Laman

Pengikut

Kamis, 08 Maret 2012

TASAWUF ISLAM

TASAWUF   ISLAM
oleh Agus Mulyadi Utomo
goesmul@gmail.com
Nama ilmu tasawuf, ilmu fiqih, ilmu hadits, ilmu tauhid dan lain-lainnya memang tidak ada dalam Al Qur’an dan Al Hadits, tetapi seluruh Dunia Islam menerima akan hal itu. Dunia sufi seringkali banyak mendapat sorotan yang tajam dari beberapa gelintir golongan yang pandangannya amat sempit mengenai sejarah dan pemahaman tentang Islam, mereka ini  menganggap para pelaku sufi (kaum sufi) adalah para ahli bid'ah sehingga mereka dengan berani menyebut para pemuka sufi dan kaumnya tersesat dan menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW. padahal ini adalah semulia dan semurni-murninya jalan untuk mendekat kepada Sang Ilahi Rabbi yang ditempuh dengan metode jalan (tarekat), kecintaan yang dipancarkan kepada qalbu Rasulullah SAW hingga kepada para sahabat, tabi'it tabi'in sampai kepada para Awliya atau Waliyam Mursyida atau Ulama pewaris ilmu Rasulullah, sebagai pemegang rahasia yang ada di zamannya. Wahai kaum muslimin saudaraku ! Masuklah jalan ini, marilah datang untuk mengecap kenikmatan yang ada didalamnya, menikmati seakan indahnya cinta Rasul yang benar-benar dinamakan cinta yang tanpa terkontaminasi oleh suatu apapun yaitu cinta yang murni yang hanya dipersembahkan kepada iIahi Rabbi.



           Nabi atau Rasul bukan untuk merumuskan tentang tasawuf. Hal tersebut, yaitu nama, istilah dan definisi dibuat oleh para ahli atau alim-ulama dikemudian, setelah memperhatikan Al Qur’an dan Al Hadits sebagai sumbernya dan yang bertalian dengan pelaksanaan hal tersebut. Sikap hidup Nabi dan sahabatnya (di zaman Khulafaurrasyidin) umumnya seluruh peri kehidupan disifati pandangan tasawwuf, yaitu zuhud (tidak berlebihan), qanaah (apa adanya), taat, istiqomah, mahabah (cinta Allah, Rasul daripada dirinya), ikhlas dan ubudiyah (mengabdi dijalan Allah). Tasawuf atau Sufisme adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (berbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan syiah, sunni dan cabang Islam yang lain, atau suatu kombinasi dari beberapa tradisi sebagai rujukan. Ada yang memperkirakan sufisme ada pada abad 2 Hijriah. Pemikiran sufi muncul di Timur Tengah, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia. Menurut Ibnu Taimiyah, sufisme muncul dan berkembang setelah abad ke-3 Hijriah.



Kaum Sufi terkadang menunjuk dirinya sebagai sebuah fenomena dalam pemikiran dan penghayatan, juga adanya pengandaian seperti ‘binatang’ (sifat dan kelakuan). Mengapa demikian ? Jawabannya merujuk pada sabda Nabi SAW, bahwa ‘pada Hari Pembalasan manusia dibangkitkan dalam bentuk binatang, sesuai perbuatan mereka sebelumnya. Bentuknya muncul menjadi binatang atau bentuk lain yang menyerupai secara internal, daripada bentuk kemanusiaannya. ‘’Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai’’ (QS. Al-A’raaf (7): 179). Dalam tidurnya, manusia melihat dirinya sebagai manusia; Bagaimanapun, ia mungkin bisa melihat dirinya sendiri, sesuai dengan tendensi dominannya, sebagai seekor domba, harimau, kera, ular atau pun babi. Kesalahpahaman ini bisa saja terjadi terhadap hal-hal tersebut dan menimbulkan suatu kepercayaan bahwa dalam kehidupan manusia berlalu menuju kebinatangan, hal tersebut secara harfiah ditafsirkan oleh orang-orang yang tidak tahu[1] dan berfikir sempit, literal, tanpa qias, i’jma dan tanpa didasari oleh kedalaman perspektif keIslaman secara kaffah.



Ada pendapat yang mengatakan bahwa sufisme / tasawuf berasal dari dalam agama Islam. Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin ilmu tersendiri, ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini.[2] Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Al Qur'an dan sunnah serta ijma".[3] Pemahaman tasawuf ini terbentuk daripada unsur perasaan dan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan dari agama Islam. Paham untuk menyatukan ruhani, adalah pemahaman yang berisi keyakinan bahwa manusia dapat berserta dengan Tuhan. Penganut tasawuf ini mengambil dalil Al Qur’an yang dianggap mendukung penyatuan antara ruh manusia dengan Nur Allah dalam penciptaan manusia pertama, Nabi Adam AS: “...Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya ”(QS. As Shaad; 72). Sehingga ruh manusia (ruh Rasul atau nur Muhammad) dan Nur Allah dapat dikatakan bersatu dalam shalat karena shalat adalah me-mi'rajkan ruh manusia menuju kepada Nur Allah Azza wa Jalla. Atas dasar pengaruh dari 'penyatuan' inilah maka kezuhudan dalam sufi dianggap bukan sebagai kewajiban saja, tetapi lebih kepada tuntutan batin-ruhaniah, sehingga kecintaan kepada Allah semakin meningkat, yang seakan-akan ’berserta’ atau ’bersama’ Allah, menambah iman dan taqwa yang lebih mendalam lagi, sehingga berhati-hati dalam hidup dan kehidupannya. Paham ini dikalangan penganut ilmu kebatinan orang Jawa juga dikenal sebagai paham ”manunggaling kawula lan gusti Allah”, yang berarti bersatunya antara hamba dan Tuhan, sehingga menimbulkan pro-kontra diantara kelompok-kelompok yang merasa tidak sepaham.



Tasawuf dalam Islam bukan datang dari jenis yang aksesif. Maka setelah melepaskan diri dari kehidupan sehari-hari, atau setelah keluar dari “rumah”, manusia harus kembali lagi “kerumahnya” dan membangun kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Dan yang terpenting dari itu, aktualitas makna spiritual mesti lebih berarti bagi pengembangan nilai-nilai  kemanusiaan.



Dapat ditarik hikmahnya ketika Allah SWT menjelaskan sifat mulia para sahabat Nabi yang salah satunya, dikatakan oleh-Nya, terlihat pada wajah mereka yaitu min-atsaris sujuud  atau “bekas sujud”. Bahwa yang dimaksud dengan min-atsaris sujud bukanlah bekas tanda hitam karena seringnya jidat “digosokkan” ke sajadah. Tapi yang dimaksud dengan atsaris sujud bagi orang yang banyak bersembahyang adalah dalam bentuk konkret seperti, perbuatannya atau kelakuannya, hasil karyanya, hasil dari  pemikirannya dan sebagainya.



Tasawuf dalam Islam tidak hanya sarat dengan dasar teori-sufistik bagi tema-tema kemanusiaan. Sebut saja misalnya penafsiran mistis tentang mi’raj Nabi Muhammad SAW yang mengaksentuasi arti penting kembalinya beliau ke muka bumi setelah bertemu Allah untuk membangun peradaban dan menyelamatkan ummat manusia. Atau dalam tema albaqa’ ba’da al-fana’, yakni seorang salik yang memasuki dalam alam ke-Tuhan-an (fana’), dan kembali kepada sesama makhluk agar dapat saling membantu mengabdi kepada Allah dan Rasul.  



Di Indonesia, terutama di era pra-kemerdekaan, dunia Sufi telah tercatat menjadi bagian perjalanan kebangsaan yang mendorong lahirnya masyarakat progresif dan egaliter. Hanya saja, pada pasca-kemerdekaan dunia Sufi menyimpan persoalan yang perlu segera disikapi (dipecahkan) agar kegiatan-kegiatan ruhani yang selama ini marak (baik dimasyarakat perkotaan maupun di pedesaan) lebih “memperlihatkan” gairahnya menterjemahkan lagi tema-tema sufisme ke dalam tema konkrit kekinian yang dapat membangun kembali Indonesia yang lebih maju dan tercerahkan.



Kajian tasawwuf disamakan dengan sufisme tak terpisahkan dengan Islam, ialah pengetahuan tentang diri berdasarkan ajaran Nabi Muhammad SAW, haruslah dilihat secara menyeluruh, baik teori dasarnya maupun praktek pelaksanaannya di dalam tarekat, juga tentang ‘ubuudiyah dan mu’aamalah. Umumnya para Ulama sepakat bahwa tasawwuf masuk dalam ikhsan, yaitu suatu pengkajian tentang perasaan (kaji rasa) dan pengalaman seseorang pada saat atau dalam hal beribadah dan beramal di jalan-Nya yang menuju atau kepada Allah SWT. Ikhsan yang dimaksud disini adalah muraqabah, mawas diri, merasakan akan hadirnya Allah pada waktu beribadah dan beramal. Kehadiran Allah tersebut bisa dirasakan baik melalui penglihatan hati sanubari maupun merasa diawasi atau dilihat Allah, sehingga membuahkan hasil yaitu bertambahnya iman dan taqwa, merasakan manisnya Islam Mulia Raya, terasa khusuk, makbul dan mabrur. Kualitas ikhsan dipengaruhi oleh tingkatan keikhlasan dan kesucian hati seseorang, apabila ruhaninya masih kator (tertutup / terhijab), tentu tidak akan merasakan ikhsan dalam beribadah ataupun beramal sholeh.



Kegiatan bertarekat ini lahir sejak adanya institusi Islam dan contoh konkrit pendekatan kepada Allah SWT yang diberikan Nabi Muhammad SAW , antara lain dengan ber-tahannuts di Gua Hiraa’, sholat al-lail dan sebagainya. Kemudian diteruskan oleh sebagian sahabat, taabi’iin, lalu taabi’al-taabi’iin. Kemudian diteruskan lagi oleh Awliya’ Allah, Wali-Mursyid, sambung menyambung dari Nabi Muhammad SAW hingga Syaikh Tarekat yang hidup hingga masa kini dan mempunyai Silsilah Keguruan (isnad yang sahih), yang memungkinkan ajaran itu hidup dan survive sampai sekarang ini, yang membawa unsur nur muhammad.



Nuh Ha Mim Keller (1995) berpendapat dan mengatakan bahwa sufisme / tasawuf berasal dari dalam agama Islam. Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin ilmu tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. Abd al-Wahhab al-Sha'rani, seorang penulis dari mazhab Maliki, mendefinisikan sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma" [4].

         

          Para pengamal tasawwuf berusaha mencari ‘cara’ atau menempuh ‘jalan’ pendekatan diri kepada Allah SWT dengan membersihkan ruhaninya sesuai dengan petunjuk atau bimbingan Wailyyam-Mursyida (QS. Al Kahfi: 17), untuk memperoleh musyahadah (penyaksian), tidak hanya mengucapkan syahadat pertama dan tidak hanya berhenti pada “ilmul yaqin” dan “ainul yaqin” tetapi harus sampai pada yang namanya “haqqul yaqin” yang disebut pula makrifat.



Imam Al Qusyairy dalam “Risalah Al Qusyairy” mengemukakan bahwa Tasawwuf itu adalah nama dari orang-orang Sufi, ialah golongan dari ummat Islam yang menganut ajaran tasawwuf. Seorang ahli tasawwuf dinamakan “Mutasawwif”, jamaknya “Mutasawwifun”.  Ibnu Khaldun (wafat 1406 M) dalam keterangannya tentang hakekat tasawwuf (dikutip dari buku 40 Masalah Agama) [5] sbb:



1.   “Asal pokok dari ajaran tasawwuf itu adalah bertekun beribadat, berhubungan langsung dengan Allah, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, tidak suka pada apa yang diburu orang banyak dari keenakan harta benda dan kemegahan. Dan bersunyi-sunyi diri dalam melaksanakan ibadat kepada Allah

2.   Hal ini dilaksanakan oleh sahabat-sahabat Nabi dan tabi’in, orang-orang Salaf, tetapi kemudian pada kurun ke II Hijriah setelah orang berebutan mengejar duniawi dan orang sudah keenakan dalam masyarakat keduniawian, maka orang-orang yang tetap tekun beribadah sebagai sediakala dinamai “Orang-orang Tasawwuf” dan amalannya disebut salaf al-shalih.



KH. Sirajuddin Abbas memerinci pernyataan Ibnu Khaldun sebagai berikut:



o   Tetap bertekun beribadat kepada Allah,

o   Memutuskan ketergantungan hatinya selain kepada Allah,

o   Tidak berwewah-mewahan duniawi,

o   Nabi dan sahabatnya beramal dan berbudi pekerti sesuai tasawwuf, bahkan amal dan akhlak orang tasawwuf itu bersumber kepada Nabi dan diikuti para sahabatnya,

o   Ajaran  tasawwuf  berdasarkan  Al Qur’an  dan  Al Hadits  serta tidak menyimpang dari itu,

o   Kurun ke-II orang Islam boleh dikata sudah lupa daratan, berwewahan, menyombong-kan diri, berfoya-foya, menumpuk harta benda dan banyak yang takabur,

o   Berkhalwat atau bersunyi-sunyi dalam melaksanakan  ibadah.



          Sebagai reaksi dari keadaan tersebut di atas, banyak orang Islam kemudian ingin menjadi seperti sediakala sebagaimana yang diwariskan Nabi dan seperti saat di zaman para Sahabat, yaitu kehidupan sederhana dan orang-orang inilah yang kemudian dinamakan orang Sufi (Tasawwuf atau Shufiyah).



            Imam Al Ghazali, profesor Universitas Nizhamiah, di Bagdad yang wafat pada abad ke-12 ini berkata: “Bahwa kaum Shufiyah (ahli tasawwuf) itulah yang benar-benar telah menempuh jalan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan yang dikehendaki Allah[6].



            Menurut Ibrahim Bin Adham, tasawwuf bukan suatu sistem hidup yang membawa manusia meninggalkan fitrahnya, yaitu tidak berarti pula bertujuan untuk meninggalkan keduniaan, bukan pula untuk hidup susah, tetapi membawa manusia pada kehidupan yang sebenarnya sesuai pada tempatnya, tidak mengurangi atau melebih-lebihkannya. DiBarat, tasawwuf disebut mistisisme Islam, yaitu pencapaian karakter mulia melalui penyucian hati.




Sasaran Ajaran Tasawuf:



              Ajaran tasauf Islam yakni membahas soal-soal yang berhubungan dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati atau qalbu, cara-cara berbuat yang ikhlas, khusyu’, tawadhuk, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawwakkal, dan sifat-sifat yang terpuji atau nilai-nilai tentang kasih sayang, kedamaian, adab, hablumminallah, hablumminannas, mendekatkan diri pada Allah dan mencintainya.



Makna Tasawuf:                                                                                                                                       



1.    Orang yang menjalankannya disebut orang Sufi, yang senantiasa mensucikaan diri lahir dan batin,  menjauhi sifat tercela dan yang dilarang agama Islam. Arti ini diambil dari kata shofa atau safa yang artinya hati suci bersih dan juga tindakannya (athar).

2.    Tasawwuf berasal dari kata shafwah yang berarti bersih. Orang yang selalu membersihkan hati dari keinginan kotor.

3.    Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf, bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik muslim. Namun tidak semua sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari sufi adalah safa, yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Juga bahwa etimologi dari sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" (Sahabat Beranda) atau "Ahl al-Suffa" (Orang-orang beranda), adalah sekelompok muslim pada masa Nabi Muhammad SAW yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa dan mohon petunjuk.

4.    Bahwa arti tasawwuf adalah bulu binatang, yang diambil dari kata shuufah, karena pada saat itu orang yang ber-tasawwuf (Sufi) memakai baju dari bulu binatang dan tidak suka memakai baju yang indah dengan kata lain orang tersebut adalah orang yang sederhana. Tasawwuf adalah sekelompok orang (orang banyak) yang diambil dari kata shuffah yaitu segolongan sahabat Nabi SAW yang menyisihkan dirinya duduk-duduk di serambi masjid Nabawi yang mendengarkan fatwa-fatwa Rasulullah SAW, baik dari Al Qur’an.

5.   Ilmu Tasawwuf selalu juga disebut orang sebagai “Ilmu Kerohanian”, karena lapangan ilmu ini bersumber dari Al Qur’an maupun dari Hadits untuk disampaikan kepada orang yang belum menerima fatwa itu, yaitu mereka yang mengutamakan “ilmu” dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan metode tarekat.

6.   Tasawwuf secara harfiah berasal dari kata shuuf yang berarti bulu. Bahwa makna lain dari tasawwuf adalah bulu yang lembut, yang diambil dari kata shuufatul qofaa dengan arti bahwa orang Sufi itu bersifat lemah lembut, bersifat kasih sayang dan ber-ahlaq mulia.

7.   Ada pula kata tasawwuf itu berasal dari kata shifat, karena orang Sufi itu memiliki sifat-sifat terpuji dan menghindari sifat tercela.

8.   Ada pula yang mengatakan tasawwuf berasal dari bahasa Yunani kuno yang di-Arabkan (diucapkan lidah orang Arab), yaitu dari kata Theosofie, yang artinya “ilmu Ketuhanan”. Maknanya adalah orang yang selalu mendekat kepada Tuhan dan Tuhan selalu hadir dalam jiwanya, kemana saja selalu dalam pandangan Tuhan.



 

 Definisi Tasawuf:



1.   Abdul Qasim Qusairi: mengatakan bahwa tasawwuf adalah menerapkan secara konsekwen ajaran Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, berjuang menekan hawa nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah dan menghindari diri dari meringan-ringankan ibadah.

2.   ahl Abdullah At-Tustury: mengatakan bahwa tasawwuf adalah membersihkan diri dari kerusakan budi, selalu dalam renungan yang mendalam dan menilai budi mulia itu lebih berharga daripada tumpukan emas dan permata.

3.   Abdullah Wahab Sya’rani: pernah berkata, “Ketahuilah ilmu tasawwuf adalah ilmu pengetahuan yang dilimpahkan kedalam hati para wali, dikala hati mereka disinari oleh cahaya Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW”.

4.   Imam Al Ghazali: mengatakan bahwa tasawwuf adalah memakan yang halal, mengikuti akhlak, perbuatan dan perintah Rasul yang tercantum dalam Sunnahnya. Ajaran tasawwuf berdasarkan ajaran Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.

5.   Ibnu Khaldun: berkata: “Sebenarnya methodik pokok kaum Sufi itu adalah selalu memperhitungkan jiwanya sampai benar-benar ia telah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya.

6.   Abdul A’la Maududi: mengatakan tasawwuf dalam arti yang sebenarnya adalah penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan setiap cinta memerlukan ketundukkan kepada perintah seperti yang tercantum dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.

7.   Junaidi Al Bagdadi: tasawwuf adalah keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji. Imam Junaid Al Baghdadi, sufi besar yang meninggal tahun 297 Hijriah, mengatakan upaya membersihkan hati dari pergaulan sesama manusia, mininggalkan segala keinginan nafsu, menghapus sifat basyariyah, mempergunakan sifat ruhaniah serta berpegang pada syariah, berdasar Al Qur’an dan Hadits.

8.   Abu Bakar Aceh: menerangkan bahwa tasawwuf adalah suatu ilmu pengetahuan untuk mencari kecintaan dan kesempurnaan keruhanian.

9.   Basyir Al Haris: menerangkan bahwa orang Sufi adalah yang telah bersih hatinya semata-mata untuk Allah Ta’Ala.

10.    Abu Muhammad Al Jurairi: mengatakan bahwa tasawwuf adalah masuk kedalam budi pekerti menurut contoh yang ditinggalkan Nabi SAW dan keluar dari budi pekerti yang rendah.

11.Prof. DR. Hamka: mengatakan bahwa tasawwuf adalah membersihkan jiwa dari pengaruh materi, agar mudah menuju kepada Allah Ta’Ala. Dalam bukunya ”Tasawwuf Modern” menjelaskan maksudnya adalah membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi; menekan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi syahwat yang berlebihan dari keperluan untuk kesentosaan diri.

12.J.Spencer Trimingham: tasawuf / sufism adalah suatu situasi pengalaman spiritual yang pararel dengan aliran utama kesadaran Islam yang diturunkan dari wahyu profetis dan yang dipahami dalam syari’ah dan teologi.[7]



          Karena sulitnya memberikan definisi lengkap tentang tasawuf, Abu Al-Wafa’ al-Ganimi at-Taftazani, tidak merumuskan definisi tasawuf dalam bukunya yang berjudul Madkhal ila at-Tasawwuf al-Islam (Pengantar ke Tasawuf Islam) melainkan hanya mengemukakan ciri-ciri umum tasawuf [8] yaitu:



a)    Memiliki nilai-nilai yang normal;

b)   Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak;

c)    Pengetahuan intuitif langsung;

d)   Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah SWT dalam diri sufi karena tercapainya maqamat (maqam-maqam atau tingkatan-tingkatan);

e)    Penggunaan lambang-lambang pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat [9] .



Dalam symposium “Mengamankan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa” di IAIN Syarif Hidayatullah (Ciputat Jakarta) pada tanggal 4 s/d 8 Pebruari 1966 [10], ada menyebutkan bahwa :



1.   Tasawwuf adalah salah satu jalan pelaksanaan dari ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW dan merupakan ruh Islam.

2.   Tujuan Ilmu Tasawwuf, ialah untuk mempertebal Iman dan Tauhid, serta mempertinggi Akhlak.



          Dalam tradisi pesantren di Jawa, istilah tasawuf dipakai semata-mata dalam kaitannya dengan aspek intelektual dari “jalan = tarekat” itu, sedangkan aspeknya yang bersifat etis dan praktis (yang dalam lingkungan pesantren dianggap lebih penting daripada aspek intelektualnya) diistilahkan dengan tarekat.[11] Sebagaimana diketahui bahwa tasawuf adalah usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah, melalui pensucian ruhani dan memperbanyak ibadah, yang umumnya selalu di bawah bimbingan seorang Syaikh Mursyid yang dinamakan tarekat. Dengan kata lain tasawuf itu adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat itu adalah cara atau jalan yang ditempuh seseorang yang hendak mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Manakala seseorang ingin berkecimpung dalam kehidupan tasawuf dan mengamalkan Islam kaffah, maka hendaklah ia segera memasuki salah satu lembaga tarekat yang ada dan benar atau yang diakui keberadaannya.



Ada juga paham tasawuf Kesatuan Wujud, paham ini berisi keyakinan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut paham kesatuan wujud ini mengambil dalil Al Qur’an yang dianggap mendukung penyatuan antara ruh manusia dengan Ruh Allah dalam penciptaan manusia pertama, pada Nabi Adam as: “... Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya” (QS. As Shaad: 72). Sehingga ruh manusia (ruh Rasul atau nur Muhammad) dan Nur Allah dapat dikatakan bersatu dalam sholat karena sholat adalah me-mi'raj-kan ruh manusia kepada Nur Allah Azza wa Jalla . Atas dasar pengaruh 'penyatuan' atau ‘beserta’ inilah maka kezuhudan dalam sufi terjadi, sehingga kecintaan kepada Allah semakin meningkat dan lebih mendalam antara hamba dengan Tuhannya. Paham ini dikalangan penganut paham kebatinan juga dikenal sebagai paham manunggaling kawula lan gusti (kejawen).



Tingkatan pendalaman spiritual, dilihat dari syari'at dalam perspektif faham tasawuf ada yang menggambarkannya dalam bagian empat tingkatan spiritual umum dalam Islam, adalah syari’at, tariqah atau tarekat, hakikat dan ma'rifat. Hal-hal yang bisa dirasakan dalam hati dan tak terlihat, sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut. Sebuah tingkatan yang menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh gambarannya, jika seseorang telah mulai masuk ke dalam tingkatan (kedalaman beragama) dalam tarekat, hal ini tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan syari'at. Bagi yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan hukum-hukum maupun ketentuan syari’at dan tarekat, dan demikian seterusnya.



Perkembangan berikut terjadi dalam kesenian sufi. Sufisme telah menyumbang cukup banyak puisi dalam bahasa Arab, bahasa Turki, bahasa Farsi, bahasa Kurdi, bahasa Urdu, bahasa Punjab, bahasa Sindhi, dan yang paling dikenal mencakup karya dari Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, Sultan Bahu, tradisi-tradisi dan tarian persembahan seperti Sama dan musik seperti Qawalli. Semua bentuk kesenian sebagai media dakwah Islam yang menghibur dan merupakan ekspresi dari bentuk kecintaan kepada Allah dan Rasul.



          Selain itu, yang terjadi adalah fenomena sosial saat ini, dimana dikalangan para ilmuan dan cendikiawan pun telah tumbuh suatu kesadaran dan semangat spiritual dengan memunculkan berbagai macam nama lembaga kajian seperti: managemen qalbu, renungan kerohanian, pencerahan hati, mengobati penyakit hati, membina keluarga sakinah, meningkatkan kecerdasan spiritual, dan sebagainya yang dapat disaksikan di televisi, hp, internet, media cetak dan informasi lainnya. Tampaknya para intelektual muslim mengalami perubahan pola pikir dan pandangan keilmuan yang cenderung untuk memperhatikan dan menekuni kajian tentang tasawuf / sufisme / tarekat. Pergeseran kesadaran ini melanda pedesaan dan perkotaan serta sampai pada negara-negara maju dan mengglobal, sehingga dapat mengisi kekosongan dan kegersangan pada ilmu pengetahuan. Akibat dari kegersangan ini, akhirnya merasuki kalangan elit politik, pemegang kebijakan, pengusaha, termasuk di dalam dunia pendidikan yang berorientasi pada hasil keluaran yang bersifat materialis-rasional-ilmiah, dan menjadikannya untuk bisa memiliki kualitas tertentu dari suatu proses pendidikan yang bermoral-beretika-amaliah (akhlaq) yang baik dan mulia. Termasuk kalangan non-Islam pun tertarik pada kajian-kajian spiritualisme dalam tasawuf-sufisme ini. Alasan-alasan yang mendorong ketertarikan pada sufisme ini adalah amburadulnya sistem dunia modern, ada perasaan kurang homogen, tidak merasa aman, adanya persaingan yang tak sehat dan tidak adanya ketenangan hidup serta kedamaian di dalam kehidupan bermasyarakat. Ada suatu kecenderungan hidup pada yang bersifat individualis-materialistik, lalu adanya stres dan kecemasan dalam menghadapi hidup dan masa depan, merasa kebingungan dan kebosanan menghadapi pesan-pesan agama Islam yang sepi dari kandungan ajaran keruhanian (batiniah). Manusia masa kini terjangkit adanya semacam kerinduan akan visi dan misi spiritual, apalagi kualitas hidup yang kian merosot, tiada keseimbangan hidup jasmani - ruhani dan juga dunia-akherat. Lihatlah ada apa sebenarnya yang terjadi disekitar kita !. Pada setiap sudut masjid besar dan mewah bahkan ada yang berlapis emas, yang dakwahnya mengagumkan dan tak putus-putusnya, juga pengajaran agama yang prima dan menghasilkan banyak sarjana, sampai pada tilawatil Qur’an yang berhadiah, kurban dan jema’ah haji yang setiap tahunnya bertambah. Tapi pada kenyataannya terlihat kebejatan moral makin merajalela, koruptor dan markus makin banyak terkuak, kemiskinan harta dan moral meningkat, maksiat serta kejahatan kriminal terlihat dimana-mana, sampai maraknya penipuan perbankkan. Sungguh nyata sekali bahwa penerangan agama tidak sampai ke hati dan meraga sukma bagi pemeluknya. Semua itu sebagai gambaran kegagalan modernitas, formalisme agama mapan yang kurang memberikan ruang untuk memaknai hidup dan kehidupan kepada manusia modern itu sendiri. Agama harus diungkap dengan ilmiah-amaliah dan eksak serta jujur, bila ini dilakukan pasti akan menjadi sebuah realitas dan kenyataan. Tapi bila diterangkan secara dogmatis, akan jadi sebuah perkiraan-perkiraan saja atau hayalitas belaka yang lambat - laun Islam ini akan berubah menjadi agama budaya. Orang biasanya sudah cukup merasa puas hati dan penuh harap dengan sebuah niat yakni mudah-mudahan bacaannya atau shalatnya memperoleh pahala. Sehingga spekulasi pun akan menjadi berkepanjangan, sesungguhnya Allah tidak mundur dari takaranNya walau satu noktahpun bahwa yang diterima hanyalah shalatul khasi’in (khusuk), bahkan yang lalai dalam shalatnya pun diancam celaka.



          Terjadi pula pada kaum Islam modern (sufi-modernis-kontemporer), dimana ada yang merasa tidak sreg dengan disiplin dari sufi-tarekat yang konvensional-klasik. Mereka menganggap bahwa yang namanya Silsilah, Mursyid, muk’tabarah dan tawajjuh tidak penting dan dapatmengotori iman’. Menurut keyakinan mereka, orang bisa saja langsung bermunajat (tawajjuh) kepada Allah dan itu merupakan suatu peristiwa personal amaliah Islam. Mereka mengira setiap orang adalah mursyid bagi dirinya dan tak mengakui mursyid sebagai “perantara”, sebagai tawassul (intermediary). Tentu pandangan spiritual seperti itu, bagi mereka yang menempuh jalan ruhani seperti ini menjadikan lahan empuk setan untuk menyesatkan dan menipunya, serta akan menghasilkan sesuatu tanpa terkontrol dan kesulitan untuk bisa membedakan (furqaan) mana yang datang dari sisi Allah dan mana dari setan atau mana haq dan mana yang batil.  Banyak ilmu perdukunan yang diketahui merapalkan dzikir dari bacaan ayat Al-Qur’an,  akan tetapi yang datang adalah berupa jin-syetan dan disangkanya itu dari utusan Allah (manusia sangat mudah tertipu). Setan atau iblis bisa saja, kemudian mengabulkan setiap permohonannya, bisa pula menyembuhkan penyakit, memberi pasangan hidup (jodoh), memberikan keturunan, bahkan memperoleh kenikmatan dunia dan kekayaan material serta yang lainnya dengan imbalan tertentu yang menyesatkan. Pertanyaanya: apakah yang salah itu ayat Al-Qur’an ataukah sipembacanya ? Sesungguhnya disiplin sufi konvensional itu benar adanya, menggunakan metode sesuai firman Allah dalam QS. Al-Kahfi: 17: “Barang siapa yang ditunjuki Allah, maka dia akan mendapat petunjuk. Dan barang siapa  yang disesatkan-Nya, maka tiada mendapat seorang penolong (walyyam mursyidaa = wali-mursyid) yang membimbingnya”. Sufi yang baik seharusnya berada dalam ilmu tarekat, adalah karena  memang menggunakan suatu ‘metode’ dan ”unsur nur  Muhammad” sebagai pembimbing ruhani yang sifatnya kamil mukamil serta Ia-nya harus tetap berdiri di atas syariat yang benar pula.



Konsep ‘Nur Muhammad adalah suatu konsep ‘aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah’ yang diterima dan diakui oleh ijma’ (konsensus) ulama ilmu kalam dan ulama tasawwuf (awliya’ Allah) dalam kurun waktu yang cukup panjang, sebagai suatu konsep yang memiliki sumber dalilnya dari Al Qur’an dan Hadits Nabi. Aqidah Nur Muhammad’ dinyatakan antara lain bahwa ‘cahaya’ atau ‘ruh’ ini adalah makhluk pertama yang diciptakan, yang kemudian darinya diciptakan makhluk-makhluk lainnya. Dalil-dalil qath’i (bukti yang pasti) berupa ayat-ayat Al Qur’an yang menyebutkan atribut Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam sebagai ‘Nuur’ (cahaya) yang dikaruniakan Allah Ta’ala bagi segenap alam semesta. Akan kita dapati pula, penjelasan dari berbagai ulama ahli tafsir (mufassir) akan makna ayat-ayat tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala sendirilah yang menyebut Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam sebagai Nuur (cahaya), atau sebagai “Siraajan Muniiran” (makna literal: Lampu yang Bercahaya). Perhatikanlah ayat-ayat berikut: [12] Dalam QS. Al-Maidah 5:15  “…Qad jaa-akum min-Allahi nuurun wa kitaabun mubiin”, artinya “… Sungguh telah datang padamu dari Allah, nuur (cahaya) dan kitab yang jelas dan menjelaskan” Diinterpretasikan Qadi ‘Iyad yang mengatakan, “Beliau (Nabi) dinamai cahaya (Nuurun) karena kejelasan perkaranya dan karena fakta bahwa Nubuwwahnya (Kenabiannya) telah dijadikan amat jelas, dan juga karena menerangi cahaya orang-orang mukmin dan ‘arif billah dengan apa yang beliau bawa”. Lalu Suyuti dalam tafsir al-Jalalayn, Fayruzzabadi dalam tafsir Ibn ‘Abbas berjudul Tanwir al-Miqbas (hlm. 72), Shaykh al-Islam, Imam Fakhr al-Din ar-Razi, Mujaddid abad keenam, dalam tafsir al-Kabir-nya (11:189), Qadi Baydawi dalam tafsirnya yang berjudul Anwar al-Tanzil, al-Baghawi dalam tafsir-nya berjudul Ma’aalim al-Tanzil (2:23), Imam al-Shirbini dalam tafsirnya berjudul al-Siraj al-Munir (hlm. 360), pengarang tafsir Abi Sa’ud (4:36), dan Thana’ullah Pani Patti dalam tafsir al-Mazhari-nya (3:67) berkata: “Apa yang dimaksudkan sebagai suatu Cahaya (Nuurun) adalah: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam”. Ibn Jarir al-Tabari dalam tafsir Jami’ al-Bayan-nya (6:92) berkata: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah: Ia maksudkan dengan Cahaya adalah: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam, dengan mana Allah telah menerangi kebenaran, membawa Islam maju dan memusnahkan kesyirikan. Karena itu beliau (Nabi) adalah suatu cahaya (nuurun) bagi mereka yang telah tercerahkan oleh beliau dan oleh penjelasannya akan kebenaran” Al-Khazin dalam tafsir-nya (2:28) mengatakan serupa: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah bermakna: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam. Allah menyebut beliau cahaya tidak dengan alasan apa pun melainkan karena seseorang terbimbing olehNya (Muhammad Sall Allahu ‘alayhi wasallam) dengan cara yang sama seperti seseorang terbimbing oleh cahaya dalam kegelapan.” Sayyid Mahmud al-Alusi dalam tafsirnya berjudul Tafsir Ruhul Ma’ani (6:97) secara serupa berkata: “Telah datang padamu suatu cahaya (Nuurun) dari Allah: adalah, suatu cahaya yang amat terang yaitu cahaya dari cahaya-cahaya dan yang terpilih dari semua Nabi, sallalLahu ‘alayhi wasallam”.  Isma’il al-Haqqi dalam komentarnya atas Alusi berjudul Tafsir Ruh al-Bayan (2:370) secara serupa juga berkata: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah dan suatu Kitab yang menjelaskan segala sesuatu: dikatakan bahwa makna yang awal (yaitu NUUR) adalah Rasulullah, sallalLahu ‘alayhi wasallam, dan yang berikutnya (Kitabun Mubin) adalah Qur’an…. Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam disebut Cahaya (Nuurun) karena yang pertama yang dibawa keluar dari kegelapan kelalaian dengan cahaya dari kekuatan-Nya, adalah cahaya (Nuur) Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam, sebagaimana beliau (Nabi Sall-Allahu ‘alayhi wasallam) pernah bersabda: ‘Hal pertama yang Allah ciptakan adalah cahayaku”. Riwayat ini berkenaan dengan pertanyaan Jabir ibn ‘Abd yang bertanya tentang apa yang diciptakan Allah pertama kali sebelum segala sesuatu yang lainnya. Bahwa nama Nuur Muhammad sudah terpampang di tiang arsy, jauh sebelum adanya Nabi-Nabi termasuk Nabi Muhammad bin Abdullah terlahir. Riwayat ini diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razzaq (wafat 211 H) dalam Musannaf-nya, menurut Imam Qastallani dalam al-Mawahib al-Laduniyya (1:55) dan Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (1:56 dari edisi Matba’a al-’amira di Kairo). Tidak ada keraguan akan Abd Razzaq sebagai rawi (periwayat Hadits). Bukhari mengambil 120 riwayat darinya, Muslim 400 riwayat. Riwayat ini dinyatakan pula sahih oleh Abd al-Haqq ad-Dihlawi (wafat 1052). Demikian pula oleh Al-Alusi dan Baihaqi dengan matan (redaksi susunan kata hadits) yang berbeda, dan juga oleh beberapa ulama lain. Sebagai suatu catatan khusus adalah suatu fakta bahwa kaum Mu’tazili (kaum yang terlalu mengandalkan ra'yu atau logika akal) bersikeras bahwa ‘Cahaya’ dalam ayat 5:15 merefer hanya pada Al Qur’an. Alusi berkata dalam kelanjutan kutipan di atas: “Abu ‘Ali al-Jubba’i berkata bahwa cahaya (nuurun) berkaitan dengan Al Qur’an karena Qur’an membuka dan memberikan jalan petunjuk dan keyakinan. Al-Zamakhshari (dalam al-Kasysyaf 1:601) juga puas dengan penjelasan ini.” Ada suatu penjelasan yg patut dicatat di antara Ahlus Sunnah yang mendeskripsikan makna Nabi, baik sebagai cahaya (Nuurun) maupun kitab. Al-Sayyid al-Alusi berkata dalam Ruh al-Ma’aani (6:97): “Saya tidak menganggapnya dibuat-buat bahwa yang dimaksud baik dengan Cahaya (Nuurun) maupun Kitabun Mubin adalah sang Nabi, konjungsi dengan cara yang sama seperti yang dikatakan al-Jubba’i (bahwa baik Cahaya maupun Kitab adalah Qur’an). Tidak ada keraguan bahwa dapat dikatakan semua merefer ke Nabi. Mungkin Anda akan ragu utk menerima ini dari sudut pandang ‘ibara (ekspresi); tapi cobalah dari sudut pandang ‘isyarah”.  Al-Qari berkata dalam Syarah al-Shifa’ (Mecca ed, 1:505), bahwa “Telah pula dikatakan bahwa baik Cahaya maupun Kitab merefer pada Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam, karena beliau adalah suatu cahaya yang cemerlang dan sumber dari segala cahaya, beliau adalah pula suatu kitab / buku yang mengumpulkan dan memperjelas segala rahasia” Ia juga berkata (Madina ed, 1:114): “Dan keberatan apa untuk mempredikatkan kedua kata benda itu pada Nabi, karena beliau secara hakikat adalah Cahaya yang Terang karena kesempurnaan penampilannya (tajallinya) di antara semua cahaya, dan beliau adalah suatu Kitab Nyata karena beliau mengumpulkan keseluruhan rahasia dan membuat jelas seluruh hukum, situasi, dan alternatif”. Dalam QS. An-Nur 24:35 “…Matsalu nuurihi kamisykaatin fiihaa mishbaah, al-mishbaahu fii zujaajah; az-zujaajatu kaannahaa kaukabun durriyyun yuuqadu min syajaratin mubaarakatin zaituunatin laa syarqiyyatin wa laa gharbiyyatin yakaadu zaituhaa yudhii-u wa lau tamsashu naarun; nuurun ‘alaa nuurin…”, artinya “… Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti suatu misykat (bundel) di mana di dalamnya ada suatu lampu, lampu itu ada dalam gelas, dan gelas itu seperti bintang yang berkelip, dinyalakan dari pohon yang terberkati, suatu zaitun yang tak terdapat di timur maupun di barat, yang minyaknya saja hampir-hampir sudah bercahaya sekalipun api belum menyentuhnya; cahaya di atas cahaya…”. Imam Suyuti berkata dalam al-Riyad al-Aniqa: Ibn Jubayr dan Ka’b al-Akhbar berkata: “Apa yang dimaksud dengan cahaya (nuurun) kedua (dalam ayat tersebut) adalah Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam karena beliau adalah Rasul dan Penjelas dan Penyampai dari Allah apa-apa yang memberi pencerahan dan kejelasan.” Ka’b melanjutkan: “Makna dari ‘Minyaknya hampir-hampir bercahaya’ adalah karena kenabian Nabi akan dapat diketahui orang sekalipun beliau tidak mengatakan bahwa beliau adalah seorang Nabi, sebagaimana minyak itu juga akan mengeluarkan cahaya tanpa tersentuh api”. Ibn Kathir mengomentari ayat ini dalam tafsir-nya dengan mengutip suatu laporan Ibn ‘Atiyya dimana Ka’b al-Ahbar menjelaskan firman-firman Allah: “…yakadu zaytuha yudhi-u wa law lam tamsashu nar…”, sebagai bermakna: “Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam sudah hampir jelas sebagai seorang Nabi bagi orang-orang, sekalipun beliau tidak mengumumkannya”. Qadi ‘Iyad berkata dalam al-Syifa’ (edisi English p. 135): Niftawayh berkata berkaitan dengan kata-kata Allah: “…minyaknya hampir-hampir bercahaya sekalipun api tidak menyentuhnya…” (24:35): “Ini adalah perumpamaan yang Allah berikan berkaitan dengan Nabi-Nya. Ia berkata bahwa makna ayat ini adalah bahwa wajah ini (wajah Rasulullah SAW) telah hampir menunjukkan kenabiannya bahkan sebelum beliau menerima wahyu Qur’an”, sebagaimana Ibn Rawaha berkata: ”Bahkan jika seandainya tidak ada tanda-tanda nyata di antara kami, wajahnya telah bercerita padamu akan berita-berita”  Di antara mereka yang berkata bahwa makna “matsalu nuurihi” — perumpamaan Cahaya-Nya — adalah Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah: Ibn Jarir at-Tabari dalam tafsir-nya (18:95), Qadi ‘Iyad dalam al-Syifa’, al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil (5:63) dalam catatan al-Khazin, dari Sa’id ibn Hubayr dan ad-Dahhak, al-Khazin dalam tafsir-nya (5:63), Suyuti dalam ad-Durr al-Mantsur (5:49), Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (3:171), al-Khafaji dalam Nasim ar-Riyad (1:110, 2:449). Lalu al-Nisaburi dalam Ghara’ib al-Quran (18:93) berkata: “Nabi adalah suatu cahaya (Nuurun) dan suatu lampu yang memancarkan cahaya”. Al-Qari dalam Syarah al-Shifa’ berkata: “Makna yang paling jelas adalah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud dengan cahaya (Nuur) adalah Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam”. Dalam QS. Al-Ahzab 33: 45-46 “Yaa Ayyuhan Nabiyyu inna arsalnaaka Syahiidan wa Mubassyiran wa Nadziiran. Wa Daa-’iyan ila-Allahi bi-idznihii wa Sirajan Muniiran“, artinya “Wahai Nabi sesungguhnya Kami telah mengutusmu sebagai seorang Saksi, Seorang Pembawa kabar gembira, dan seorang Pemberi Peringatan, dan sebagai Seorang Penyeru (Da’i) kepada Allah dengan izin-Nya, dan sebagai suatu Lampu yang menebarkan Cahaya“. Qadi al-Baydawi berkata dalam tafsir-nya: “Itu adalah matahari berdasarkan firman-Nya: Telah Kami jadikan matahari sebagai suatu lampu”; atau, itu mungkin berarti suatu lampu”. Ibn Kathir menyatakan dalam tafsirnya: “Firman-Nya: ‘…dan suatu lampu yang bersinar’, adalah: statusmu (Wahai Nabi) nampak dalam kebenaran yang telah kau bawa sebagaimana matahari nampak saat terbitnya dan bercahaya, yang tak bisa disangkal siapa pun kecuali yang keras-kepala”. Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat (1:147) berkata: “kata itu (lampu) digunakan untuk segala sesuatu yang mencahayai”. Al-Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (3:171) berkata: “Beliau dinamai Lampu karena dari satu lampu muncul banyak lampu, dan cahayanya tidak berkurang”.  `Abd Allah ibn Rawaha al-Ansari cucu dari penyair Imru’ al-Qays berkata tentang Nabi SAW : “law lam takun fihi ayatun mubina lakana manzaruhu yunabbi’uka bi al-khabari”, “Bahkan seandainya, tidak ada ayat (tanda) berkenaan dengan ia (SAW), yang nyata dan jelas sungguh memandangnya saja sudah bercerita padamu akan khabar / berita”. Ibn Hajar meriwayatkannya dalam al-Isaba (2:299) dan berkata: “Ini adalah syair terindah dengan mana Nabi pernah dipuji”. Ibn Sayyid al-Nas berkata tentang Ibn Rawaha ini dalam Minah al-Madh (hlm. 166): Ia terbunuh sebagai syahid di perang Mu’ta pada 8 Jumadil Awwal sebelum Fathu Makkah (Penaklukan Makkah). Di hari itu ia adalah salah satu dari komandan. Ia adalah salah seorang dari penyair yang berbuat kebaikan dan biasa menangkis segala bahaya yang menyerang Rasulullah. Adalah berkenaan dengan dia dan dua temannya Hassan (ibn Tsabit) dan Ka’b (ibn Zuhayr) yang disinggung dalam ayat “Kecuali mereka yang beriman dan berbuat kebajikan dan berdzikir pada Allah sebanyak-banyaknya” (QS. As-Syu’ara 26:227). Dan sebagai atribut dari Allah adalah Dzu al-Nur yang berarti Sang Pencipta cahaya, dan Penerang langit dan bumi dengan cahaya-cahaya-Nya, juga sebagai Penerang qalbu orang-orang mukmin dengan petunjuk (hidayah). Imam Nawawi berkata Syarah Sahih Muslim, dalam komentarnya atas doa Nabi yang dimulai dengan: “Ya Allah, Engkaulah Cahaya Langit dan bumi dan milik-Mu lah segala puji…” (Kitab Salat al-Musafirin :199). Para ulama berkata bahwa makna “Engkau adalah cahaya langit dan bumi” adalah: Engkaulah Dzat Yang menyinari mereka (langit dan bumi) dan Pencipta cahaya mereka. Abu ‘Ubayda berkata: “Maknanya adalah bahwa dengan cahaya-Mu penduduk langit dan bumi memperoleh hidayah”. Al-Khattabi berkata dalam komentarnya atas nama Allah an-Nur.“ Itu berarti Ia yang dengan cahaya-Nya, yang buta dapat melihat, dan yang tersesat dapat terbimbing, di mana Allah adalah cahaya langit dan bumi, dan adalah mungkin bahwa makna al-Nur adalah: Dzu al-Nur, dan adalah tidak benar bahwa al-Nur adalah atribut dari Zat Allah, karena itu hanyalah atribut dari aksi (sifatu fi’li), yaitu: Ia adalah Pencipta dari cahaya”. Yang lain berkata: “Makna cahaya langit dan bumi adalah Sang Pengatur matahari dan bulan dan bintang-bintang mereka (langit dan bumi)". Dan ”Kebenaran adalah dari Tuhanmu, dan janganlah kau termasuk mereka yang ragu” (kutipan maknawi dari Al Qur’an).

Inti dari pada nuur (cahaya) Allah, nuur Muhammad, hakekatnya adalah sama, karena nuur Muhammad itu juga merupakan nuur Allah (bukan manusia) yang diciptakan Allah SWT sebelum ada makhluk di dunia berkembang, yang tertulis ditiang Arsy, yang ditiupkan kepada manusia sebagai makhluk hidup pertama yang terbuat dari tanah dan lalu dibawa secara estafet oleh manusia-manusia pilihan yakni kepada silsilah 25 Nabi (dari ribuan Nabi) dan Rasul-Rasul, mulai dari Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad SAW, yang kemudian diteruskan kepada pewaris-pewarisnya. Jelasnya merujuk kepada firman Allah dalam QS. An Nuur ayat 35 yang artinya: ”..... Allah memberi petunjuk kepada cahayaNya kepada siapa yang dikehendakiNya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. Sebagai wasilah berupa cahaya Allah atau nuurun ‘alaa nuurin yang diperoleh dari secara estafet, dari Rasulullah SAW lalu kepada mursyid-mursyid terdahulu. Oleh karena itu Sayyidina Umar tidak lagi bertawassul kepada Nabi setelah wafatnya beliau, melainkan bertawassul kepada yang hidup, yaitu paman Nabi Sayyidina Abbas r.a.  Dan orang yang memperoleh nuur Allah atau nuur Muhammad ini akan dengan sendirinya tercerahkan, terbimbing olehNya, seperti pengertian “... Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya Siapa yang Dia Kehendaki...”. Dimana cahayaNya sebagai perumpamaan hidayah Allah yang berganda dapat memancarkan dan memantulkan sinarnya kembali lewat lubang atau pelita kaca atau minyak zaitun kepada orang lain yang melihat dan merasakannya, juga menerangi dan menjaga alam lingkungan. Ibarat sinar (cahaya) matahari, tiada sinar-sinar lain yang bisa menjangkau atau sampai kepada matahari melainkan hanya sinarnya sendiri. Itu semua karena matahari diciptakan Allah, yang menjadikan kehidupan ini bisa berlangsung, dapat membuat bumi panas, gersang dan bisa membakar. Juga bikin alam ini terang benderang sehingga aktivitas manusia menjadi lebih mudah dan hemat energi. Namun sinarnya bisa juga menyilaukan mata. Matahari memiliki kekuatan yang tak hingga, bisa bermanfaat (bernilai plus) dan bisa pula menghancurkan (bernilai negatif), tiada lagi yang dapat menandinginya. Apalagi sinar-sinar buatan manusia itu, tidak akan bisa menyamainya dan jauh bila dibandingkan sinar matahari yang tak pernah habis. Ini semuanya diciptakan agar manusia berfikir ilmiah dan amaliah.



          Pengamal tasawwuf tidak akan berhasil mencapai tujuannya dengan hanya berbekal ilmu teoritis saja, walaupun Ia-nya telah mempelajari banyak dari buku-buku tasawwuf, bahkan dari pakarnya sekalipun. Ilmu teori tasawwuf atau pengetahuan umum dan keagamaan  serta ilmu sejarah Islam, hanyalah sebagai pendorong atau penguat dalam melaksanakan amal dan ibadah. Tentu maksudnya yang terpenting disini adalah prakteknya. Jadi dalam hal beramal dan beribadah seharusnya dengan ilmu teori (ilmiah) dibarengi dengan ilmu amaliyah (praktek) yang langsung akan dapat memperoleh hasil dan merasakan akan manfaatnya.



          Dalam mengamalkan ilmu tarekat, ibarat seperti halnya ilmu tentang menanam padi. Jika secara teoritis ilmu menanam dan memelihara padi di sawah telah diperoleh, maka harus dipraktekkan untuk bisa memperoleh hasil nyata panennya. Apalagi untuk memperoleh hasil panen yang berlimpah, tentu ilmunya berupa teori dan praktek (secara menyeluruh / kaffah) serta dipraktekkan atau dilaksanakan (diamalkan) untuk disinergikan, sebagai metode, untuk saling mendukung, sebagai pendorong dan sekaligus sebagai penguat. 
Sebodoh-bodohnya seseorang, bila Ia telah menanam tanpa harus ber-ilmu terlebih dahulu, tentu Ia bisa saja dapat buahnya walaupun tidak sebaik hasilnya apabila Ia telah mengetahui dan memahami teori-prakteknya untuk bisa memperoleh hasil yang maksimal. Apalagi ternyata secara kebetulan Ia telah menanam dengan benih-benih ditanah yang kenyataannya tanah tersebut memang subur dan secara tidak sengaja pula menanam dengan bibit yang baik pula (unggul), kemudian alam sendiri (Allah) yang menumbuhkan, membesarkan dan yang memelihara secara alamiah serta akhirnya dapat memberi buah yang lezat dan bermanfaat, itu semua tentu karena karunia Allah SWT. Dan sesungguhnya Allah sendirilah yang sebenarnya telah mencerdikkan ummat manusia, dengan berbagai proses, pelajaran di alam dan pengalaman, baik bersifat jasmani maupun ruhani yang diperolehnya, untuk suatu tujuan bagi kesejahteraan hidup.



          Khusus di dalam amalan bathiniah dalam Islam, yakni dengan cara melalui jalan ibadah dan beramal sholeh diharapkan untuk memperoleh yang namanya ilmu Laduni yaitu Allah sendiri yang mencerdikkan. Tentu di dalam prakteknya tersebut akan disertai pula berbagai pengalaman-pengalaman berharga sebagai ‘pembelajaran’ sehingga akhirnya menjadi sesuatu keyakinan yang benar-benar haqqul yaqin.



Dengan kata lain, bahwa sesungguhnya langsung praktek beribadah dan beramal sholeh itu (tentu dengan melalui bimbingan ruhani Mursyid yang telah beserta unsur Muhamad) ternyata hasilnya lebih baik atau lebih maju selangkah daripada hanya berteori saja yang hasilnya muluk-muluk, yakni hanya berangan-angan atau hanya berupa ceritera serta hayalan belaka. Jangan sampai seperti orang yang mengetahui manisnya air tebu (gula), tapi tidak pernah merasakan manisnya air tebu (gula) itu.



          Sesungguhnya Allah SWT itu adalah:  “Maha otak, maha tinggi, maha besar, maha   kuasa, maha mulia, maha gaib, maha pengasih dan maha segala-galanya”. Tentu tidak mungkinlah otak-otak manusia yang terbatas itu untuk bisa menjangkau-Nya, apalagi untuk meng-“otak-otaki” Allah SWT, juga untuk bisa memerintah-Nya, apalagi untuk masalah urusan mati dan hidup, surga dan neraka, yang haq dan yang bathil. Yang diperlukan disini adalah “iman”, yaitu “percaya” seperti tersebut dalam rukun iman yang enam yaitu percaya pada Allah SWT, Rasulullah (utusan Allah dan Nabi-nabi-Nya), Kitab-kitab-Nya / Al Qur’an, Malaikat-malaikat-Nya, Hari Akhir (qiyamat) atau bil-yaumil akhir dan bil-qadhar (ketentuan / takdir baik dan buruk dari Allah). Dari rukun iman tersebut ternyata “kuncinya” adalah: “Percaya kepada Rasulullah, karena beliaulah sebagai “Guru” yang pertama mengajarkan manusia tentang percaya atau iman kepada Allah SWT, Rasul / Nabi, malaikat, Al Qur’an, hari akhir dan takdir Allah. Peganglah atau pilih sajalah iman kepada Rasulullah, tentu akan terkena semua tentang pelajaran dari rukun-rukun iman tersebut. Dan hal tersebut bukanlah pelajaran yang hanya sekedar untuk dihafal dari rukun-rukun iman yang enam itu, tetapi lebih jauh dan mendalam lagi yaitu untuk dipahami dan dipraktekkan. Hal tersebut tercermin juga dalam makna dua kalimah syahadat (la ilaha illallah, Muhammad Rasulullah) ada benang merah disana atau sebagai “tali hubungan” (dwi-tunggal).



            Bagi yang percaya pada Allah saja dan tidak percaya kepada Rasulullah karena berwujud manusia (dari tanah) seperti halnya iblis dan juga sebagai termasuk golongan Yahudi yang dilaknat oleh Allah. Firman Allah SWT sebagai berikut: “Waman lam yu’min billahi warasulihi fa inna a’tadnalil-kafirina sa’ira” yang artinya: “Dan siapa yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul (utusan)Nya, maka sediakan untuk orang-orang kafir itu neraka sa’ir, Api yang sangat panas”. Sehingga kemudian dipahami bahwa Dua kalimah syahadat itu dipersyaratkan untuk orang-orang yang beriman dan yang akan masuk Islam serta bagi mereka-mereka yang hendak bertaubat


          Kesadaran untuk selalu memperbarui iman secara terus-menerus memang sangat diperlukan, karena iman  bersifat temporer, tarik-ulur dalam rentang waktu tertentu, juga dipengaruhi oleh baik-buruk dan haq-bathilnya perbuatan, kadang tetap dan kadang berubah-ubah, tergantung situasi dan kondisinya

Inilah undang-undang alam yang tidak pernah salah selama-lamanya. Allah SWT menegaskan: “Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi” (QS. Ar-Ra’d: 17).  Maka diperlukan kesadaran untuk selalu memperbarui iman secara terus-menerus seperti halnya bunyi hadits berikut: Abuhurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Perbaharuilah iman kepercayaanmu”. Ditanya: “Bagaimana memperbaharui iman ya Rasulullah ?”. Jawab Nabi SAW: “Perbanyaklah membaca: La ilaha illallah” (HR.. Ahmad Al Hakim).



          Pada umumnya sebagai manusia biasa hanya bisa berusaha semampunya, lalu memohon dan berdo’a, baik dalam urusan dunia maupun urusan akherat. Selebihnya Allah sendiri yang menentukan nasib manusia itu pada akhirnya.  Untuk menerima hal tersebut diperlukan suatu keikhlasan manusia (pasrah) kepada Allah SWT apapun hasilnya, sebagai bahan introspeksi, untuk memperbaiki diri, untuk diambil hikmahnya atau bahkan untuk bisa disyukuri. Sebagai manusia biasa, yang tiada sempurna, dimana manusia banyak memiliki kelemahan-kelemahan atau keterbatasan, penuh dengan dosa lahir dan batin (sengaja / tidak disengaja), lupa dan khilaf,  tidur atau tidak sadarkan diri (pingsan, mabuk), bodoh dan salah. Tentu setelah berihtiar (berusaha) memperbaiki diri, perlu pula agar dibarengi do’a mulai dari sejak awal mula sampai akhirnya, yakni agar apa yang dikerjakan memperoleh manfaat dan jalan yang selamat serta diberkahi, dengan selalu memohon dalam berdo’a kepada Allah SWT. Apabila kenikmatan datang menghampiri haruslah diingat bahwa itu semua hakikatnya dari Allah semata, dalam QS. An-Nahl : 53 disebutkan “Dan ni’mat apa saja yang ada pada kamu, maka dari Allah jua (datangnya)”.


          Diera globalisasi dan media informasi yang demikian maju seperti sekarang ini, ada pertanyaan apa bisa memakai teknologi informasi yang on-line maupun off-line (tv, radio, internet, handphone dll) dalam behubungan dengan Allah (hablumminnallah) baik dalam beribadah maupun beramal serta berdzikir ? Jawabnya ‘sulit’ atau ‘tak bisa’, karena harus menggunakan komunikasi batin yaitu qalbu (hati dan ruh) dalam hal berhubungan. Teknologi metafisika Islam yang dapat dipergunakan karena bersifat ruhani (ruh / gaib), adalah suatu pemahaman daripada  pelaksanaan teknis (yang berada dalam tarekatullah) dan harus masuk akal (ilmiah-amaliah). Sebagai  suatu ‘metode’ dalam menempuh jalur alam batin (metafisik) dan bisa menambah suport-spiritualism dalam menjalankan suatu keyakinan beragama. Bila salah mengartikannya yaitu ke arah bentuk yang bersifat fisik-jasmaniah, seperti illustrasi contohnya: Yaitu kala orang berbicara atau berkomunikasi dari jarak jauh seolah berada berhadap-hadapan, bahkan orang sekarang dengan mudah mengetahui kejadian-kejadian per-detiknya di lain benua dan negara lain yang berjauhan (dengan menggunakan alat penginderaan & komunikasi jarak jauh). Apakah orang tersebut sudah termasuk golongan orang beriman ? Juga misalnya seorang dokter ahli bedah yang pandai memindahkan hati, jantung, mata dan organ lainnya, bahkan dokter tersebut kalau ditanya akan hasil kepastian operasinya tersebut, mereka hanya mengatakan perkiraan prosentasenya atau sedang berusaha. Selanjunya Tuhanlah (Allah) yang menentukan ! Apakah dokter pandai tersebut juga termasuk golongan orang beriman ?. Dalam bidang teknologi kedirgantaraan misalnya, manusia pergi terbang dengan pesawat menuju suatu tempat yang jauhnya ribuan kilometer dan ditempuhnya dalam waktu singkat, ada pula yang fisiknya ikut sampai menembus langit dan sampai mendarat di Bulan dengan pesawat ulang-alik, bahkan ada pula pesawat yang diberi nama “Buraq” dan ditumpangi banyak orang ini menjadikan manusia didalamnya sebagai orang sempurna dan beriman ? Semua pertanyaan di atas, jawabannya adalah belum tentu ! Yang kita diketahui tentang manusia pada umumnya adalah tidaklah sempurna (kecuali Nabi Muhammad SAW), dan manusia itu memiliki keterbatasan disamping memiliki pula kemampuan (ada plus-minusnya), bersifat sementara, ada human error (kesalahan), lupa-khilafnya, tidur, bahkan tak berdaya sama sekali karena sakit, miskin dan tua (uzur). 




[1]   Iwang,  Azrul's J.C., Islam, dan Htpp//www. TasawufThursday, 24 July 2008
[2]  Nuh Ha Mim Keller, Tasawwuf, 1995
[3]  Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra, Kairo, 1374.
[4] Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra, Kairo, 1374
[5] Abul Qasim Abdul Karim Hawasin Al Qusyairi An Naisaburi, Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
[6]   Imam Al Ghazali, Suntingan KH Misbah Zainul Musthofa, Ihya ‘Ulumuddin (Menuju Filsafat Ilmu dan Kesucian Hati di Bidang Insan Ihsan), CV.Bintang Pelajar, Gresik-Jatim, tt
[7]  J. Spencer Trimingham, The Sufi Order in Islam, London, 1973
[8] Prof. DR. Ir Budi Santoso, M.Sc.,APU, Seminar Nasional Tasauf Islam “Raktualisasi Nilai-nilai Tasawuf Dalam Menata Kehidupan Modern” STAIN Surakarta, 29-Januari 2005, hal. 8
[9]  Ensiklopedi Islam, jilid 5, hal. 75
[10] Hasil Musyawarah/Forum Diskusi, Ilmu Tasauf Islam : Azas-azas dan Dalil-dalil dari Thariqatullah, Fak. IKM, UNPAB, Medan 21-25 Januari 1984, hal.3.
[11]  Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, LP3ES,  Jakarta, 1982,  hal 132
[12] Maulana Shaykh Hisham Muhammad Kabbani dan Shaykh Dr.  G.F. Haddad & http://www.muslimdelft.nl/titian-ilmu/tentang-nabi/konsep-nur-muhammad-dalam-al-quran, 1-9-09                                                                                                  

Hidup dan Seni / blogspot.goesmul.com.islam
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar