TAREKATULLAH
Hidup dan Seni - blogspot.goesmul.com - islam
Inti dari ilmu tasawuf adalah upaya untuk mendekatkan
diri (taqarrub), musyahadah, dan makrifat
kepada Allah SWT. Pandangan tasauf Islam, sebenarnya tidak terlepas
daripada at-Tarikat-nya, adalah
sebagai metodologi atau cara untuk
membuktikan akan kebenaran dari Al Qur’an
dengan energi yang tersimpan
didalamnya. Karena itulah, Islam dikatakan “sangat ilmiah dan amaliah dan tidak ada yang melebihinya”
(Hadits Riwayat Bukhari). Namun
demikian banyak orang dari kaum muslimin yang kurang memahaminya atau “merasa
telah menguasai” seluruh isi Al Qur’an
dengan baik yang tanpa dibarengi dengan power
dan energi yang datang dari sisi Allah.
Tarekat
merupakan bahagian dari Islam. Tidak diragukan lagi bahwa sumber ajaran tarekat unsur pembentuknya adalah Al Qur’an dan Al Hadts dan kehidupan khulafaur
rasyidin. Allah berfirman dalam QS. Al Jinn: 16: “Dan bahwasannya: Jikalau mereka
tetap berjalan lurus di atas tarekat itu, benar-benar Kami akan memberi minum
kepada mereka air segar (rezki yang banyak)“. Dalil hadits yang berkenaan dengan tarekat diantaranya adalah sabda Rasulullah SAW: ”Aku tinggalkan untuk kamu dua
pusaka, yaitu Al Mahajjah (syari’at) dan Al Thariqatul baidhai (tarekat yang
putih bersih)”[1]Tarekat adalah gerakan dari perasaan
ber-iman, ber-Islam, dan ber-ihsan, dalam bentuk tasawuf-sufi yang bersifat tetap, semacam perkumpulan atau kelompok
atau organisasi himpunan dari orang-orang yang menempuh jalan spiritual, dengan
mengamalkan dzikrullah dan amal -
ibadah yang bersifat jasmani dan ruhani secara keseluruhan berdasar petunjuk Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Tarekat
esensinya adalah menempuh jalan hidup yang menuju akhlaqul karimah, bukan sebagai kelembagaan atau institusi
keagamaan tersendiri, tapi bagian yang menyatu dengan pelaksanaan Islam secara kaffah. Pada umumnya tarekat mempertahankan dan memelihara silsilahnya sebagai suatu mata rantai
dari penyampaian ilmu dari Rasulullah SAW
sebagai guru kepada guru-guru pewarisnya atau penerusnya (khalifah yang 4: Abu Bakar, Ustman, Umar dan Ali ), yang dapat
ditelusuri kembali asal muasalnya yaitu Nabi Muhammad SAW.
Arti Tarekat
Tarekat /
Tharikat / Thariqah / Toriqoh / Thoriq berasal dari bahasa Arab yaitu Thariiqatun, jamaknya Tharaiqun. Tarekat secara harfiah berarti “jalan”, yang mengacu kepada suatu sistem
amalan dan ibadah lahir dan batin. Secara etimologis
antara lain berarti: a) Jalan, cara
(Al Kaifiyah); b) Metode,
sistem (Al Uslub); Dan c) Mazhab, aliran, haluan (Al Mazhab). Yaitu jalan atau metode yang
ditempuh Nabi Muhammad SAW menuju Allah
SWT. Dan jalan inilah yang kemudian ditempuh oleh para sahabat, tabiin dan tabiut-tabiin serta orang-orang sholeh
yang dikenal dengan kaum sufi. Dalam
ilmu tasawwuf (tasauf): arti “Tarekat” ialah “Jalan” atau
“petunjuk” atau “metode” atau “tata
cara” atau “bimbingan” dalam melakukan sesuatu ibadah & amalan sesuai
dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan dikerjakan oleh sahabat-sahabat Nabi, Tabiit-tabiin, Ulama-ulama,
Wali-wali, Guru-guru Mursyid,
sambung menyambung hingga kini, secara rohaniah dan maknawi serta ragawi. Tarekat dikaitkan dengan ilmu tasawuf dapat diuraikan menjadi himpunan
peraturan berupa syariat, dengan
metode pelaksanaannya dalam tarekat,
kemudian mengalami berbagai keadaan sebagai hakekat,
dan menggapai tujuan akhir yang disebut makrifat.
Terdapat sejumlah thariqah Mu’tabarah (± 44 macam) sebagai
wadah dan tidak kesemuanya berada di Indonesia.[2] Salah satunya
adalah tarekat Naqsyabandiyah (TN) yang pengikutnya cukup banyak di
Indonesia sebagai penganut Islam / muslim terbesar.
Cara atau metode
pelaksanaan teknis dalam tarekat
adalah untuk pencapaian hakikat ilmu tauhid sampai pada haqqul yakin- nya. Termasuk dalam masa perjuangannya ( jatuh -
bangunnya ) dalam menghadapi pertempuran dengan Iblis. Suatu metode membersihkan
diri yang batin ini secara total dari semua anasir setan-iblis dan semua
gelombang serta pengaruhnya dalam diri, sehingga merasa ada kemurnian tauhid dalam beribadah dan beramal sholeh. Dengan mengitensifkan dzikrullah yang terbimbing akan tercapai
suatu kemenangan hakiki dunia-akherat dan dapat melaksanakan sholat khusuk dengan hati ikhlas dan ridho. Umumnya tata cara para Syaikh Mursyid yang diikuti
kelompoknya, meliputi aspek ubudiyah, seperti rukun Islam, rukun iman, unsur ikhsan, ibadah sunnah sampai pada aspek muamalah
seperti kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, yang semuanya disesuaikan dengan syari’at
Islam, dilaksanakan dengan niat lillahi
ta’ala sampai mendapat ridhla Allah
SWT.
.
Berkaitan dengan
“jalan” tersebut, Muhammad bin Muhammad
Baha’al-Din al-Uwaisi al–Bukhari
Naqsyabandi (Tokoh tarekat yang
terkenal 717 H / 1318 M - 791 H / 1389 M, sebagai ahli silsilah ke-15 dalam Tarekat
Naqsyabandi Serumpun) mengatakan bahwa Ia
berpegang teguh pada jalan yang
ditempuh Nabi dan para sahabatnya.[3] Tokoh yang dikenal
dengan sebutan Sayyidi Syaikh Bahaudin Naqsyabandi ini tidak dipandang sebagai
pencipta tarekat Naqsyabandiyah, melainkan sebagai penerus ajaran,
sebagai pewaris ilmu Rasulullah yang telah diturunkan melalui
garis keguruan yang
sambung-menyambung dan terus sampai kepada Nabi sendiri. Sebagai penerus ajaran
keguruan Naqsyabandiyah adalah murid
yang shiddiq / dipercaya (al
Amin) yang memiliki kualitas dan kemampuan spiritual dalam melukiskan nama
dan kebesaran Allah di atas hati
muridnya atau penjagaan atas kebahagiaan dan kesucian hati. Sedangkan Naqsaband sendiri secara harfiah berarti
“pelukis, penyulam, penghias”[4]. Secara
organisasi, aspek penting dari tarekat
ini adalah afiliasi spiritualnya diturunkan kepada khalifah pertama yaitu Sayyidina Abu Bakar As Shiddiq [5] yang telah
menerima ilmu keruhanian yang istimewa secara
langsung dari Nabi SAW.
Tarekat sesungguhnya adalah “jalan” atau
“petunjuk” dan “bimbingan” dari pelaksanaan suatu ibadah & amalan yang
sesuai dan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW
sesuai pula dengan firman Allah SWT dalam surat Al Faatihah, ayat 6 – 7: “Ihdinash shiraathal mustaqiim. Shiraathal
ladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin”
artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah
Engkau beri mereka nikmat karunia dan bukan jalan mereka yang dimurkai dan
mereka yang sesat”.
Tarekat merupakan jalan dan petunjuk yang
benar atau “shiraathal mustaqiim”
(jalan yang lurus), disini dimaksudkan adalah juga berdiri di atas syari’at yang juga benar atau lurus.
Orang-orang yang ber-tarekat harus
juga menjalankan syariat dan ber-akhlaqul karimah serta melaksanakan Islam secara menyeluruh (kaffah). Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Syariat
itu perkataanku, Tarekat itu perbuatanku dan Hakekat itu ialah
kelakuanku”. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al Jin: 16 “Wa al lawis taqaamuu ‘alath thariiqati la asqainaahum maa-an
ghadaqaa”, artinya: “Sekiranya
mereka berketatapan hati pada jalan Allah (tarekat yang benar), niscaya Kami
memberi minum mereka dengan air yang berlimpah (segar)”. Peringatan
demi peringatan yang Allah sampaikan
kepada kita manusia, sesungguhnya untuk meneguhkan hati. Dalam QS. Hud : 112 artinya: “Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu”.
Lalu QS. Al Muzzammil : 19 “Inna hadzihii tadzkiratuw fa man syaa-at
takhadza ilaa rabbihii sabiilaa” artinya: “Sesungguhnya ini adalah suatu
peringatan, maka barangsiapa yang menghendaki, (tentulah) dia memilih jalan
kepada Tuhannya”. Dengan menggunakan suatu metode / cara, yang dikerjakan para pendahulu, oleh para sahabat
Nabi, diteruskan oleh para Khalifah-Khalifah Rasulullah, Ahli Silsilah,
Ulama
Pewaris Nabi, para Wali / Guru-Mursyid sambung
menyambung sampai akhir zaman, sehingga (kita) dimasa kini pun juga harus
menggunakan metode yang sama. Silsilah tarekat adalah “Nisbah
atau hubungan guru-guru yang sambung bersambung antara satu sama lain sampai
kepada Nabi SAW secara keruhanian”,
merupakan rangkaian nama-nama yang sangat panjang, yang satu bertali dengan
yang lain [6], oleh karenanya
anggota sebuah tarekat akan sangat
menganggap penting sebuah silsilah,
yaitu urutan para guru tarekat yang
ajarannya memang berasal dari Nabi SAW
sebagai legitimasi dari Guru-Mursyid dari
tarekat yang muktabarah. Terjadi juga
suatu pemahaman antara lain yang menyangkut masalah “pembaharuan” atau tajdid. [7] Karena, tajdid
itu sendiri direkomendasikan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa pada setiap di ujung 100 tahun ada seorang mujaddid
(pembaharu) dari ummatnya, beliau bersabda yang artinya: “Sesungguhnya
Allah senantiasa akan membangkitkan untuk ummat ini pada setiap akhir seratus
tahun (satu abad), orang yang akan memperbarui agamanya” (Hadits dari Abu Hurairah, Riwayat Abu
Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi, disahihkan oleh Al’Iraqi, Ibnu
Hajar, As-Suyuthi, dan Nasiruddin Al-Albani). Menurut kitab Mafhuum
Tajdiidid Dien oleh Busthami
Muhammad Said, pembaharuan yang dimaksud dalam istilah tajdid itu adalah mengembalikan Islam seperti awal mulanya. Abu Sahl Ash-Sha’luki mendefinisikan tajdid dengan menyatakan, “Tajdiduddin ialah mengembalikan Islam
seperti pada zaman salaf yang
pertama”[8] Atau menghidupkan sunnah dalam Islam yang sudah ‘mati’ prakteknya di masyarakat
muslim. Jadi bukannya mengadakan pemahaman-pemahaman baru apalagi yang
aneh-aneh yang tak sesuai dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Dan adapun
menyimpulkan hukum sesuai Al-Qur’an
dan As-Sunnah, mengenai hal-hal baru
itu namanya ijtihad. Jadi yang
diperlukan dalam Islam adalah tajdid
dan ijtihad, bukan asal pembaharuan
dengan memperhatikan landasan Islam yang benar.
Tarekat yang berasal dari Abu Bakar al-Shiddiiq, sahabat kesayangan Nabi dan menjadi khalifahnya yang pertama, dan yang
dipercaya talah menerima ilmu istimewa, dalam hadits diterangkan oleh Nabi sendiri. Hal ini yang menunjukkan
suatu pengertian yaitu mencurahkan Talqin Dzikir oleh Rasulullah SAW kepada Saidina Abu Bakar r.a. (sebagai ulama pewaris / ahli silsilah / sebagai
pembawa wasilah akbar / khalifah Rasul yang
pertama), merupakan pelimpahan / transfer ilmu Rasulullah dan berikut ini sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Tidak sesuatupun yang dicurahkan Allah ke
dalam dadaku, melainkan aku telah mencurahkannya kembali ke dalam dada Abu
Bakar”. Dan firman Allah SWT dalam
QS. Al Ankabut : 49 “Bal huwa aayaatum bayyinaatun fii
shuduuril ladziina uutul ‘ilma wa maa
yadjhadu bi aayaatinaa illazh zhaalimuun”, artinya: “Sebenarnya Al Qur’an itu ayat-ayat yang
nyata (terang) di dalam dada (hati) orang –orang yang diberi ilmu. Dan tiada
yang menyangkal ayat-ayat kami melainkan orang-orang yang zalim”.
Berikut pula sabda Rasulullah SAW:
yang artinya: “Barang siapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan, maka Allah
menjadikan ia pandai mengenai Agama dan diilhami petunjuk-Nya“ (HR. Bukhari Muslim).Sanad dari para Wali
kepada Rasulullah SAW itu benar (shahih) adanya dan shahih pula hadits bahwa Ali r.a., pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang jalan
terdekat (tarekat) kepada Allah SWT [9], kata Ali: “Wahai
Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan terdekat kepada Allah yang paling mudah
bagi hamba-hambanya dan yang paling utama bagi Allah. Rasulullah
bersabda: “Kiamat tidak akan terjadi ketika di muka bumi masih terdapat orang yang
mengucapkan ”Allah”.[10] Berdzikir, mengingat, itulah yang dimaksud mengingat dengan mengucapkan ...Allah... ...Allah.... seakan-akan
menunjukkan jalan menuju kepada Allah SWT (tarekatullah).
Tentu mengingat Allah dengan berdzikir tidak secara awam, bahkan orang kafirpun dapat dengan mudah
mengucapkannya, bahkan hewan-hewan
peliharaanpun seperti burung beo bisa dilatih untuk mengucapkannya. Apalagi di zaman yang modern
saat ini bisa melalui kaset dan rekaman elektronik, VCD, HP, komputer dan
lainnya. Berikut simak sabda Rasulullah
SAW yang maksudnya: “Dari Ali
Karamallahu Wajhah , manakah jalan /
tarekat / cara yang paling mudah untuk ber-taqarrub kepada Allah dan nilainya
paling afdhol”. Jawab Rasulullah:
“Hendaklah
kamu berkekalan dalam keadaan dzikrullah !”. Jawab Ali: ”Semua manusia ber-dzikir kepada Allah”.
Sabda Rasulullah: ”Wahai
Ali, kiamat itu tidak akan terjadi selama masih ada dipermukaan Bumi ini orang
yang ber-dzikir Allah, Allah, Allah...
”. Kata Ali: ”Bagaimana caranya wahai
Rasulullah? Sabda Rasulullah: ”Pejamkan kedua matamu, tutup
mulutmu dan tongkatkan lidahmu ke langit-langit dan dengarkanlah”,
kemudian Rasulullah ber-dzikir
la
ilaha ilallah tiga kali dalam
keadaan matanya terpejam, kemudian Ali pun mengikutinya dengan cara demikian. Berdzikir yang dimaksud disini harus ada
yang mengajari atau ada gurunya, terutama adanya bimbingan yang bersifat ruhani
yang sangat halus dan tinggi dimensi serta frekuensinya
sampai yang tak terhingga, sebagai suatu metode atau cara atau teknik dalam
ber-munajat kepada Allah SWT. Berdzikir
melalui “jalan-Nya”, yakni dzikir yang terbimbing dengan “menyebut
dan sekaligus membesarkan nama-Nya ” itu akan memiliki kualitas dan kekuatan
spiritual, itu berarti dzikir (kita)
yang dilaksanakan beserta dengan yang
Maha Kuasa sehingga memiliki daya yang lebih tinggi. Hal seperti itu
disebut dalam hadits: “Dengan
nama Allah yang tidak memberi mudharat apa-apa yang di bumi dan di langit bagi
yang beserta dengan nama-Nya”( HR.
Tirmidzi). Dengan demikian dapatlah dimengerti, bahwa semua “bimbingan” dan
“petunjuk” dari guru (Mursyid) dinamakan “Tarekat” dan
‘guru’ yang pertama adalah Nabi
Muhammad SAW (dari malaikat Jibril). Sebagaimana yang
dikatakan oleh Nabi SAW dalam hadits shahîh: “Barangsiapa yang beramal tidak berdasarkan perintah (ajaran) kami, maka
ia tertolak”. Syir‘ah dan syarî‘ah maknanya al-tharîqah
al-zhâhirah (“jalan yang jelas dan terang”) yang menyampaikan kepada
keselamatan (al-najâh). Secara etimologi, kata syarî‘ah adalah: jalan yang
membawa kepada pengairan. Dan syariat
adalah apa yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya, dalam bentuk
agama. Sunnah dan al-Furqân (pembeda benardan salah), dimana Allah
menghalalkan dan mengharamkan apa saja, yang terdapat di dalam kitabNya
tersebut menurut apa yang dikehendaki-Nya, untuk mengetahui siapa yang
“menaati-Nya” dan siapa yang “membangkang” kepada-Nya. Penganut agama Islam
yang diterima oleh Allah adalah
dengan “bertauhid dan keikhlasan”
yang benar kepada-Nya, yang dibawa oleh Rasulullah
dan pewarisnya. Dengan bersyariat
tersebut merupakan jalan kebaikan (mashâlih) yang sesuai menurut
pelbagai keadaan dan waktu, sembari mengakui bahwa Allah dengan menciptakan sedikit atau banyak perbedaan antar ummat
Islam tersebut berdasarkan suatu hikmah?
Atau malah mengikuti “ketidakjelasan” (al-syubah) dan bersikap berlebih-lebihan
? Fastabiqû
alkhayrât : bergegaslah dan berlomba-lombalah ke arahnya atau
berbuat berbagai kebajikan. Ilâ
Allâhi marji‘ukum : kalimat pembuka (isti’nâf) dalam makna
“sebab” untuk berlomba-lomba dalam melakukan berbagai kebajikan itu. Fayunabbi’ukum
: niscaya Dia akan membeberkan apa yang tidak kalian ragukan bersama itu, yaitu
ganjaran ‘pemisah’ (akhir, pemutus) antara orang yang benar dan salah di antara
kalian, yang benar-benar beramal sholeh
dan yang tidak pernah beramal.” Artinya disini ada semacam perbedaan-perbedaan,
antara syir‘ah dan minhâj, semua
itu merupakan “ujian” dari Allah
SWT., apakah ummat Islam dan penganut agama sebelumnya mau ikut beliau Nabi
SAW atau tidak mengikutinya Allah ingin menguji keimanan suatu kaum
dan kekufuran kaum yang lain. Oleh
karena itu, kata fastabiqû al-khayrat menurut Ibnu Katsir adalah: ketaatan kepada Allah dan mengikuti syariat-Nya
yang dijadikannya sebagai “penghapus” (nâsikh) bagi kesalahan sebelumnya
dan pembenaran kitab-Nya, dan Al-Qur’an
merupakan kitab terakhir yang diturunkan.
Adapun tujuan bertarekat adalah menjalankan Islam secara kaffah (lengkap), melalui Syariat (peraturan), Tarekat (pelaksanaan / jalan &
metode), Hakekat (keadaan) dan Ma’rifat (puncak segala --- Tujuan
yaitu Allah SWT, mengenal Allah SWT dan mencintainya).
Ber-tarekatullah
Dengan ber-tarekatullah, sebenarnya adalah
mempelajari Islam secara kaffah. Masuk tarekat
adalah sebagai suatu usaha untuk menemukan yang namanya “Guru Sejati” (Waliyam Mursyida )
seperti firman Allah SWT dalam Al Qur’an yakni QS. Al Kahfi : 17 “Min aayaatillaahi may yahdillaahu fahuwal
muhtadi wa may yudhlil fa lan tajida lahahuu waliyyam mursyidaa”, artinya: “Barang siapa yang ditunjuki
Allah, maka dia mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka
engkau tiada mendapat seorang penolong Wali – Mursyid (pembimbing agama / Wali
– Guru / Mursyid / Pemimpin) yang membimbingnya”. Keberadaan Wali-Mursyid tidak bisa dipungkiri dan keberadaanya adalah sebagai Rahmatan Lilalamiin. Termasuk rahmat untuk
kaum muslimin sehingga dimanapun keberadaanya harus bisa menemui dan
menjumpainya. Tujuannya tak lain tak bukan hanyalah bagaimana agar mendapatkan
bimbingan serta petunjuknya seperti dalam surat Al-Kahfi 17 tersebut. Sehingga
bisa dikatakan begitu pentingnya hidup di dunia ini untuk mencari panutan atau
guru (wasilah) yang dapat
menyelamatkan dari dunia sampai di akhirat kelak seperti yang disebutkan dalam
Surat Al- Maidah ayat 35, yang
pengertiannya adalah panggilan kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa,
untuk mencari wasilah (chanel), kalau sudah menemukan itu lalu berjihad
seperti orang perang fisabilillah,
dipastikan akan menang disisi Allah.
Dalam kehidupan
terdapat banyak guru dari Tk, SMP, SMU-SMK sampai dengan profesor di Perguruan
Tinggi, ada yang bersifat umum, universal, sampai dengan yang khusus pada
bidang tertentu, yang membimbing adalah disebut ‘guru’, ada guru biasa sampai
guru besar (profesor) yang banyak menghasilkan para intelektual muda, sarjana
dan doktor dalam ilmu pengetahuan atau sain, teknologi dan seni. Tapi itu semua tidak bisa
disamakan dengan pengertian ayat Al-Kahfi:
17 di atas, karena unsur pembimbing (nur
Allah atau unsur Muhammad) yang bersifat ruhani (pembawa ruh atau arwahul muqadhasah Rasulullah) belum diperoleh, yaitu sebagai insan
kamil (yang sempurna) dan lagi dapat
menyempurnakan lainnya (kamil mukamil),
yang do’anya pun pasti makbul.
Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, diperlukan seorang Wali atau Guru yang Mursyid, yang dapat memberi petunjuk, membimbing ruhani dan
memberi syafaat mulai dari dunia
sampai akhirat, yang dapat mensucikan jiwa, memperbaiki akhlaq, dapat menyempurnakan amal dan ibadah dan dapat membina
kesejahteraan dalam mencapai kebahagiaan yang abadi.
Sabda Rasulullah SAW yang artinya: Dari Usman
bin Affan r.a. Ia berkata, Rasulullah
bersabda, “ Di hari kiamat, yang memberi syafaat ada tiga golongan yaitu para Nabi,
para Ulama, dan para Syuhada” ( HR. Ibnu Majah ). Berikut pula sabda
Nabi yang artinya: Dari Abu Sa’id,
sesungguhnya Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari ummatku ada yang
memberi syafaat kepada golongan besar
dari manusia, sebagian dari mereka ada
yang memberi syafaat kepada satu
suku, sebagian dari mereka ada yang memberi syafaat
kepada satu kelompok, sebagian dari mereka ada yang memberi syafaat kepada satu orang, sehingga
mereka masuk surga semuanya” (HR.
Tarmizi).
Di masa sekarang ini tidak ada lagi yang namanya Nabi,
tetapi yang ada adalah Al Ulama Warashatul Ambiya (Ulama pewaris Nabi yang menjadi Guru - Mursyid dan bertanggungjawab). Itulah yang semestinya harus dicari ! Banyak yang mengaku Ulama, tapi apa ada
tanda-tandanya sebagai pewaris ilmu Nabi (jasmani dan ruhani) ? Dan apa meraka
juga berani bertanggungjawab kepada Allah
tentang pengikutnya yang berwasilah
kepadanya ?
Menjadikah Rasulullah SAW sebagai wasilah
dalam bertaubat dan mencapai hajat,
sehingga Allah SWT membuka pintu taubat dan memperkenankan
hajat-hajatnya. Allah SWT menyuruh
muslim untuk bertawassul dengan Nabi SAW dalam bertaubat dari segala dosa, yang dinyatakan dalam firman-Nya: “Sekiranya
mereka ketika menzalimi diri mereka (berbuat dosa) datang kepadamu, lalu mereka
memohon ampun kepada Allah dan Rasulpun memohonkan ampunan untuk mereka,
niscaya mereka dapati Allah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang” (QS.An - Nisa’: 64). Ayat ini berlaku hingga sekarang, karena
memang tidak ayat yang mansukhnya dan
tidak ada ulama ahli yang mengatakan bahwa ayat tersebut
dimansukh. Jadi makna ayat tersebut
berlaku hingga sekarang. Ayat ini juga menjadi salah satu dalil perintah berziarah kepada Rasulullah SAW.
Tawassul berasal dari kata “wasîlah” (perantara). Tawassul
dalam berdoa bermakna: memohon kepada Allah
“melalui / dengan” sesuatu atau seseorang. Allah
SWT menyuruh kita untuk bertawassul
dalam berdoa dan beramal sholeh,
bahkan dalam setiap melakukan kebajikan.
Salah satu dalilnya adalah Allah menyuruh untuk membaca “Basmalah” dalam berdoa dan setiap melakukan amal sholeh dan kebajikan. Basmalah yakni mengucapkan Bismillâhir Rahmânir Rahim, artinya: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang”. Dalam membaca basmalah
mengandung makna tawassul dengan tiga
nama Allah SAW dalam berdoa dan
beramal-ibadah yang baik, yaitu: Allah,
Ar-Rahman dan Rahman. Jadi setiap
membaca basmalah dalam berdo’a dan
beramal-ibadah dan berbuat kebajikan, berarti telah bertawassul dengan tiga Asma-Nya.
Allah SWT berfirman: “Allah
memiliki Asmaul husna, hendaknya kamu berdoa dengannya” (QS.Al-A’raf / 7: 180) “Katakanlah, berdoalah kepada Allah atau
berdoalah kepada Ar-Rahman.Dengan nama yang mana saja kamu berdoa, Dia
mempunyai Asmaul husna.” (QS.
Al-Isra’ /17: 110). Rasulullah SAW
bersabda: “Allah azza wa jalla memiliki sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa
yang berdoa dengannya doanya diijabah” (At-Tawhid, 195). Bertawassul dengan
para wali dan kekasih Allah SWT,
diucapkan dengan kalimat misalnya: Allâhumma
innî atawassalu ilayka binabiyyika Muhammadin shallallâhu ‘alayhi wa
âlihi an taqdhiya hâjatî. Artinya “Ya Allah,
aku bertawassul kepada-Mu dengan
nabi-Mu Muhammad SAW agar Engkau
memenuhi hajatku”. Atau Allâhumma
innî atawassalu ilayka bijâhi Muhammadin wa hurmatihi wa haqqihi an an taqdhiya
hâjatî. Artinya “Ya Allah, aku
bertawassul kepada-Mu dengan
kedudukan Muhammad, kemuliaan dan haknya agar Engkau memenuhi hajatku. Tawasul dalam hadits, Usman bin Hanif berkata: “Pada suatu hari ada seseorang datang kepada Nabi SAW, lalu ia berkata:
Doakan aku agar Dia menyembuhkan penyakitku. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu mau, berdoalah; dan jika kamu
bersabarlah, ini lebih baik bagimu?” Lalu ia minta agar didoakan. Kemudian
Rasulullah SAW menyuruhnya agar berwudhu’ dan melakukan shalat dua rakaat, dan
membaca doa ini: Yang artinya; ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu, dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Nabi pembawa rahmat. Wahai
Muhammad, aku menghadap denganmu kepada Tuhanku untuk urusan hajatku agar
hajatku dipenuhi. Ya Allah, jadikan dia pemberi syafaat padaku. Lalu Usman bin Hanif berkata: Demi Allah, kami berpisah denganya dan
lama tak jumpa dengannya. Sehingga pada suatu hari ia datang kepada kami dan ia
sembuh dari penyakitnya”. Hadits
tersebut terdapat di dalam Sunan Ibnu
Majah, jilid 1: 441, hadits ke
1385; cetakan Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyyah. Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 4: 134; cetakan Muassasah dar Shadir
, Bairut. Mustadrak Al-Hakim, jilid 1: 313; cetakan Haidar Abad, India. Dalam
kitab ini disebutkan bahwa Hadits ini
shahih berdasarkan persyaratan Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya. Jami’ Ash-Shaghir
As-Suyuthi: 59. yang meriwayatkan dari At-Tirmidzi
dan Al-Hakim. Tarikh Al-Jami’, jilid
1: 286. Ini merupakan kitab kumpulan dari hadits-hadits
shahih yang terhimpun kitab2 shahih
selain dari shahih Ibnu Majah. Zaini Dahlan (Mufti Mekkah)
mengatakan: Sanad hadits tersebut shahih berdasarkan kreteria yang
ditentukan oleh Bukhari, Ibnu Majah,
Al-Hakim dalam Mustadraknya, dan
Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Jami’nya.
Masih banyak lagi dalil-dalil hadits
Nabi SAW tentang dianjurkannya bertawassul dalam berdoa. Dengan demikian tawassul itu bukan bid’ah. Hal itu berarti bahwa Tawassul
mempunyai dasar dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Hanya saja sebagian
kecil kaum muslim ada yang berbeda dalam memahami teks-teks Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Berikutnya
hadits Abu Daud dan Turmudzi
dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya: “Bahwa
Rasulullah SAW, mendengar seorang laki-laki mendo’a: “Ya
Allah, saya mohon kepadaMu dengan mengakui bahwa Engkau adalah Allah, Tiada
Tuhan melainkan Engkau, Tuhan Yang Maha Esa, yang bergabung kepadaNya segala
sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tiada seorangpun
yang setara dengan dia”. Maka beliau bersabda: ”Sesungguhnya ananda
telah bermohon kepada Allah ‘Azza wa
Jalla dengan namaNya yang mulia”.
Banyak orang yang
mencontoh tingkah laku dan perbuatan setelah Muhammad menjadi Nabi. Hadits: Barang siapa yang tidak
mencontoh Aku maka bukan umatku (H.R.
Bukhari). Pertanyaannya adalah bagaimana bisa menjadi seorang Nabi ?
Jawabannya bukan untuk menjadi nabi, tapi mencontoh prilaku perbuatan dan
melaksanakan petunjuknya. Atau dengan kata lain contohlah seorang Nabi sebelum
terbentuk, bagaimana telah membentuk dirinya? Tentunya harus belajar kepada
seorang guru sesuai dengan hadits Qudsi
yang disebutkan: ”Barang siapa yang tidak mempunyai Guru (Syekh) atau tidak berguru /
belajar maka wajib setan gurunya”. Sebelum menjadi Nabi, Muhammad
belajar kepada Jibril a.s dan apa
yang dipelajari sedangkan Muhammad masih belum bisa membaca dan menulis (buta
huruf). Pelajaran utama adalah hanya mengingat (dzikirullah) atau menyatu dengan Allah SWT sehingga bisa dikatakan wajah Allah SWT ada pada Nabi Muhammad SAW, atau rabithah kepada
Allah SWT sesuai dengan Q.S Ali Imron 200, “Wahai orang-orang yang beriman
bersabarlah kamu (gigih terus menerus) dan kuatkanlah (tingkatkan) akan
kesabaranmu (pantang mundur) dan perkuatlah berpegang pada rabithah = channel,
saluran, frekwensi (bukan perantara) dan bertaqwalah kepada Allah SWT supaya
kamu beruntung / menang”.
Menurut Imam Al Ghazali, yang menyatakan bahwa
murid tak boleh tidak harus mempunyai syekh (Guru - Mursyid) yang memimpinnya, sebab jalan iman itu adalah samar, sedangkan jalan iblis itu
banyak dan terang. Barang siapa yang tak mempunyai syekh (Guru-Mursyid) sebagai penunjuk jalan dia
pasti akan dituntun oleh Iblis atau setan dalam perjalanannya
itu. QS. An Naml ayat 24 menyebut “Setan telah
menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, lalu menghalangi
mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk”.
Juga QS. Az Zukhruf ayat 37 menyebut:
“Dan
sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan (yang lurus), dan mereka menyangka bahwa
mereka mendapat petunjuk” Lagi dalam QS. An Nisaa ayat 120 menyebut: “Setan itu memberikan janji-janji
dan membangkitkan angan-angan kosong
kepada mereka, padahal syetan itu tidak
menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka”. Dalam QS. Al Baqarah ayat 168 disebutkan: “.... dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu
musuh yang nyata bagi kamu”.
Rasulullah SAW, bersama-sama dengan malaikat Jibril (sebagai guide) dalam ber-munajat
kehadirat Allah SWT dalam peristiwa Isra’
dan Mi’raj, dimana lebih dahulu Nabi Muhammad SAW menjalani tahsfiyat (penyucian
diri) yakni disucikan “Jasmani dan Ruhaninya”, serta dibuang ” 7 darah
kotornya”. Pada peristiwa Isra dan Mi’raj itulah Rasulullah diberi alat berupa frekuensi
yang tak terhingga (~) yaitu Al Buraq
/ Al Kilat yang kecepatannya tak
terhingga. Jelas disini bahwa beliau Baginda Rasulullah SAW oleh Allah SWT
diberikan lebih dahulu secara istimewa suatu “alat” yang tak terhingga tersebut
untuk mencapai kehadirat Allah SWT.
Dan alat itu mutlak perlu diteruskan pada ruhani pengikutnya (kita) pula, alat
tersebut pasti dan masih berada dalam diri
ruhani Rasulullah atau arwahul muqadasah Rasullullah (ruh / arwah yang suci dan tidak mati) dan yang hidup
pada sisi Allah SWT, berkekalan dan
abadi beserta Allah SWT. Dan hal
tersebut diteruskan oleh pewarisNya hingga masa kini. Inilah dia secara ringkas
inti / nucleus dari Tarekat, sehingga menjadi pegangan ummat
untuk mengikutinya seperti firman Allah
SWT dalam QS. Al An’aam: 153 “Wa anna haadzaa shiraathii mustaqiiman fat
tabi’uuhu wa laa tattabi‘us subula fa
tafarraqa bikum ‘an sabiilihii dzaalikum washshaakum bihii la’allakum
tattaquun”, artinya: “ Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus
maka turutilah ia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), maka
kamu bercerai-berai dari jalan-Nya. Demikianlah yang diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ber-taqwa”.
Perintah untuk
taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri serta rasa mencintainya memang
harus diwujudkan dalam kehidupan nyata, QS.
At-Taubah ayat 24 artinya: ”Katakanlah,
Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan yang kamu khawatir
merugi dan tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) ber-jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya, Dan Allah tidak menunjuki kaum yang fasik”.
Lalu dalam QS. An-Nisaa’ : 59 :”Yaa Ayyuhal ladziina aamanuu
athii’ullaaha wa athi’urrasuula wa ulil ammri minkum. Fain tanaazatum fii syai
in farudduu hu ilallaahi war rauuli inkuntum tu’minuuna billaahi wal yaumil
aakhiri dzaalika khairuw wa ahsanu ta’wiilaa”, artinya “Wahai
orang-orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri
di antara kamu. Kemudian kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian lebih baik
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. Lalu Rasulullah bersabda: “Jaminlah untukku enam perkara dari diri
kalian, niscaya kalian kujamin masuk surga. Enam perkara itu adalah: a)
jujurlah jika berbicara; b) tepatilah apabila berjanji; c) peliharalah amanat;
d) tundukkanlah pandangan mata kalian; e) peliharalah kemaluan kalian; dan f)
cegahlah kedua tangan kalian (dari perbuatan terlarang)” (HR. Baihaqi dari Ubaidah ibnu Shomit ra.).
Masuk Tarekat (B
e r - t a u b a t )
Islam memiliki
peradaban yang baik Lalu apa kunci Rasulullah
hingga mampu membangun suatu peradaban baru hanya dalam waktu 23 tahun ?
Kuncinya seperti tergambar dalam surat Al
Baqarah ayat 151 , “Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kamu
seorang Rasul (Muhammad) dari golongan kamu yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepada kamu Al Qur’an, hikmah
dan mengajarkan kepada kamu apa-apa yang belum kamu ketahui”. Ternyata Rasulullah SAW telah menjalankan 3 tugas
utama yaitu disebut: Kami (Allah) telah
mengutus kepadamu Rasul dari golonganmu untuk :
1. Membacakan ayat-ayat-Nya kepadamu (tilawah). Tilawah,
membacakan ayat-ayat Allah.
Memperkenalkan kepada orang-orang tentang adanya petunjuk ‘langit’ dan
meyakinkan mereka tentang kebenaran ayat-ayat ‘langit’ itu. Sekarang ini fungsi
tilawah (membaca ayat-ayat Al Qur’an) telah banyak tergantikan oleh
berbagai media. Kalau dulu hanya dibacakan oleh orang, sekarang ayat-ayat telah
dibukukan, dikasetkan, di CD / VCD kan, di-digitalkan. Orang dapat mengaksesnya secara langsung dari TV,
internet dan radio. Untuk membacanyapun sudah banyak tersedia kursus-kursus
yang dapat melatihkannya dengan berbagai metode yang sangat cepat. Untuk tilawah dapat mempergunakan berbagai
multi-media ayat yang banyak tersebar dengan harga murah.
2. Mensucikan ruhani kamu (Tazkiah). Tazkiyah,
adalah mensucikan jiwa pengikutnya. Tanpa kesucian jiwa-ruhani maka makna
ayat-ayat yang dibacakan tak akan terpahami dengan baik, tak juga ayat-ayat itu
terasakan sebagai penggerak yang memotivasi seseorang untuk mengamalkannya.
Yang jadi masalah adalah fungsi tazkiyah
(mensucikan) itu. Rasulullah SAW mentazkiyah qalbu dan jiwa para sahabat sebelum menta’lim mereka. Jadi para
sahabat, jiwa dan qolbunya
dibersihkan / disucikan terlebih dahulu baru kemudian diberi ajaran kebenaran.
Jiwa sahabat tentu sudah tersucikan lebih dahulu sebelum mendapatkan ta’lim.
3. Ta’lim, yaitu
mengajarkan ketentuan-ketentuan Allah
(hukum, kitab) juga tujuan dan manfaat dari ketentuan-ketentuan tersebut
(hikmah) serta apa-apa yang belum diketahui ummat. Mengajarkan kepada manusia al-Kitab dan al-Hikmah serta apa-apa yang belum diketahui (ta’lim). Fungsi ta’lim
(mengajarkan) masih berjalan terus-menerus, bahkan masih banyak ustadz yang memimpin majelis-majelis Ta’lim, baik langsung maupun menggunakan
fasilitas distance learning melalui
radio, TV dan internet. Untuk ta’lim, dapat saja dengan mendatangi majlis ta’lim, halaqah (alqah / surau), liqa’ dan ma’bit; menjumpai para ustadz,
da’i, kiyai dan murabbi, Tapi semua itu dilakukan dengan qalbu yang belum bersih karena tidak mengalami tazkiyah terlebih dahulu. Kemudian pertanyaannya adalah :
siapa yang mentazkiyah diri kita saat
ini ? Adakah para ustadz atau kiyai itu dapat mentazkiyah kita ? Apakah para murabbi
juga telah tersucikan jiwanya sehingga mampu mentazkiyah kita? Kadang dikatakan, tak perlu tazkiyah secara formal, lakukan saja ibadah dengan ikhlas dan
tekun, nanti jiwa akan tertazkiyah
sendiri. Betulkah? Bagaimana akan dapat ikhlas kalau belum tazkiyah. Bagaimana akan termotivasi dan tekun beribadah, kalau
masih ada kotoran-kotoran jiwa ? Jadi bagaimanakah ini !. Untuk tazkiyah perlu ibadah, tapi untuk ikhlas
dan tekun beribadah dan beramal sholeh
diperlukan tazkiyah lebih dahulu.
Mungkin banyak yg berpendapat tak perlu ada tazkiyah
secara formal, juga tak perlu ada orang yang mentazkiyah kita, itu semua karena kita belum mengetahui pentingnya
dua hal itu. Tapi harus diketahui bahwa Rasulullah
SAW mendapat Tilawah, Tazkiyah dan Ta’lim dari malaikat Jibril,
Beliau tidak langsung mendapatkannya dari Allah
SWT, akan tetapi lewat perantaranya yaitu malaikat Jibril. Para sahabat mendapatkannya dari Rasululah SAW. Para tabi’in
dari para sahabatnya, begitu seterusnya. Tapi lagi-lagi, siapa yang mentazkiyahkan ummat hingga saat ini ?
Kadang orang terlalu arogan dengan mengatakan tak perlu tazkiyah dari orang yang mentazkiyah,
karena hubungan dengan Allah SWT
bersifat langsung dan individual, tak memerlukan perantara. Tapi betulkah
dengan segala kekotoran jiwa dapat terhubung langsung dengan Allah ? Allah Maha Suci, untuk berhubungan tentu haruslah suci juga, bila
kotor maka akan tertolak. Bukankah Rasulullah
SAW sebelum mi’raj pun di tazkiyah dulu qalbunya oleh Jibril ?
Ada ungkapan: “Masukilah
rumah lewat pintunya”, ini sesuai fungsi sebenarnya dari pintu dan suatu bentuk
kewajaran serta merupakan bagian dari pada akhlak. Pelajarilah agama itu melalui
sumbernya. Dan seraplah cahaya (nuur)
Ilahiah melalui salurannya.
Kesimpulannya, harus bisa mendapatkan “kunci pembuka pintu hati“ melalui
seorang pembimbing yang berpredikat Wali- Mursyid. Hal ini adalah sangat
diperlukan dan wajib bagi orang terketuk hatinya serta bagi mereka yang
benar-benar membutuhkan petunjuk dan bimbingan sesuai dengan Al Qur’an surat Al Kahfi ayat 17. Manusia tidak akan pandai tanpa guru (bukankah
siapa yang belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan ?). Jiwa takkan
terbersihkan tanpa ada yang mentazkiyahnya.
Tentu jangan sembarangan orang pula untuk bisa dijadikan mursyid. Bagaimana Ia akan mentazkiyah
diri kita kalau diapun belum tersucikan jiwanya. Jadilah murid yang baik dengan
guru yang baik pula dan berkualifikasikan Wali-Mursyid.
Apabila seseorang
telah berkejangkitan penyakit yang disebut “dosa” atau telah “berbuat maksiat”
dan “melakukan kerusakan alam” dan lainnya, maka obatnya adalah ‘taubat’ kepada Allah SWT. Taubat adalah obat dari penyakit jiwa
dan rusaknya amal. Allah telah mensyaratkan taubat ini kepada hambaNya dan mencintai
orang – orang yang suka ber-taubat
ini disetiap saat. Simaklah beberapa firman Allah
SWT dalam QS. At Tahriim : 8 “Yaa ayyuhal ladziinaa aamanuu tuubuu
ilallahi taubatan nashuuhaa” artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman (percaya) ber-taubat-lah kepada Allah
dengan taubat Nasuha (semurni-murninya)”. Lalu dalam QS. An-Nur: 31 yang artinya: “Dan taubat-lah kalian semua kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. Juga dalam QS. Al-Baqarah: 222 yang artinya: “Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang taubat dan mencintai orang-orang yang suci”.
Kaum muslim,
saudara, sahabat, handai-taulan, jika ada diantaranya yang mungkin ingin
mendekatkan diri kepada Allah dan
bertemu dengan seorang guru sejati, atau seorang mursyid yang haqq untuk
meminta bimbingannya, maka terlebih dahulu harus benar-benar mencari Allah, mencari kebenaran, mencari al-haqq.
Harus ada semacam pertanyaan yang membutuhkan sebuah jawaban “Siapakah aku?
Untuk apa aku diciptakan?”. Bagaimana caranya ber-Tuhan yang benar menurut Allah dan RasulNya? Niat yang benar harus telah tumbuh dalam diri dan itu pun
belum menjadi jaminan bahwa perjalanannya akan berhasil, terkadang ada saja
cobaan menghadang. Jika tidak demikian, atau jika belum merasa benar-benar
membutuhkan, percayalah, tidak akan ada seorang mursyid sejati yang akan membimbing jasmani dan ruhani yang akan
memberi petunjuk dan menjemputnya.
Bukan hanya
sekedar mendekat tetapi juga mengenal Allah
“Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”,
artinya “Siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.” Kata ” ‘Arafa”, juga “Ma’rifat,” berasal dari kata ‘arif,
yang bermakna ’sepenuhnya memahami’, ‘mengetahui kebenarannya dengan
sebenar-benarnya’; dan bukan sekedar mengetahui. Dan nafsahu berasal dari kata ‘nafs’,
salah satu dari tiga unsur yang membentuk manusia (jasad, nafs, dan ruh). Jadi, kurang lebih maknanya adalah “barangsiapa yang ‘arif (sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan ‘arif
pula akan Rabbnya”. Sebagai jalan
untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah,
hanyalah dengan mengenal nafs
terlebih dahulu. Setelah ‘arif akan nafsu sendiri, lalu ‘arif akan Rabb kita,
maka setelah itu baru bisa memulai melangkah di atas ‘Ad-diin’. ‘Arif akan Rabb, atau dalam bahasa Arab disebut ‘Ma’rifatullah’ (meng-‘arifi Allah dengan sebenar-benarnya),
merupakan awal dari perjalanan, bukan tujuan akhir dari sebuah perjalanan sebagaimana
dipahami kebanyakan orang. Salah seorang sahabat Rasul selalu mengatakan dengan kalimatnya yang terkenal: “Awaluddiina
ma’rifatullah”, awalnya agama (diin)
adalah ma’rifatullah (meng-’arif-i atau mengenal Allah).
Pada malam hari
yang ditentukan, Allah menurunkan
‘karunia hujan lebat dari langit’ untuk mensucikan kaum muslimin dan
menaklukkan bumi di bawah kaki mereka. Sebaliknya, hujan tersebut menjadi
bencana besar bagi kaum musyrikin.
Dalam menggambarkan kondisi pada saat itu, Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari
langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu
gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya
telapak kaki(mu)." (QS.
Al-Anfal: 11) Salah satu nikmat yang juga telah Allah berikan kepada kaum muslimin adalah rasa kantuk yang
menjadikan mereka merasa tentram dan tenang, sebagaimana yang tertulis pada
awal ayat yang menjelaskan diturunkannya hujan, "(Ingatlah), ketika Allah
menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentramanan dari pada-Nya, dan Allah
menurunkan kepadamu hujan dari langit .... ". Kisah serupa juga
diriwayatkan oleh Ahmad dengan isnad
yang sampai kepada Anas ibn Malik. Ia mengatakan: Abu Thalhah menceritakan: “Kami tiba-tiba mengantuk. Padahal, saat itu
kami tengah berada di barisan-barisan kami untuk menghadapi perang Badar. Aku
termasuk salah seorang yang dilanda rasa kantuk itu hingga pedang yang ada di
genggamanku terjatuh dan kemudian aku mengambilnya. Namun, pedang tersebut
kembali terjatuh dan aku pun mengambilnya”. Begitulah gambaran bahwa
kemampuan jasmani (fisik) itu ada batas-batasnya dan bahkan akan mati.
Kesadaran pun akan terasa seperti tertinggal oleh kehidupan ruhani (ruh bersifat
metafisik, gaib), yang tidak pernah mati dan terus mencari jalan dan tempat
sebagai tujuan akhir. Selama hidup,
manusia haruslah ‘mengenal diri’ dan mencari ‘tali Allah’ dan ‘jalan-Nya’,
sehingga bila sudah berakhir dalam menjalani hidup di dunia, maka sudah tentu pula
bersiap diri menerima dan telah bergabung pula di ‘jalan Allah’ tersebut, yang selanjutnya menjalani kehidupan di alam
akherat, dan dipastikan tidak akan tersesat dan jelas akan tujuannya.
Dalam sebuah kisah dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim,
yaitu ada seorang pembunuh yang membunuh 100 orang. Dia bunuh seorang Rahib / pendeta (ahli ibadah) sebagai
korban yang ke-100, karena jawaban bodoh dari si Ahli Ibadah itu dalam
menjawab, bahwa sudah tidak ada lagi pintu taubat
bagi pembunuh 99 nyawa manusia. Akhirnya setelah membunuh ahli ibadah yang
menjawab dengan bodoh itu, maka si pembunuh pergi ke seorang Alim dan disana ia ditunjukkan jalan
untuk bertaubat, yaitu agar pergi ke tempat yang disana penghuninya menyembah Allah, ia agar ikut menyembahNya
sebagaimana yang mereka lakukan dan jangan sampai kembali ke desa semula karena
disana tempat orang jahat. Ditengah jalan ia mati, maka malaikat Rahmat
bertengkar dengan malaikat Adzab. Lalu datang malaikat berujud manusia menjadi hakam (juru damai), menyuruh agar diukur
mana yang lebih dekat, kampung baik atau kampung jelek. Ternyata mayat ini
lebih dekat sejengkal ke kampung baik yang dituju untuk bertaubat itu, maka dibawalah ia oleh malaikat Rahmat. Demikianlah,
dengan adanya orang Alim yang memberi
petunjuk tentang kebenaran, maka dia pun mendapatkan penerangan bagi jalan
hidupnya hingga mendapatkan jalan untuk bertaubat.
Disinilah bila kita simak, betapa jauh bedanya antara yang ber-ilmu dan yang
tidak, antara yang menyesatkan dan yang menunjukkan kebenaran.
Pengertian taubat adalah kembali kepada “jalan yang
benar”, jalan yang diridhoi oleh Allah
SWT. Bertaubat tidak sekedar
mohon ampun (atubu ilaih), tapi juga
harus beramal-sholeh dan menempuh
jalan-Nya atau kembali Allah (bersandar
kepada Allah). Maknanya seperti kutipan
yang terjemahannya: ”... apabila ia telah dewasa dan umurnya telah 40
tahun, ia pun berdo’a. Ya Tuhanku tunjukilah aku untuk dapat mensyukuri nikmat
Engkau, yang telah Engkau berikan kepadaku, kepada ibu bapakku, agar aku dapat
berbuat amal yang sholeh yang Engkau ridhai, baguskanlah diriku yang dengannya
akan membaguskan pula keluarga dan keturunanku, sesungguhnya aku bertaubat
kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri
(kepada-Mu)” (QS. 46 : 15). Betapa bahagia dan indahnya
bila orang berdo’a seperti ayat tersebut di atas, yang karenanya kelak menjadi
penghuni surga disebabkan memperoleh ampunan dan amal-sholehnya diterima dan mendapat ridha dari Allah SWT.
Harapan dimulai dari kemampuan atau kepintaran untuk mensyukuri nikmat sampai
bertaubat dan beserah diri kepada Allah melalui jalan-Nya. Suatu keinginan
untuk beramal sholeh dalam rangka
menggunakan karunia Allah itu, yang
berimbas kepada kebaikan keluarga dan keturunan. Disela-sela upaya beramal
sholah kemungkinan ada dosa, ada amal yang tidak sempurna, maka penghuni surga
(calon) itu berkata: ”innii tubtu ilaika” (aku bertaubat kepada Engkau). Amal sholeh sesungguhnya juga menjadi
syarat diterimanya suatu taubat yang
dinyatakan dalam QS. Al Baqarah : 160
yang artinya:”.... kecuali mereka yang bertaubat dan beramal sholeh dan bersikap
transparan, maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Aku Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. Dalam proses bertaubat yang benar
dan beramal sholeh (berdzikrullah) harus ikhlas dan murni karena Allah, seperti
terjemah QS. Annisaa, 146: “... kecuali orang-orang yang bertaubat dan
beramal sholeh serta berpegang teguh kepada Allah dan tulus ikhlas beramal
mengerjakan (perintah) agama karena Allah. Maka mereka pun masuk golongan
orang-orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang
beriman itu pahala yang besar”.
Lalu kita bertanya
pada diri sendiri, umur berapakah pada saat ini ? Masih mudakah atau sudah
tuakah ? Dalam bertaubat tidak
kaitannya dengan umur, seberapakah semestinya melakukan taubat. Namun demikian dalam hadits
Qutsi Allah SWT berfirman: “Aku suka mereka yang bertaubat dan sangat
Aku suka jika yang bertaubat itu masih muda” (Hidayatul Mursyidiin). Hadits
tentang taubat, Rasulullah
bersabda Artinya: “Wahai manusia ber-taubat-lah
kepada Allah dan istighfarlah kepada-Nya, maka sungguh Aku bertaubat seratus
kali dalam sehari” (HR. Muslim).
Lalu yang artinya: “Siapa yang ber-taubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah
menerima taubat-nya” (HR. Muslim).
Disamping itu yang artinya: “Seorang
yang taubat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah
mencintai seorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya” (Hadist diriwayatkan Ibnu Mas’ud dan
dikeluarkan oleh Ibnu Majah, Al-Hakim, At-Turmudzi). Berikut yang artinya :
“Orang
yang ber-taubat itu kekasih Allah SWT dan orang yang ber-taubat itu seperti
orang yang tidak mempunyai dosa” (HR.
Ibnu Majah dari Ibnu Mas’ud).
Juga disebutkan artinya: “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah
melebihi seorang pemuda yang taubat”
[11](HR. Salman (daif / lemah). Nabi SAW bersabda: “Andaikan kamu berbuat dosa,
sehingga dosamu mencapai langit kemudian kalian ber-taubat, niscaya Allah
memberi ampun kepada kalian”(HR.
Ibnu Majah). Nabi SAW lagi
bersabda: “Sesungguhnya Allah Azzawa jalla tetap menerima taubat seseorang hamba
selama belum naza”. Dalam riwayat At-Tirmidzi disebutkan :”Seseorang
mungkin jika berbuat dosa maka berbintik hitam dalam hatinya, maka bila ia
ber-taubat menghentikan dan membaca istighfar mengkilap kembali hatinya, dan
bila menambah dosanya bertambah bintik hitamnya, sehingga menutup hatinya, maka
itulah yang bernama ar roan yang hati mereka telah kotor (keruh,gelap) dari
pada yang mereka lakukan” (HR.
At-Tirmidzi). Taubat bagaimanakah
yang bisa mengobati dosa ? Jawabnya adalah taubat nasuha atau taubat yang benar. Taubat yang benar itu mempunyai tiga
unsur, antara lain:
1. Menyadari (sadar)
dengan betul-betul akan kejahatan, perbuatan-perbuatan dosa atau maksiat yang telah
diperbuatnya dan merasa sangat menyesal telah melakukannya.
2. Berjanji dalam
diri untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan tidak terpuji tersebut
selama-lamanya dan berusaha tidak mengulangi perbuatan dosa lagi.
3. Berusaha untuk
menghilangkan bekas-bekas dosanya yang telah lalu dengan menutupnya dengan
ibadah dan amal sholeh serta
perbuatan yang baik.
Dengan kesadaran
ini, orang yang telah bertaubat dan
berusaha segera mensucikan jiwanya, dengan banyak ber-dzikir atau meng-ingat Allah SWT dan banyak beramal sholeh serta mengurangi
kesalahan-kesalahan yang diperbuat. Allah
berfirman sebagai berikut: QS. Ali ‘Imraan : 135 yang berbunyi “Wal ladziina idzaa fa’aluu faahisyatan
auzhalamuu anfusahum dzakarullaaha fas taghfaruu li dzunuubihim wa may
yaghfirudz dznuuba illallaahu wa lam yushirruu ‘alaa maa fa’aluu wa hum
ya’lamuun” artinya: “Dan (juga) orang-orang yang bila berbuat
keji atau zalim terhadap dirinya, mereka ingat kepada Allah, lalu mereka
memohon ampun atas dosa-dosanya. Dan siapa lagi yang dapat mengampunkan dosa
melainkan Allah ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu sedang mereka
mengetahui”. Juga dalam QS. An
Nisaa: 110 yang berbunyi: “Wa may
ya’mal suu-an au yazhlim nafsahuu tsumma yastaghfirillaaha yajidillaaha
ghafuurar rahiimaa” artinya:” Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan atau
menganiaya dirinya, kemudian dia mohon ampun kepada Allah, niscaya dia
mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Berdasarkan hal
tersebut, sesungguhnya dapat diambil suatu pelajaran bahwa Allah menyukai orang-orang yang ber-taubat atas dosa-dosanya dan pintu taubat terbuka hingga matahari terbit sampai akhirnya kiamat
datang. Apabila telah bertaubat dengan
benar dan dengan keikhlasan, sehingga Allah
menerima taubatnya dan berkenan
melimpahkan rahmatNya serta dapat membersihkan jiwa mereka hingga menjadi dekat
dengan Allah, maka semua kejahatan
akan berubah menjadi kenikmatan, kejelekan menjadi kebaikan dan diberi
nur-cahaya yang menerangi serta memperoleh hidayah
dan taufiq.
Namun demikian ada juga taubat
yang tidak diterima oleh Allah SWT, yaitu taubatnya orang-orang yang telah mencapai sakaratul maut dan dalam
keadaan kafir. Allah berfirman dalam QS. An Nisaa’: 18 yang berbunyi “Wa
laisatit taubatu lil ladziina ya’maluunas sayyi-aati hattaa idzaa hadhara
ahadahumul mautu qaala innii tubtul aana wa lal ladziina yamuutuuna wa hum
kuffaarun ulaa-ika a’tadnaa lahum ‘adzaaban aliimaa” artinya: ”Dan
tidak akan diterima taubat dari orang-orang yang berbuat kejahatan hingga ajal
mendatangi salah seorang dari antara mereka, lalu dia berkata, “Sesungguhnya
aku ber-taubat sekarang”. Dan tidaklah (pula akan diterima taubat) orang-orang
yang mati sedang mereka itu dalam kekafiran. Bagi mereka Kami sediakan azab yang pedih”.
Apabila seseorang
hendak masuk Islam secara keseluruhan (kaffah
/ lengkap) pada hakekatnya berarti hendak ber-taubat, disunahkan
baginya untuk melaksanakan mandi taubat. Orang-orang yang hendak bertaubat,
sebelumnya diawali dengan niat dan dilanjutkan dengan mandi taubat. Dalam hadits Nabi diterangkan: ‘An
Qais bin ‘Ashim qola: Ataihu Nabiyya sholallahu ‘alaihi wassalama uridul Islama
fa amara an agtasila bimain wasidrin, artinya: Dari Qais bin Ashim; Ia
berkata: Saya mendatangi Nabi SAW hendak masuk Islam, lalu Beliau menyuruh saya
mandi dengan air dan daun bidara
(HR. Abu Dawuid dan Tirmidzi).[12]
Mandi Taubat
1. “Innallaaha Yuhibbut tawwaabina wa yuhibbul
muthahhiriin” Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
taubat dan menyukai orang-orang yang
bersuci”. (QS. Al Baqarah
ayat 222)
2. Mandi taubat atas segala dosa dan noda, baik
zahir maupun (terutama) batin. Hukum
mandi adalah sunnat. Tata cara mandi taubat seperti mandi biasa, seperti
dalam Hadist: ‘An Qaisibni ‘Aashimin annahuu aslama fa-amaran Nabiyyu SAW ayyaghtasila
bimaa-in Wasidrin’. Artinya: Dari
Qais bin Ashim, ketika Ia masuk Islam, Rasulullah
SAW menyuruhnya mandi dengan air dan daun bidara (HR.Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai). Hadits lainnya: ‘Anibni’
Abbaasin ra Annan Nabiyya SAW qaala Filladzii saqatha ‘anraahilatihii famaata
aghsiluuhu bimaa-in wasidrin’ artinya: Dari Ibnu Abbas; Bahwasannya Nabi SAW telah bersabda kepada orang yang
mati terjatuh dari kendaraannya. Sabda beliau: Mandikanlah dengan air serta daun
bidara (atau dengan suatu yang menghilangkan daki seperti sabun) (HR. Bukhari Muslim).
3. Membaca surat Al Insyiraah (Alam Nasyrah dstnya) di dalam hati (terjemahkan!).
Penjelasan:
Mengurangi beban atau untuk kelapangan hati / dada. Di dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa
ketika turun ayat ini (inna ma’al ‘usri
yusron) Rasulullah SAW bersabda:
”Bergembiralah
kalian karena akan datang kemudahan bagi kalian. Kesusahan tidak akan
mengalahkan dua kemudahan” (HR.
Ibnu Jarir).
Air Dzikir
Air dzikir adalah air yang telah dilarutkan
di dalamnya dzikrullah, yaitu do’a
dari para Guru-Mursyid. Seperti
halnya air zam-zam yang juga telah
dilarutkan dzikir dan do’a dari para Rasul dan berjuta-juta orang. Dalam hadits juga ada menyebut: Dari
Saib bin Yazid; Ia berkata: Saya pergi
dengan bibi saya kepada yang terbaik di dalam Islam, karena saya telah
mendengar suara sandalmu di depanku di Surga Rasulullah SAW, bibir saya berkata: “Ya Rasulullah ! Anak
saudara perempuan saya (ini ) jatuh. Lalu Beliau mengusap kepala saya sambil
mendoakan keberkatan kepada saya. Beliau lalu berwudhuk, lalu saya minum air bekas wudhuk Beliau. Kemudian saya berdiri dibelakang Beliau, lalu saya
melihat ada cap (kenabian) diantara kedua bahu beliau. (HR. Bukhari) [13]
Shalat Sunnah
Dalam rangkaian bertaubat, beberapa shalat sunnah dilaksanakan untuk menunjukkan kesungguhan antara
lain:
a. Sunnah Wudhu dalilnya hadits:
Dari Abu Hurairah RA ia berkata: Rasulullah
SAW bersabda kepada Bilal bin Rabah: Ya Bilal ceritakan kepadaku, amal apakah
yang telah kau lakukan? Jawab Bilal: Tidak ada satu amal yang sangat
saya harapkan di dalam Islam, selain jika saya selesai berwudhuk baik diwaktu
malam atau siang maka saya shalatkan itu wudhu (HR. Bukhari Muslim). Juga : Dari Uqbah bin Amir Al Juhani;
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila
seseorang berwudhuk, lalu menyempurnakan wudhuknya dan shalat dua raka’at
dengan menghadapkan hati dan wajahNya (khusuk), maka surga wajib baginya”.
(Dalam hadist lain; “Diampuni baginya dosa yang telah lalu”).
(HR. Abu Dawud) [14]
b. Sunnah Taubat dalilnya hadits yang berbunyi: “Ma mim rajulin yudznibu dzanaban tsuma
yaqumu fayatatohharu tsumma yusholli tsumma yastagfirullaha illa ghafarallau
lahu” artinya: “Tiada seorang laki-laki yang berbuat dosa, kemudian berdiri maka ia
berwudhu, kemudian shalat, kemudian mohon ampun kepada Allah, melainkan
diampuni baginya” (HR. Abu Daud,
An-Nasai, Ibnu Majah dan Baihaqi). Juga : Dari Abu Bakar; Ia berkata: Saya
mendengar Rasulullah SAW bersabda: “ Apabila
seseorang berbuat dosa kemudian bangun, lalu berwudhuk, shalat, kemudian
minta ampun kepada Allah, maka Allah mengampuni kepadanya” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)[15]
c. Sunah Hajat dalilnya hadits: “An ‘Abdlillah ibni Aufa radiyallahu ‘anhuma qola, qota rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallama : man
kanat tahu ilallahi hajatan au ila ahadin min bani adam fal yatawadho’ wal
yuhsil wudhu’a tsumma liyusholli rak’ataini”, artinya: Dari Abdullah bin
Aufa RA ia berkata, Rasulullah SAW
telah bersabda: “Barang siapa yang mempunyai hajat kepada Allah atau berhajat kepada
seorang dari Bani Adam (manusia) maka
hendaklah berwudhu dan baguskanlah wudhunya itu, lalu shalatlah dua rakaat”
(HR. At- Tarmidzi). Berikutnya
adalah: Dari Abdillah bin Abi Aufa Al Aslami; Ia berkata: Rasulullah SAW keluar menuju kami, lalu bersabda: ”Barangsiapa
ada hajat kepada Allah atau kepada salahsatu makhluq-Nya, maka berwudhuklah dan
shalatlah dua raka’at”(HR. Ibnu
Majah dan Tirmidzi) [16]
Tidur Taubat
Untuk
menghayati dan meresapi sabda Rasulullah SAW ini: “Wa’udda nafsaka min ashabil qubur” yang
artinya: “Anggaplah / andaikanlah /
rasa-rasakanlah dirimu dari golongan orang-orang penghuni yang di kubur (ahli
kubur)”, oleh Ulama Tasawuf (Tarikat Naqsabandiyah) dilaksanakan serangkaian kaifiyat bertaubat, dengan melaksanakan tidur dalam keadaan bersuci, miring
kekanan serta diselimuti kain putih. Tidur sesudah mandi dan berwudhuk serta shalat sunnah, tata caranya seperti orang mati, yaitu berbaring di
atas lambung / rusuk kanan, seolah-olah mati
atau “matikan dirimu” yang artinya “patuh” atau “mati hakekat”,
merupakan cerminan dari rukun iman bagi yang percaya pada hari akhir. Firman Allah
SWT QS. Az Zumar: 30 “Innaka mayyituw wainnahun mayyituun”, artinya:
“Sesungguhnya
kamu akan mati dan sesungguhnya mereka juga akan mati”. Penjelasan: Hal
ini dilakukan agar mereka memperoleh kesan yang mendalam, bahwa mereka satu
kali kelak akan mati juga, hingga benar-benar harus bersiap-siap untuk itu,
yakni harus hidup suci dan lurus senantiasa, karena mati datangnya tidak
memberi tahu. Bagaikan timun yang bisa dipetik muda ataupun tua. Tidur dalam
keadaan suci dari hadats (ber-wudhuk), dalam hadits: Dari Ibnu
Abbas; Sesungguhnya Nabi SAW bangun malam, lalu masuk kakus menyelesaikan
hajatnya, kemudian membasuh wajah dan kedua telapak tangannya (berwudhuk),
kemudian tidur (lagi) (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Majah).[17] Ketika tidur berbaring di atas rusuk kanan
ditutup kain putih seperti mayat terdapat dalam hadits “Qaala lii
Rasuulullaahi SAW: Idzaa ataita madhja’aka fatawaddha wudhuuaka lisshshalaati
tsummadhthaji’alla syiqqikal aimani” (HR.
Bukhari). Juga hadist yang
berbunyi “‘Anil barra ibnu ‘Azib qola,
qola lii rasulullahu shollallhu ‘alaihi wa salamma: idza ataitamddoji’aka fa
tawadho’, katawadhu’ika lisholati tsummadhtoji’ ‘ala syaqqikal aima”, artinya:
Dari Barra bin Azib; Ia berkata: Rasulullah
SAW bersabda kepadaku: “Apabila engkau hendak tidur, maka
berwudhuklah terlebih dahulu seperti wudhukmu untuk shalat, kemudian
berbaringlah ke sebelah kananmu “(HR.
Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).[18] Lalu hadits yang berbunyi “Inna nabiyya shollallahu ‘alaihi wa sallama kana idza aroda ay yarqudawadho’a
yadahu yumma tahta khaddihi “, artinya: Dari Hafshah istri Nabi SAW; Sesungguhnya Rasulullah SAW
apabila berkehendak untuk tidur, maka beliau meletakkan tangan kanannya di bawah pipinya (HR. Abu Dawud).[19] Selanjutnya sabda Rasulullah yang berbunyi “Ilbisu
min tsiyabikumul bayadho fa innaha khairu tsiyabikum wa kaffinu fiha mautakum”,
artinya: “Pakailah olehmu pakaian yang
putih (termasuk selimut), seungguhnya kain putih itu kain yang paling baik, dan
kafanilah mayat kamu dengan kain putih pula (HR. Abu Daud). Demikian pula: Dari Ibnu Abbas, Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ”Pakailah
olehmu pakaian kamu yang putih, sesungguhnya (pakaian putih itu adalah) pakaian
kamu yang terbaik, kafanilah mayat kamu dalam kain putih (pula) dan sebaik-baik
celakmu itu utsmud, Ia bisa memperjelas penglihatan dan menumbuhkan rambut”
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
.[20]
Dzikir Khafi
Yang dimaksud dzikir khafi adalah dzikir yang
samar tidak terdengar yaitu dzikir ‘sirr’
didalam hati. Firman Allah SWT QS.Al
A’raaf : 205 “Wadz kur rabbaka fii
nafsika tadharru’aw wa khiifataw wa duunal jahri minal qauli bil ghuduwwi wal aashaali wa laa takum minal
ghaafiliin”, artinya: “Sebutlah Tuhanmu dalam hatimu dengan
merendahkan diri, takut dan dengan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan
petang. Dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai”. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik dzikir itu yang
samar dan sebaik-baik rizki itu yang mencukupi” (HR. Ahmad bin Hambal).[21] Lalu : Dari Qais
bin Ubbad, Ia berkata: Para Sahabat Rasulullah SAW tidak suka
meninggikan suara dalam tiga perkara, yaitu: tatkala berperang, ketika
mengantar Jenazah dan dalam dzikir (HR.
Baihaqi). [22] Juga : Dari
Aisyah RA, Ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda: Dzikir yang tidak didengar oleh malaikat Hafazhah (khafi) itu lebih
banyak pahalanya daripada dzikir yang didengar oleh malaikat Hafazhah (jahar),
dengan tujuh puluh kali lipat (HR. Baihaqi).[23] Dalam berdzikir
taubat diharapkan untuk tidak berniat selain karena Allah SWT, bukan untuk
kekeramatan dan bukan pula untuk memperoleh kekayaan atau pun memperoleh
kesenangan seperti dalam hadits
berikut: Dari Abu Hurairah, Ia berkata: Rasulullah
SAW bersabda: “ Perbanyaklah ingat akan yang memutuskan kelezatan-kelezatan (maut) ” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Nasai). [24] Dan, “Campurkanlah
majlismu dengan mengingat akan yang mengkeruhkan kelezatan-kelezatan (maut)”
(HR.Ibnu Abiddunya dari Anas). [25] Allah berfirman, mutu kabla anta mu’tu, yaitu "Matilah (kuasai egomu) sebelum
engkau mati". Nabi SAW
berkata, "Jika engkau ingin melihat seseorang yang meninggal sebelum dia mati,
lihatlah pada Abu Bakar ash-Shiddiq" Itu artinya Sayyidina Abu Bakar mampu menguasai
egonya, karena bila ego tidak ada tentu yang adalah Tuhannya (Allah). Ketika seseorang mengikuti jejak
Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, akan membawanya kepada
Jalan Rasul (Nabi Muhammad SAW ), yang merupakan Jalan menuju Allah jua. Disamping itu, ada musuh yang
empat yang harus pula dikendalikan: yakni nafs,
dunya, hawa, dan setan.
[2] KH.A.Aziz
Masyhuri, Permasalahan Thariqah, Hasil Muktamar NU, 2006,
hal: 23
[7] Busthami
Muhammad Sa’id, Mafhum Tajdiduddin, terjemahan Ibnu Marjan dan
Ibadurrahman, Gerakan Pembaruan
Agama: Antara Modernisme dan Tajdiduddin, PT Wacana Lazuardi
Amanah, Bekasi, cetakan pertama, 1416H/ 1995M, hal 15
[12] Kitab-kitab: Sunan
Abi Dawud, hal. 98, Juz I dan Sunan
At Tirmidzi hal 58, Jilid II
[13] Kitab Matnul Bukhari, Hadist ke 1534
[14] Kitab: Sunan Abi Dawud, hal. 238, Juz I
[18] Kitab-kitab: Matnul
Bukhari, Hadits ke 163 hal. 55 Jilid I. Shahih
Muslim hal. 478, Jilid II dan Sunan
Abi Dawud hal. 311 Juz 1
[19] Kitab Sunan Abi Dawud hal. 310 Juz IV.
[20] Kitab-kitab: Sunan
Abi Dawud hal. 8 Juz IV, Sunan Ibni
Majah hal. 1181 Jilid II dan Sunan At
Tirmidzi hal.203 Jilid IV.
[23] Drs. Imron Aba,
Disekitar Masalah Tariqat Naqsyabandiyyah (terjemahan ), hal. 34
[24] Kitab-kitab: Sunan Ibni Majah hal.1422 Jidid II, Sunan At Tirmidzi hal.379 Jilid III dan Sunan
An Nasai hal.4 Juz IV.
[25] Prof.Tk. H. Ismail
Yakub SH, MA, Ihya Ulumiddin lil Imam Al
Gazali Jilid VIII (terjemahan) terbitan CV.
Faizan, Semarang, hal.252
Hidup dan Seni - blogspot.goesmul.com - islam
goesmul@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar