PRODUK KEKRIYAAN (1)
Oleh Agus Mulyadi Utomo
PENDAHULUAN
Manusia dalam kehidupan
merupakan serangkaian dari masalah-masalah, dimulai dari sejak kelahirannya
telah dihadapkan pada berbagai macam tantangan hidup dan kehidupan, yang timbulnya
bisa bersumber dari dalam diri, lingkungan alam dan sosial serta budaya, atau
saling mempengaruhi atau saling berhubungan satu dengan lainnya. Dengan menggunakan akal, pikiran dan
ketrampilannya, manusia pada akhirnya mampu mengatasi dan memecahkan berbagai
masalah betapapun rumit dan peliknya, sehingga membuahkan hasil karya dan
pemikiran yang bermanfaat ke arah tingkat kemajuan hidup yang lebih tinggi dan
layak.
Budaya Materi
Bermula dari kebudayaan paling sederhana yang muncul pada zaman batu. Hal tersebut
berkaitan dengan tingkat kecerdasan, perasaan dan pengetahuan yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pada zaman itu. Untuk menunjang
kelangsungan hidup, manusia kemudian membuat alat-alat dari bahan-bahan yang
diperoleh di alam sekitar mereka. Sebagai contoh, kapak genggam (lihat Gbr 1,2
dan 3) dan alat-alat perburuan yang dibuat dari tulang dan tanduk binatang.
Setiap saat manusia
dihadapkan pada suatu sikap untuk bisa mengambil keputusan atau tindakan
sebagai suatu reaksi terhadap suatu kebutuhan dan keadaan aman dilingkungan
kehidupannya. Kebutuhan dasar yang umumnya berupa makan-minum (pangan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal). Dan bila sudah
terpenuhinya kebutuhan dasar (jasmani-material) tersebut, lalu meningkat pada
kebutuhan yang bersifat norma-rasa-batiniah, berupa nilai-nilai tertentu,
identitas dan kepribadian serta harga diri atau prestise (status-sosial-budaya) yang setiap saat berubah.
Manusia selalu bereaksi.
Karena itulah, sebagai sesuatu hal yang menyebabkan manusia melangkah untuk
lebih maju dan berkembang. Tindakan untuk bereaksi juga merupakan tanggapan
dari sesuatu hal akan kebutuhan, yang bisa saja timbul dari individu atau
kelompok masyarakat, baik sebagai makhluk biologis maupun sebagai makhluk
sosial-budaya. Bisa dengan reaksi intelektual (akal-ilmiah) atau emosional
(rasa-ekspresi) yang didorong oleh kemauan atau kehendak (karsa) untuk
senantiasa berusaha memenuhi akan kebutuhan dan memecahkan berbagai
permasalahan yang ditemui. Tindakan berupa
kegiatan yang dimulai dari berfikir, merancang hingga mewujudkan benda-benda
bernilai, yang sebenarnya untuk memenuhi suatu kebutuhan adalah sebagai hasil
dari olah cipta, olah akal, olah rasa dan karsa. Setiap orang tentu ada
keinginan untuk bisa mengungkapkan tentang perasaannya, gagasannya,
tanggapannya, pendapatnya, sikap dan pengalamannya sebagai naluri yang
sebenarnya telah diwarisi secara turun-temurun.
Tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat
(1974) adalah:
- Pertama, sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya;
- Kedua, sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan yang berpola dari manusia
dalam masyarakat yang disebut sistem sosial;
- Dan ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia yang biasa disebut
kebudayaan fisik. Berupa hasil aktivitas manusia seperti benda-benda nyata atau
kasat mata, dapat diraba, dan difoto, mulai benda bangunan besar dan kolosal,
lalu candi-candi serta patung atau arca-arca, pakaian, perhiasan, hingga benda
yang kecil peralatan hidup sehari-hari, benda magis-spiritual, juga sampai pada
benda seni yang murni emosional.
Pandangan Koentjaraningrat tersebut dalam kenyataan hidup masyarakat
sehari-hari tampak sulit dibedakan satu dengan lainnya, karena bisa terjalin menjadi
suatu rangkaian yang tidak terpisahkan. Adat-istiadat kebiasaan dan kepercayaan
serta agama turut pula mengatur atau memberi arah kepada perbuatan yang
menghasilkan benda-benda fisik nyata sebagai wujud dari konsep yang dianggap
bernilai atau ideal. Kehadiran benda-benda tentu akan berakibat munculnya ide
atau gagasan baru atau benda-benda yang baru pula, demikian seterusnya dan bisa merupakan serangkaian sebab-akibat atau
sebagai proses pembelajaran menuju suatu yang lebih baik dan berkembang.
Kemampuan pembuatan produk kriya sudah tampak dalam periode budaya agraris
(agriculture), yang menunjukkan perkembangan peradaban. Perkembangan
yang secara umum diikuti oleh suatu peningkatan kebutuhan hidup yaitu seperti
keperluan terhadap peralatan pertanian, dapur, pakaian dan peralatan rumah-tangga
lainnya, sehingga orang kemudian memproduksi beberapa produk seperti: pisau
atau parang, cangkul, cawan, periuk, tempayan, pakaian, perhiasan, kursi dan
mebelair serta perabotan lainnya.
Salah satu cara yang paling penting
dalam hubungan antara manusia secara sosial adalah melalui perantaraan
benda-benda (produk). Budaya materi merupakan istilah bagi kajian hubungan
manusia-benda: kajian mengenai manfaat benda-benda atau objek-objek. Dengan
demikian budaya materi ini menjadi berguna, karena menunjukkan bahwa materi dan
budaya selalu berkombinasi dalam hubungan-hubungan yang spesifik dan bahwa
hubungan-hubungan ini dapat menjadi objek studi wilayah artefak yang dikenal
luas sebagai budaya materi yang mencakup: alat, peralatan, senjata, ornamen,
perkakas domestik, objek-objek relegi, barang-barang antik, artefak primitif,
bahan-bahan tradisi, dan lain-lain. Produk kekriyaan sebagai artefak merupakan
salah satu produk budaya materi yang sangat penting dan merupakan salah satu
sarana yang melaluinya dapat diperoleh sutu hubungan dengan masa lalu. Semenjak
produk kriya memainkan peran penting dalam kehidupan sosial di masa lalu,
misalnya keramik yang tahan waktu atau zaman telah menjadi suatu sumber data
yang bernilai untuk merekonstruksi kondisi sosial. Sehingga jejak-jejak
perubahan kebudayaan yang tercemin melalui pengalihan teknologi dan gaya
keramik dalam suatu masyarakat akan memberikan indikasi informasi yang bernilai
tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu. Telaah melalui perubahan
stifistik, morfologi, dan teknologi akan mencerminkan bagaimana pengaruh dari
pembuatan keramik yang inovatif dalam masyarakat maupun akibat-akibat dari
konteks sosial dan kultural. Oleh karena itu studi perubahan melalui produk keramik
atau melalui kajian terhadap sebab-akibat atau atas reaksi terhadap perubahan
tertentu dalam masyarakat pembuatnya akan memberikan informasi tersebut. Seperti juga
produk karya seni murni dan arsitektur, objek-objek yang dihasilkan secara
industrial dapat dilihat sebagai manifestasi perubahan dalam iklim mental dan sebagai
kehendak sejarah. Karena dalam perencanaan (desain)
yang merupakan upaya secara sadar untuk mengadakan tatanan yang bermakna,
sehingga bentuk dari artefak manusia, melalui desainnya, dapat dipahami khususnya dalam konteks waktu.
Semua kebudayaan secara konstan
berubah, tidak ada kebudayaan yang statis sepenuhnya. Bahkan dalam semua sistem
sosio-kultural juga selalu mengalami perubahan, walaupun tingkat dan bentuk
perubahan berbeda-beda dari situasi satu ke situasi lainnya. Banyak faktor yang
mempengaruhi tingkat perubahan seperti: perubahan dalam lingkungan fisik, jumlah,
penyebaran, komposisi penduduk, kontak dan isolasi, nilai dan sikap, struktur
sosial, kebutuhan yang dirasakan, adat-istiadat dan budaya. Sementara itu perubahan
pada umumnya akan mengikut sertakan modifikasi dalam lingkungan sosio-kultural
atau lingkungan fisik. Lingkungan sosio-kultural lebih menunjuk pada orang,
kebudayaan, dan masyarakat, sedangkan lingkungan fisik menunjuk pada tata
ekologi tertentu, baik alami maupun buatan manusia (Koentjaraningrat: 1984,
90).
Dalam studi perubahan produk kekriyaan,
ada tiga masalah teoritis yang perlu ditelaah dalam kaitannya dengan konteks
sosial dan kultural adalah: rangsangan terhadap perubahan, faktor internal dan
eksternal dalam proses perubahan, dan arah dalam proses inovasi. Proses
perubahan sosial dan kultural menunjukkan berbagai variasi seperti: penemuan,
invensi dan difusi. Penemuan adalah suatu kegiatan untuk menjadikan sadar atas
sesuatu, terkadang yang telah ada sebelumnya tidak dirasakan dan disadari.
Invensi adalah suatu kombinasi baru dari objek-objek atau pengetahuan yang
telah ada untuk membuat suatu produk baru atau merupakan suatu sintesis dari
bahan dan kondisi atau praktek yang ada sebelumnya. Dalam konteks seperti itu,
invensi dapat diartikan sebagai "pembuatan". Perubahan yang berkaitan
dengan konteks sosio-kultural tersebut, kaum intelektual berperan sebagai
pendahulu dalam pembentukan sistem pengetahuan masyarakat. Di samping itu
terdapat kelompok-kelompok pembawa budaya tertentu yang memiliki pengaruh besar
dalam menentukan kontur budaya konsumen sebagai konsekuensi kemampuannya di dalam
mempengaruhi perkembangan fashion,
gaya hidup, seni dan budaya.
Dalam pembentukan
selera kesenian, massa disini mempunyai peranan besar dan penting, sementara itu
para investor dan pasar juga ikut berperan besar sebagai pembuat cita rasa massa
dan pembentuk nilai-nilai budaya bangsa. Secara luas dibangun oleh kaum
intelektual yang mencakup: kriyawan, ahli, peneliti, sarjana, dan seniman serta
desainer sebagai sumber daya kreativitas. Daya kreativitas yang dimiliki kaum
intelektual tersebut pada gilirannya akan melahirkan berbagai inovasi baru.
Istilah inovasi seringkali digunakan
untuk mencakup hasil penemuan dan invensi tersebut, hal ini tentu merupakan
pikiran, perilaku, atau sesuatu yang baru, karena secara kualitatif berbeda
dari bentuk semula. Sehingga inovasi secara longgar dipandang sebagai adopsi
terhadap suatu proses dan bentuk yang baru. Inovasi merupakan suatu ide atau
konstelasi ide, tetapi beberapa inovasi yang melalui sifatnya kadangkala hanya
tinggal dalam organisasi mental, sementara yang lain mungkin merupakan bentuk ekspresi
yang tampak dan nyata.
Inovasi pada produk kriya tampak pada
munculnya proses dan bentukan produk baru, suatu produk yang berkembang yang
bersifat non-tradisional. Produksi bentuk-bentuk
non-tradisional ini didasarkan pada ide-ide dari luar yang tumbuh dari tuntutan
konsumen yang terus berubah. Untuk memahami perubahan produk kriya sebagai
konsekuensi adopsi inovasi, maka telaah yang memusatkan analisis pada
masyarakat, dengan memperhatikan pertama kali pada dasar teknik produksi ekonomisnya
adalah menjadi penting. Oleh karena dalam lingkup demikian terjadinya perubahan
akan dapat diamati dan dirumuskan tentang perubahan-perubahan seperti teknik
proses bahan baku, teknik produksi, mesin-mesin yang memproduksi, pakaian, perabotan,
perumahan dan sebagainya, juga merupakan teknik-teknik, dengan melalui
perubahan-perubahan
tersebut yang akan mempengaruhi masyarakat (Karl Mennhei, 1985: 119).
Di samping hal tersebut, dalam studi
perubahan produk kriya, ada tiga masalah teoritis yang perlu ditelaah dalam
kaitannya dengan konteks sosial dan kultural adalah sebagai rangsangan terhadap perubahan, faktor internal
dan eksternal dalam proses perubahan serta arah dalam proses inovasi. Berkaitan
dengan rangsangan perubahan tersebut, perlu juga memahami karakteristik dari kerajinan
tangan (skill) itu sendiri.
Secara etnografis faktor-faktor
eksternal mencakup berbagai aspek integrasi, ekonomi internasional, pengenaan
ekonomi uang komunikasi yang baik dan fasilitas transportasi, suatu peningkatan
dalam wisata nasional dan internasional, minimnya bahan bakar dan penebangan hutan
dan emigrasi dari daerah pedesaan ke kota-kota.
Tuntutan pasar dan pengembangan pasar
wisata merupakan dua kepentingan yang berkait dan berpengaruh pada sistem
produk kekriyaan. Sementara itu proses inovasi dan alasan mengapa kelompok
tertentu dalam suatu masyarakat memilih untuk memperbaharui pandangan inovasi
dalam masyarakat pertukangan atau perajin mencakup dua hal: yakni dari atas ke
bawah dan dari bawah ke atas. Inovasi dari atas ke bawah terjadi manakala
pekerja senirupa ahli yang kaya, atau paling tidak telah mapan dalam
perdagangannya terikat dalam inovasi. Inovasi dari bawah ke atas melibatkan hal
baru, bentuk-bentuk luar yang menduduki sesuatu yang baru, yang tidak memanfaatkan
celah ekonorni sebelumnya. Proses inovasi dari atas ke bawah melibatkan
pengawasan negara sebagai suatu mekanisme dari atas ke bawah yang membimbing
inovasi. Sementara itu proses inovasi dari bawah ke atas
berasal dari sumber-sumber di luar kontrol negara.
Evidensi inovasi dari
bawah ke atas makin tampak dalam gabungan "orang-orang biasa" dan melibatkan
perubahan yang mempertinggi jaminan ekonomi mereka. Sedangkan arah inovasi
berkaitan dengan suatu kombinasi antara ekonomi dan
martabat (prestise), di satu
sisi pembaharuan itu mernperoleh keuntungan secara ekonornis dan disisi lain
mempersyaratkan kepedulian terhadap aspek-aspek kultural yang ada.
Benda-benda fisik yang mempunyai nilai fungsi atau bermanfaat ganda baik
untuk perlengkapan hidup sehari-hari maupun untuk keperluan khusus misalnya
untuk tujuan keindahan atau dekoratif (pajangan) pada awalnya disebut sebagai
benda-benda kriya. Benda-benda kriya
yang berasal dari daerah-daerah merupakan lambang atau citra dan cita rasa
masyarakat daerah tersebut, sesuai dengan kepribadian masyarakat
dilingkungannya yang tentunya ada perbedaan sedikit atau banyak dengan
masyarakat daerah lainnya, karena adat kebiasaan atau kepercayan-agama atau
kompleks sistem referensi yang bisa juga berbeda satu dengan yang lain. Semakin
khusus dan khas gaya yang dimiliki benda atau produk kriya maka semakin mudah
dikenali dan mentradisi serta berkembang mencapai puncak mutu dan kejayaan
serta kemudian menjadi bersifat klasik. Lalu bagaimanakah kelanjutan benda-benda
kekriyaan dengan wacana kekinian dengan wawasan intelektual (ilmiah) sesuai
dengan kebutuhan masyarakat modern di era global ? Untuk menjawabnya diperlukan
pemahaman dan wawasan tentang kekriyaan itu sendiri, terutama bagi para
kriyawan muda, pengusaha, pelaku pasar, mahasiswa dan calon mahasiswa, serta
perajin untuk dapat memberikan arah dalam pengembangan kriya masa depan.
Apalagi kini berkembang wacana dan perdebatan-perdebatan dikalangan praktisi
dan akademisi, tentang berbagai hal tentang hasil karya dan konsep pengembangan
serta pendidikan di perguruan tinggi
seni. Lalu bagaimanakah kelanjutan benda-benda (produk) kriya dengan wacana
kekinian dengan wawasan intelektual (ilmiah) sesuai dengan kebutuhan masyarakat
modern di era global ? Untuk menjawabnya tentu diperlukan pemahaman dan wawasan
tentang kekriyaan itu sendiri, terutama bagi para kriyawan muda, pengusaha,
pelaku pasar, mahasiswa dan perajin untuk dapat memberikan arah dalam
pengembangan kriya masa depan. Apalagi kini berkembang wacana dan perdebatan
dikalangan praktisi dan akademisi, tentang berbagai hal tentang hasil produk kriya
dan konsep pengembangannya serta
pendidikan di perguruan tinggi seni.
Kekriyaan memiliki flesibilitas yang tinggi, bisa berupa
kecendrungan-kecendrungan, bisa perpaduan atau tergantung dari cara mendudukannya
serta wawasan yang dipergunakan oleh seniman atau perajin atau desainer. Pemahaman tentang kriya perlu
diperjelas dan terarah, sehingga sesuai dengan kebutuhan yang makin berkembang
dan kompleks seperti kondisi masyarakat saat kini. Pengembangan seni menuju spesialisasi kriya, adalah wacana
keilmuan yang khas. Untuk bisa eksis
secara mandiri, tentunya tidak berada dalam pengertian senirupa umum (awam)
yang sepertinya tumpang- tindih (overlaping).
Wawasan dan pengertian yang jelas akan kekriyaan sangat dibutuhkan, untuk dapat
menentukan sikap yang profesional bagi mereka yang menekuni kekriyaan.
Pustaka Buku Kekriyaan
agus mulyadi utomo : goesmul@gmil.com / Hidup dan Seni / Produk Kekryaan
Anonim,
2006. Jurnal Ilmu Desain, dalam :
Imam Buchori Zainudin, Desain, Sains Desain dan Sains
tentang Desain: Telaah Filsafat Ilmu. hal. 17 –
34
Anonim, 2006. Jurnal Ilmu Desain, Widagdo, Estetika Dalam Perjalanan Sejarah: Arti dan Peranannya dalam Desain. hal. 3-16
Anonim, 1995. Creativity
and Madness: Psychological Studies of Art and Artist Burbank, Aimed Press, hal.18
Anonim, 2005, BAHASA
DAN SENI, Tahun 33, Nomor 1, Februari 2005
Astuti, Ambar. 1997. Pengetahuan Keramik. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
Atmosudiro, Sumijati, dkk, Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya, SPSP. Prv.JawaTengah dan Jur.
Arkeologi FIB-UGM
Atmosudiro,
Sumijati. 1984. Notes on the
Tradition of Pottery Making in the Region of Kasongan, Regency of Bantul.
dalam Satyawati
Donald
Tamplin. 1991. The Arts: A History of
Expression in the 20th Century. London: Harrap, hal. 7
Enget,dkk, 2008. Kriya
Kayu untuk SMK, Jilid 2, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional, hal. 421 – 424.
Francis, Abraham M. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga:
Suatu Teori Umum Pembangunan. Yogyakarta.
Feldman,
B.F. 1967. Art As Image and Idea. Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice Hall Inc.
Gustami, Sp. 1985. et al., Pola Hidup dan Produk
Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian Pengkajian
Kebudayaan Nusantara.
Gustami, Sp. 1988. Seni Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta: Kontinuitas
dan Perubahannya , Tesis S2 Universitas Gajah Mada.
Haryono, Bedjo. 1995-1996. Pembuatan Kerajinan Tanah Liat
Tradisional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian Proyek
Pembinaan Permuseuman DIY.
Konperensi Kriya, 1999. Tahun Kriya dan Rekayasa 1999, Institut Teknologi Bandung, 26 Nov” 99.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan. Gramedia Jakarta.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. (Terj.
Hasti T. Champion), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Manhei, Karl. 1985. Sosiologi Sistematis.
(Terj: Soerjono Soekanto), Rajawali, Jakarta.
Manuaba, Bunga Rampai Ergonomi Vol.
1, Kumpulan Artikel PS Ergonomi – Fisiologi Kerja, Unud Denpasar, 1998,
Hal. 1
Manuaba, Catatan Kuliah S-2 Ergonomi, 2006
Muchtar, Bud. 1991. Daya Cipta di Bidang Kriya dalam Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. B.P. ISI. Yogyakarta.
Munro,
Thomas,1969. The Arts and Their
Interrelations. Cleveland and London: The Press of Case Western Reserve
University
Soegondho, Santoso. 1995. Tradisi Gerabah di
Indonesia: Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Kini. Himpunan
Keramik Indonesia, Jakarta.
Stark,
Miriam T. and William A. Longacre. 1993. Kalinga
Ceramics and New Technologies: Social and Cultural Contexts of Ceramics Change,
dalam W. D. Kingery (Ed), Ceramics and Civilizition: The Social and Cultural
Contexs of New Ceramic Technologies. Volume VI, The American Ceramic
Society, Westerville, OH.
Sritomo W. Subroto, Proceeding Seminar Nasional Ergonomi
2006, 21-22 Nopember 2006, Auditorium Ged. A-D Usakti, Jakarta, hal. 11
Soedarso Sp., 1987. Tinjauan Seni: Pengantar Apresiasi Seni,
Saku Dayar Sana, Yogyakarta
Tamplin, Donald, 1991. The Arts: A History of Expression in the 20th Century.
London: Harrap
Virshup,
Evelyn,1995. Jackson Pollok Art Versus Alchohol. dalam Barry Panter dan Virshup.
Creativity and Madness: Psychological Studies of Art and Artist. Burbank: Aimed Press,
1995.
Wiyoso
Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Wiyoso Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,
hal.151.
Yuswadi
Saliya, 1999. Pendekatan Interdisiplin dalam Desain: Suatu Penjelajahan Awal. Hal. 785 – 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar