa tidak semua seni
masa kini (kontemporer) itu bisa dikategorikan sebagai seni post-modern, seni post-modern sendiri di
satu sisi memberi pengertian, memungut masa lalu tetapi di sisi lain juga
melompat kedepan (bersifat futuris).
Perkembangan
seni kontemporer dalam seni rupa Indonesia, dimana istilah kontemporer ini
muncul awal 70-an, ketika Gregorius
Sidharta menggunakan istilah kontemporer untuk menamai pameran
seni patung pada waktu itu. Suwarno
Wisetrotomo, seorang pengamat seni rupa, berpendapat bahwa seni
rupa kontemporer pada konsep dasar adalah upaya pembebasan dari kontrak-kontrak
penilaian yang sudah baku atau mungkin dianggap usang.
Konsep
modernisasi telah merambah semua bidang seni ke arah kontemporer ini. Paling
menyolok terlihat di bidang tari dan seni lukis. Seni tari tradisional mulai
tersisih dari acara-acara televisi dan hanya ada di acara yang bersifat upacara
atau seremonial saja. Seperti diungkapkan Yoserizal Zen, Humas Pasar Tari
Kontemporer di Pusat Latihan Tari (PLT), Sanggar Laksamana - Pekanbaru yang
tidak hanya diminati para koreografer tari dalam negeri tetapi juga koreografer
tari asing yang berasal dari luar negeri. Sebanyak 18 koreografer tari baik
dari dalam maupun luar negeri menyatakan siap unjuk kebolehan dalam pasar tari
kontemporer tersebut.
Lukisan
kontemporer semakin melejit seiring dengan meningkatnya konsep hunian
minimalis, terutama di kota-kota besar. Seperti diungkapkan oleh seniman lukis
kontemporer Saptoadi
Nugroho dari galeri Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta, ”Lukisan kontemporer
semakin diminati seiring dengan merebaknya konsep perumahan minimalis terutama
di kota-kota besar. Akan sulit diterima bila kita memasang lukisan pemandangan,
misalnya sedangkan interior ruangannya berkonsep modern”. Hal yang senada
diungkap oleh kolektor lukisan kontemporer, ”Saya mengoleksi lukisan karena
mencintai karya seni. Kalaupun nilainya naik, itu bonus,” kata Oei Hong Djien,
kolektor dan kurator lukisan ternama dari Magelang. Begitu juga Biantoro Santoso,
kolektor lukisan sekaligus pemilik Nadi Gallery. ”Saya membeli karena saya
suka. Walaupun harganya tidak naik, tidak masalah,” timpalnya. Oei dan Biantoro
tak pernah menjual koleksinya. Oei memilih untuk memajang lebih dari 1.000
bingkai lukisannya di museum pribadinya. Karya-karya besar dari Affandi, Basuki Abdullah, Lee Man
Fong, Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Widayat terpampang di
sana bersama karya-karya pelukis muda.
Pendapat
lain dari datang Yustiono,
staf pengajar FSRD-ITB, melihat bahwa seni rupa kontemporer di Indonesia tidak
lepas dari pecahnya isu tentang post-modernisme (akhir 1993 dan awal 1994),
yang menyulut perdebatan dan perbincangan luas baik di seminar-seminar maupun
di media massa pada waktu itu.
Seni
Kontemporer adalah perkembangan seni yang dipengaruhi oleh dampak modernisasi
dan digunakan sebagai istilah umum sejak istilah Contemporary Art berkembang di Barat. Sebagai produk seni yang
dibuat sejak Perang Dunia II. Istilah ini berkembang
di Indonesia seiring makin beragamnya teknik dan medium yang digunakan untuk
memproduksi suatu karya seni, juga karena telah terjadi suatu percampuran
antara praktek dari disiplin yang berbeda, pilihan artistik, dan pilihan
presentasi karya yang tidak terikat batas-batas ruang dan waktu. Tafsiran lain
mengenai praktek seni kontemporer di Indonesia:
1)
Dihilangkannya sekat antara berbagai kecenderungan artistik, ditandai dengan
meleburnya batas-batas antara seni visual, teater, tari, musik, seni lingkungan
dan lainnya.
2) Intervensi berbagai disiplin IPTEKS,
ilmu sains dan sosial, terutama yang dicetuskan sebagai pengetahuan populer
atau memanfaatkan teknologi mutakhir, komunikasi dan informasi, ekonomi global
dan efek digital.
Istilah ini dianggap
bisa menyertai berbagai sebutan seni visual, musik, tari, sastra dan teater.
Meskipun di Barat, istilah Contemporary
Art jamak digunakan untuk menyebut praktek seni visual sesuai kebutuhan kegiatan
Museum maupun lembaga pencetus nilai seperti Galeri Seni dan Balai Lelang.
Perkembangan
seni kontemporer Indonesia, khalayak seni visual di Indonesia, mencatat istilah
ini sejak awal 70-an, ketika Gregorius
Sidharta memberi judul pamerannya sebagai Seni Patung Kontemporer. Pelaku
seni lain, Gerakan Seni Rupa Baru -- dimediasikan Sanento Yuliman dan Jim
Supangkat, berusaha menegaskan keberadaan praktek seni yang percaya dengan
adanya berbagai tata acuan untuk masyarakat yang tidak tunggal. Bagi Sanento, seni rupa modern Indonesia bukanlah
lanjutan dari seni rupa tradisional.
Pendapat Syakieb Sungkar yang awal tulisannya
mempertanyakan apakah Contemporary
Art = Post-modernisme ? Dalam
tahun 1970-1980, mengherankan memang, kalau Contemporary
Art yang muncul pada tahun 60-an dikaitkan dengan Post-modernisme yang istilahnya baru dikenal oleh dunia filsafat
pada tahun 80-an. Ternyata praktek mendahului teori sehingga penjelasannya
terlambat 20 tahun? Jean-Francois Lyotard (1924-1998) adalah orang yang
pertama kali membawa diskursus Post-modernisme
ke dalam ranah filsafat, melalui bukunya La
Condition Postmoderne : Rapport
sur le Savoir, yang diterbitkan pada tahun 1979.
Post-modernisme hanyalah acuan dasar saja pada
awal kebangkitan Contemporary Art,
selanjutnya Art berkembang sendiri
tanpa perlu membuat pijakan filosofis yang kaku. Semakin jauh mendalami Contemporary Art akan terlihat bahwa Art dan kehidupan itu sendiri jaraknya
amat dekat. Karena memang di zaman yang sudah carut-marut ini, boleh dengan
sesuka hati membuat dan mendefinisikan aliran baru asalkan diakui oleh
komunitas seni itu sendiri.
Post-modernisme tampil sebagai reaksi atas
ketidak-sanggupan modernitas menepati janji-janjinya. Janji apa yang
menyebabkan Modernisme ditinggalkan
orang, sehingga mereka memeluk aliran baru yang disebut Post-modernisme? Apakah Janji Joni, sebuah film komedi
romantis yang disutradarai oleh Joko Anwar di tahun 2005? Atau Janji
Partai Demokrat yang "Katakan Tidak pada Korupsi"? Sebenarnya Lyotard
tidak terlalu menyalahkan Modernisme, melainkan hasil yang diakibatkan oleh
Modernisme. Boleh jadi Modernisme lahir dengan gagasan yang tepat, namun
konsekuensi yang dibawanya ternyata patut dikritik.
Beberapa
hal yang menjadi ciri Modernisme
adalah :
1. Manusia adalah pusat segala-galanya,
2. Manusia adalah bebas dan otonom, termasuk bebas
dari hegemoni otoritas lama dan tradisi,
3. Rasio
(akal) adalah ukuran dari segala hal,
4. Manusia mampu mencari fondasi segala
pengetahuan,
5. Menolak hubungan atau ikatan masa kini dengan
masa lampau,
6. Menjadikan Sains (ilmu alam dan matematika) sebagai
standard umum kebenaran,
7. Tubuh dan
Pikiran adalah saling otonom, Pikiran lebih penting dari Materi,
8. Melihat dan memperlakukan Dunia dan Manusia
seperti cara kerja mesin,
9. Pencabutan posisi Tuhan dari kontrol
kehidupan,
10.
Kapitalisme menjadi prinsip yang mendasari perkembangan industri.
Kesepuluh
fatwa Modernisme diatas disebut sebagai Grand
Narrative atau Metanarasi.
Metanarasi menjanjikan manusia modern
akan menjadi gilang gemilang dengan cara mengagungkan Rasio, Sains dan
mengunggulkan Manusia terhadap Alam dan Tuhan. Melepaskan diri dari Tradisi
masa lalu, menjadikan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai alat untuk
mengalahkan Alam, adalah janji-janji Modernisme agar Manusia kelak hidupnya
menjadi lebih baik. Namun apa yang terjadi dengan metanarasi Modernisme, ternyata manusia menyerahkan diri secara
sukarela untuk dijadikan sekrup dalam elemen industri. Teknologi digunakan
sebagai alat exploitasi terhadap alam
sehingga lingkungan menjadi rusak dan polutif. Demikian pula janji akan sebuah
peradaban yang sanggup menata hidupnya berdasarkan pertimbangan rasional,
ternyata mengakibatkan monopoli dalam bidang politik, ekonomi-sosial, dan
selanjutnya hegemoni pada seni dan
budaya, serta membawa bencana kekerasan dan pemaksaan. Dan yang lebih parah lagi,
Modernisme telah gagal menghindari manusia dari kehancuran Perang Dunia II dan
pembinasaan pada Perang Vietnam.
Berikut ini adalah karakteristik umum Post-modernisme yang merupakan reaksi
atas Modernisme :
- Pertama adalah Post-modernisme tidak percaya bahwa Modernisme akan membawa manusia
mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.
- Kedua, tidak menekankan pada pengagungan rasio yang berlebihan, Postmodernisme
mengakomodasikan aspek-aspek kemampuan manusia yang lainnya seperti emosi dan
intuisi.
- Ketiga, menolak klaim kebenaran tunggal dan mutlak yang berpedoman pada
kebenaran saintifik, Postmodernisme menawarkan kebenaran yang bersifat plural, lokal dan imanen.
- Keempat, tidak ada teori-teori universal yang berlaku umum dan terpusat, Post-modernisme mengedepankan lokalitas.
- Kelima, tidak ada pemaknaan yang bersifat tetap dan tunggal terhadap realitas.
- Keenam, adanya kesatuan organis dalam segala unsur di alam semesta yang saling
berhubungan satu dengan yang lain secara egaliter.
- ketujuh, menawarkan sikap kooperatif terhadap alam, alam tidak boleh
dimanipulasi demi kepentingan manusia semata.
-
Kedelapan, kembali kepada hal-hal spiritual dan menghormati nilai-nilai religius.
Lalu bagaimana ceritanya Modernisme dan Post-modernisme
bisa terkait dengan karya seni, sehingga orang bisa membedakan antara Art zaman Modern dengan Art era Post-modernisme atau yang dikenal dengan
Contemporary Art? Modern Art didefinisikan sebagai karya
seni yang dibuat sepanjang rentang waktu sejak abad 19 sampai dengan tahun
1960-an. Dimana semangat penciptaan karya berasal dari penggalian atas potensi
manusia, penolakan atas tradisi, explorasi terhadap kemampuan akal budi,
penggunaan sains dan teknologi serta berakhir pada kecenderungan gaya Abstract Expressionisme sebagai puncak
dari zaman Modern.
Adalah
seorang kritikus pembela modern art
yang terkenal, Clement Greenberg (1909-1994). Menurutnya puncak dari Modern Art adalah karya-karya abstract expressionist buatan Amerika,
bukannya seni abstrak Eropa, seperti yang selama ini menjadi kiblat senirupa
dunia. Greenberg mensponsori karya-karya Jackson Pollock, Ellsworth
Kelly, Willem de Koning, Arshile Gorky, Bernet Newman dan Clyfford Still
sebagai contoh dari karya adiluhung (High
Art). Karya-karya diluar itu dan setelahnya adalah merupakan Kitsch, seni rendahan, bukan seni
tingkat tinggi. Namun memasuki tahun 60-an kejayaan Clement Greenberg
berakhir, dengan munculnya Joseph Beuys, Andy Warhol dan Jasper Johns
yang karya-karyanya mulai diperhatikan para kolektor secara serius. Karya mereka
mengambil over artefak kebudayaan urban : iklan, komik, foto, fashion, design, film, makanan dan
produk rumah tangga sehari-hari. Mereka banyak mengeksplorasi ikon kebudayaan
populer atau Pop Art. Secara
mudah orang mendefinisikan Contemporary
Art sebagai Art yang dimulai pada
akhir 60-an sampai sekarang ini atau masa kini. Berbeda dengan Modern Art, Contemporary Art tidak lagi
banyak berkutat dengan filosofi akal, matematika dan sains seperti hasil karya Modern Art pada bagian akhir
diejawantahkan dalam karya-karya abstrak. Contemporary Art lebih banyak bercengkrama dengan realitas
yang nampak sehari-hari, benda-benda disekeliling yang kemudian naik takhta
menjadi Art, sesuatu yang dulu disebut Kitsch oleh Clement Greenberg. Dan Contemporary Art mempunyai kecenderungan
menjauhi keindahan atau meninggalkan Art.
Dia lebih sibuk dengan pergerakan, aktifitas sosial, pemberontakan dan protes
politik. Contemporary Art dalam 30
tahun terakhir terhubung dengan issue-issue feminisme, multi-kulturalisme,
globalisasi, bio-engineering, AIDS,
sex, anti-perang dan kerusakan lingkungan. Demikian pula dengan hasil karyanya,
Contempoary Art menggunakan teknik
multimedia (video, fotografi, komputer), instalasi dan performance sebagai alat
untuk menterjemahkan issue-issue diatas. Hal menarik dari Contemporary Art adalah kembalinya Realisme (dan Surealisme)
dalam karya-karya dua dimensinya. Memang teknik realisme adalah jalan yang termudah untuk menterjemahkan issue
kontemporer. Namun ada yang berbeda antara karya realisme zaman modern (dan juga zaman renaisans), dengan realisme
era kontemporer. Contemporary Art
mempunyai pencapaian yang lebih detail dan akurasinya menyerupai karya
fotografi. Ini bisa terjadi karena bantuan teknologi photoshop, projector, printscreen dan komputer. Sesuatu yang belum
ada pada zaman Modern Art. Tidak
melihat bahwa Modern Art merupakan translasi one to one dari seluruh
pemikiran atau filosofi era Modern.
Walaupun karya Modern Art banyak
terpengaruh oleh filosofi Modernisme. Demikian halnya Contemporary Art, pada mulanya Post-modernisme
dijadikan pegangan dasar teori Contemporary
Art. Namun dengan berjalannya waktu, Contemporary
Art berkembang melebihi apa yang sudah dipikirkan Post-modernisme. Lihatlah cakupan Contemporary Art berikut ini :
Tahun 1970 :
-
Post-Modernism - 1970an - pertengahan1980an
-
Ugly Realism - 1970an
-
Feminist Art - 1970an - sampai sekarang
-
Yunnan
School - akhir 1970an – sekarang
-
Neo-Conceptualism - akhir 1970
-
Neo-Expressionism - akhir 1970 - 1980an
-
Bad Painting - akhir 1970 - awal 1980
-
Demoscene - akhir 1970 – sekarang
-
New Image Painting - akhir 1970
-
Nuovi Nuovi - akhir 1970
-
Mühlheimer Liberty - 1979 – 1984
-
Transavantgarde - 1979 - sekarang
Tahun 1980 :
-
Free Figuration (Figuration Libre) - awal 1980an – sekarang
-
Neue Wilde - awal 1980 – sekarang
-
Neo-Geo - pertengahan 1980an
-
Multikulturalisme - 1980an – sekarang
-
Gerakan Graffiti - 1980an – sekarang
-
BritArt / Young British Artists ("yBa") - 1988 –
sekarang
-
Neo-Pop - akhir 1980an - sekarang
Tahun 1990:
-
Net Art - awal 1990an – sekarang
-
Massurrealism - awal 1990 – sekarang
-
Artefactoria - 1990/91 – sekarang
-
Toyism - 1992 – sekarang
-
Lowbrow -1994 – sekarang
-
New Leipzig School - pertengahan 1990an – sekarang
-
Tiki Art - 1996 – sekarang
-
Bitterism - 1998 – sekarang
-
Stuckism - 1999 - sekarang
Tahun 2000:
- Thinkism - 12
September 2001 – sekarang
- Funism - 2002 -
sekarang
Melihat daftar diatas, ternyata ada demikian banyak
cabang dan aliran yang berkembang sejak 40 tahun terakhir, hal itu mustahil
dapat diterangkan dengan definisi sempit Post-modernisme.
Dalam
sudut pandang filosofis pada karya seni kontemporer memiliki
beberapa kesamaan menarik. Sebelum berlanjut, mungkin tepat jika bertanya: kapan sebuah karya seni kontemporer
benar-benar dianggap sebagai roh seni kontemporer? Hal ini terlihat
pada karya seni kontemporer yang dihasilkan selama perkiraan periode antara
tahun 1860-an dan 1970-an. kemudian sering disebut sebagai seni kontemporer, dan mereka penganutnya pasti tidak sama. Terkait
dengan rasa ingin tahu, khususnya untuk banyak metode karya seni kontemporer
serta sudut pandang pengungkapkan dan tujuan yang khas, namun diwujudkannya
melalui berbagai macam pola pandang.
Terlepas
dari apakah ini dalam diskusi filosofis atau bahkan pemahaman baik yang
berhubungan dengan karya seni sehingga dapat membantu untuk membuat hubungan
khusus atau bahkan tidak sama sekali, tergantung pada kemampuan seseorang untuk
menterjemahkan serta memanfaatkannya.
Salah
satu fitur yang terkait dengan sebuah karya seni kontemporer sebenarnya seni itu menandakan perubahan
substansial melalui cara konvensional rancangan tradisional atau bahkan
memandang karakter, lingkungan, di samping norma-norma interpersonal. Hal ini
dikenal dengan menggambarkan perasaan di atas kanvas. Pada waktu itu, sudut
pandang mulai menjadi, lebih terintegrasi ke dalam karya seni kontemporer,
bagaimanapun sudut pandang ini terlihat dari karya seni, yang sebenarnya
berawal dari sudut pandang bahwa suatu karya seni yang diciptakan. Tentu ini
tidak dirancang oleh seniman yang hanya berwarna sama pada tujuan estetika dan filsafat
seni dalam pikiran. Sebaliknya, bagaimana karya seni tersebut dengan
sendirinya dikenal untuk menghubungkan pada individu dengan introspeksi
filsafat, karena teknik ini tidak dilakukan sebelumnya. Hal ini menciptakan
prosedur individu jauh lebih spesifik serta direncanakan.
Sebelumnya,
masing-masing sudut pandang serta sebuah karya seni kontemporer, seni diusung sering
kali mengungkapkan tujuan yang sebanding. Selalu berusaha untuk mengungkapkan
karakter dari dunia karya seni kontemporer, seperti pribadi yang sebenarnya,
pencurahan dan fungsi, untuk membuka pikiran demi mengejar hal-hal yang yang dianggap lebih
tinggi serta mengetahui tentang perjalanan typical character manusia
yang sedang dihadapi. Ada yang berpendapat bahwa karya seni kontemporer lebih
murni dari itu dan apakah seseorang dipindahkan dari bagian tertentu, tidak ada
hubungannya dengan maksud seniman. Bagi yang mengidentifikasi tujuan seni merasa
ada yang hilang, setitik atau keseluruhanya. Maka biarkan saja untuk memilih, aspek
itu dapat dipercaya atau jauh lebih persuasif daripada pendapat sendiri.
Metode
filosofis dalam masalah ini adalah untuk bertanya mengenai karakter yang
terkait dengan kenyataan karya seni kontemporer tersebut, apa ini berarti
pribadi, apa integritas sebenarnya dari budaya yang seharusnya, cara memahaminya,
apa yang diketahui dan beberapa daerah metafisik (ruhani)
serta epistemologis tambahan
keberadaan, bahwa individu terjadi secara serius memikirkan melalui rentang
usia. Direncanakan atau bahkan tidak sama sekali, sebuah karya seni kontemporer,
seni mengarah ke pemeriksaan diri, identik mengenai sebagian besar poin yang sama
persis pada masalah semua yang terkait untuk meminta permintaan sebanding.
Warna, bentuk, jenis dan konsistensi hanyalah sumber daya tambahan dari mana diperkenalkan pada isu-isu semacam ini.
Ketika
datang untuk berinteraksi, saran dan perasaan, karya seni kontemporer
menawarkan pembatasan seperti sudut pandang. Keduanya cenderung subjektif inheren, dengan demikian terapan ini
agak sulit dipahami secara umum tapi hanya pada pengikut atau penganutnya yang
paling berkomitmen. Karena signifikansi
tampaknya menjadi kualitas relativistik
dan hanya untuk dikumpulkan dengan membuat interpretasi untuk diri sendiri
dalam karya seni kontemporer, atau bahkan mempertimbangkan perdebatan
filosofis, tampaknya masuk akal bahwa beberapa orang berpikir dan benar-benar
merasa serius tentang keduanya.
Untungnya,
tujuan yang sebenarnya tidak menjalani eksistensi tanpa menghasilkan karya seni
kontemporer, membuat hubungan emosional atau bahkan psikologis menggunakan ide
serta perasaan bahwa karya seni atau mungkin sebuah
konsep filosofis dapat memicunya. Sebaliknya, hubungan individu
cenderung mendesak dan dirayakan. Ketika melihat sebuah karya seni kontemporer,
semua benar-benar merasa serius. Semua terlibat mempertimbangkan, perdebatan
filsafat yang persuasif dalam diri. Keduanya dapat merasa terhubung dan senang
bisa merasa hidup serta bersinergi dengan karya seni kontemporer. (sumber:
http://be4rt.com/seni/karya-seni-kontemporer/)
Karya 1 & 2 oleh Agus Mulyadi Utomo