1. Seni
Rupa di Bali Krisis Kritik
Ada
kecenderungan, begitu pesatnya perkembangan senirupa di Bali tidak diikuti oleh
perkembangan kritik tentang karya seni tersebut. Apakah karena kurangnya
kritikus-kritikus handal yang menguasai teknik mengkritik sebuah karya seni?
Ataukah menjadi seorang kritikus seni kurang menjanjikan dari segi finansial?
Ada "permainan" apa sesungguhnya di balik itu sehingga kritik tidak
lagi menggigit dan berfungsi sebagaimana mestinya?
ITULAH serangkaian
pertanyaan yang mengemuka pada diskusi atau sarasehan seni rupa bertema
"Krisis Kritik Seni Rupa di Bali" yang digelar mahasiswa PSSRD
Universitas Udayana yang tergabung dalam "Mahasenrayana" pada 20
Februari 2002 di Wantilan Museum Sidik Jari, Denpasar. Pembicara dalam diskusi
ini adalah Arif B. Prasetyo, I Nyoman Sukaya dan I Ketut Murdana, dengan
moderator Pande Gede Supada. Disamping mahasiswa PSSRD, diskusi ini juga
dihadiri mahasiswa dan pengajar STSI Denpasar, para perupa, serta peminat seni
rupa.
Arif
B. Prasetyo mengakui bahwa memang terjadi perkembangan pesat senirupa di Bali,
namun tidak diikuti perkembangan kritik terhadapnya. Tidak saja di Bali, namun
sudah pada tingkat nasional. Ia mensitir adanya kerancuan akan peran ganda para
kritikus -- pengamat seni yang juga sebagai kurator galeri, sehingga pembahasan
karya cenderung menonjolkan sisi-sisi baiknya saja, sehingga sisi yang jelek
luput dari pengamatan dan pembahasannya. Hal ini tentu menimbulkan kecurigaan
dan kecemasan terjadinya "krisis" kritik senirupa.
Menurut
Arif, biang kerok terjadinya krisis adalah kurangnya kritikus handal. Meski
para kritikus berasal dari lingkungan akademis, namun akhir-akhir ini mereka
kebanyakan kehilangan kehandalannya dan memamerkan kedangkalannya demi
kepentingan agresifitas pasar dan penetrasi besar-besaran arus kapital ke seni
rupa. Pasar seni rupa dipandang berkuasa dalam praktik "kolonisasi",
termasuk para kritikusnya. Akibatnya, lahir karya kritik yang kurang objektif.
Ini menunjukkan kerancuan fungsi kritikus yang "merangkap jabatan" --
sebagai kurator, konsultan dan penulis katalogus, wartawan, dan seterusnya.
Arif
yang dikenal sebagai penulis seni rupa, kurator di sebuah galeri, penyair,
esais, penerjemah, serta mantan wartawan ini, lebih lanjut mengatakan bahwa
tidaklah penting jika kritikus itu merangkap jabatan. Yang jauh lebih berharga
adalah karya kritik itu sendiri, yaitu yang kreatif, sejajar dan mandiri
(independen) serta seharusnya terasa lebih kaya dari apa-apa yang dilukis seniman.
Kritik pada masa kini sangat diperlukan untuk membangun dan mencerdaskan
bangsa. Tidak seperti masa Orde Baru, kritik dianggap menjelek-jelekkan saja
yang harus dipangkas. Kalau teknik dan teori kritik kini sudah begitu banyak,
canggih, dan dasyat, lalu bagaimana dengan penerapannya?
Ternyata
pendekatan yang akademis dalam kritik belum pernah diterapkan dengan konsekuen
dalam praktiknya. Kesenjangan antara teori dan praktik kritik seni rupa mirip
dengan di dunia sastra Indonesia yang mengalami polemik dan perdebatan panjang.
Menurut Arif, isi karya kritik tergantung dari posisi pengamat yang subjektif
dan mengapa ngotot minta akan kritik yang objektif? Yang terpenting adalah
tanggung jawabnya dari apa yang tersirat dalam seluruh pandangan terhadap karya
seni itu yang dianggap sebagai "karya kreatif" juga. Dengan demikian,
tidak perlu buang-buang energi atau kebingungan, cemas, khawatir kalau seorang
kritikus seni rupa kedapatan merangkap jabatan sebagai perajin tulisan atau
apapun namanya. Yang pokoknya adalah apa yang diungkapkan dan argumen apa
sampai pada kesimpulan dari ungkapan tersebut.
Belum Tersentuh
Berbeda dengan Arif, I Ketut Murdana yang doses STSI Denpasar, alumnus PSSRD Unud, melihat banyak pameran seni rupa terlewatkan tanpa berita atau ulasan serta kritik yang memadai. Permasalahan yang cukup mendasar seperti perluasan pemahaman, tingkat pendalaman dan apresiasi serta iklim kritik yang dirasakan stagnan, sementara maraknya perkembangan proses penciptaan seni rupa terjadi.
Berbeda dengan Arif, I Ketut Murdana yang doses STSI Denpasar, alumnus PSSRD Unud, melihat banyak pameran seni rupa terlewatkan tanpa berita atau ulasan serta kritik yang memadai. Permasalahan yang cukup mendasar seperti perluasan pemahaman, tingkat pendalaman dan apresiasi serta iklim kritik yang dirasakan stagnan, sementara maraknya perkembangan proses penciptaan seni rupa terjadi.
Banyak
wilayah kritis yang belum tersentuh wacana, apalagi muncul konsep seni yang
berakar pada konsep budaya seni tradisi yang majemuk di Nusantara ini.
Perdebatan panjang tentang makna dan nilai yang disodorkan seniman berbeda
dengan cara pandang tentang kritik seni itu sendiri. Perguruan tinggi seni rupa
di seluruh Indonesia banyak menggelar diskusi, seminar ilmiah tentang hal itu.
Di satu sisi perpedoman dengan teori dan cara pandang Barat, sisi lainnya
menyerap teori Barat dan melahirkan sistem sesuai dengan budaya sendiri.
Usaha-usha para pakar di bidang akademik perlu diposisikan dan dikondisikan
untuk membentuk wacana sistem nilai yang dibutuhkan masyarakat secara
menyeluruh sesuai iklim budaya sendiri.
Sementara
ini pemberitaan dan ulasan seni rupa tidak banyak menyentuh wilayah kritis dan
esensial dari karya. Para pecinta seni banyak terjebak dalam bujuk-rayu para
calo-calo dan peran kritikus hilang bagaikan ditelan bumi, menghapus kejujuran
nilai dan makna yang disodorkan seniman. Tentu bisa dibayangkan bagaimana wajah
dan kondisi apresiasi seni di masa mendatang. Murdana menyadari kondisi ini
adalah tanggungjawab dari perguruan tinggi seni, bila perlu dibentuk program
studi kritik seni. Suatu kenyataan bahwa mahasiswa datang ke perguruan tinggi
hanya untuk menjadi pelukis daripada menjadi kritikus yang honornya sangat
kecil dibandingkan beban tanggungjawab yang dipikul. Pemberdayaan pengajar di
perguruan tinggi seni rupa untuk menulis pada majalah, surat kabar dan jurnal
ilmiah untuk kenaikan pangkatnya, seperti anjuran dan adanya surat edaran
Dirjen Dikti, memberikan dampak yang positif bagi iklim penulisan yang bermutu
dan ilmiah serta sesuai kebutuhan publik apresian.
Menurut
Murdana, diskusi juga merangsang tumbuhnya iklim penulisan yang kondusif.
Kritik bagi orang Bali dilandasi mental sebagai "pemberi contoh" dan
"menjadi contoh", suatu proses pendidikan yang aktif secara teori dan
praktik. Juga, cara pandang yang memaknai hidup dengan "kerja"
sebagai suatu persembahan dapat menghasilkan wujud budaya dan seni dengan bobot
kemampuan yang tinggi, tetapi kurang mampu menjelaskan konsep yang melatarinya.
Untuk itu seorang kritikus bukan berdiri sendiri, ia juga seorang praktisi
sekaligus guru. Kenyataan ini sangat bertentangan dengan cara pandang Barat
yang menganggap kritik sebagai "memberi komentar atau keputusan tentang
baik dan buruk".
Jika
kritik tersebut memberi jalan keluar, berarti kritik masuk wilayah sasaran yang
tepat. Tujuan dari kritik adalah menghidupkan seni, melalui bahasa seni yang
kritis, menjembatani bahasa rupa menjadi bahasa tulis yang dapat dimengerti
masyarakatnya. Sudah saatnya muncul penulis lokal yang memahami konsep seni
lokal untuk meluruskan pandangan keliru dari penulis asing.
Pembicara
terakhir, yaitu I Nyoman Sukaya yang Ketua PSSRD Unud, menilai bahwa kemajuan
seniman banyak ditunjang oleh para kritikus yang baik. Bagi Sukaya, Bali masih
kurang kritikus yang handal dan bisa menunjang perkembangan seni rupa.
Menurutnya, pengertian kritik perlu disepakati bersama, "kritik"
(dalam bahasa Inggris: critician) berarti mencermati, membandingkan, memilah,
menimbang dan menghakimi. Kritik juga berarti kecaman, tanggapan, pertimbangan
baik/buruk suatu karya, pendapat dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1988). Dengan demikian, Sukaya mencomot tulisan Budi Raharja (1996), bahwa
kritik seni menyangkut masalah penyajian fakta, penafsiran, analisis, mencari
kriteria dan memakainya, membuat rangkuman sampai akhirnya diperoleh keputusan
nilai atas karya seni.
Seleksi
karya yang bermutu ditentukan oleh kritikus yang berwawasan global, objektif
dan memiliki tanggung jawab moral. Intimidasi perupa atau seniman yang
berlebihan terhadap kritikus dapat mengganggu objektivitas profesinya.
Dikemukakan pula bahwa realitas kesuksesan dan "pasar seni" mesti
terpadu dengan idealitas pengembangan seni rupa yang juga ideal. Sukaya
mengisyaratkan, Bali memiliki peluang adanya kritikus yang baik dengan analisis
swot yakni adanya SDM cukup, paradigma perguruan tinggi dan multimedia yang
canggih sebagai kekuatan. Peluang adanya kegiatan pameran/ seminar seni rupa
dan kesempatan belajar terbuka lebar. Kelemahan dan hambatannya adalah SDM
lemah dan kurang apresiasi, penguasaan bahasa asing dan teknologi informasi
juga masih kurang.
Menurut
Sukaya, krisis senirupa di Bali bisa diatasi dengan munculnya kritikus muda
yang aktif dalam berbagai kesempatan, seniman tidak perlu tersinggung bila
dikritik karena dibalik kritikan ada pujian tersamar yang berharga. Pada akhir
diskusi, ada simpulan-simpulan yang lebih menitikkan pada harapan bahwa perlu
ada pencerahan-pencerahan, dimana kekacauan intelektual harus diimbangi dengan
"jiwa yang suci". Tidak perlu ada ketakutan akan kritik
"pesanan". Biarkan masyarakat pembaca yang menilai, baik dan buruk
suatu kritikan adalah tanggung jawab kritikus itu sendiri. Perlu dikembangkan
iklim kritik di atas kritik, masing-masing mengungkapkan argumentasinya. Tolok
ukur adalah apa yang dihasilkan yakni hasil karya itu sendiri, sejauh dan
sedalam apa membedah seni yang dikritiknya, untuk mengakhiri krisis kritik yang
kritis di Bali.
* Agus Mulyadi Utomo
2. Upaya
Kreatif Mengolah Bentuk Telur
Keramik IGAM Dewi Rani Maharani
Keramik IGAM Dewi Rani Maharani
PENCIPTAAN bentuk-bentuk karya
keramik sebenarnya tidak mandek. Ini terjadi selama masih ada insan yang
memiliki kreativitas, minat, bakat seni dan tujuan fisik bentuk tertentu
terhadap keramik atau sebagai pemenuhan barang yang bersifat ekonomis. Dan
selama itu pula bentuk-bentuk keramik inovasi baru akan bermunculan dan
berkembang. Bahkan bentuk yang sudah ada pun, seperti bentuk klasik dan
tradisional, juga mengalami perubahan sesuai dengan situasi, kondisi dan
kebutuhan zamannya.
Tidak
dipungkiri lagi bahwa lembaga pendidikan tingi seperti senirupa dan desain,
khususnya Jurusan Kriya Seni, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, merupakan
pusat pengkaderan tenaga kriya atau keramik terdidik (SDM) yang mengembangkan
bentuk-bentuk keramik. Tidak saja menciptakan benda keramik fungsional dan
benda kerajinan -- hiasan, cendramata, dll. -- tetapi juga menciptakan
benda-benda yang bersifat ekspresi seni.
Salah
satu kreativitas dari mahasiswa ISI Denpasar semester V yang mengambil minat
studi keramik, yakni IGAM Dewi Rani Maharani, mengolah bentuk telur menjadi
barang pakai. Secara umum, karya-karya keramik wanita berdarah Jawa
(Sunda)-Bali, berasal dari ide dasar bentuk bulat telur yang dipotong-potong,
dibagi dan disusun ulang. Pola-pola pengembangan yang sederhana ini, terbukti
mampu menggerakkan unsur kreativitas dari para pengembang, perupa, dan desainer
terhadap bentuk-bentuk keramik.
Berangkat
dari bentuk telur, Rani mencoba mengolahnya menjadi bentuk vas bunga kering,
kap lampu dan untuk meja pojok atau meja pinggiran sofa. Dari bentuk bulat
telur ini, ada yang dipotong menjadi dua bagian, sebagai pasangan yang dapat
disatukan kembali seperti bentuk semula yang difungsikan sebagai kap lampu, ada
bagian atas dan bawah yang bisa dibuka (diangkat). Kap lampu ini pada bagian
bawahnya ditunjang oleh penyangga logam (besi) berwarna tembaga, dengan hiasan
kerawangan bentuk geometris yang akan menghasilkan cahaya tembus dan bayangan
yang unik sesuai dengan motifnya. Bentuk telur lainnya ada yang dipotong
sepertiga bagian atasnya, yang difungsikan sebagai vas bunga kering dengan
warna coklat/krem seperti kulit telur ayam, yang juga disangga besi berwarna
tembaga. Vas bunga kering ini juga dihiasi relung-relung geometris dan
kerawangan. Lebih jauh lagi, bentuk telur dibagi empat bagian, yang kemudian
disusun ulang secara terbalik, memperlihatkan bagian dalamnya yang diberi warna
putih telur dengan goresan ornamen relung-relung garis. Bentuk ini kemudian
pada bagian atas diberi kaca berbentuk lingkaran yang difungsikan sebagai meja.
Rani juga memanfaatkan bentuk telur seperempatan yang difungsikan sebagai
tempat lampu dinding.
Karya
keramik Rani memanfaatkan warna glasir evori putih dan merah-coklat dan
campuran keduanya serta tambahan Fe dengan suhu pembakaran 1200ø-1300øC. Dari
kenyataan ini, ternyata seorang kreator atau desainer tak akan pernah kehabisan
akal atau ide untuk membuat bentuk-bentuk baru yang segar dan menantang. Hanya
saja perlu pelatihan yang kontinyu dan berkelanjutan serta menimba pengalaman,
baik dari pengalaman pribadinya maupun dari orang lain yang lebih senior,
sehingga karya-karya yang muncul nantinya memiliki kualitas tertentu sesuai
dengan peruntukannya.
* agus mulyadi utomo
3. Citra Patung
Bali dalam Lingkup Tradisi
Pameran Patung Kelompok BIASA
Pameran Patung Kelompok BIASA
Bali Indonesia
Sculptors Association (BIASA) menggelar pameran seni patung pada 27 Desember 2004 s.d. 5 Januari 2005 di Krane Gallery, Lungsiakan Ubud, Gianyar. Pameran yang dibuka oleh Ida Bagus Marka, pemilik Gallery Marka dari Kemenuh, Sukawati Gianyar ini, menampilkan 33 karya patung dari 11 pematung -- seorrang di antaranya pematung wanita asing yang tinggal di Bali.
--------------
SENI patung memang bernilai budaya yang cukup tinggi dalam kehidupan bangsa-bangsa kuno di dunia maupun di Indonesia, termasuk di Bali -- terutama patung untuk sarana penghormatan, pemujaan dan upacara keagamaan.
Sisi lain yang menarik dari telaah seni patung Bali, bahwa bentuk tradisi lama masih digarap oleh sebagian kelompok masyarakat Bali kini. Hal ini bisa saja terjadi disebabkan kehidupan di
daerah ini tak banyak berubah terutama dalam kepercayaan masyarakatnya yang
mayoritas masih memeluk agama Hindu. Di samping itu, ada realitas lain yang menunjukkan pelestarian nilai-nilai tradisional berjalan secara alami, berjalan lintas waktu yang sedikit toleran terhadap pengaruh luar atau bersifat ekonomis akibat sistem komunikasi modern dan perkembangan pariwisata, pendidikan serta apresiasi masyarakat Bali sendiri.
Kemampuan mengukir
atau memahat patung bagi orang Bali sudah tidak diragukan lagi. Para pematung tidak perlu sekolah khusus, bahkan hanya
melihat saja sudah bisa meniru. Namun demikian, dalam mengolah ide yang bernilai seni
dan menuangkan ekspresi menjadi bentuk tertentu dengan bahan tertentu pula
memerlukan pengetahuan tersendiri. Pengembangan dari bentuk seni patung tradisi, yang
dirintis oleh I Nyoman Tjokot (awalnya tidak dikenal dan dibina oleh seniman R.
Bonnet dan Walter Spies sekitar tahun 1940-an), memanfaatkan akar-akar kayu
yang diambil dari bekas tebangan di hutan yang tidak terpakai untuk bahan
patungnya dan di-finishing dengan warna arang serta kapur.
Kini, setelah I
Tjokot, bentuk patung yang baru dan modern sekali pun, maupun bentuk patung
tradisional yang telah meningkat jumlah dan variasinya itu, ternyata belum
mampu mengubah citra patung tradisional Bali serta sepi dari wacana. Walaupun hasil seni tersebut sudah banyak menyebar ke
mancanegara, bahkan ada yang diakui sebagai karya orang asing dengan
menunjukkan hak ciptanya. Kebanyakan karya lukis
dan patung Bali
, baru terkenal
setelah ditulis dan dibahas dalam buku-buku oleh orang asing. Akhirnya, seni patung Bali dalam perkembangannya kemudian nyaris tak terdengar
gaungnya, tenggelam dalam arus bisnis/ekspor serta hiruk-pikuknya seni kerajinan
dan budaya kerja semata.
Peniruan-peniruan
dalam produksi patung tradisional memang sudah dianggap biasa yang dilakukan
oleh masyarakat perajin di Bali, bahkan penciptanya merasa "bangga"
kalau bentuk tersebut ditiru/disenangi dan berguna bagi orang lain, apalagi
bentuk ciptaan tersebut laku dijual di pasaran. Dampaknya pun akan berbeda dengan kebutuhan yang besifat individual dari sudut pandang ekonomi modern yang berkembang kemudian. Hal-hal yang bersifat original dan inovatif tak selalu
mendapat perhatian masyarakat perajin dan belum jadi suatu kebutuhan yang
mutlak para perajin dalam upaya melindungi hasil karyanya. Apalagi untuk penelitian atau membuat buku, masih
langka dilakukan oleh akademisi dan pematung Bali.
Para pengamat seni patung di Indonesia, agaknya, memang merasa enggan atau "sengaja" tidak memasukkan seni patung di Bali sebagai bagian dari perkembangan seni patung Indonesia, atau notabene memerlukan pembahasan atau kacamata khusus yang terkait dengan agama dan budaya Hindu Bali atau pembahasan yang berbeda serta perlu pengetahuan tersendiri akan hal itu. Satu-satunya pada masa kini yang dapat mengangkat
citra patung tradisi Bali secara nasional dan internasional adalah Garuda Wisnu
Kencana (GWK) karya I Nyoman Nuarta (alumni ITB) yang spektakular dilihat dari
ukuran dan fungsi sosialnya.
Memberi Harapan
Adanya
Bali IndonesiA
Sculptors Association (BIASA) ini tentu dapat memberi harapan untuk nantinya bisa mendata, meneliti dan membukukan perkembangan seni patung di Bali secara khusus dan berkala pula. Apalagi banyak pihak yang mendukung hal tersebut
seperti galeri-galeri, kolektor, konsultan luarnegeri dan ISI Denpasar untuk
dapat terwujudnya di masa mendatang literatur dan pendidikan seni patung Bali.
Kesebelasan pematung
yang berpameran di Krane Gallery Ubud kali ini memajang 33 karya. Mereka adalah Ida Bagus Alit, I Made Brata Yasa, I Gusti Made Lod, Pande Wayan Mataram, I Wayan Mudana, I Ketut Muja, I Made Sukanta Wahyu, I Made Sujana, Made Sudiarta, Tjok Udiana dan Corola Cooges.
Menyimak karya para pematung secara keseluruhan, masih banyak yang menggarap bahan tradisional kayu -- waru, sonokeling, suar, jati, belalu, mahoni, frangipani wood, ketapang, sea hibiscus wood, dan ada juga yang mengolah bahan kertas bekas seperti Tjok Udiana. Para pematung masih banyak berkutat pada teknik pahatan tradisional, mengikuti alur dan struktur kayu yang memanfaatkan karakter dan tekstur yang natural, seperti bonggol, serat, akar, cabang, kayu yang lapuk, rusak, bolong dan yang bergelombang dalam membentuk ide seninya -- sebagaimana dikerjakan Muja, Mudana, dan lainnya.
Beberapa di antaranya
seperti Bratayasa, Mataram, dan Sujana memanfaatkan sisa-sisa kayu potongan
yang dirakit atau disusun sedemikian rupa menjadikan sinyal-sinyal untuk
direspons daya imajinasi mereka menjadi bentuk ungkapan atau ekspresi. Berbeda dengan Sukanta Wahyu yang terkadang juga
memanfaatkan kayu setengah terbakar untuk memperoleh efek-efek tertentu seperti
kesan magis atau menyeramkan dalam mengusung simbol-simbol ritual. Made Sudiarta mewujudkan patungnya dengan kayu usang
yang umumnya cukup tua. Ia tak mau memotong kayu yang masih hidup atau muda untuk berkarya, semuanya itu didasari oleh kepercayaan atau ajaran tertentu untuk menjaga keharmonisan dengan alam semesta.
Secara menyeluruh,
bentuk patung masih menyisakan unsur tradisi, baik teknik dan finishing, maupun
bentuk atau wujud patung-patungnya. Satu-satunya yang berbeda adalah wanita pematung asing
yang tinggal di Bali yakni Carola Vooges. Perwujudan patungnya murni dari olah pikir dan rasa
seni yang bersifat infividual (modern). Ia memperhatikan kejadian-kejadian di sekitar atau adanya sebab-akibat dari suatu hukum alam maupun keadaan alam itu sendiri yang diserasikan dengan unsur bahasa rupa universal kemudian disusun berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan, ritme, komposisi, tekstur dan bahannya menjadikan ekspresi tersendiri.
* agus mulyadi utomo
Catatan Tercecer Pameran Seni Rupa PKB
2002
4. Perbedaan Menjadi Keseimbangan
4. Perbedaan Menjadi Keseimbangan
Pameran
seni rupa serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-24 tahun 2002, 22 Juni - 20
Juli 2002, memang sudah usai. Pameran yang digelar di Gedung Kriya, Taman
Budaya Denpasar, ini setidaknya pantas dicacat sebagai "bagian" dari
gebyar pameran seni rupa di Bali belakangan ini. Tetapi, mengapa ada kesan
gaung pameran seni rupa ini kurang bergema? Apapun itu, agaknya pameran seni
rupa ini tetap berlangsung dengan idealismenya, walaupun gerakannya lambat dan
kritik selalu menyertainya.
TEMA sentral PKB ke-24 2002 --
"keseimbangan jagat raya beserta isinya" atau "Jagaddita Sarwa
Prani Hita" -- tersirat dalam pameran seni rupa yang diikuti sekitar 70-an
seniman Bali ini. Para pelukis itu, dari Gianyar (22 orang) Badung (11),
Karangasem (2), Denpasar (29), Bangli (1) dan Tabanan (2) serta Singaraja (3).
Klungkung dan Jembrana tidak ada yang mewakili. Pameran yang digelar meliputi
lukisan, grafis, patung dan keramik. Ada yang bernuansa tradisional,
modern-kontemporer dan konseptual.
Karya
yang dipamerkan terlihat beragam, ada yang mengangkat seni/budaya tradisi
seperti wayang, cili, patima, adat istiadat Bali, pura, upacara-upacara,
tarian, legenda, keramaian pasar hingga kehidupan sehari-hari dalam keluarga.
Sebagian lagi menampilkan ekspresi individual -- terhadap aspek visual maupun
material -- seperti komposisi, tekstur, warna, garis, bidang-bidang dan yang
seakan-akan membentuk atau mengimajinasikan sesuatu yang bersifat khas bagi
setiap seniman.
Lingkungan
alam budaya tradisional memang seringkali menjadi sumber inspirasi seniman.
Katakanlah I Nyoman Sukaya, seniman akademis yang ketua PSSRD Unud ini,
karyanya berjudul "Pura Dalem" menyuguhkan pemandangan lingkungan
alam Bali berlatarbelakang pura. Sukaya menampilkan kekuatan alam dan suasana
keheningan. Karya pelukis yang banyak dipengaruhi Arie Smit -- terutama dalam
teknik basah dan dusel -- ini lebih cenderung mengarah dekoratif. Yang juga
menonjol dari karya Sukaya adalah penampilan alam tanpa adanya unsur sosok
manusia di dalamnya. Ia menata lingkungan alam sedemikian rupa dan teratur
indah, suasananya hening tanpa keributan oleh hiruk-pikuknya manusia.
Berbeda
dengan I Made Surita yang justru sebaliknya, yakni menampilkan keramaian pasar
tradisional. I Putu Rugeg menyuguhkan suasana dalam "Mekarya di Dalem
Tamblingan". Juga DN Wardana lewat karya bertajuk "Banten
Pajegan". Suasana pantai yang dipenuhi perahu nelayan ditampilkan I Made
Oka. Lalu Tjok Istri Mas Astiti mengetengahkan pemandangan keluarga bahagia
yang sedang melintas.
Penari
Bali, tidak pernah ketinggalan dari incaran mata pelukis dan pegrafis seperti I
Made Sudana lewat "Tari Baris"-nya, I Wayan Beratha Yasa dengan
"Legong Keraton"-nya, IGK Suandi lewat "Tari Pendet", pun
pada karya Dewa Made Pastika, I Wayan Swandi dan AA Rai Kalam. Selain penari,
penonjolan sosok gadis Bali juga hadir dalam karya berjudul
"Bercermin" karya Wartayasa, IN Sumiadi dalam "Dua Gadis",
AAG Ngurah TY, Huang Fong yang sedikit menggoda dalam "Gadis Duduk",
IG Ariawan lewat "Menanti Nusa Damai", hingga sosok wanita Bali yang
sedang menenun lewat krya Ariawan.
Dunia
pewayangan tidaklah luput dari goresan perupa Bali, seperti I Wayan Wartayasa
dengan "Gatot Kaca Seraya"-nya, "Arjuna Wiwaha" oleh I Made
Arka, dan NA Arnawa yang merangkainya dengan motif-motif kain klasik Bali. Lalu
"Khrisna Murti" oleh Ketut Murtana, hingga "Legenda
Kalarau" dan "Semara Murti" masing-masing oleh Pande Ketut Bawa
dan Ketut Karsa.
Lukisan
abstrak tidak pernah sepi, hadir setiap saat di Bali, terutama dari kalangan
muda dan seniman akademis. Katakanlah Gede Arimbawa dengan karya "Denyut
Kehidupan"-nya, Sudiana dan Ketut L Sugantika lewat "Balance",
AA Gede Yugus dengan "Harmoni Garis", "Cahaya Alam" oleh
Supena, "Pesona-pesona Alam" oleh Dewa Putu Budiarta, Pande Gede
Supada dengan "Kharisma Citra", Wayan Surim dengan
"Serakah", I Made Artayasa dengan "Persembahan", Kawi
dengan "Memadu Kasih", Wirakusuma dengan "Stimulan", hingga
IB Wartama yang menampilkan "Ekspresi Alam".
Falsafah
dan Simbol Dewa Nyoman Batuan, pelukis yang tidak memperoleh pendidikan seni
rupa secara formal, ternyata punya pengetahuan dan pandangan tersendiri. Ia
mengangkat tema-tema filosofis yang bersumber dari tradisi dan agama Hindu,
seperti mandala, swastika, hingga lingga yoni. Simaklah karyanya semisal
"Mandala Lingga Yoni". Batuan mengambil falsafah dunia nyata yang
dikaitkan dengan falsafah agama. Segala penjuru dilukiskan dengan bentuk
lingkaran, sedangkan lingga yoni diartikan sebagai awal dari kehidupan dunia.
Batuan memang banyak memunculkan simbol-simbol mahluk hidup, dari manusia,
binatang, hingga dan tumbuh-tumbuhan. Terkadang ia juga mengambil bentuk
Bedawang Nala, Naga Ananta Boga, serta Naga Basuki yang dianggap memiliki
pengertian akan gerak keseimbangan.
Pada
karya Gede Gunada berjudul "Renungan Pemburu" terdapat gambar kepala
manusia dengan latarbelakang tulangbelulang yang berserakan. Sedangkan
berburunya I Made Dipta lain lagi, ia melukiskan adanya proses alami perang
dimensi, dimana mahluk ikan yang lebih besar akan memangsa ikan-ikan yang lebih
kecil. I Wayan Setem mencoba menampilkan simbol mirip orang suci dengan
latarbelakang bayang-bayang, juga terdapat teko yang berisi logo cocacola.
Gunada mencoba menggiring pemirsa akan suatu kebutuhan dan faktor ekonomi yang
bersifat komersial yang dikemas sedemikian rupa dalam "Globalisasi",
I Made Djirna lewat "Terhimpit" yang melukiskan manusia kini
terkotak-kotak, sesak, dan individual.
Topeng-topeng
I Wayan Sukarya, secara keseluruhan memperlihatkan sekmen-sekmen komposisi
penuh dan bagian atas terdapat kesan topeng-topeng. Demikian pula dengan AM
Utomo yang menampilkan dua wajah mirip tokoh Tualen yang saling berbincang --
semacam punakawan, pengabdi, humoris yang sedang seolah-olah mengulas
permasalahan rakyat dalam "Wakil Rakyat Jelata".
Patung
dan keramik diikuti oleh 15 seniman, menggunakan bahan kayu, fiber glass, batu
dan tanah liat. I Wayan Sutha mengetengahkan "Manusia Ular" berbahan
batu dan agak masif. Lalu IB Alit dengan "Selamat Datang", terlihat
cenderung primitif dari sosok wanita memberi salam. Patung berjudul
"Ritual Lingga Buana" karya I Made Gerya berbahan kayu jati terlihat
begitu semangat, kepala unggas jantan sedang birahi mencari pasangan ke segala
arah. Patung lainnya masing-masing "GerakTari" karya Dewa Putu Merta,
"Lahirnya Sang Adikala" karya Wayan Marya, "Menatap Diri"
karya IB Gede Ari Munartha, dan "Integrasi Tiga Figur" karya I Made
Suwarsa. I Ketut Muja lewat karya "Tindak-Tundik-Tanduk-Tunduk"-nya
memperlihatkan kekuasaan dan kemampuan manusia menguasai alam. I Ketut Modern
tampilkan "Kalika", Rugeg dengan "Sapu Leger", dan I Nyoman
Mura dengan "Raja Pala".
Sedangkan
keramikus Ida Ayu Gede Artayani menampilkan karya keramik berjudul "Lingga
Yoni", suatu bentuk yang seolah-olah mirip anyaman. Keramikus AA Ketut
Anom, seperti biasanya, tidak lepas dari konstruksi susunan cicak-cicak yang
tersembul dari dalam wadah silinder yang seolah terkelupas dan karyanya ini
diberi judul "Pergantian".
* Agus Mulyadi Utomo
Pameran Kriya Seni dari karya 20 Kriyawan Akademis
.5. Ekpresi Kriyawan pada Media Kayu
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Bertempat di Gedung
Kriya, Taman Budaya Denpasar, sejak tanggal 18 hingga 27 Nopember 2005 digelar
pameran karya-karya kriya seni dari 20 orang kriyawan akademis dari Jurusan
Kriya ISI Denpasar, yang terdiri dari Dosen, pegawai, mahasiswa dan alumni.
Pameran yang disponsori UPTD Taman Budaya, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali ini
berjumlah sekitar 52 karya kriya yang kesemuanya terbuat dari berbagai bahan
kayu, sekitar 40 karya relief dipajang didinding dan 12 karya berujud patung 3
dimensi. Secara umum penampilan kriyawan akademis ini menunjukkan kecenderungan
sebagai karya seni murni sebagai ekspresi.
Seni Kriya
Kerajinan memiliki ciri
khas sebagai pekerjaan tangan (handicraft)
yang termasuk kriya (craft). Sedangkan “kriya” atau “kria” yang berasal
dari kata “creat” ini bahasa Sansekertanya berarti “kerja” dan bahasa Jawanya “pakaryan” dan masyarakat pada umumnya
menyebut sebagai “kerajinan”. Jika diurai dari akar keilmuannya, masih terus
terjadi perdebatan dikalangan praktisi maupun akademisi bidang seni rupa.
Bidang kriya atau kerajinan ini menjadi ajang perebutan antara masuk disiplin
ilmu seni murni atau desain sehingga muncul istilah “kriya seni”, “kriya
desain” atau “seni kriya” dan “desain kriya”. Karena kriya memiliki fleksibilitas yang tinggi, bisa berupa
kecendrerungan-kecenderungan, berada ditengah-tengah dan tergantung dari
kedudukan dan wawasan yang dipergunakan, yang bisa berada di wilayah atau kubu dari
seni murni atau seni pakai (seni terapan /desain).
Sudarso SP, mengatakan bahwa seni kriya adalah cabang seni rupa yang sangat
memerlukan kekriyaan (craftmanship)
yang tinggi, seperti ukir kayu, keramik, anyaman, dsbnya (1988:14). Sedangkan Wardiman Djoyonegoro, Mendikbud R.I.
dalam sambutan Pameran Seni Terapan 1994, menyatakan bahwa seni tersebut tidak
hanya mengandalkan kerajinan dan ketrampilan tangan, melainkan hasilnya
mengandung makna sebagai karya cipta seni (kriya seni) yang kreatif dan
inovatif. Seni kriya pada hakekatnya tertuju pada penekanan bobot kekriyaan (craftsmanship) yang memungkinkan
lahirnya nilai seni terapan dalam bentuk ekspresi baru sesuai tuntutan budaya
masa kini. Seni kerajinan ini sering pula disebut sebagai “seni rakyat” karena
pendukungnya banyak dari rakyat biasa dan disebut “seni tradisional” karena
banyak menghidupkan seni-seni tradisional, Juga disebut pula “industri
rumah-tangga” atau home-industry yang
memproduksi secara terbatas dengan peralatan sederhana. Dan disebut sebagai
“seni ladenan” karena sering membuat atau melayani pesanan, yang segala
sesuatunya (sedikit atau banyak) ditentukan oleh pemesan, baik motif, bentuk,
warna, desain maupun teknologinya. Barang-barang kerajinan bisa saja dipakai
untuk kegunaan tertentu, tetapi bukanlah tujuan yang utama. Seringkali hadir
sebagai benda yang bersifat dekoratif atau cenderamata. Karena ketidak jelasan
batasan dari seni kerajinan ini, terjadi perpaduan antara seni seni pakai, seni
murni dan seni kerajinan. Untuk menciptakan seni kerajinan yang khas,
diperlukan wawasan agar dapat mendudukkan posisinya secara mandiri dan dapat
mengembangkan ciri-ciri yang menonjol dari visualisasi kegiatan kriya tersebut. Ciri khas yang
sangat menonjol dari seni kerajinan ini adalah mengutamakan segi keindahan
(dekorasi) yang menghibur mata , sebagai pajangan, pekerjaan tangan-tangan
trampil luar biasa dengan produksi terbatas (manual-tradisional).
Banyak
kalangan merasakan bahwa Seni kriya sebagai pengulangan-pengulangan bentuk yang
sudah ada, baik yang tadisional atau yang klasik, dan pada umumnya
memperlihatkan atau mempertahankan nilai-nilai lama. Kerajinan juga nenunjukkan
konotasi negatif sebagai jenis suatu pekerjaan yang “mengulang-ulang” dari
bentuk yang sama dan positifnya memiliki sifat “rajin” atau “teliti”. Kenyataan
ini membuat perkembangan seni kriya termasuk lambat, terutama mengulang
bentuk-bentuk yang laris dan laku dijual (selera massa) yang menambah
kelambatan dalam pengembangannya, perubahan hanya sekitar bahan baku saja. Wiyoso Yudoseputro, mengatakan bahwa
dalam pengembangan seni kriya Indonesia
sebagai seni terapan masa kini, diharapkan mampu menampilkan nilai-nilai guna
baru berdasarkan imajinasi dan daya kreasi atau ekspresi para perupa.
Kecenderungan untuk memandang produk kriya sebagai hasil produksi massal dan
karya ulang sering mengecilkan arti dari kandungan nilai sebagai karya seni
terapan. Lebih lanjut Wiyoso
mengharapkan lahirnya bentuk-bentuk baru dan orisinil tanpa harus
mengulang-ulang kaidah seni lama yang tidak sesuai dengan kebutuhan budaya masa
kini. Jadi makna dasar kriya tertuju pada penekanan pada “bobot kekriyaan” (craftsmanship)
yang melahirkan nilai seni baru sesuai tuntutan zaman. Ciptaan-ciptaan tangan
ini sering “ jatuh “ sebagai benda “iseng” atau kitsch tanpa arti, tanpa tujuan yang jelas, yang tidak lagi menarik
bagi orang yang memiliki intelektualitas tinggi dan bagi mereka yang haus akan
arti kehidupan dan ilmu pengetahuan.
Namun demikian sentuhan tangan-tangan trampil ini justru merupakan daya
tarik terbesar, karena menghasilkan barang yang tidak kaku dan “dingin” seperti buatan mesin, terasa
“hangat” dan akrab serta sangat manusiawi. Walaun di zaman teknologi komputer
canggih seperti sekarang ini dimana dapat dengan mudah memprogram barang dengan
baik, indah dan sempurna, namun tetap saja berkesan “tidak hidup” serta jauh
dari manusia dan terasa “kering” akibat buatan mesin-mesin. Kerinduan manusia
modern terhadap sentuhan tangan, membuat seni lama hidup kembali atau mengalami
perubahan dan pengembangan atau ada semacam himbauan untuk “kembali ke alam” ( back to nature).
Hasil
karya kriya yang bermutu tinggi adalah dambaan, kriyan dituntut untuk memiliki
citarasa yang tinggi, ketrampilan yang tinggi, dapat mengembangkan seni ldengan
citarasa baru, unik dan eksklusif, dan hasilnya tentu tidak mustahil menjadi
duta-duta seni dan budaya bangsa yang membanggakan. Kebutuhan artistik dan
estetik baru dalam kriya masa kini menjadi tugas pakar-pakar seni dan kriyawan
akademis sehingga produknya menjadi komoditi ekspor non-migas yang handal serta
mampu bersaing di pasar global.
Karya ekspresi
Irwin Whitaker berpendapat bahwa kriyawan dapat membuat ‘sesuatu
karya kriya’ yang menyentuh perasaan / menyenangkan dipandang telah menjadi
seniman ? Seniman disini tidak berarti
hanya menyenangkan orang lain, bisa juga membuat sedih, marah, dll. Pameran
kali ini khusus mengetengahkan kriya seni yang cenderung sebagai benda ekspresi
(seni murni) yang tidak diperuntukkan sebagai benda pakai-guna tetapi khusus
untuk pajangan dan bersifat terbatas bukan bersifat produksi massal. Mari kita
simak karya mereka, seperti yang berjudul ‘Akhir Persahabatan” dari I Made
Suparta yang menggambarkan beberapa makhluk yang saling berebut makanan yang
menunjukkan sifat kebinatangan terbuat dari kayu jati. I Nyoman Suardina
mengekspresikan bentuk “dakon” permainan
tradisi anak-anak dengan lubang cekungan dan mangkuk dari kayu yang
disusun sedemian rupa berjudul “The Play”. Karya yang berjudul “Topeng” yang
terbuat dari kayu kamboja ini adalah karya I Ketut Adi Kusuma, tidak lagi
seperti mirip topeng pada umumnya, tetap berupa bongkahan kayu yang diukir
mengikuti pola dasar kayu aslinya dan pada sudut tertentu dibagian bawah ada
gambaran wajah serta bagian atasnya berbagai macam bentuk sebagai gambaran
pikiran dan keinginan dalam hidup. I Gusti Agung Jaya CK, mencoba
mengetengahkan “Nuansa Wayang” yang seolah bentuk relief candi Borobudur.
Ekspresi gerakan “Tari Bali” yang didideformasi terbuat dari kayu suar diberi
warna-warni dominant biru adalah karya I Gede Sumadi. Tak kalah menarik adalah
karya dari I Nyoman Laba, yang terinspirasi dari 2 ekor burung angsa terbuat
dari kayu suar disemir ini berjudul “Kebersamaan”, bentuknya begitu luwes seolah meluncur cepat dan kepala
bereaksi dengan gerakan yang terlihat serasi membuat nyaman dipandang.
Jejak-jejak kaki manusia yang simbolik ini berbaur dengan lekuklikunya
relung-relung ukiran relief dari A.A. Agus Putrayasa berjudul “Alam Pikiran Manusia” tersbut terbuat dari kayu suar. Lalu rekannya
I Made Suartana karyanya terinspirasi oleh mesin-mesin, ada bentuk pir-spiral,
baut, kabel dan susunan metal, namun semuanya terlihat begitu lembut khas kayu
suar yang jauh dari kesan metal. Ekspresi luka seperti tetesan darah, gambaran
dalam tubuh manusia seperti usus, jantung, paru-paru dibuat oleh I Made Darmika
dari kayu suar berjudul “Luka Abadi I & II”. Segala usaha gagal digambarkan seolah diputar
oleh dynamo ke gerigi roda gila yang semakin ke atas semakin besar dihubungkan
tali kipas yang ternyata putus itu, menunjukkan tidak ada suatu kemampuan lagi
diberi judul “Putus Harapan” dari kayu
suar adalah karya dari I Nyoman Gede Juwastra.
Keunikan barong dan rangda menjadi inspirasi dari I Made Surata, terbuat dari kayu jati
dengan warna gelap hitam. Organ tubuh pencernaan manusia diekspresikan oleh I
Wayan Aris Susila terbuat dari kayu suar. Suatu bentuk karya yang diberi judul
“Menjelang Kehancuran” dari kayu suar ini oleh I Ketut Sutama diinspirasikan
dua pengertian yang berbeda. Kaligrafi aksara Bali diekspresikan oleh I Wayan
Wicana seperti yang berjudul “Mang” dan I Dw Gd Mandirawan dengan karya yang
diberi judul “ Daye” dari kayu suar dan
kamper. Karya berbentuk 3 dimensi dari I Wayan Suarjana berjudul “Broken Hom”
terinspirasi dari prilaku anak yang digambarkan secara simbolis bergaya naif
dipadu dengan bentuk swegitiga kerucut terbalik. Gambaran roh jahat dibuat oleh
I Made Sujana terbuat dari kayu kepelan dengan warna antik seperti barang kuno.
Gambaran pertemuan sperma dengan sel
telur di ekspresikan oleh I Made Guntur dan relief uang kepeng diekspresikan
oleh I Wayan Ardika berjudul “Pis Jaring” sebagai hiasan dinding. Semuanya
adalah karya kriya yang menonjolkan
ekspresi perupa dalam media kayu.
Pameran
“Lifestyles”
6. EKSPRESI DAN
KREATIVITAS WANITA PERUPA
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Tanggal 20 Pebruari s/d 20 Maret 2005 digelar pameran seni
rupa yang bertajuk “Lifestyles”
mengambil tempat di Danes Art Veranda.
Pameran diikuti sepuluh perupa perempuan yang berasal dari Bali,
Yogyakarta dan Jakarta yang menampilkan sekitar 49 karya berupa lukisan, patung
kayu dan keramik, karya relief dan digital
print. Secara menyeluruh, karya yang mereka ditampilkan menunjukkan
ungkapan dan kreativitas perupa wanita dalam memandang dan menyikapi serta
merespon realitas gejala sosial dari “gaya kehidupan” masyarakat terutama dari
para wanita itu sendiri. Sudut pandang
perempuan ini bisa disimak dari ungkapan curator pameran ini, Susi Andriani,
dalam katalogus: “Saya Ada Karena
Bergaya” tiada lain bermaksud untuk menarik perhatian khalayak dan bisa eksis
dalam persaingan global.
Citra
Wanita
Membicarakan persoalan wanita memang terasa
menarik dan khas, apalagi para perempuan itu membahas masalahnya sendiri dari
kacamata mereka sendiri. Sesuatu yang wajar bila ungkapan mereka dalam karya
berkisar masalah “gaya hidup”, baik dari kalangan perempuan, masyarakat dan
lingkungannya, seperti dari persoalan mode atau fashion, pernak-pernik asesories,
masalah kecantikan seperti tatarias rambut dan wajah serta perawatan tubuh,
aktivitas rumah tangga, tentang “kapitalisme tubuh” sebagai komoditi dan
konsumsi untuk politik-ekonomi, estetika, kegairahan, sesualitas, erotisme,
seks dan hingga menjual produk-produk lainnya lewat potensi yang dimiliki para
wanita. Pola hidup “materialitis” dan “konsumtif” telah menjadi realitas dan
bagian yang tak terelakkan lagi dalam era kapitalisme global dewasa ini yang
melipatgandakan produksi produk dan konsep kesenangan dengan teknologi
mutakhir. Dan para wanita itu pula merupakan “pasar” yang potensial dalam
penjualan produk, baik yang bersifat
tradisional maupuin yang bersifat modern. Sebagai wanita disamping memiliki
daya tarik tersendiri dengan segala fasilitas yang dimiliki, terutama dengan
“gaya hidup pergaulan bebas” tentu menjadi resiko tersendiri pula yang dapat
mengangkat atau dapat menjatuhkan harga diri dan kehormatannya. Rupanya para
perempuan yang memiliki peran ganda ini, juga bisa mengidolakan tokoh-tokoh
wanita tertentu yang dianggap ideal dalam menjalani kehidupan.
Kesepuluh perupa wanita yang menampilkan karya
dalam pameran kali ini diantaranya adalah Sri Haryani, Ni Nyoman Sani, Ludzy
Septriana, IGAK Murniasih, Nisak Indri Hayati, Ayu Sri Jati, Grace Tjondronimpuno,
Koniherawati, Titarubi dan Lydia
Poetrie. Menyimak karya mereka ada yang berujud lukisan seperti Sri Haryani
yang berjudul “Consumtive” dan “Party” dengan warna agak transparan seperti
teknik basah menampilkan aksi fashion
dan glamor yang menunjukkan bahwa
wanita merupakan ladang pasar produk yang potensial, dimana banyak wanita ingin
tampil secantik mungkin, menarik, dapat mengenakan berbagai asesories yang
berkelas atau elit untuk bisa “bergaya” yang tentunya menguras banyak uang
untuk itu. Bagaimana tingkah polah para wanita dilukiskan oleh Ni Nyoman Sani
dalam lukisan yang berjudul “Back I - V” yang menggambarkan secara naif
seolah wanita sedang bergaya dengan
tubuhnya. Nisak Indri Khayati dengan karya “Look into The Mirror” atau “Berkaca” dengan gaya sedikit naif pula
menunjukkan bagaimana para wanita sedang mengolah dan merawat potensi tubuh dan
wajahnya. Sedangkan Murniasih dalam karya “Mine” dan Ayu Sri Jati melihat
realitas dari gaya hidup di era global, dimana penggunaan telepon seluler (HP)
telah menjadi kebutuhan dan komuditas penting untuk berkomunikasi dalam
kehidupan sehari-hari, yang kini bukan lagi menjadi barang mewah. Dengan HP
dapat melakukan transaksi apa saja, tukar pandangan, memperoleh informasi,
mengungkapkan kasih sayang dan perhatian, sampai dengan teknologi terkini yang
dapat merekam dan menayangkan gamba / foto serta program komputer / internet
dapat diperoleh disini. Ekspresi Murniasih dapat dilihat dalam karya lukisan
“My Style in Kamboja” yang menggambarkan sosok 2 orang wanita telanjang naik
sepeda gayung panjang masing-masing dapat berkomunikasi tersendiri melalui HP,
yang ditengahnya ada seekor binatang seperti anjing yang menjulurkan lidahnya.
Menunjukkan bahwa Dunia yang berjarak, memiliki ruang dan waktu tidak lagi
menjadi permasalahan untuk bisa saling berhubungan. Juga karya patung kayu dari
Ayu Sri Jati yang berjudul “Relax” menggambarkan sosok manusia seperti
perempuan yang sedang berkomunikasi melalui HP sambil tiduran. Karya 3 dimensi
lainnya adalah dari Grace Tjondronimpuno, wanita kelahiran magelang yang
dipersunting pria asli Bali yaitu kartunis “Dedok” ini, menampilkan
pernak-pernik lukisan di atas kayu (talenan) yang akrab bagi kaum wanita di
dapur dan juga di atas kanvas. Penampilan yang feminim dari Grace terlihat dari
ukuran karya yang relatif mungil (hingga 10 X 15 cm). Pada karya yang berjudul
“Globalization” dan “It’s my Life” , Ia
menggambarkan pasangan pria-wanita, yang seolah-olah tampak bahagia walau ada
yang berbeda suku, bangsa, negara dan agama. Dan apakah “pasangan antar bangsa”
itu sudah merupakan “gaya hidup” dari sebagian kecil masyarakat kita? Pasangan seperti ini sudah cukup banyak, ada
yang dari kalangan orang biasa saja, artis, seniman, pengusaha, ataupun hanya
sekedar “kawin kontrak”. Keramikus Lydia Poetrie dari IKJ ini, menuangkan ekspresinya dalam bentuk patung figur atau
sosok wanita dari bahan tanah liat jenis stoneware
dengan glasir pada bagian tertentu saja. Keramik karya Lydia yang berjudul
“Jamune Mas!” dan “For my Family” menggambarkan seorang wanita penjual jamu
dengan memperlihatkan seolah tubuhnya yang seksi sebagai daya tarik untuk
promosi. Lalu karya lainnya berjudul “Senandung Jiwa”, “Arranger D’Hair” dan “A
Song for You”, yang terakhir ini menampilkan bagian atas figur wanita dari atas
dada sampai kepala yang kupingnya terselip bunga, seakan sedang menyanyikan sebuah lagu dengan
penghayatan tertentu. Berbeda dengan rekannya yang lain, Koniherawati, dalam
karya yang diberi judul “Lifestyle #1&2 (The Style of The Most Beautiful
Woman & The Style of The Most Handsome Man)” serangkaian gambaran yang mengidolakan “suatu
gaya hidup” sebagai pilihan seperti
Bunda Maria, Ibu Theresa, Yesus, Budha, Gandhi sampai Lady Di. Apapun pilihan
dan kondisi wanita, gambaran idealis itu pasti ada. Keinginan perempuan memang
banyak, perjalanan panjang dan jauh itu, “Where am I Going”, dilukiskan oleh
Ludzy sebagai “gaya hidup”, mulai dari keperluan akan gincu, pakaian,
aksesories, TV, mobil dan rumah mewah hingga gambaran wanita telanjang dengan
segitiga pengaman di ke atas alat vitalnya terdapat dalam karya yang berjudul
“Woman’s Desire”. Dan karya digital print
dari Titarubi yang berjudul “Bound with Shine” melukiskan seorang wanita dengan
baju pengantin yang berjuntai berhiaskan manik-manik sedang melambaikan tangan
dan menarik koper yang juga sarat berhiaskan manik-manik. Karyanya yang
berjudul “Bralgeuraming Go Away My Child” , mengekspresikan bagaimana fitrah
wanita mengandung janin dan berusaha memotong tali kehidupannya dengan “aborsi”
yang sudah tampak menggejala sebagai “gaya hidup”, seperti praktek “dokter
aborsi” (Bali Post Minggu 20/2/05) yang
baru terungkap di Denpasar sudah berjalan 4 tahun tanpa diketahui dan
diperkirakan sebanyak 1000 lebih bayi tak berdosa mati dibunuh.
Keramik Karya Ni Putu Eka
Arisanti dan Anton Darmawan
7. Mengeksploitir
Bentuk Polyp Terumbu Karang dan Tubuh
Perempuan
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Karya Keramik Mahasiswa
semester VI yang digelar di studio
keramik ISI Denpasar dari tanggal 15 sd 16 Juli 2005 lalu menampilkan ± 20-an
buah karya. Eka Arisanti menyuguhkan
bentuk pengembangan dari polyp dan
terumbu karang dalam ciptaan bentuk keramik, sedangkan Anton Darmawan menggarap
tubuh perempuan sebagai sumber ide dalam menciptakan bentuk vas-vas keramik.
Terumbu karang adalah rumah bagi
biota laut. Terumbu karang juga merupakan sekumpulan hewan karang yang
bersimbiosis dengan tumbuhan alga
yang disebut zooxanhellae. Telah
diidentifikasi lebih dari 93.000 spesies hidup di terumbu karang, namun lebih
dari satu juta spesies mendiami ekosistem ini. Terumbu karang adalah rumah
lebih dari 2.000 jenis ikan, 5.000 jenis mollusca,
700 jenis karang dan berbagai jenis
kepiting, landak laut, ketimun laut (tripang),
berbagai cacing dan binatang lainnya yang tak terhitung jumlahnya (David
Lambert, 1986). Karang yang berukuran kecil saja terdiri dari kumpulan ribuan
individu hewan polyp karang yang
berproses ribuan tahun membentuk terumbu karang sebagai hewan pembentuk utama
terumbu karang yang menghasilkan zat kapur. Walaupun terlihat kokoh, karang
sebenarnya sangat rapuh dan mudah hancur. Karang yang berumur jutaan tahun bisa
setebal 1000 meter. Sejumlah polyp karang ini memiliki ganggang yang mengandung
klorofil hidup di dalamnya dan dapat
berfotosintesis. Ganggang ini kaya
oksigen tetapi miskin gizi dan membutuhkan zat nitrat dan fosfat, untuk
alasan itulah makhluk-makhluk ini sangat membutuhkan kehidupan bersama, tidak
bisa hidup sendiri dan saling memanfaatkan satu sama lain untuk bertahan hidup.
Polyp menyediakan makanan bagi
ganggang dan tempat bernaung yang aman dari pemangsanya. Sebaliknya ganggang
menyiapkan makanan bagi polyp melalui
fotosintesis untuk membangun kerangka
batu kapur. Ganggang / rumput laut melekat pada batuan/karang dengan alat
pelekat ada yang seperti cakar, benang dan cakram sehingga tahan dari pukulan
ombak besar. Para ahli menyebut perlu tenaga 0,7 kg / cm untuk melepaskan
ganggang gelembung dari tempatnya menempel
Karya keramik Eka Arisanti
mengambil bentuk-bentuk sederhana dari bentuk polyp yang merupakan bagian dari terumbu karang yang dianggap unik.
Semua nama judul diambil dari bahasa ilmiah seperti berjudul “Mollusca” (kerang), “Tunicata” (semprot laut), “Crustacea” (hewan berperisai), “Bernakel” (hewan yang melekat pada batu
/ karang), “Castle Coral” (karang
berbentuk istana), “Spons” (bunga
karang) dan “Coral Reef” (karang yang
ditempeli ganggang dll). Mollusca memiliki
bagian tubuh yakni kaki yang kuat, organ tubuh di atas kaki dan jaringan
pembuat kulit yang disebut mantel.
Pada karya berdiameter 23 cm dengan tinggi 30 cm ini, Arisanti menampilkan polyp dan kehidupan kerang-kerangan yang keluar masuk membuat
terowongan dalam terumbu karang. Tunicata mulai hidu[p seperti kecebong
dan kemudian melekatkan diri pada batu karang dan ekornya menghilang menjadi
gumpalan bubur kecil berwarna merah, coklat dan hijau dengan cambuk-cambuk
kecil penghisap dan penyemprot air serta dapat mengkerut jika ada bahaya. Pada
karya berdiameter 20 cm dan tinggi 39 cm ini, bentuk tunicata Ia tampilkan dililit dengan ganggang atau rumput laut yang
bentuknya telah distilir. Pada karya
“Crustacea” Arisanti menggambarkan lubang-lubang pada
karang yang dibuat oleh kepiting sebagai hewan berperisai (crustacea), disitu juga banyak ganggang laut yang menempel disekelilingnya
dan bergerak mengikuti arus. Ganggang laut yang tampil mengalami sedikit
digubah (stilir) agar berkesan tradisi. Crustacea yang melekat pada benda lain disebut bernakel ini bermula dari makhluk kecil yang berenang-renang
kemudian melekat pada benda keras dan membuat lapisan perisai disekelilingnya
dan tubuhnya menjadi jaring-jaring untuk menjerat makanan dan oksigen. Arisanti
menampilkan bernakel ini yang
menempel pada polyp dan ganggang
berdiameter 19 cm dan tinggi 39 cm. Pada “Castel
Coral” karya berdiameter 20 cm dan
tinggi 55 cm ini, Ia mmenampilkan bentuk karang yang menyerupai castle (istana) karena bentuknya seperti
cerobong (pipa) memperlihatkan susunan dari rendah menuju ke paling tinggi
dengan hiasan ganggang laut. Spons
atau bunga karang ini tidak memiliki mulut, organ tubuh atau susunan syaraf,
untuk bernafas dengan menghisap air melalui lubang-lubang yang banyak terdapat
pada tubuhnya, pada koloni yang besar merupakan tempat yang disukai oleh
kepiting dan udang. Karya “Spons”
berdiameter 25 cm dan tinggi 48 cm ini menyerupai tabung dan disekelilingnya
dipenuhi lubang-lubang, pada bagian atas terdapat kepiting yang seolah baru
keluar dengan merobek bunga karang dengan capitnya dan beberapa ganggang laut
dan scallop menempel pada bagian bawahnya. Melihat karya-karya Arisanti yang
mengungkap aneka kehidupan biota laut ini, memberikan pengertian bahwa sangat
diperlukan pelestarian lingkungan, mengingat banyak sumber kehidupan manusia
yang tergantung padanya, terutama sumber protein dari ikan laut dll, sebagai
konsumsi. Sebagai himbauan, jagalah lingkungan hidup ini dan janganlah terumbu
karang ini dihancurkan dengan alat peledak terutama dalam menangkap ikan,
kepiting, udang karang dan sebagainya karena
memperbaiki memerlukan waktu cukup lama.
Berbicara tentang perempuan,
dalam beberapa pandangan masyarakat di Indonesia kata ini mengalami degradasi
semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna, dimana arti sekarang lebih
rendah dari arti duhulu (www.angelfire.com 19/06/05). Secara
etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti tuan, orang yang mahir/berkuasa, atau pun kepala,
hulu, atau yang paling besar; maka dikenal kata empu jari ( ibu jari), empu
gending yakni orang yang mahir mencipta tembang. Juga berhubungan dengan
kata ampu (sokong, penyangga,penjaga
keselamatan), mengampu (menjaga agar
tidak jatuh/runtuh), pengampu (menahan,
penyangga, penyelamat). Disamping itu berakar dari kata empuan, yakni kata yang
mengalami pemendekan menjadi”puan”
yang artinya sapaan hormat pada perempuan sebagai pasangan “tuan” untuk sapaan hormat pada lelaki.
Dari sinilah dapat dijelaskan bahwa pemaknaan sosok perempuan mengalami
perubahan. Namun demikian perempuan merupakan sosok yang harus dihormati dan
disegani terutama pada posisi sebagai Ibu. Hingga kini sosok perempuan masih
menjadi obyek yang menarik untuk dituangkan ke dalam benda-benda seni.
Adalah Anton Darmawan, yang
mencoba mengeksploitir bagian tubuh perempuan menjadi vas keramik. Perempuan
dan vas; umumnya orang tertarik pada kecantikan wajah perempuan, namun Ia
tertarik kepada keindahan sebagian bentuk tubuh lahiriah. Bagian wajah atau
kepala diganti dengan bunga, bila dipergunakan sebagai vas bunga, yang
menyimpan makna simbolis. Juga untuk
bagian tubuh dari vas sosok perempuan ini
Anton berusaha menyelipkan kritik sosial. Lihat karyanya yang berjudul
“Perempuan” menonjolkan sosok perempuan mengenakan pakaian tradisional seperti kemben (sabuk) dan kamen yang melingkari tubuh dengan dekorasi mas-mas-an. Lalu “Gerak Sang Penari” memperlihatkan posisi kaki sang penari,
mamakai baju korset dan kain kamen.
Demikian pula dengan judul “Melenggok” memakai kemben dan kamen dengan
dekorasi bunga-bunga. Judul “7 Bulan” adalah gambaran sosok perempuan yang
hamil 7 bulan memakai kebaya yang dihiasi patra
ulanda dan kamen motif kakul-kaulan serta
mas-masan. Vas lainnya berjudul “Under Wear” yakni sosok
perempuan memakai pakaian dalam tradisional yang dikenal dengan kutang (BH) jaman dahulu sedikit
terlihat kamen dan kembennya. Sosok perempuan yang dipotong-potong , seolah
gambaran tubuh perempuan yang siap diperjual-belikan, sindiran bagi PSK dan
hidung belang dalam sisi kehidupan lain yang tetap marak hingga kini terlihat
pada karya berjudul “For Sale” sebagai suatu kritik sosial. Menurut Anton,
daripada membuka aurat yang mempertontonkan bagian tubuh yang memancing
perbuatan asusila seperti perkosaan dan lainnya, lebih baik tubuh perempuan itu
dibalut dengan tikar terlihat pada karya berjudul “ Dibalut Tikar”. Jadikan
perempuan itu bernilai dan terhormat serta jangan menjadi “penyakit” dalam
masyarakat dengan menjunjung tinggi etika dan martabat manusia.
Pameran Tugas Akhir & Sarjana Fotografi Pertama
ISI Denpasar
8. Mengolah Cahaya & Spektrum Warna Jadi
Karya Seni
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Dua orang sarjana pertama dari
Program Studi fotografi, merupakan Jurusan termuda dari Fakultas Seni Rupa dan
Desain, Institut Seni Indonesia
Denpasar, telah diuji dan diluluskan dalam ujian karya Tugas Akhir dan sidang yudisium pada tanggal 15 Juli
2006. Mereka itu adalah Cok Puspawati Nindhia dengan predikat sangat memuaskan,
Tugas Akhirnya berjudul “ High Speed
Fotografi pada Air dengan Efek Warna ”. Dan Putu Eka Gunatama dengan judul “
Ikan Sebagai Sumber Inspirasi dalam Penciptaan Karya Fotografi .
Air dan misterinya
Air
terdiri atas molekul-molekul, setiap molekul terdiri dari 2 atom hydrogen yang
terikat pada satu atom oksigen, rumus kimia ditulis H2O; terionisasi lemah
menjadi ion hidrigen dan hidroksida; memiliki massa-jenis 4ºC, titik beku 0ºC dan
titik didik 100ºC pada tekanan 1 atmosfir. Sesungguhnya tiga perempat permukaan bumi
diselimuti oleh air, baik di lautan dan danau, pegunungan, di angkasa berupa
awan hitam tebal menjadi titik-titik air embun dan hujan maupun yang berasal
dari perut bumi berupa sumber dan sungai-sungai yang mengalir. Bahkan dua
pertiga dari tubuh manusia adalah air yang menjaga metabolisme tubuh. Setiap
mahluk hidup di bumi memerlukan air untuk kelangsungan kehidupan.
Pengertian
air bagi sebagian orang sebatas untuk mandi, minum, masak, mencuci, menyirami
atau mengairi ladang dan sawah serta tambak atau kolam. Akan tetapi bagi orang
yang ber-ilmu maka air bisa menjadi penggerak lokomotif, pembangkit tenaga
listrik, meramu atau melarutkan bahan-bahan kimia (pelarut universal), bahkan
air bisa menjadi bom hydrogen yang
dahsyat akibatnya. Bentuk dan sifatnyapun bisa berubah-ubah, bisa berbentuk
cairan, bisa menjadi uap, bisa menjadi padat atau membeku seperti es, salju, gletser, dan bisa menjadi berbentuk gas.
Itu semua
tergantung dari situasi dan kondisi serta perlakuan terhadap air. Air bagi
manusia sangat dibutuhkan untuk bisa hidup, juga bisa berguna dan bisa
menyulitkan, bahkan juga bisa menjadi malapetaka (banjir bandang, tsunami, dll)
Air
juga berperan penting dalam kehidupan sosial, seni-budaya bahkan kepercayaan-
agama. Misalnya dalam agama Hindu dikenal tirta
(air suci), dalan agama Islam untuk bersuci dari hadas besar dan kecil, juga ada air zam-zam, air dzikrullah, pada
agama Kristen air untuk membaptis dan sebagainya. Air dapat dibuat berbagai
macam rasa dan warna, tergantung dari keperluan. Bagi pujangga-sastrawan sifat
air yang tenang, mudah berubah, dinamis, tidak terduga dan sebagainya menjadi
inspirasi dan perlambangan yang tak
habisnya.
Fotografi
Fotografi
berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu “foto” yang berarti
cahaya dan “grafi” yang berarti menulis. Jadi fotografi artinya”menulis dengan cahaya”. Atau
kata “photos” yang berarti mencatat dan “graphos” yang berarti matahari atau
sinar / cahaya. Untuk menjadikan foto-foto yang menawan, diperlukan ketrampilan
teknis pengendalian kamera dan metode cetak yang tepat. Untuk menjadikan foto bernilai
seni diperlukan kepekaan artistik seorang fotografer, yang memenuhi kaidah seni
dalam penampilannya.
Bagi
seorang fotografer seperti Cok Puspawati Nindhia, menangkap bentuk tetesan
butiran titik air yang mengikuti grafitasi bumi menarik perhatiannya. Dengan
berbekal kamera sebagai alat yang mampu merekam gerakan air, Ia mencoba
berkreasi memotret air yang dapat tembus cahaya atau memantulkan cahaya dan bahkan
dapat membuat spectrum warna, Dengan bantuan camera yang memiliki berbagai
fasilitas tertentu, terutama mengatur kecepatan bukaan rana atau ruang tajam
dengan teknik high speed dikombinasi
dengan warna dapat pula merefleksi keadaan sekelilingnya yang terekam dan
kemudian diolah secara kasatmata (visual)
untuk bisa dinikmati sebagai karya seni.
Pada
karya Puspawati yang berjudul “Tetesan I, II, III”,
“Terpercik”, “Tergenang”, “D Ujung Paku”, “Kesegaran”, “Tegar”, “Sendiri”,
“Percikan Biru”, “Sama Tapi Berbeda”, “Tetes Beriak””Percikan Kuning”,
‘Gelombang”, “Bergolak”,”Menetes”, “Setetes”, “Dua Tetes” “Tiga”, “Di Ujung
Air”, Ia merekam tetesan air pada
kecepatan yang bervariasi 125, 200, yang kebanyakan tinggi hingga kecepatan 400,
450 sampai 500, bukaan diaframa 4, 5,6, 8, 11 dan 16, lensa
makro 28-105 mm, film ASA 400, flash SB 600 yang di bounce 45, 60, 75 derajat. Dibantu
pencahayaan lampu 100 watt dan reflector berbagai macam warna lensa filter dalam air yang akan memantulkan
berbagai macam warna pula. Juga ini dimaksud untuk menghentikan gerak dan sebagian
sinarnya memantulkan warna background
pada kertas linen dan print glossy
serta Kodak Paper Colour bermacam warna. Dalam pengambilan gambar Puspawati melakukannya
berulang kali hingga tepat sebagai golden
moment. Secara visual karya-karya
Puspa terlihat sangat imajinatif dan “puitis”, terkadang seperti lukisan abstrak, seperti ombak
dilautan atau sebagai suatu benda angkasa yang sedang melayang di langit atau
di tengah perairan atau samudra raya. Efek cahaya dan warna terlihat cukup menarik
dan bervariasi.
Berbeda
dengan rekannya Putu Eka Gunatama , yang terinspirasi oleh ikan, khususnya ikan
konsumsi yang dijual dipasar serta ikan hias (koki). Ia menggunakan teknik sandwich yang menggabungkan beberapa
teknik, seperti dua negative untuk menghasilkan gambar yang diinginkan.
Pemilihan cahaya yang tepat dipertimbanmgkan agar obyek dapat menonjol sehingga
perlu banyak eksperimen, terutama penambahan tekstur agar dapat menyatu dengan
obyeknya. Terkadang Eka menggabungkan film berwarna dengan hitam-putih. Pengambilan
gambar dengan focus pada obyek dengan latar yang blur (dof sempit) ataupun
pengambilan gambar secara menyeluruh (dof luas) juga double expose.
Karya
Eka sebanyak 20 buah diantaranya ada yang berjudul “ Antara Hidup dan Mati”
tampak cukup berhasil memberikan suasana dimana terdapat ikan yang masih utuh
dan ikan yang sudah tinggal tulang belulangnya. Karya berjudul “Keriput”,
“Menggigit”, “”Mengintip”, “Terasing”, “ Membusuk I &II”, “Terhimpit”, semuanya
hanya berkesan menata ikan-ikan dalam satu freme.
Lalu “Polusi I & II”, khususnya ada penambahan teknik komputeraise dengan
penambahan garis-garis berwarna merah untuk mengaburkan bentuk ikan. Pada karya
yang berjudu “Berderet” dan “Bercumbu” terliohat Ia lebih berani dengan
penambahan warna-warna cerah sehinga terdapat suatu kombinasi antara fakta dan
kreasi imajinatif. Untuk juudul “Siap Menyerang” memperlihatkan ikan kakap dengan menonjolkan
gigi-gigi ikan. Pada keseluruhan karya Eka menunjukkan berbagai komposisi, ada
yang memusat, menumpuk, menyebar dan sebagainnya. Jika Eka mengamati ikan di
alam sebenarnya atau di habitatnya, tentu akan lebih menarik lagi.
Pameran Tugas Akhir & Sarjana
Kriya Keramik, FSRD- ISI Denpasar
9. Keramik Motif
Padi Untuk Rumah Tinggal dan Tampilan Motif Tikar
Oleh Agus Mulyadi Utomo
I Gusti Ayu Made Dewi Rani Maharani dan Anton
Darmawan, adalah dua orang sarjana baru yang lulus ujian penciptaan karya dan ujian
konprehensif, disampaikan dalam yudisium
dengan nilai memuaskan pada hari sabtu tanggal 15 Juli 2006 lalu dari Program
Studi Kriya Keramik, FSRD-ISI Denpasar. Rani mengambil judul tugas akhir “
Keramik Pakai Motif Padi untuk Rumah Tinggal” dan Anton dengan judul
“Eksperimen Pembuatan Bentuk Keramik Fungsi dengan Motif Anyaman”. Beberapa
dari karya mereka sebelumnya telah dipamerkan di Museum Sidik Jari Denpasar dari tanggal 29 Juni s/d 1 Juli
2006.
Tanah liat atau lempung yang dibakar
suhu tinggi menjadi keras untuk waktu lama dan sifat demikian telah
dimanfaatkan orang sejak dahulu kala untuk membuat berbagai bentuk produk pakai
keperluan sehari-hari, seperti bejana, vas, periuk, kendi dan sebagainya.
Umumnya produk yang terbuat dari tanah liat disebut dengan “keramik”. Dari
sudut pandangan kualitas fisik struktur
body yang paling rendah disebut dengan
gerabah yang memiliki sifat rapuh dan berpori-pori serta menyerap air ,
dibakar dibawah suhu 1000ºC. Pada kualitas menengah disebut
dengan stoneware atau “keramik batu”
memiliki sifat seperti batu, tidak menyerap air dan dibakar pada temperatur di
atas 1000ºC s/d 1250ºC. Dan sebutan “porselin” untuk keramik bakaran tinggi di atas 1300ºC s/d
1400ºC, bersifat sedikit menggelas, suara lebih nyaring, peka terhadap oksida pewarna. Keramik karya Rani
menggunakan tanah liat putih dilapisi glasir
dasar putih hiasan kuning dan hijau.
lalu Anton dengan tanah liat merah, dengan glasir
Fe dan kuning, semuanya dibakar hingga temperatur 1200ºC.
Pada umumnya di dalam rumah tinggal terdapat begitu
banyak ragam hias dan dekorasi pada benda pakai, sehingga bagi seseorang yang merasa
memiliki kepribadian atau keluarga tertentu yang ingin tampil beda, hal
tersebut belumlah mencerminkan selera dan kepribadian sang pemilik rumah
tinggal itu sendiri, tentu sesuatu yang bersifat khusus atau memiliki ciri
khas. Berangkat dari permasalahan tersebut, timbullah ide yang menginginkan untuk
memberi suatu ciri khas dalam kebutuhan pemakaian perabotan keramik di dalam
rumah tinggal. Dewi Rani mencoba menawarkan sebuah alternatif keseragaman dalam
penggunaan keramik bermotif padi pada benda-benda yang biasa dipakai dalam
rumah tinggal, yang tentunya dapat mengangkat citra dan martabat atau gengsi
seseorang seperti halnya dengan kepemilikan akan benda-benda seni. Ia mengambil
motif padi karena sebagai bangsa Indonesia tentu merasa akrab dengan padi dan
merupakan pemandangan umum persawahan terutama di pedesaan, apalagi mengkonsumsi berasnya sebagai bahan makanan pokok
sehari-hari. Rani mencoba memberikan suasana khusus, berwarna dasar putih
dengan bentuk padi berwarna kuning dan batang kehijauan pada keramik pakai
dengan bermotif padi tersebut yang diterapkan pada peralatan makan-minum,
bentuk vas, mangkuk sayur, meja, tea set, kopi set, tempat makanan kecil,
asbak, kap lampu dan lainnya sebanyak 10 macam fungsi guna untuk tugas proyek
akhir yang memang terbatas waktu pelaksanaannya. Ia berharap, sebagai kriyawan
ide tersebut dapat dikembangkan oleh masyarakat konsumen sebagai bentuk
penawaran (proyek) untuk menggarap penerapan motif-motif lainnya sesuai dengan
keinginan pemesan atau alternatif yang disuguhkan para desainer kriya, baik
sebagai pemilik atau diperuntukkan rumah tinggal yang bersifat khusus.
Seperti halnya Rani, rekannya Anton juga menawarkan
suatu alternatif penggunaan keramik untuk bisa dipakai keperluan sehari hari,
sebagai benda pelengkap interior ruangan tamu, seperti vas dan pot bunga, kap
lampu, tempat majalah , tempat makanan kecil / kue, pigura foto, tempat permen,
tempat air dan lainnya. Anton lebih tertarik pada anyaman terutama pada motif
bentuk tikar. Ia cenderung kepada ungkapan seni murni, terutama tampilannya
dikemas secara unik atau lebih berupa ekspresi daripada pada penekanan fungsi
benda pakai atau bernilai artistik (khas seniman). Lihat karyanya yang
menampilkan tikar dengan pinggiran tidak beraturan, bahkan ada seperti tikar
usang yang dijait dijadikan tempat sesuatu. Tentu kepemilikan barang tersebut
bersifat khusus hanya untuk orang-orang tertentu yang mengerti seni. Disamping itu, kerajinan anyaman tikar yang
sesungguhnya terbuat dari tumbuh-tumbuhan tidak bisa bertahan lama, dengan
idenya ini diharapkan motif tikar dapat dibuat awet dan tahan lama. Pada
karyanya, Anton menyatukan atau menyambung bentuk dengan jaitan seolah tali
yang diberi warna kuning, dimaksudkan juga sebagai aksen.
Dari
Pameran Kelompok Rupa Kata di Darga Gallery-Sanur
10. Usaha Menyelaraskan Kerja Olah Kata, Rasa dan Visual
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Tujuh
orang perupa yang merasa memiliki kemampuan mengeksplorasi tekstual, baik
sebagai pengamat seni, kritikus, kurator
maupun editor disuatu penerbitan, bertempat di Darga Gallery, jalan By Pass Ngurah Rai 20/21 Sanur menampilkan sejumlah
karya-karyanya dalam pameran bertajuk “Rupa Kata” berlangsung dari 17 Juni s/d
7 Juli 2006 lalu. Penyelenggaraan pegelaran pameran senirupa ini dimaksudkan
untuk menunjukkan dan menyelaraskan pekerjaan baik sebagai kreator visual
maupun sebagai penulis, mereka itu
adalah Hardiman, Ipong Purnama Sidhi, Deddy Paw, Made Bakti Wiyasa, Nani Sakri,
Putut Wahyu Widodo dan Wayan Kun Adnyana.
Konsepsi yang menonjolkan ide
bersama mulai dari yang bersifat multi media sampai dengan multi idea sekarang
bergulir tanpa dapat dibendung, muncul sebagai fenomena di era komunikasi
global yang canggih, dimana kini seni tidak lagi terkungkung pada pandangan yang
bersifat tunggal, bisa hadir dalam bentuk penggalan atau potongan seni bahkan dapat muncul sebagai “colaborasi seni”,
sebagai suatu reaksi terhadap suatu kondisi tertentu. Seni pun kini tidak lagi terbatas
dan tidak dibatasi, bersifat plural
dan situasional. Seni tidak lagi integral sesuai dengan nafas masyarakat
zamannya, tetapi bisa berubah menjadi bersifat individual atau kebersamaan
kelompok terbatas (komunitas). Juga bisa lintas disiplin dengan beragam tafsir,
sehingga seni masa kini dapat memberi wadah baru yang menawarkan berbagai
kemungkinan yang mengangkat multi keinginan untuk bebas dan lepas dari ruang
dan waktu, terkadang bisa juga berupa anti kemapanan, sebagai obsesi seni
pembaharuan.
Ada semacam penilaian atau
anggapan bahwa kritikus, penulis, editor senirupa kebanyakan tidak berkarya
senirupa atau karyanya tidak sebaik tulisannya. Hal itulah yang ingin
dibuktikan oleh kelompok Rupa Kata kali ini dan simaklah karya-karya mereka.
Deddy Paw, lulusan FSR-IKJ,
School of Deign Interstudy Jakarta dan Pusat Grafika Indonesia Jakarta ini juga
bekerja sebagai redaktur teks senirupa, artistik, foto dan illustrator
dibeberapa harian umum dan majalah, menampilkan karya senirupa berjudul
“Ambillah...!”, penampilannya cenderung sebagai seni grafis, bak poster yang
menggambarkan dua tangan memegang buah apel, yang satu apel putih dan satu lagi
berwarna biru keunguan yang terlihat seolah meleleh atau mencair, apel sebagai
iming-iming tawaran yang menggiurkan tersebut atau pilihan alternatif ini sangat
miris, rupanya ada tantangan atau rintangan atau hambatan yang tak mudah
diterobos karena ada lintasan kawat berduri yang bisa melukai menghalangi.
Suatu gambaran tentang kondisi yang aktual pada masa kini, dimana kasih sayang,
bantuan sosial kemanusiaan dikelola dengan kerja pengabdian dan hati yang
kurang tulus, bahkan tawaran pemberian atau bantuan sosial tersebut tidaklah
sampai pada sasaran yang tepat dan atau mencair habis sia-sia dalam perjuangan
menembus pembatas birokrasi yang menyusahkan dan melelahkan tersebut. Nani Sakri, yang pernah mengenyam
pendidikan di IKJ dan menjadi foto model serta editor fashion stylist majalah Kartini dan lainnya menampilkan karya yang
berjudul “Ghost in The Future”. Dengan latar belakang dunia fashion dan desain,
Nani terlihat dalam karyanya seakan menghidupkan spirit dunia modelling di atas kanvas, dengan
tampilan menonjol kerja terknis poster grafis dibagian atas dan dikombinasi dengan
sapuan kuas pada bagian bawah dengan warna ringan, seolah ada 2 sosok manusia
bersatu terangkat dalam dua kondisi menatap masa depan. Putut Wahyu Widodo, alumni IKIP Semarang dan bekerja sebagai editor
artistik Suara Merdeka ini, dalam karya-karyanya lebih cenderung memperlihatkan intensitas
pada perenungan-perenungan yang cukup serius dari ceritera, mitologi atau
kosmologi. Lihat karya yang berjudul “Myth of Banality”, yang menunjukkan bahwa
sebagai manusia biasa juga memiliki imajinasi atau perenungan tentang ceritera
kebinalan, kenakalan , ketidak patutan terhadap norma, kejalangan. Image sosok
wanita dengan simbol sex seperti buah dada yang berderet melingkupi kepala di
bagian bawah menun jukkan seolah isi kepala terdapat isi ceritera atau mitos
tentang sexualitas dari Putut. Ipong
Purnama Sidhi, alumni STSRI”ASRI” Yogyakarta ini, pernah studi di
Konsthogskolan, Stockholm, Swedia, bekerja sebagai korator, redaksi dan
desainer serta ilustrator beberapa penerbitan ini, menampilkan karya antara
lain berjudul “Love and Beyond”, memperlihatkan garis-garis grafis yang cukup
liar yang ekspresif, menunjukkan kekuatan cinta yang tak terkendali. Hardiman, staf pengajar Universitas
Ganesha Bali-Singaraja, Penyunting beberapa jurnal, menulis (kontributor) di
beberapa harian, penulis puisi dan pernah menyutradarai beberapa pertunjukan
ini, menampilkan karya lukis diantaranya yang berjudul “Blues Kere Lauk 1”. Ia mencoba
menggambarkan panganan ikan sebagai lauk pauk dan nyanyian para kaum pinggiran,
terlihat pada karyanya tersebut seolah gambaran ikan yang dibelah dua. Kemudian
Made Bakti Wiyasa, alumni ISI
Yogyakarta yang rajin membuat ulasan dan kritik seni di beberapa harian ini,
menampilkan karya-karya yang naratif tentang prilaku manusia yang kompleks.
Pada karyanya yang berjudul “Kembang & Sepatu Lars”, mengangkat hal sepele
seperti sepatu menjadikan sesuatu yang perlu dicermati, apalagi terlihat sosok
wanita sebagai kembang seolah duduk dan
bermain di atasnya. Sepatu merupakan alas untuk melangkah, kemana tujuannya itu
terserah pemakainya, apapun itu pasti ada jejaknya. Dan terakhir Wayan Kun Adnyana, staf pengajar FSRD-ISI
Denpasar, penulis artikel dan kritik seni yang lumayan produktif ini,
menampilkan karya-karya yang bertema diseputar dan problem-problem sosio-kontemporer
sanpai dengan problem aktual kemanusiaan. Lihat karyanya yang berjudul “Penguak
Tabir”, menampilkan sosok mbah Marijan yang kukuh dan berani, yang kondang
bagaikan artis ini adalah juru kunci merapi, dengan membawa keyakinannya
tentang prilaku mistik gunung Merapi akhir-akhir ini -- yang kontroversial dan
bertentangan dengan akal sehat, sementara orang turun menghindari dan menjauh
dari gunung Merapi , justru Marijan malah
naik ke gunung. Kun menggambarkannya dalam lukisan bahwa di kepala Marijan
terdapat gambaran tangga dan goa atau lubang menuju Merapi dan kupingnya ada
tangga untuk orang-orang bisa mendengar informasinya tentang aktivitas kegiatan
bahwa gunung sedang “bersolek” dan tak perlu dicemaskan.
Pameran Seni Rupa Murni FSRD-ISI Denpasar
di Museum Neka
11. Bali Local Genius Menuju Global
Action
Oleh Agus
Mulyadi Utomo
Sejumlah 57 seniman akademis dari FSRD-ISI Denpasar
memajang karyanya di Museum Neka, Ubud-Gianyar. Pergelaran seni rupa murni ini
berlangsung sebulan dari 9 Juli s/d 9 Agustus 2006 dengan mengusung tema “
Jejak Tradisi dalam Ekspresi Modern IV”, merpakan pameran regular tahunan
Program Studi Seni Rupa Murni, yang sebelumnya pertama kali digelar di Taman
Budaya Socitet Yogyakarta (2003), lalu ke II di Museum H, Widayat Magelang
(2004) dan yang ke-III di Puri Gallery Malang.
Perjalanan panjang seni rupa tradisi Bali
yang diketahui bermula dari seni dekoratif dengan pakem dan ciri khas tertentu
mengalami berbagai perubahan atau perkembangan sejak masuknya kebudayaan asing tahun
1930-an dari akibat adanya pariwisata. Kehadiran seniman Barat seperti Walter Spiies 1926, Rudolf Bonnet 1929, Arie Smit 1957 di Bali cukup
berpengaruh dan menyebabkan terjadi interaksi kreativitas antara estetika Timur
Bali Klasik dengan estetika Barat Modern. Seniman Bali dengan faham tradisi-klasiknya
pada akhirnya dapat menerima faham baru yaitu tentang keterbukaan, kepribadian
dan kebebasan berekspresi yang intensitasnya cukup berimbang untuk kemudian melahirkan
seni tradisi dan klasik Bali modern tanpa kehilangan akar budaya aslinya, baik yang
bersifat keindahan kolektif maupun ekspresi yang bersifat individual ala Barat.
Dua arus besar yang melanda dunia senirupa Bali yaitu
seni tradisional-konvensional sebagai kekuatan utama yang mengusung seni
tradisi sebelumnya disatu sisi dan sisi lainnya
adalah sebagai bentuk modernitas-kontemporer yang tampak lebih agresif-reaktif,
yang sangat cepat merespon setiap perubahan yang terjadi, kini telah memiliki
kekuatan yang sama besar dan dapat hidup secara berdampingan dan saling
menghargai bahkan menjadi bentuk “kolaborasi” yang cukup menarik menempatkannya
sebagai seni rupa Bali-kontemporer, yang menekankan pada aktivitas-kreativitas,
ketrampilan dan konsepsi seni sebagai kekuatan baru, yang menunjang perjuangan bersifat
pribadi, kolektif, lokal, regional dan global. People power menjadi keharusan untuk dapat bersaing di era kompetisi
global. Keunggulan lokal Bali yang kaya dengan
kekayaan seni dan budaya, menjadikan suatu kebanggaan tersendiri dan menjadi
dasar atau modal utama menuju persaingan global. Tentu semua ini harus
dibarengi dengan action yang juga
bersifat global pula, di dalam era komunikasi yang serba cepat dan canggih,
tentu dengan dibarengi manajemen yang tepat sesuai kebutuhan lokal dan global
seperti yang diwacanakan berbagai pihak terkait seperti restrukturisasi,
reposisi dan revitalisasi terutama pada institusi perguruan tinggi seni.
Menyadari akan keunggulan dan maraknya perkembangan
seni rupa Bali, yang mampu menyerap pengaruh luar dengan sikap terbuka dan
adanya sikap yang inovatif serta kerja
kreatif, juga sikap kompetitif yang tinggi, diharapkan perguruan tinggi
dapat menempatkan seni tradisi lokal Bali (local
genius) menjadi unggulan untuk
menuju global action, yang bisa
menarik perhatian Dunia. Seiring dengan tujuan
tersebut para pendidik akademisi seni mencoba melakukan langkah-langkah
evaluasi, dengan melihat kekuatan dan kelemahan, peluang dan tantangan
kedepan sehingga pameran yang bertema
”Jejak Tradisi dalam Ekspresi Modern IV” yang digelar ini memperoleh masukan positif
dan dukungan dari berbagai pihak, seperti kalangan permuseuman, kolektor,
budayawan, politikus, seniman, perajin dan instansi terkait baik swasta maupun
pemerintah.
Lukisan
Menyimak karya yang digelar ada suatu kecenderungan
untuk mengangkat citra tradisi dengan ungkapan baru, mulai dari yang sangat kental
tradisi ke-Balian-nya seperti I Dewa Made Pastika dengan judul “Penari Legong”,
disitu cukup kentara Ia mengambil tema,
teknik dan citra tradisi yang dipergunakan. Lalu AAG Ngurah TY berjudul
“Ongkara” menunjukkan simbol-simbol agama kepercayaan Hindu dan aksara Bali. Pengambilan obyek yang mencerminkan akan Bali
ditunjukkan oleh IDPG Budiartha berjudul “Ekspresi Dewi”, dengan pewarnaan
modern yang kontras-tajam seperti hitam,
merah, putih dan coklat. Pun demikian dengan I Wayan Suartha dengan judul “Gelap
dan Terang”, jejak tradisi terlihat dengan warna kontras. Dari I Made Subrata, yang berjudul “Kampung Bali”
sedikit impress dan dekoratif dengan warna cenderung muda atau keputihan seperti
warna-warna pastel. Juga I Made Yasana dengan karya “Penari 1” yang terasa
lebih realis seperti halnya I Wayan Kondra dengan karya berjudul “Gadis
Tenganan”. Ada Tjok Istri Mas Astiti, yang menampilkan karya berjudul ”Perubahan”
dengan tampilan bergaya dekoratif pada obyek para wanita khas Bali
yang beriringan melaksanakan upacara. Juga I Made Rinu dengan tampilannya yang
datar pada “Wanita dan Sajen” yang bergaya agak dekoratif. Corak dekoratif lainnya ditampilkan pula oleh
GN Putra dan Gede Yosef TJ serta Suwito dengan karya masing masing berjudul
“Catur Sanak”, “Rotasi Kehidupan” (Batik) dan ”Play Boy”. Guru Besar AA Rai
Kalam, sesepuh pelukis akademis di Bali ini, yaitu Dekan Fakultas Teknik dan
Seni Rupa Universitas Udayana pertama, dan Ketua Panitia Pembentukan ISI
Denpasar yang satu ini menampilkan karya yang berjudul “Uluwatu” , tampaknya Ia
semakin selektif dan sensitif terhadap bentuk dan warna, karyanya terlihat
lebih massif ketimbang pada karya-karyanya sebelumnya yang menonjolkan garis yang bergerak lincah dari
plototan dan sedikit terlihat puitis. Corak lukisan yang lebih modern lagi ditampilkan
oleh I Ketut Murdana, I G P Mertana Mendala, Kun Adnyana, I Nyoman Sukaya, I M
G Putra Jaya, Wirakusuma, Sri Supriyatini, AA Gede Yugus, Wayan Gulendra, I
Wayan Stem, I Wayan Sujana, AANG Surya Buana dan NM Purnami Utami serta Bendi
Yudha. Lain lagi dari I Made Ruta yang tampil dengan imaji garis hitam dan
putih, lalu I Wayan Karja dengan karya yang berjudul “Yoni”. Sedangkan I Nyoman
Marsa menampilkan pemandangan dengan karya berjudul “Temle Ceremony” terasa
impresif dengan warna-warna cukup intens dan ritmis kecoklatan. Demikian
pula dengan IGK Kasimiarta, menampilkan pemandangan alam Bedugul. Arimbawa
menampilkan “Demokrasi” yang menonjolkan bentuk mulut yang mencibir dengan
gambaran iringan semut-semut, sebagai bentuk kritik pada kondisi sosial pada
masyarakat kita pada saat ini.
Patung dan
Fotografi
Patung yang mengadobsi kerja kekriyaan ditampilkan oleh
Cok Raka dengan judul ”Reinkarnasi”, dengan menghadirkan bentuk figur-figur dan
berbagai pragmen obyek yang beragam dengan tekanan kerja halus dan meliuk. Juga
karya I Made Supartha yang menggambarkan stilasi bentuk dari “Garuda Yasa”. Patung
lainnya yang cenderung kerja kriya adalah “Gombel” dari Rupik, “Will be Tired”
dari Suardiana, Budarma dengan “Gunjang Ganjing” , “Cinta dalam Damai” dari
Sundita, Resben dengan “Kebebasan” dan Made Lod dengan “Flu Burung” serta
Sandia dengan karya berjudul ”Milik Berdua” .
Demikian pula dengan “Luruh” dari Sukanta Wahyu dengan
bentuk manusia anehnya berwarna kelam. Lalu Made Jana menampilkan “Terhempas
Bayu” yaitu bongkahan kayu yang diukir
mengikuti serat kayu, seolah bentuk tertiup angin. Patung berjudul “Lingga Bumi
Bhuwana” karya Gerya terlihat seolah ada
bentuk tonggak simbolik yang menancap pada bongkahan bentuk melintang dengan
warna kayu berbeda. Gambaran bentuk Fosil ikan dengan menonjolkan durinya di
buat oleh IB Sutama, I Made Jodog
menampilkan karya yang melayang-layang, digantung dan dapat bergerak terkena angin
atau bila tersenggol berjudul “Lebar” seolah gambaran dari bagian dalam pada pencernaan
makhluk hidup dengan warna ringan seperti usus atau lemak atau ulat putih
kekuningan. I Wayan Sutha tampil dengan
patung batunya berjudul “Ceruk” terlihat agak massif. IB Alit tampil dengan patung berjudul “Hamil
Muda”, suatu bentuk wanita khas Bali yang
seluruh bagian bentuk patung diisi dengan tekstur ornamen titik / bulatan
kecil. Bentuk fosil gajah dari kayu ditampilkan
Tjok Udiana NP. Berbagai bentuk topeng
dengan warna-warna modern ditampilkan I Wayan Sukarya. Patung fiber
glass berukuran cukup besar warna putih ringan bergaya modern dengan judul
“Three Management” ditampilkan oleh I Nyoman Suardina. Demikian pula “ Virus”
dari Murnarta, AM Utomo menampilkan “Citra Primitif” dari
bahan keramik, dengan warna glasir coklat. Karya fotografi ditampilkan IBK
Trinawindu berjudul “Gayot”, lalu AAGB Udayana dengan Judul ”Bleganjur” dan
Komang Arba Wirawan berjudul “Light of Jogya” serta Anis Rahardjo dengan
“Regenerasi”. Pada karya fotografi ini menampilkan kepekaan dan ketajaman obyek
seperti relief Borobudur dan ada pula yang menampilkan gaya bias yang cukup unik dari Udayana serta
Arba atau Anis dengan olah gerak dan komposisi dalam proses cetak.
Pameran tersebut
di atas diperpanjang hingga 12 Agustus
2006 dan penutupan pameran yang jatuh pada hari Sabtu tersebut, dimulai jam
8.30 pagi s/d 13.00 siang bekerjasama dengan Ubud Art Festival bertempat di
Museum Neka diadakan seminar sehari dengan tema: “Perkembangan Senirupa Bali
dalam Tantangan dan Peluang ke Depan” . Seminar ini menampilkan 6 pembicara
diantaranya adalah Drs. I Ketut Murdana, M.Sn, Arif B. Prasetyo, Drs. Gde
Suyadnyana, Ir. Tjokorda Raka Ardhana Sukawati, M.Si, Tjokoda Kertyasa dan Drs.
Nyoman Gunarsa.
Seperti halnya Rani, rekannya Anton juga menawarkan suatu alternatif penggunaan keramik untuk bisa dipakai keperluan sehari hari, sebagai benda pelengkap interior ruangan tamu, seperti vas dan pot bunga, kap lampu, tempat majalah , tempat makanan kecil / kue, pigura foto, tempat permen, tempat air dan lainnya. Anton lebih tertarik pada anyaman terutama pada motif bentuk tikar. Ia cenderung kepada ungkapan seni murni, terutama tampilannya dikemas secara unik atau lebih berupa ekspresi daripada pada penekanan fungsi benda pakai atau bernilai artistik (khas seniman). Lihat karyanya yang menampilkan tikar dengan pinggiran tidak beraturan, bahkan ada seperti tikar usang yang dijait dijadikan tempat sesuatu. Tentu kepemilikan barang tersebut bersifat khusus hanya untuk orang-orang tertentu yang mengerti seni. Disamping itu, kerajinan anyaman tikar yang sesungguhnya terbuat dari tumbuh-tumbuhan tidak bisa bertahan lama, dengan idenya ini diharapkan motif tikar dapat dibuat awet dan tahan lama. Pada karyanya, Anton menyatukan atau menyambung bentuk dengan jaitan seolah tali yang diberi warna kuning, dimaksudkan juga sebagai aksen.
Catatan Hasil Diskusi Kriya
Seni, FSRD-ISI Denpasar di Paros Gallery
REPOSISI
PENDIDIKAN TINGGI KRIYA
SENI
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Kamis tgl, 8/6/06 di Paros
Gallery diadakan sarasehan atau diskusi masalah kriya seni, serangkaian acara
penutupan pameran kriya seni, FSRD-ISI Denpasar. Pameran yang dilaksanakan di
dua tempat secara bersamaan yaitu di Museum Sidik Jari (pembukaan) dan Paros
Gallery (penutupan). Hadir 3 pembicara pada diskusi tersebut terdiri dari
akademisi, praktisi / pengusaha dan curator yaitu Drs. I Made Yasana,
M.Erg.;
Ir. Ngurah Pratama Citra,
MM.; Dan Wayan Kun Adnyana, S.Sn.
Diskusi ini dimoderatori oleh Drs. I Made Supartha, M.Hum. Sejumlah 60-an orang hadir dalam diskusi
terdiri dari para alumni, dosen, mahasiswa dan pengusaha serta perajin dalam
suasana hangat dan bersahaja duduk dilantai.
Perlu
Reposisi
I Made Yasana, akademisi berpengalaman
pendidikan desain keramik di Jepang dan Advanced
Profesional Design Produk di Jerman serta mantan Kepala Pusat Penelitian
dan Pengembangan Seni Keramik dan Porselin Bali ini, pembicara pertama yang
membawa makalah berjudul: “Dimensi dan Keragaman Produk Kriya”, mengulas dari
persoalan bahasa sebagai start awal
bahwa “kriya” dari kata “kerja” yang sepadan dengan kata Craft dan benda guna dengan ciri dan tujuan yang jelas, ada
ketergantungan proses sentuhan tangan, dapat diproduksi (jumlah tertentu) dan
dapat menjawab persoalan dari luar (masyarakat, bisa pribadi / golongan
tertentu, kesenian / art, dll) dimana
struktur dan bentuknya bisa bersifat fungsional atau dekoratif. Yasana juga merunut perkembangan kriya mulai
zaman purba, masa penjajahan hingga masa merdeka sekarang ini, yang dalam
perkembangannya tidak hanya bersifat simbolik, peralatan, persembahan, souvenir, tetapi juga sebagai
komoditas (eksport) dan untuk sesuatu
yang bersifat pribadi atau keilmuan. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa Bali kaya
akan potensi kriya yang bersumber dari senirupa dan budaya Bali, tarian, aksara
dan suara dan sebagainya menjadi rancangan interior maupun eksterior
menyesuaikan dengan iklim perubahan abad ke abad atau dari decade ke decade
dengan cara berfikir baru bukan sekedar rasional tapi juga ekspresi. Umumnya
dasar untuk membeli / memiliki produk kriya adalah karena perlu, murah, desain
menarik, merek terkenal, buatan luar negeri/dalam negeri/khas daerah, juga bisa
karena iklan dan promosi, pun juga karena status symbol (kebanggaan). Intinya
ada keindahan, ada ciri khas, murah,
terjangkau dan berkepribadian. Pembicara ke dua, Wayan Kun Adnyana, kritikus
yang curator ini membawakan judul tulisan “Kriya Seni: Mengayuh Antara Dua
Tegangan”. Ia menyoal tentang “kriya seni” dikaitkan dengan terminology “seni rupa murni” untuk mensetarakan
kedudukan (modernisme) ataupun
konteks kriya seni yang diimpor dari Barat dengan istilah “kriya kontemporer” yang tidak mengakui pembagian seni dan
menganggap semua cabang seni sederajat. Ia menyayangkan adanya pembagian
program studi kriya seni dan program seni murni pada ranah yang berbeda.
Sementara peluang pluralisme
ekspresi dan medium dalam seni
kontemporer dimungkinkan bersatu. Penggunaan istilah kriya seni atau kriya kontemporer hanyalah untuk membedakan
dengan hasil karya tradisi, seolah olah ada perbedaan hasil karya (Seni rendah
vs seni tinggi) dan usaha pembebasan anti katagori medium, disamping belum
mampu mereposisi kriya dari katagori marginal. Ia menangkap dua arus
kecenderungan karya kriya seni seperti yang dipamerkan, pertama hanya untuk
membedakannya dengan kerajinan rakyat dan kedua mengikuti arus kriya kontemporer namun tetap bersikukuh
dengan citra tradisional, sehingga ada tegangan teoritik yang meliputi term kriya seni, sehingga terkesan ambiguitas sebagai seni rupa dua dunia:
kriya yang berarti kerajinan tangan dan sekaligus senirupa sadar konsep ?
Pembicara ke tiga adalah Ngurah Pratama Citra, praktisi dan Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft
Indonesia (ASEPHI Bali) yang
berkator di Disperindag Prov. Bali ini membawakan makalah berjudul”
Pengembanagn dalam Keragaman”. Ia mengungkap persepsi awal bahwa kriya tak
lebih merupakan seni terapan, seni dekoratif bahkan kerajinan, karena mengabdi
pada kaidah ketrampilan penanganan teknis yang nilainya tidak sepadan dengan
senirupa murni dimana dikotomi fine art
diwariskan oleh seni modern Barat. Perlu adanya reposisi untuk menjawab
tantangan zaman, termasuk mengisi permintaan pasar, walaupun tetap ada
idealisme atau identitas (cirri khas). Lebih jauh Citra mengharapkan perguruan
tinggi penghasil sarjana kriya memiliki output
expected yang jelas, setelah pameran lalu mau apa? Harapannya juga
kurikulumnya harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dengan penelitian,
memanfaatkan tenaga praktisi dan program magang, yang menghasilkan lulusan siap
kerja atau kelebihannya apa?. Strateginya adalah dengan revitalisasi persepsi
dari stakeholders, menambah bekal
ilmu pariwisata (cenderamata dan pasar eksport), kombinasi bahan, fasilitasi
kegiatan pameran dalam & luar negeri, kolaborasi dengan lembaga di luar
ISI, asosiasi, instasi lain, kriyawan / perajin dalam dan luar Bali. Kriyawan
juga sebagai wirausahawan yang tertarik dengan imbalan berupa laba, kebebasan
dan kepuasan hidup. Disini para mahasiswa diberi bekal ilmu kewiraswataan atau
berwirausaha, sehingga memiliki kemampuan untuk menemukan dan mengevaluasi
peluang, mengumpulkan sumber daya,. Bertindak memperoleh keuntungan dari
peluang itu. Esensinya untuk memperoleh nilai tambah di pasar melalui proses pengkombinasian sumber daya, cara-cara baru
atau berbeda (pengembangan teknologi, penemuan pengetahuan baru, perbaikan
produk dan jasa), efisiensi dan lainnya
untuk dapat bersaing. Dengan
rangkuman nilai kewirausahaan: 1) berani mengambil resiko; 2) kemampuan
menangkap peluang,; 3) berorientasi ke masa depan; 4) tidak cepat puas; 5)
semangat untuk bersaing; 6) kemampuan melakukan inovasi; 7) kemampuan dalam
memimpin. Citra sebagai ketua asosiasi
ASEPHI Bali mengaku menampung keluhan anggotanya (32 eksportir) di lapangan dan
masyarakat, bahwa sementara ini sarjana kriya jarang ada yang berperanan dan
sangat sedikit sekali yang mengisi peluang kerja (tidak dimanfaatkan alumni
kriya-ISI Denpasar), kebanyakan desainer kriya terdiri orang asing (sekitar 38
orang) dengan bayaran cukup menggiurkan dengan hasil karya yang tak jauh
berbeda dengan kriyawan ISI, dimana sekarang ini eksport Bali 80 % (nilai
pulus). Sampai kini ada masalah-masalah
yang harus terjawab mau apa dan bagaimana, sehingga kesenjangan yang ada
diperkecil dan dapat membangun publikan serta minat untuk menekuni kriya yang
dapat memberi kesejahteraan. Dunia usaha sangat membutuhkan sarjana kriya, ada
segmen pasar tertentu dan karier di Luar Negeri dan ISI mau mendengar
keluhan-keluhan yang ada. Menurutnya perut lapar tidak bisa ditunda-tunda,
menurutnya pula hampir kriyawan yang eksis tidak sarjana kriya. Sebagai Ketua
ASEPHI, Citra berjanji untuk bisa bekerjasama (membantu) atau mengadakan M.O.U.
dengan Kriya ISI Denpasar, dalam hal magang atau kerja praktek, pameran (buku /
katalogus) dalam bentuk legal-formal atau maju secara institusi bukan
individual. Ia menganggap fihak ISI yang belum bisa masuk ke wilayah yang
berkembang di masyarakat (seperti menara gading) dimana handicraft merupakan andalan Bali, belum sepenuhnya dipahami para
akademisi dan dicari solusi pengembangannya, sehingga perlu menggandeng
praktisi dilapangan untuk menjembatani kesenjangan yang terjadi.
Berbagai
tanggapan muncul dari diskusi ini, seperti Radiawan yang menekankan pada
stuktur dan profesionalisme kekriyaan serta trend
produk. Lalu Cok Udiyana menekankan pada nalar dan gagasan cemerlang “Naga
saksaka” sebagai strategi terbaik. Anom mengemukakan pengalamannya sebagai
rangkaian proses belajar dari mahasiswa hingga menjadi pengusaha dan eksportir.
Ia mengharapkan pihak swasta, pemerintah dan perguruan tinggi ada dialog yang
membangun memperkuat sector kriya ini. Kemudian
Jana dengan arah pembelajaran sebagai fine
art dan produk / desain. Yang tak
kalah seru pernyataan Wirakesuma, bahwa semua kegiatan jangan disamakan, tidak
bisa digeneralisasikan, disamakan seperti seni / art semua terkadang
menggunakan perasaan / ekspresi, baik itu fotografi, kriya atau patung maupun
lukis. Pembuatan kriya di ISI sudah baik, cuma payungnya adalah Seni Rupa dan
Desain. Jangan
hanya mengekor pemikiran Barat, lalu mengekor dan terus mengekor lagi, disini
diperlukan idealisme membangun kepercayaan diri yang kuat. Seni Bali dahulu sebagai prilaku yang hidup
dan bukan teoritik dari Barat. Muka menganjurkan dalam kurikulum ada
pengetahuan pariwisata, desain, art dan wuirausaha dalam prosentase yang tepat.
Pada akhirnya menjadi PR Kriya ISI Denpasar untuk Reposisi, diperlukan
menghimpun masukan stakeholders, tracer study dan membuat kurikulum yang
tepat dan mengikuti perkembangan zaman. Berikanlah semua ilmu yang bersifat
ilmiah kepada mahasiswa dalam menunjang kesarjanaan kekriyaan itu sendiri,
sehingga memiliki bekal dan juga berhak untuk menentukan arah (wawasan) pilihan
hidup nantinya, apakah sebagai seniman, kriyawan, atau desainer produk, bahkan
sebagai wirausahawan atau praktisi atau pengusaha. Seperti pernyataan Sekjen
Depdiknas, Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS, ketika mengunjungi pameran kriya
seni “Dimensi Kriya dalam Keragaman” di Museum Sidik Jari, tanggal 29 Mei 2006
lalu didampingi Rektor ISI Denpasar yang mengatakan: “Jika kita berpikiran
jernih, sebenarnya “seni”lah yang merupakan keunggulan bangsa kita, bukan
teknologi. Ya, Seni sebagai unggulan bangsa memang sudah sangat layak
mendapatkan prioritas utama dalam dunia
pendidikan karena sudah menjadi identitas bangsa”. Secara pribadi Ia kagum
akan karya-karya yang ditampilkan oleh Jurusan Kriya, FSRD-ISI Denpasar. Dan
karya kriya perlu sering ditampilkan dalam pameran seperti ini, agar dikenal
luas masyarakat dan mampu menjadi unggulan pilihan calon mahasiswa / kriyawan.
Pameran Tugas Akhir & Sarjana
Kriya Keramik, FSRD- ISI Denpasar
Keramik Motif
Padi Untuk Rumah Tinggal dan Tampilan Motif Tikar
Oleh Agus Mulyadi Utomo
I Gusti Ayu Made Dewi Rani Maharani dan Anton
Darmawan, adalah dua orang sarjana baru yang lulus ujian penciptaan karya dan ujian
konprehensif, disampaikan dalam yudisium
dengan nilai memuaskan pada hari sabtu tanggal 15 Juli 2006 lalu dari Program
Studi Kriya Keramik, FSRD-ISI Denpasar. Rani mengambil judul tugas akhir “
Keramik Pakai Motif Padi untuk Rumah Tinggal” dan Anton dengan judul
“Eksperimen Pembuatan Bentuk Keramik Fungsi dengan Motif Anyaman”. Beberapa
dari karya mereka sebelumnya telah dipamerkan di Museum Sidik Jari Denpasar dari tanggal 29 Juni s/d 1 Juli
2006.
Tanah liat atau lempung yang dibakar
suhu tinggi menjadi keras untuk waktu lama dan sifat demikian telah
dimanfaatkan orang sejak dahulu kala untuk membuat berbagai bentuk produk pakai
keperluan sehari-hari, seperti bejana, vas, periuk, kendi dan sebagainya.
Umumnya produk yang terbuat dari tanah liat disebut dengan “keramik”. Dari
sudut pandangan kualitas fisik struktur
body yang paling rendah disebut dengan
gerabah yang memiliki sifat rapuh dan berpori-pori serta menyerap air ,
dibakar dibawah suhu 1000ºC. Pada kualitas menengah disebut
dengan stoneware atau “keramik batu”
memiliki sifat seperti batu, tidak menyerap air dan dibakar pada temperatur di
atas 1000ºC s/d 1250ºC. Dan sebutan “porselin” untuk keramik bakaran tinggi di atas 1300ºC s/d
1400ºC, bersifat sedikit menggelas, suara lebih nyaring, peka terhadap oksida pewarna. Keramik karya Rani
menggunakan tanah liat putih dilapisi glasir
dasar putih hiasan kuning dan hijau.
lalu Anton dengan tanah liat merah, dengan glasir
Fe dan kuning, semuanya dibakar hingga temperatur 1200ºC.
Pada umumnya di dalam rumah tinggal terdapat begitu
banyak ragam hias dan dekorasi pada benda pakai, sehingga bagi seseorang yang merasa
memiliki kepribadian atau keluarga tertentu yang ingin tampil beda, hal
tersebut belumlah mencerminkan selera dan kepribadian sang pemilik rumah
tinggal itu sendiri, tentu sesuatu yang bersifat khusus atau memiliki ciri
khas. Berangkat dari permasalahan tersebut, timbullah ide yang menginginkan untuk
memberi suatu ciri khas dalam kebutuhan pemakaian perabotan keramik di dalam
rumah tinggal. Dewi Rani mencoba menawarkan sebuah alternatif keseragaman dalam
penggunaan keramik bermotif padi pada benda-benda yang biasa dipakai dalam
rumah tinggal, yang tentunya dapat mengangkat citra dan martabat atau gengsi
seseorang seperti halnya dengan kepemilikan akan benda-benda seni. Ia mengambil
motif padi karena sebagai bangsa Indonesia tentu merasa akrab dengan padi dan
merupakan pemandangan umum persawahan terutama di pedesaan, apalagi mengkonsumsi berasnya sebagai bahan makanan pokok
sehari-hari. Rani mencoba memberikan suasana khusus, berwarna dasar putih
dengan bentuk padi berwarna kuning dan batang kehijauan pada keramik pakai
dengan bermotif padi tersebut yang diterapkan pada peralatan makan-minum,
bentuk vas, mangkuk sayur, meja, tea set, kopi set, tempat makanan kecil,
asbak, kap lampu dan lainnya sebanyak 10 macam fungsi guna untuk tugas proyek
akhir yang memang terbatas waktu pelaksanaannya. Ia berharap, sebagai kriyawan
ide tersebut dapat dikembangkan oleh masyarakat konsumen sebagai bentuk
penawaran (proyek) untuk menggarap penerapan motif-motif lainnya sesuai dengan
keinginan pemesan atau alternatif yang disuguhkan para desainer kriya, baik
sebagai pemilik atau diperuntukkan rumah tinggal yang bersifat khusus.
Seperti halnya Rani, rekannya Anton juga menawarkan suatu alternatif penggunaan keramik untuk bisa dipakai keperluan sehari hari, sebagai benda pelengkap interior ruangan tamu, seperti vas dan pot bunga, kap lampu, tempat majalah , tempat makanan kecil / kue, pigura foto, tempat permen, tempat air dan lainnya. Anton lebih tertarik pada anyaman terutama pada motif bentuk tikar. Ia cenderung kepada ungkapan seni murni, terutama tampilannya dikemas secara unik atau lebih berupa ekspresi daripada pada penekanan fungsi benda pakai atau bernilai artistik (khas seniman). Lihat karyanya yang menampilkan tikar dengan pinggiran tidak beraturan, bahkan ada seperti tikar usang yang dijait dijadikan tempat sesuatu. Tentu kepemilikan barang tersebut bersifat khusus hanya untuk orang-orang tertentu yang mengerti seni. Disamping itu, kerajinan anyaman tikar yang sesungguhnya terbuat dari tumbuh-tumbuhan tidak bisa bertahan lama, dengan idenya ini diharapkan motif tikar dapat dibuat awet dan tahan lama. Pada karyanya, Anton menyatukan atau menyambung bentuk dengan jaitan seolah tali yang diberi warna kuning, dimaksudkan juga sebagai aksen.
Tempat /Tgl. Lahir : 06 Agustus 1958
Pendidikan
: SR-ITB,
Magister Ergonomi Fisiologi Kerja,
Pascasarjana
Unud
Alamat : Jl. Gunung
Guntur / Padang Griya Gang VIII / No. 10
Padansambian Denpasar – Bali
Telp / HP : 0361-7422671 /
081338504464
Fax /
Email : agusmulyadiutomo@yahoo.co.id
Pengalaman pameran :
1. Pameran
lukisan bersama SSRI Yogyakarta di Seni
Sono Yogyakarta, 1975p
2. Pameran
lukisan bersama SSRI Yogyakarta di Seni
Sono Yogyakarta, memperoleh penghargaan “Pratitha Adhi Karya” untuk lukisan cat
air, 1976
3. Pameran seni
rupa bersama SSRI Yogyakarta di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, 1976
4.
Pameran
Seni Lukis bersama Sanggar Pringgading di Karta Pustaka, Yogyakarta,
1976
5.
Pameran
lukisan dan patung bersama Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Probolinggo (IMAPAPRO)
di Probolinggo, 1976
6. Pameran Seni
Rupa bersama SSRI Yogyakarta di Jakarta, 1977
7. Pameran Seni
Rupa bersama SSRI Yogyakarta di Purna Budaya Yogyakarta, 1977
8. Pameran
lukisan dan patung IMAPAPRO dan KNPI di Probolinggo, 1977
9. Pameran Seni
Rupa bersama SSRI-SMSR Yogyakarta di Purna Budaya Yogyakarta, memperoleh
penghargaan “Pratitha Adhi Karya” untuk karya lukisan , Intaglio Dry Point dan
Cetak Saring, 1978
10. Pameran
lukisan, patung, grafis dan batik Kelompok Sembilan Muda Yogyakarta di
Pasuruan, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Probolinggo, 1978
11. Pameran
Grafis bersama SSRI-SMSR di KONRI Yogyakarta
12. Pameran seni
rupa bersama Keluarga Besar Taman Siswa dan Pecinta Taman Siswa dalam
“Apresiasi 79” di Yogyakarta, 1979
13.
Pameran
grafis karya mahasiswa di Kampus STSRI “ ASRI” Yogyakarta,
1979
14. Pameran
sketsa di Kampus STSRI “ASRI” Yogyakarta, 1979
15. Pameran seni
rupa bersama STSRI “ASRI” Yogyakarta di Purna Budaya, Yogyakarta, 1980
16. Pameran seni
rupa bersasma di Gallery Soemardja ITB, Bandung, 1981
17. Pameran
keramik kreatif di Hotel Kartika Chandra Jakarta, 1982
18. Pameran
keramik di Balai Seni Rupa Jakarta, 1982
19.
Pameran
keramik dalam rangka 35 Tahun Perguruan Tinggi Seni Rupa Indonesia di ITB Bandung, 1983
20.
Pameran
keramik kreatif sponsor Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 1983
21.
Pameran
keramik dalam rangka Lustrum ITB, di Gedung Serba Guna ITB (RSG) Bandung, 1983
22. Pameran seni
rupa di PPKIP (Cedust-Aliance Francaice) Bandung, 1983
23. Pameran
keramik ITB bertiga di PPKIP Bandung, 1984
24. Pameran
bersama “Sketsa Bandung Kota Kembang” keluarga ASRI Bandung dan Pemda Kodya
Bandung,1984
25. Pameran
keramik Kelompok 5 Bandung di TIM Jakarta atas sponsor DKJ, 1984
26. Pameran
keramik di GSG-ITB Bandung atas sponsor Dharma wanita Unit ITB, 1984
27. Pameran
keramik kelompok 8 di PPKIP Bandung, 1985
28.
Pameran
keramik berdua dengan Nuzurlis Koto di Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika (PPIA) Surabaya, 1985
29.
Pameran
Besar Seni Rupa Surabaya di Museum Surabaya Post, 1985
30. Pameran
Industri dan Desain Tegel Keramik di Surabaya, 1985
31.
Pameran
desain tegel keramik di Balai Pemuda Surabaya,
1986
32. Pameran
keramik dan lukisan di Malaysia dan Singapura, 1986
33.
Pameran lukisan Pesta Kesenian Bali ke VIII,
Taman Budaya, Denpasar. 1987
34.
Pameran
keramik di PKB ke IX Taman Budaya, Denpasar, 1988
35.
Pameran
bersama Parade Seni Rupa dan Desain, PSSRD Univ. Udayana di Museum Bali, Denpasar, 1989
36. Pameran seni
lukis bersama ISSRI (Ikatan Sarjana Seni Rupa Indonesia) di Taman Budaya,
Denpasar, 1989
37. Pameran
lukisan bersama ISSRI di Museum Neka Ubud, Gianyar, 1989
38. Pameran Seni
Lukis Non Tradisional Bali bersama 36 pelukis di Art Centre, Denpasar, 1989
39.
Pameran
Pekan Seni dan Desain ( PSD-90 ) PSSRD unud di Museum Bali,
Denpasar, 1990
40.
Pameran
desain contoh Pusat Desain Bali pada PKB ke XXI di Taman Budaya, Denpasar, 1992
41. Pameran seni
rupa PSSRD Unud dan STSI Denpasar di Kampus STSI, 1993
42.
Pameran
Dies Natalies XXXII Universitas Udayana di auditorium Unud, Denpasar, 1994
43.
Pameran
Industri Kecil dan Kerajinan Jurusan Kriya PSSRD Unud di PKB ke XVI Taman
Budaya Denpasar, 1994
44.
Pameran
Industri Kecil dan Kerajinan Jurusan Kriya PSSRD Unud di PKB ke XVII Taman
Budaya Denpasar, 1995
45. Pameran
Keramik Kreatif sponsor DKJ di Jakarta, 1995
46. Pameran
keramik dan lukisan bertiga di Surabaya, 1996
47. Pameran
keramik di Hotel Bali Beach Sanur, 1997
48. Pameran
Industri Kecil dan Kerajinan di PKB ke XXI Taman Budaya Denpasar, 1998
49. Pameran Seni
Rupa bersama PSSRD Unud di Art Centre Denpasar, 1999
50. Pameran Seni
Rupa bersama PSSRD Unud di Auditorium Unud Denpasar (Kunjungan Perguruan Tinggi
& & Mahasiswa Jepang), 1999
51. Pameran
keramik “Gebyar Kreasi Keramik Seni Indonesia” di BPPT -P3SKP Bali, Suwung Denpasar, 1999
52. Pameran
bersama Jurusan Kriya PSSRD Unud dan Alumni Kriya Keramik di Kampus PSSRD unud
Denpasar, 2000
53. Pameran Seni
Rupa dalam rangka “ Hyogo Joint Summer Seasion At Sea 2000” (kunjungan mahsiswa
Jepang) di Gedung Widya Sabha Unud Jimbaran, 2000
54. Pameran lukisan bersama HUT. PSSRD Unud ke-17 di
Gallery SAHADEWA, Batuan Gianyar, 2000
55. Pameran
lukisan PKB ke XXII di Taman Budaya, Denpasar, 2000
56. Pameran Seni
Rupa dan Kerajinan dalam rangka Travel Mark & PKB ke XXII di Gedung Widya
Sabha Gubernuran Bali, Puputan Denpasar, 2000
57.
Pameran
Seni Lukis dalam Festival Nusa Dua Bali 2000 ke IV, Nusa Dua, 2000
58.
Pameran
Seni Seni Rupa bersama dalam rangka Festival Internasional Ramayana 2000 di
Kampus Unud Bukit, Jimbaran, 2000
59.
Pameran
Seni Lukis 2000 dalam rangka “Pelestarian dan Pengembangan Budaya 2000” di Nusa
Dua, 2000
60. Pameran
lukisan di PKB ke XXIII di Taman Budaya, Denpasar, 2001
61. Pameran
lukisan dan keramik kerjasama PSSRD Unud , IJC LOM Bali dan GWK di GWK,
Ungasan, 2001
62. Pameran Besar
Seni Grafis Eksplorasi Medium, sponsor Bentara Budaya Jakarta, di Jakarta,
13-22 Juni 2002
63. Pameran
lukisan di PKB ke XXIV di Taman Budaya, Denpasar, 2002
64.
Pameran lukisan “Kamaloka II”, kolaborasi
Dosen dengan Mahasiswa PSSRD yang tergabung dalam kelompok “Mahasenrayana” di
Satrya Gallery ( SAG ), Jl. Veteran
Denpasar, 20 Juni – 18 Juli 2003
65.
Pameran
Senirupa: Dosen dan Mahasiswa ISI Denpasar
bertajuk: Jejak Tradisi dalam Ekspresi Modern II di Museum H. Widayat,
Letnan Tukiyat 32 Magelang-Jawa Tengah, 5 s/d 12 September 2004
66.
Pameran
Patung dan Lukisan Kelompok B.I.A.S.A (Bali, Indonesia Sculptors Association) di Bali Zoo Park,
Singapadu-Gianyar dari 9 April s/d 9 Mei 2005
67.
Pameran
Patung dan Lukisan kelompok B.I.A.S.A dan Bali Artis Painters Association
(B.A.P.A.) di Melia Bali Villas & Spa Resort, Nusa-Dua, HUT ke-20 Melia dan
HUT ke-60 RI, tgl 8 s/d 17 Agustus 2005
68.
Pameran
Senirupa UMMI ISI Denpasar, di Taman Budaya Denpasar, 12-22 Oktober 2005
69.
Pameran
Patung kelompok B.I.A.S.A (Bali, Indonesia
Sculptors Association) dan Lukisan kelompok B.A.P.A (Bali Artis Painters Association ) di Pusat Informasi Mangrove Jl.By Pass Ngurah Rai Suwung Kauh, Denpasar 16-28
Pebruari 2006, “Hidden Beauty” dan “Peduli Lingkungan Melalui Seni” sponsor
JICA.
70.
Pameran
Kriya Seni (keramik), Jurusan Kriya, FSRD-ISI Denpasar di Museum Sidik Jari , Jl. Hayam Wuruk 175 Denpasar, tgl. 28 Mei s/d 8 Juni 2006
71.
Pameran
Kriya Seni (keramik), Jurusan Kriya, FSRD-ISI Denpasar di Paros Gallery, Br.
Palak-Sukawati, Gianyar, tgl. 28 Mei s/d 8 Juni 2006
72.
Pameran
Seni Rupa Dosen ISI Denpasar: “Jejak Tradisi dalam Ekspresi Modern IV” di
Museum Neka Ubud Gianyar, Tgl 9 Juli s/d 9 Agustus 2006
73.
Pameran
Kriya ISI Denpasar di Bajra Sandhi Renon-Denpasar 2007
74. Pameran
Senirupa di ISI Denpasar 2007
75. Pameran
Senirupa di ISI Denpasar dalam Rangka Festival Kesenian Indonesia V Tgl. 21-25 Nopember 2007
76. Pameran
Senirupa dan Desain ISI Denpasar dalam ‘Truly Bagus’di Cullity Gallery, Faculty of Landscape and Visual Arts, The
University of Western Australia, M433,
35 Stirling Highway, Nedland WA 6009, 16 Agustus s.d 3 September 2010 (woodcut print on paper )
77. Pameran
patung dan kriya ‘Bina Rupa Tunggal Raga’ for
Beautiful Bali, I-MHERE-ISI Denpasar & Bali Indonesia Sculptor
Association di Museum Puri Lukisan, Ubud-Gianyar , 7 s.d 25 Oktober 2010
78. Pameran Kriya
Seni/Produk ‘Inovasi Produk Kriya Menuju Industri Kreatif’, Museum Bali 12 s.d
16 Maret 2012
NO.
|
BALI POST
TGL.TERBIT
|
EDISI & HALAMAN
|
JUDUL TULISAN
|
1.
|
Minggu, 14-10-2001
|
No.57 Th.54, Hal.7
|
Menyiasati Perkembangan Keramik Bali
|
2.
|
Minggu, 21-10-2001
|
No.63 Th.54, Hal.10
|
Tema-tema Lokal Bali,
Nuansa Modern: Pameran Lukisan & Keramik
PSSRD Unud dan IJC LOM Bali
|
3.
|
Minggu, 12-11-2001
|
No.90 Th.54, Hal.7
|
Sentuhan Ekspresi Pada Desain Keramik: Melirik Karya Suthawigraha
& Patra Budiada
|
4.
|
Minggu, 25-11-2001
|
No.97 Th.54, Hal.10
|
Gung Wayan Tjidera: Purna Tugas
tetapi Tetap Berkarya
|
5.
|
Minggu, 9 -12-2001
|
No.110 Th.54,Hal.
10
|
Sri Supriyatini: Menuai Tekstur
dan Warna
|
6.
|
Minggu, 23-12-2001
|
No.122 Th.54,
Hal.10
|
Lukisan Cok Istri Mas Astiti:
Wanita Sebagai Ibu
|
7.
|
Minggu, 13-01-2002
|
No.140 Th.54, Hal.
10
|
Pameran”Back to
Nature 2002” : Arok Berpulang Ke Hati
|
8.
|
Minggu, 20-01-2002
|
No.147 Th.54,Hal.10
|
Seni Keramik Berhias
Aksara Bali dan Rerajahan
|
9.
|
Minggu, 27-01-2002
|
No.154
Th.54,Hal.10 & 14
|
Pameran Kelompok “Galang Kangin”: Ekspresi
dan Pengembaraan Yang Variatif
|
10.
|
Minggu, 10-02-2002
|
No.168 Th.54, Hal.7
|
Membaca Hubungan Indonesia
China
Lewat Karya Keramik
|
11.
|
Minggu, 10-02-2002
|
No.168 Th.54,
Hal.10 & 14
|
“In Memoriam” RH
Abdul Aziz: Keluarkan Obyek Dari
Bingkai
|
12.
|
Minggu, 24-02-2002
|
No.181 Th.54, Hal.
9
|
Ciptakan Komunikasi Seni Kalangan Akademis: Dari Pameran
Patung – Lukis HMJSM PSSRD Unud
|
13.
|
Minggu, 3-03-2002
|
No.188 Th.54,
Hal.10 & 14
|
Seni Rupa di Bali Krisis
Kritik
|
14.
|
Minggu, 24-03-2002
|
No.209 Th.54, Hal.
10
|
Lukisan Charles
Cham :” Sosok dan Wajah Bertebar Tanpa
Beban”
|
15.
|
Minggu, 31-03-2002
|
No.215 Th.54, Hal.7
|
Estetika Topeng: Dari Penutup
Wajah Ke Wujud Patung
|
16.
|
Minggu, 5-05-2002
|
No.245 Th.54,Hal. 7
& 14
|
Mengenal Seni Keramik (1) :
Diperlukan Konsep Penciptaan Yang Terarah
|
17.
|
Minggu, 12-05-2002
|
No.251 Th.54, Hal.
7
|
Mengenal Seni Keramik (2) : Seni
Murni dan Seni Pakai
|
18.
|
Minggu, 12-05-2002
|
No.251 Th.54, Hal.
9
|
Kreativitas Yang Perlu “Ditiru dan Digugu” : Dari Pameran
Senirupa Guru SLTP Se-Kota Denpasar
|
19.
|
Minggu, 19-05-2002
|
No.258 Th. 54, Hal.
7
|
Mengenal Seni Keramik (3 Habis) : Seni Keramik Kerajinan
|
20.
|
Minggu, 26-05-2002
|
No.264 Th. 54, Hal.
10
|
Ungkap Makna Lewat Cicak-cicak : Pameran Keramik A.A. Kt. Anom
|
21
|
Minggu, 2-06-2002
|
No.271 Th 54, Hal. 9
|
“Dua Warna
“:Ekspresi Para Kriyawan
|
22
|
Minggu,30-06-2002
|
No.297 Th 54, Hal. 10
|
Gagasan 3 – D
.Berkonsep Organis Patung Karya I Wayan
Sutha S.
|
23
|
Minggu,21-07-2002
|
No.310 Th 54, Hal. 10
|
Lukisan “Abstrak” Dari
Kampus : Dari Doni Duarsa dan I. Md. Kembang Adnyana
|
24
|
Minggu,4-08-2002
|
No.330 Th 54, Hal.
10 & 15
|
Catatan Tercecer Pameran
Seni Rupa PKB. 2002 Perbedaan Menjadi Keseimbangan
|
25
|
Minggu, 11-08-2002
|
No.337 Th 54, Hal. 7
|
Mengkombinasikan
Keramik dengan logam: Desainer Mesti Peka
Pada “Trend”
|
26
|
Minggu, 8-09-2002
|
No.23 Th.55, Hal. 10
|
Keramik Bali Mutakhir, Tantangan bagi Seniman
|
27
|
Minggu, 22-09-2002
|
No.37 Th.55, Hal
10
|
Jo Odessa
Ungkap Hubungan Manusia
|
28
|
Minggu, 6-10-2002
|
No.50 Th 55, Hal. 9
|
Mary Nortthmore:
Olah Perca Kain Jadi
Karya Seni
|
29
|
Minggu, 20-10-2002
|
N0.64 Th.55
Hal. 10
|
I Wayan Jedag, Pematung Tradisi,
Mengabdi Agama
|
30
|
Minggu, 10-11-2002
|
No.85 Th.55
Hal. 10
|
Ni Made Trisnawati : Mengolah Cipratan
dan Lelehan
|
31
|
Minggu, 17-11-2002
|
No.92 Th.55
Hal. 9
|
Keramik- Patung Bersosok Perempuan: Karya Ida Ayu
Made Gayatri
|
32
|
Minggu, 8-12-2002
|
No.109.Th 55
Hal. 10
|
Paradigma Seni Rupa
Kontemporer (1)
Seni Modern, Unsur Perasaan Ditinggalkan ?
|
33
|
Minggu, 15-12-2002
|
No.116.Th 55 Hal.
10
|
Pradigma Seni Rupa
Kontemporer (2-Habis)
Semangat Post-mo Cocok Untuk Indonesia ?
|
34
|
Minggu, 12-01-2003
|
No.142.Th.55,
Hal. 9
|
H. Widayat : Fragmentasi Sang Seniman Sejati
|
35
|
Minggu, 26-01-2003
|
No.156.Th.55, Hal. 9
|
Lukisan Kontemporer
dari PSSRD Unud
|
36
|
Minggu, 02-02-2003
|
No. 162.Th.55. Hal.
9
|
Wanita Dalam Bingkai
Realis sampai Naif: “Pameran Lukisan Multi
Color”
|
37
|
Minggu,09-02-2003
|
No.169.Th.55,Hal.9
|
Kaitkan Wanitan dengan
Anggur dan “Cacalan”: Karya Keramik Vera
Artini dan Ayu Prabandari
|
38
|
Minggu,16 -02-2003
|
No.175.Th.55,Hal. 9
|
Kelestarian Alam, Perempuan Materialistis: Karya Keramik Indah
Poppy dan Margaretha Dhesy
|
39
|
Minggu, 23-02-2003
|
No.182.Th.55.Hal.10
|
Citra Topeng, Pita dan
Anyaman “Berungkap Seni dengan Lempung”
|
40
|
Minggu,09-03-2003
|
No.195.Th.55.Hal..9
|
I Gusti Ngurah Gede
Pemecutan: “Melukis dengan Jari Karena
Kesal”
|
41
|
Minggu, 13-04-2003
|
No.228. Th.55.
Hal.10
|
Lestarikan Alam dan
Budaya Lewat Lukisan
|
42
|
Minggu,27-04-2003
|
No.241. Th.55.Hal.9
|
Pameran Patung I
Nyoman Sentana Yasa : Menikmati Patung
Abstrak-Figuratif
|
43
|
Minggu,11-05-2003
|
No.255. Th 55. Hal
9
|
Mendobrak Belenggu
Konvensional: Pameran Lukisan Putra dan
Selamet
|
44
|
Minggu,08-06-2003
|
No.281 Th 55. Hal 7
|
Riak-Riak Kreatif
Dunia Desain: “ Anyaman” pada Keramik
dan Mebel Aklektik
|
45
|
Minggu,29-06-2003
|
No.300 Th 55.
Hal 7
|
Keramik Bali Kuno
|
46
|
Minggu,06-07-2003
|
No.307 Th.55. Hal 9
|
Pameran “Kamaloka
II”: Kebebasan Ekspresi Bernuansa
Modern
|
47
|
Minggu, 03-08-2003
|
No. 335 Th.55. Hal
9
|
Bentuk-bentuk Patung Berbahan Lempung : Pameran Keramik
IDP Mustika dan IGNG Dharmawijaya
|
48
|
Minggu, 24-08-2003
|
No.8 Th. Ke 56. Hal. 9
|
“Rerajahan” Batik sampai Lukisan Surealis :
Karya Widiarta dan Mandi Yoga
|
49
|
Minggu, 21- 09-2003
|
No.35 Th.56. Hal
9
|
Pameran Patung I Made Swanda Adi :
Visualisasikan Perkembangan Figur
|
50
|
Minggu, 19-10-2003
|
No.61 Th. 56 Hal. 9
|
Kreativitas “Penyimpangan” ala Seniman Keramik Karya Anak Agung
Ketut Anom
|
51
|
Minggu,09-11-2003
|
No.83 Th. 56 Hal. 9
|
Indah Poppy
Susanti: Ungkap Makna Teratai pada
Karya Keramik
|
52
|
Minggu, 25-01-2004
|
No.152 Th.56 Hal. 9
|
Pameran Tugas Akhir
di ISI Denpasar: Memahami Beragam
Ekspresi Perupa Muda
|
53
|
Minggu, 08-02-2004
|
No.166 Th.56 Hal. 9
|
Upaya Kreatif Mengolah Bentuk Telur: Keramik IGAM Dewi
Rani Maharani
|
54
|
Minggu, 29-02-2004
|
No.187 Th.56 Hal. 9
|
Keramik Bermotif
Wayang Punakawan ala Adiputra
|
55
|
Minggu, 18-04-2004
|
No.234 Th.56 Hal. 7
|
Mengusut Asal Mula dan
Pemahaman Desain
|
56
|
Minggu, 25-07-2004
|
No.330 Th.56 Hal. 9
|
Seni Rupa Tradisi
di PKB Ke-26: Kerinduan dalam
Kejenuhan ?
|
57
|
Minggu, 05-09-2004
|
No.21` Th. 57 Hal.
1&15
|
Menjalin Pematung Antargenerasi di Bali: Pameran Patung
“Bali Indonesia Sculptors Association”
|
58
|
Mi nggu,17-10-2004
|
No.63 Th.57 Hal.9
|
Ekspresi Bali di Atas
Kanvas dan Keramik Davina Stephens
|
59
|
Minggu, 31-10-2004
|
No.77 Th.57 Hal.9
|
Ekspresi Michael Pugh di Atas Media Lempung
|
60
|
Minggu, 12-12-2004
|
No.117 Th.67 Hal.7
|
Keramik, Wayang Kamasan dan “Jepun”: Keramik Karya Tjok
Yuda Ardian dan Made Asri Puspadewi
|
61
|
Minggu, 2-01-2005
|
No.136 Th.57 Hal. 9
|
Citra Patung Bali dalam Lingkup Tradisi: Pameran Patung
Kelompok BIASA
|
62
|
Minggu, 16-01-2005
|
No.150 Th. 57 Hal.
9
|
Ungkap Seni dengan
Beda Pandang: Pameran “Interaksi” Galang Kangin
& Art of Humanity
|
63
|
Minggu, 13-02-2005
|
No.175 Th.57 Hal. 7
|
Bentuk dan Dekorasi
Benda-benda Keramik
|
64
|
Minggu, 20-02-2005
|
No. 182 Th.57 Hal.
7
|
Patung Binatang, Karya
dan Pelestarian : Patung-patung I Ketut
Santika
|
65
|
Minggu, 13-03-2005
|
No. 198 Th.57 Hal.
9
|
Mengamati Ekspresi Wanita Perupa: Pameran “Lifestyle”
|
66
|
Minggu, 20-03-2005
|
No. 205 Th.57
Hal. 8
|
Kelompok Coret , Proses Mencari Jati Diri
|
67
|
Minggu, 24-04-2005
|
No. 238 Th.57 Hal..
9
|
Sindir Situasi Sosial Lewat Patung Satwa: Pameran Patung
Kelompok BIASA
|
68
|
Minggu, 15-05-2005
|
No. 258 Th.57 Hal.
9
|
Lukisan-lukisan
“Semangat” Anom Giri
|
69
|
Minggu, 29-05-2005
|
No. 271 Th.57 Hal.
9
|
Ungkap Suasana Alam Tropis: Pameran Tunggal
Lukisan Doho Sendjojo
|
70
|
Minggu, 26-06-2005
|
No.299 Th.57 Hal.9
|
Berangkat dari Hal
Sederhana: Pameran Kelompok “sandal Jepit”
|
71
|
Minggu, 10-07-2005
|
No..313 Th.57 Hal 9
|
Supena dan Ciptaan Kreatif Seolah Alam
|
72
|
Minggu, 31-07-2005
|
No. 334 Th. 57 Hal.
9
|
Eksploitasi “Polyp”
Terumbu Karang dan Tubuh Perempuan
|
73
|
Minggu, 21-08-2005
|
No.5 . Th. 58 Hal.9
|
Geliat Perupa Bali
dalam Asosiasi: Pameran Patung Kelompok BIASA dan
Lukisan BAPA
|
74
|
Minggu, 25-09-2005
|
No. 38 Th. 58 Hal.
9
|
Membaca Dongeng Seni Rupa Tradisi Bali:
Catatan
tentang Kelompok Pawitra
|
75
|
Minggu, 02-10-2005
|
No.45 Th.58 Hal.9
|
Bentuk dari Keresahan
dan Harapan:
Patung-patung karya
I Ketut Putrayasa
|
76
|
Minggu, 23-10-2005
|
No. 63 Th.58 Hal.11
|
Indahnya Perbedaan
dalam Seni :
Pameran Senirupa UMMI ISI Denpasar
|
77
|
Minggu, 6-10-2005
|
No. 75 Th.58 Hal.
11
|
Memberi Kesan
Arkeologis pada Keramik: Karya I Wayan Patra
Budiade
|
78
|
Minggu,20-11-2005
|
No.89 Th. 58 Hal.
14
|
Fiksi Pan Sulur di
Lukisan Kaca
|
79
|
Minggu, 4 -12-2005
|
No. 103 Th. 58 Hal. 11
|
Ekspresi Kriyawan pada
Media Kayu : Pameran 20 Kriyawan Akademis
|
80
|
Minggu, 8- 01- 2006
|
No.137 Th.58 Hal.11
|
Abstraksi Kelembutan
Sapuan Kuas dan Warna: Pameran Lukisan I Made
Mahendra Mangku
|
81
|
Minggu, 5-02 -2006
|
N0.162 Th.58 Hal.11
|
Kriya sebagai Suatu Seni Alternatif
|
82
|
Minggu, 5-02 -2006
|
N0.162 Th.58 Hal.11
|
Kriya Seni atau Desain ?
|
83
|
Minggu, 5-03, 2006
|
No.189, Th. 58
Hal.11
|
Menjembatani Seni
dengan Sadar Lingkungan: Mangrove Art Exhibition
|
84
|
Minggu, 12-03-2006
|
No.196, Th.58 Hal.
11
|
Mencitrakan
Pemandangan Alam di Kanvas: Pameran Lukisan Galung
Wiratmaja
|
85
|
Minggu, 21-05-2006
|
No. 257, Th.58 Hal
11
|
Keragaman , Semangat Berkesenian Perupa Legian
|
86
|
Minggu, 4-06-2006
|
No.270, Th.58 Hal.
1 &15
|
Wanita dan Bunga,
Citra Khusus Keindahan
|
89
|
Minggu, 18-06-2006
|
No.283, Th.58 Hal
11
|
Pendidikan Tinggi
Kriya Seni Perlu Reposisi
|
90
|
Minggu, 16-07-2006
|
No.331, Th.58
Hal.11
|
Mengubah Cahaya,
Terinspirasi Ikan
|
91
|
Minggu, 23-07-2006
|
No.318, Th.58
Hal.11
|
Keramik dalam Motif
Padi dan Tikar
|
92
|
Minggu, 30-07-2006
|
No.325 ,Th.58
Hal.11
|
Upaya Selaraskan Kata,
Rasa dan Visual: Pameran Kelompok Rupa Kata
|
93
|
Minggu,13-08-2006
|
No.339.Th.58 Hal.11
|
Menuju “Global Action” Seni Rupa Bali:
Pameran
FSRD-ISI Denpasar di Museum Neka
|
94
|
Minggu, 10-09-2006
|
No.24. Th 59. Hal. 15
|
Nusa Dua di Ragam
Lukis
|
95
|
Minggu, 19-11-2006
|
No.91. Th.59. Hal. 15
|
Lukisan Cat Air dan Feminimitas: Pameran Lukisan
BIWA Art Group
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar