TASAWUF ISLAM
oleh Agus Mulyadi Utomo
goesmul@gmail.com
Nama
ilmu tasawuf, ilmu fiqih, ilmu hadits, ilmu tauhid dan
lain-lainnya memang tidak ada dalam Al
Qur’an dan Al Hadits, tetapi
seluruh Dunia Islam menerima akan hal itu. Dunia sufi seringkali banyak mendapat sorotan yang tajam dari beberapa
gelintir golongan yang pandangannya amat sempit mengenai sejarah dan pemahaman
tentang Islam, mereka ini menganggap
para pelaku sufi (kaum sufi) adalah para ahli bid'ah sehingga mereka dengan berani
menyebut para pemuka sufi dan kaumnya
tersesat dan menyimpang dari ajaran Rasulullah
SAW. padahal ini adalah semulia dan semurni-murninya jalan untuk mendekat
kepada Sang Ilahi Rabbi yang ditempuh
dengan metode jalan (tarekat),
kecintaan yang dipancarkan kepada qalbu
Rasulullah SAW hingga kepada para sahabat, tabi'it tabi'in sampai kepada para Awliya atau Waliyam Mursyida
atau Ulama pewaris ilmu Rasulullah,
sebagai pemegang rahasia yang ada di zamannya. Wahai kaum muslimin saudaraku !
Masuklah jalan ini, marilah datang untuk mengecap kenikmatan yang ada
didalamnya, menikmati seakan indahnya cinta Rasul
yang benar-benar dinamakan cinta yang tanpa terkontaminasi oleh suatu
apapun yaitu cinta yang murni yang hanya dipersembahkan kepada iIahi Rabbi.
Nabi atau Rasul bukan untuk merumuskan tentang tasawuf. Hal tersebut, yaitu nama, istilah dan definisi dibuat oleh
para ahli atau alim-ulama dikemudian,
setelah memperhatikan Al Qur’an dan Al Hadits
sebagai sumbernya dan yang bertalian dengan pelaksanaan hal tersebut. Sikap
hidup Nabi dan sahabatnya (di zaman Khulafaurrasyidin)
umumnya seluruh peri kehidupan disifati pandangan tasawwuf, yaitu zuhud (tidak
berlebihan), qanaah (apa adanya),
taat, istiqomah, mahabah (cinta Allah, Rasul
daripada dirinya), ikhlas dan ubudiyah
(mengabdi dijalan Allah). Tasawuf atau Sufisme adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan
jiwa, menjernihan akhlaq, membangun
dhahir dan batin untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya
melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (berbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan syiah, sunni dan cabang Islam yang lain,
atau suatu kombinasi dari beberapa tradisi sebagai rujukan. Ada yang
memperkirakan sufisme ada pada abad 2
Hijriah. Pemikiran sufi muncul di Timur Tengah, sekarang
tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia. Menurut Ibnu Taimiyah, sufisme muncul dan berkembang setelah abad ke-3 Hijriah.
Kaum Sufi terkadang menunjuk dirinya sebagai
sebuah fenomena dalam pemikiran dan penghayatan, juga adanya pengandaian
seperti ‘binatang’ (sifat dan kelakuan). Mengapa demikian ? Jawabannya merujuk
pada sabda Nabi SAW, bahwa ‘pada
Hari Pembalasan manusia dibangkitkan dalam bentuk binatang, sesuai perbuatan
mereka sebelumnya’. Bentuknya
muncul menjadi binatang atau bentuk lain yang menyerupai secara internal,
daripada bentuk kemanusiaannya. ‘’Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai’’ (QS.
Al-A’raaf (7): 179). Dalam tidurnya, manusia melihat dirinya sebagai manusia;
Bagaimanapun, ia mungkin bisa melihat dirinya sendiri, sesuai dengan tendensi
dominannya, sebagai seekor domba, harimau, kera, ular atau pun babi.
Kesalahpahaman ini bisa saja terjadi terhadap hal-hal tersebut dan menimbulkan
suatu kepercayaan bahwa dalam kehidupan manusia berlalu menuju kebinatangan,
hal tersebut secara harfiah ditafsirkan oleh orang-orang yang tidak tahu[1] dan berfikir
sempit, literal, tanpa qias, i’jma
dan tanpa didasari oleh kedalaman perspektif keIslaman secara kaffah.
Ada pendapat yang
mengatakan bahwa sufisme / tasawuf berasal dari dalam agama Islam.
Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk
bersungguh-sungguh terhadap Allah
merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah
keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin ilmu tersendiri, ketika
mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini.[2] Seorang penulis
dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani
mendefinisikan Sufisme sebagai berikut:
"Jalan para sufi dibangun dari
Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para
nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar
pernyataan eksplisit dari Al Qur'an dan sunnah serta ijma".[3] Pemahaman tasawuf ini terbentuk daripada unsur
perasaan dan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal
perkembangan dari agama Islam. Paham untuk menyatukan ruhani, adalah pemahaman
yang berisi keyakinan bahwa manusia dapat berserta dengan Tuhan. Penganut tasawuf ini mengambil dalil Al Qur’an yang dianggap mendukung
penyatuan antara ruh manusia dengan Nur
Allah dalam penciptaan manusia pertama, Nabi Adam AS: “...Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh Ku; maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya ”(QS. As Shaad; 72). Sehingga ruh manusia
(ruh Rasul atau nur Muhammad) dan Nur Allah
dapat dikatakan bersatu dalam shalat
karena shalat adalah me-mi'rajkan ruh manusia menuju kepada Nur Allah Azza wa Jalla. Atas dasar
pengaruh dari 'penyatuan' inilah maka kezuhudan
dalam sufi dianggap bukan sebagai
kewajiban saja, tetapi lebih kepada tuntutan batin-ruhaniah, sehingga kecintaan
kepada Allah semakin meningkat, yang
seakan-akan ’berserta’ atau ’bersama’ Allah,
menambah iman dan taqwa yang lebih mendalam lagi, sehingga berhati-hati dalam
hidup dan kehidupannya. Paham ini dikalangan penganut ilmu kebatinan orang Jawa
juga dikenal sebagai paham ”manunggaling
kawula lan gusti Allah”, yang berarti bersatunya antara hamba dan Tuhan,
sehingga menimbulkan pro-kontra diantara kelompok-kelompok yang merasa tidak
sepaham.
Tasawuf dalam Islam bukan datang dari jenis
yang aksesif. Maka setelah melepaskan
diri dari kehidupan sehari-hari, atau setelah keluar dari “rumah”, manusia harus
kembali lagi “kerumahnya” dan membangun kehidupan yang sejahtera dan bahagia.
Dan yang terpenting dari itu, aktualitas makna spiritual mesti lebih berarti
bagi pengembangan nilai-nilai
kemanusiaan.
Dapat ditarik
hikmahnya ketika Allah SWT menjelaskan
sifat mulia para sahabat Nabi yang salah satunya, dikatakan oleh-Nya, terlihat
pada wajah mereka yaitu min-atsaris
sujuud atau “bekas sujud”. Bahwa yang dimaksud dengan min-atsaris sujud bukanlah bekas tanda
hitam karena seringnya jidat “digosokkan” ke sajadah. Tapi yang dimaksud dengan atsaris sujud bagi orang yang banyak bersembahyang adalah dalam
bentuk konkret seperti, perbuatannya atau kelakuannya, hasil karyanya, hasil
dari pemikirannya dan sebagainya.
Tasawuf dalam Islam tidak hanya sarat dengan
dasar teori-sufistik bagi tema-tema
kemanusiaan. Sebut saja misalnya penafsiran mistis tentang mi’raj Nabi Muhammad SAW
yang mengaksentuasi arti penting kembalinya beliau ke muka bumi setelah bertemu
Allah untuk membangun peradaban dan
menyelamatkan ummat manusia. Atau dalam tema albaqa’ ba’da al-fana’,
yakni seorang salik yang memasuki
dalam alam ke-Tuhan-an (fana’), dan
kembali kepada sesama makhluk agar dapat saling membantu mengabdi kepada Allah dan Rasul.
Di Indonesia,
terutama di era pra-kemerdekaan, dunia Sufi
telah tercatat menjadi bagian perjalanan kebangsaan yang mendorong lahirnya
masyarakat progresif dan egaliter. Hanya saja, pada pasca-kemerdekaan dunia Sufi
menyimpan persoalan yang perlu segera disikapi (dipecahkan) agar
kegiatan-kegiatan ruhani yang selama ini marak (baik dimasyarakat perkotaan
maupun di pedesaan) lebih “memperlihatkan” gairahnya menterjemahkan lagi
tema-tema sufisme ke dalam tema
konkrit kekinian yang dapat membangun kembali Indonesia yang lebih maju dan
tercerahkan.
Kajian tasawwuf disamakan dengan sufisme tak terpisahkan dengan Islam,
ialah pengetahuan tentang diri berdasarkan ajaran Nabi Muhammad SAW, haruslah dilihat secara menyeluruh,
baik teori dasarnya maupun praktek pelaksanaannya di dalam tarekat, juga tentang ‘ubuudiyah
dan mu’aamalah. Umumnya para
Ulama sepakat bahwa tasawwuf masuk
dalam ikhsan, yaitu suatu pengkajian tentang perasaan (kaji rasa) dan pengalaman
seseorang pada saat atau dalam hal beribadah dan beramal di jalan-Nya yang menuju atau kepada Allah SWT.
Ikhsan
yang dimaksud disini adalah muraqabah,
mawas diri, merasakan akan hadirnya Allah
pada waktu beribadah dan beramal. Kehadiran Allah
tersebut bisa dirasakan baik melalui penglihatan
hati sanubari maupun merasa
diawasi atau dilihat Allah,
sehingga membuahkan hasil yaitu bertambahnya iman dan taqwa, merasakan
manisnya Islam Mulia Raya, terasa khusuk,
makbul dan mabrur. Kualitas ikhsan dipengaruhi oleh tingkatan
keikhlasan dan kesucian hati seseorang, apabila ruhaninya masih kator (tertutup
/ terhijab), tentu tidak akan
merasakan ikhsan dalam beribadah
ataupun beramal sholeh.
Kegiatan bertarekat ini lahir sejak adanya institusi
Islam dan contoh konkrit pendekatan kepada Allah
SWT yang diberikan Nabi Muhammad SAW ,
antara lain dengan ber-tahannuts di Gua Hiraa’, sholat al-lail dan sebagainya.
Kemudian diteruskan oleh sebagian sahabat, taabi’iin,
lalu taabi’al-taabi’iin. Kemudian
diteruskan lagi oleh Awliya’ Allah, Wali-Mursyid, sambung menyambung dari
Nabi Muhammad SAW hingga Syaikh Tarekat yang hidup hingga masa
kini dan mempunyai Silsilah Keguruan (isnad yang
sahih), yang memungkinkan ajaran itu
hidup dan survive sampai sekarang
ini, yang membawa unsur nur muhammad.
Nuh Ha Mim Keller (1995)
berpendapat dan mengatakan bahwa sufisme
/ tasawuf berasal dari dalam agama Islam. Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para
muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian
menjadi disiplin ilmu tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang
dan berubah dari keadaan ini. Abd
al-Wahhab al-Sha'rani, seorang penulis dari mazhab Maliki, mendefinisikan sufisme
sebagai berikut: "Jalan para sufi
dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan
moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila
melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma" [4].
Para
pengamal tasawwuf berusaha mencari
‘cara’ atau menempuh ‘jalan’ pendekatan diri kepada Allah SWT dengan membersihkan ruhaninya sesuai dengan petunjuk atau
bimbingan Wailyyam-Mursyida (QS. Al Kahfi: 17), untuk memperoleh musyahadah (penyaksian), tidak hanya
mengucapkan syahadat pertama dan
tidak hanya berhenti pada “ilmul yaqin” dan “ainul
yaqin” tetapi harus sampai pada yang namanya “haqqul yaqin” yang
disebut pula makrifat.
Imam Al Qusyairy
dalam “Risalah Al Qusyairy”
mengemukakan bahwa Tasawwuf itu
adalah nama dari orang-orang Sufi,
ialah golongan dari ummat Islam yang menganut ajaran tasawwuf. Seorang ahli tasawwuf
dinamakan “Mutasawwif”, jamaknya
“Mutasawwifun”. Ibnu
Khaldun (wafat 1406 M) dalam keterangannya tentang hakekat tasawwuf (dikutip dari buku 40 Masalah
Agama) [5] sbb:
1. “Asal pokok dari
ajaran tasawwuf itu adalah bertekun
beribadat, berhubungan langsung dengan Allah,
menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, tidak suka pada apa yang diburu orang
banyak dari keenakan harta benda dan kemegahan. Dan bersunyi-sunyi diri dalam
melaksanakan ibadat kepada Allah”
2. Hal ini
dilaksanakan oleh sahabat-sahabat Nabi dan tabi’in,
orang-orang Salaf, tetapi kemudian pada kurun ke II Hijriah setelah orang berebutan mengejar duniawi dan orang sudah
keenakan dalam masyarakat keduniawian, maka orang-orang yang tetap tekun
beribadah sebagai sediakala dinamai “Orang-orang Tasawwuf” dan amalannya disebut salaf al-shalih.
KH. Sirajuddin
Abbas memerinci
pernyataan Ibnu Khaldun sebagai
berikut:
o Tetap bertekun
beribadat kepada Allah,
o Memutuskan
ketergantungan hatinya selain kepada Allah,
o Tidak
berwewah-mewahan duniawi,
o Nabi dan
sahabatnya beramal dan berbudi pekerti sesuai tasawwuf, bahkan amal dan akhlak orang tasawwuf itu bersumber kepada Nabi dan diikuti para sahabatnya,
o Ajaran tasawwuf berdasarkan
Al Qur’an dan Al Hadits serta tidak menyimpang dari itu,
o Kurun ke-II orang
Islam boleh dikata sudah lupa daratan, berwewahan, menyombong-kan diri,
berfoya-foya, menumpuk harta benda dan banyak yang takabur,
o Berkhalwat atau bersunyi-sunyi dalam
melaksanakan ibadah.
Sebagai
reaksi dari keadaan tersebut di atas, banyak orang Islam kemudian ingin menjadi
seperti sediakala sebagaimana yang diwariskan Nabi dan seperti saat di zaman
para Sahabat, yaitu kehidupan sederhana dan orang-orang inilah yang kemudian
dinamakan orang Sufi (Tasawwuf atau Shufiyah).
Imam Al Ghazali, profesor Universitas Nizhamiah, di
Bagdad yang wafat pada abad ke-12 ini berkata: “Bahwa kaum Shufiyah (ahli tasawwuf)
itulah yang benar-benar telah menempuh jalan yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW dan yang dikehendaki Allah”[6].
Menurut
Ibrahim Bin Adham, tasawwuf bukan suatu sistem hidup yang
membawa manusia meninggalkan fitrahnya, yaitu tidak berarti pula bertujuan
untuk meninggalkan keduniaan, bukan pula untuk hidup susah, tetapi membawa
manusia pada kehidupan yang sebenarnya sesuai pada tempatnya, tidak mengurangi
atau melebih-lebihkannya. DiBarat, tasawwuf disebut mistisisme Islam, yaitu
pencapaian karakter mulia melalui penyucian hati.
Sasaran Ajaran Tasawuf:
Ajaran tasauf Islam yakni membahas soal-soal
yang berhubungan dengan akhlak dan
budi pekerti, bertalian dengan hati atau qalbu,
cara-cara berbuat yang ikhlas, khusyu’,
tawadhuk, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha,
tawwakkal, dan sifat-sifat yang terpuji atau nilai-nilai tentang kasih
sayang, kedamaian, adab, hablumminallah,
hablumminannas, mendekatkan diri pada
Allah dan mencintainya.
Makna Tasawuf:
1.
Orang yang menjalankannya disebut orang Sufi,
yang senantiasa mensucikaan diri lahir dan batin, menjauhi sifat tercela dan yang dilarang
agama Islam. Arti ini diambil dari kata shofa atau safa yang artinya hati
suci bersih dan juga tindakannya (athar).
2.
Tasawwuf berasal dari kata
shafwah yang berarti bersih. Orang
yang selalu membersihkan hati dari keinginan kotor.
3.
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah
kata itu berasal dari Suf, bahasa
Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik muslim. Namun tidak semua sufi mengenakan jubah atau pakaian dari
wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari sufi adalah safa, yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa.
Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal
dari kata Yunani theosofie artinya
ilmu ketuhanan. Juga bahwa etimologi dari sufi
berasal dari "Ashab al-Suffa" (Sahabat Beranda) atau "Ahl
al-Suffa" (Orang-orang beranda), adalah sekelompok muslim pada
masa Nabi Muhammad SAW yang
menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk
berdoa dan mohon petunjuk.
4.
Bahwa arti tasawwuf
adalah bulu binatang, yang diambil dari kata shuufah, karena pada saat
itu orang yang ber-tasawwuf (Sufi) memakai baju dari bulu binatang
dan tidak suka memakai baju yang indah dengan kata lain orang tersebut adalah
orang yang sederhana. Tasawwuf adalah
sekelompok orang (orang banyak) yang diambil dari kata shuffah yaitu segolongan
sahabat Nabi SAW yang menyisihkan
dirinya duduk-duduk di serambi masjid Nabawi yang mendengarkan fatwa-fatwa Rasulullah SAW, baik dari Al Qur’an.
5. Ilmu Tasawwuf selalu juga disebut orang
sebagai “Ilmu Kerohanian”, karena lapangan ilmu ini bersumber dari Al Qur’an maupun dari Hadits untuk disampaikan kepada orang
yang belum menerima fatwa itu, yaitu mereka yang mengutamakan “ilmu” dengan
tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
dengan metode tarekat.
6. Tasawwuf secara harfiah berasal dari kata shuuf yang berarti bulu.
Bahwa makna lain dari tasawwuf adalah
bulu yang lembut, yang diambil dari kata shuufatul qofaa dengan arti bahwa
orang Sufi itu bersifat lemah lembut,
bersifat kasih sayang dan ber-ahlaq mulia.
7. Ada pula kata tasawwuf itu berasal dari kata shifat,
karena orang Sufi itu memiliki
sifat-sifat terpuji dan menghindari sifat tercela.
8. Ada pula yang
mengatakan tasawwuf berasal dari
bahasa Yunani kuno yang di-Arabkan (diucapkan lidah orang Arab), yaitu dari
kata Theosofie,
yang artinya “ilmu Ketuhanan”. Maknanya adalah orang yang selalu mendekat
kepada Tuhan dan Tuhan selalu hadir dalam jiwanya, kemana saja selalu dalam
pandangan Tuhan.
Definisi Tasawuf:
1. Abdul Qasim Qusairi: mengatakan bahwa tasawwuf adalah menerapkan secara konsekwen ajaran Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, berjuang
menekan hawa nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah
dan menghindari diri dari meringan-ringankan ibadah.
2. ahl Abdullah At-Tustury: mengatakan bahwa tasawwuf adalah membersihkan diri dari kerusakan budi, selalu dalam
renungan yang mendalam dan menilai budi mulia itu lebih berharga daripada
tumpukan emas dan permata.
3. Abdullah Wahab Sya’rani: pernah berkata,
“Ketahuilah ilmu tasawwuf adalah ilmu
pengetahuan yang dilimpahkan kedalam hati para wali, dikala hati mereka
disinari oleh cahaya Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW”.
4. Imam Al Ghazali: mengatakan bahwa tasawwuf adalah memakan yang halal, mengikuti akhlak, perbuatan dan
perintah Rasul yang tercantum dalam Sunnahnya. Ajaran tasawwuf berdasarkan ajaran Al
Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
5. Ibnu Khaldun: berkata: “Sebenarnya methodik pokok kaum Sufi
itu adalah selalu memperhitungkan jiwanya sampai benar-benar ia telah
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah
dan Rasul-Nya.
6. Abdul A’la Maududi: mengatakan tasawwuf dalam arti yang sebenarnya adalah penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan setiap cinta memerlukan ketundukkan kepada perintah
seperti yang tercantum dalam Al Qur’an
dan Sunnah Nabi SAW.
7. Junaidi Al Bagdadi: tasawwuf
adalah keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang
terpuji. Imam Junaid Al Baghdadi, sufi
besar yang meninggal tahun 297 Hijriah,
mengatakan upaya membersihkan hati dari pergaulan sesama manusia, mininggalkan
segala keinginan nafsu, menghapus sifat basyariyah,
mempergunakan sifat ruhaniah serta berpegang pada syariah, berdasar Al Qur’an
dan Hadits.
8. Abu Bakar Aceh: menerangkan bahwa tasawwuf adalah suatu ilmu pengetahuan untuk mencari kecintaan dan
kesempurnaan keruhanian.
9. Basyir Al Haris: menerangkan bahwa orang Sufi adalah yang telah bersih hatinya
semata-mata untuk Allah Ta’Ala.
10. Abu Muhammad Al Jurairi: mengatakan bahwa tasawwuf adalah masuk kedalam budi pekerti menurut contoh yang
ditinggalkan Nabi SAW dan keluar dari
budi pekerti yang rendah.
11.Prof. DR. Hamka: mengatakan bahwa tasawwuf adalah membersihkan jiwa dari
pengaruh materi, agar mudah menuju kepada Allah
Ta’Ala. Dalam bukunya ”Tasawwuf Modern”
menjelaskan maksudnya adalah membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi
derajat budi; menekan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi syahwat yang
berlebihan dari keperluan untuk kesentosaan diri.
12.J.Spencer
Trimingham: tasawuf / sufism adalah suatu situasi
pengalaman spiritual yang pararel dengan aliran utama kesadaran Islam yang
diturunkan dari wahyu profetis dan yang dipahami dalam syari’ah dan teologi.[7]
Karena sulitnya memberikan definisi
lengkap tentang tasawuf, Abu Al-Wafa’ al-Ganimi at-Taftazani,
tidak merumuskan definisi tasawuf
dalam bukunya yang berjudul Madkhal ila
at-Tasawwuf al-Islam (Pengantar ke Tasawuf
Islam) melainkan hanya mengemukakan
ciri-ciri umum tasawuf [8] yaitu:
a)
Memiliki nilai-nilai yang normal;
b)
Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak;
c)
Pengetahuan intuitif
langsung;
d)
Timbulnya rasa
kebahagiaan sebagai karunia Allah SWT
dalam diri sufi karena tercapainya maqamat
(maqam-maqam atau
tingkatan-tingkatan);
e)
Penggunaan lambang-lambang pengungkapan yang biasanya
mengandung pengertian harfiah dan tersirat [9] .
Dalam symposium
“Mengamankan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa” di IAIN Syarif Hidayatullah (Ciputat Jakarta) pada tanggal 4 s/d 8
Pebruari 1966 [10], ada menyebutkan
bahwa :
1. Tasawwuf adalah salah satu
jalan pelaksanaan dari ajaran-ajaran
Islam yang bersumber dari Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi Muhammad SAW dan merupakan ruh Islam.
2.
Tujuan Ilmu Tasawwuf,
ialah untuk mempertebal Iman dan Tauhid, serta mempertinggi Akhlak.
Dalam tradisi pesantren di Jawa,
istilah tasawuf dipakai semata-mata
dalam kaitannya dengan aspek intelektual dari “jalan = tarekat” itu,
sedangkan aspeknya yang bersifat etis dan praktis (yang dalam lingkungan
pesantren dianggap lebih penting daripada aspek intelektualnya) diistilahkan dengan tarekat.[11] Sebagaimana diketahui
bahwa tasawuf adalah usaha untuk
mendekatkan diri kepada Allah,
melalui pensucian ruhani dan memperbanyak ibadah, yang umumnya selalu di bawah
bimbingan seorang Syaikh Mursyid yang
dinamakan tarekat. Dengan kata lain tasawuf itu adalah usaha mendekatkan
diri kepada Allah, sedangkan tarekat itu adalah cara atau jalan yang
ditempuh seseorang yang hendak mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Manakala seseorang ingin berkecimpung dalam kehidupan tasawuf dan mengamalkan Islam kaffah, maka hendaklah ia segera
memasuki salah satu lembaga tarekat
yang ada dan benar atau yang diakui keberadaannya.
Ada juga paham tasawuf Kesatuan Wujud, paham ini berisi keyakinan bahwa manusia dapat
bersatu dengan Tuhan. Penganut paham kesatuan wujud ini mengambil dalil Al Qur’an yang dianggap mendukung
penyatuan antara ruh manusia dengan Ruh Allah
dalam penciptaan manusia pertama, pada Nabi
Adam as: “... Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh Ku; maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya” (QS. As Shaad: 72). Sehingga ruh manusia
(ruh Rasul atau nur Muhammad) dan Nur Allah
dapat dikatakan bersatu dalam sholat
karena sholat adalah me-mi'raj-kan ruh manusia kepada Nur Allah Azza wa Jalla . Atas dasar
pengaruh 'penyatuan' atau ‘beserta’ inilah maka kezuhudan dalam sufi
terjadi, sehingga kecintaan kepada Allah
semakin meningkat dan lebih mendalam antara hamba dengan Tuhannya. Paham ini
dikalangan penganut paham kebatinan juga dikenal sebagai paham manunggaling kawula lan gusti (kejawen).
Tingkatan
pendalaman spiritual, dilihat dari syari'at
dalam perspektif faham tasawuf ada
yang menggambarkannya dalam bagian empat tingkatan spiritual umum dalam Islam,
adalah syari’at, tariqah atau tarekat, hakikat dan ma'rifat. Hal-hal yang bisa dirasakan dalam hati dan tak terlihat,
sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat,
sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut. Sebuah tingkatan yang
menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan
berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh
gambarannya, jika seseorang telah mulai masuk ke dalam tingkatan (kedalaman
beragama) dalam tarekat, hal ini
tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan syari'at.
Bagi yang mulai memahami hakikat,
maka ia tetap melaksanakan hukum-hukum maupun ketentuan syari’at dan tarekat, dan
demikian seterusnya.
Perkembangan
berikut terjadi dalam kesenian sufi.
Sufisme telah menyumbang cukup banyak puisi dalam bahasa Arab, bahasa
Turki, bahasa Farsi, bahasa Kurdi, bahasa Urdu, bahasa Punjab, bahasa Sindhi,
dan yang paling dikenal mencakup karya dari Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul
Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal
Sarmast, Sultan Bahu,
tradisi-tradisi dan tarian persembahan seperti Sama dan musik seperti Qawalli.
Semua bentuk kesenian sebagai media dakwah Islam yang menghibur dan merupakan
ekspresi dari bentuk kecintaan kepada Allah
dan Rasul.
Selain itu, yang terjadi adalah
fenomena sosial saat ini, dimana dikalangan para ilmuan dan cendikiawan pun
telah tumbuh suatu kesadaran dan semangat spiritual dengan memunculkan berbagai
macam nama lembaga kajian seperti: managemen qalbu, renungan kerohanian, pencerahan hati, mengobati penyakit
hati, membina keluarga sakinah,
meningkatkan kecerdasan spiritual, dan sebagainya yang dapat disaksikan di
televisi, hp, internet, media cetak dan informasi lainnya. Tampaknya para
intelektual muslim mengalami perubahan pola pikir dan pandangan keilmuan yang
cenderung untuk memperhatikan dan menekuni kajian tentang tasawuf / sufisme / tarekat. Pergeseran kesadaran ini melanda
pedesaan dan perkotaan serta sampai pada negara-negara maju dan mengglobal,
sehingga dapat mengisi kekosongan dan kegersangan pada ilmu pengetahuan. Akibat
dari kegersangan ini, akhirnya merasuki kalangan elit politik, pemegang
kebijakan, pengusaha, termasuk di dalam dunia pendidikan yang berorientasi pada
hasil keluaran yang bersifat materialis-rasional-ilmiah, dan menjadikannya
untuk bisa memiliki kualitas tertentu dari suatu proses pendidikan yang
bermoral-beretika-amaliah (akhlaq)
yang baik dan mulia. Termasuk kalangan non-Islam
pun tertarik pada kajian-kajian spiritualisme dalam tasawuf-sufisme ini. Alasan-alasan yang mendorong ketertarikan pada
sufisme ini adalah amburadulnya sistem dunia modern, ada perasaan kurang
homogen, tidak merasa aman, adanya persaingan yang tak sehat dan tidak adanya
ketenangan hidup serta kedamaian di dalam kehidupan bermasyarakat. Ada suatu
kecenderungan hidup pada yang bersifat individualis-materialistik, lalu adanya
stres dan kecemasan dalam menghadapi hidup dan masa depan, merasa kebingungan
dan kebosanan menghadapi pesan-pesan agama Islam yang sepi dari kandungan
ajaran keruhanian (batiniah). Manusia masa kini terjangkit adanya semacam
kerinduan akan visi dan misi spiritual, apalagi kualitas hidup yang kian
merosot, tiada keseimbangan hidup jasmani - ruhani dan juga dunia-akherat.
Lihatlah ada apa sebenarnya yang terjadi disekitar kita !. Pada setiap sudut
masjid besar dan mewah bahkan ada yang berlapis emas, yang dakwahnya
mengagumkan dan tak putus-putusnya, juga pengajaran agama yang prima dan
menghasilkan banyak sarjana, sampai pada tilawatil
Qur’an yang berhadiah, kurban dan
jema’ah haji yang setiap tahunnya
bertambah. Tapi pada kenyataannya terlihat kebejatan moral makin merajalela,
koruptor dan markus makin banyak terkuak, kemiskinan harta dan moral meningkat,
maksiat serta kejahatan kriminal terlihat dimana-mana, sampai maraknya penipuan
perbankkan. Sungguh nyata sekali bahwa penerangan agama tidak sampai ke hati
dan meraga sukma bagi pemeluknya. Semua itu sebagai gambaran kegagalan
modernitas, formalisme agama mapan yang kurang memberikan ruang untuk memaknai
hidup dan kehidupan kepada manusia modern itu sendiri. Agama harus diungkap
dengan ilmiah-amaliah dan eksak serta
jujur, bila ini dilakukan pasti akan menjadi sebuah realitas dan kenyataan.
Tapi bila diterangkan secara dogmatis, akan jadi sebuah perkiraan-perkiraan
saja atau hayalitas belaka yang lambat - laun Islam ini akan berubah menjadi
agama budaya. Orang biasanya sudah cukup merasa puas hati dan penuh harap
dengan sebuah niat yakni mudah-mudahan bacaannya atau shalatnya memperoleh pahala. Sehingga spekulasi pun akan menjadi
berkepanjangan, sesungguhnya Allah tidak
mundur dari takaranNya walau satu noktahpun bahwa yang diterima hanyalah shalatul khasi’in (khusuk), bahkan yang lalai dalam shalatnya pun diancam celaka.
Terjadi pula pada kaum Islam modern (sufi-modernis-kontemporer), dimana ada
yang merasa tidak sreg dengan
disiplin dari sufi-tarekat yang
konvensional-klasik. Mereka menganggap bahwa yang namanya Silsilah, Mursyid, muk’tabarah dan tawajjuh tidak penting dan dapat ‘mengotori iman’. Menurut keyakinan mereka, orang bisa saja
langsung bermunajat (tawajjuh) kepada Allah dan itu merupakan suatu peristiwa personal amaliah Islam. Mereka mengira setiap orang adalah mursyid bagi dirinya dan tak mengakui mursyid sebagai “perantara”, sebagai tawassul (intermediary).
Tentu pandangan spiritual seperti itu, bagi mereka yang menempuh jalan ruhani
seperti ini menjadikan lahan empuk setan
untuk menyesatkan dan menipunya, serta akan menghasilkan sesuatu tanpa
terkontrol dan kesulitan untuk bisa membedakan (furqaan) mana yang datang dari sisi Allah dan mana dari setan atau mana haq dan mana yang batil. Banyak ilmu perdukunan yang diketahui
merapalkan dzikir dari bacaan ayat Al-Qur’an, akan tetapi yang datang adalah berupa jin-syetan dan disangkanya itu dari
utusan Allah (manusia sangat mudah
tertipu). Setan atau iblis bisa saja, kemudian mengabulkan setiap
permohonannya, bisa pula menyembuhkan penyakit, memberi pasangan hidup (jodoh),
memberikan keturunan, bahkan memperoleh kenikmatan dunia dan kekayaan material
serta yang lainnya dengan imbalan tertentu yang menyesatkan. Pertanyaanya:
apakah yang salah itu ayat Al-Qur’an
ataukah sipembacanya ? Sesungguhnya disiplin sufi konvensional itu benar adanya, menggunakan metode sesuai
firman Allah dalam QS. Al-Kahfi: 17: “Barang siapa yang ditunjuki
Allah, maka dia akan mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka tiada mendapat
seorang penolong (walyyam mursyidaa = wali-mursyid) yang membimbingnya”.
Sufi yang baik seharusnya berada
dalam ilmu tarekat, adalah karena memang
menggunakan suatu ‘metode’ dan ”unsur nur Muhammad”
sebagai pembimbing ruhani yang sifatnya kamil
mukamil serta Ia-nya harus tetap berdiri di atas syariat yang benar pula.
Konsep ‘Nur
Muhammad’ adalah suatu konsep ‘aqidah
Ahlussunnah wal Jama’ah’ yang diterima dan diakui oleh ijma’ (konsensus) ulama ilmu
kalam dan ulama tasawwuf (awliya’ Allah) dalam kurun waktu yang
cukup panjang, sebagai suatu konsep yang memiliki sumber dalilnya dari Al Qur’an dan Hadits Nabi. Aqidah Nur Muhammad’ dinyatakan antara lain bahwa
‘cahaya’ atau ‘ruh’ ini adalah makhluk pertama yang diciptakan, yang kemudian
darinya diciptakan makhluk-makhluk lainnya. Dalil-dalil qath’i (bukti yang pasti) berupa ayat-ayat Al Qur’an yang menyebutkan atribut Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam sebagai ‘Nuur’ (cahaya) yang dikaruniakan Allah Ta’ala bagi segenap alam semesta. Akan kita dapati pula,
penjelasan dari berbagai ulama ahli tafsir (mufassir)
akan makna ayat-ayat tersebut. Allah
Subhanahu wa Ta’ala sendirilah yang menyebut Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam sebagai Nuur (cahaya), atau sebagai “Siraajan Muniiran” (makna literal: Lampu
yang Bercahaya). Perhatikanlah ayat-ayat berikut: [12] Dalam QS. Al-Maidah 5:15 “…Qad
jaa-akum min-Allahi nuurun wa kitaabun mubiin”, artinya “… Sungguh
telah datang padamu dari Allah, nuur (cahaya) dan kitab yang jelas dan menjelaskan”
Diinterpretasikan Qadi ‘Iyad yang mengatakan, “Beliau (Nabi) dinamai cahaya (Nuurun)
karena kejelasan perkaranya dan karena fakta bahwa Nubuwwahnya (Kenabiannya) telah dijadikan amat jelas, dan juga
karena menerangi cahaya orang-orang mukmin
dan ‘arif billah dengan apa yang
beliau bawa”. Lalu Suyuti dalam tafsir al-Jalalayn,
Fayruzzabadi dalam tafsir Ibn ‘Abbas berjudul Tanwir al-Miqbas (hlm. 72), Shaykh
al-Islam, Imam Fakhr al-Din ar-Razi, Mujaddid
abad keenam, dalam tafsir al-Kabir-nya
(11:189), Qadi Baydawi dalam tafsirnya yang berjudul Anwar al-Tanzil, al-Baghawi dalam tafsir-nya berjudul Ma’aalim al-Tanzil (2:23), Imam
al-Shirbini dalam tafsirnya berjudul al-Siraj
al-Munir (hlm. 360), pengarang tafsir Abi
Sa’ud (4:36), dan Thana’ullah Pani Patti dalam tafsir al-Mazhari-nya (3:67) berkata: “Apa yang dimaksudkan sebagai suatu Cahaya (Nuurun) adalah: Muhammad, sallalLahu
‘alayhi wasallam”. Ibn Jarir al-Tabari dalam tafsir Jami’ al-Bayan-nya (6:92) berkata: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah: Ia maksudkan dengan Cahaya adalah: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam, dengan mana
Allah telah menerangi kebenaran,
membawa Islam maju dan memusnahkan kesyirikan.
Karena itu beliau (Nabi) adalah suatu cahaya (nuurun) bagi mereka yang telah tercerahkan oleh beliau dan oleh
penjelasannya akan kebenaran” Al-Khazin dalam tafsir-nya (2:28) mengatakan
serupa: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah bermakna: Muhammad, sallalLahu
‘alayhi wasallam. Allah menyebut
beliau cahaya tidak dengan alasan apa pun melainkan karena seseorang terbimbing
olehNya (Muhammad Sall Allahu ‘alayhi
wasallam) dengan cara yang sama seperti seseorang terbimbing oleh cahaya
dalam kegelapan.” Sayyid Mahmud al-Alusi dalam tafsirnya berjudul Tafsir Ruhul Ma’ani (6:97) secara serupa
berkata: “Telah datang padamu suatu
cahaya (Nuurun) dari Allah: adalah, suatu cahaya yang amat
terang yaitu cahaya dari cahaya-cahaya dan yang terpilih dari semua Nabi, sallalLahu ‘alayhi wasallam”. Isma’il al-Haqqi dalam komentarnya atas Alusi
berjudul Tafsir Ruh al-Bayan (2:370)
secara serupa juga berkata: “Telah
datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah dan suatu Kitab yang menjelaskan
segala sesuatu: dikatakan bahwa makna yang awal (yaitu NUUR) adalah Rasulullah,
sallalLahu ‘alayhi wasallam, dan yang berikutnya (Kitabun Mubin) adalah Qur’an….
Rasulullah sallAllahu ‘alayhi
wasallam disebut Cahaya (Nuurun)
karena yang pertama yang dibawa keluar dari kegelapan kelalaian dengan cahaya
dari kekuatan-Nya, adalah cahaya (Nuur)
Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam,
sebagaimana beliau (Nabi Sall-Allahu
‘alayhi wasallam) pernah bersabda: ‘Hal
pertama yang Allah ciptakan adalah cahayaku”. Riwayat ini berkenaan
dengan pertanyaan Jabir ibn ‘Abd yang bertanya tentang apa yang diciptakan Allah pertama kali sebelum segala
sesuatu yang lainnya. Bahwa nama Nuur
Muhammad sudah terpampang di tiang arsy,
jauh sebelum adanya Nabi-Nabi termasuk Nabi Muhammad bin Abdullah terlahir.
Riwayat ini diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razzaq (wafat 211 H) dalam Musannaf-nya, menurut Imam Qastallani
dalam al-Mawahib al-Laduniyya (1:55)
dan Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (1:56 dari edisi Matba’a al-’amira di Kairo). Tidak ada
keraguan akan Abd Razzaq sebagai rawi
(periwayat Hadits). Bukhari mengambil 120 riwayat darinya,
Muslim 400 riwayat. Riwayat ini dinyatakan pula sahih oleh Abd al-Haqq ad-Dihlawi (wafat 1052). Demikian pula oleh Al-Alusi dan Baihaqi dengan matan
(redaksi susunan kata hadits) yang
berbeda, dan juga oleh beberapa ulama lain. Sebagai suatu catatan khusus adalah
suatu fakta bahwa kaum Mu’tazili (kaum
yang terlalu mengandalkan ra'yu atau
logika akal) bersikeras bahwa ‘Cahaya’ dalam ayat 5:15 merefer hanya pada Al Qur’an.
Alusi berkata dalam kelanjutan kutipan di atas: “Abu ‘Ali al-Jubba’i berkata
bahwa cahaya (nuurun) berkaitan
dengan Al Qur’an karena Qur’an
membuka dan memberikan jalan petunjuk dan keyakinan. Al-Zamakhshari (dalam al-Kasysyaf
1:601) juga puas dengan penjelasan ini.” Ada suatu penjelasan yg patut dicatat
di antara Ahlus Sunnah yang
mendeskripsikan makna Nabi, baik sebagai cahaya (Nuurun) maupun kitab. Al-Sayyid al-Alusi berkata dalam Ruh al-Ma’aani (6:97): “Saya tidak menganggapnya dibuat-buat bahwa
yang dimaksud baik dengan Cahaya (Nuurun)
maupun Kitabun Mubin adalah sang
Nabi, konjungsi dengan cara yang sama seperti yang dikatakan al-Jubba’i (bahwa
baik Cahaya maupun Kitab adalah Qur’an).
Tidak ada keraguan bahwa dapat dikatakan semua merefer ke Nabi. Mungkin Anda akan ragu utk menerima ini dari sudut
pandang ‘ibara (ekspresi); tapi
cobalah dari sudut pandang ‘isyarah”. Al-Qari berkata dalam Syarah al-Shifa’ (Mecca ed, 1:505),
bahwa “Telah pula dikatakan bahwa baik
Cahaya maupun Kitab merefer pada Muhammad sall-Allahu
‘alayhi wasallam, karena beliau adalah suatu cahaya yang cemerlang dan
sumber dari segala cahaya, beliau adalah pula suatu kitab / buku yang
mengumpulkan dan memperjelas segala rahasia” Ia juga berkata (Madina ed, 1:114): “Dan keberatan apa untuk mempredikatkan kedua kata benda itu pada Nabi,
karena beliau secara hakikat adalah Cahaya yang Terang karena kesempurnaan
penampilannya (tajallinya) di antara
semua cahaya, dan beliau adalah suatu Kitab Nyata karena beliau mengumpulkan
keseluruhan rahasia dan membuat jelas seluruh hukum, situasi, dan alternatif”.
Dalam QS. An-Nur 24:35 “…Matsalu nuurihi
kamisykaatin fiihaa mishbaah, al-mishbaahu fii zujaajah; az-zujaajatu kaannahaa
kaukabun durriyyun yuuqadu min syajaratin mubaarakatin zaituunatin laa
syarqiyyatin wa laa gharbiyyatin yakaadu zaituhaa yudhii-u wa lau tamsashu
naarun; nuurun ‘alaa nuurin…”, artinya “… Perumpamaan cahaya-Nya adalah
seperti suatu misykat (bundel) di mana di dalamnya ada suatu lampu, lampu itu
ada dalam gelas, dan gelas itu seperti bintang yang berkelip, dinyalakan dari
pohon yang terberkati, suatu zaitun yang tak terdapat di timur maupun di barat,
yang minyaknya saja hampir-hampir sudah bercahaya sekalipun api belum
menyentuhnya; cahaya di atas cahaya…”. Imam Suyuti berkata dalam al-Riyad al-Aniqa: Ibn Jubayr dan Ka’b
al-Akhbar berkata: “Apa yang dimaksud
dengan cahaya (nuurun) kedua (dalam
ayat tersebut) adalah Nabi sall-Allahu
‘alayhi wasallam karena beliau adalah Rasul
dan Penjelas dan Penyampai dari Allah
apa-apa yang memberi pencerahan dan kejelasan.” Ka’b melanjutkan: “Makna dari ‘Minyaknya hampir-hampir
bercahaya’ adalah karena kenabian Nabi akan dapat diketahui orang sekalipun
beliau tidak mengatakan bahwa beliau adalah seorang Nabi, sebagaimana minyak
itu juga akan mengeluarkan cahaya tanpa tersentuh api”. Ibn Kathir
mengomentari ayat ini dalam tafsir-nya dengan mengutip suatu laporan Ibn
‘Atiyya dimana Ka’b al-Ahbar menjelaskan firman-firman Allah: “…yakadu zaytuha
yudhi-u wa law lam tamsashu nar…”, sebagai bermakna: “Muhammad sall-Allahu ‘alayhi
wasallam sudah hampir jelas sebagai seorang Nabi bagi orang-orang, sekalipun
beliau tidak mengumumkannya”. Qadi ‘Iyad berkata dalam al-Syifa’ (edisi English p. 135): Niftawayh berkata berkaitan dengan kata-kata Allah: “…minyaknya
hampir-hampir bercahaya sekalipun api tidak menyentuhnya…” (24:35): “Ini adalah perumpamaan yang Allah berikan berkaitan dengan Nabi-Nya.
Ia berkata bahwa makna ayat ini adalah bahwa wajah ini (wajah Rasulullah SAW) telah hampir menunjukkan
kenabiannya bahkan sebelum beliau menerima wahyu Qur’an”, sebagaimana Ibn Rawaha berkata: ”Bahkan jika seandainya tidak ada tanda-tanda nyata di antara kami,
wajahnya telah bercerita padamu akan berita-berita” Di antara mereka yang berkata bahwa makna “matsalu
nuurihi” — perumpamaan Cahaya-Nya — adalah Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah: Ibn
Jarir at-Tabari dalam tafsir-nya (18:95), Qadi ‘Iyad dalam al-Syifa’, al-Baghawi dalam Ma’alim
al-Tanzil (5:63) dalam catatan al-Khazin,
dari Sa’id ibn Hubayr dan ad-Dahhak, al-Khazin dalam tafsir-nya (5:63), Suyuti
dalam ad-Durr al-Mantsur (5:49),
Zarqani dalam Syarah al-Mawahib
(3:171), al-Khafaji dalam Nasim ar-Riyad (1:110,
2:449). Lalu al-Nisaburi dalam Ghara’ib
al-Quran (18:93) berkata: “Nabi
adalah suatu cahaya (Nuurun) dan
suatu lampu yang memancarkan cahaya”. Al-Qari dalam Syarah al-Shifa’ berkata: “Makna
yang paling jelas adalah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud dengan cahaya (Nuur) adalah Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam”. Dalam
QS. Al-Ahzab 33: 45-46 “Yaa Ayyuhan Nabiyyu inna arsalnaaka
Syahiidan wa Mubassyiran wa Nadziiran. Wa Daa-’iyan ila-Allahi bi-idznihii wa
Sirajan Muniiran“, artinya “Wahai Nabi sesungguhnya Kami telah
mengutusmu sebagai seorang Saksi, Seorang Pembawa kabar gembira, dan seorang
Pemberi Peringatan, dan sebagai Seorang Penyeru (Da’i) kepada Allah dengan
izin-Nya, dan sebagai suatu Lampu yang menebarkan Cahaya“. Qadi
al-Baydawi berkata dalam tafsir-nya: “Itu
adalah matahari berdasarkan firman-Nya: “Telah Kami jadikan matahari sebagai suatu lampu”; atau, itu mungkin berarti suatu lampu”. Ibn Kathir menyatakan dalam tafsirnya:
“Firman-Nya: ‘…dan suatu lampu yang bersinar’, adalah: statusmu (Wahai Nabi) nampak
dalam kebenaran yang telah kau bawa sebagaimana matahari nampak saat terbitnya
dan bercahaya, yang tak bisa disangkal siapa pun kecuali yang keras-kepala”.
Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat
(1:147) berkata: “kata itu (lampu)
digunakan untuk segala sesuatu yang mencahayai”. Al-Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (3:171) berkata: “Beliau dinamai Lampu karena dari satu lampu
muncul banyak lampu, dan cahayanya tidak berkurang”. `Abd Allah ibn Rawaha al-Ansari cucu dari
penyair Imru’ al-Qays berkata tentang Nabi SAW
: “law lam takun fihi ayatun mubina
lakana manzaruhu yunabbi’uka bi al-khabari”, “Bahkan seandainya, tidak ada ayat (tanda) berkenaan dengan ia (SAW), yang nyata dan jelas sungguh
memandangnya saja sudah bercerita padamu akan khabar / berita”. Ibn Hajar
meriwayatkannya dalam al-Isaba
(2:299) dan berkata: “Ini adalah syair
terindah dengan mana Nabi pernah dipuji”. Ibn Sayyid al-Nas berkata tentang
Ibn Rawaha ini dalam Minah al-Madh
(hlm. 166): Ia terbunuh sebagai syahid
di perang Mu’ta pada 8 Jumadil Awwal
sebelum Fathu Makkah (Penaklukan
Makkah). Di hari itu ia adalah salah satu dari komandan. Ia adalah salah
seorang dari penyair yang berbuat kebaikan dan biasa menangkis segala bahaya
yang menyerang Rasulullah. Adalah
berkenaan dengan dia dan dua temannya Hassan (ibn Tsabit) dan Ka’b (ibn Zuhayr)
yang disinggung dalam ayat “Kecuali mereka yang beriman dan berbuat
kebajikan dan berdzikir pada Allah sebanyak-banyaknya” (QS. As-Syu’ara
26:227). Dan sebagai atribut dari Allah adalah Dzu al-Nur yang berarti
Sang Pencipta cahaya, dan Penerang langit dan bumi dengan cahaya-cahaya-Nya,
juga sebagai Penerang qalbu
orang-orang mukmin dengan petunjuk
(hidayah). Imam Nawawi berkata Syarah
Sahih Muslim, dalam komentarnya
atas doa Nabi yang dimulai dengan: “Ya Allah, Engkaulah Cahaya Langit dan bumi
dan milik-Mu lah segala puji…” (Kitab Salat al-Musafirin :199). Para ulama berkata bahwa makna “Engkau
adalah cahaya langit dan bumi” adalah: Engkaulah Dzat Yang menyinari
mereka (langit dan bumi) dan Pencipta cahaya mereka. Abu ‘Ubayda berkata: “Maknanya adalah bahwa dengan cahaya-Mu
penduduk langit dan bumi memperoleh hidayah”.
Al-Khattabi berkata dalam komentarnya atas nama Allah an-Nur.“ Itu berarti Ia yang dengan cahaya-Nya, yang buta
dapat melihat, dan yang tersesat dapat terbimbing, di mana Allah adalah cahaya langit dan bumi, dan adalah mungkin bahwa makna
al-Nur adalah: Dzu al-Nur, dan adalah tidak benar bahwa al-Nur adalah atribut dari Zat
Allah, karena itu hanyalah atribut dari aksi (sifatu fi’li), yaitu: Ia adalah Pencipta dari cahaya”. Yang lain
berkata: “Makna cahaya langit dan bumi
adalah Sang Pengatur matahari dan bulan dan bintang-bintang mereka (langit dan
bumi)". Dan ”Kebenaran adalah dari Tuhanmu, dan janganlah
kau termasuk mereka yang ragu” (kutipan maknawi dari Al Qur’an).
Inti dari pada nuur (cahaya) Allah, nuur Muhammad, hakekatnya adalah sama, karena
nuur Muhammad itu juga merupakan nuur Allah (bukan manusia) yang
diciptakan Allah SWT sebelum ada makhluk di dunia berkembang, yang tertulis ditiang Arsy, yang ditiupkan kepada manusia
sebagai makhluk hidup pertama yang terbuat dari tanah dan lalu dibawa secara
estafet oleh manusia-manusia pilihan yakni kepada silsilah 25 Nabi (dari ribuan Nabi) dan Rasul-Rasul, mulai dari Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad SAW, yang kemudian diteruskan kepada
pewaris-pewarisnya. Jelasnya merujuk kepada firman Allah dalam QS. An Nuur
ayat 35 yang artinya: ”..... Allah memberi petunjuk kepada cahayaNya
kepada siapa yang dikehendakiNya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi
manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. Sebagai wasilah berupa cahaya Allah atau nuurun ‘alaa nuurin yang
diperoleh dari secara estafet, dari Rasulullah
SAW lalu kepada mursyid-mursyid terdahulu.
Oleh karena itu Sayyidina Umar tidak lagi bertawassul kepada Nabi setelah wafatnya beliau, melainkan bertawassul kepada yang hidup, yaitu paman
Nabi Sayyidina Abbas r.a. Dan orang yang
memperoleh nuur Allah atau nuur Muhammad ini akan dengan sendirinya
tercerahkan, terbimbing olehNya, seperti pengertian “... Cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya Siapa yang Dia
Kehendaki...”. Dimana cahayaNya sebagai perumpamaan hidayah Allah yang berganda dapat memancarkan dan memantulkan sinarnya
kembali lewat lubang atau pelita kaca atau minyak zaitun kepada orang lain yang
melihat dan merasakannya, juga menerangi dan menjaga alam lingkungan. Ibarat
sinar (cahaya) matahari, tiada sinar-sinar lain yang bisa menjangkau atau
sampai kepada matahari melainkan hanya sinarnya sendiri. Itu semua karena
matahari diciptakan Allah, yang
menjadikan kehidupan ini bisa berlangsung, dapat membuat bumi panas, gersang
dan bisa membakar. Juga bikin alam ini terang benderang sehingga aktivitas
manusia menjadi lebih mudah dan hemat energi. Namun sinarnya bisa juga
menyilaukan mata. Matahari memiliki kekuatan yang tak hingga, bisa bermanfaat
(bernilai plus) dan bisa pula menghancurkan (bernilai negatif), tiada lagi yang
dapat menandinginya. Apalagi sinar-sinar buatan manusia itu, tidak akan bisa
menyamainya dan jauh bila dibandingkan sinar matahari yang tak pernah habis.
Ini semuanya diciptakan agar manusia berfikir ilmiah dan amaliah.
Pengamal tasawwuf tidak akan berhasil mencapai tujuannya dengan hanya
berbekal ilmu teoritis saja, walaupun Ia-nya telah mempelajari banyak dari
buku-buku tasawwuf, bahkan dari
pakarnya sekalipun. Ilmu teori tasawwuf
atau pengetahuan umum dan keagamaan
serta ilmu sejarah Islam, hanyalah sebagai pendorong atau penguat dalam
melaksanakan amal dan ibadah. Tentu maksudnya yang terpenting disini adalah
prakteknya. Jadi dalam hal beramal dan beribadah seharusnya dengan ilmu teori
(ilmiah) dibarengi dengan ilmu amaliyah
(praktek) yang langsung akan dapat memperoleh hasil dan merasakan akan
manfaatnya.
Dalam
mengamalkan ilmu tarekat, ibarat
seperti halnya ilmu tentang menanam padi. Jika secara teoritis ilmu menanam dan
memelihara padi di sawah telah diperoleh, maka harus dipraktekkan untuk bisa
memperoleh hasil nyata panennya. Apalagi untuk memperoleh hasil panen yang
berlimpah, tentu ilmunya berupa teori dan praktek (secara menyeluruh / kaffah) serta dipraktekkan atau
dilaksanakan (diamalkan) untuk disinergikan, sebagai metode, untuk saling
mendukung, sebagai pendorong dan sekaligus sebagai penguat.
Sebodoh-bodohnya seseorang, bila Ia telah menanam tanpa
harus ber-ilmu terlebih dahulu, tentu Ia bisa saja dapat buahnya walaupun tidak
sebaik hasilnya apabila Ia telah mengetahui dan memahami teori-prakteknya untuk
bisa memperoleh hasil yang maksimal. Apalagi ternyata secara kebetulan Ia telah
menanam dengan benih-benih ditanah yang kenyataannya tanah tersebut memang
subur dan secara tidak sengaja pula menanam dengan bibit yang baik pula
(unggul), kemudian alam sendiri (Allah)
yang menumbuhkan, membesarkan dan yang
memelihara secara alamiah serta akhirnya dapat memberi buah yang lezat dan
bermanfaat, itu semua tentu karena karunia Allah
SWT. Dan sesungguhnya Allah
sendirilah yang sebenarnya telah mencerdikkan ummat manusia, dengan berbagai
proses, pelajaran di alam dan pengalaman, baik bersifat jasmani maupun ruhani
yang diperolehnya, untuk suatu tujuan bagi kesejahteraan hidup.
Khusus di dalam amalan bathiniah dalam
Islam, yakni dengan cara melalui jalan ibadah dan beramal sholeh diharapkan untuk memperoleh yang namanya ilmu Laduni
yaitu Allah sendiri yang
mencerdikkan. Tentu di dalam prakteknya tersebut akan disertai pula berbagai
pengalaman-pengalaman berharga sebagai ‘pembelajaran’ sehingga akhirnya menjadi
sesuatu keyakinan yang benar-benar haqqul yaqin.
Dengan kata lain, bahwa sesungguhnya langsung praktek
beribadah dan beramal sholeh itu
(tentu dengan melalui bimbingan ruhani Mursyid
yang telah beserta unsur Muhamad)
ternyata hasilnya lebih baik atau lebih maju selangkah daripada hanya berteori
saja yang hasilnya muluk-muluk, yakni hanya berangan-angan atau hanya berupa
ceritera serta hayalan belaka. Jangan sampai seperti orang yang mengetahui
manisnya air tebu (gula), tapi tidak pernah merasakan manisnya air tebu (gula)
itu.
Sesungguhnya Allah SWT itu adalah: “Maha
otak, maha tinggi, maha besar, maha
kuasa, maha mulia, maha gaib, maha pengasih dan maha segala-galanya”.
Tentu tidak mungkinlah otak-otak manusia yang terbatas itu untuk bisa
menjangkau-Nya, apalagi untuk meng-“otak-otaki” Allah SWT, juga untuk bisa memerintah-Nya, apalagi untuk masalah
urusan mati dan hidup, surga dan neraka, yang haq dan yang bathil. Yang
diperlukan disini adalah “iman”, yaitu “percaya” seperti tersebut dalam rukun iman yang enam yaitu percaya pada Allah SWT, Rasulullah (utusan Allah
dan Nabi-nabi-Nya), Kitab-kitab-Nya / Al
Qur’an, Malaikat-malaikat-Nya, Hari Akhir (qiyamat) atau bil-yaumil akhir dan bil-qadhar (ketentuan / takdir baik dan buruk dari Allah). Dari rukun iman tersebut
ternyata “kuncinya” adalah: “Percaya
kepada Rasulullah, karena beliaulah
sebagai “Guru” yang pertama mengajarkan manusia tentang percaya atau iman
kepada Allah SWT, Rasul / Nabi, malaikat, Al Qur’an, hari akhir dan takdir Allah”. Peganglah atau pilih sajalah iman
kepada Rasulullah, tentu akan terkena
semua tentang pelajaran dari rukun-rukun iman
tersebut. Dan hal tersebut bukanlah pelajaran yang hanya sekedar untuk dihafal
dari rukun-rukun iman yang enam itu, tetapi lebih jauh dan mendalam lagi yaitu
untuk dipahami dan dipraktekkan. Hal tersebut tercermin juga dalam makna dua kalimah syahadat (la ilaha illallah,
Muhammad Rasulullah) ada benang merah disana atau sebagai “tali hubungan” (dwi-tunggal).
Bagi yang percaya pada Allah saja dan tidak percaya kepada Rasulullah karena berwujud manusia (dari
tanah) seperti halnya iblis dan juga sebagai termasuk golongan Yahudi yang
dilaknat oleh Allah. Firman Allah SWT sebagai berikut: “Waman lam yu’min billahi warasulihi fa inna
a’tadnalil-kafirina sa’ira” yang artinya: “Dan siapa yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul (utusan)Nya, maka
sediakan untuk orang-orang kafir itu neraka sa’ir, Api yang sangat panas”.
Sehingga kemudian dipahami bahwa Dua kalimah syahadat itu
dipersyaratkan untuk orang-orang yang beriman dan yang akan masuk Islam serta
bagi mereka-mereka yang hendak bertaubat.
Inilah undang-undang alam yang tidak pernah
salah selama-lamanya. Allah SWT
menegaskan: “Adapun buih itu, akan
hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat
kepada manusia, maka ia tetap di bumi” (QS. Ar-Ra’d: 17). Maka
diperlukan kesadaran untuk selalu memperbarui
iman secara terus-menerus seperti halnya bunyi hadits berikut: Abuhurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Perbaharuilah
iman kepercayaanmu”. Ditanya: “Bagaimana
memperbaharui iman ya Rasulullah ?”. Jawab Nabi SAW: “Perbanyaklah membaca: La ilaha illallah” (HR.. Ahmad Al Hakim).
Pada
umumnya sebagai manusia biasa hanya bisa berusaha semampunya, lalu memohon dan
berdo’a, baik dalam urusan dunia maupun urusan akherat. Selebihnya Allah sendiri yang menentukan nasib
manusia itu pada akhirnya. Untuk
menerima hal tersebut diperlukan suatu keikhlasan manusia (pasrah) kepada Allah SWT apapun hasilnya, sebagai bahan
introspeksi, untuk memperbaiki diri, untuk diambil hikmahnya atau bahkan untuk
bisa disyukuri. Sebagai manusia biasa, yang tiada sempurna, dimana manusia
banyak memiliki kelemahan-kelemahan atau keterbatasan, penuh dengan dosa lahir dan
batin (sengaja / tidak disengaja), lupa dan khilaf, tidur atau tidak sadarkan diri (pingsan,
mabuk), bodoh dan salah. Tentu setelah berihtiar (berusaha) memperbaiki diri,
perlu pula agar dibarengi do’a mulai dari sejak awal mula sampai akhirnya,
yakni agar apa yang dikerjakan memperoleh manfaat dan jalan yang selamat serta
diberkahi, dengan selalu memohon dalam berdo’a kepada Allah SWT. Apabila kenikmatan datang menghampiri haruslah diingat
bahwa itu semua hakikatnya dari Allah semata,
dalam QS. An-Nahl : 53 disebutkan “Dan
ni’mat apa saja yang ada pada kamu, maka dari Allah jua (datangnya)”.
[2] Nuh Ha Mim Keller, Tasawwuf, 1995
[4] Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra, Kairo,
1374
[5] Abul Qasim Abdul Karim Hawasin Al Qusyairi An Naisaburi, Risalah Qusyairiyah:
Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
[6] Imam Al Ghazali, Suntingan KH Misbah Zainul Musthofa, Ihya
‘Ulumuddin (Menuju Filsafat Ilmu dan Kesucian Hati di Bidang Insan Ihsan), CV.Bintang Pelajar,
Gresik-Jatim, tt
[7] J. Spencer Trimingham, The Sufi Order in Islam, London, 1973
[8] Prof. DR. Ir Budi Santoso, M.Sc.,APU, Seminar Nasional
Tasauf Islam “Raktualisasi Nilai-nilai
Tasawuf Dalam Menata Kehidupan Modern” STAIN Surakarta, 29-Januari 2005,
hal. 8
[10] Hasil Musyawarah/Forum Diskusi, Ilmu Tasauf Islam : Azas-azas dan Dalil-dalil dari Thariqatullah, Fak. IKM, UNPAB,
Medan 21-25 Januari 1984, hal.3.
[11] Zamakhsari Dhofier, Tradisi
Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, LP3ES, Jakarta, 1982, hal 132
[12] Maulana Shaykh Hisham Muhammad Kabbani dan Shaykh Dr. G.F. Haddad & http://www.muslimdelft.nl/titian-ilmu/tentang-nabi/konsep-nur-muhammad-dalam-al-quran,
1-9-09
Hidup dan Seni / blogspot.goesmul.com.islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar