PEMAHAMAN ISLAM KAFFAH
oleh Agus Mulyadi Utomo
goesmul@gmail.com
goesmul@gmail.com
Allah SWT telah berfirman secara tegas yang memerintahkan agar masuk Islam secara kaffah (menyeluruh). “Udkhulu fis-silmi kaffah” artinya “Masuklah
ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)”. Al Qur’an dalam Al Baqarah:
208, firman Allah SWT tersebut ada berbunyi: “Ya ayyuhal ladziina aamanud khuluu fissilmi kaaffah” yang artinya:
“Hai
orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya”.
Dalam ayat yang lain Allah berfirman,
“Apakah
kamu beriman kepada sebagian kitab dan kafir kepada sebagian yang lain”(QS. 2
: 85). Kedua ayat di atas memberi isyarat yang mewajibkan kaum muslimin
supaya masuk ke dalam Islam secara utuh dan menyeluruh. Adapun yang dimaksud kaffah disini, artinya memasuki Islam secara
totalitas, keseluruhan, tidak parsial dan tidak terpenggal-penggal serta
bersungguh-sungguh.
Sesungguhnya ajaran
Islam yang terdapat dalam Al Qur’an, ada
mengandung tiga unsur pokok antara lain berisi tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan masalah-masalah berikut:
1) Aqidah (aka’id) ±48,5%, keyakinan, kepercayaan,
kerohanian, hablumminallah, yaitu mengenai pemahaman tentang ketauhidan atau ketuhanan.
2) Akhlak (attitude) ±48,5%, prilaku, hablumminnannas, merupakan bagaimana
melakukan (cara dan implementasi serta penghayatan) perbuatan yang baik dan
nyata dalam hidup dan kehidupan.
3) Fikih ±3%, hukum-hukum
atau dalil, dan ibadah formal, merupakan rambu-rambu yang dapat memandu
dan membimbing dalam memahami serta menjalankan Islam, termasuk amal-ibadah
lainnya.
Masuk Islam secara kaffah ini memiliki pengertian untuk
menjalankan semua unsur Islam (akidah,
akhlak dan fikih) secara simultan, bukan sebagian tanpa sebagian yang lain,
bukan salah satu saja. Secara individual, setiap ummat muslim berkewajiban
untuk menjalankannya.
Pemahaman Islam
yang ‘sepotong-sepotong’ dan “terpenggal-penggal” ini, mengisyaratkan
kebanyakan dari ummat belum menjalankan Islam secara kaffah. Demikian pula dalam kurikulum pendidikan formal, akhlakpun
“luput” dari perhatian kecuali dalam batas-batas yang boleh dikata sangat
“gersang”, sehingga jauh dari efektifitas dan kontribusi yang signifikan dalam kehidupan pribadi,
rumah tangga, bermasyarakat, bernegara dan berbangsa, apalagi untuk bisa ber-ahlaqul karimah, yaitu ahlaq mulia yang dicontohkan Nabi
Muhammad SAW.
Dalam beribadah dan beramal, yang
berkaitan dengan hubungan yang bersifat hablumminnallah
yaitu hubungan dengan Allah SWT dan hablumminnannas yaitu hubungan dengan sesama
manusia hendaknya dilengkapi dengan ilmu dan metode, rukun dan syaratnya berdasarkan Al
Qur’an dan Al Hadits. Lalu
menegakkan 3 pilar Islam atau menjalankan rukun Islam, rukun Iman dan Ihsan dengan pengamalan yang disertai
pemahaman secara benar dan saling melengkapi, sehingga apa-apa yang diperbuat
tidak sia-sia dan mendapat ridho Allah SWT. Semua yang dikerjakan dapat
membuahkan hasil dengan baik, hal tersebut tercermin dalam kehidupan
sehari-hari yang ujung-ujungnya bernilai akhlaqul
karimah. Bukankah tujuan dari ajaran agama Islam adalah untuk memperbaiki akhlaq ?! Selama dalam kehidupan ini
masih ada huru-hara, kebencian, kedengkian, kemaksiatan, korupsi, teror,
penipuan, pencurian, mabuk-mabukan, kasus narkoba, ancaman, terorisme,
penekanan, kekerasan, pembunuhan, perbudakan, peperangan dan lain-lainnya, maka
agama Islam perlu diterapkan secara kaffah
(lengkap).
Islam adalah
agama seutuhnya, yang mempunyai akar, dimensi, sumber dan pokok-pokok ajarannya
tersendiri. Siapa yang konsisten dengannya maka ia termasuk Al-Jama’ah atau Firqah Najiyah (kelompok yang selamat) dan yang keluar atau
menyimpang darinya maka ia termasuk firqaih-firqah
yang halikah (kelompok yang binasa).
Intinya adalah diamalkannya agama Islam secara utuh dari tiga pilar yaitu syari’at, iman dan ilmu tasawuf dengan tarekatnya. Sebagai Islam Kaffah,
yang menyatukan tiga pilar utama yaitu Islam, Iman, dan Ikhsan, dengan pengembangan secara
terpadu agar saling memperkuat sehingga dicapai insan kamil (moral / akhlaq sempurna) yang tumbuh kembangnya
dari rasa keimanan dan pengetahuan ke-Islam-an serta merasakan ikhsan. Ini dapat dibina oleh suatu
kesadaran diri atau buah dari dakwah
islamiyah dan pengalaman-pengalaman. Tentunya juga dari metode yang
diyakini penganut tarekat adalah melalui
dzikrullah di bawah bimbingan atau
petunjuk Wali-Mursyid.
Sebagian orang
telah melaksanakan amal dan ibadah,
akan tetapi masih juga berbuat yang mungkar-mungkar, patutlah dipertanyakan
ke-Islaman-nya, yang mengindikasikan belum menjalankan Islam secara kaffah atau lengkap tersebut. Misal ada
dijumpai beberapa santri yang percaya
perdukunan, tukang ramal, menyimpan benda-benda bertuah seperti keris,
rajah-rajah walaupun dengan tulisan Arab, percaya akan tumbal, besi kuning,
batu permata, akik dan sebagainya, yang tampaknya dalam keseharian
mereka-mereka itu telah melaksanakan syariat
agama dan rukun Islam. Mereka ini, ternyata telah mencampurkan aqidah dengan khufarat (bid’ah) dan
tidak terasa terjerumus kedalam kemusyrikan
dan ilmu perdukunan serta apalagi menjadikannya sebagai sarana memcari rejeki. Rasulullah SAW melarangnya dalam hadits: “Siapa yang datang kepada dukun
atau tukang ramal, maka sholatnya tidak diterima selama 40 hari”.
Waspadalah juga dengan ilmu kebatinan tanpa dasar agama Islam yang kuat dan
benar serta tanpa petunjuk Rasul / Ulama Pewaris Ilmu Rasul / Guru-Mursyid / Wali / Awliya Allah, sebab
ilmu-ilmu tersebut juga dihiasi dengan ayat-ayat Al Qur’an baik lisan maupun tulisan yang penggunaannya tanpa izin Allah sehingga jin-setan ikut campur dan dengan mudah datang
menghampiri dan menipu. Ada sebagian delegasi orang yang datang kepada Nabi SAW, dan mereka menganggap bahwa Nabi
termasuk orang yang bisa melihat yang ghaib, maka mereka
menyembunyikan sesuatu di dalam (genggaman) tangan mereka untuk
beliau terka. Dan mereka berkata pada beliau: "Khabarkan
pada kami, apa dia (yang ada dalam genggaman kami ini)? Lalu beliau
Nabi menjawab kepada mereka: "Innii
lastu bikaahinin, wa innal kaahina wal kahaanatu walkuhhaana fin naar"
yang artinya “Aku bukan seorang dukun. Sesungguhnya dukun dan perdukunan serta
dukun-dukun itu di dalam neraka" (HR Abu Dawud, 286). Allah berfirman: "Katakanlah!
Tidak ada yang dapat mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi kecuali
(izin) Allah" (An-Naml: 65). Ilmu-ilmu lainnya yang
tak terpuji meliputi sihir dan tasalim,
keduanya menimbulkan berbagai macam bahaya. Adapun Ilmu nujum juga dilarang. Aliran kepercayaan dan ilmu kebatinan perlu
juga diwaspadai, seperti hipnotisme,
spiritisme, telepathie, mediumship, santed,
tenung, gendam, sihir, telekinese dll. Demikian pula berlaku
bagi mereka yang juga mengamalkan dzikrullah,
harap berhati-hati bahkan bisa saja menjerumuskan dan menyesatkannya.
Mempelajari ilmu filsafat pun harus didasari dengan ilmu agama yang kuat dan
benar, misalnya ilmu berhitung yang tak mungkin ditentang dan merupakan
pengantar kepada ilmu yang lain. Atau dibatasi sesuai kebutuhan atau
kemanfaatan yang dapat memperkaya
pengetahuan dan tidak merusak keyakinan (aqidah)
Islam. Dan Rasulullah SAW bersabda: “Apabila
disebut bintang-bintang, maka diamlah”, karena manusia memang gemar
menyelidiki sebab-musabab, perantara yang nyata dan yang khayali, maka ‘diam’
disini maksudnya agar tidak menimbulkan hal-hal bertentangan dengan syara’ dan hukum akal, yang menyebabkan
lalai akan penyebab dari sebab-sebab itu.
Masuk Islam
secara lengkap, dimaksudkan disini adalah pemahaman ajaran Islam dari yang
bersifat jasmani dan ruhani sampai dengan pelaksanaannya
dalam peramalan (beramal sholeh) serta
peribadatan yang sesuai dengan petunjuk Al
Qur’an dan Al Hadits, yang
semurni-murninya dan sebersih-bersihnya serta sekhalis-khalisnya sesuai
kehendak Allah. Pengamalan (amal sholeh) yang menuju kepada perpecahan
ummat tidak relevan, dan akan menambah jauhnya saja dari hidayah Allah, Al-Qur’an
dan ummat manusia. Islam bisa saja tampak tertera namanya saja, sedang isinya
kosong, bahkan sudah ada berupa laknat dan bukannya rahmat yang diperoleh, contoh adanya suatu paham perjuangan dengan
menghalalkan segala cara seperti
halnya ‘teroris’ yang mengatasnamakan Islam, dimana Al-Qur’an hanya tampak berupa tulisan-tulisan yang dihafal tetapi
sepi dari hidayah, ibarat onta di
tanah Arab atau kerbau yang membawa kitab berbahasa Arab dan tak pernah
mengetahui isi maksud dari kitab tersebut.
Hendaknya ummat
Islam dapat melihat dan menilai sesuatu tidak hanya dengan mengandalkan
pancaindra dan otak saja yang berimplikasi pada keterbatasan dan terjebak pada
nafsu. Apalagi sebagai manusia yang penuh dengan noda dan dosa, penuh dengan
kekurangan, kesilapan, kealpaan – bilamana (jika) menilai atau memutuskan
sesuatu tanpa pertimbangan Iman, Islam dan Ikhsan,
serta tanpa diriset atau diteliti lebih dahulu, juga tanpa wawasan yang luas
dan ilmiah, maka sangatlah mudah terbawa oleh nafsu-nafsu, dan hidupnya akan
cenderung keblinger. Firman Allah: “Tahukah
engkau Muhammad kepada orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhan, dan Allah SWT menyesatkannya atas dasar pengetahuannya. Dan dengan demikian Allah SWT menutup telinganya
dan hatinya sedangkan matanya dijadikan Allah tertutup”. Juga firman Allah yang lainnya QS.Yusuf: 53 artinya “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh
kepada kejahatan”. Dan sabda Nabi SAW.,
“Musuhmu yang paling jahat ialah nafsu
yang berada di rongga badanmu”.
Maka masuklah
kedalam Islam secara Kaffah, itu
adalah panggilan Allah kepada orang yang
benar-benar beriman (percaya): “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu
ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu
menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran,
maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al- Baqarah : 208-209 ). Ayat tersebut
merupakan seruan, perintah dan juga peringatan Allah yang ditujukan khusus kepada orang-orang yang beriman
(percaya), yaitu orang-orang yang mengakui Allah
sebagai Tuhan satu-satunya dan juga mengakui Muhammad SAW selaku Nabi-Nya (Rasul),
agar masuk kedalam agama Islam secara kaffah
atau secara keseluruhan, benar-benar dan sungguh-sungguh, secara jasmani dan
ruhani. Apa maksudnya ? Pengalaman telah mengajarkan, betapa banyaknya
orang-orang yang mengaku telah beriman kepada Allah, mengaku meyakini apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
dan dia juga mengaku beragama Islam akan tetapi pada hakekatnya mereka baru
ber-Islam secara lahiriyah, belumlah ber-iman secara batiniah, apalagi untuk
ber-ikhsan perlu untuk berproses
lagi. Islam hanya dijadikan sebagai pajangan luar dan fisik belaka, cuma
sekedar pajangan dan keterangan didalam KTP, yang sewaktu-waktu dapat
menyemarakkan pula berbagai aksi-aksi demonstrasi yang berlebihan dan
mengganggu kepentingan umum, provokasi-provokasi yang menyulut luapan emosi nafsu
amarah, dimana Islam telah dipergunakan sebagai tameng (kedok), baik didalam
menindas orang-orang yang lemah, maupun melakukan aniaya diri sendiri dan
penekanan terhadap golongan minoritas serta tidak jarang pula dijadikan sebagai
sarana tunggangan untuk bisa menipu atau memperdaya masyarakat demi kepentingan
individu atau golongan atau politik tertentu.
Hai orang beriman ! Inilah panggilan
yang amat jelas buat kaum yang beriman, yaitu suatu sifat atau identitas yang
umumnya sangat digemari dan untuk membedakan mereka yang diseru dengan orang
lain yang tak merasa dipanggil, walaupun Ia-nya sudah masuk Islam tetapi
belumlah beriman. Hal ini menjadikan mereka yang merasa terpanggil untuk terus
mencari dan berusaha agar bisa berhubungan, bisa mendekatkan diri atau merasa
beserta dengan Allah SWT yang
memanggil mereka itu. Seruan ini ditujukan kepada orang-orang yang benar-benar
beriman untuk masuk Islam secara ‘total’. Pemahaman pertama terhadap seruan ini
ialah orang-orang mukmin harus
menyerahkan diri secara total kepada Allah
dan melalui petunjuk Rasulullah SAW
(yang diteruskan pewarisnya), dalam segala urusan, baik yang kecil maupun yg
besar. Hendaklah mereka bisa menyerahkan diri dengan sebenar-benarnya secara
keseluruhan, baik mengenai tashawur, persepsi,
pandangan, pemikiran serta perasaan, niat, amal, kesenangan, bahkan ketakutan,
ketundukan dan kepatuhan kepada Allah dan
Rasulullah, serta ridha kepada hukum dan qadha-Nya, tak tersisa sedikit pun dari
semuanya untuk selain Allah. Pasrah
dan ikhlas yang disertai dengan ketaatan yang mantap dan lunak serta tenang.
Menyerah dan patuh kepada pembimbing ruhani (Waliyyam Mursyidaa di dalam QS.
Al Kahfi ayat 17) yang memberi
petunjuk serta menuntun langkah-langkah menuju kebaikan, ketulusan dan
kelurusan, untuk dapat merasakan akan sesuatu ketenangan dan ketenteraman
(damai) apabila menempuh di jalan Allah
ini, tentunya dengan banyak berdzikir,
baik dalam kehidupan di dunia maupun sebagai bekal kehidupan untuk di akherat
nantinya, ini adalah sebuah dambaan.
Hadits menyebutkan dan menyiratkan Islam
secara lengkap serta sifatnya umum dikisahkan sbb: “Ayahku Umar bin Khattab, menceritakan kepadaku sebagai berikut: Pada
suatu hari ketika kami sedang berada disisi Rasulullah SAW, sekonyong-konyong
muncul dihadapan kami seorang laki-laki berpakaian sangat (serba) putih dan
berambut sangat hitam. Tidak terlihat padanya bekas perjalanan dan tidak
seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk kedekat Nabi SAW,
lalu disandarkan lututnya ke lutut Nabi, dan diletakkannya kedua telapak
tangannya kepahanya. Dia berujar, “Ya Muhammad, Terangkanlah kepadaku tentang
Islam”. Jawab Nabi SAW : ”Islam
ialah : Mengakui tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad Rasulullah,
Mendirikan shalat, Membayar Zakat, Puasa Ramadhan dan Haji ke Baitullah, jika
engkau sanggup melaksanakannya”. Engkau benar !, kata orang itu. Kata ayahku, kami heran terhadap orang itu, dia yang
bertanya tetapi dia pula yang mengatakan benar. Kemudian orang itu berkata pula, “Terangkanlah kepadaku tentang
Iman”. Jawab Nabi SAW, Iman ialah
: ”Beriman
kepada Allah, Beriman kepada para Malaikat-Nya, Beriman kepada kitab-kitab-Nya,
Beriman kepada para Rasul-Nya, Beriman kepada Qadar baik maupun buruk”.
Kata orang itu, Engkau benar !. Kemudian dia berkata pula: “Terangkanlah
kepadaku tentang Ihsan”. Jawab
nabi SAW : ”Ihsan ialah Menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun
engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu“. Katanya pula: “Terangkanlah kepadaku tentang
kiamat”, jawab Nabi SAW: “Orang
yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang menanya”. Katanya terangkanlah kepadaku tanda-tandanya”,
Jawab Nabi SAW: “Apabila hamba sahaya perempuan
telah melahirkan majikannya, dan apabila orang-orang dusun yang melarat telah
bermewah-mewah digedung-gedung nan indah”. (HR.
Muslim No. 1, dikutip dari Kitab Hadits terj. Shahih Muslim hal. 2-3)
Setelah
memperhatikan hadits tersebut diatas,
sebenarnya menjadi jelas apa yang dimaksud dengan Islamul Kaffah.
Perhatikanlah pertanyaan Malaikat kepada Nabi ada tiga bahagian, yang pertama
Malaikat bertanya “Apakah Islam”, yang kedua Malaikat bertanya “Apakah
Iman”, adapun pertanyaan yang ketiga Malaikat bertanya “Apakah
Ihsan”. Dari pertanyaan Malaikat tersebut” dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Islamul
Kaffah ada tiga bahagian, yaitu Islam, Iman dan Ihsan.
Untuk itu Buya Hamka, seorang tokoh Muhammadiyah militan mengatakan: “Kalau kita tilik kepada bunyi hadits tentang
Islam, Iman, dan Ihsan nanpaklah bahwa ketiga ilmu, yaitu fiqhi, ilmu
Ushuluddin dan Tasawuf telah dapat menyempurnakan ketiga kesimpulan agama itu.
Islam diartikan oleh hadits itu ialah
mengucapkan syahadat, mengerjakan sembahyang lima waktu, puasa bulan Ramadhan, mengeluarkan
zakat dan naik haji. Untuk mengetahui, sehingga kita mengerjakan suruhan
suruhan agama dengan tidak membuta: kita pelajarilah fiqhi. Iman kepada Allah,
kepada malaikat, kepada Rasul-rasul dan kitab, dan iman kepada Hari Kiamat dan
Takdir buruk dan baik mesti terjadi, karena ketentuan Tuhan: kita pelajarilah
Ushuluddin atau ilmu Kalam. Ihsan adalah kunci daripada semuanya, yaitu: bahwa
kita berabdi kepada Tuhan, seakan-akan Tuhan itu kita lihat dihadapan kita sendiri.
Karena meskipun mata kita tidak dapat melihat Tuhan, namun Tuhan tetap melihat
kita. Untuk menyempurnakan iksan itu, kita masuki alam Tasauf. Itulah tali
berpilin tiga : iman, Islam dan Ihsan. Dicapai dengan tiga ilmu: Fiqhi,
Ushuluddin dan Tasauf”[1]. Tasawuf yang dimaksud disini oleh Buya
Hamka adalah tentang ilmu tazkiyatun nasf (penyucian jiwa).
Ajakan untuk
ber-Islam secara kaffah adalah ajakan
yang sangat mulia, bernilai sakral-spiritual-akhlak dan yang menuju kepada
adab-moralitas yang tinggi, baik bernilai ibadah maupun bernilai amaliah dan kesholehan, tidak hanya
bersifat jasmani (fisik) dan tetapi juga bersifat ruhaniah (metafisik).
Beragama bukanlah
tempatnya untuk ajang berpetualangan semata, apalagi ada unsur bermain-main (oportunisme) di alam ke-Tuhan-an.
Sungguh apabila ada yang demikian sangatlah tidak terpuji dan kurang etis.
Beragama seharusnya dalam suatu kesadaran yang penuh sebagai hamba Allah, untuk mencari kebenaran yang
hakiki dan kesucian diri serta ketenangan di
jalan Allah. Pendekatannya bisa
dengan menggunakan “metode” yaitu dengan jalan dzikrullah yang terbimbing (dalam ilmu tarekatullah) untuk membuktikan akan kebenaran sejati, sehingga
timbullah apa yang disebut haqqul yakin dan memperoleh ilmu
laduni (Allah yang
mencerdikkan) sampai kemudian mencintainya. Ajakan kepada kebaikan itu bisa
saja dilihat sebagai kesimpulan dari seorang intelektual muslim yang telah
melaksanakan amal sholeh dan sadar
akan batas-batas, yang terlahir daripada sikap tahu diri atau dalam proses
mengenal diri sebagai hamba Allah,
yang ikhlas dan ridha untuk selalu bertaubat semata-mata karena Allah serta kerendahan hati.
Ajaran Islam itu
cukup sederhana, simple, dan mudah,
tidak perlu mengerenyitkan kening. Yang terpenting siapkanlah hati secara
terbuka untuk dapat menerima Signal Hidayah Allah yang tak pernah
pupus atau putus, caranya adalah dengan berdzikirullah dan beristighfar
sebanyaknya. Saat hati sudah connect to signal hidayah Allah tersebut, selanjutnya adalah tugas dari Rasulullah SAW diteruskan kepada pewarisnya
yang ruhaninya telah bertali-hubungan dan sambung-menyambung sampai akhir
zaman, yang selanjutnya akan membimbing ruhani kita yang baharu, sehingga
dapatlah tersalur akan hidayah Allah tersebut sebagai pencapaian dari makrifatullah.
Mencari akan
adanya suatu ilmu pengetahuan ke-Islam-an sangat diperlukan, yang tentunya
dapat menunjukkan suatu jalan menuju kehadiratNya. Paling tidak untuk bertanya
kepada ’ahli dzikir’ seperti diisyaratkan dalam Al Qur’an, sehingga akhirnya memperoleh cahaya yang terang dari
pancaran nuur-Allah. Yang
maksudnya juga adalah pancaran nuur-Muhammad, semacam kejelasan,
seolah-olah cahaya terang-benderang yang dapat menenangkan hati, menerangkan
atau mencerahkan jiwa dan pikiran yang sebelumnya dalam suasana kegelapan dari
pandangan ruhani dan seakan berjalan seperti dalam hutan belantara tak
berujung. Akibat dari kebodohan dan tertutupnya hati (terhijab) seperti firman Allah
dalam QS. Muhammad: 16 yang artinya “Mereka
itulah yang ditutup mata hati mereka oleh Allah” dan QS. Al-Muthaffifin: 14 “Sekali-kali
tidak, sesungguhnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka”,
serta tidak adanya petunjuk dan bimbingan Sang Mursyid dalam QS. Al Kahfi: 17, semua
inilah yang sebenarnya menjadi penyebab dari kebingungan, ketidaktahuan atau
ketidak mengertian selama ini, terutama pada jalan-jalan samar yang berdimensi
metafisik (gaib), dimana setan selalu mengintai mereka di jalan Allah tersebut dan berusaha mencari
setiap kelemahan manusia beriman untuk bisa menyesatkannya.
Petunjuk dan
arahan dakwah kepada orang-orang yang
beriman ini, ada saja mengisyaratkan bahwa terdapat juga jiwa-jiwa (manusia)
yang senantiasa memberontak disebabkan oleh keragu-raguan untuk melakukan suatu
ketaatan dan keikhlasan, baik secara sembunyi maupun terang-terangan, adalah
hal yang lumrah dan wajar serta dianggap biasa saja di dalam kelompok-kelompok
masyarakat muslim. Di samping itu juga memang ada jiwa-jiwa yang sangat tenang,
terutama yang percaya (beriman 99% - 100%) kepada Allah dan RasulNya (dan
pewarisnya) dengan ridha dan meridhai. Ini adalah seruan yang setiap
waktu ditujukan kepada orang-orang yang beriman, agar qalbu mereka segera dibersihkan dan disucikan, dengan rasa tulus
dan ikhlas serta sesuai getaran-getaran jiwa yang mengarah pada perasaannya
yang terdalam pada apa yang dikehendaki Allah.
Semua harus berkesesuaian dengan Al
Qur’an dan sesuai pula dengan tuntunan Nabi, yang dilaksanakan tanpa
keraguan dan kebimbangan serta kegamangan.
Ketika seorang
muslim mematuhi dengan sebenar-benarnya, berarti ia telah masuk dalam suasana
kedamaian secara menyeluruh dan menuju pada keselamatan dunia dan akherat.
Dalam alam ini, seakan penuh suasana kedamaian, dengan rasa mantap dan
ketenangan, penuh keridhaan dan tidak
ada lagi kebingungan dan kegoncangan. Juga tidak ada unsur perusakkan, kelinglungan
dan kesesatan. Damai dengan segala yang ada dan segala yang maujud. Kedamaian yang berseri-seri
dalam lubuk hati, adalah juga kedamaian yang membayang-bayangi kehidupan dalam
bermasyarakat, kesejahteraan ummat dan keselamatan di bumi pada umumnya.
Keselamatan dan
kedamaian yang pertama kalinya akan melimpah ke dalam hati dan melimpah dari tashaawwur-nya yang benar kepada Allah. Dan Allah juga memancarkan sinar atau nuur-Nya dari kelapangan tashawwur
melalui ilmu tasawuf-tarekat ini dan
akan terlihat suatu pandangan yang sangat indah dan membahagiakan.
Sesungguhnya, ‘Dia’ adalah ‘Tuhan Yang Maha Esa’ yang kepada-Nya
orang muslim dan mukmin menghadapkan arah pandangan dengan hati yang mantap. Maka
jalan-Nya tersebut tidaklah bercerai-berai, penghadapan-Nva pun tidak
berbilang, melainkan hanya dengan ‘metode dzikrullah’
dan sehingga tidak lagi diombang-ambingkan oleh tuhan ini dan tuhan itu, ke
sana dan ke mari, sebagaimana ketuhanan berhala dalam masa jahiliah modern.
Apabila seorang
beriman, bertaqwa dan ber-ikhsan menghadap kepada-Nya, berarti ia
menghadap kepada kekuatan yang sebenarnya yang hanya satu-satunya di alam
semesta ini. Ia merasa aman dari semua kekuatan palsu, merasakan ketenangan dan
ketenteraman. Ia tidak merasa takut kepada seseorang atau kepada sesuatu
apapun, tidak juga khawatir kehilangan sesuatu dan tidak pula berambisi
terhadap apa saja serta tidak berkuasa untuk mencegah atau memberi. Dia adalah Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Kekuatan dan
kekuasaan-Nya merupakan jaminan Allah
dari serangan berbentuk kezaliman, hawa nafsu dan hal-hal yang dapat merugikan.
Dengan jalan dzikrullah seorang muslim meninggalkan
apa yang dilarang agama dan berlindung sepenuhnya atau bersandar kepada Allah, berpegang pada tiga pilar yang kokoh
(Islam, iman-taqwa dan ikhsan), untuk bisa meraih kedamaian
sejati, keadilan, perlindungan, dan keamanan serta kesejahteraan. Dia adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, pemberi nikrnat dan pemberi karunia, pengampun dosa dan
penerima taubat yang mengabulkan
permohonan doa orang yang memohon kepada-Nya dan menghilangkan duka deritanya. Di bawah naungan Allah dalam menjalani kehidupan bersama
akan menemukan sesuatu yang dapat menenangkan hati dan menenteramkan jiwa.
Begitulah Islam melimpahkannya ke dalam hati orang beriman, suatu pandangan
yang benar mengenai hubungan antara hamba dan Tuhan, antara Sang Pencipta dan
alam semesta, serta antara alam nyata dan alam metafisik (gaib), dengan
hukum-hukum sunnatullah yang segala
sesuatunya berdasarkan takaran yang sesuai dan pasti akan membawa hikmah.
Allah menciptakan sesuatu dengan bertujuan,
apa yang ada tidak dibiarkannya sia-sia, telah pula dipersiapkan takdir untuk
segala sesuatunya dan untuk berbagai keadaan, baik itu berupa pahala, harapan,
cobaan, ujian, peringatan maupun bala-bencana, semua itu tentunya sesuai dengan
apa yang telah diperbuat manusia sendiri sebagai akibat atau imbalan. Tidak
setiap manusia adalah makhluk yang mulia, bahkan dalam pandangan Allah bisa saja manusia itu menjadi
sejelek-jeleknya mahluk. Khusus hanya diperuntukkan bagi manusia pilihan dan
mereka yang mengikuti jalan-Nya (berdzikrullah),
yang memperoleh petunjuk dan kurnia berupa nuur-Allah
atau nuur-Muhammad ke dalam hati (qalbu) untuk dapat menjadi seorang khalifah Allah (Rasulullah SAW), dan
kemudian mewariskannya kepada khalifah-khalifah
berikutnya sesudahnya.
Di muka bumi ini
harus ada ’metode’, adapun cara pendekatan yang sebenarnya telah berada dan
tersembunyi dalam ilmu tarekatullah,
tentunya ada semacam tali ruhani
yang dapat menghubungkannya, mendudukkannya dan mengikatnya serta mengangkatnya
untuk bisa melanjutkan sebagai pewaris ilmu Rasulullah
tersebut, yang sambung menyambung sampai akhir zaman. Ia bukanlah manusia yang
baharu, tapi berupa derajat dan pangkat yang mulia disisi Allah yang tidak pernah berakhir dan harus dilanjutkan atau
diteruskan oleh sipembawa panji-panji kekhalifahan
sampai dikemudian hari atas izin Allah.
Dan Allah senantiasa menolong utusan
atau pewarisnya dalam menjalankan tugas-tugas kekalifahannya. RuhNya (bersama nuur-Allah
dan nuur-Muhammad) dan ruh dari
orang-orang beriman dijalan-Nya yang turut serta bergabung serta didukung pula
oleh hukum sunnatullah dan alam
semesta, yang kesemuanya saling merespons untuk menjuluk turunnya karunia Allah. Aqidah yang demikian menuangkan rasa kedamaian ke dalam jiwa. Dan
dengan bisa menemukan pembimbing ruhani dan sebagai ’guru sejati’, yang dapat
membebaskan dari unsur kekotoran ruhani hingga menjadikanya suci, untuk bisa
menjalin dan berhubungan mesra dengan seluruh makhluk di alam semesta, yang
dapat menebarkan keamanan, kelembutan, kasih sayang dan keselamatan di
dilingkungan sekitarnya sebagai rahmatan
lil ’alamin. Keyakinan akan adanya alam akherat, juga memiliki peranan yang
cukup besar, sehingga Allah juga akan
mencurahkan atau memberi keselamatan dan kedamaian pada kehidupan di dunia,
sekaligus menghilangkan rasa kegundahan, kebencian, dan keputusasaan pada
ruhani orang-orang yang ikhsan, telah
mukmin, lunak dan merasa tenang.
Sesungguhnya
perhitungan amal-ibadah itu, tentang salah-benar, baik-buruk adalah ditempuh
selama ada di dunia, di alam kehidupan yang sementara ini. Maka anjurannya
adalah berbuatlah yang baik dan mencari akan kebenaran itu, tidak merasa
menyesal bahkan ikhlas dalam
melakukan suatu kebaikan dan berjihadlah
di jalan Allah (dzikirullah) akan jauh lebih berguna. Tidak pula dibuat sedih dan
bimbang kalau belum mendapatkan balasan yang sempurna sesuai keinginan, namun
demikian harus diyakini bahwa apa yang diperoleh merupakan takdir terbaik dari Allah, karena semua orang yang beriman
pasti akan diuji dan akan mendapatkannya secara sempurna menurut kadar
timbangan Allah. Pandangan demikian, tentu
akan menimbulkan parasaan yang damai dan selamat dalam lapangan perlombaan dan
persaingan yang begitu bebas dan keras ini, tidak ada lagi yang merasa paling
baik dan paling benar, tidak menganggap enteng semua bentuk perbuatan dan
perniagaan.
Kesempatan yang
terbaik untuk memperbaiki diri dan bertaubat
adalah pada usia muda, namun Allah tidak
menutup pintu bertaubat diusia tua.
Bila masih muda untuk berjuang dan beramal sholeh
dengan maksimal terbuka luas, dan bila sudah tua, apalagi renta pasti memiliki
waktu yang terbatas dan pendek serta hasilnya pun minimum. Keterbatasan fisik
dan mental, pengetahuan, pemikiran serta kesadaran dari seorang mukminin adalah bertujuan untuk mengenal
manusia seutuhnya, dengan kenal dirinya sebagai mahluk, tahu posisi keberadaan
diri, adalah juga karena diciptakan untuk berabdi
dan beribadah kepada Allah. Hal ini akan mengangkat
derajatnya lebih tinggi lagi, ke cakrawala yang terang benderang oleh nuur ilahiah, dimana segala aktivitas
dan amalnya tersebut akan segera melapangkan sarana dan jalanNya serta dapat
mensucikan hati nuraninya. Maka semua ini akan berlaku dan berperanan penting
dalam hidup di masyarakat dalam menjalankan tugas - tugas kehidupan di muka
bumi serta merealisasikan berlakunya manhaj
Allah. Sudah sepantasnyalah orang yang ber-iman seperti tersebut di atas
tidaklah mau untuk berbuat curang, durhaka, tidak mau menipu, tidak mau berbuat
aniaya dan sewenang-wenang, tidak mau menggunakan cara-cara yang kotor dan
hina, tidak korupsi, tidak mau tergesa-gesa dalam mengambil keputusan besar dan
penting kecuali bersifat mendesak, dan tidak mau menyimpang atau mengendarai
kesulitan, selalu menempuh jalan-jalan yang ada nilai-nilai kebenaran serta
senantiasa untuk menambah kecerdikan dalam setiap urusannya dengan sangat
serius dan konsisten (istiqomah).
Juga berjalan pada sunnatullah bersama
seluruh alam (hukum alam), dengan menjalankan undang-undang yang ada di alam
ini, yang pastinya baik atau buruk pun adalah juga mengarah pada diri. Karena
itu diharapkan orang muslim beriman tidak harus berbenturan dan tidak
bertentangan, serta tidak boleh memaksa mengeksploitasi alam secara berlebihan,
dengan sewenang-wenang, yang berdampak untuk keselamatan seluruh kehidupan
dunia dan akherat, dimana mahluk seluruh ciptaanNya bersama-sama dengan
kekuatan alam semesta juga pasti tertuju kepada kekuasaan Allah tersebut.
Tugas-tugas yang
diwajibkan oleh Islam kepada orang muslim semuanya bersumber dari fitrah dan untuk meluruskan kembali
yang menyimpang dan bengkok, tidak melampaui batas-batas kemampuan, tidak pula
acuh terhadap kejadian yang menimpa manusia sekitarnya, tidak mengabaikan
potensi yang dimiliki manusia. Seorang muslim dalam hal beramal sholeh, beribadah, membangun, dan
berkembang, tentunya taklif Islam
tidak melupakan akan kebutuhan yang bersifat jasmani dan ruhani.
Masyarakat yang
dibangun oleh manhaj Rabbani ini
berada dalam naungan peraturan yang bersumber dari aqidah yang bagus dan mulia. Mereka berada di bawah jaminan–jaminan
yang meliputi derajat maqom,
perlidungan dan petunjuk. Semuanya menebarkan keselamatan dan jiwa dalam kedamaian.
Demikianlah masyarakat muslim keberadaannya sebagai perekat, yang seharusnya
juga saling menghormati, menyayangi dan saling mencintai, yang saling
berhubungan atau komunikasi dengan menjalin kebaikan dan saling setia serta
saling menjamin satu dengan lainnya, seakan-akan bersaudara. Inilah tipe
masyarakat yang hendak diwujudkan oleh Islam, dalam bentuknya yang paling
tinggi dan paling bersih. Perwujudannya tentu bisa dalam aneka macam bentuk dan
cara, itu pun menurut masanya, dengan tingkat-tingkat kejernihan yang juga
berbeda-beda. Akan tetapi secara keseluruhan jauh lebih baik daripada
masyarakat yang dibentuk oleh kejahilan
dengan segala pandangan dan bentuk tatanan keduniawiannya. Inilah masyarakat
yang diikat dengan unsur aqidah yang
meleburkan semua unsur kesukuan dan kebangsaan, bahasa dan warna kulit serta
semua unsur baru yang tidak ada hubungannya dengan esensi manusia .
Islam adalah
agama kedamaian, agama yang mengajarkan tauhid
secara benar, sebagaimana ajaran para Nabi dan Rasul serta agama yang memberikan rahmat kepada seluruh makhluk sebagai satu pegangan bagi manusia
didalam menjalankan tugasnya selaku khalifah
dimuka bumi.
Dalam surah al-Baqarah 2: 208, Allah memberikan
sinyal kepada ummat Islam agar mau melakukan intropeksi diri. Sudahkah kaum
muslim benar-benar beriman didalam Islam secara kaffah ? Allah
memerintahkan kepada kaum muslimin agar melakukan penyerahan diri secara
sesungguhnya, lahir dan batin tanpa syarat hanya kepada-Nya tanpa
diembel-embeli hal-hal yang bisa menyebabkan ketergelinciran kedalam kemusrikan. Bagaimanakah jalan untuk
mencapai Islam Kaffah itu
sesungguhnya ? Al-Qur'an memberikan
jawaban: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan janganlah kamu berpaling darinya, sedang kamu mendengar perintahNya."
(Qs. Al-Anfaal 8:20) Jadi Allah
telah menyediakan sarana kepada kita untuk mencapai Islam yang kaffah adalah melalui ketaatan
kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya serta
tidak berpaling dari garis yang sudah ditetapkan. Taat kepada Allah dan Rasul ini memiliki aspek yang sangat luas, akan tetapi bila
mengkaji Al-Qur'an secara lebih
mendalam lagi, akan mendapati satu intisari yang paling penting dari ketaatan
terhadap Allah dan para utusan-Nya,
yaitu melakukan tauhid secara benar,
dengan jalan Allah yaitu berdzikrullah.
Tauhid adalah pengesaan kepada Allah. Seringkali manusia lalai akan hal
ini, mereka lebih banyak berlaku sombong, merasa paling pintar dan paling
benar, berpikiran sempit dan picik, bahkan laksana Iblis yang hanyalah lebih
banyak menuntut haknya namun melupakan hal yang menjadi kewajibannya.
Kaum muslimin, terutama orang alim
agar mengamalkan Islam secara kaffah dan
ilmu yang dimiliki juga harus bermafaat bagi yang lain. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang paling keras siksanya di hari
kiamat ialah orang alim yang tidak diberi manfaat oleh Allah dengan ilmunya”.
Sabdanya pula: ”Barangsiapa bertambah ilmunya dan tidak bertambah petunjuk yang
diperolehnya, maka ia-pun semakin jauh dari Allah”. Dan Sufyan pun
berkata, “Ilmu memanggil amal”, jika
ia ditanya menjawab maka ilmu itu akan bermanfaat, jika ia tidak menjawab maka
ilmu itu telah pergi. Orang-orang alim yang menekuni ilmu akan mengalami dua
kemungkinan yaitu kebinasaan atau kebahagiaan abadi. Ada 4 macam manusia
menurut Al-Khalil bin Ahmad [1] yaitu: 1) Ada orang yang tahu dan tidak tahu
bahwa ia mengetahui, maka itulah orang alim dan ikutilah dia, 2) Ada orang yang tahu dan tidak tahu
bahwa ia tidak mengetahui, maka itulah orang yang tidur dan bangunkanlah dia, 3) Ada orang yang tidak tahu dan ia
tahu bahwa ia tidak mengetahui, maka itulah orang yang memerlukan bimbingan dan
ajarilah dia, 4) Ada orang yang
tidak tahu dan ia tidak tahu bahwa ia tidak mengetahui, maka itulah orang yang
bodoh dan waspadalah terhadapnya.
Bagaimana orang Islam yang bisa saja melakukan
suatu kesyirikan kepada Allah, yaitu satu perbuatan yang tidak
seharusnya terjadi, sebab mereka ”katanya” senantiasa mentauhidkan Allah ? Sejarah mencatat,
berapa banyak orang-orang muslim yang melakukan pemujaan dan pengkeramatan
terhadap sesuatu hal yang sama sekali tidak ada dasar dan petunjuk yang
diberikan Al Qur’an dan oleh Nabi
Muhammad SAW. Dimulai dari pemberian
sesajian kepada lautan, pemandian keris, peramalan nasib, pemakaian jimat,
pengkeramatan terhadap benda-benda atau seseorang dan seterusnya. Inilah satu
bentuk kesyirikan terselubung yang
terjadi didalam diri dan tubuh kaum muslim KTP kebanyakan, tentu yang kurang
akan pemahaman agama Islam.
Marilah kaum
muslim, bersama-sama untuk memulai hidup secara Islam yang kaffah sebagaimana yang sudah diajarkan oleh para Nabi atau Rasul, yakni bersyahadat dalam tauhid Allah dan Rasul, maka apapun yang terjadi sampai maut menjemput akan tetap Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang
tiada memiliki anak dan sekutu-sekutu didalam zat maupun sifat-Nya serta
mengikuti Muhammad Rasulullah sebagai
utusanNya (kini: Ulama pewaris ilmu Rasulullah).
Kembali kejalan Allah ! Adalah suatu hijrah yang berat, dimana godaan dan
gangguan pasti datang menerpa dan disanalah diuji keimanan kita, dipesankan
oleh Allah untuk melakukan jihad dijalan Allah, melakukan suatu perjuangan besar yaitu melawan hawa nafsu. Dengan berubudiah
harta, tenaga, pikiran, dan amalan anak
sholeh, mungkin saja bisa mendadak kaya, tapi harus bersiap pula apabila
mendadak jatuh miskin, atau memperoleh musibah dan sakit yang mungkin akan
mengurangi beban dan dosa-dosanya. Orang beriman akan selalu melakukan suatu
kedermawanan dengan menyokong seluruh aktifitas kegiatan ibadah dan amal sholeh demi tegaknya panji-panji Allah dan Rasul sampai akhir zaman. Berjihad
dengan jiwa bisa diartikan harus mempersiapkan mental dan fisik dalam
menghadapi segala kemungkinan yang terjadi, juga akibat ketidak senangan dari
sekelompok orang tertentu atau makhluk lain dengan hijrahnya kepada Islam secara kaffah
yang telah dilakukan. Ingat firman Allah:
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan ridho
dan di-ridhoi; Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam surga-Ku." (Qs. Al-Fajr
89:27-30).
Hijrah secara etimologis berarti migrasi
fisik (jasmani) dan dari satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan secara
terminologis merupakan migrasi nilai-nilai dan yang bersifat metafisik (ruhani). Dari yang tidak kaffah, dari ketidakserasian dalam
berbagai hal, keterpurukan keadaan mental-spiritual, kerusakan amal-ibadah,
ketidak-adilan, ketertindasan dan kebodohan, keterbelakangan, semuanya, untuk
menuju kepada Islam kaffah, yaitu
pemerataan keadilan, optimisme dan kebahagiaan, kesejahteraan, ketenangan dan
kedamaian, keamanan, kesalehan yang ikhlas dan keadaban sampai dengan berakhlaqul karimah. Nabi Muhammad SAW yang semula tinggal bersama para
pengikutnya di Mekkah memilih melakukan hijrah
ke Yatsrib, terutama dalam rangka menyongsong kehidupan baru yang menjunjung
tinggi moralitas dan kemaslahatan bersama.
Dalam kurun waktu
tidak lama, sekitar dua tahun, Nabi SAW
berhasil melakukan perubahan yang menggugah semua penduduk Yatsrib, baik
kalangan muslim, pagan, maupun Yahudi. Yastrib pun diganti menjadi al-Madinah, yaitu kota yang menjunjung
tinggi peradaban dan keadaban publik. Piagam
Madinah merupakan salah satu pencapaian politik yang sangat fantastik.
Sebab, di dalamnya memuat kesepakatan politik dan publik yang menjunjung tinggi
kesetaraan, keadilan, dan kedamaian di antara mereka yang terlibat dalam
perjanjian. Piagam Madinah menjadi salah satu model untuk membangun demokrasi deliberatif, yaitu demokrasi yang sangat
menjunjung tinggi partisipasi publik dan meletakkan kepentingan publik dan
rakyat di atas segala-galanya.
Pesan penting
yang terdapat dalam hijrah adalah
keteladanan seorang pemimpin. Tatkala membangun tempat tinggal di Madinah, Nabi
SAW memilih membangun rumah yang
sangat sederhana sebagai bentuk keteladanan yang paling mulia. Al-Ghazali dalam
Fiqh al-Sîrah menggambarkan rumah
Nabi SAW, lantainya dari kerikil dan
atapnya dari daun kurma. Tempat tinggal yang dibangun Nabi SAW bersebelahan dengan masjid bersejarah, yang sekarang dikenal
dengan Masjid Nabawi. Dalam hal ini, hijrah
bukanlah migrasi yang misinya ingin meraih kemewahan dan kemegahan hidup. Hijrah adalah upaya untuk menanamkan
nilai-nilai luhur bahwa seorang pemimpin mesti mempunyai kesungguhan untuk
mendahulukan kepentingan ummat daripada kepentingan dirinya sendiri. Kehidupan
Nabi yang sederhana dan komitmennya yang begitu kuat terhadap orang-orang
miskin telah menjadi kekuatan moral yang sangat ampuh untuk membangun sebuah
tatanan sosial yang berkeadilan, berperikemanusiaan, dan berkeadaban.
Konsekuensinya, hijrah yang dilakukan
Nabi SAW membawa transformasi sosial
yang sangat luar biasa. Dan kalangan non-muslim
di Madinah pun berdecak kagum karena telah lahir seorang pemimpin yang tidak
membangun istana megah. Seorang pemimpin yang merupakan manifestasi dari ummat
dan tidak suka menumpuk-numpuk harta. Sebab itu pula, penduduk Madinah
menyambut beliau dengan ungkapan yang sangat indah, ”Telah terbit bulan purnama dari bukit Wada’”.
Dalam konteks
ke-Indonesia-an Islam masa kini, fakta historis tersebut harus menjadi rujukan
khazanah moral dan mental-spiritual yang mestinya dapat mengatasi berbagai
masalah kerusakan akhlaq dan moral
bangsa. Sekarang dimana-mana telah terjadi banyak peningkatan kriminalitas,
kejahatan, penipuan, pencemaran dan perusakan lingkungan, korupsi,
ketidakadilan hukum dan sosial-ekonomi, yang tampaknya makin lama semakin
mengkhawatirkan saja. Publik kini juga mulai kehilangan atau kurang kepercayaan
terhadap para pejabat publik dan yang mewakilinya di parlemen. Persoalan yang
ada pada hakikatnya adalah persoalan moral sekaligus mental, selama ini,
kepemimpinan dan pelayanan publik tidak diletakkan dalam konteks kepentingan
rakyat yang dipimpinnya. Tidak ada lagi ajaran agama yang membekas walaupun
pendidikan agama sudah diberikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA hingga Perguruan
Tinggi, dan terasakan bahwa Allah SWT
dan Rasul-Nya tidak banyak
mempengaruhi hidup dan kehidupan, tidak lagi ada yang ditakuti terutama takut
akan murka Tuhan, karena ajaran Islam yang diterima hanya sebatas jasmani
(fisik) belum sampai pada yang ruhani (metafisik-gaib)
dan Islam belum dilaksanakan secara menyeluruh (kaffah).
Dalam batasan
tertentu, kerusakan moralitas seperti korupsi, ketidakadilan
hukum-sosial-ekonomi yang telah membudaya dan menjadi salah satu keahlian tersendiri
bagi sebagian pemimpin dan elite di Nusantara ini. Meskipun ada diantara mereka
berani bersumpah bahwa dirinya tidak melakukannya, publik dapat menilai bahwa
hal tersebut sudah mendarah daging dalam birokrasi. Kerusakan moral sangat
identik dalam birokrasi, belum adanya keterbukaan (transparansi) dan kecurigaan
selalu mewarnainya. Tanpa mengurangi himbauan mereka yang berkompeten dan
mempunyai anggapan, bahwa sistem yang transparan dan akuntabel amatlah penting
untuk mengatasi problem kerusakan moral sampai korupsi. Namun faktanya, sistem
tidak akan bermakna apa-apa jika tidak disertai dengan kesungguhan
moral-spiritual, seperti firman Allah
“Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah” (Qs. Al-Hadid:
16), terutama dari para pemimpin, para elite, pelaku profesional dan lainnya
untuk menjadikan Allah dan Rasul sebagai rujukan dalam hidup, bagi
keadilan dan kesejahteraan, sebagai pintu masuk bagi kemajuan dan perubahan
hukum-sosial-ekonomi ummat.
Momentum hijrah, sejatinya dapat mendorong setiap
muslim dan pejabat publik untuk menjadikannya sebagai cermin dan introspeksi
diri, terutama dalam rangka mengedepankan keislaman, keimanan, ketaqwaan, kesalehan, keakhlaqan, kesederhanaan dan kesungguhan serta disiplin
tinggi untuk memberikan pelayanan ummat dan publik yang sebaik-baiknya.
Kesederhanaan seorang pemimpin publik akan menimbulkan trust dari publik umumnya. Tingginya ketidakpercayaan publik
terhadap elite politik dan pejabat publik disebabkan mereka yang menjadi
pejabat yang pada umumnya hidup bermewah-mewahan dengan bergelimang harta dan
kurangnya kepedulian dalam berbagai hal dalam hidup dan kehidupan, terhadap
kesetiakawanan sosial-ekonomi, dan penjagaan terjadinya pengrusakan terhadap
lingkungan hidup dan pengusahaan pelestariannya. Hal mana, ini semua dapat
memicu terjadinya huru-hara, bencana dan ketidak seimbangan lainnya, sehingga
tidak adanya rasa aman, tentram, harmonis, sejahtera, maju, bahagia, dan damai
seperti yang diharapkan Islam.
Dari Buku : "ISLAM KAFFAH: KAJIAN TASAUF DAN TAREKAT", 2010
Hidup dan Seni - blogspot.goesmul.com. islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar