Laman

Pengikut

Kamis, 22 Maret 2012

AKULTURASI ISLAM DI BALI


  AKULTURASI  ISLAM  DI BALI



Oleh 
Agus Mulyadi Utomo
 
 
 
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com 
goesmul@gmail.com

I. Masuknya Islam di Indonesia
           
        Pada tahun 1292 M (691 H), disaat Tiongkok dibawah kekuasaan Mongolia, Marcopolo (1254-1323 M) seorang musafir dari Venesia (Itali) mengembara ke pantai utara Sumatera, didapati penduduk masih menyembah berhala, hanya di Ferlec atau Peureula yang dikenal kemudian sebagai Perla (Aceh) terdapat sedikit orang Islam. Tidak jauh dari Perla yaitu di Basem (Pasai) rajanya sudah memeluk agama Islam, yaitu Sultan Al Malikus Saleh  (wafat 1297 M) yang beristrikan putri raja Perla, untuk mempersatukan dua Bandar yang telah memeluk agama Islam. Ibnu Batutah (1303-1377 M) seorang pengembara muslim dari Magribi sampai ke tanah Pasai mengisahkan  bahwa raja maupun rakyatnya semuanya bermadzhab Syafiie. Dan Kerajaan Pasai kemudian dalam sejarah tercatat sebagai pusat agama Islam di Indonesia, dimana Muballigh-muballigh banyak yang datang ke Jawa berasal dari Pasai.
          Tentang masuknya agama Islam di Indonesia terdapat beragam pendapat, diantaranya ada yang berpendapat bahwa masuknya Islam tidak langsung dari Arab melainkan dari Persia dan Gujarat (Solichin Salam: 1960:6). Berbeda dengan Hamka yang berpendapat bahwa Islam masuk dari Mesir dan Mekah . Semuanya memiliki alasan dan argumentasi masing-masing.
            Pada abad ke XV – XVI Islam menjadi kekuatan kebudayaan dan agama di kepulauan Nusantara. Masuknya Islam di Indonesia ternyata mempunyai versi dan perbedaan sendiri-sendiri, seperti di Jawa yang kuat dipengaruhi kebudayaan sebelumnya secara mendalam maka Islam yang ada dipengaruhi oleh unsur India-Hindu-Budha dan kepercayaan lokal setempat serta adanya penguasa kerajaan di Jawa yang belajar agama Islam sejak kecil di Sumatera ( Sultan Patah, 1500 M ) serta kehadiran Wali Songo. Sedangkan di Sumatera tidak terpengaruh oleh kebudayaan India-Hindu-Budha,  sehingga Islam muncul sebagaimana adanya disertai ilmu tasawuf  dan tarekat dengan kesadaran penuh terhadap agama bagi pemeluknya dan ulama – ulama banyak yang berasal dari Sumatera Barat serta adanya sebutan Serambi Mekah  untuk  Aceh. Selanjutnya faham-faham atau aliran Islam tumbuh dan mewarnai kehidupan ummat Islam, ada yang melalui pemerintahan, pendidikan, organisasi sosial, perdagangan, organisasi politik, ormas-ormas, pengajian dan dakwah di  masjid-masjid serta media massa. Lalu bagaimana dengan Islam di Bali ? Berikut sepintas uraian masuknya Islam di Bali dan akulturasinya.

II. Masuknya Islam di Bali
        
         Masuknya Islam di Pulau Bali menurut  A.A. Wirawan  dalam buku “Islam di Bali” uraiannya menerangkan bahwa, untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan menyeluruh tentang masuknya Islam di Bali sejak permulaan masuk sampai mengalami perkembangan  tentunya tidak lepas dari adanya perkembangan  Islam di Kepulauan Nusantara sekalipun terjadi perbedaan-perbedaan  dalam pengembangannya. Sebagaimana diketahui bahwa Islam berkembang di daerah-daerah Nusantara seperti di Aceh, Pasai, Sriwijaya, Banten, Jawa, Kalimantan, Ternate, Tidore, Gowa, Tallo, Makasar, Bone, Sopeng , Bajo dll (A.A. Wirawan, 1977: 10).
              Beberapa informasi dari sumber-sumber lokal dan tulisan-tulisan dari penulis asing menyatakan bahwa Agama Islam sudah masuk ke Pulau Bali  abad ke XVI M. pada waktu Kerajaan Bali berpusat di Gelgel (Kabupaten Klumgkung). Wilayah kekuasaan Kerajaan Gelgel terutama pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong meliputi : Bali, Lombok, Sumbawa, Blambangan, (Jawa Timur). Sejak itu sering terjadi perang perebutan wilayah antara Bali dengan raja-raja lainnya seperti Kerajaan Mataram (Jawa Tengah) dan Blambangan, dengan Kerajaan Goa di Sulawesi terjadi perang untuk merebut Lombok dan Sumbawa, perang perebutan wilayah tersebut baru mereda setelah kekuasaan Gelgel menjadi lemah dan mundur. Perbedaan perkembangan Islam di tiap bagian kepulauan Nusantara termasuk di Bali, dimana ditiap-tiap wilayah Kabupaten di Bali memiliki perkembangan sendiri-sendiri dan amat unik untuk dipelajari.
            Dalam pemerintahan Raja Gelgel I (1380-1460), yaitu Dalem Ketut Ngelesir pernah mengadakan kunjungan ke Majapahit (saat itu Hayam Wuruk mengadakan pertemuan agung kerajaan nusantara), ada keterangan bahwa orang Islam di Gelgel mengakui berasal dari Jawa sebanyak 40 orang sebagai pengiring Dalem Ketut Ngelesir pergi ke Majapahit dimana saat itu Gelgel berada dalam naungan Majapahit. Diketahui pula bahwa dari ke40 orang Islam yang ada di Gelgel ada yang bernama Raden Modin dan Kiyai Jalil ( Toyib Zaen Arifin, 1998:17, 18). Mereka berdua menuju ke timur. Raden Modin  sampai di Banjar Lebah  dan Kiyai Jalil melanjutkan perjalananya sampai diperbukitan Kemutuk dan bertemu sejumlah penduduk Desa Saren yang sedang ketakutan oleh amukan seekor banteng buas. Akhirnya Kiyai Jalil dapat membunuh banteng yang membawa banyak korban penduduk itu dan kulitnya dijadikan bedug (untuk memanggil orang beribadah) dan penjemuran padi.. Mulai saat itu Ia menetap di Desa Saren Utara, Kabupaten Karangasem yang dikenal dengan Saren Jawa.
             Versi I Wayan Reken, dalam buku Islam di Bali, tentang kisah masuknya Islam di Jembrana dari sumber lokal dan tulisan Datuk Haji Sirad di Kampung Cempaka, Loloan Barat yang berhuruf Arab berbahasa Melaju, yang mengatakan behwa orang-orang Islam di Jembrana berasal dari suku Bugis/Makasar yang pertama tahun 1653-1655 M dan  kedua 1660-1661 M sewaktu terjadi peperangan antara Makasar dan V.O.C. atau Kompeni (I Wayan Reken,1977:37). Dari catatan khusus, kemudian diketahui bahwa anak keturunan dari  Sultan Bajo inilah yang lolos dari tekanan  Kerajaan Belanda (V.O.C.) dan mereka melarikan diri dengan perahu menuju ke Teluk Panggang Blambangan, yang kemudian mendarat di Air Kuning lalu masuk Kuala Prancak yang akhirnya bermukim di tempat yang di kenal dengan sebutan Kampung Bajo termasuk wilayah Kabupaten Jembrana. (Th. 1653 M.) dan tersebutlah nama Daeng Nakhoda salah seorang pimpinan armada Bajo yaitu orang Bugis,  juga adanya keluarga kerajaan I Gusti Ngurah Pancoran Jembrana masuk agama Islam dan ditemukan sebuah sumur yang diberi nama “Sumur Bajo” terletak di Kuala Prancak Barat (1669 M).
Dimasa pemerintahan Raja Anak Agung Ngurah Jembrana yang terkenal bijaksana dan didukung orang-orang Bugis dimana armada maritim dan perdagannya cukup maju, tersebutlah dua nama Daeng Marema dan Daeng Si Juda yang ahli bela diri dengan gendang gaya Bugis mendapat simpati masyarakat sehingga banyak pengikutnya dan masuk agama Islam.  Raden Mas Sepuh atau Raden Amangkuningrat ( Putra Raja Mengwi dari Ibu Blambangan/Banyuwangi) dan pelarian  bekas Raja Blambangan yang dikalahkan oleh Raja Buleleng Ki Gusti Ngurah Panji Sakti yang dihukum mati oleh Raja Mengwi (tewas dalam perselisihan keluarga di Pantai Seseh) adalah pemeluk agama Islam, yang kini makamnya dikeramatkan ummat Islam dan Hindu terutama keluarga kerajaan di Pantai Seseh, Desa Munggu, Mengwi. Melihat keadaan tersebut, ternyata hubungan Kerajaan Mengwi dan Blambangan erat sekali. Dan Kerajaan Blambangan mempunyai hubungan silsilah dengan putra Dewi Sekardadu (Putri Prabu Minak Sembuyu) yaitu Raden Joko Samudra atau Sunan Giri (termasuk Wali Songo) dari Kedaton Girilaya ,Gresik, Jawa Timur. Dan perkataan “Jawa” diidentikkan dengan “Islam” karena mayoritas di Jawa beragama Islam. Demikian pula “Bali” yang mayoritas beragama Hindu.

III. Alkulturasi Islam di Bali
            
          Keberadaan dan kedatangan ummat  Islam yang berasal dari berbagai daerah Indonesia di Bali cukup beragam, ada yang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sebagai pebisnis, pencari kerja, karyawan (pegawai) negeri atau swasta, pekerja bangunan, pedagang kaki lima, pedagang asongan, penjual mainan anak, buruh galian, pembantu rumah tangga, sebagai Mubaligh, Ulama, sebagai pelancong dan sebagai pengusaha dan lainnya. Diantaranya kemudian ada yang menetap dan bermukim di Bali, bahkan ada yang kawin dengan orang Bali asli dan meninggal serta dikubur di Bali. Kini banyak berdiri masjid-masjid, musholla, langgar ,surau tempat beribadah dan beramal. Orang Islam tersebar dimana-mana, berbaur , bersatu dan bertoleransi serta beralkulturasi. Penelitian Pusat Arkeologi Nasional sejak 1980 terhadap peninggalan Islam di Bali seperti  makam-makan tua, masjid-masjid tua, naskah-naskah tua, pemukiman Islam, Pusat Kerajaan di Bali, pembauran kebudayaan dan kekerabatan serta lainnya, menunjukkan suatu alkulturasi yang baik dan damai.
               Kebudayaan lokal Bali sangat kuat, namun bagi ummat Islam yang ada di Bali sejauh tidak melanggar Aqidah Islamiyah dan prinsip dalam Islam, hal tersebut tidak menjadi masalah, bahkan menambah wawasan dan pengetahuan. Salah satu contoh kehidupan masyarakat Saren (Dusun Saren Jawa), di Kabupaten Karangasem, dimana kehidupan sehari-hari sulit dibedakan dengan penduduk yang beragama Hindu. Mereka memiliki bahasa yang sama yaitu bahasa Bali, mempunyai rasa sosial dan gotongroyong serta kerjasama yang baik / mendalam, termasuk dalam kesenian. Yang dibedakan adalah masalah menjalankan kewajiban agamanya masing-masing, mereka saling mengerti, menghormati dan menghargai.  Dalam pembauran di Bali terdapat juga pemberian nama-nama Islam yang dipadukan dengan kekerabatan khas Bali seperti Made Ali, Nyoman Nasir, Wayan Muhammad, Ketut Sulaiman, Ni Luh Siti Fatimah, dllnya. Di Bali juga terdapat istilah “Sugihan Jawa” yang diperingati oleh ummat Hindu di Bali.  Alkulturasi dan toleransi ummat Islam dan Ummat Hindu di Bali sudah berlangsung beberapa abad silam sejak Islam masuk dan selama itu belum pernah terjadi gejolak yang menjurus pertikaian.  Adanya Pura Langgar, yang dibangun oleh Dalem Dewa Agung Wilis, Raja Kerajaan Bunutin, diwilayah Kabupaten Bangli. Sebutan “Pura” adalah tempat peribadatan ummat Hindu dan “Langgar” adalah tempat peribadatan ummat Islam. Pura Langgar, berada ditengah-tengah komplek pura dan yang merawatnya adalah tetua agama Hindu yang bernama  Anak Agung Ketut Gede yang masih keturunan Raja Bunutin. Pura “Langgar” itu sendiri dikeramatkan oleh ummat Hindu dan ummat Islam belum banyak yang mengetahuinya (Toyib Saen A, 1998: 30). Konon ceritanya Putra Raja Dewa Agung yang sulung dari istri permaisuri bernama I Dewa Agung Mas Blambangan menginjak remaja menderita sakit, semua tabib dan pendeta tak mampu menyembuhkannya. Namun  ada seorang pendeta mendapat petunjuk yang mengisyaratkan raja membuat /mendirikan sebuah “langgar” agar putra sulungnya sembuh dan tentu semua tidak mengerti karena beragama Hindu. Setelah bertanya ke Jawa, yang dimaksud adalah tempat ibadah sholat ummat Islam dan raja memerintahkan punggawanya mencari tenaga ahli dan membangun “langgar” tersebut. Dan benar, ketika “langgar” tersebut selesai putra raja yang menderita sakit itu sembuh seperti sediakala. Putra raja yang bungsu yang bernama I Dewa Agung Mas Bunutin penasaran akan kesembuhan kakaknya dan mohon ijin pergi ke Blambangan dan tidak tidak kembali tanpa kabar beritanya. Lain halnya dengan ketiga putra dari istri kedua, merasa kurang berkenan adanya “Langgar”dan masing-masing mendirikan “pura”disamping kanan dan kiri dari langgar yang telah ada. Akhirnya semuanya dinamakan “Pura Langgar”. Dan seorang pendeta memberi keterangan bahwa pada waktu tertentu tengah malam ada beberapa orang Islam mengerjakan sholat di dalam langgar tersebut antara 3 sampai 15 orang yang datang dan perginya tanpa diketahui sebagai misteri. Sampai sekarang tempat tersebut dikeramatkan oleh ummat Hindu di Bunutin, Bangli. Sebagai suatu bukti adanya toleransi akulturasi yang terjadi di Bali.

IV. Simpulan

1.  Islam masuk di Indonesia sekitar abad ke XII dan XIII di Perla / Pasai .
2.  Islam masuk Indonesia terdapat dua pendapat yaitu pertama melalui Persia dan            
     Gujarat, kedua melalui Mesir dan Mekah.
3.  Islam masuk Bali sejak abad ke XIV, melalui kerajaan Gelgel I ( 1380 -1460) dalam 
     pemerintahan Raja Dalem Ketut Ngelesir.
4.  Pengembang pertama agama Islam di Bali yaitu Raden Modin dan Kiyai Jalil
5.  Toleransi dan akulturasi Islam dan Hindu berjalan sudah berabad-abad dan tidak ada
      gejolak pertentangan atau berlangsung dengan damai, saling menghormati dan meng
      hargai.

Pustaka

A.A. Wirawan, Islam di Bali: Sejarah Masuknya Agama Islam di Bali, Pemda Tk.I
              Bali, Proyek Peningkatan Sarana & Prasarana  Kehidupan Beragama, Denpasar
              1997/1998
I Wayan Reken, Islam di Bali, Pemda Bali, PPSPKB, 1997/1998

Toyib Zaen Arifin, Sejarah Wujudnya Makam Sab’atul Auliya Wali Pitu di Bali, PP
               Al- Khoiriyah, Denpasar, 1998

Solichin Salam, Sekitar Wali Songo, PN. Menara Kudus, 1960

Alwi Sofwan, Kerajaan Islam, PN.Pustaka Al Alawiyah, Semarang, 1991

 Agus Mulyadi Utomo di Istana Presiden RI, 1994

Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com

1 komentar:

  1. Saya sangat tertarik dengan artikel terkait keberadaan Pura Langgar di Bali. Kebetulan saya sedang memiliki tugas karya ilmiah tentang kunjungan wisatawan ke Pura Langgar. Apabila berkenan, saya akan mengirim kuisioner ke email anda, untuk membantu menambah data tugas saya. Mohon balasannya. Terima kasih

    BalasHapus