Keramik Indonesia Zaman Kerajaan Hindu dan Budha
Sejarah pada umumnya
menunjukkan, bahwa agama dan kepercayaan merupakan motivator penting dalam
pembuatan barang dan seni, misalnya seni primitif, seni Indonesia Hindu dan
Budha, seni Islam dan sebagainya.
Pada masa awal pengaruh agama
Hindu, pembuatan batu untuk bangunan – bangunan besar sangat menonjol.
Peninggalan zaman itu, misalnya pada Lima Gundukan, bekas bangunannya menggunakan bata berbagai ukuran, yang
terbuat dari tanah liat dicampur dengan kulit padi (sekam). Para ahli dari
Museum Jakarta, memperkirakan bangunan tersebut adalah peninggalan dari
zamannya kerajaan Tarumanegara, tahun 500 Masehi. Bata dibuat secara besar –
besaran untuk memenuhi kebutuhan bangunan – bangunan besar sebagai pengganti
batu, terutama pembuatan candi – candi di daerah Jawa Timur sampai abad ke XV
Masehi, terutama zaman kerajaan Majapahit.
Agama Hindu dan Budha, lebih
cenderung pemakaian batu dan logam untuk memvisualisasikan cita rasa
keagamaannya. Seni dari zaman Indonesia Hindu yang berkembang kemudian tidaklah
banyak memberikan dorongan dalam pengembangan keramik, baik dari segi teknis
maupun perwujudan bentuk dan dekorasinya. Akan tetapi pada akhir periode seni
Jawa Hindu, yaitu zaman kerajaan Majapahit tampak sedikit adanya perkembangan.
Keadaan alam disekitar
kerajaan Majapahit, diperkirakan tidak banyak menyediakan batu – batuan, sehingga para seniman dan tukang di zaman itu
beralih ke bahan tanah liat untuk memenuhi berbagai barang kebutuhan bangunan,
alat rumah tangga (tempat makan dan minum) dan sebagai benda spiritual atau
keagamaan.
Pada zaman Majapahit, barang
– barang gerabah atau terracotta memperlihatkan kepekaan yang tajam
terhadap perlakuan bahan, karakter tanah liat sangat menonjol. Perhatian yang
besar terhadap terracotta yang
dipijar antara 400 - 1000º C, menampakkan perwatakannya yang khas tanah liat.
Disamping itu, zaman tersebut sedikit mendorong pengembangan teknik pembuatan
dan glasir sederhana suhu rendah. Menurut J.C.
Van Leur, penduduk kepulauan Indonesia telah memiliki tingkat hidup yang
tinggi, terutama dalam bidang pertanian, pelayaran dan pengolahan / pengecoran
logam, sebelum datangnya pengaruh kebudayaan India dan China. Kebudayaan India
secara intensif mempengaruhi Jawa dan Sumatera sejak abad ke 2 Masehi.
| |||||
Dan ungkapan pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha tersebut terlihat jelas pada candi Borobudur dan candi-candi di dataran tinggi Dieng. Para ahli cenderung mengatakan, pengaruh dari kebudayaan Hindu dan Budha tidak banyak membawa perubahan fundamentil pada tradisi masyarakat, akan tetapi hanya merupakan lapisan tipis penghalus kebudayaan semata-mata.
Kerajaan yang cukup kuat memperoleh pengaruh Hindu dan Budha adalah
kerajaan Majapahit abad 13 s/d 16 Masehi. Putri
Campa salah satu dari keempat permaisuri Raden Wijaya, raja pertama Majapahit (1293-1309 M), menunjukkan ada
hubungan dengan China, disamping itu ada pemukiman orang China di Majapahit. Masa kejayaan
Majapahit yang diperintah Hayam Wuruk,
dengan patih Gajah Mada, dengan
“Sumpah Palapa” berhasil menguasai kepulauan Nusantara dan Asia Tenggara (Asean
sekarang), meliputi Siam, Campa, Birma, Kamboja dan Pahang. Hubungan dagang dan
politik masa ini sangat menonjol, selain China, Vietnam, India, Anam dan
Bengali berhubungan baik dengan Majapahit. Tome
Pires, menyebut dua pelabuhan penting yaitu Tuban dan Gresik di Jawa Timur
sebagai sarana hubungan internasional. Hubungan politik dan perdagangan
internasional berlanjut menjadi hubungan kebudayaan, terutama dengan China,
dimana sedikit banyak tampak pada karya-karya keramik Majapahit, dimana masa
ini sejajar dengan pemerintahan Dinasti
Yuan hingga Dinasti Han di China. Awal hubungan dengan China tidak diketahui
secara pasti, namun diperkirakan sejak permulaan tarikh Masehi, yakni
ditemukannya benda keramik zaman Han
di Jawa barat, Lampung dan Kalimantan Barat yang menunjukkan hubungan tersebut sudah ada. Walaupun demikian, di
dalam sejarah kesenian dan kebudayaan Indonesia, pengaruh China tidak begitu
menonjol dibandingkan dengan pengaruh seni India.
Istilah “seni keraton” memang sering muncul dalam pembahasan seni Jawa
Hindu, dimana peranan agama demikian besar sehingga menjadi urusan kerajaan,
demikian pula dengan dunia seni. Sejak pusat kerajaan pindak ke Jawa Timur,
pengaruh Hindu terhadap pemerintahan, agama dan seni mulai melemah, imajinasi
banyak melahirkan tema-tema atau unsur-unsur kerakyatan. Dan unsur kebudayaan
asli Jawa Timur tampak semakin kuat dengan tampilnya tokoh-tokoh punakawan dan
para pahlawan, baik dalam kesusastraan maupun senirupa. Bentuk, teknik dan
konsepsi serta bahan candi mulai berubah. Perwujudan dewa atau manusia yang
sebelumnya naturalistik dan cenderung tiga dimensional, berubah menjadi dua
dimensional dengan profil seperti wayang atau relief. Ditinjau dari tradisi
Hindu dirasakan sebagai kemunduran. Sebaliknya bila ditinjau dari perkembangan
seni Jawa Hindu perubahan tersebut merupakan suatu pencapaian bentuk kreasi
baru dengan nilai-nilai yang juga baru.
| ||||
agus mulyadi utomo |
Keluarga kerajaan Majapahit merupakan kelas sosial tertinggi, disusul
golongan agama dan para pemimpin. Para seniman dan sastrawan, pemain musik
dengan penarinya merupakan kelas sosial di bawah naungan keraton.
Tidak mengherankan kalau hasil seni dan keramik waktu itu mencerminkan pada
nilai-nilai keraton atau golongan lapisan atas. Namun demikian, pengaruh alam
pikiran rakyat yang sudah mulai
demokratis cukup menonjol, sejak diangkatnya Maha Patih Gajah Mada dari kalangan rakyat jelata. Disamping itu,
rakyat yang masih banyak menganut faham animisme semakin memegang peranan dalam
perwujudan benda keramik yang terasa lebih dekat dengan alam.
Gerabah Bali Timur
Jasi, Karangasem
| |
blogspot.goesmul.com / Hidup dan Seni goesmul@gmail.com |
Berdasarkan catatan lama seni Hindu yang masuk Indonesia, terutama meliputi
seni sastra, arsitektur, pahat, memperlihatkan landasan agama yang mantap.
Sebaliknya hasil karya keramik jenis gerabah Majapahit ini, lebih banyak
memperlihatkan tema kehidupan sehari-hari, karena kegiatan seni sudah meluas
dikalangan rakyat biasa. Patung terracotta
Majapahit ada yang berbentuk pemain musik, penari, orang menunggang kuda dan
menunggang gajah. Tokoh-tokoh masyarakat dan para pemimpin banyak diabadikan
dalam bentuk patung kepala / potret dan patung kecil (figurin), diantaranya ada yang diperkirakan sebagai gambaran Maha Patih Gajah Mada yang ditemukan di
Trowulan. Boneka-boneka gerabah yang diperkirakan sebagai bekal kubur seperti
halnya di China atau Jepang, tentu hal tersebut belum dapat dipastikan karena
belum ada bukti-bukti. Walaupun tradisi pemberian bekal kubur di Indonesia sudah
dikenal sejak zaman Pra-sejarah. Hampir semua boneka gerabah ditemukan di bekas
pusat Kota Majapahit yang bernama Trowulan. Mengingat diluar daerah Majapahit
tidak pernah ditemukan benda semacam ini, maka dianggap tradisi seni boneka
adalah ciri khas seni Majapahit. Boneka-boneka Majapahit apabila diperhatikan
secara umum, merupakan perwujudan dari kehidupan sehari-hari dari golongan
ningrat / kelas atas sampai golongan kelas bawah, dari pemimpin, penari, pemain
musik, sastrawan, rakyat jelata dan budak. Diantaranya juga ada tokoh
punakawan, semar, Sabdopalon yang
dikenal dalam cerita Panji, membuktikan unsur kerakyatan sangat akrab dengan
seni Majapahit, dimana perwatakan muncul secara khusus dan bersifat individual
serta pembuatan seni tidak dalam kekuasaan keraton spenuhnya, sehingga mengikut
sertakan kepercayaan asli, bergaya bebas dan tidak terikat dengan aturan
seperti seni Hindu Jawa Tengah yang bersifat patung klasik. Pembuatan patung
boneka Majapahit tampak terlihat lebih hidup dan tanpa stilasi yang berlebihan,
terutama detailnya yang cukup baik seperti profil wanita China yang lemah
gemulai. Patung boneka lainnya menggambarkan orang yang sedang duduk dan kalau
sedang berdiri bajunya panjang sampai ke bawah, memperlihatkan sifat kokoh dan
stabil. Badan dan tangan seperti disederhanakan dalam batas yang wajar, tetapi
secara anatomis cukup baik dan tepat, tidak seperti seni primitif.
Salah satu bentuk keramik yang berciri khas Indonesia adalah bentuk kendi.
Istilah kendi dari bahasa Sanskrit
yaitu “kundika” di India berarti
tempat air. Dalam ikonografi India, kundika merupakan salah satu atribut
dari Dewa Brahma yang dalam agama Hindu merupakan perlambangan suci. Para
pendeta Budha seringkali menggunakan kata kundika,
yaitu benda berbentuk badan lonjong,
panjang dan berleher sempit serta mulut yang kecil menyerupai pipa dan corotnya
(cucuk) berbentuk seperti cangkir. Pada candi Borobudur dan candi-candi di
Dieng, terdapat relief abad ke 8 menggambarkan kendi seperti yang
dikenal sekarang, bentuknya berbeda
dengan kundika yang banyak ditemukan
disekitar candi Jawa Tengah sampai abad ke 10 M. Kendi gerabah merah dan putih
bercorot lurus banyak ditemukan berasal dari abad 11 s/d abad 13 yaitu di
Trowulan , Sumatera Selatan di daerah Pecinan dan Muara Jambi serta di Sumatera Utara. Bentuk kendi bercorot lurus,
pada abad ke 14 berubah menjadi bulat labu atau menyerupai buah jambu berwarna
merah, banyak ditemukan di Trowulan hingga abad ke 15. Kendi-kendi merah bercorot
bulat yang terdapat di pusat kerajaan Majapahit, Trowulan, dijuluki sebagai
“kendi Majapahit”, bentuk bulat diperkirakan berhubungan dengan kepercayaan
Hindu Jawa Timur masa itu yang mirip seperti buah dada sebagai lambang
kesuburan. Benda temuan tersebut seringkali disebut sebagai “kendi susu”
sebagai ciri khas kendi Majapahit.
Guci-guci keramik yang ada di Indonesia kebanyakan berasal dari China
selatan, Vietnam dan Thailand. Dengan banyaknya guci yang berada di Indonesia
membuktikan eratnya hubungan dagang antara Indonesia dengan asal guci sejak
dulu. Walaupun jelas guci-guci tersebut bukan berasal dari kebudayaan
Indonesia, tetapi pernah memegang peranan dalam kebudayaan masa lampau.
Disamping dipergunakan sebagai tempat makanan dan minuman, guci juga
dipergunakan untuk menyimpan sesuatu yang bersifat sakral seperti tempat air
suci dan abu jenazah. Masyarakat Kalimantan sangat percaya adanya dewa yang
melindungi guci-guci, dimana air yang diletakkan dalam guci dapat menyembuhkan
berbagai penyakit. Bahkan guci-guci itu diberi nama dan diberi jenis kelamin,
guci yang gemuk bagian atasnya berjenis betina. Guci Naga Kawok disimpan pada keluarga yang mempunyai anak gadis,
mereka percaya dapat menolong mendekatkan pria jodohnya. Akhirnya guci ini ada
yang dibuat tiruannya di Indonesia terutama produksinya dilakukan oleh orang
China yang trampil dan menetap di Indonesia, walau teknologi dan mutu hasilnya
kurang baik. Guci yang ditemukan di Indonesia banyak yang berasal dari zaman Dinasti Yuan dan Ming, berwarna coklat, seladon, hijau, biru, abu-abu dan hitam.
Selain kendi dan guci, tempayan zaman Majapahit juga ditemukan di Trowulan yang berukuran besar
dengan tinggi 100 cm dan diameternya 60 cm. Tempayan gerabah asli Majapahit ini
diperkirakan sebagai tempat air atau untuk mewarnai kain-kain , berhiaskan
lingkaran tumpal dan garis-garis melingkar yang diisi dengan ukiran.
Benda-benda Majapahit lainnya yang menarik adalah pipa-pipa cerutu terracotta dengan ukuran 4 X 5 cm atau 4
X 6 cm, mempunyai kontur yang lembut dengan garis-garis yang menarik. Di
Trowulan juga ditemukan poci dengan buntuk bulat gepeng dengan hiasan motif
garis-garis melingkar dan tegak lurus dan diantara garis yang melingkar
terdapat motif tumpal yang teratur. Selain itu gerabah pedupaan dan celengan,
juga telah ditemukan di reruntuhan
Majapahit, pedupaan seperti susunan bunga dan celengan berujud babi.
Ditemukannya stupa-stupa kecil dari tanah liat yang termasuk gerabah
lunak di daerah Pejeng, Blahbatuh dan Batuan, Gianyar, dalam jumlah
ribuan dan ada di antaranya terdapat tulisan Pallawa dan Sansekerta
yang bermakna mantra-mantra Budha; Dan beberapa buah stempel tanah liat yang
ditemukan di Pejeng (koleksi Museum Bali), tertulis data tahun 882 A.D memuat
mantram agama Budha dalam bahasa Sankrit yang mirip dengan yang
ditemukan di Candi Kalasan (778 A.D). Berdasarkan penemuan tersebut,
diperkirakan pengaruh agama Budha di Bali datangnya lebih dahulu dari agama
Hindu.
Moerdowo, dalam bukunya “Seni
Budaya Bali-Balinese Arts and Culture” mengemukakan tujuh diantaranya memuat data mulai
tahun 882 s/d 914 A.D menyebut-nyebut nama seorang Raja Kesari Warmadewa yang bertahta di di kerajaan Singadwala. Sembilan tulisan tanah liat
memberitakan adanya seorang raja lainnya yaitu Sang Ratu Ugrasena yang bertahta semasa dengan Empu Sindok dari Jawa Timur (914-942 A.D). Disebutkan pula adanya
empat orang raja lagi dari keturunan dinasti
Warmadewa yang menguasai pulau Bali. Dari data-data tersebut diperkirakan
hubungan Bali dengan Jawa Timur terjalin erat dan mesra, yaitu dengan adanya dinasti Warmadewa yaitu Dharma Udayana Warmadewa
mempermaisurikan Sri Gunapriya
Dharmapatni, putri raja dari Jawa yaitu cucu dari Empu Sindok yang berkuasa dari tahun 989 s/d 1001 Masehi. Dari
perkawinan ini lahirlah Raja Airlangga
yang kemudian berkuasa di Jawa dan kawin dengan putri Jawa. Tidak hanya stempel
dan stupika yang ditemukan, tetapi
juga ada patung Budha dan linggayoni
yang semuanya diperkirakan abad ke-13 – 14 Masehi (Moerdowo, 1963).
Masuknya agama Hindu ke Bali diperkirakan pada saat Raja Yaya Pangus ditaklukkan oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam kekuasaan Majapahit , Bali diperintah
oleh Raja Dalem Samprangan yang
bertahta di Klungkung (Moerdowo, 1963). Masuknya agama Hindu di Bali sangat
berpengaruh pada pembuatan benda-benda keramik, yaitu dengan adanya berbagai
motif dewa dalam bentuk Trimurti (Tritunggal) Dewi Sri dan lainnya.
Motif Dewi Sri banyak sekali
dijumpai di Bali dalam wujud “Cili” sebagai lambang kesuburan
atau “Dewi Padi”. Abad ke- 14 di Bali, diketahui telah dipengaruhi oleh tradisi
Hindu Jawa Timur, terlihat dari benda-benda terracotta
yang bernilai keduniawian yang menggambarkan kehidupan sehari-hari, yaitu
perwujudan dari tokoh-tokoh sosial seperti penari, pemain musik yang menjadi obyek utama; semuanya bergaya bebas
mencerminkan suasana gembira, namun di Bali terjadi perubahan karena
kepercayaan sebelumnya turut mempengaruhi.
Masa Majapahit , patung-patung/figur tampak realistik, sedangkan di Bali
tampaknya melalui stilasi yang kaku, seakan tokoh-tokoh pria maupun wanita
memancarkan kekuatan magis dengan
wajah yang “dingin” dan “kaku”, dimungkinkan bentuk demikian bernilai sakral
untuk pelengkap upacara.
Di dalam kepercayaan Hindu Bali, benda-benda keramik diperlukan untuk
berbagai keperluan suatu upacara, baik berujud bentuk patung maupun sebagai
benda pakai seperti tempat “tirta” (air suci). Patung-patung ada yang
menggambarkan tokoh Rahwana, Raksasa, dewa-dewi, tokoh yang meninggal, sampai
di dapurpun terdapat patung yang menggambarkan bentuk punakawan. Disamping
benda hiasan, kebanyakan dari bentuk patung tersebut melambangkan Dewa Brahma
yang sangat di puja di lingkungan dapur, karena ada anggapan bahwa dapur adalah
tempat bersemayamnya Dewa Brahma. Patung lainnya ada yang berbentuk raksasa
dengan prisai ditangannya, merupakan lambang penjaga yang ditempatkan
ditempat-tempat suci atau rumah tinggal. Juga kendaraan Wisnu atau Wilmana
sering dijumpai dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk pasepan atau pedupaan sebagai lambang
Dewa Wisnu. Ada pula singa bersayap dan gajah-mina, merupakan perpaduan dua binatang yaitu singa dengan burung
dan gajah dengan ikan ( “banaspati”), sebagai lambang
kekuatan alam. Bentuk ini dibuat dengan berbagai variasi sesuai dengan
imajinasi setiap kelompok masyarakat / daerah yang membuat. Patung Garuda
Wisnu, kemudian banyak menjadi inspirasi baik dalam material tanah liat/
keramik,maupun dari kayu dan batu.
Keturunan dari kerajaan Majapahit di Kalimantan Barat, yaitu kerajaan
Landak, Sambas dan Tanjung Pura, banyak ditemukan keramik berglasir yang
menunjukkan hasil perdagangan dengan China, terutama lewat ekspedisi Cheng Ho. Tempayan atau yang dikenal “martaban” atau “martavans” keramik China ini dikapalkan melalui pelabuhan di Birma yang bernama Martabani menuju Asia Timur, Asia Tenggara dan Indonesia. Tempayan
di daerah Kalimantan banyak yang dikeramatkan, terutama oleh suku Dayak di
pedalaman, sehingga ada nama Dewa
Tempayan yaitu “Lalang Rangkang
Halamaung Ampit Puting Jambangan Nyabu”.
Keramik Zaman Kerajaan Islam
Pembuatan bata dan genting banyak dilakukan dan dikembangkan terutama pada
zaman kerajaan Islam dan selama penjajahan Belanda. Hal tersebut dapat dilihat
dari sisa – sisa bangunan besar seperti pusat – pusat kerajaan, benteng –
benteng, masjid, makam, bahkan rumah – rumah pejabat penting seperti Bupati dan
orang – orang penting dan kaya lainnya, yang kesemuanya menggunakan genteng dan
bata.
Pada abad ke -12 para pelajar dan pedagang Indonesia tidak banyak berlayar
ke India Selatan, tetapi kebanyakan kapal – kapal Indonesia berlayar ke Gujarat
yaitu India Barat. Di Gujarat inilah banyak bandar – bandar besar dan
kebanyakan para pedagang di daerah ini sudah memeluk agama Islam berbeda dengan
India Selatan yang kebanyakan beragama Hindu. Dari Gujarat inilah para pedagang
Indonesia belajar agama Islam dan menyebarkannya di Indonesia. Karena
kebanyakan para pedagang itu berasal dari Andalus Utara, maka daerah tersebut
menjadi daerah Islam yaitu Samudra – Pasei. Diantaranya juga banyak pedagang
dari Jawa menetap di Malaka yang menjadi pusat agama Islam di Asia Tenggara. Di
Malaka banyak terdapat orang Islam dari kepulauan Indonesia dan bandar – bandar
di Jawa banyak yang berhubungan dengan Malaka yaitu bandar Japara, Tuban dan
Gresik. Oleh sebab itu, penduduk pantai utara Jawa banyak yang memeluk agama
Islam. Demak, Tuban dan Giri menjadi pusat agama Islam di Jawa. Hitu di Ambon
menjadi pusat agama Islam di Maluku dan Aceh menjadi pusat agama Islam di Andalaas. Masjid dan madrasah di Demak,
Kudus dan Giri sangatlah termasyur saat itu.
Pada abad ke -16 terdapatlah kerajaan Islam seperti Ternate dan Tidore di
Maluku, Demak di Jawa dan Aceh di Andalas. Demak berusaha keras mencari
pengaruh ke Kalimantan dan Sulawesi, Demak juga mengirim tentara ke Jawa Barat
dan mendirikan negara Islam yang baru yaitu Banten. Dari Banten Islam terus
berkembang ke Andalas Selatan. Makasar dan Banjarmasin menjadi negara Islam pula.
Dengan begitu hampir semua bandar di Indonesia menjadi bandar Islam. Banyak
kapal yang datang maupun pergi, teritama dari Malaka, India, Tiongkok (China)
dan Philipina. Kapal asing dari Eropah mulai berdatangan karena tertarik
kekayaan dan hasil bumi serta perdagangan Indonesia. Portugis berlayar dari
India dan menuju Indonesia, karena dianggapnya negara Islam di Indonesia sangat
maju perdagangannya dan hendak mengangkut sendiri barang – barang Indonesia
menuju Eropah. Pada tahun 1498 kapal Portugis yang pertama di Kalikut yang
dipimpin oleh Vasco da Gama,
terjadilah sistem monopoli, perebutan kekuasaan dan pedagang Islam banyak yang
diusir dari bandar – bandar. Tiga belas tahun lagi, Malaka direbut dan diduduki
oleh Portugis yaitu pada tahun 1511 Masehi.
Dalam tahun 1292 M tatkala Tiongkok berada di bawah kekuasaan Mongol, Marco Polo (1254-1323 M), musafir
Venesia (Italia), pencipta nama ‘‘porselin” mengembara ke pantai utara Sumatera
dan didapati Perla atau Aceh sudah
terdapat orang Islam. Tidak jauh dari Perla, di Basem (Pasai) rajanya sudah
memeluk agama Islam yakni Al Malikus
Saleh yang wafat 1297 M. Dan tahun 1303 M seorang pengembara dari Maghribi
bernama Ibnu Batutah sampai ke
Pasai, dikatakannya bahwa raja dan rakyat Sumatera beragama Islam bermadzhab Imam Syafi’ie dan ilmu tasauf-nya
yang terkenal. Begitulah awal masuk dan berkembangnya Islam di Sumatera hingga
kekuasaan Raja Iskandar Muda (1606 –
1636 M).
Menurut berita Tiongkok tahun 1416 M tanah Jawa sudah banyak yang memeluk
agama Islam. Dan berita Portugis 1498 M beberapa kabupaten di pesisir utara
sudah masuk Islam baik Bupati maupun rakyatnya. Maulana Malik Ibrahim mubaligh
yang menyiarkan agama Islam wafat 8 April 1419 M di Gresik. Banyak lagi makam
ditemukan di Gresik diperkirakan sebagai
pedagang yang sambil mengembangkan agama Islam.
Raja Majapahit terakhir, mempunyai istri dari China atau putri Cempo (Campa) ketika hamil dititipkan kepada Adipati Aryo Damar di Palembang dan
melahirkan disana. Bayi yang dilahirkan bernama Raden Patah dan ibunya dikawin oleh Aryo Damar dan menghasilkan putra bernama Husein. Kedua anak tersebut dididik agama Islam. Raden Patah setelah dewasa menghadap
ayahnya di Majapahit dan diangkat menjadi Adipati
Bintoro di Demak. Ketika Majapahit jatuh diserang Raja Giriwardana dari Kediri tahun 1478, semua pusaka Majapahit
dibawa ke Demak. Atas persetujuan dan dukungan Walisongo, lalu Raden Patah,
menjadi Raja Islam pertama di Jawa
dengan gelar Sultan Fatah tahun 1500
M. Penerusnya kemudian mendatangkan ulama dari Sumatera. Sultan Trenggono mendatangkan Falatehan dan menyebarkan agama Islam sampai Jawa Barat dan
memimpin armada mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Jawa Timur dan Pasuruan
tunduk di bawah kekuasaan Demak. Selanjutnya Hadiwijoyo yang wafat 1582
M., Raja Mataram Sutowijoyo (1586 – 1601 M), hingga Sultan Ayokrowati 1601-1612 M, bersamaan pemerintahannya inilah
Belanda atau VOC masuk Indonesia
(1602).
Pada masa-masa pemerintahan Islam ini, pengembangan keramik sebagai
peralatan makan dan minum kurang mendapat perhatian, hanya untuk kebutuhan
pengganti batu dan kayu, seperti bata
dan genteng. Kebutuhan makan dan minum dari keramik muncul setelah terjadi sentuhan dengan kebudayaan Barat, Eropa dan China yang
dibawa oleh para pedagang bangsa Portugis, Belanda, China, India dan dari
Persia. Kebutuhan akan barang pakai dari keramik bermula dari para saudagar,
pembesar yang berkuasa, terutama bangsa asing yang datang. Peralatan dan
barang-barang keramik kemudian didatangkan dari China, Vietnam, Jepang dan Philipina.
T.
Volker dalam bukunya “Porcelain and
the Dutch East India Company” menulis bahwa kisah mengenai Raja Aceh abad 16, dalam pesta-pesta
perjamuan serta upacara-upacara adat menggunakan beberapa perangkat piring dan
cangkir yang terbuat dari porselin-porselin yang sangat indah ( Volker, 1954).
Pasar Ikan di kawasan Jakarta Kota tahun 1500-an dikenal dengan pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan ini tempat
persinggahan para saudagar yang ramai. Seorang pelancong, Tom Pires, melihat pelabuhan ini tahun 1513 sebagai pelabuhan yang
terbesar dan penting. Yang kemudian dikuasai Belanda abad ke 16. Dari sinilah
keramik-keramik asing singgah dan lantas diperdagangkan. Cukup mencengangkan
temuantemuan gerabah atau keramik di
Pasar Ikan (1981) yang berjumlah 4.448 fragmen,
terdiri dari piring, mangkuk, pasu dan botol-botol indah. Banyak sekali keramik
asing yang hadir di Pasar Ikan, terdapat pula piring-piring Persia yang
berhiaskan flora.
Keramik Masa Penjajahan
Pada permulaan abad ke 17 bangsa
Eropa baru menganal keramik jenis porselin, ketika itu Belanda dengan pasukan
dagangnya Verenigde Oost-Indiche Compagnie atau V.O.C. berhasil memboyong sebagian kecil keramik-keramik negeri
Timur ke beberapa negara di Eropa. Perkembangan keramik modern Belanda lebih
lanjut haruslah dilihat dengan latarbelakang kepentingan dagang dalam abad ke
17 tersebut. Setelah mengusir partner dagangnya di Eropa bangsa Portugis dari
Indonesia dan perairan Asia Timur Jauh,
Kompeni Belanda dengan V.O.C
menerapkan sistem monopoli yang terkenal di kepulauan Indonesia, perdagangannya
dengan daratan China membuat lalu lintas dagang maritim yang ramai melalui
Indonesia. Porselin China menjadi komoditi dagang yang populer di Barat sejak
zamannya Marco Polo. Orang-orang
Belanda membawa keramik jenis porselin yang kasar ke Indonesia dan yang halus
ke Eropa. Porselin zaman Ming akhir
dan Wan-Li yang berwarna biru-putih,
mengarungi lautan sehingga harganya sangat mahal, dibandingkan dengan porselin
Eropa sendiri. Sehingga akhirnya pabrik-pabrik Mayolika (porselin) di Delft mencoba meniru porselin China dan
China sendiri kadang-kadang menirunya pula. Salah satu pabrik De Porceleyne Fles yang didirikan tahun
1653 M, selain memproduksi tembikar putih berlapis glasir juga menghasilkan
porselin biru-putih. Tembikar Delft mengalami
kemunduran pada abad ke 18, setelah ditemukan teknik porselin keras di Saxony.
Bangsa Belanda menguasai Jakarta setelah merebutnya dari kerajaan Banten
dan pada tahun 1619 mendirikan Kota Batavia
oleh Jan Pieterszoon Coen. Pedagang
China yang datang secara tidak langsung memperkenalkan beberapa aspek budaya
tersendiri, dengan membuat perkampungan disepanjang jalur strategis dan
diseputar pasar. Kehadiran mereka tidak menimbulkan keributan, sebagian besar
pedagang perantara antara Malaka dan Jawa. Rempah-rempah, beras, yang berasal dari
Jawa dan Malaka ditukar (barter) oleh pedagang China yang membawa tekstil,
keramik dan kapur barus. Dari catatan perjalanan diperoleh informasi tentang
keramik yang dibawa V.O.C. yang
berkaitan dengan rute perjalanannya ke Indonesia dengan tujuan Batavia sebagai pusat perdagangan di
Asia, yakni dari bangkai kapal “Vergulde Drach” dilepas pantai Australia. Kapal
tersebut ditemukan tanggal 28 April 1956, membawa kendi-kendi dari China dan
Belanda. Pada permulaan abad 17, tercatat dalam sejarah bahwa raja Persia yaitu
Syah Abbas I, ingin merebut pasaran
keramik Eropah yang saat itu didominasi Kompeni V.O.C dengan cara mendatangkan 300 perajin dari China besarta
keluarganya. Maka beberapa keramik Persia yang ditemukan pada ekskavasi Pasar
Ikan Jakarta ditemukan gaya Wan-Li
(1573-1619) berwarna biru-putih. Bangsa Belanda mengenal keramik China dalam
jumlah besar pada tahun 1600 Masehi, melalui pembajakan sebuah kapal Portugis
“Carrack” yang memuat porselin China gaya Wan–Li
dan populer disebut “porselen Kraak”. Disain dan bentuk
keramik Kraak banyak dijiplak induatriawan Belanda yang belum mampu
membuat porselin. Teknik pembuatan porselin Belanda dikuasai oleh kota Delft dengan ciri khas biru putih dan
mempunyai banyak penggemar di Indonesia. Gaya China atau “Chinoiserie” memuncak
kecemerlangannya pada abad ke -18. Sedangkan di Jepang pada abad ke -17
pembuatan porselin baru pada tahap permulaann yaitu di Arita. Ketika terjadinya pertentangan antara dinasti Ming dengan Ching (tahun 1644 - 1912
Masehi). Kompeni memesan porselinnya ke Jepang yaitu di Arita. Keramik yang populer masa itu adalah “Kraak Biru Putih” gaya Wan – Li, kemudian keramik jenis inilah
yang diproduksi secara besar – besaran oleh Jepang. Jepang kemudian merebut
pasaran keramik di Eropa, yaitu dengan mengadakan inovasi dan pembaharuan
selera khas Jepang yang disebut gaya “Imari”, yaitu suatu corak
warna-warni baru yang dibubuhi warna emas, yang kemudian populer. Sehingga
secara terpaksa perajin porselin China menirunya agar tidak kehilangan pasar.
Dengan demikian benda-benda keramik atau porselin merupakan bukti sejarah yang
mengungkap sejarah jaringan politik dan perdagangan di masa penjajahan Belanda.
Pengalaman bangsa Indonesia ternyata pada masa penjajahan Belanda ini adalah hanya
sebagai pengguna hasil produk bangsa lain dan bukan merupakan kebutuhan apalagi
untuk memproduksi sendiri. Namun demikian Indonesia dipandang sebagai negara
perdagangan maritim. Untuk bisa memproduksi dan mengembangkan porselin tidak
memungkinkan di masa itu karena terjadi
penindasan, juga keterbelakangan SDM dan berpendidikan serta kebebasan sangat
dibatasi terutama pembuatan keramik. Akan tetapi saat itu produksi bata dan
genteng tetap berlangsung, karena Belanda membutuhkannya untuk membangun gedung
dan kantor kompeni serta benteng-benteng V.O.C.,
juga rumah-rumah pembesar atau penguasa saat itu.
Masa pemerintahan penjajah Belanda, industri yang ada hanya bata dan
genteng, baik skala besar maupun kecil dengan menggunakan mesin mekanis atau
dengan tangan. Juga industri kapur sudah banyak didirikan untuk memenuhi
kebutuhan Balanda. Industri rumahtangga seperti pembuatan gerabah berupa
gentong, kendi, kuali, anglo dan celengan diproduksi untuk kebutuhan rakyat
sendiri terutama dipedesaan. Keadaan ini berubah setelah pemerintah Hindia
Belanda mendirikan instansi penelitian, yang didirikan tahun 1922 dengan nama “Keramish
Laboratorium” yang berfungsi mengembangkan industri bata dan genteng,
menyangkut masalah pengujian, konsultasi dan latihan operator serta penetapan
lokasi bahan mentah. Dan tahun 1926 Balai Penelitian ini dimantapkan lagi,
setelah bahan mentah poselin yaitu tanah kaolin
terdapat di Bangka dan Belitung. Mengetahui potensi ini, Belanda menjajaki
usaha serius pengembangan tersebut dan sejak saat itu peralihan ilmu
pengetahuan dan pengembangan teknik keramik mulai dilakukan. Walaupun sedikit
melompat dan tidak ada kesinambungan dengan teknik keramik yang ada saat itu.
Rupanya Belanda dipengaruhi oleh keadaan pendudukan Jepang, dimana Jepang
mengeksploitasi sumber-sumber bahan galian logam maupun non-logam untuk dibawa
kenegerinya. Atas dasar keadaan tersebut yang dilihat secara umum dan terbuka,
timbullah pengertian masyarakat berbagai daerah di Indonesia bahawa kaolin merupakan bahan mentah keramik
khususnya porselin. Jepang sendiri telah mengadakan penyuluhan serta pemberian
bimbingan secara kecil-kecilan kepada sentra-sentra perajin rumah tangga, namun
saat itu suasana masih menyedihkan dan masa penjajahan..
Nyatalah kemudian, bahwa pengetahuan tentang keramik bakaran tingkat madya
dan tinggi seperti keramik batu atau stoneware
dan porselin adalah suatu ilmu yang baru sama sekali, tidak tumbuh dari akar
budaya sendiri atau keramik tradisional Indonesia, melainkan hasil cangkokan
dan pendekatan yang baru sama sekali dimulai saat berakhirnya penjajahan
Belanda dan masuknya penjajahan Jepang
Pabrik bata dan genteng mulai dibangun sejak tahun 1930-an untuk melayani
kebutuhan pabrik gula. Tahun 1937-an Belanda memperhatikan usaha pengembangan
gerabah, bata, genteng dan kerajinan lainnya dan mendirikan Balai Penelitian Keramik di Pleret Jawa
barat, dimana penduduknya banyak membuat gerabah. Balai yang didirikan Belanda
tersebut juga memproduksi asbak, celengan dan benda lainnya yang sudah dilapisi
glasir. Pembuatan keramik “Aardewerk” dan keramik batu yang berglasir sudah
dirintis, walau glasir sudah bisa dibuat di dalam negeri namun bahan bakunya
masih diimpor dari luar negeri.
Bersamaan dengan unit usaha di Pleret, pabrik gelas swasta mulai didirikan di
Jakarta dan Surabaya dengan menggunakan alat dan mesin dari Jerman. Balai
penelitian keramik, juga akhirnya memeproduksi wadah-wadah kimia untuk
kepentingan Jepang. Pengetahuan Porselin mulai sedikit bertambah dengan adanya
pendudukan Jepang, namun saat itu tidak memperoleh perhatian karena suasana
penjajahan tidak mendukung pengembangan keramik.
email: agusmulyadiutomo@yahoo.co.id
Dari buku "Wawasan & Tinjauan Seni Keramik" 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar