AL- QUR’AN - HADITS
oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni/blogspot.goesmul.com.islam
goesmul@gmail.com
Al-Qur’an adalah kitab suci
ummat Islam yang diwahyukan Allah kepada Muhammad melalui
perantaraan Malaikat Jibril. Hadits ialah
himpunan dari pada pengisahan dan keizinan (persetujuan) Nabi SAW. Walaupun terdapat sedikit perbedaan antara takrif hadits dengan takrif
sunnah yang diuraikan, dimana perkataan-perkataan sunnah dan hadits boleh
saja ditukar-ganti ketika merujuk kepada hal bersifat tradisi-tradisi. Ajaran
Islam dalam Al Qur’an mengandung tiga unsur pokok antara lain: Aqidah
(aka’id) ± 48,5%, Akhlak
(attitude) ± 48,5%, dan Fikih
(hukum) ± 3%. Semua merupakan ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an, kemudian diperjelas dengan hadits Nabi SAW. Sesudah masa sahabat dan tabi’in,
muncul kemudian mazhab fikih, yang
pengertiannya adalah “tempat tujuan atau rujukan pemahaman hukum Islam”.
Pembahasan juga dilanjutkan tentang Abu
Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali (1058-1111), Ulama besar yang
dikenal dengan sebutan Hujjatu’l – Islam (pembela Islam)
yang dilahirkan tahun 1058 di Kota Thus,
Khurasan, Iran bagian utara.
Secara harfiah Qur’an
berarti bacaan. Namun walau terdengar merujuk ke sebuah buku / kitab, ummat
Islam merujuk Al-Qur’an sendiri lebih
pada kata-kata atau kalimat di dalamnya, bukan pada bentuk fisiknya sebagai
hasil cetakan. Ummat Islam percaya bahwa Al-Qur’an
disampaikan kepada Muhammad melalui malaikat Jibril. Penurunannya sendiri terjadi
secara bertahap antara tahun 610 hingga hingga wafatnya beliau 632 M. Walau Al-Qur’an
lebih banyak ditransfer melalui hafalan, namun sebagai tambahan banyak pengikut
Islam pada masa itu yang menuliskannya pada tulang, batu-batu, kulit dan
dedaunan. Ummat Islam percaya bahwa Al-Qur’an
yang ada saat ini persis sama dengan yang disampaikan kepada Muhammad, kemudian
disampaikan lagi kepada pengikutnya, yang kemudian menghapalkan dan menulis isi
Al Qur’an tersebut. Secara umum para
ulama menyepakati bahwa versi Al-Qur’an
yang ada saat ini, pertama kali dikompilasi pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan (khalifah Islam ke-3) yang
berkisar antara 650 hingga 656 M. Utsman bin Affan kemudian mengirimkan duplikat
dari versi kompilasi ini ke seluruh penjuru kekuasaan Islam pada masa itu dan
memerintahkan agar semua versi selain itu dimusnahkan untuk keseragaman[1].
Al-Qur’an memiliki 114 surah, dan
sejumlah 6.236 ayat (terdapat perbedaan tergantung cara menghitung)[2].
Hampir semua muslim menghafal (setidaknya bacaan dalam shalat) beberapa bagian dari keseluruhan Al-Qur’an, ada juga yang menghafalkan keseluruhan Al-Qur’an dikenal sebagai hafiz (jamak:huffaz). Pencapaian ini bukanlah sesuatu
yang mustahil, dipercayai bahwa saat ini terdapat jutaan penghapal Al-Qur’an diseluruh dunia. Di Indonesia ada lomba Musabaqah Tilawatil Qur’an yaitu lomba
membaca Al-Qur’an dengan tartil atau baik dan benar. Yang
membacakan disebut Qari (pria) atau Qariah (wanita). Muslim juga percaya
bahwa Al-Qur’an aslinya hanya berbahasa
Arab. Al-Qur’an itu kini banyak diterjemahkan
kedalam berbagai bahasa untuk memudahkan dalam
pemahamannya, karena itu terjemahan memiliki kedudukan sebagai komentar
atau tafsir terhadap Al-Qur’an, sebagai
hasil usaha untuk mencari makna Al-Qur’an.
Al Qur’an menurut bahasa
adalah “Quran” atau “koran” yang
berarti ‘bacaan”, merupakan kitab suci ummat Islam, yakni berupa kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, merupakan mukjizat yang
diturunkan dengan wahyu, dan berpahala (merupakan ibadah) bagi yang membacanya.
Al Qur’an sebagaimana yang dikenal
dan tertulis dalam mushaf tersusun
dalam 30 juz, terdiri dari 114
surat dan mempunyai sebanyak ± 6.236 ayat, ada 77.473
kata dan 323.071 huruf. Dari
ejaannya ada berjumlah 332.588 huruf
dan 156.081 titik.[3] Al Qur’an merupakan sumber induk , pokok
/ dasar ajaran Islam, berisi firman-firman Allah,
memberikan perintah dan petunjuk dengan jelas, namun diantaranya ada yang
memerlukan pengaturan dan petunjuk serta
penafsiran rinci berupa sunnah (hadits) Nabi SAW dalam hal untuk
pelaksanaannya.
Kapan Al Qur’an diturunkan ? Diturunkan
kepada Nabi SAW pada malam Senin,
tanggal 17 bulan Ramadhan,
di malam Qadar, dan hal itu terjadi di Gua Hira’, di Mekkah Al-Mukarramah, yaitu 13 tahun sebelum hijrah ke Madinah serta bertepatan
dengan tanggal 6 Agustus tahun 610 Masehi. Bagaimana Al
Qur’an itu diturunkan ? Al Qur’an diturunkan melalui beberapa
proses dan fase tanpa berkurang
keasliannya[4].
1) Fase
pertama, semasa Rasullulah, Al Qur’an diturunkan melalui Jibril
Alaihissalaam, kemudian Nabi SAW membacakan ayat-ayat yang diturunkan
tersebut kepada para sahabatnya. Diantara mereka ada yang menghafalkannya
sekaligus menuliskannya. Nabi SAW
hanya menjelaskan tata letak, urutan dan susunan ayat atau surah, sebagaimana
yang diwahyukan kepadanya. Kendati proses arsip Al Qur’an dalam hafalan dan tulisan itu, Jibril selaku perantara dan penyampai wahyu selalu mengevaluasi dan
mengulanginya setiap tahun pada bulan Ramadhan. Begitu pula sehabat-sahabat
Nabi yang menghafal dan menuliskan Al
Qur’an, mereka selalu melakukan rujukan langsung kepada Nabi SAW.
2) Fase
kedua, sepeninggal wafatnya Rasulullah
SAW , Abu Bakar Ash-Shidiq
selaku khalifah memimpin para sahabat
yang menghafal Al Qur’an untuk
menuliskan Al Qur’an dan
mengumpulkannya dalam satu mushaf
dengan penuh kecermatan dan ketelitian.
3) Fase
ketiga, pada masa pemerintahan khalifah Utsman Bin ‘Affan r.a, beliau memimpin
para sahabat yang hafal Al Qur’an
menuliskannya kembali yang telah terkumpul menjadi satu mushaf pada zaman Abu Bakar r.a. kedalam mushaf yang seragam dalam bacaannya (Qira’ah), sehingga tidak ada lagi perbedaan di kalangan ummat Islam
mengenai bacaan Al Qur’an. Pada masa tabi’in (generasi setelah sahabat),
dimulailah masa penulisan Al Qur’an
seiiring dengan perkembangan yang terjadi di masa itu, ditulis dalam jumlah
besar, mushaf Al Qur’an dan juga
tafsir-tafsirnya.
Ahli Tafsir
Terdapat beberapa ahli tafsir Al Qur’an yang terkenal dari kalangan
sahabat ialah Abu Bakar Ash-Siddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin
Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit, Abu Musa Al-‘Asy’ary, Abdullah bin Zubair. [5] Pada masa sahabat
itu pula muncul ulama ahli Qira’at
(ahli membaca Al Qur’an) yang membawa
metode pembacaan Al Qur’an
sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah.
Sejarah pembukuan Al Qur’an semakin
mencapai keemasannya, seiring dengan perkembangan teknologi percetakan dan
diperkirakan telah tercetak lebih dari ratusan juta Mushaf sampai sekarang.
Disamping itu penghafalan Al
Qur’an (Huffadz) yang jumlahnya
sangat banyak juga memiliki andil dalam menjaga keaslian kitab suci. Ditinjau
dari turunnya (Nuzuul) ada dua macam
surah dalam Al Qur’an, yaitu:
1) Surah Makiyyah adalah surah yang
turun di Makkah sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah berjumlah 86 surah.
2) Surah Madaniyyah adalah surah yang
turun di Madinah Al Munawarah sesudah Nabi SAW
hijrah, jumlahnya ada 28
surah.
Membaca ayat-ayat suci Al Qur’an tanpa mengerti artinya pun
sudah dianggap ibadah, apa lagi bagi yang mengerti, begitulah kemurahan Allah SWT. Maksud diturunkannya bukan
hanya untuk dibaca saja, tetapi juga untuk dimengerti, direnungkan
kandungannya, dan diamalkan pesannya. Dalam Q.S.
56: “Sesungguhnya
Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia (77). Pada
kitab yang terpelihara (78). Dan tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba
yang disucikan / Al-muthahharuun (79).”
Penulis Wahyu
Para penulis wahyu yang terkenal
dikalangan para sahabat diantaranya: Ali
Bin Abi Thalib, Mu’awiyyah Bin Abi Sufyan, Ubay Bin Ka’ab, Zaid Bin Tsabit
Al-Anshary, Mu’adz Bin Khathab, Utsman Bin ‘Affan, Abdullah Bin Mas’ud..
Imam Al-Hafidzh Al-‘Iraqy menyebutkan
ada empat puluh dua (42) penulis wahyu yang diangkat oleh Rasulullah SAW.
As Sunnah dan
Al Hadits
Sunnah berarti “cara” atau “kebiasaan”,
dengan demikian sunnah Nabi berarti
“cara Nabi”, atau apa yang biasa dikenali sebagai kebiasaan Rasul. Secara bahasa, As Sunnah adalah “ath-thariqah” yang berarti keberfaedahan (kebergunaan), kebiasaan,
perjalanan hidup, atau perilaku baik yang terpuji maupun yang tercela. Kata sunnah berserta segala penjelasannya
yang disebutkan berulang-ulang dalam hadits,
yang arti asalnya ialah ‘perjalanan hidup’ dan ‘perilaku’. Dalam istilah Sunnah Waljamaah, menurut para ahli hadits, sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW dan merupakan perkataan,
perbuatan, ketetapan, pribadi, akhlak,
dan prilaku baik sebelum maupun sesudah menjadi Rasul. Dalam hal ini, Mushtafa
as-Sibai bahwa “As Sunnah wa
Makanatuha Fit-Tasyri’il Islami”, yaitu pengertian sunnah adalah sama dengan hadits
(Sunnah ini disampaikan melalui
persetujuan para sahabat Rasul).
Dengan demikian sunnah merupakan
sumber kedua perundangan Islam sesudah Al-Qur’an,
dan dimasukkan dalam kebanyakan buku yang berkenaan dengan hadits. Sunnah dianggap
sebagai wajib oleh kebanyakan orang muslim, manakala sekelompok pengikut mazhab Al-Qur’an saja yang menolak sunnah
dan hadits sebagai sumber untuk
bimbingan ilmu Ketuhanan atau hukum agama. Dan sunnah banyak didukung oleh gerakan liberal dalam Islam dan berpendapat bahwa sunnah bersifat amalan yang harus dipatuhi dalam setiap amalan sholeh dan peribadatan, tetapi boleh
dipersoalkan dalam undang-undang Islam.
Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan satu kesatuan. Tidak
mungkin memahami Al-Qur’an secara
mutlak tanpa As-Sunnah. Kita tidak
dapat meninggalkan As-Sunnah hanya
karena telah mendapatkan sedikit penjelasan dalam satu ayat Al-Qur’an. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
adalah menguatkan, menjelaskan (tabyin),
merinci (tafshil), mengkhususkan (takhshish), atau membatasi (taqyid) syari’at yang terdapat dalam Al
Qur’an
Hadist juga disebut sunnah, namun ulama ada yang
membedakannya, dimana sunnah lebih
luas cakupannya. Sebab sunnah
tidaklah terbatas hanya ucapan, perbuatan, dan taqrir dari Nabi Muhammad SAW, tetapi menyangkut juga sifat
kelakuan, dan perjalanan hidup sebelum dan sesudah menjadi Rasul.
Hadits-hadits dapat dikelompokkan mengikuti
statusnya yang berhubungan dengan teks (matn)
dan rentetan cara penyampaiannya (isnad).
Ahli-ahli hadits telah mempelajari
atau mengaji sunnah, baik dari segi
konteks (matn) maupun dari segi
penyampaiannya untuk menentukan apa yang benar dan apa yang palsu dalam hadits-hadits itu. Kajian tersebut telah
mempengaruhi perkembangan falsafah muslim awal serta juga perkembangan
saintifik modern. Melalui penyelidikan tentang para penyampai hadits (isnad), para ahli hadits
telah membuat sebuah sistem untuk mengetahui kategori-kategori hadits yang berbeda, serta bagaimana
menilai teksnya (matn) supaya dapat
menentukan adakah teks itu betul dan benar, baik, lemah, atau pun palsu.
Nabi Muhammad
(570-632) adalah nabi terakhir dalam ajaran Islam dimana mengakui kenabiannya
merupakan salah satu syarat untuk dapat disebut sebagai seorang muslim (lihat syahadat). Dalam Islam Muhammad tidak
diposisikan sebagai seorang pembawa ajaran baru, melainkan merupakan penutup
dari rangkaian nabi-nabi yang diturunkan sebelumnya.
Terlepas dari
tingginya statusnya sebagai seorang Nabi, Muhammad dalam pandangan Islam adalah
seorang manusia biasa. Namun setiap perkataan dan perilaku dalam kehidupannya dipercayai merupakan
bentuk ideal dari seorang muslim. Oleh karena itu dalam Islam dikenal istilah hadits yakni kumpulan perkataan (sabda),
perbuatan, ketetapan maupun persetujuan Muhammad. Hadits adalah teks utama (sumber hukum) kedua agama Islam setelah
Al Qur’an.
Hadits, menurut bahasa berarti “kabar”, “berita”, “laporan”.
Dalam tradisi ilmu Islam, hadits adalah
‘berita” atau “laporan” tentang perkataan
(qawl), perbuatan (fi’l), dan persetujuan (taqrir) Nabi Muhammad SAW. Berbeda dengan Al Qur’an, hadits tidak
dicatat secara teliti pada masa Nabi masih hidup, bahkan beliau melarang
penulisan hadits karena khawatir
tercampur dengan Al Qur’an.
Penyampaian hadits terjadi melalui
pemberitaan dari mulut ke mulut berdasarkan tradisi hafalan. Para ushul
fikih mengartikannya lebih sempit terbatas pada ucapan, perbuatan, dan taqrir yang berkaitan dengan hukum
Islam. Sebagai pengatur undang-undang dan dasar untuk berijtihad. Sedang ulama hadist
memandang Nabi Muhammad SAW sebagai
panutan ummat manusia.
Fungsi hadits
adalah sebagai sumber ajaran Islam. Hadits menduduki urutan ke dua setelah Al Qur’an. Sedangkan fungsi utama hadits adalah menjelaskan kandungan Al Qur’an. Menurut para ulama, bentuk
dan penjelasan hadits antara lain:
1) Bayan taqrir atau bayan ta’ki, yaitu memperkuat ketentuan yang sudah dijelaskan Al Qur’an.
2) Bayan tafsir, bayan
tawdhih atau bayan tafshil, yaitu menjelaskan atau memerinci apa yang
dalam Al Qur’an disebutkan secara
garis besar dan umum.
3) Bayan tasyri’, yaitu menetapkan
hukum yang tidak terdapat dalam Al Qur’an.
4) Bayan tabdil atau bayan nasakh, yaitu menggantikan ketentuan
dalam Al Qur’an dengan ketentuan
baru.
5) Bentuk kedua dan
ketiga diperselisihkan di kalangan ulama.[6]
Upaya pembukuan hadits
diprakarsai oleh Khalifah Umar Ibn Abdu’l Aziz
(682-719 M) dari Dinasti Umawiyah. Ia memerintahkan Gubernur Madinah, Abu Bakr
Ibn Muhammad Ibn Amer Ibn Hazmin (wafat tahun 739 M) yang alim untuk mencatat
dan membukukan hadis dari beberapa
penghafal hadis Madinah, antara lain
terdapat ulama wanita, Amrah binti Abdu‘l-Rahman Ibn Sa’ad Ibn Zurarah Ibn Ades
(642-724 M), dan Al Qasim Ibn Muhammad Abu Bakr Al Shiddiq (wafat th 725 M). Khalifah
Umar juga meminta gubernur lainnya untuk melakukan hal yang sama. Salah
seorang ulama yang terpanggil untuk membukukan hadis adalah Al Imam Muhammad
Ibn Muslim Ibn Syihab Al Zuhri (669-742 M). Usaha Al Zuhri diteruskan
oleh ulama sesudah dia. Mereka yang tergolong generasi awal pengumpul hadis adalah Ibnu Juraij (wafat th 768
M) di Mekkah, Ibnu Ishaq (wafat 798 M) dan Malik bin Anas (703-798 M) di
Madinah, Sa’id Ibn Abi Arubah (wafat 773 M), Al Rabi’ Ibn Shabih (wafat 777 M),
dan Hammad Ibn Salamah (wafat th 789 M) di Basrah, Sufyan Al Tsauri (wafat 778 M) di Kufah, Al Auza’i
(707-773 M) di Syam, Husyaim Al Wasithi (772-804 M) di Wssith, Ma’war Al Azdi
(753-770 M) di Yaman, Jarir Al Dhabbi (728-804 M) di Rei, Ibnu Mubarak (735-797
M) di Khurasan, dan Al Laits Ibn Sa’ad (794 M) di Mesir.[7] Peninggalan generasi ini cukup penting
dan sampai di tangan generasi sekarang dalam bentuk kitab Al-Muwaththa karya Imam Malik bin Anas dan Al-Maghazi karya Ibnu Ishaq.
Kitab Hadits setelah
generasi abad ke dua hijrah, lahirlah
berbagai kumpulan hadis yang
jumlahnya cukup banyak. Kumpulan hadis
itu secara garis besar dibagi dalam tiga jenis, yaitu:[8]
1) Kitab-kitab Shahih yang memuat hadis shahih saja;
2) Kitab-kitab Sunan yang memuat hadis kurang shahih dengan menyebut kelemahannya;
3) Kitab-kitab Musnad memuat hadis tanpa penyaringan dan penjelasan shahih tidaknya.
Dari puluhan kitab hadits,
lima diantaranya disebut Al-Ushulu‘l-Khamsah (pokok-pokok yang lima) atau Al-Kutubu‘l-Khamsah
(kitab-kitab yang lima) yaitu:[9]
(1) Shahih Al Bukhari (kumpulan Imam
Bukhari 810-870 M), berisi 7.275 hadits seleksi
dari 600.000 hadits.
(2) Shahih Muslim (kumpulan Imam
Muslim 820-875 M), jumlahnya dikalangan ulama ada yang berbeda, Muhammad Ajaj
al Khotib (Profesor Universitas Damsyik) berjumlah 3.030 tanpa pengulangan dan
dengan ulangan 10.000 hadist.
Sedangkan al Khuli (ulama ahli hadits
Mesir) berisi 4.000 tanpa pengulangan dan dengan pengulangan 7.275 hadits.
(3) Sunan Abi Dawud (kumpulan Abu
Daud 817-899 M), berisi 4.800 dari hasil seleksi 500.000 hadits yang dihafal oleh Abu Daud. Kitabnya dinamakan sunan karena mengemukakan penjelasan
ketidaksohihhan dan yang shohih serta banyak berkaitan dengan masalah hukum.
(4) Sunan Al Tirmudzi (kumpulan Imam
Turmudzi 829-892 M), disebut kitab sunan
karena menjelaskan tentang rawi dan
derajat haditsnya. Cakupan bahasannya
meliputi masalah keimanan (al-‘aqidah),
pemberi rizki (ar-rozzaaq), etika
makan minum (adab at ta’am wa asy-syurb),
hukum (al-ahkam), dan tafsir, sejarah
serta biografi (at-tafsiir wa at-tariikh
wa as- sayr)
(5) Sunan Al Nasa’i (kumpulan Imam
Nasa’i 835-916 M), memuat 5.761 hadits,
baik hadits yang hasan dan shohih , maupun
hadits dhoif.
Dan Bila kelima kumpulan hadits
itu, ditambah satu kumpulan lagi disebut Al Kutubu‘l-Sittah (kitab-kitab yang
enam):
Sunan Ibnu Majah (kumpulan Imam Ibnu Majah 829-886 M).
Berisikan selain memuat hadits shohih
dan hasan, juga memuat hadits dhoif dan hadits mungkar (yang sangat lemah). Kitab ini sebagai pelengkap
karena menghimpun hadits yang tidak terdapat pada kitab yang lainnya.
Klasifikasi Hadits
Para ahli hadis memilah hadis dalam berbagai klasifikasi, yakni sebagai berikut: [10]
- Pertama dari segi sandaran dikenal dengan:
1) Hadis marfu’, hadis
yang dinisbahkan langsung kepada
Nabi;
2) Hadis mawquf, hadis
yang dinisbahkan kepada sahabat;
3) Hadis mungathi’, hadis yang dinisbahkan hanya kepada tabi’in (orang hidup semasa sahabat Nabi
tapi tidak semasa Nabi) .
- Kedua dari segi ketersambungan periwayat (rawi) hadis
dikenal:
1) Hadis muttasil, hadis para
periwayatnya bersambung tanpa putus sampai kepada Nabi;
2) Hadis mungathi’, hadis
yang salah seorang periwayatnya hilang
sehingga hadis itu terputus;
3) Hadis mu’dhal, hadis
yang dua orang periwayatnya secara berurutan hilang.
- Ketiga, dari segi jumlah periwayatnya, dikenal dengan:
1) Hadis mutawatir, hadis yang jalur periwayatnya sangat
banyak sehingga tidak mungkin ada kesepakatan untuk membikin hadis;
2) Hadis masyur, atau hadis mustafidh yang periwayat lapis pertama atau keduanya terdiri dari
beberapa orang;
3) Hadis ‘azis yang
jalur periwayatnya hanya dua periwayat;
4) Hadis gharib adalah hadis
yang hanya mempunyai satu jalur periwayatan.
-
Klasifikasi keempat, dilihat dari keabsahan hadis, antaranya ada beberapa tingkatan yaitu:
1) Hadis shahih, yaitu
yang jalur periwayatnya bersambung atau perawinya tidak diragukan dari segi
kepercayaannya dan kekuatan hafalannya serta tidak mempunyai cacat moral lainnya;
2) Hadis hasan yang
mempunyai jalur periwayatan
1. bersambung tetapi
salah satu perawinya sedikit diragukan;
3) Hadis dha’if , hadis
yang jalur periwayatannya terputus atau perawinya tidak bisa dipercaya baik
dari segi hafalan maupun moral;
4) Hadis mawdhu’, hadis palsu yang sengaja dibikin-bikin.
Ilmu-ilmu Hadits
Dalam proses pengumpulan dan penelitian hadis, lahirlah ilmu-ilmu hadis atau Ulumu ‘l-Hadits, yaitu pembahasan sistematika dari berbagai aspek
dan problema hadis. Secara garis
besar dibagi dua yaitu ilmu hadis Riwayah dan Dirayah.[11] Riwayah membahas segi ketersambungan hadis dengan Nabi Muhammad SAW, baik berkaitan dengan keadaan
periwayatannya, keterpercayaan dan kekuatan hafalan mereka maupun yang
berkaitan dengan kedua aspek itu. Sedangkan Dirayah
membahas pengertian teks hadis
berdasarkan kaidah bahasa, agama, dan sesuai dengan konteks kehidupan Nabi. Dan
oleh ulama ahli hadis dirinci dalam
beberapa cabang ilmu hadis,
diantaranya: [12]
1) Ilmu Rijali‘l-Hadis yaitu pembahasan teliti
tentang periwayat hadis sejak
generasi sahabat Nabi hingga sesudahnya;
2) Ilmu‘l-Jarhi wa‘l-Ta’dil, pembahasan tentang
segi positif atau negatif periwayat hadis
berdasarkan kriteria khusus yang membuat riwayat yang mereka sampaikan dapat
diterima atau harus ditolak;
3) Ilmu Fanni‘l-Mubhamat membahas nama-nama yang
tidak disebutkan secara jelas, baik dalam sanad
maupun dalam matan atau teks hadis;
4) Ilmu‘l-Tashhif wa‘l-tahrif, pembahasan
perubahan teks hadis;
5) Ilmu ‘Ilali‘l-Hadis membahas sebab-sebab
tidak terlihat yang menyebabkan hadis menjadi cacat;
6) Ilmu Gharibi‘l-Hadis membahas tentang
pengertian kata dalam teks yang sukar diketahui maknanya atau jarang digunakan
dalam masyarakat;
7) Ilmu Asbabi Wurudi‘l-Hadis membahas konteks
penuturan sebuah hadis, baik berupa
sebab mengapa hadis itu diucapkan
maupun masa yang berkaitan dengan hadis
itu;
8) Ilmu Mushthalah Ahli Hadis yang membahas
terminologi yang dipergunakan para ahli hadis;
9) Ilmu Talfiqi‘l-Hadis yang membahas metode
penyesuaian beberapa hadis yang
bertentangan yang disebut ilmu Mukhtalifu‘l-Hadis;
10) Ilmu‘l-Naskh wa ‘l-Mansukh yaitu pembahasan hadis yang masih diberlakukan atau
tidak, dan hadis yang menyebabkan hadis lain tidak berlaku lagi.
[1] Al-Qaththan, Syaikh Manna' Khalil. Mahabits fi 'Ulum Al-Qur'an (Pengantar Studi Ilmu Al-
Qur'an), Pustaka Al-Kautsar, 2006, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar