SEJARAH PRODUK KRIYA BERMULA BUDAYA MATERI
oleh Agus Mulyadi Utomo
Manusia dalam kehidupan
merupakan serangkaian dari masalah-masalah, dimulai dari sejak kelahirannya
telah dihadapkan pada berbagai macam tantangan hidup dan kehidupan, yang timbulnya
bisa bersumber dari dalam diri, lingkungan alam dan sosial serta budaya, atau
saling mempengaruhi atau saling berhubungan satu dengan lainnya. Dengan menggunakan akal, pikiran dan
ketrampilannya, manusia pada akhirnya mampu mengatasi dan memecahkan berbagai
masalah betapapun rumit dan peliknya, sehingga membuahkan hasil karya dan
pemikiran yang bermanfaat ke arah tingkat kemajuan hidup yang lebih tinggi dan
layak.
Bermula dari kebudayaan paling sederhana yang muncul pada zaman batu. Hal tersebut
berkaitan dengan tingkat kecerdasan, perasaan dan pengetahuan yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pada zaman itu. Untuk menunjang
kelangsungan hidup, manusia kemudian membuat alat-alat dari bahan-bahan yang
diperoleh di alam sekitar mereka. Sebagai contoh, kapak genggam dan alat-alat perburuan yang dibuat dari tulang dan tanduk binatang.
Setiap saat manusia dihadapkan pada suatu sikap untuk bisa mengambil
keputusan atau tindakan sebagai suatu reaksi terhadap suatu kebutuhan dan
keadaan aman dilingkungan kehidupannya. Kebutuhan dasar yang umumnya berupa
makan-minum (pangan), sandang (pakaian)
dan papan (tempat tinggal). Dan bila
sudah terpenuhinya kebutuhan dasar (jasmani-material) tersebut, lalu meningkat
pada kebutuhan yang bersifat norma-rasa-batiniah, berupa nilai-nilai tertentu,
identitas dan kepribadian serta harga diri atau prestise (status-sosial-budaya) yang setiap saat berubah.
Manusia selalu bereaksi.
Karena itulah, sebagai sesuatu hal yang menyebabkan manusia melangkah untuk
lebih maju dan berkembang. Tindakan untuk bereaksi juga merupakan tanggapan
dari sesuatu hal akan kebutuhan, yang bisa saja timbul dari individu atau
kelompok masyarakat, baik sebagai makhluk biologis maupun sebagai makhluk
sosial-budaya. Bisa dengan reaksi intelektual (akal-ilmiah) atau emosional
(rasa-ekspresi) yang didorong oleh kemauan atau kehendak (karsa) untuk
senantiasa berusaha memenuhi akan kebutuhan dan memecahkan berbagai
permasalahan yang ditemui. Tindakan berupa
kegiatan yang dimulai dari berfikir, merancang hingga mewujudkan benda-benda
bernilai, yang sebenarnya untuk memenuhi suatu kebutuhan adalah sebagai hasil
dari olah cipta, olah akal, olah rasa dan karsa. Setiap orang tentu ada
keinginan untuk bisa mengungkapkan tentang perasaannya, gagasannya,
tanggapannya, pendapatnya, sikap dan pengalamannya sebagai naluri yang
sebenarnya telah diwarisi secara turun-temurun.
Tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat
(1974) adalah:
- Pertama, sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;
- Kedua, sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat yang disebut sistem sosial;
- Dan ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia yang biasa disebut kebudayaan fisik. Berupa hasil aktivitas manusia seperti benda-benda nyata atau kasat mata, dapat diraba, dan difoto, mulai benda bangunan besar dan kolosal, lalu candi-candi serta patung atau arca-arca, pakaian, perhiasan, hingga benda yang kecil peralatan hidup sehari-hari, benda magis-spiritual, juga sampai pada benda seni yang murni emosional.
Pandangan Koentjaraningrat tersebut dalam kenyataan hidup masyarakat
sehari-hari tampak sulit dibedakan satu dengan lainnya, karena bisa terjalin menjadi
suatu rangkaian yang tidak terpisahkan. Adat-istiadat kebiasaan dan kepercayaan
serta agama turut pula mengatur atau memberi arah kepada perbuatan yang
menghasilkan benda-benda fisik nyata sebagai wujud dari konsep yang dianggap
bernilai atau ideal. Kehadiran benda-benda tentu akan berakibat munculnya ide
atau gagasan baru atau benda-benda yang baru pula, demikian seterusnya dan bisa merupakan serangkaian sebab-akibat atau
sebagai proses pembelajaran menuju suatu yang lebih baik dan berkembang.
Kemampuan pembuatan produk kriya sudah tampak dalam periode budaya agraris
(agriculture), yang menunjukkan perkembangan peradaban. Perkembangan
yang secara umum diikuti oleh suatu peningkatan kebutuhan hidup yaitu seperti
keperluan terhadap peralatan pertanian, dapur, pakaian dan peralatan rumah-tangga
lainnya, sehingga orang kemudian memproduksi beberapa produk seperti: pisau
atau parang, cangkul, cawan, periuk, tempayan, pakaian, perhiasan, kursi dan
mebelair serta perabotan lainnya.
Salah satu cara yang paling penting
dalam hubungan antara manusia secara sosial adalah melalui perantaraan
benda-benda (produk). Budaya materi merupakan istilah bagi kajian hubungan
manusia-benda: kajian mengenai manfaat benda-benda atau objek-objek. Dengan
demikian budaya materi ini menjadi berguna, karena menunjukkan bahwa materi dan
budaya selalu berkombinasi dalam hubungan-hubungan yang spesifik dan bahwa
hubungan-hubungan ini dapat menjadi objek studi wilayah artefak yang dikenal
luas sebagai budaya materi yang mencakup: alat, peralatan, senjata, ornamen,
perkakas domestik, objek-objek relegi, barang-barang antik, artefak primitif,
bahan-bahan tradisi, dan lain-lain. Produk kekriyaan sebagai artefak merupakan
salah satu produk budaya materi yang sangat penting dan merupakan salah satu
sarana yang melaluinya dapat diperoleh sutu hubungan dengan masa lalu. Semenjak
produk kriya memainkan peran penting dalam kehidupan sosial di masa lalu,
misalnya keramik yang tahan waktu atau zaman telah menjadi suatu sumber data
yang bernilai untuk merekonstruksi kondisi sosial. Sehingga jejak-jejak
perubahan kebudayaan yang tercemin melalui pengalihan teknologi dan gaya
keramik dalam suatu masyarakat akan memberikan indikasi informasi yang bernilai
tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu. Telaah melalui perubahan
stifistik, morfologi, dan teknologi akan mencerminkan bagaimana pengaruh dari
pembuatan keramik yang inovatif dalam masyarakat maupun akibat-akibat dari
konteks sosial dan kultural. Oleh karena itu studi perubahan melalui produk keramik
atau melalui kajian terhadap sebab-akibat atau atas reaksi terhadap perubahan
tertentu dalam masyarakat pembuatnya akan memberikan informasi tersebut. Seperti juga
produk karya seni murni dan arsitektur, objek-objek yang dihasilkan secara
industrial dapat dilihat sebagai manifestasi perubahan dalam iklim mental dan sebagai
kehendak sejarah. Karena dalam perencanaan (desain)
yang merupakan upaya secara sadar untuk mengadakan tatanan yang bermakna,
sehingga bentuk dari artefak manusia, melalui desainnya, dapat dipahami khususnya dalam konteks waktu.
Semua kebudayaan secara konstan
berubah, tidak ada kebudayaan yang statis sepenuhnya. Bahkan dalam semua sistem
sosio-kultural juga selalu mengalami perubahan, walaupun tingkat dan bentuk
perubahan berbeda-beda dari situasi satu ke situasi lainnya. Banyak faktor yang
mempengaruhi tingkat perubahan seperti: perubahan dalam lingkungan fisik, jumlah,
penyebaran, komposisi penduduk, kontak dan isolasi, nilai dan sikap, struktur
sosial, kebutuhan yang dirasakan, adat-istiadat dan budaya. Sementara itu perubahan
pada umumnya akan mengikut sertakan modifikasi dalam lingkungan sosio-kultural
atau lingkungan fisik. Lingkungan sosio-kultural lebih menunjuk pada orang,
kebudayaan, dan masyarakat, sedangkan lingkungan fisik menunjuk pada tata
ekologi tertentu, baik alami maupun buatan manusia (Koentjaraningrat: 1984,
90).
Dalam studi perubahan produk kekriyaan,
ada tiga masalah teoritis yang perlu ditelaah dalam kaitannya dengan konteks
sosial dan kultural adalah: rangsangan terhadap perubahan, faktor internal dan
eksternal dalam proses perubahan, dan arah dalam proses inovasi. Proses
perubahan sosial dan kultural menunjukkan berbagai variasi seperti: penemuan,
invensi dan difusi. Penemuan adalah suatu kegiatan untuk menjadikan sadar atas
sesuatu, terkadang yang telah ada sebelumnya tidak dirasakan dan disadari.
Invensi adalah suatu kombinasi baru dari objek-objek atau pengetahuan yang
telah ada untuk membuat suatu produk baru atau merupakan suatu sintesis dari
bahan dan kondisi atau praktek yang ada sebelumnya. Dalam konteks seperti itu,
invensi dapat diartikan sebagai "pembuatan". Perubahan yang berkaitan
dengan konteks sosio-kultural tersebut, kaum intelektual berperan sebagai
pendahulu dalam pembentukan sistem pengetahuan masyarakat. Di samping itu
terdapat kelompok-kelompok pembawa budaya tertentu yang memiliki pengaruh besar
dalam menentukan kontur budaya konsumen sebagai konsekuensi kemampuannya di dalam
mempengaruhi perkembangan fashion,
gaya hidup, seni dan budaya.
Dalam pembentukan selera kesenian,
massa disini mempunyai peranan besar dan penting, sementara itu para investor
dan pasar juga ikut berperan besar sebagai pembuat cita rasa massa dan pembentuk
nilai-nilai budaya bangsa. Secara luas dibangun oleh kaum intelektual yang mencakup:
kriyawan, ahli, peneliti, sarjana, dan seniman serta desainer sebagai sumber
daya kreativitas. Daya kreativitas yang dimiliki kaum intelektual tersebut pada
gilirannya akan melahirkan berbagai inovasi baru.
Istilah inovasi seringkali digunakan
untuk mencakup hasil penemuan dan invensi tersebut, hal ini tentu merupakan
pikiran, perilaku, atau sesuatu yang baru, karena secara kualitatif berbeda
dari bentuk semula. Sehingga inovasi secara longgar dipandang sebagai adopsi
terhadap suatu proses dan bentuk yang baru. Inovasi merupakan suatu ide atau
konstelasi ide, tetapi beberapa inovasi yang melalui sifatnya kadangkala hanya
tinggal dalam organisasi mental, sementara yang lain mungkin merupakan bentuk ekspresi
yang tampak dan nyata.
Inovasi pada produk kriya tampak pada
munculnya proses dan bentukan produk baru, suatu produk yang berkembang yang
bersifat non-tradisional. Produksi bentuk-bentuk
non-tradisional ini didasarkan pada ide-ide dari luar yang tumbuh dari tuntutan
konsumen yang terus berubah. Untuk memahami perubahan produk kriya sebagai
konsekuensi adopsi inovasi, maka telaah yang memusatkan analisis pada
masyarakat, dengan memperhatikan pertama kali pada dasar teknik produksi ekonomisnya
adalah menjadi penting. Oleh karena dalam lingkup demikian terjadinya perubahan
akan dapat diamati dan dirumuskan tentang perubahan-perubahan seperti teknik
proses bahan baku, teknik produksi, mesin-mesin yang memproduksi, pakaian, perabotan,
perumahan dan sebagainya, juga merupakan teknik-teknik, dengan melalui
perubahan-perubahan
tersebut yang akan mempengaruhi masyarakat (Karl Mennhei, 1985: 119).
Di samping hal tersebut, dalam studi
perubahan produk kriya, ada tiga masalah teoritis yang perlu ditelaah dalam
kaitannya dengan konteks sosial dan kultural adalah sebagai rangsangan terhadap perubahan, faktor internal
dan eksternal dalam proses perubahan serta arah dalam proses inovasi. Berkaitan
dengan rangsangan perubahan tersebut, perlu juga memahami karakteristik dari kerajinan
tangan (skill) itu sendiri.
Secara etnografis faktor-faktor
eksternal mencakup berbagai aspek integrasi, ekonomi internasional, pengenaan
ekonomi uang komunikasi yang baik dan fasilitas transportasi, suatu peningkatan
dalam wisata nasional dan internasional, minimnya bahan bakar dan penebangan hutan
dan emigrasi dari daerah pedesaan ke kota-kota.
Tuntutan pasar dan pengembangan pasar
wisata merupakan dua kepentingan yang berkait dan berpengaruh pada sistem
produk kekriyaan. Sementara itu proses inovasi dan alasan mengapa kelompok
tertentu dalam suatu masyarakat memilih untuk memperbaharui pandangan inovasi
dalam masyarakat pertukangan atau perajin mencakup dua hal: yakni dari atas ke
bawah dan dari bawah ke atas. Inovasi dari atas ke bawah terjadi manakala
pekerja senirupa ahli yang kaya, atau paling tidak telah mapan dalam
perdagangannya terikat dalam inovasi. Inovasi dari bawah ke atas melibatkan hal
baru, bentuk-bentuk luar yang menduduki sesuatu yang baru, yang tidak memanfaatkan
celah ekonorni sebelumnya. Proses inovasi dari atas ke bawah melibatkan
pengawasan negara sebagai suatu mekanisme dari atas ke bawah yang membimbing
inovasi. Sementara itu proses inovasi dari bawah ke atas
berasal dari sumber-sumber di luar kontrol negara.
Evidensi inovasi dari
bawah ke atas makin tampak dalam gabungan "orang-orang biasa" dan melibatkan
perubahan yang mempertinggi jaminan ekonomi mereka. Sedangkan arah inovasi
berkaitan dengan suatu kombinasi antara ekonomi dan
martabat (prestise), di satu
sisi pembaharuan itu mernperoleh keuntungan secara ekonornis dan disisi lain
mempersyaratkan kepedulian terhadap aspek-aspek kultural yang ada.
Benda-benda fisik yang mempunyai nilai fungsi atau bermanfaat ganda baik
untuk perlengkapan hidup sehari-hari maupun untuk keperluan khusus misalnya
untuk tujuan keindahan atau dekoratif (pajangan) pada awalnya disebut sebagai
benda-benda kriya. Benda-benda kriya
yang berasal dari daerah-daerah merupakan lambang atau citra dan cita rasa
masyarakat daerah tersebut, sesuai dengan kepribadian masyarakat
dilingkungannya yang tentunya ada perbedaan sedikit atau banyak dengan
masyarakat daerah lainnya, karena adat kebiasaan atau kepercayan-agama atau
kompleks sistem referensi yang bisa juga berbeda satu dengan yang lain. Semakin
khusus dan khas gaya yang dimiliki benda atau produk kriya maka semakin mudah
dikenali dan mentradisi serta berkembang mencapai puncak mutu dan kejayaan
serta kemudian menjadi bersifat klasik. Lalu bagaimanakah kelanjutan benda-benda
kekriyaan dengan wacana kekinian dengan wawasan intelektual (ilmiah) sesuai
dengan kebutuhan masyarakat modern di era global ? Untuk menjawabnya diperlukan
pemahaman dan wawasan tentang kekriyaan itu sendiri, terutama bagi para
kriyawan muda, pengusaha, pelaku pasar, mahasiswa dan calon mahasiswa, serta
perajin untuk dapat memberikan arah dalam pengembangan kriya masa depan.
Apalagi kini berkembang wacana dan perdebatan-perdebatan dikalangan praktisi
dan akademisi, tentang berbagai hal tentang hasil karya dan konsep pengembangan
serta pendidikan di perguruan tinggi
seni. Lalu bagaimanakah kelanjutan benda-benda (produk) kriya dengan wacana
kekinian dengan wawasan intelektual (ilmiah) sesuai dengan kebutuhan masyarakat
modern di era global ? Untuk menjawabnya tentu diperlukan pemahaman dan wawasan
tentang kekriyaan itu sendiri, terutama bagi para kriyawan muda, pengusaha,
pelaku pasar, mahasiswa dan perajin untuk dapat memberikan arah dalam
pengembangan kriya masa depan. Apalagi kini berkembang wacana dan perdebatan
dikalangan praktisi dan akademisi, tentang berbagai hal tentang hasil produk kriya
dan konsep pengembangannya serta
pendidikan di perguruan tinggi seni.
Kekriyaan memiliki flesibilitas yang tinggi, bisa berupa
kecendrungan-kecendrungan, bisa perpaduan atau tergantung dari cara mendudukannya
serta wawasan yang dipergunakan oleh seniman atau perajin atau desainer. Pemahaman tentang kriya perlu
diperjelas dan terarah, sehingga sesuai dengan kebutuhan yang makin berkembang
dan kompleks seperti kondisi masyarakat saat kini. Pengembangan seni menuju spesialisasi kriya, adalah wacana
keilmuan yang khas. Untuk bisa eksis
secara mandiri, tentunya tidak berada dalam pengertian senirupa umum (awam)
yang sepertinya tumpang- tindih (overlaping).
Wawasan dan pengertian yang jelas akan kekriyaan sangat dibutuhkan, untuk dapat
menentukan sikap yang profesional bagi mereka yang menekuni kekriyaan.
Sejarah Kriya Indonesia
Ditilik
dari sudut manapun tentang evolusi manusia,
ternyata manusia sejak awal mulanya telah memiliki apa yang disebut akal budi
dan memiliki sejumlah kebutuhan material dan spiritual. Kebutuhan hidup dan
kehidupan manusia terus berlangsung dari waktu ke waktu, dari tidak memiliki
apa-apa, dengan berbekal akal dan pikiran mulai berburu, menghindari ancaman
musuh, menyelamatkan diri, berpakaian, berteduh, mencari ketenangan,
kenyamanan, kesenangan dan sebagainya. Tidak hanya sekedar mencari makan,
tetapi kemudian menetap dan bertani, berkumpul atau bermasyarakat, berbudaya
dan berbudi luhur. Perjalanan hidup manusia selanjutnya menunjukkan akan
peningkatan cara berfikir dan tingkat kecerdasan untuk memenuhi kebutuhan
kehidupan yang semakin kompleks, bahkan kemudian membayangkan, memperkirakan,
memperhitungkan dan merencanakan kebutuhan hidup serta kehidupan yang akan
dijalani di masa mendatang.
Mengetahui hasil-hasil
kriya masa lalu dirasakan perlu dan penting, terutama bagi generasi muda untuk
dapat mempelajari dan mengembangkannya serta dapat menghargai hasil budaya
sendiri. Sejarah kriya masa lalu sangat
sedikit dibahas dan diteliti, karena apresiasi dan minat akan hal itu sangat
minim atau langka. Disamping itu literatur kriya kuno Indonesia yang ditulis
juga sangat terbatas. Untuk itulah, penulis beranggapan bahwa diperlukan suatu
tinjauan kriya kuno yang ada di Indonesia dengan metode eksploratif, yaitu
menggali secara mendalam tentang kriya masa lalu dengan mendaras data yang ada
dan dianalisis secara kualitatif.
Sesungguhnya kepandaian membuat benda berbahan
tanah liat di Indonesia sudah cukup tua umurnya, yaitu sejak zaman Pra-sejarah.
Kemampuan membuat kerajinan ini berlangsung terus hingga memasuki zaman
kerajaan Hindu dan Budha. Selanjutnya sampai zaman kerajaan Islam dan zaman
Penjajahan. Dalam tulisan ini diungkap kembali hasil-hasil penemuan keramik
Pra-sejarah.
Sebagai contoh, kepandaian membuat keramik di Indonesia sebenarnya sudah
tua umurnya, sebagaimana halnya sejarah keramik diberbagai belahan Dunia,
seperti China, Jepang, Mesir, Yunani, Korea, Thailand, Peru, Philipina, Vietnam
dan lain sebagainya. Di mana ketrampilan membuat keramik tersebut muncul dan
tumbuh secara alami, ada yang tumbuh dalam waktu yang bersamaan tanpa adanya
pengaruh hubungan kebudayaan satu dengan lainnya. Kepandaian membuat keramik
dapat dikatakan setua manusia mengenal api dan dapat memanfaatkannya. Penemuan
teknik membuat keramik ini atau pengetahuan mengenai sifat tanah liat yang
mengeras setelah dibakar, diperoleh secara tidak sengaja oleh orang primitif
pada zaman Pra-sejarah.
Ralph Mayer dalam bukunya A Dictionary of Art Term and Techniques, menyatakan
bahwa kebanyakan seni primitif dibuat dari kayu, batu dan tanah liat, yang
diciptakan untuk beberapa tujuan relegi atau tujuan yang praktis (Mayer, 1969).
Awal mulanya keramik dibuat cenderung fungsional
sebagai “wadah”. Inspirasi pembuatan wadah tersebut berasal dari pemanfaatan buah-buahan berkulit tebal
seperti labu, kelapa dan sebagainya,
yang isinya dikeluarkan.
Juga dari ruas-ruas pohon bambu, daun-daunan berukuran besar seperti daun
pisang daun talas dan lainnya. Cekungan bekas telapak kaki dan batu pada tanah
basah yang digenangi air hujan juga memberi inspirasi, dimana air yang
tergenang tersebut dapat bertahan lama bahkan bisa berhari-hari lamanya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, suatu ketika orang memakai keranjang bambu yang
dilapisi tanah liat sebagai tempat atau wadah cairan (liquid) dan wadah semacam ini tentu tidak bertahan lama. Secara
tidak sengaja keranjang tersebut dibuang keperapian dengan maksud untuk
dimusnahkan. Namun yang terjadi keranjangnya musnah, sedang tanah pelapis masih
tersisa dan ditemukan mengeras dengan meninggalkan bekas anyaman keranjang.
Dari pengalaman-pengalaman itulah, orang mulai dengan sengaja membentuk tanah
liat secara utuh sebagai wadah dan untuk keperluan religi lainnya.
Dengan diketemukan tanah yang mengeras
tersebut, secara tidak sengaja mereka telah menemukan keramik dengan unsur-unsur
dekorasinya sekaligus. Lebih lanjut hiasan diterapkan secara sengaja, yaitu
menggunakan kulit kerang, kulit kayu, permukaan batu, tali, anyaman, serat
tumbuh-tumbuhan, kain atau benda-benda keras lain yang bertekstur atau bermotif,
dengan cara mengecapkannya pada permukaan benda dalam keadaan masih basah
(lembab) sebelum dibakar.
G. Nelson, dalam bukunya yang berjudul Ceramics menulis bahwa suatu
kenyataan yang ada pada benda-benda tembikar atau keramik masa Neolitik,
tekstur yang banyak ditemukan adalah bekas anyaman (Nelson, 1960). Dengan
demikian , jelas bahwa keramik lahir pada mulanya sebagai benda praktis dan
sekaligus sebagai benda estetis.
Di Indonesia, keramik jenis gerabah dikenal
sejak zaman Pra-sejarah atau zaman Neolitikum, yaitu pada tahun 3.000 sebelum
Masehi, dimana manusia saat itu sudah mulai hidup menetap dan bercocok tanam
serta membentuk kelompok-kelompok masyarakat. Sebagai masyarakat yang menetap,
hidupnya memerlukan peralatan atau perlengkapan untuk kebutuhan sehari-hari,
diantaranya adalah tempat menyimpan cairan (minuman) dan makanan yang dibuat
dari gerabah (tanah liat).
Para pemuka masyarakat / pemimpin, kemudian
sangat mempengaruhi kehidupan selanjutnya, dimana orang yang dihormati dan
dipercaya tersebut dianggap dapat melindungi warganya, bahkan sampai
meninggalpun tatap dapat mempengaruhi manusia yang masih hidup. Muncullah suatu
bentuk kepercayaan penghormatan kepada
nenek-moyang, sebagai penghormatan maka dibuatlah perlambangan-perlambangan dan
pemujaan-pemujaan untuk menenangkan arwah nenek moyang mereka. Penyertaan
benda kubur seperti patung kecil (figurin), manik-manik serta tempat
makanan dan minuman merupakan bentuk penghormatan leluhur sebagai bekal dalam
perjalanan ke alam baka. Peruk kecil berisi perhiasan dan periuk besar berisi
tulang-belulang adalah hasil tradisi kepercayaan masyarakat di zaman
Pra-sejarah.
Diantara Langsa di Aceh
dan Medan, di pantai timur laut Sumatera, yaitu di Bukit Kulit Kerang, telah
diketemukan berupa pecahan-pecahan periuk belanga. Pecahan gerabah tersebut
sangat kecil, sehingga sulit diketahui bentuk atau wujud semula. Yang diketahui
ada yang berhias dan ada yang polos. Hiasan yang tampak pada penemuan itu
adalah berupa goresan atau bekas teraan benda keras, disamping itu ada motif
bujur sangkar atau relief dan lain-lainnya. Kebudayaan kulit kerang di zaman
Mesolitikum dikenal sebagai kebudayaan “ Kjokkenmoddinger”. Rupanya bentuk
kebudayaan kulit kerang ini bertahan lama, sedangkan ditempat lain pada waktu
yang sama telah dimulai masa Neolitikum.
Lain halnya dengan Van
Es, Ia menemukan pecahan-pecahan gerabah di deretan bukit pasir tua di
antara pesisir selatan Yogyakarta dan
Pacitan, menurutnya berasal dari masa Neolitik. Adapun pecahan-pecahan gerabah
itu, banyak berupa hiasan anyaman dan hiasan tali atau meander. Juga di pantai selatan pulau Jawa juga ditemukan
pecahan-pecahan gerabah dengan hiasan kain (tekstil). Dari hasil penemuan
tersebut, kiranya pada masa Neolitikum
di Indonesia sudah ada suatu kemampuan untuk mengungkapkan perasaan estetis
yang diterapkan pada benda pakai keperluan sehari-hari. Benda gerabah dihias
semata-mata agar benda tersebut lebih menarik saja dan akrab dengan si pemakai,
tidak ada pretensi lain.
Gerabah yang diselidiki oleh
L. Onvlee, ditemukan di kuburan di
Melolo (Sumba), mempunyai sifat yang lain lagi. Di dalam buyung (periuk-belanga) yang ditemukan terdapat banyak
tulang-belulang dan tengkorak manusia. Selain itu terdapat benda kubur semacam
guci atau kendi berukuran kecil, dimana leher dan kepala kendi berbentuk kepala manusia, terkadang dihiasi
gambar wajah-wajah. Pada badan kendi dihiasi dengan garis-garis yang
silang-menyilang atau segi tiga, yang digores ketika tanah liat masih basah
sebelum dibakar. Guci semacam kendi tersebut ada kalanya berisi kulit kerang
atau semcam perlambangan untuk makanan dan minuman sebagai bekal arwah nenek
moyang.
Tradisi penguburan jenazah dengan tempayan, ditemukan
tersebar di berbagai tempat di Indonesia, seperti di Anyer (Jawa Barat),
Sa’bang (Sulawesi Selatan), Roti (Nusa Tenggara Timur) dan Gilimanuk ,
Bali (Kempers, 1960 & Utomo, 1995).
Keramik untuk kebutuhan rumah tangga terutama tempat
makanan dan minuman masa Pra-sejarah, dibuat sangat sederhana dan kebanyakan
dengan teknik tatap batu atau kayu, tanpa hiasan atau polos. Kendi, periuk,
piring yang semuanya dari gerabah ada yang polos dan ada yang dihias. Berbagai
fragmen gerabah ditemukan di Gilimanuk, Bali, dengan berbagai hiasan seperti
tali, kulit kerang , hiasan jaring-jaring dan lainnya.
Bersamaan dengan masa Megalitikum dan Perunggu, gerabah
dibutuhkan sebagai sarana pemujaan arwah nenek moyang, selain sebagai peralatan
rumah tangga. Benda kubur berupa tempayan gerabah, manik-manik perunggu,
sarkofagus batu, telah menjadi kebutuhan relegi dan perlambangan pemujaan arwah
yang berkembang. Benda-benda gerabah sudah banyak yang diberi hiasan, seperti ditemukan di
Gilimanuk, di pantai Cekik oleh R.P.
Soejono, yang berhias tali dan jaring dengan teknik cap. Pada masa
tersebut, kemahiran teknik membuat barang-barang perunggu berkembang. Juga saat
itu seni hias menghias mencapai puncaknya yaitu dengan pola geometrik atau
tumpal. Masa kemahiran teknik ini kemudian dikenal sebagai masa “Perundagian”
Uraian
tentang sejarah dan kapan mulai adanya kriya itu memang sulit ditentukan, baik
urutan kronologis, waktu dan jenis benda yang dihasilkan. Sumber-sumber yang
menolong untuk memperjelas hal tersebut adalah buku-buku tentang sejarah
kebudayaan, sejarah seni rupa, antropologi dan sebagainya. Berdasarkan sejarah kebudayaan menunjukkan
bahwa kriya sudah ada sejak zaman dahulu yaitu pra-sejarah (neolitik). Permulaan
adanya benda-benda guna lebih jelas diperkirakan sejak Zaman Batu Awal, dengan pembuatan perlengkapan sehari-hari seperti
‘kapak batu’ atau ‘kapak genggam’ yang sederhana, alat berburu seperti tombak,
alat menangkap ikan, selain dari batu juga terbuat dari tulang-belulang,
tanduk, kayu, pada umumnya masih berbentuk sederhana. Masa ini orang masih
berpindah-pindah dan mengembara. Pada Zaman
Batu Tengah, orang mulai menetap di goa-goa dan mulai bercocok tanam serta
menjinakkan binatang. Perlengkapan sehari-hari sudah mulai dihaluskan dan kapak batu sudah mulai dibentuk lebih rapi
dan mulai diberi “leher” atau pegangan agar lebih mudah dipakai. Tempat
penyimpanan makanan dan minuman dari buah-buahan berkulit tebal dan pakaian
dari kulit kayu atau binatang serta dedaunan untuk alas dan atap tempat
berteduh merupakan keterampilan yang mulai terus dikembangkan. Benda-benda
kriya guna untuk tempat makanan dan minuman seperti pembuatan gerabah dari tanah liat juga telah
dimulai sejak zaman ini. Pada Zaman Batu
Baru, kapak batu yang disebut sebagai ‘kapak persegi bergagang’ ini telah
dibentuk dan digosok halus serta diberi tangkai atau gagang. Penemuan ini
menunjukkan bahwa pembuatan benda telah berdasarkan pada sebuah “konsep” yang
mencakup aspek bentuk, keamanan pemakaian, teknik dan kegunaan sebagai tujuan
dari pembuatan kapak tersebut. Indonesia
pada masa ini kedatangan beberapa gelombang bangsa baru ras Mongol Tua atau Palae-Mongoloid menyebar di kepulauan yang ada di Indonesia dengan
membawa peradaban yang lebih tinggi dalam bercocok tanam dan membentuk
kelompok-kelompok masyarakat atau suku-suku. Kebudayaan Melayu Purba yang dipengaruhi kebudayaan Perunggu Tiongkok yang disebut kebudayaan Dongson ini mempengaruhi
hasil kriya Indonesia yaitu dengan pembuatan ‘kapak perunggu’ yang disebut
dengan ‘kapak corong’ atau ‘kapak sepatu’. Bentuk kapak ini mempunyai corong
kelompang tempat memasang gagang atau seperti lubang sepatu. Kapak perunggu
yang ditemukan di Indonesia ada yang berukuran besar, sedang dan kecil, ada
yang polos dan ada yang diberi hiasan, ada yang pendek dan ada yang panjang
yang disebut Candrasa. Kapak
berukuran besar diperkirakan sebagai alat perlengkapan upacara, seperti halnya
candrasa dipergunakan sebagai tanda kebesaran atau kekuasaan, bukan untuk
bekerja biasa. Kapak perunggu ditemukan dibeberapa tempat seperti pulau
Roti, Sulewesi dan Yogyakarta. Mereka sudah mengenal akan busana lebih baik dan
perhiasan, seperti cincin, gelang, anting-anting, binggel, kalung dan
manik-manik , berdekorasi motif sederhana. Munculnya tokoh-tokoh pemimpin suku
dan adanya kekuatan alam serta kehadiran benda ciptaan yang dianggap memiliki
kekuatan gaib serta dapat melindungi mereka melahirkan suatu bentuk kepercayaan
pemujaan terhadap roh para pemimpin atau nenek moyang. Sehubungan dengan
kepercayaan tersebut, manusia bekerja keras untuk menciptakan lambang-lambang
tradisi spiritual yang bersifat magis untuk keperluan ritual (upacara) atau
mempersembahkan hasil karya terbaik sebagai suatu persembahan kepada para pemimpin
dan bekal kubur bagi yang meninggal. Kepercayan akan adanya kekuatan gaib dan
pemujaan terhadap nenek moyang serta berbagai ketrampilan diwariskan kepada
generasi berikutnya. Pembuatan benda keperluan sehari-hari meningkat jumlah dan
mutu serta keindahannya. Di tepi danau Kerinci, di pulau Madura, ditemukan
bejana perunggu yang sudah dihias dengan ukiran burung merak, rusa, bentuk segi
tiga, spiral dan bentuk geometris.
Selain itu, pada masa ini juga dibuat nekara perunggu, mata uang, pisau atau
belati dan sebagainya. Nekara-nekara kemudian seolah-olah penuh dengan hiasan
seperti perahu jenazah, bentuk manusia, bentuk binatang seperti burung enggang,
katak, gajah, rusa, juga tumbuh-tumbuhan dan garis-garis geometris (Suwaji
Bastomi, 1986). Pada masa ini ketrampilan teknik mengolah bahan logam terutama
perunggu sudah tinggi, tercermin pada dekorasi atau hiasan yang begitu rumit
yang terdapat pada nekara. Nekara perunggu ditemukan di beberapa
daerah di Indonesia yaitu di pegunungan Dieng, desa Pejeng-Bali, Jawa Tengah,
Cibadak, Banten Selatan, Bima, Pulau Selayar, Pulau Alor dan sebagainya.
Bangsa Indonesia sejak zaman
Neolitik atau pra-sejarah sudah pandai mengukir, membuat bejana dan membuat
patung, baik berbahan batu, logam maupun dari tulang dan kayu serta dari tanah
liat (gerabah).
Sejalan dengan kemajuan teknik di masa yang disebut
sebagai ‘prundagian” (kemahiran
teknik) tersebut, produksi anyaman rerumputan, bambu, rotan untuk keranjang,
dinding dan jaring-jaring, serta kain tenun dari kulit kayu sudah dimulai,
dengan ditemukannya bekas-bekas anyaman, motif kain dan jaring-jaring pada
benda-benda dari tanah liat (gerabah).
Pada abad
pertama berakhirnya zaman Logam, Indonesia kedatangan bangsa yang membawa
ajaran Hindu. Terjadilah kemudian alkulturasi kebudayaan Hindu dan kebudayaan
asli. Kebudayan yang lebih tinggi akan mempengaruhi kebudayaan yang lebih
rendah. Selama 15 abad bangsa Indonesia dapat menerima kebudayaan baru tersebut
berlangsung secara damai. H. Kern berpendapat bahwa bangsa Hindu
tel;ah memasukkan 10 unsur kebudayaan ke
Indonesia, yakni: gamelan, wayang, metrum,
ilmu pelayaran, astronomi, mencetak uang logam, pertanian, pemerintahan, bahasa
dan tulisan (Suwaji Bustomi, 1986: 66). Sejak saat itu dikenal pemerintahan
yang dipimpin oleh Raja (sistem kerajaan) yang dianggap sebagai titisan dewa,
mengenal ajaran agama dan kebangsawanan atau tingkatan kasta-kasta (feodalisme). Benda-benda kriya yang
dipergunakan oleh Raja tidak sama yang dipergunakan oleh bawahannya apalagi
oleh rakyat biasa. Ada perlakuan khusus pada benda yang diperuntukkan untuk
Raja harus lebih baik, lebih indah, baik kualitas bahan maupun pengerjaannya,
sebagai wujud persembahan dan darma-bakti
serta penghormatan kepada Sang Raja. Percampuran kebudayaan asli dan Hindu,
menghadirkan karya seni bangunan sebagai tempat tinggal Raja (istana) dan
candi-candi yang hasilnya lebih baik dari sumber aslinya di India. Dinding
candi dibuat relief oleh tangan trampil
menunjukkan mutu yang bagus, menggambarkan adegan ceritera dengan nilai sastra
yang tinggi. Candi-candi juga sebagai tempat makam raja-raja yang juga
sekaligus sebagai tempat pemujaan, dilengkapi dengan
perlengkapan upacara dan pada bagian tertentu di hiasi
dengan patung-patung batu atau arca
logam. Busana para Raja dan kerabatnya
dibuat penuh dengan hiasan atau dekorasi yang indah tercermin pada patung dan
relief yang menggambarkan keadaan saat itu. Keris juga dibuat memperlihatkan
tanda kebesaran bagi yang mengenakannya, juga dianggap bertuah yang dibubuhi
pamor seperti nekel, seng, monel, batu meteor, emas dan perak, yang
dibuat oleh para empu sebagai
prestasi kemahiran yang membanggakan. Empu yang terkenal seperti Empu Gandring dan Empu Supa. Pada akhir masa Hindu-Budha di daerah gunung Wilis
terkenal pula nama Empu Kriyasana yang
menurunkan Empu Kriyaguna dengan
hasil karya berupa keris dengan ‘tilam putih’ yang dikenal hingga akhir
kolonial Belanda (Suwaji Bustomi, 1986: 69).
Pada zaman
kerajaan Singasari dan Majapahit, motif relief beralih dari bentuk realistis pada candi Jawa Tengah menjadi
seperti bentuk seperti ‘wayang’ di
daerah Jawa Timur. Bentuk manusia, binatang dan tumbuhan berubah stilistis-dekoratif, melepaskan diri dari ikonografi
seni India, menjadi seperti prototype
wayang yang kemudian dalam perkembangannya disebut wayang purwa (Wiyoso Yudoseputro, 1978 : 38).
Selama masuknya kebudayaan Islam ke Indonesia tidak banyak mempengaruhi
akan bentuk dari benda-benda kriya, Benda kriya produksinya lebih ditujukan
untuk tujuan perdagangan, yang kemudian mengalami perubahan dan perkembangan
setelah masuknya pengaruh Eropa sekitar tahun 1522 yakni hadirnya bangsa
Portugis di daerah Banten dan Ternate. Bandar-bandar kerajaan Islam ramai dikunjungi
oleh kapal-kapal asing seperti Spanyol, Inggris, Cina, Arab, Turki, Melayu,
Vietnam, Jepang, Benggala dan Belanda. Selain rempah-rempah, yang
diperdagangkan adalah kain sutera,tembikar (keramik/porselin), kapur barus, perhiasan dan lain
sebagainya. Kekayaan alam Indonesia menjadi perebutan bangsa asing, yang
akhirnya menjadi daerah jajahan Portugis, lalu Belanda, tentara sekutu dan
terakhir Jepang. Pada tahun 1619, Belanda membangun kota Batavia dan mendirikan
benteng istana besar yang didalamnya terdapat
sekitar 65 opsir, ahli-ahli pertukangan (kriyawan), 70 serdadu dan 80 orang
budak. Para tukang diwajibkan membuat perkakas rumah tangga, pakaian, sepatu
dan sebagainya. Kemajuan bidang produksi dan teknologi baru di Eropa
mempengaruhi pembuatan benda kriya di Indonesia, tenaga manusia digantikan oleh
mesin-mesin (mekanisasi) atau pabrikasi. Namun demikian benda-benda kriya yang
dikerjakan dengan tangan trampil masih berlangsung dan tumbuh. Sekitar tahun
1903 Pemerintah Penjajah Belanda mendirikan Departemen Van Landbouw, Niyverheid en
Handel (Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan). Hasilnya
benda-benda kriya-guna meningkat dan di eksport ke Paris serta Amsterdam,
seperti porselin atau keramik tiruan China dan topi bambu yang juga tiruan
orang China dari Manila yang tinggal di Cilingok-Tangerang. Juga ada diproduksi payung tiruan dari Siam
oleh penduduk Tasikmalaya, yang kemudian dikembangkan khusus payung wanita
dengan hiasan bunga-bungaan dan motif lain yang dianggap indah yang diberi nama
‘payung Euis’, payung ini lalu
dipamerkan di San Francisco pada Wold
Fair tahun 1935. Yang tak kalah terkenalnya dan nilai komersialnya
tinggi adalah kain batik, dengan teknik tutup-celup, bagian yang ditutup
menggunakan ‘nasi pulut’ dan bahan pewarna dari tumbuhan batang daun ‘tom’ untuk warna biru tua dan ‘soga’ untuk coklat. Kemudian berkembang
dengan teknik ‘batik tulis’, menggunakan alat yang disebut ‘canthing’ dengan menggunakan bahan lilin
(malam) atau wax yang jenisnya
bermacam-macam. Hingga akhirnya
menggunakan teknik cap yang terbuat dari logam tembaga yang disebut ‘batik
cap’,
sehingga semakin meningkat produksi kain batik
sebagai industri massa, apalagi kemudian
ditemukan bahan pewarna kimia (naftol).
Karya batik kini telah diakui secara internasional sebagai karya bangsa
Indonesia.
Di daerah Jepara juga merupakan
pelabuhan penting bagi masuknya pengaruh kebudayaan asing seperti dari Campa,
Cina, India dan Arab serta Negara Eropa Barat. Industri mebel kayu berkembang
dan motif ornamen yang dikembangkan yaitu dari motif yang ada di candi-candi,
benda logam dan meniru gambar-gambar dari barang yang masuk ke Indonesia,
seperti motif suluran daun anggur Belanda, geometris Mesir, karpet Persia dan
keramik Cina.
Dari buku: Produk Kekriyaan, 2011
email: agusmulyadiutomo@yahoo.co.id & goesmul@gmail.com / Hidup dan Seni / Produk Kekriyaan / Blogspot.goesmul.com
Pustaka
Anonim,
2006. Jurnal Ilmu Desain, dalam :
Imam Buchori Zainudin, Desain, Sains Desain dan Sains
tentang Desain: Telaah Filsafat Ilmu. hal. 17 –
34
Anonim, 2006. Jurnal Ilmu Desain, Widagdo, Estetika Dalam Perjalanan Sejarah: Arti dan Peranannya dalam Desain. hal. 3-16
Anonim, 1995. Creativity
and Madness: Psychological Studies of Art and Artist Burbank, Aimed Press, hal.18
Anonim, 2005, BAHASA
DAN SENI, Tahun 33, Nomor 1, Februari 2005
Astuti, Ambar. 1997. Pengetahuan Keramik. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
Atmosudiro, Sumijati, dkk, Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya, SPSP. Prv.JawaTengah dan Jur.
Arkeologi FIB-UGM
Atmosudiro,
Sumijati. 1984. Notes on the
Tradition of Pottery Making in the Region of Kasongan, Regency of Bantul.
dalam Satyawati
Donald
Tamplin. 1991. The Arts: A History of
Expression in the 20th Century. London: Harrap, hal. 7
Enget,dkk, 2008. Kriya
Kayu untuk SMK, Jilid 2, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional, hal. 421 – 424.
Francis, Abraham M. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga:
Suatu Teori Umum Pembangunan. Yogyakarta.
Feldman,
B.F. 1967. Art As Image and Idea. Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice Hall Inc.
Gustami, Sp. 1985. et al., Pola Hidup dan Produk
Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian Pengkajian
Kebudayaan Nusantara.
Gustami, Sp. 1988. Seni Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta: Kontinuitas
dan Perubahannya , Tesis S2 Universitas Gajah Mada.
Haryono, Bedjo. 1995-1996. Pembuatan Kerajinan Tanah Liat
Tradisional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian Proyek
Pembinaan Permuseuman DIY.
Konperensi Kriya, 1999. Tahun Kriya dan Rekayasa 1999, Institut Teknologi Bandung, 26 Nov” 99.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan. Gramedia Jakarta.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. (Terj.
Hasti T. Champion), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Manhei, Karl. 1985. Sosiologi Sistematis.
(Terj: Soerjono Soekanto), Rajawali, Jakarta.
Manuaba, Bunga Rampai Ergonomi Vol.
1, Kumpulan Artikel PS Ergonomi – Fisiologi Kerja, Unud Denpasar, 1998,
Hal. 1
Manuaba, Catatan Kuliah S-2 Ergonomi, 2006
Muchtar, Bud. 1991. Daya Cipta di Bidang Kriya dalam Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. B.P. ISI. Yogyakarta.
Munro,
Thomas,1969. The Arts and Their
Interrelations. Cleveland and London: The Press of Case Western Reserve
University
Soegondho, Santoso. 1995. Tradisi Gerabah di
Indonesia: Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Kini. Himpunan
Keramik Indonesia, Jakarta.
Stark,
Miriam T. and William A. Longacre. 1993. Kalinga
Ceramics and New Technologies: Social and Cultural Contexts of Ceramics Change,
dalam W. D. Kingery (Ed), Ceramics and Civilizition: The Social and Cultural
Contexs of New Ceramic Technologies. Volume VI, The American Ceramic
Society, Westerville, OH.
Sritomo W. Subroto, Proceeding Seminar Nasional Ergonomi
2006, 21-22 Nopember 2006, Auditorium Ged. A-D Usakti, Jakarta, hal. 11
Soedarso Sp., 1987. Tinjauan Seni: Pengantar Apresiasi Seni,
Saku Dayar Sana, Yogyakarta
Tamplin, Donald, 1991. The Arts: A History of Expression in the 20th Century.
London: Harrap
Virshup,
Evelyn,1995. Jackson Pollok Art Versus Alchohol. dalam Barry Panter dan Virshup.
Creativity and Madness: Psychological Studies of Art and Artist. Burbank: Aimed Press,
1995.
Wiyoso
Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Wiyoso Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,
hal.151.
Yuswadi
Saliya, 1999. Pendekatan Interdisiplin dalam Desain: Suatu Penjelajahan Awal. Hal. 785 – 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar