Laman

Pengikut

Jumat, 24 Februari 2012

Keramik Indonesia Zaman Kerajaan Hindu dan Budha



Keramik Indonesia Zaman Kerajaan Hindu dan  Budha
oleh : Agus Mulyadi Utomo 

 
        Sejarah pada umumnya menunjukkan, bahwa agama dan kepercayaan merupakan motivator penting dalam pembuatan barang dan seni, misalnya seni primitif, seni Indonesia Hindu dan Budha, seni Islam dan sebagainya.
        Pada masa awal pengaruh agama Hindu, pembuatan batu untuk bangunan – bangunan besar sangat menonjol. Peninggalan zaman itu, misalnya pada Lima Gundukan, bekas bangunannya  menggunakan bata berbagai ukuran, yang terbuat dari tanah liat dicampur dengan kulit padi (sekam). Para ahli dari Museum Jakarta, memperkirakan bangunan tersebut adalah peninggalan dari zamannya kerajaan Tarumanegara, tahun 500 Masehi. Bata dibuat secara besar – besaran untuk memenuhi kebutuhan bangunan – bangunan besar sebagai pengganti batu, terutama pembuatan candi – candi di daerah Jawa Timur sampai abad ke XV Masehi, terutama zaman kerajaan Majapahit.
        Agama Hindu dan Budha, lebih cenderung pemakaian batu dan logam untuk memvisualisasikan cita rasa keagamaannya. Seni dari zaman Indonesia Hindu yang berkembang kemudian tidaklah banyak memberikan dorongan dalam pengembangan keramik, baik dari segi teknis maupun perwujudan bentuk dan dekorasinya. Akan tetapi pada akhir periode seni Jawa Hindu, yaitu zaman kerajaan Majapahit tampak sedikit adanya perkembangan.
        Keadaan alam disekitar kerajaan Majapahit, diperkirakan tidak banyak menyediakan batu – batuan,  sehingga para seniman dan tukang di zaman itu beralih ke bahan tanah liat untuk memenuhi berbagai barang kebutuhan bangunan, alat rumah tangga (tempat makan dan minum) dan sebagai benda spiritual atau keagamaan.
        Pada zaman Majapahit, barang – barang gerabah atau terracotta memperlihatkan kepekaan yang tajam terhadap perlakuan bahan, karakter tanah liat sangat menonjol. Perhatian yang besar terhadap terracotta yang dipijar antara 400 - 1000º C, menampakkan perwatakannya yang khas tanah liat. Disamping itu, zaman tersebut sedikit mendorong pengembangan teknik pembuatan dan glasir sederhana suhu rendah. Menurut J.C. Van Leur, penduduk kepulauan Indonesia telah memiliki tingkat hidup yang tinggi, terutama dalam bidang pertanian, pelayaran dan pengolahan / pengecoran logam, sebelum datangnya pengaruh kebudayaan India dan China. Kebudayaan India secara intensif mempengaruhi Jawa dan Sumatera sejak abad ke 2 Masehi.








goesmul@gmail.com
 Keramik Prasejarah yg Ditemukan Di Gilimanuk. Koleksi ,Museum Bali



 Patung Keramik Peninggalan Mahapahit




agusmulyadiutomo@yahoo.co.id
goesmul@gmail.com



















Dan ungkapan pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha tersebut terlihat jelas pada candi Borobudur dan candi-candi di dataran tinggi Dieng. Para ahli cenderung mengatakan, pengaruh dari kebudayaan Hindu dan Budha tidak banyak membawa perubahan fundamentil pada tradisi masyarakat, akan tetapi hanya merupakan lapisan tipis penghalus kebudayaan semata-mata.
Kerajaan yang cukup kuat memperoleh pengaruh Hindu dan Budha adalah kerajaan Majapahit abad 13 s/d 16 Masehi. Putri Campa salah satu dari keempat permaisuri Raden Wijaya, raja pertama Majapahit (1293-1309 M), menunjukkan ada hubungan dengan China, disamping itu ada pemukiman  orang China di Majapahit. Masa kejayaan Majapahit yang diperintah Hayam Wuruk, dengan patih Gajah Mada, dengan “Sumpah Palapa” berhasil menguasai kepulauan Nusantara dan Asia Tenggara (Asean sekarang), meliputi Siam, Campa, Birma, Kamboja dan Pahang. Hubungan dagang dan politik masa ini sangat menonjol, selain China, Vietnam, India, Anam dan Bengali berhubungan baik dengan Majapahit. Tome Pires, menyebut dua pelabuhan penting yaitu Tuban dan Gresik di Jawa Timur sebagai sarana hubungan internasional. Hubungan politik dan perdagangan internasional berlanjut menjadi hubungan kebudayaan, terutama dengan China, dimana sedikit banyak tampak pada karya-karya keramik Majapahit, dimana masa ini sejajar dengan pemerintahan Dinasti Yuan  hingga Dinasti Han di China. Awal hubungan dengan China tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sejak permulaan tarikh Masehi, yakni ditemukannya benda keramik zaman Han di Jawa barat, Lampung dan Kalimantan Barat yang menunjukkan hubungan  tersebut sudah ada. Walaupun demikian, di dalam sejarah kesenian dan kebudayaan Indonesia, pengaruh China tidak begitu menonjol dibandingkan dengan pengaruh seni India.
 
Istilah “seni keraton” memang sering muncul dalam pembahasan seni Jawa Hindu, dimana peranan agama demikian besar sehingga menjadi urusan kerajaan, demikian pula dengan dunia seni. Sejak pusat kerajaan pindak ke Jawa Timur, pengaruh Hindu terhadap pemerintahan, agama dan seni mulai melemah, imajinasi banyak melahirkan tema-tema atau unsur-unsur kerakyatan. Dan unsur kebudayaan asli Jawa Timur tampak semakin kuat dengan tampilnya tokoh-tokoh punakawan dan para pahlawan, baik dalam kesusastraan maupun senirupa. Bentuk, teknik dan konsepsi serta bahan candi mulai berubah. Perwujudan dewa atau manusia yang sebelumnya naturalistik dan cenderung tiga dimensional, berubah menjadi dua dimensional dengan profil seperti wayang atau relief. Ditinjau dari tradisi Hindu dirasakan sebagai kemunduran. Sebaliknya bila ditinjau dari perkembangan seni Jawa Hindu perubahan tersebut merupakan suatu pencapaian bentuk kreasi baru dengan nilai-nilai yang juga baru.
 






       





agus mulyadi utomo


 Keluarga kerajaan Majapahit merupakan kelas sosial tertinggi, disusul golongan agama dan para pemimpin. Para seniman dan sastrawan, pemain musik dengan penarinya merupakan kelas sosial di bawah naungan keraton.

Tidak mengherankan kalau hasil seni dan keramik waktu itu mencerminkan pada nilai-nilai keraton atau golongan lapisan atas. Namun demikian, pengaruh alam pikiran rakyat  yang sudah mulai demokratis cukup menonjol, sejak diangkatnya Maha Patih Gajah Mada dari kalangan rakyat jelata. Disamping itu, rakyat yang masih banyak menganut faham animisme semakin memegang peranan dalam perwujudan benda keramik yang terasa lebih dekat dengan alam.

   Gerabah Bali Timur
Jasi, Karangasem

blogspot.goesmul.com / Hidup dan Seni
goesmul@gmail.com

Berdasarkan catatan lama seni Hindu yang masuk Indonesia, terutama meliputi seni sastra, arsitektur, pahat, memperlihatkan landasan agama yang mantap. Sebaliknya hasil karya keramik jenis gerabah Majapahit ini, lebih banyak memperlihatkan tema kehidupan sehari-hari, karena kegiatan seni sudah meluas dikalangan rakyat biasa. Patung terracotta Majapahit ada yang berbentuk pemain musik, penari, orang menunggang kuda dan menunggang gajah. Tokoh-tokoh masyarakat dan para pemimpin banyak diabadikan dalam bentuk patung kepala / potret dan patung kecil (figurin), diantaranya ada yang diperkirakan sebagai gambaran Maha Patih Gajah Mada yang ditemukan di Trowulan. Boneka-boneka gerabah yang diperkirakan sebagai bekal kubur seperti halnya di China atau Jepang, tentu hal tersebut belum dapat dipastikan karena belum ada bukti-bukti. Walaupun tradisi pemberian bekal kubur di Indonesia sudah dikenal sejak zaman Pra-sejarah. Hampir semua boneka gerabah ditemukan di bekas pusat Kota Majapahit yang bernama Trowulan. Mengingat diluar daerah Majapahit tidak pernah ditemukan benda semacam ini, maka dianggap tradisi seni boneka adalah ciri khas seni Majapahit. Boneka-boneka Majapahit apabila diperhatikan secara umum, merupakan perwujudan dari kehidupan sehari-hari dari golongan ningrat / kelas atas sampai golongan kelas bawah, dari pemimpin, penari, pemain musik, sastrawan, rakyat jelata dan budak. Diantaranya juga ada tokoh punakawan, semar, Sabdopalon yang dikenal dalam cerita Panji, membuktikan unsur kerakyatan sangat akrab dengan seni Majapahit, dimana perwatakan muncul secara khusus dan bersifat individual serta pembuatan seni tidak dalam kekuasaan keraton spenuhnya, sehingga mengikut sertakan kepercayaan asli, bergaya bebas dan tidak terikat dengan aturan seperti seni Hindu Jawa Tengah yang bersifat patung klasik. Pembuatan patung boneka Majapahit tampak terlihat lebih hidup dan tanpa stilasi yang berlebihan, terutama detailnya yang cukup baik seperti profil wanita China yang lemah gemulai. Patung boneka lainnya menggambarkan orang yang sedang duduk dan kalau sedang berdiri bajunya panjang sampai ke bawah, memperlihatkan sifat kokoh dan stabil. Badan dan tangan seperti disederhanakan dalam batas yang wajar, tetapi secara anatomis cukup baik dan tepat, tidak seperti seni primitif.
Salah satu bentuk keramik yang berciri khas Indonesia adalah bentuk kendi. Istilah kendi dari bahasa Sanskrit yaitu “kundika” di India berarti tempat air. Dalam ikonografi India, kundika merupakan salah satu atribut dari Dewa Brahma yang dalam agama Hindu merupakan perlambangan suci. Para pendeta Budha seringkali menggunakan kata kundika, yaitu  benda berbentuk badan lonjong, panjang dan berleher sempit serta mulut yang kecil menyerupai pipa dan corotnya (cucuk) berbentuk seperti cangkir. Pada candi Borobudur dan candi-candi di Dieng,  terdapat relief  abad ke 8 menggambarkan kendi seperti yang dikenal sekarang,  bentuknya berbeda dengan kundika yang banyak ditemukan disekitar candi Jawa Tengah sampai abad ke 10 M. Kendi gerabah merah dan putih bercorot lurus banyak ditemukan berasal dari abad 11 s/d abad 13 yaitu di Trowulan , Sumatera Selatan di daerah Pecinan dan Muara Jambi serta di  Sumatera Utara. Bentuk kendi bercorot lurus, pada abad ke 14 berubah menjadi bulat labu atau menyerupai buah jambu berwarna merah, banyak ditemukan di Trowulan hingga abad ke 15. Kendi-kendi merah bercorot bulat yang terdapat di pusat kerajaan Majapahit, Trowulan, dijuluki sebagai “kendi Majapahit”, bentuk bulat diperkirakan berhubungan dengan kepercayaan Hindu Jawa Timur masa itu yang mirip seperti buah dada sebagai lambang kesuburan. Benda temuan tersebut seringkali disebut sebagai “kendi susu” sebagai ciri khas kendi Majapahit.
Guci-guci keramik yang ada di Indonesia kebanyakan berasal dari China selatan, Vietnam dan Thailand. Dengan banyaknya guci yang berada di Indonesia membuktikan eratnya hubungan dagang antara Indonesia dengan asal guci sejak dulu. Walaupun jelas guci-guci tersebut bukan berasal dari kebudayaan Indonesia, tetapi pernah memegang peranan dalam kebudayaan masa lampau. Disamping dipergunakan sebagai tempat makanan dan minuman, guci juga dipergunakan untuk menyimpan sesuatu yang bersifat sakral seperti tempat air suci dan abu jenazah. Masyarakat Kalimantan sangat percaya adanya dewa yang melindungi guci-guci, dimana air yang diletakkan dalam guci dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Bahkan guci-guci itu diberi nama dan diberi jenis kelamin, guci yang gemuk bagian atasnya berjenis betina. Guci Naga Kawok disimpan pada keluarga yang mempunyai anak gadis, mereka percaya dapat menolong mendekatkan pria jodohnya. Akhirnya guci ini ada yang dibuat tiruannya di Indonesia terutama produksinya dilakukan oleh orang China yang trampil dan menetap di Indonesia, walau teknologi dan mutu hasilnya kurang baik. Guci yang ditemukan di Indonesia banyak yang berasal dari zaman Dinasti Yuan dan Ming, berwarna coklat, seladon, hijau, biru, abu-abu dan hitam.
Selain kendi dan guci, tempayan zaman Majapahit juga  ditemukan di Trowulan yang berukuran besar dengan tinggi 100 cm dan diameternya 60 cm. Tempayan gerabah asli Majapahit ini diperkirakan sebagai tempat air atau untuk mewarnai kain-kain , berhiaskan lingkaran tumpal dan garis-garis melingkar yang diisi dengan ukiran. Benda-benda Majapahit lainnya yang menarik adalah pipa-pipa cerutu terracotta dengan ukuran 4 X 5 cm atau 4 X 6 cm, mempunyai kontur yang lembut dengan garis-garis yang menarik. Di Trowulan juga ditemukan poci dengan buntuk bulat gepeng dengan hiasan motif garis-garis melingkar dan tegak lurus dan diantara garis yang melingkar terdapat motif tumpal yang teratur. Selain itu gerabah pedupaan dan celengan, juga telah ditemukan di reruntuhan  Majapahit, pedupaan seperti susunan bunga dan celengan berujud babi.
Ditemukannya stupa-stupa kecil dari tanah liat yang termasuk gerabah lunak di daerah Pejeng, Blahbatuh dan Batuan, Gianyar, dalam jumlah ribuan dan ada di antaranya terdapat tulisan Pallawa dan Sansekerta yang bermakna mantra-mantra Budha; Dan beberapa buah stempel tanah liat yang ditemukan di Pejeng (koleksi Museum Bali), tertulis data tahun 882 A.D memuat mantram agama Budha dalam bahasa Sankrit yang mirip dengan yang ditemukan di Candi Kalasan (778 A.D). Berdasarkan penemuan tersebut, diperkirakan pengaruh agama Budha di Bali datangnya lebih dahulu dari agama Hindu.  Moerdowo, dalam bukunya “Seni Budaya Bali-Balinese Arts and Culture”  mengemukakan tujuh diantaranya memuat data mulai tahun 882 s/d 914 A.D menyebut-nyebut nama seorang Raja Kesari Warmadewa yang bertahta di di kerajaan Singadwala. Sembilan tulisan tanah liat memberitakan adanya seorang raja lainnya yaitu Sang Ratu Ugrasena yang bertahta semasa dengan Empu Sindok dari Jawa Timur (914-942 A.D). Disebutkan pula adanya empat orang raja lagi dari keturunan dinasti Warmadewa yang menguasai pulau Bali. Dari data-data tersebut diperkirakan hubungan Bali dengan Jawa Timur terjalin erat dan mesra, yaitu dengan adanya dinasti Warmadewa yaitu Dharma Udayana Warmadewa mempermaisurikan Sri Gunapriya Dharmapatni, putri raja dari Jawa yaitu cucu dari Empu Sindok yang berkuasa dari tahun 989 s/d 1001 Masehi. Dari perkawinan ini lahirlah Raja Airlangga yang kemudian berkuasa di Jawa dan kawin dengan putri Jawa. Tidak hanya stempel dan stupika yang ditemukan, tetapi juga ada patung Budha dan linggayoni yang semuanya diperkirakan abad ke-13 – 14 Masehi (Moerdowo, 1963).
Masuknya agama Hindu ke Bali diperkirakan pada saat Raja Yaya Pangus ditaklukkan oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit tahun 1343 Masehi.   Dalam kekuasaan Majapahit , Bali diperintah oleh Raja Dalem Samprangan yang bertahta di Klungkung (Moerdowo, 1963). Masuknya agama Hindu di Bali sangat berpengaruh pada pembuatan benda-benda keramik, yaitu dengan adanya berbagai motif dewa dalam bentuk Trimurti (Tritunggal) Dewi Sri dan lainnya.

Motif Dewi Sri banyak sekali dijumpai di Bali dalam wujud “Cili” sebagai lambang kesuburan atau “Dewi Padi”. Abad ke- 14 di Bali, diketahui telah dipengaruhi oleh tradisi Hindu Jawa Timur, terlihat dari benda-benda terracotta yang bernilai keduniawian yang menggambarkan kehidupan sehari-hari, yaitu perwujudan dari tokoh-tokoh sosial seperti penari, pemain musik yang  menjadi obyek utama; semuanya bergaya bebas mencerminkan suasana gembira, namun di Bali terjadi perubahan karena kepercayaan sebelumnya turut mempengaruhi.  Masa Majapahit , patung-patung/figur tampak realistik, sedangkan di Bali tampaknya melalui stilasi yang kaku, seakan tokoh-tokoh pria maupun wanita memancarkan kekuatan magis dengan wajah yang “dingin” dan “kaku”, dimungkinkan bentuk demikian bernilai sakral untuk pelengkap upacara.
Di dalam kepercayaan Hindu Bali, benda-benda keramik diperlukan untuk berbagai keperluan suatu upacara, baik berujud bentuk patung maupun sebagai benda pakai seperti tempat “tirta” (air suci). Patung-patung ada yang menggambarkan tokoh Rahwana, Raksasa, dewa-dewi, tokoh yang meninggal, sampai di dapurpun terdapat patung yang menggambarkan bentuk punakawan. Disamping benda hiasan, kebanyakan dari bentuk patung tersebut melambangkan Dewa Brahma yang sangat di puja di lingkungan dapur, karena ada anggapan bahwa dapur adalah tempat bersemayamnya Dewa Brahma. Patung lainnya ada yang berbentuk raksasa dengan prisai ditangannya, merupakan lambang penjaga yang ditempatkan ditempat-tempat suci atau rumah tinggal. Juga kendaraan Wisnu atau Wilmana sering dijumpai dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk pasepan atau pedupaan sebagai lambang Dewa Wisnu. Ada pula singa bersayap dan gajah-mina, merupakan perpaduan dua binatang yaitu singa dengan burung dan gajah dengan ikan ( “banaspati”), sebagai lambang kekuatan alam. Bentuk ini dibuat dengan berbagai variasi sesuai dengan imajinasi setiap kelompok masyarakat / daerah yang membuat. Patung Garuda Wisnu, kemudian banyak menjadi inspirasi baik dalam material tanah liat/ keramik,maupun dari kayu dan batu.

Keturunan dari kerajaan Majapahit di Kalimantan Barat, yaitu kerajaan Landak, Sambas dan Tanjung Pura, banyak ditemukan keramik berglasir yang menunjukkan hasil perdagangan dengan China, terutama lewat ekspedisi Cheng Ho. Tempayan atau yang dikenal “martaban” atau “martavans” keramik China ini dikapalkan melalui pelabuhan di Birma  yang bernama Martabani menuju Asia Timur, Asia Tenggara dan Indonesia. Tempayan di daerah Kalimantan banyak yang dikeramatkan, terutama oleh suku Dayak di pedalaman, sehingga ada nama Dewa Tempayan yaitu “Lalang Rangkang Halamaung Ampit Puting Jambangan Nyabu”.


Keramik Zaman Kerajaan Islam

Pembuatan bata dan genting banyak dilakukan dan dikembangkan terutama pada zaman kerajaan Islam dan selama penjajahan Belanda. Hal tersebut dapat dilihat dari sisa – sisa bangunan besar seperti pusat – pusat kerajaan, benteng – benteng, masjid, makam, bahkan rumah – rumah pejabat penting seperti Bupati dan orang – orang penting dan kaya lainnya, yang kesemuanya menggunakan genteng dan bata.
Pada abad ke -12 para pelajar dan pedagang Indonesia tidak banyak berlayar ke India Selatan, tetapi kebanyakan kapal – kapal Indonesia berlayar ke Gujarat yaitu India Barat. Di Gujarat inilah banyak bandar – bandar besar dan kebanyakan para pedagang di daerah ini sudah memeluk agama Islam berbeda dengan India Selatan yang kebanyakan beragama Hindu. Dari Gujarat inilah para pedagang Indonesia belajar agama Islam dan menyebarkannya di Indonesia. Karena kebanyakan para pedagang itu berasal dari Andalus Utara, maka daerah tersebut menjadi daerah Islam yaitu Samudra – Pasei. Diantaranya juga banyak pedagang dari Jawa menetap di Malaka yang menjadi pusat agama Islam di Asia Tenggara. Di Malaka banyak terdapat orang Islam dari kepulauan Indonesia dan bandar – bandar di Jawa banyak yang berhubungan dengan Malaka yaitu bandar Japara, Tuban dan Gresik. Oleh sebab itu, penduduk pantai utara Jawa banyak yang memeluk agama Islam. Demak, Tuban dan Giri menjadi pusat agama Islam di Jawa. Hitu di Ambon menjadi pusat agama Islam di Maluku dan Aceh menjadi pusat agama Islam  di Andalaas. Masjid dan madrasah di Demak, Kudus dan Giri sangatlah termasyur saat itu.
Pada abad ke -16 terdapatlah kerajaan Islam seperti Ternate dan Tidore di Maluku, Demak di Jawa dan Aceh di Andalas. Demak berusaha keras mencari pengaruh ke Kalimantan dan Sulawesi, Demak juga mengirim tentara ke Jawa Barat dan mendirikan negara Islam yang baru yaitu Banten. Dari Banten Islam terus berkembang ke Andalas Selatan. Makasar dan Banjarmasin menjadi negara Islam pula. Dengan begitu hampir semua bandar di Indonesia menjadi bandar Islam. Banyak kapal yang datang maupun pergi, teritama dari Malaka, India, Tiongkok (China) dan Philipina. Kapal asing dari Eropah mulai berdatangan karena tertarik kekayaan dan hasil bumi serta perdagangan Indonesia. Portugis berlayar dari India dan menuju Indonesia, karena dianggapnya negara Islam di Indonesia sangat maju perdagangannya dan hendak mengangkut sendiri barang – barang Indonesia menuju Eropah. Pada tahun 1498 kapal Portugis yang pertama di Kalikut yang dipimpin oleh Vasco da Gama, terjadilah sistem monopoli, perebutan kekuasaan dan pedagang Islam banyak yang diusir dari bandar – bandar. Tiga belas tahun lagi, Malaka direbut dan diduduki oleh Portugis yaitu pada tahun 1511 Masehi.
Dalam tahun 1292 M tatkala Tiongkok berada di bawah kekuasaan Mongol, Marco Polo (1254-1323 M), musafir Venesia (Italia), pencipta nama ‘‘porselin” mengembara ke pantai utara Sumatera dan didapati Perla atau Aceh sudah terdapat orang Islam. Tidak jauh dari Perla, di Basem (Pasai) rajanya sudah memeluk agama Islam yakni Al Malikus Saleh yang wafat 1297 M. Dan tahun 1303 M seorang pengembara dari Maghribi bernama Ibnu Batutah sampai ke Pasai, dikatakannya bahwa raja dan rakyat Sumatera beragama Islam bermadzhab Imam Syafi’ie dan ilmu tasauf-nya yang terkenal. Begitulah awal masuk dan berkembangnya Islam di Sumatera hingga kekuasaan Raja Iskandar Muda (1606 – 1636 M).
Menurut berita Tiongkok tahun 1416 M tanah Jawa sudah banyak yang memeluk agama Islam. Dan berita Portugis 1498 M beberapa kabupaten di pesisir utara sudah masuk Islam baik Bupati maupun rakyatnya. Maulana Malik Ibrahim mubaligh yang menyiarkan agama Islam wafat 8 April 1419 M di Gresik. Banyak lagi makam ditemukan di Gresik diperkirakan  sebagai pedagang yang sambil mengembangkan agama Islam.
Raja Majapahit terakhir, mempunyai istri dari China atau putri Cempo  (Campa) ketika hamil dititipkan kepada Adipati Aryo Damar di Palembang dan melahirkan disana. Bayi yang dilahirkan bernama Raden Patah dan ibunya dikawin oleh Aryo Damar dan menghasilkan putra bernama Husein. Kedua anak tersebut dididik agama Islam. Raden Patah setelah dewasa menghadap ayahnya di Majapahit dan diangkat menjadi Adipati Bintoro di Demak. Ketika Majapahit jatuh diserang Raja Giriwardana dari Kediri tahun 1478, semua pusaka Majapahit dibawa ke Demak. Atas persetujuan dan dukungan Walisongo, lalu Raden Patah, menjadi Raja Islam pertama  di Jawa dengan gelar Sultan Fatah tahun 1500 M. Penerusnya kemudian mendatangkan ulama dari Sumatera. Sultan Trenggono mendatangkan Falatehan dan menyebarkan agama Islam sampai Jawa Barat dan memimpin armada mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Jawa Timur dan Pasuruan tunduk di bawah kekuasaan Demak. Selanjutnya Hadiwijoyo  yang wafat 1582 M., Raja Mataram  Sutowijoyo (1586 – 1601 M), hingga Sultan Ayokrowati 1601-1612 M, bersamaan pemerintahannya inilah Belanda atau VOC masuk Indonesia (1602).
Pada masa-masa pemerintahan Islam ini, pengembangan keramik sebagai peralatan makan dan minum kurang mendapat perhatian, hanya untuk kebutuhan pengganti batu dan kayu,  seperti bata dan genteng. Kebutuhan makan dan minum dari keramik muncul setelah terjadi sentuhan  dengan kebudayaan Barat, Eropa dan China yang dibawa oleh para pedagang bangsa Portugis, Belanda, China, India dan dari Persia. Kebutuhan akan barang pakai dari keramik bermula dari para saudagar, pembesar yang berkuasa, terutama bangsa asing yang datang. Peralatan dan barang-barang keramik kemudian didatangkan dari China, Vietnam, Jepang dan Philipina.   T. Volker dalam bukunya “Porcelain and the Dutch East India Company” menulis bahwa kisah mengenai Raja Aceh abad 16, dalam pesta-pesta perjamuan serta upacara-upacara adat menggunakan beberapa perangkat piring dan cangkir yang terbuat dari porselin-porselin yang sangat indah ( Volker, 1954).
Pasar Ikan di kawasan Jakarta Kota tahun 1500-an dikenal dengan pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan ini tempat persinggahan para saudagar yang ramai. Seorang pelancong, Tom Pires, melihat pelabuhan ini tahun 1513 sebagai pelabuhan yang terbesar dan penting. Yang kemudian dikuasai Belanda abad ke 16. Dari sinilah keramik-keramik asing singgah dan lantas diperdagangkan. Cukup mencengangkan temuantemuan gerabah  atau keramik di Pasar Ikan (1981) yang berjumlah 4.448 fragmen, terdiri dari piring, mangkuk, pasu dan botol-botol indah. Banyak sekali keramik asing yang hadir di Pasar Ikan, terdapat pula piring-piring Persia yang berhiaskan flora.

 Keramik Masa Penjajahan

Pada permulaan abad ke 17  bangsa Eropa baru menganal keramik jenis porselin, ketika itu Belanda dengan pasukan dagangnya Verenigde Oost-Indiche Compagnie atau V.O.C. berhasil memboyong sebagian kecil keramik-keramik negeri Timur ke beberapa negara di Eropa. Perkembangan keramik modern Belanda lebih lanjut haruslah dilihat dengan latarbelakang kepentingan dagang dalam abad ke 17 tersebut. Setelah mengusir partner dagangnya di Eropa bangsa Portugis dari Indonesia dan  perairan Asia Timur Jauh, Kompeni Belanda dengan V.O.C menerapkan sistem monopoli yang terkenal di kepulauan Indonesia, perdagangannya dengan daratan China membuat lalu lintas dagang maritim yang ramai melalui Indonesia. Porselin China menjadi komoditi dagang yang populer di Barat sejak zamannya Marco Polo. Orang-orang Belanda membawa keramik jenis porselin yang kasar ke Indonesia dan yang halus ke Eropa. Porselin zaman Ming akhir dan Wan-Li yang berwarna biru-putih, mengarungi lautan sehingga harganya sangat mahal, dibandingkan dengan porselin Eropa sendiri. Sehingga akhirnya pabrik-pabrik Mayolika  (porselin) di Delft mencoba meniru porselin China dan China sendiri kadang-kadang menirunya pula. Salah satu pabrik De Porceleyne Fles yang didirikan tahun 1653 M, selain memproduksi tembikar putih berlapis glasir juga menghasilkan porselin biru-putih. Tembikar Delft mengalami kemunduran pada abad ke 18, setelah ditemukan teknik porselin keras di Saxony.
Bangsa Belanda menguasai Jakarta setelah merebutnya dari kerajaan Banten dan pada tahun 1619 mendirikan Kota Batavia oleh Jan Pieterszoon Coen. Pedagang China yang datang secara tidak langsung memperkenalkan beberapa aspek budaya tersendiri, dengan membuat perkampungan disepanjang jalur strategis dan diseputar pasar. Kehadiran mereka tidak menimbulkan keributan, sebagian besar pedagang perantara antara Malaka dan Jawa. Rempah-rempah, beras, yang berasal dari Jawa dan Malaka ditukar (barter) oleh pedagang China yang membawa tekstil, keramik dan kapur barus. Dari catatan perjalanan diperoleh informasi tentang keramik yang dibawa V.O.C. yang berkaitan dengan rute perjalanannya ke Indonesia dengan tujuan Batavia sebagai pusat perdagangan di Asia, yakni dari bangkai kapal “Vergulde Drach” dilepas pantai Australia. Kapal tersebut ditemukan tanggal 28 April 1956, membawa kendi-kendi dari China dan Belanda. Pada permulaan abad 17, tercatat dalam sejarah bahwa raja Persia yaitu Syah Abbas I, ingin merebut pasaran keramik Eropah yang saat itu didominasi Kompeni V.O.C dengan cara mendatangkan 300 perajin dari China besarta keluarganya. Maka beberapa keramik Persia yang ditemukan pada ekskavasi Pasar Ikan Jakarta ditemukan gaya Wan-Li (1573-1619) berwarna biru-putih. Bangsa Belanda mengenal keramik China dalam jumlah besar pada tahun 1600 Masehi, melalui pembajakan sebuah kapal Portugis “Carrack” yang memuat porselin China gaya Wan–Li dan populer disebut “porselen Kraak”. Disain dan bentuk keramik Kraak banyak dijiplak induatriawan Belanda yang belum mampu membuat porselin. Teknik pembuatan porselin Belanda dikuasai oleh kota Delft dengan ciri khas biru putih dan mempunyai banyak penggemar di Indonesia. Gaya China atau “Chinoiserie” memuncak kecemerlangannya pada abad ke -18. Sedangkan di Jepang pada abad ke -17 pembuatan porselin baru pada tahap permulaann yaitu di Arita. Ketika terjadinya pertentangan antara dinasti Ming dengan Ching (tahun 1644 -  1912 Masehi). Kompeni memesan porselinnya ke Jepang yaitu di Arita. Keramik yang populer masa itu adalah “Kraak Biru Putih” gaya Wan – Li, kemudian keramik jenis inilah yang diproduksi secara besar – besaran oleh Jepang. Jepang kemudian merebut pasaran keramik di Eropa, yaitu dengan mengadakan inovasi dan pembaharuan selera khas Jepang yang disebut gaya “Imari”, yaitu suatu corak warna-warni baru yang dibubuhi warna emas, yang kemudian populer. Sehingga secara terpaksa perajin porselin China menirunya agar tidak kehilangan pasar. Dengan demikian benda-benda keramik atau porselin merupakan bukti sejarah yang mengungkap sejarah jaringan politik dan perdagangan di masa penjajahan Belanda. Pengalaman bangsa Indonesia ternyata pada masa penjajahan Belanda ini adalah hanya sebagai pengguna hasil produk bangsa lain dan bukan merupakan kebutuhan apalagi untuk memproduksi sendiri. Namun demikian Indonesia dipandang sebagai negara perdagangan maritim. Untuk bisa memproduksi dan mengembangkan porselin tidak memungkinkan di  masa itu karena terjadi penindasan, juga keterbelakangan SDM dan berpendidikan serta kebebasan sangat dibatasi terutama pembuatan keramik. Akan tetapi saat itu produksi bata dan genteng tetap berlangsung, karena Belanda membutuhkannya untuk membangun gedung dan kantor kompeni serta benteng-benteng V.O.C., juga rumah-rumah pembesar atau penguasa saat itu.

Masa pemerintahan penjajah Belanda, industri yang ada hanya bata dan genteng, baik skala besar maupun kecil dengan menggunakan mesin mekanis atau dengan tangan. Juga industri kapur sudah banyak didirikan untuk memenuhi kebutuhan Balanda. Industri rumahtangga seperti pembuatan gerabah berupa gentong, kendi, kuali, anglo dan celengan diproduksi untuk kebutuhan rakyat sendiri terutama dipedesaan. Keadaan ini berubah setelah pemerintah Hindia Belanda mendirikan instansi penelitian, yang didirikan tahun 1922 dengan nama “Keramish Laboratorium” yang berfungsi mengembangkan industri bata dan genteng, menyangkut masalah pengujian, konsultasi dan latihan operator serta penetapan lokasi bahan mentah. Dan tahun 1926 Balai Penelitian ini dimantapkan lagi, setelah bahan mentah poselin yaitu tanah kaolin terdapat di Bangka dan Belitung. Mengetahui potensi ini, Belanda menjajaki usaha serius pengembangan tersebut dan sejak saat itu peralihan ilmu pengetahuan dan pengembangan teknik keramik mulai dilakukan. Walaupun sedikit melompat dan tidak ada kesinambungan dengan teknik keramik yang ada saat itu. Rupanya Belanda dipengaruhi oleh keadaan pendudukan Jepang, dimana Jepang mengeksploitasi sumber-sumber bahan galian logam maupun non-logam untuk dibawa kenegerinya. Atas dasar keadaan tersebut yang dilihat secara umum dan terbuka, timbullah pengertian masyarakat berbagai daerah di Indonesia bahawa kaolin merupakan bahan mentah keramik khususnya porselin. Jepang sendiri telah mengadakan penyuluhan serta pemberian bimbingan secara kecil-kecilan kepada sentra-sentra perajin rumah tangga, namun saat itu suasana masih menyedihkan dan masa penjajahan..
Nyatalah kemudian, bahwa pengetahuan tentang keramik bakaran tingkat madya dan tinggi seperti keramik batu atau stoneware dan porselin adalah suatu ilmu yang baru sama sekali, tidak tumbuh dari akar budaya sendiri atau keramik tradisional Indonesia, melainkan hasil cangkokan dan pendekatan yang baru sama sekali dimulai saat berakhirnya penjajahan Belanda dan masuknya penjajahan Jepang
Pabrik bata dan genteng mulai dibangun sejak tahun 1930-an untuk melayani kebutuhan pabrik gula. Tahun 1937-an Belanda memperhatikan usaha pengembangan gerabah, bata, genteng dan kerajinan lainnya dan mendirikan Balai Penelitian Keramik di Pleret Jawa barat, dimana penduduknya banyak membuat gerabah. Balai yang didirikan Belanda tersebut juga memproduksi asbak, celengan dan benda lainnya yang sudah dilapisi glasir. Pembuatan keramik “Aardewerk” dan keramik batu yang berglasir sudah dirintis, walau glasir sudah bisa dibuat di dalam negeri namun bahan bakunya masih diimpor  dari luar negeri. Bersamaan dengan unit usaha di Pleret, pabrik gelas swasta mulai didirikan di Jakarta dan Surabaya dengan menggunakan alat dan mesin dari Jerman. Balai penelitian keramik, juga akhirnya memeproduksi wadah-wadah kimia untuk kepentingan Jepang. Pengetahuan Porselin mulai sedikit bertambah dengan adanya pendudukan Jepang, namun saat itu tidak memperoleh perhatian karena suasana penjajahan tidak mendukung pengembangan keramik.

email:  agusmulyadiutomo@yahoo.co.id 
Dari buku "Wawasan & Tinjauan Seni Keramik" 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar