AKULTURASI ISLAM DI
BALI
Oleh
Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
goesmul@gmail.com
I. Masuknya Islam di Indonesia
Pada tahun 1292 M (691 H), disaat
Tiongkok dibawah kekuasaan Mongolia, Marcopolo
(1254-1323 M) seorang musafir dari Venesia
(Itali) mengembara ke pantai utara Sumatera, didapati penduduk masih menyembah
berhala, hanya di Ferlec atau Peureula yang dikenal kemudian sebagai Perla (Aceh) terdapat sedikit orang Islam. Tidak jauh dari Perla yaitu di Basem (Pasai) rajanya
sudah memeluk agama Islam, yaitu Sultan
Al Malikus Saleh (wafat 1297 M) yang
beristrikan putri raja Perla, untuk mempersatukan dua Bandar yang telah memeluk
agama Islam. Ibnu Batutah (1303-1377
M) seorang pengembara muslim dari Magribi
sampai ke tanah Pasai mengisahkan bahwa
raja maupun rakyatnya semuanya bermadzhab Syafiie.
Dan Kerajaan Pasai kemudian dalam sejarah tercatat sebagai pusat agama Islam di
Indonesia, dimana Muballigh-muballigh
banyak yang datang ke Jawa berasal dari Pasai.
Tentang masuknya agama Islam di
Indonesia terdapat beragam pendapat, diantaranya ada yang berpendapat bahwa
masuknya Islam tidak langsung dari Arab melainkan dari Persia dan Gujarat (Solichin Salam: 1960:6). Berbeda dengan Hamka yang berpendapat bahwa Islam
masuk dari Mesir dan Mekah . Semuanya memiliki alasan dan argumentasi
masing-masing.
Pada abad ke XV – XVI Islam menjadi
kekuatan kebudayaan dan agama di kepulauan Nusantara. Masuknya Islam di
Indonesia ternyata mempunyai versi dan perbedaan sendiri-sendiri, seperti di Jawa
yang kuat dipengaruhi kebudayaan sebelumnya secara mendalam maka Islam yang ada
dipengaruhi oleh unsur India-Hindu-Budha dan kepercayaan lokal setempat serta
adanya penguasa kerajaan di Jawa yang belajar agama Islam sejak kecil di
Sumatera ( Sultan Patah, 1500 M ) serta
kehadiran Wali Songo. Sedangkan di
Sumatera tidak terpengaruh oleh kebudayaan India-Hindu-Budha, sehingga Islam muncul sebagaimana adanya disertai
ilmu tasawuf dan tarekat dengan kesadaran penuh
terhadap agama bagi pemeluknya dan ulama – ulama banyak yang berasal dari
Sumatera Barat serta adanya sebutan Serambi
Mekah untuk Aceh. Selanjutnya faham-faham atau aliran
Islam tumbuh dan mewarnai kehidupan ummat Islam, ada yang melalui pemerintahan,
pendidikan, organisasi sosial, perdagangan, organisasi politik, ormas-ormas,
pengajian dan dakwah di masjid-masjid
serta media massa.
Lalu bagaimana dengan Islam di Bali ? Berikut sepintas uraian masuknya Islam di
Bali dan akulturasinya.
II. Masuknya Islam di Bali
Masuknya Islam di Pulau Bali
menurut A.A. Wirawan dalam buku “Islam di Bali” uraiannya
menerangkan bahwa, untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan menyeluruh
tentang masuknya Islam di Bali sejak permulaan masuk sampai mengalami
perkembangan tentunya tidak lepas dari
adanya perkembangan Islam di Kepulauan
Nusantara sekalipun terjadi perbedaan-perbedaan
dalam pengembangannya. Sebagaimana diketahui bahwa Islam berkembang di
daerah-daerah Nusantara seperti di Aceh, Pasai, Sriwijaya, Banten, Jawa, Kalimantan, Ternate,
Tidore, Gowa, Tallo, Makasar, Bone, Sopeng , Bajo dll (A.A. Wirawan, 1977: 10).
Beberapa informasi dari
sumber-sumber lokal dan tulisan-tulisan dari penulis asing menyatakan bahwa
Agama Islam sudah masuk ke Pulau Bali abad ke XVI M. pada waktu Kerajaan Bali berpusat di Gelgel
(Kabupaten Klumgkung). Wilayah kekuasaan Kerajaan
Gelgel terutama pada masa pemerintahan Dalem
Watu Renggong meliputi : Bali, Lombok, Sumbawa,
Blambangan, (Jawa Timur). Sejak itu sering terjadi perang perebutan wilayah
antara Bali dengan raja-raja lainnya seperti Kerajaan Mataram (Jawa Tengah) dan Blambangan, dengan Kerajaan
Goa di Sulawesi terjadi perang untuk merebut Lombok dan Sumbawa, perang
perebutan wilayah tersebut baru mereda setelah kekuasaan Gelgel menjadi lemah dan mundur. Perbedaan perkembangan Islam di
tiap bagian kepulauan Nusantara termasuk di Bali,
dimana ditiap-tiap wilayah Kabupaten di Bali memiliki perkembangan
sendiri-sendiri dan amat unik untuk dipelajari.
Dalam pemerintahan Raja Gelgel I (1380-1460), yaitu Dalem Ketut Ngelesir pernah mengadakan
kunjungan ke Majapahit (saat itu Hayam
Wuruk mengadakan pertemuan agung kerajaan nusantara), ada keterangan bahwa
orang Islam di Gelgel mengakui
berasal dari Jawa sebanyak 40 orang sebagai pengiring Dalem Ketut Ngelesir pergi ke Majapahit
dimana saat itu Gelgel berada dalam
naungan Majapahit. Diketahui pula
bahwa dari ke40 orang Islam yang ada di Gelgel
ada yang bernama Raden Modin dan Kiyai Jalil ( Toyib Zaen Arifin,
1998:17, 18). Mereka berdua menuju ke timur.
Raden Modin sampai di Banjar
Lebah dan Kiyai Jalil melanjutkan perjalananya sampai diperbukitan Kemutuk
dan bertemu sejumlah penduduk Desa Saren
yang sedang ketakutan oleh amukan seekor banteng buas. Akhirnya Kiyai Jalil dapat membunuh banteng yang
membawa banyak korban penduduk itu dan kulitnya dijadikan bedug (untuk memanggil
orang beribadah) dan penjemuran padi.. Mulai saat itu Ia menetap di Desa Saren
Utara, Kabupaten Karangasem yang dikenal dengan Saren Jawa.
Versi I Wayan Reken, dalam buku Islam di Bali, tentang kisah masuknya
Islam di Jembrana dari sumber lokal dan tulisan Datuk Haji Sirad di Kampung Cempaka, Loloan Barat yang berhuruf
Arab berbahasa Melaju, yang mengatakan behwa orang-orang Islam di Jembrana
berasal dari suku Bugis/Makasar yang pertama tahun 1653-1655 M dan kedua 1660-1661 M sewaktu terjadi peperangan
antara Makasar dan V.O.C. atau Kompeni (I Wayan Reken,1977:37). Dari catatan
khusus, kemudian diketahui bahwa anak keturunan dari Sultan
Bajo inilah yang lolos dari tekanan
Kerajaan Belanda (V.O.C.) dan mereka melarikan diri dengan perahu menuju
ke Teluk Panggang Blambangan, yang kemudian mendarat di Air Kuning lalu masuk
Kuala Prancak yang akhirnya bermukim di tempat yang di kenal dengan sebutan Kampung Bajo termasuk wilayah Kabupaten
Jembrana. (Th. 1653 M.) dan tersebutlah nama Daeng Nakhoda salah seorang pimpinan armada Bajo yaitu orang Bugis, juga adanya keluarga kerajaan I Gusti Ngurah Pancoran Jembrana masuk
agama Islam dan ditemukan sebuah sumur yang diberi nama “Sumur Bajo” terletak
di Kuala Prancak Barat (1669 M).
Dimasa pemerintahan Raja Anak Agung Ngurah Jembrana yang
terkenal bijaksana dan didukung orang-orang Bugis dimana armada maritim dan
perdagannya cukup maju, tersebutlah dua nama Daeng Marema dan Daeng Si
Juda yang ahli bela diri dengan gendang gaya Bugis mendapat simpati masyarakat
sehingga banyak pengikutnya dan masuk agama Islam. Raden
Mas Sepuh atau Raden Amangkuningrat
( Putra Raja Mengwi dari Ibu Blambangan/Banyuwangi) dan pelarian bekas Raja Blambangan yang dikalahkan oleh
Raja Buleleng Ki Gusti Ngurah Panji
Sakti yang dihukum mati oleh Raja Mengwi (tewas dalam perselisihan keluarga
di Pantai Seseh) adalah pemeluk agama Islam, yang kini makamnya dikeramatkan
ummat Islam dan Hindu terutama keluarga kerajaan di Pantai Seseh, Desa Munggu, Mengwi. Melihat keadaan tersebut,
ternyata hubungan Kerajaan Mengwi dan Blambangan erat sekali. Dan Kerajaan
Blambangan mempunyai hubungan silsilah dengan putra Dewi Sekardadu (Putri Prabu
Minak Sembuyu) yaitu Raden Joko
Samudra atau Sunan Giri (termasuk Wali Songo) dari Kedaton Girilaya ,Gresik, Jawa Timur. Dan
perkataan “Jawa” diidentikkan dengan “Islam” karena mayoritas di Jawa beragama
Islam. Demikian pula “Bali” yang mayoritas
beragama Hindu.
III. Alkulturasi Islam di Bali
Keberadaan dan kedatangan
ummat Islam yang berasal dari berbagai
daerah Indonesia di Bali cukup beragam, ada yang mempunyai kepentingan
sendiri-sendiri sebagai pebisnis, pencari kerja, karyawan (pegawai) negeri atau
swasta, pekerja bangunan, pedagang kaki lima, pedagang asongan, penjual mainan
anak, buruh galian, pembantu rumah tangga, sebagai Mubaligh, Ulama, sebagai pelancong dan sebagai pengusaha dan
lainnya. Diantaranya kemudian ada yang menetap dan bermukim di Bali, bahkan ada yang kawin dengan orang Bali asli dan meninggal serta dikubur di Bali. Kini banyak berdiri masjid-masjid, musholla, langgar
,surau tempat beribadah dan beramal. Orang Islam tersebar dimana-mana, berbaur
, bersatu dan bertoleransi serta beralkulturasi. Penelitian Pusat Arkeologi
Nasional sejak 1980 terhadap peninggalan Islam di Bali seperti makam-makan tua, masjid-masjid tua,
naskah-naskah tua, pemukiman Islam, Pusat Kerajaan di Bali, pembauran kebudayaan
dan kekerabatan serta lainnya, menunjukkan suatu alkulturasi yang baik dan
damai.
Kebudayaan lokal Bali sangat kuat, namun bagi ummat Islam yang ada di Bali sejauh tidak melanggar Aqidah Islamiyah dan prinsip dalam Islam, hal tersebut tidak
menjadi masalah, bahkan menambah wawasan dan pengetahuan. Salah satu contoh
kehidupan masyarakat Saren (Dusun Saren Jawa), di Kabupaten Karangasem,
dimana kehidupan sehari-hari sulit dibedakan dengan penduduk yang beragama
Hindu. Mereka memiliki bahasa yang sama yaitu bahasa Bali,
mempunyai rasa sosial dan gotongroyong serta kerjasama yang baik / mendalam,
termasuk dalam kesenian. Yang dibedakan adalah masalah menjalankan kewajiban
agamanya masing-masing, mereka saling mengerti, menghormati dan
menghargai. Dalam pembauran di Bali terdapat juga pemberian nama-nama Islam yang
dipadukan dengan kekerabatan khas Bali seperti Made Ali, Nyoman Nasir, Wayan
Muhammad, Ketut Sulaiman, Ni Luh Siti Fatimah, dllnya. Di Bali juga terdapat
istilah “Sugihan Jawa” yang
diperingati oleh ummat Hindu di Bali. Alkulturasi dan toleransi ummat Islam dan
Ummat Hindu di Bali sudah berlangsung beberapa abad silam sejak Islam masuk dan
selama itu belum pernah terjadi gejolak yang menjurus pertikaian. Adanya Pura
Langgar, yang dibangun oleh Dalem
Dewa Agung Wilis, Raja Kerajaan Bunutin, diwilayah Kabupaten Bangli.
Sebutan “Pura” adalah tempat peribadatan ummat Hindu dan “Langgar” adalah
tempat peribadatan ummat Islam. Pura
Langgar, berada ditengah-tengah komplek pura dan yang merawatnya adalah
tetua agama Hindu yang bernama Anak Agung Ketut Gede yang masih
keturunan Raja Bunutin. Pura “Langgar”
itu sendiri dikeramatkan oleh ummat Hindu dan ummat Islam belum banyak yang
mengetahuinya (Toyib Saen A, 1998: 30). Konon ceritanya Putra Raja Dewa Agung yang sulung dari istri permaisuri bernama I Dewa Agung Mas Blambangan menginjak
remaja menderita sakit, semua tabib dan pendeta tak mampu menyembuhkannya.
Namun ada seorang pendeta mendapat
petunjuk yang mengisyaratkan raja membuat /mendirikan sebuah “langgar” agar putra sulungnya sembuh dan
tentu semua tidak mengerti karena beragama Hindu. Setelah bertanya ke Jawa,
yang dimaksud adalah tempat ibadah sholat
ummat Islam dan raja memerintahkan punggawanya mencari tenaga ahli dan
membangun “langgar” tersebut. Dan benar, ketika “langgar” tersebut selesai putra raja
yang menderita sakit itu sembuh seperti sediakala. Putra raja yang bungsu yang
bernama I Dewa Agung Mas Bunutin
penasaran akan kesembuhan kakaknya dan mohon ijin pergi ke Blambangan dan tidak
tidak kembali tanpa kabar beritanya. Lain halnya dengan ketiga putra dari istri
kedua, merasa kurang berkenan adanya “Langgar”dan
masing-masing mendirikan “pura”disamping
kanan dan kiri dari langgar yang
telah ada. Akhirnya semuanya dinamakan “Pura
Langgar”. Dan seorang pendeta memberi keterangan bahwa pada waktu tertentu
tengah malam ada beberapa orang Islam mengerjakan sholat di dalam langgar
tersebut antara 3 sampai 15 orang yang datang dan perginya tanpa diketahui
sebagai misteri. Sampai sekarang tempat tersebut dikeramatkan oleh ummat Hindu
di Bunutin, Bangli. Sebagai suatu bukti adanya toleransi akulturasi yang
terjadi di Bali.
IV. Simpulan
1. Islam masuk di Indonesia sekitar abad ke XII dan
XIII di Perla / Pasai .
2. Islam masuk Indonesia terdapat dua pendapat
yaitu pertama melalui Persia
dan
Gujarat,
kedua melalui Mesir dan Mekah.
3. Islam masuk Bali
sejak abad ke XIV, melalui kerajaan Gelgel
I ( 1380 -1460) dalam
pemerintahan Raja Dalem Ketut Ngelesir.
4. Pengembang pertama agama Islam di Bali yaitu Raden Modin dan Kiyai Jalil
5. Toleransi dan akulturasi Islam dan Hindu
berjalan sudah berabad-abad dan tidak ada
gejolak pertentangan atau berlangsung
dengan damai, saling menghormati dan meng
hargai.
Pustaka
A.A. Wirawan, Islam di Bali: Sejarah Masuknya Agama Islam
di Bali, Pemda Tk.I
Bali,
Proyek Peningkatan Sarana & Prasarana
Kehidupan Beragama, Denpasar
1997/1998
I Wayan Reken, Islam di Bali, Pemda Bali, PPSPKB, 1997/1998
Toyib Zaen Arifin, Sejarah Wujudnya Makam Sab’atul Auliya Wali
Pitu di Bali, PP
Al- Khoiriyah, Denpasar, 1998
Solichin Salam, Sekitar Wali Songo, PN. Menara Kudus,
1960
Alwi Sofwan, Kerajaan Islam, PN.Pustaka Al Alawiyah, Semarang, 1991
Agus Mulyadi Utomo di Istana Presiden RI, 1994
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
Saya sangat tertarik dengan artikel terkait keberadaan Pura Langgar di Bali. Kebetulan saya sedang memiliki tugas karya ilmiah tentang kunjungan wisatawan ke Pura Langgar. Apabila berkenan, saya akan mengirim kuisioner ke email anda, untuk membantu menambah data tugas saya. Mohon balasannya. Terima kasih
BalasHapus