Apa Itu Perjuangan
Islam (Ber-jihad)
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com/agama islam
goesmul@gmail.com
Kaum muslimin
hidup dalam keni’matan yang
besar, terutama pada zaman Rasulullah mereka sangat bergembira,
hingga munculnya “cikal bakal” perselisihan tatkala Abdullah bin Saba (seorang Yahudi asal Yaman yang berpura-pura
masuk Islam) dan para pengikutnya mengumpulkan manusia untuk memberontak kepada
Khalifah
Utsman bin Affan. Yang sebelumnya memang telah muncul pula sebagai benih “Khawarij”, berawal dengan penentangan Dzul Khuwaisirah at-Tamimi terhadap
pembagian harta rampasan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seusai perang Hunain yang
mana dia berkata: “Berlaku adillah wahai Muhammad karena sesungguhnya engkau
tidak berlaku adil!”, dia juga mengatakan: ”Pembagian itu tidak diinginkan
untuk Wajah Allah”, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepadanya : ”Celaka engkau ! , siapa lagi yang berlaku adil jika aku tidak berbuat
adil? tidakkah kalian percaya kepadaku padahal aku dipercayakan oleh Dzat
yang di atas (yaitu Allah)? ”. Tatkala ‘Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu ingin membunuhnya,
maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata yang artinya: ”Biarkan dia! Karena sesungguhnya akan keluar
dari keturunannya suatu kaum yang mana kalian merasa kecil / hina shalat kalian
jika dibanding dengan shalat mereka, puasa kalian dengan puasa mereka, mereka
membaca Al Qur’an namun tidak melampaui kerongkongan mereka, mereka membelot
dari Agama sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya”. Kemudian
dikobarkanlah fitnah itu terhadap Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah isyaratkan yang
disebabkan oleh adanya tahazzub
(terjadinya kelompok-kelompok kepentingan dan
pemahaman yang berbeda) dan penentangan yang bermaksud untuk menimbulkan
fitnah, perpecahan dan memukul Islam pada pokok
sasarannya. Dan api fitnah itu semakin berkobar setelah terbunuhnya Dzun-Nurain al Khalifatur Rasyid Utsman
bin Affan. Lalu urusan ini semakin membesar dan meluas, menimbulkan berbagai
fitnah dan kelompok-kelompok pun bermunculan, induknya adalah kelompok khawarij yang telah membunuh Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu ‘anhu, dengan
menghalalkan darah-darah dan harta benda kaum muslimin, menakut nakuti di
jalanan mereka dan memerangi mereka di jalan Allah dan RasulNya. Maka
Ali pun akhirnya menumpas fitnah mereka dan beliau menjumpai mayat “Dzul Khuwaishirah” ada di antara
mayat-mayat yang bergelimpangan saat itu. Kemudian mereka menyusun taktik untuk
membunuh sejumlah shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka berhasil membunuh Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Fitnah
mereka masih saja berkelanjutan sampai sekarang ini, sesekali tampak dan
sesekali padam, hingga akan keluar orang yang terakhir dari golongan mereka bersama
dajjal,
sebagaimana dikabarkan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ummat Islam kini harus berjuang mempertahankan,
memelihara dan mengembangkan serta mendakwahkan
agama Allah SWT dan ajaran Rasulullah SAW.
Ummat Islam dalam
memperjuangkan Islam dan ke-Islaman-nya, harus dengan cara-cara yang benar
terutama dalam berjuang (ber-jihad) di jalan Allah, dijelaskan
dalam QS. Al Hajj ayat 78: “Dan
berjuanglah kamu pada agama Allah dengan perjuangan yang sebenarnya“. Jihad di dalam Islam merupakan salah
satu amalan mulia, bahkan memiliki kedudukan yang tinggi. Sebab, dengan amalan
ini seorang muslim harus rela mengorbankan segala yang dimiliki berupa harta,
jiwa, tenaga, waktu, dan segala kesenangan dunia untuk menggapai keridhaan
Allah SWT. Firman Allah: “Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Meraka berperang di jalan Allah. Lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar” (QS.
At-Taubah:111).
Karena amalan jihad merupakan salah satu jenis ibadah
yang disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla, maka di dalam
mengamalkannya pun harus pula memenuhi kriteria diterimanya suatu amalan. Yaitu
ikhlas dalam beramal dan sesuai
dengan tuntunan Rasulullah SAW. Jika
salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka amalan tersebut
tertolak. Hal ini telah disebutkan oleh Rasulullah
SAW sebagaimana dalam hadits Abu
Musa Al-Asy’ari, dimana ada seorang Badui datang kepada Nabi SAW lalu bertanya: Ada seseorang yang berperang karena mengharapkan ghanimah (harta
rampasan perang), ada seseorang yang berperang agar namanya disebut-sebut, dan
ada seseorang yang berperang agar mendapatkan sanjungan, manakah yang disebut
fisabilillah? Maka jawab Rasulullah
SAW “Barangsiapa yang berperang
agar kalimat Allah itulah yang tinggi, maka itulah fisabilillah” (Muttafaqun alaihi). Riwayat ini
menunjukkan bahwa di dalam mengamalkan agama Allah Subhanahu wa ta’ala, harus bisa menyebut-nyebut dan
membesar-besarkan serta memuliakan nama-Nya (ber-dzikrullah). Tidaklah cukup
hanya dengan semangat belaka, namun juga harus dibarengi dengan ilmu dan
pemahaman yang kaffah agar di dalam
mengamalkan suatu amalan dilakukan di atas bashirah
(ilmu) di ‘jalan Allah’.
Dalam QS. At Taubah ayat 73 disebutkan: “Wahai Nabi, berjihadlah melawan
orang-orang kafir dan munafik itu, dan bersikaplah keras terhadap mereka“. Keras yang dimaksud disini adalah
dalam arti dengan suatu ketegasan, berjuang sekuat tenaga dan daya melawan
ideologi yang tidak Islami dan itu semua dilakukan dengan cara yang santun dan
berakhlaq sebagai bentuk dakwah
Islamiyah. Bukanlah pula membunuh orang-orang yang tak sepaham Islam, justru
memberikan penghargaan terhadap hidup
dan kehidupan ini seperti firman Allah
dalan QS. Al Maidah ayat 32: “....barangsiapa
yang membunuh seorang manusia bukan karena hukuman pembunuhan, atau karena
membuat bencana di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Dan sesungguhnya
telah datang rasul-rasul Kami kepada mereka dengan (membawa)
keterangan-keterangan, kemudian sesungguhnya banyak di antara mereka sesudah
itu melampaui batas di bumi”.
Perlu kiranya
untuk diketahui bahwa syari’at Islam
datang untuk menjaga 5 hal pokok yang amat mendasar dan mengharamkan untuk
diterjang yaitu: (1) agama, (2) jiwa, (3) harta, (4) kehormatan dan (5) akal.
Tiada perselisihan diantara kaum muslimin tentang haramnya menganiaya jiwa
orang yang terjaga dalam agama Islam (muslim), sehingga tidak boleh dianiaya
dan dibunuh tanpa alasan yang benar. Barangsiapa melanggarnya, niscaya dia
memikul dosa besar. Allah berfirman
yang artinya: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya
ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” (QS. An-Nisa’
: 93). Juga firman Allah yang artinya
: “Oleh
karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa : barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain
(hukum qishas) atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (QS.Al-Maidah: 32). Ayat ini menunjukkan
betapa besarnya dosa membunuh jiwa tanpa alasan yang benar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
yang artinya :”Tidak halal darah seseorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang
berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah kecuali (karena) tiga
perkara : jiwa dengan jiwa, pezina yang sudah menikah dan orang yang keluar
dari agama Islam, meninggalkan jama’ah” (Muttafaqun ‘alaihi dan ini lafadh Bukhari). Nabi SAW juga bersabda : “Aku
diperintah (Allah) untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu utusan
Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka telah mengerjakan
(semua) itu maka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam
dan hisab mereka adalah atas Allah” (Muttafaqun ‘alaihi dan hadits Ibnu Umar). Dalam Sunan Nasa’i dari Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi SAW juga bersabda: “Sungguh hancurnya dunia itu lebih
ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim”. Pada suatu
hari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu
pernah melihat Baitullah atau Ka’bah lalu ia berkata: “Alangkah
besarnya kehormatanmu ! Namun orang mukmin masih lebih besar kehormatannya di
sisi Allah dari padamu”. Semua dalil-dalil di atas dan masih banyak
lainnya lagi, yang menunjukkan betapa
besar kehormatan manusia dan darah
seorang muslim.
Maka haram hukumnya membunuh muslim dengan
sebab apapun kecuali apa yang telah dijelaskan oleh nash-nash syar’i. Karena itulah, maka tidak halal bagi seseorang untuk menganiaya seorang muslim tanpa alasan
yang dibenarkan agama. Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus kami (menghadapi) Bani Huraqah,
maka kami datang (menyerang) kaum tersebut pagi hari. Kamipun berhasil
mengalahkan mereka. Saya dan seorang Anshar
menyusul (mengejar) seorang diantara mereka. Tatkala kami telah berhasil
mencapainya, ia berucap: “Laa Ilaaha Illallaah”. Temanku orang
Anshar ini menahan dirinya (dari
membunuhnya), sementara aku menikamkan tombakku sehingga orang itu terbunuh
olehku. Ketika kami datang (ke Madinah) berita itu sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka
beliau bersabda: “Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa
Ilaaha Illallaah ?” Aku menjawab: “Orang
itu hanya mencari perlindungan saja” (pura-pura mengucapkan kalimat tauhid). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulangi pertanyaan tadi
sehingga aku berangan-angan sekiranya aku belum masuk Islam kecuali pada hari
itu” (Hadits Riwayat Bukhari 4269, 6872,
dan Muslim 273,274 dan ini lafadz Bukhari). Hadits ini menunjukkan secara gamblang tentang kehormatan darah
seorang muslim. Perhatikanlah suatu kisah ini, di saat kaum muslimin dalam
kancah peperangan. Tatkala mereka dapat mengejar musuhnya dan berkesempatan
untuk menyudahinya, kemudian laki-laki musyrik itu pun mengucapkan kalimat tauhid dan Usamah membunuhnya karena
menurut persangkaannya orang musyrik tersebut mengucapkan kalimat tauhid tidak lain hanya untuk menyelamatkan
dirinya. Sekalipun kondisi dan alasan tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerima alasan Usamah ini.
Semua itu menunjukkan secara jelas betapa besar kehormatan manusia dan darah
kaum muslimin serta betapa besar dosa yang pelanggarnya. Sebagaimana disebutkan
bahwa darah seorang muslim itu haram ditumpahkan, maka begitu pula hartanya
adalah haram diambil dan ia terjaga dalam Islam, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya darahmu, dan hartamu
adalah haram bagimu, seperti haramnya harimu ini, dalam bulanmu ini, dalam
negerimu ini” (Hadits Riwayat
Muslim). Berdasarkan keterangan di atas, maka telah jelas keharaman dari
membunuh jiwa yang dilindungi tanpa alasan yang benar, termasuk jiwa yang
dilindungi dalam Islam diantaranya jiwa-jiwa yang terikat perjanjian dan ahli dzimmah serta orang-orang yang meminta
perlindungan (keamanan). Dari Abdullah
bin Amr bin Ash Radhiyallahu ‘anhu, beliau Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (orang
kafir yang ada dalam ikatan perjanjian), maka ia tidak akan mencium bau syurga,
padahal baunya itu bisa dirasakan (dari jarak) sejauh 40 tahun (lama)
perjalanan” (Hadits Riwayat
Bukhari). Seseorang yang dimasukkan oleh waliyul amri (penguasa) muslim – ke dalam negerinya - dengan ikatan
perjanjian keamanan, maka jiwa dan hartanya itu dilindungi (terjaga), dan tidak
boleh diganggu. Barangsiapa yang membunuhnya, maka sungguh ia sebagaimana
disabdakan oleh Nabi “tidak akan mencium bau syurga”. Ini
merupakan ancaman keras bagi orang yang menyerang mu’ahidin. Dan sudah dimaklumi bahwasanya ahlul Islam menjamin mereka menjadi satu kesatuan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Orang-orang
mukmin sama (setara) darah-darah mereka, dan orang yang terendah berusaha
mananggung mereka”. Ketika Ummu Hani memberikan perlindungan kepada
seorang musyrik pada peperangan Fathu di Makkah, dan Ali bin Abi Thalib
hendak membunuhnya, maka ia (Ummu Hani) pergi menemui Nabi dan menceritakannya,
maka Nabi pun bersabda: “Sesungguhnya kami melindungi orang yang
engkau beri perlindungan wahai Ummu Hani” (Hadits Riwayat Bukhari dan
Muslim). Maksudnya bahwa orang yang masuk dalam suatu perlindungan keamanan
atau terikat perjanjian dengan waliyul
amri karena suatu kemaslahatan ummat yang baik, maka ia tidak boleh
diganggu dan dianiaya baik diri maupun hartanya.
Sesungguhnya apa
yang terjadi akhir-akhir ini, dengan adanya peristiwa pengeboman (bom bunuh
diri) oleh teroris, menyimak akan riwayat-riwayat yang datang dari Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa
membunuh diri sendiri dengan menggunakan alat apapun merupakan salah satu dosa
yang sangat besar di sisi Allah Azza wa
Jalla. Berikut ini hadits-hadits yang
berkaitan dengan larangan tersebut: Rasulullah
SAW bersabda: “Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi di tangannya, dia (akan)
menikam perutnya di dalam neraka jahannam yang kekal (nantinya), (dan)
dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun lalu
bunuh diri dengannya, maka dia (akan) meminumnya perlahan-lahan di dalam neraka
jahannam yang kekal, (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan
barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, dia
akan jatuh ke dalam neraka jahannam yang kekal (dan) dikekalkan di dalamnya
selama-lamanya”. Jelaslah disini bahwa pengeboman (bom bunuh diri)
dengan dalih apapun bahkan alasan berjihad
sekalipun adalah suatu perkara yang tidak dibenarkan oleh syari’at dan agama Islam, dan pengharamannya pun itu dilihat pula dari
berbagai sisi, antara lain:
1. Perbuatan tersebut merupakan pendzaliman terhadap kehormatan negeri muslim dan kaum muslimin, serta
menimbulkan ketakutan (keresahan) bagi orang-orang yang merasakan aman di
dalamnya.
2. Merupakan pembunuhan terhadap jiwa yang terjaga dalam syari’at Islam.
3. Membuat
kerusakan di muka bumi.
4. Perusakan harta
benda yang dilindungi.
Dan perkara
tersebut di atas, seakan mengingatkan
atau menganjurkan agar kaum muslimin menjaga diri agar tidak terjerumus
kedalam dosa dan keharaman yang dapat
membinasakan itu. Dan memperingatkan kepada mereka semua daripada tipu daya
setan, karena ia selalu dapat menyertai dan membawa seorang hamba sehingga bisa
menjerumuskannya ke dalam jurang kehancuran. Setan bisa juga mengarahkan dengan cara ghuluw (ekstrem) dalam bersikap,
membangkitkan kekerasan atau ekstrem dalam beragama – semoga Allah melindungi semuanya. Sesungguhnya
setan tidak peduli dengan cara apa dan yang mana saja diantaranya untuk bisa
memperdaya seorang hamba, karena cara ghuluw
dan sikap yang kasar dan keras ini (radikalisasi)
adalah termasuk juga jalan-jalan setan
yang akan menjerumuskan pelakunya ke dalam ’murka Allah’ dan siksaNya.
Apa lagi yang
telah dilakukan oleh orang-orang yang menempuh perbuatan ini, yakni seperti
bunuh diri dengan bom (bom manusia) maka ini tercakup dalam sabda Nabi SAW: “Barangsiapa bunuh diri dengan
menggunakan sesuatu di dunia, maka ia akan diadzab dengannya pada hari kiamat”
(Diriwayatkan oleh Abu ‘Awanah dalam Mustakhrajnya dari hadits Tsabit bin Ad-Dhahhaak Radhiyallahu ‘anhu).
Dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa bunuh diri dengan
memakai sepotong besi, maka potongan besinya itu ada di tangannya, ia akan
memukuli perutnya dengan besi itu dalam neraka jahannam, kekal abadi didalamnya
selama-lamanya...dst”. Di
dalam shahih Bukhari juga terdapat
seperti hadits ini. Al-Allamah
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan bahwa intihar — melakukan bom bunuh diri dengan cara membawa peledak
(bom) kepada sekumpulan orang-orang kafir, kemudian meledakkannya setelah
berada di tengah-tengah mereka, sesungguhnya ini termasuk bunuh diri, Sebab,
bunuh diri tidak memberi kemaslahatan bagi Islam karena ketika dia bunuh diri
dan membunuh sepuluh atau seratus atau dua ratus lebih (orang kafir), tidaklah
memberi manfaat kepada Islam dengan perbuatan tersebut, di mana manusia non-muslim tidaklah masuk ke dalam
Islam. Dan boleh jadi, yang terjadi sebaliknya, dan justru memusuhi Islam
sehingga akan semakin keras perlawanannya dan menjadikan darah mereka
mendidihdan bergejolak. Sehingga semakin banyaklah kaum muslimin yang terbunuh
sebagaimana yang ditemukan dari perlakuan Yahudi terhadap penduduk Palestina.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh sebagian kecil manusia berupa tindakan
bunuh diri, dianggap bahwa hal itu adalah membunuh jiwa tanpa hak dan
menyebabkan masuknya ke dalam neraka. Dan pelakunya bukanlah termasuk syahid. Namun jika seseorang melakukan
itu dengan anggapan syahid dan bahwa
hal tersebut dibolehkan, maka penulis hanya berharap agar dia selamat dari
dosa. Penulis berpendapat tidaklah demikian, sebab dia tidak menempuh cara
untuk mati syahid.
Semua masyarakat
dapatlah mengetahui bahwa ummat Islam pun bisa juga menderita, dari dampak bom
manusia, yang mengakibatkan malapetaka kemanusiaan serta mengerikan itu. Dan
yang melakukan itu disebabkan adanya penguasaan setan atas diri mereka dari
berbagai sisi. Sedang setan yang ada dalam qalbu
dan musuh-musuh Islam itu senang dan bergembira di atas penderitaan muslim. Dengan
adanya dan tersedianya sarana melegalkan perbuatan mereka dengan dalih jihad,
sebenarnya adalah untuk menguasai kaum muslimin, memperdaya, merendahkan
martabat dan mengeruk kekayaan muslim. Maka barangsiapa yang membantu
musuh-musuh Islam dalam merealisasikan tujuan mereka, dan membuka jalan
hubungan dengan mereka untuk tujuan menindas kaum muslimin dan negeri Islam,
maka berarti sesungguhnya ia telah menolong musuh Islam dan menuruti hawa
nafsunya yang dipengaruhi setan dalam
diri untuk melecehkan kaum muslimin dan menguasainya. Ini adalah termasuk dosa
besar.
Para aktivis
pergerakan dari kalangan hizbiyyun
yang melakukan amalan (jihad) hanya
bermodal semangat saja dan tidak berusaha memecahkan suatu permasalahan secara
ilmiah berdasarkan pandangan yang shahih dari
Al-Qur’an dan Sunnah serta tidak menjadikan ulama
rabbani sebagai rujukan, menyebabkan mereka melakukan pembelaan terhadap
amalan yang salah dan batil ini. Dan
barangsiapa yang berijtihad dan dia
salah, maka baginya “satu pahala”. Banyak terjadi kesalahpahaman tentang
riwayat-riwayat yang terdapat dalam hadits
Nabi SAW dan para sahabatnya
berkenaan tentang masalah ini, disebabkan ketidaktepatan dalam menempatkan nash-nash tersebut pada posisi yang
semestinya yang menyebabkan mereka tidak bisa membedakan antara hukum bom bunuh
diri dengan yang menyerang ke barisan musuh (sarang musuh) sampai mati. Dalam
masalah ini telah terjadi tiga kubu pendapat: Pertama adalah kubu yang
membawa nash-nash tentang menyerang
ke barisan musuh kepada bolehnya melakukan bom bunuh diri, sebagaimana yang
difahami oleh para hizbiyyun dari
kalangan muslim dan sebagainya. Kedua
adalah kubu yang menganggap seluruhnya adalah tindakan bunuh diri, termasuk
menyerang ke sarang musuh hingga mati. Ini difahami oleh sebagian orang dan
tidak mampu membedakan antara dua keadaan. Pada kubu yang ketiga, yang
membedakan antara kedua hukum yang disebabkan karena terjadinya perbedaan
kondisi. Di mana dalam keadaan tersebut, dilakukan dengan cara sebagian masuk
ke daerah musuh lalu melakukan pertempuran hingga terbunuh melalui tangan
musuh, bukan dengan cara meledakkan tubuh sendiri.
Adapun
sesungguhnya dalam keadaan atau kondisi untuk bisa berjihad ini sebagai amalan yang disyari’atkan
berdasarkan dalil-dalil, dan Nabi Muhammad
SAW pun bersabda: “Seorang muslim selalu dalam kelapangan
agamanya, selama tidak terlibat dalam perkara hukum pertumpahan darah yang
haram“. Jelas diterangkan disini bahwa maksud berjihad adalah bukan dengan jalan kejahatan dan membunuh atau pertumpahan
darah orang yang hukumnya adalah ‘haram’. Sesungguhnya Allah
tidak memperkenankan ummat Islam bermusuh-musuhan satu dengan lainnya serta
melampaui batas, kecuali terhadap kelaliman. Firman Allah dalam QS. Al Baqarah
ayat 190, 191, 192, 193, 194 dan 256 yang berbunyi: “Dan Perangilah pada jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, dan janganlah melampaui batas, sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (190). Lagi, “Dan
perangilah mereka dimana saja kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mana
kamu telah terusir, dan fitnah itu lebih berbahaya dari pembunuhan. Dan
janganlahkamu perangi mereka di Masjidil Haram kecuali mereka memerangi kamu
disana, tetapi jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah
pembalasan terhadap orang-orang kafir” (191). Lalu, “Maka
jika mereka berhenti (memerangimu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” (192). Seterusnya, “Dan perangilah mereka itu
sehingga tidak ada fitnah dan adalah agama bagi Allah semata-mata. Maka jika
mereka berhenti , maka tidak ada permusuhan lagi kecuali terhadap orang-orang
yang zalim” (193). Kemudian “ ........Maka barangsiapa yang yang menyerang
kamu, maka seranglah mereka sebagaimana mereka menyerang kamu. Dan bertaqwalah
kepada Allah dan ketahuilah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang taqwa”
(194). Akhirnya, “Tidak ada paksaan dalam agama (Islam) (karena) sungguh telah jelas
jalan yang benar dari jalan yang salah .....” (256).
Umumnya dalam
berjuang menegakkan Islam terdapat istilah jihad, dimana kata jihad itu berasal dari akar kata jahd atau juhd yang berarti tenaga, usaha, atau kekuatan. Jihad berarti berjuang dengan ‘keras dan
sekuat tenaga’ untuk membela diri atau menangkis serangan musuh. Jihad perlu dijelaskan, karena term tersebut menimbulkan perdebatan
yang panjang dan menjadi amat
menakutkan. Mengerucutnya pengertian jihad
yang keliru menjadi sebab dimana seluruh aksi terorisme di dunia dengan
gamblang bisa mengaksesnya dalam situs-situs komunikasi dan informasi global.
Doktrin jihad ternyata dapat bahkan
telah mampu untuk membangkitkan emosi keagamaan yang didasarkan atas nama ukhuwah Islamiyah (solidaritas antar
ummat Islam) yang bersifat umum dan global, yang kemudian dikonotasikan dengan holy
war (perang suci), sehingga orientalis
Barat pun menuduh Islam sebagai ‘agama
perang dan pedang’, dengan berbagai aksi militer suka rela atau laskar
pembela Islam atau semacamnya, yang dapat menggantikan peran militer resmi,
sebagai pembentukan karakter dan sarana untuk pelatihan serta pengkaderan yang
efektif, hingga dalam perkembangannya yang terakhir ini, dikala ruang geraknya
terbatas dan terdesak akan berubah bentuk sebagai ‘terorisme’ (bom bunuh diri /
bom manusia) yang sangat merugikan dunia Islam, dimana banyak ummat Islam juga
terbunuh dan tidak pandang bulu dari anak-anak hingga dewasa, wanita sampai
orang tua pun ikut tewas. Insiden Bom Bali I di Kuta pada 12 Oktober 2002 yang
mencederai 209 dan menewaskan 202 orang tersebut, lalu Bom Bali II, membuktikan
bahwa masih bercokolnya gerakan ‘Islam radikal’
di Indonesia yang mengatasnamakan agama, yang juga bejuang dengan kerangka
nilai-nilai (doktrin) dan identitas kelompok tertentu (Wahabi, Khawarij, Al Qaidah dan JI), sebagai warisan gerakan khawarij masa lalu dengan konstruksi
perjuangan yang juga baru. Tema radikalisme
Islam pun kembali mencuat.
Terorisme
tak beranjak dari negeri ini
(Indonesia), Jumat 17 Juli 2009, bom diledakkan di
Mega Kuningan Jakarta, yang membantai sembilan jiwa dan melukai puluhan orang.
Semua orang marah dan geram. Sesaat setelah itu, banyak aktivis HAM, tokoh
agama dan tokoh politik mengecam kebuasan pelaku pemboman. Karangan bunga duka
cita diletakkan, simbol belasungkawa bagi para korban. Pengurus NU dan
Muhammadiyah menyesalkan dan dengan lantangnya
menyuarakan kutukan atas pemboman itu. Tapi juga mewanti-wanti agar
pemboman itu tidak dikaitkan dengan Islam termasuk pesantren. Menurut para
tokoh agama, Islam dan pesantren tidak menganjurkan terorisme. Islam adalah
agama yang ‘damai’ dan rahmatan lil
alamin. Menurut Said Aqil Siradj,
Ketua PB NU, sebutannya pun bisa beragam, seperti ekstrem kanan dan militan.
Yang tepat adalah menyebutnya sebagai
Islam radikal saja atau dengan
sebutan Neo-Khawarij dan Khawarij abad ke-20. Radikalisme dari sekelompok muslim saja
tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan agama Islam sebagai biang keladi dari radikalisme.
Keterangan:
Monumen Peringatan Korban Bom
Bali I 12 Oktober 2002, Legian- Kuta – Bali.
Mencantumkan Daftar Nama Korban ’Teroris’ dan Sejumlah Bendera Negara
Asal Korban dari Kekejaman Radikalisme
Amrozi Dkk, Yang Ramai Dikunjungi Wisatawan Baik Lokal, Regional, Maupun
Internasional.
Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya besar bagi masa depan
peradaban manusia. Gerakan radikalisme
bukan sebuah gerakan spontan, tetapi memiliki faktor pendorong. Gejala
kekerasan ”agama” bisa didudukkan sebagai gejala sosial-politik daripada gejala
keagamaan. Akar masalahnya bisa ditelusuri dari sudut sosial-politik dalam
kerangka historisitas manusia. Opini tentang terorisme hadir kepermukaan,
sebelumnya didahului oleh peran daripada kelompok-kelompok yang disebut sebagai
‘Radikalisme’ atau ‘Islam Garis
Keras’. Pengaruh politik keagamaan ini yang berasal dari Timur Tengah ke
Indonesia itu bisa jadi sebagai pemicu. Dimana sejak lama terjadi hubungan
masyarakat Indonesia dengan Timur Tengah, dapat dikatakan sangat dekat dan
kental, sehingga dapatlah segera bisa dimaklumi bahwa daerah tersebut kemudian
menjadi pusat rujukan ummat Islam Indonesia, baik berhaji, ziarah maupun
belajar agama, sehingga dapat memunculkan pula jaringan ke-ulama-an, politik Islam, sampai dengan gerakan dakwah. Gerakan Islam Radikal
adalah merupakan fragmentasi dari beragam organisasi yang berfaham
mendekati (sama), sangat literal dan
dogmatis terhadap ajaran dan meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya solusi
mengatasi krisis multidimensi yang melanda Indonesia dan dunia, mereka ini
sangat resistensi terhadap segala sesuatu yang berbau ‘ke-Barat-barat-an’, dan
juga terhadap kelompok Islam lain yang berbeda pemahaman. Perjuangan yang tak
kenal lelah itu dibungkus dengan kata ’jihad’,
dengan dalih untuk bisa menegakkan syari’at
Islam. Radikalisme (syiddah al-tanatu), adalah aliran keras,
yang eksklusif, berfikiran pendek dan sempit, bersifat kaku, tidaklah kaffah serta memonopoli akan kebenaran.
Gejalanya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup. Dikisahkan dalam hadits sahih riwayat Muslim, ketika di daerah Ja’ranah Nabi
Muhammad membagikan fai’ (harta
rampasan perang) dari wilayah Thaif dan Hunain, tiba-tiba seorang sahabat yang
bernama Dzul-Khuwaishirah dari Bani Tamin
melayangkan protes kepada beliau. “Bersikap adillah wahai Muhammad !’
Nabi Muhammad pun dengan tegas menjawab “Celaka kamu ! Tidak ada orang yang lebih
adil dari aku. Karena apa yang kami lakukan berdasar petunjuk Allah !”.
Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Suatu saat akan muncul sekelompok kecil dari
ummatku yang membaca Al Qur’an, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka
itu sejelek-jeleknya makhluk di dunia ini”. Terbukti setelah Nabi
wafat, pada 35 H, terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan oleh kelompok Islam ekstrem dan disusul
terbunuhnya khalifah Ali bin Abi
Thalib oleh ummat Islam sendiri yang juga ekstrem, semua ini diwakili kelompok
yang berfahan ideologi Khawarij.
Golombang Islam Garis Keras yang saat ini berkembang, sebenarnya dipengaruhi
oleh pola khawarij ini (kini khawarij modern), merupakan refleksi
dari pemahaman yang dangkal (sathiyyah)
dan belum tuntas, tidak menyeluruh dan tidak kaffah.
Jihad juga dapat dilihat dalam perspektif dar
al Islam (negeri damai) dan dar al harb (negeri yang dilanda
peperangan) yang ditegakkan atas sebuah pertimbangan yaitu untuk mempertahankan
diri. Konsep awal jihad ini merujuk
pada perang dalam sejarah perjuangan Islam, dimana kebiasaan suku Arab saat itu
adalah berperang. Dalam Islam perang yang sah menurut hukum serta dianggap
terhormat bila dilancarkan dalam bentuk mempertahankan diri terhadap agresi
musuh. Tidak memerangi atau membunuh orang yang tidak beriman dan bahkan harus
mendakwahkan Islam dengan
sebaik-baiknya. Dalam katagori berjihad
seperti ini, jika terpaksa mengangkat senjata haruslah didasarkan pada etika
perang yang melarang untuk membunuh anak-anak, perempuan dan orang tua.
Perjuangan dalam
pengertian jihad dapat dibedakan
dalam 3 kategori, yaitu:
1) Melawan musuh
yang tampak, adalah usaha atau
perjuangan melawan serangan terhadap Islam, baik bersifat fisik maupun
bersifat ide. Terutama ada indikasi penindasan terhadap ummat Islam. Pengertian
inilah yang kemudian dilegitimasi dan dipahami oleh kelompok Wahabi Ekstrem dan Islam Garis Keras (radikal) yang merujuk pada QS. At Taubah ayat 73 di
atas: “...., berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik itu, dan
bersikaplah keras terhadap mereka“,
sebagai bentuk pemaksaan dari kehendak dan sebagai pembenaran atas doktrin
ideologi mereka, yang cenderung untuk berfikir secara “hitam-putih”, suatu pemahaman
yang dangkal dan hanya sepotong saja (tidak menyeluruh), yaitu berdalih untuk
berjihad dengan cara membunuh manusia
dan berperang melawan musuh-musuh Islam, yang kenyataannya berdampak pada orang
Islam sendiri yang juga banyak mati terbunuh). Yang pasti input-output nya merusak (negatif), bertentangan dengan tujuan
Islam yang bersifat damai dan akhlaqul
karimah.
2) Melawan setan,
baik setan yang tidak nyata (gaib)
maupun setan yang nyata, dalam diri atau diluar diri. QS. Al-Israa’ ayat 53 berbunyi sebagai
berikut: “....... Sesungguhnya setan menghasut di antara mereka. Sesungguhya setan bagi
manusia adalah musuh yang nyata”.
3) Melawan hawa
nafsu (dalam diri sendiri), sesuai hadits
Nabi yang disabdakan sesudah Perang Badar (2 H) yang menganjurkan ummat Islam
untuk melawan hawa nafsu dalam rangka mencapai kesempurnaan dari budi pekerti (akhlaq).
Keterangan: nomor
2 dan 3, adalah jihad atau perjuangan
batin manusia melawan bujukan ke arah keburukan, kemungkaran, kejahilan,
keangkara-murkaan, kejahatan, dan keinginan rendah dalam diri manusia itu
sendiri. Perjuangan tersebut bisa
menempuh jihad di jalan-Nya yaitu dengan ber-dzikrullah,
tersebut dalam QS. At-Taubah ayat 24:
“Katakanlah,
“Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang khawatir merugi dan tempat tinggal yang kamu
sukai, lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul–Nya dan (dari) berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah
tidak menunjuki kaum yang fasik”. Disebutkan bahwa jihad di jalan-Nya yaitu dengan berdzikrullah ternyata lebih utama dari jihad fi sabilillah, Rasulullah
SAW bersabda: “Seandainya seseorang memukulkan pedangnya kepada orang-orang kafir dan
musrik hingga patah dan berlumuran darah, tentulah orang-orang yang berdzikir
kepada Allah lebih utama daripadanya” (HR. Tirmidzi dari Abi Said
Al-Khudri ra.). Maknanya adalah jika seseorang mencintai keduniawian dan
melebihi cinta terhadap Allah, Rasul dan Jihad di jalan-Nya (dzikir),
Allah akan murka dan mendatangkan
malapetaka. Nabi SAW menyebut
peperangan terbesar dengan sebutan al-Malhamah
al-Kubra.
Beberapa ulama membedakan jihad dalam tiga tingkatan yang sifatnya
positif (input-output):
1. Jihad akbar (perjuangan yang ter-besar), adalah perjuangan melawan hawa nafsu diri sendiri.
2. Jihad kabir (perjuangan besar), adalah perjuangan menyebarkan
dan mendakwahkan ajaran Islam.
3. Jihad shaaghiir (perjuangan kecil) dan
Jihad
ashghar (perjuangan ter-kecil), adalah perjuangan membela diri melawan agresi musuh
yang menyerang ummat Islam atau mengganggu kebebasan beragama.
Manusia adalah
mahluk sosial yang dalam hidup dan kehidupannya memerlukan orang (mahluk) lain
dan tidak akan bertahan lama jika hidup sendirian, walau ditengah hutan
sekalipun sebab disana juga ada berdampingan dengan mahluk lainnya untuk
bertahan. Karena itu, manusia memerlukan orang lain untuk bersosialisasi dan
mengembangkan fitrahnya atau perlu mahluk lain, yang semua itu dalam rangka
untuk memenuhi hasrat (biologis, spiritual dan material) untuk keperluan hidup
dan kehidupannya. Sebagai mahluk sosial perlu juga bergaul dan bermasyarakat
agar dapat lebih maju. Islam mengajarkan untuk beretika dan menghormati serta
menjaga hubungan baik dengan para tetangganya, walaupun bukan seagama. Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari akhir maka hendaklah memuliakan tetangganya” (HR. Bukhari).
Orang memeluk
agama Islam tidak bisa dipaksakan, apalagi ia sudah memeluk agama lain, seperti
yang tercantum dalam QS. Al Kafirun
ayat 6: “Bagi kamu agamamu, dan bagiku agamaku“. Juga QS. Al Ankabut
ayat 46: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara
yang lebih baik“. Memaksa untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya pun
tidak boleh dilakukan, firman Allah “Dan
jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya, Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya? (QS.
Yunus: 99). Karena semuanya itu atas izin Allah SWT, ”Dan tidak ada
seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan
kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya” (QS. Yunus: 100). Nabi Muhammad sendiri
pernah mengajak paman beliau yang bernama Abu Thalib untuk masuk Islam, akan
tetapi sampai saat meninggalnya belum juga memeluk agama Islam, walau jasa
beliau paman Nabi dalam melindungi dan pembela Islam tidak diragukan lagi.
Itulah sebabnya Rasulullah menangis ketika paman beliau meninggal dan atas kejadian
itu turunlah wahyu Allah: “Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya....” (QS. Al-Qasas: 56).
Agama pada
akhirnya mengalami depersonalisasi, dan hanya mengandalkan pembacaan pada
teks-teks suci Al Qur’an dan hadits Nabi serta kehilangan figur
pembimbing sebagai percontohan yang mendekati sempurna dengan latar belakang
kehidupan yang juga terjaga baik. Maka pembacaan lainnya dari buku-buku
keagamaan yang begitu banyak bersifat pluralitas
menjadi tak terhindarkan lagi, yang mana keragaman pembacaan teks seperti ini
menjadikan kehidupan beragama menjadi dinamis, berkembang dan tumbuh menjadi
banyak kelompok sejauh mana tulisan dicetak dan pembacaan itu sampai ditangan
para pembacanya, didukung oleh kemudahan material dan finansial, juga media
komunikasi-informasi dan kebebasan serta disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing individu. Apakah pemikiran keagamaan masyarakat telah mengalami
pergeseran dan toleran terhadap pemikiran keagamaan yang bukan arus utama (non-mainstream) ? Tidak ada perubahan
yang signifikan menghadapi perkembangan baru terutama yang dipandang menyempal
dari arus utama itu. Dalam kemajemukan yang semakin cepat (hiperpluralisme) seperti masa kini, diperlukan sikap kritis dan
konstruktif dalam menanggapi berbagai isu yang muncul. Persoalan yang muncul
biasanya adalah perbedaan pandang atau pro-kontra sebagai sebuah fenomena, ada
kelompok yang mengklaim paling benar dan ada yang dianggap sesat (dalal). Kata sesat dengan mudahnya
muncul bahkan boros dipakai sebagai label terhadap paham selain yang dianut
kelompoknya atau yang dikenal sebagai golongan ‘baru’ atau merasakan ‘asing’
karena ketidaktahuannya atau kebodohannya yang tanpa diriset terlebih dahulu,
sehingga terjadilah provokasi pihak-pihak tertentu dan penghakiman oleh massa
secara sepihak. Mengapa tidak ada forum yang independen atau bisa menempuh
jalan dialog ketika menghadapi perbedaan dan kemajemukan, sebagai manajemen
penanganan konflik adalah juga merupakan bagian dari ajaran etika yang merujuk Al Qur’an, dengan mengutamakan unsur
keadaban dalam Islam yang bersifat damai dan bukan dalam suasana kekerasan.
Terutama dalam mendialogkan soal kesesatan (dalal),
Rahmat (2007), mengatakan bahwa yang disebut dalal dalam Al Qur’an
sebanyak 191 kali[1], sebagai al-furqaan sebagai pemaparan secara
tegas antara benar dan salah. Perbedaan pandang dalam menafsirkan adalah suatu
hal yang wajar dan dialog diperlukan dengan cara-cara yang santun, tidak
menghina, tidak menekan dan membebani serta harus ada sebuah kesadaran bahwa
Islam berada dalam ruang yang hiperpluralistik.
Islam sebagai
agama, merupakan referensi pesan-pesan agama terutama Al Qur’an dan hadits Nabi
serta pengembangan tradisi pemikiran ke-Islam-an. Disebutkan dalam hadits Nabi:”al-diin-u nashiihah” artinya “agama itu adalah nasihat”.
Lebih lanjut ilmunya diperluas dan diperdalam. Dalam perkembangan ilmu
pengetahuan ke-agama-an Islam ini, juga telah melahirkan beberapa mazhab dan aliran pemahaman diantaranya
berada dalam ilmu kalam (tauhid), tasawuf (ungkapan, metode, tarekat)
dan fikih (hukum) ada yang murni,
bersifat keras, moderat, pluralis
bahkan hiperpluralis.
Firman Allah dalam QS. At-Taubah ayat 41: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan berat
maupun ringan dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang
demikian itu lebih baik jika kamu mengetahui”. Lihat juga QS. Al-Hajj ayat 78 yang artinya: ”Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad. Dia telah
memilih kamu dan dia tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”. Untuk itulah sebagai ummat muslim perlu mengenal lebih
luas perbedaan pandang tentang Islam dan perjuangannya, sehingga dapat menuntun
semua pihak menuju kearah yang lebih baik dan arif bijaksana, terutama bagi kaum
muda muslim agar tidak terjebak oleh ajaran kekerasan (‘teroris’). Maka
kembalilah kepada Al Qur’an dan Sunnah (Al-ruju' ila Al Qur’an wa Al-Sunnah).
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
catatan tambahan diambil dari facebook 1 April 2012 sebagai bahan renungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar