Laman

Pengikut

Jumat, 16 Maret 2012

SENIRUPA

SENIRUPA
oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com/senirupa
goesmul@blogspot.com 

 Penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, sebenarnya dilahirkan dengan suatu perantaraan bahan dan peralatan ke dalam bentuk seni yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Misalnya  indra pendengar melahirkan seni suara dan seni musik, lalu indra penglihatan dan perabaan melahirkan seni rupa 2 dimensi (dwimatra) dan 3 dimensi (trimatra). Ada yang dilahirkan dengan perantaraan gerakan, peran dan bunyi-bunyian menjadi seni pentas atau pertunjukan, seni tari, dan seni kerawitan. Disamping itu,  juga ada dengan gaya tulis-menulis dan pembacaan menjadi seni sastra dan seni kaligrafi. Kemudian dikembangkan lagi sebagai suatu strategi dan keahlian tertentu atau kesenangan, misalnya seperti seni pertahanan, seni berhitung, seni bela diri, seni memasak, seni rancang bangun (arsitektur), senirupa dan desain, seni bercocok tanam, seni pertamanan, seni lingkungan dan sebagainya.

Pada kehidupan masyarakat agraris tradisional di masa yang lampau, tidaklah membedakan antara seni, ilmu pengetahuan, teknologi dan keagamaan, melainkan lebih banyak menyatu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan itu sendiri. Indonesia pada peralihan zaman Batu ke zaman Perunggu, dikenal sebagai masa “Perundagian” yaitu suatu masa “kemahiran teknik”, sebagai cikal-bakal industri terutama dalam mengolah bahan dan mengukir logam, kemudian para ahli ketukangan itu disebut sebagai “Undagi”, dan sebutan ini masih di kenal di Bali. Sementara itu orang-orang “cerdik pandai” atau “orang bijaksana” atau “ahli-ahli” pada masa lampau di Indonesia sering pula disebut sebagai “Empu”, yaitu sebagai orang yang menguasai akan ilmunya atau “mumpuni”. Pada masa sejarah kerajaan Hindu ada disebut Empu Gandring sebagai ahli pembuat keris, Empu Tantular sebagai cerdik pandai dengan kitab sastra “Sutasoma”, Empu Prapanca dengan kitab “Negara Kertagama”  dan lain-lain. Empu, di masa kini diberikan kepada seniman dan budayawan yang telah mumpuni, disetarakan dengan tingkat master atau maestro atau Doktor sampai Guru Besar, yakni orang tempat bertanya yang ahli di bidang senirupa dan ada karyanya tergolong masterpiece.

Bali di masa lalu, yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Majapahit, pernah memperoleh sekotak wayang dari Raja Hayam Wuruk, yang diterima oleh Raja Gelgel, yaitu Dalem Semara Kepakisan, seusai upacara pensucian roh (Srada) dari Rajapatni, nenek Hayam Wuruk, pada tahun 1362. Saat itu tersebutlah sebuah nama Raden Sangging Prabangkara, Putra Brawijaya terakhir, yang telah melakukan perubahan dan penyempurnaan warna-warna pada pakaian wayang sesuai dengan martabat ketokohannya, sehingga dianggap sebagai ahli senirupa atau desainer zaman Majapahit. Dan kemudian  namanya sering dipakai sebagai gelar atau sebutan untuk para ahli seni rupa atau perancang desain dengan sebutan “Sangging”  atau “Sungging”   atau “Prabangkara yang di kenal di Bali. Dalam bahasa dan kebudayaan Jawa Sunggingberarti menggambar atau istilah ini sanat erat kaitannya dengan menggambar illustrasi buku. Juru Sungging atau juru gambar biasanya mengerjakan manuskrip-manuskrip kraton zaman dulu dan mengisahkan cerita atau kisah pewayangan, seperti Ramayana dan Mahabharata.
           

Pengertian Awal Seni

           Pengertian “seni” bagi orang Jawa adalah “kencing” atau buang “air kecil” dan air kencing itu  sering pula disebut sebagai “air seni”. Perkataan “seni” juga untuk menyatakan suatu benda berukuran “kecil” atau “mungil” atau “Jlimet” atau “rumit”.  Orang Jawa sering pula menyebut suatu produk hasil dari kehalusan jiwa manusia yang indah-indah dengan istilah “kagunan” sebagai sesuatu yang bermanfaat. Sering pula disebut “ngrawit”, dimana pada umumnya produk yang dihasilkan memang mempunyai tekanan pada “halus” atau “remitan” atau “rumit” dalam pengerjaannya, yang umumnya disebut “kerajinan” atau “kriya yang memerlukan ketrampilan atau “keprigelan”.

Ada pemikiran yang lain, bahwa istilah “art dalam bahasa Inggris telah mengadopsi dari pemikiran zaman kebudayaan Yunani Kuno (500 SM) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, yaitu mousike` techne` adalah aktivitas mental yang dibedakan dari aktivitas kerja secara fisik, yang dibedakan pula dengan aktivitas berfikir rasional dan berhubungan dengan ilmu pengetahuan atau epite`me`. Kata ‘technic” atau “teknik” yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “techne” dipadankan dengan kata “ars, arte”, dan artista dalam bahasa Latin, memiliki arti atau makna “kecakapan” atau “ketrampilan” atau “kemahiran” dalam mengerjakan sesuatu yang berguna, ini merupakan cikal-bakal dari sebutan “seni”, “ilmu pengetahuan” dan “teknologi” yang ada kemiripannya dengan arti “kagunan” dalam bahasa Jawa atau sesuatu yang berguna atau bermanfaat dalam arti luas, kini di Indonesia lazim disebut IPTEKS (Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni). Istilah latin ada “ars magna” yang berarti seni yang agung, dipadankan dengan arsitektur besar dan tinggi serta dinilai sebagai “bangunan agung”. Istilah “ars” ini berkembang ke Eropa, di Italia menjadi l’arte”, di Perancis menjadi l’art”, di Spanyol menjadi el arte dan di Inggris menjadi art”. Di Belanda disebut kunst untuk seni, dan di Jerman juga dikenal istilah die Kunst disamping die Art yang berarti ‘jalan’, ‘cara’ atau ‘modus’. Orang Belanda sering menyebut “kepintaran” sebagai “Genie” atau “Jenius” yang mirip dengan “ketangkasan” atau “kemahiran”, seperti istilah “techne” atau “ars” yang sepadan pula dengan pengertian “seni- kagunan” di Jawa. Sehingga sampai masa kini pun  pengertian “seni-kagunan sebagai “kepandaian” atau “kepintaran” atau “ketangkasan” atau “kemahiran” dan “ketrampilan” masih sering dipergunakan seperti istilah “seni mengajar”, “seni memasak”, “seni bela diri”, “seni berhitung”, “seni bercocok tanam”, “seni membaca” , “seni bangunan” dan lain sebagainya. Kata “artisan” yang berasal dari kata Latin “artigiano” diserap dari kata “artitus”, “artier” yang berarti “mengintruksikan dalam seni” dan dipadankan pula dengan pengertian “tukang” (pekerja bagian produksi yang bersifat teknis) seperti tradisi Beaux Arts abad 17 di Prancis,  dipersepsikan sebagai tukang yang lahir atas kerja seniman yang memiliki ide kreatif dari suatu karya seni. Sedangkan kata artistik berhubungan dengan penampilan wujud karya seni atau hasil karya seniman yang memiliki nilai-nilai tertentu (keindahan relatif) atau mungkin unik dan bersifat personal.

           Pengertian atau definisi istilah ‘seni’ memang beragam dikalangan pakar pemerhati kesenian. I Gusti Bagus Sugriwa dalam tulisannya Dasar-dasar Kesenian Bali,  mengatakan bahwa “seni” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “sani”, yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan atau pencarian yang jujur (IGB Sugriwa, 1957:219-233). Seni menurut WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) yaitu suatu karya yang dibuat atau diciptakan dengan kecakapan yang luar biasa seperti sanjak, lukisan, dan sebagainya. Atau kecakapan menciptakan sesuatu yang elok dan indah. Definisi seni menurut Ki Hadjar Dewantara (1962:330), adalah “Segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya”. Menurut Akhdiyat Kartha Miharja (1961), mengatakan sebagai kegiatan rohani manusia yang merekfeksikan realited (kenyataan) dalam suatu karya yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani penerimanya. Pelukis S. Sudjojono, mengatakan bahwa seni adalah jiwo kethok  (jiwa tampak). Lalu Sudarso Sp, menganggap bahwa seni adalah karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman batin; pengalaman batin tersebut disajikan secara indah atau menarik sehingga merangsang timbulnya pengalaman batin pula pada manusia lain yang menghayatinya. Kelahirannya tidak didorong oleh hasrat memenuhi kebutuhan pokok, melainkan merupakan usaha melengkapi dan menyempurnakan derajat kemanusiaannya memenuhi kebutuhan yang sifatnya spiritual. Sejalan dengan itu, Everyman Encyclopedia, menyebut segala sesuatu yang dilakukan oleh bukan atas dorongan kebutuhan pokoknya, melainkan adalah apa saja yang dilakukan semata-mata karena kehendak akan kemewahan, kenikmatan atau pun karena dorongan kebutuhan spiritual. Leo Tolstoy (1960), menyebut seni adalah sebagai transmission of feeling. Dan Aristoteles, berpendapat bahwa seni adalah imitasi atau realistis tiruan dari alam atau ilahi. Sedangkan Thomas Munro mengatakan: “Seni adalah alat buatan manusia  untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lainnya yang melihat. Efek tersebut mencakup tanggapan-tanggapan yang berujud pengamatan, pengenalan imajinasi, rasional maupun emosional” (1963:419). Lebih lanjut Herbert Read (1962), mengatakan bahwa lahirnya sebuah karya seni melalui beberapa tahapan sebagai suatu proses. Tahapan yang pertama adalah pengamatan kualitas-kualitas bahan seperti tekstur, warna dan banyak lagi kualitas fisik lainnya yang sulit untuk didefinisikan. Tahapan kedua yaitu adanya penyusunan hasil daripada pengamatan kualitas tadi dan menatanya menjadi suatu susunan. Dan ketiga yaitu proses suatu obyektifikasi dari tahapan-tahapan di atas yang berhubungan dengan keadaan sebelumnya. Keindahan yang berakhir pada tahapan pertama belum dapat disebut seni, karena seni jauh  telah melangkah ke arah emosi atau perasaan. Seni telah mengarah pada ungkapan sebagai “peng-ekspresian” dengan tujuan untuk komunikasi perasaan. Pengertian yang dikembangkan oleh Fredrich Schiller dan Herbert Spencer, yakni bahwa seni lahir dilatarbelakangi adanya dorongan bermain-main (play impuls) yang ada dalam diri seniman.

Berdasarkan uraian sebelumnya dan pengertian secara umum seni dapatlah pula diterjemahkan (diinterpretasikan) sebagai ungkapan atau ekspresi, bentuk atau wujud, arti, simbol, abstraksi, indah, guna atau pakai atau fungsi, kepandaian atau kepintaran atau kemahiran atau ketangkasan, wakilan (representatif), cantik, molek, mungil atau kecil, rumit, halus, fungsi, kreasi, imajinasi, intuisi, menyenangkan, khas, menarik, teknik atau metode dan lain sebagainya. Semua itu, di dalam ranah seni rupa terdapat elemen visual atau unsur-unsur sat-mata yang terdiri dari garis, warna, bidang atau ruang, tekstur atau kesan permukaan bahan, kesan gelap-terang atau cahaya, yang wujud visualnya bisa berupa dua dimensi atau tiga dimensi.               
           
Sebelum Revolusi Industri di Eropa, kata “ars” mencakup disiplin ilmu tata bahasa, logika, dan astrologi. Pada abad pertengahan di Eropa terjadi pembedaan kelompok ars  yaitu “artes liberales” atau kelompok “seni tinggi” yang terdiri dari bidang tata bahasa, dialektika, retorika, aritmatika, geometri, musik dan astronomi; Dan “artes serviles” atau kelompok “seni rendah” yang mengandalkan tenaga kasar dan berkonotasi “pertukangan”. Dari tujuh bidang-bidang keahlian hanya musik yang masuk “seni tinggi”, sedangkan untuk lukis, patung, arsitektur, pembuatan senjata dan alat-alat transpor termasuk katagori “seni rendah”.  Kemudian Leonardo da Vinci (1452-1519), pelukis Italia dari masa Renaissance ini, mempelopori perjuangan dan berhasil memasukkan atau menaikkan seni lukis ke dalam status “seni tinggi”. Sebagai orang yang serba bisa dan memiliki kemampuan sebagai arsitek dan ilmuwan itu, Leonardo, beragumentasi bahwa melukis juga memerlukan pengetahuan “teoritis” seperti matematika, perspektif dan anatomi serta mempunyai tujuan moral seperti puisi lewat penggambaran sikap dan ekspresi wajah dalam lukisan. Suatu fenomena kemudian terjadi bersamaan dengan Revolusi Industri di Eropa akhir abad ke 18 sampai awal abad ke 19, dimana masyarakat industri yang baru tumbuh menuntut adanya pembagian kerja dan spesialisasi kerja dalam mengembangkan proses produksi. Dalam masyarakat industri status “seni” menjadi tiga kelompok yaitu “seni tinggi” (high art), “seni menengah” (middle art), dan “seni rendah” (low art). Katagori ini masih memperlihatkan kelanjutan tradisi klasik, yaitu semakin tinggi kedudukan seni apabila semakin dekat atau tinggi tingkat integrasinya dengan industri, demikian pula sebaliknya semakin jauh tingkat hubungannya dengan industri maka semakin rendah pula kedudukan seninya. Pertemuan seni dan industri ini telah mengakibatkan banyak benturan, dimana penemuan-penemuan mesin-mesin produksi massal mendorong kalangan industri untuk mengembangkan teknik produksi dan hanya “menempelkan senidari reproduksi karya-karya seni klasik yang berstandar pada bentuk produk yang dihasilkan mesin. Sehingga menimbulkan reaksi keras dan serius dari kalangan seniman, sebab standariasi dan mekanisasi serta penempelan begitu saja karya-karya klasik pada produk merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup seni, disamping tidak ada kesesuaian antara bentuk dan dengan motif dekorasi yang ditempelkan tersebut. Sehingga akhirnya seni pun harus memutuskan hubungan dengan ikatan-ikatan seni masa lalu, yang dianggap membelenggu dan membatasi perkembangan seni, karena tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai estetika. Otonomi seni diharapkan dapat mempertegas dan meningkatkan standar nilai estetik secara terus-menerus atau berkelanjutan. Pada akhirnya seni selalu melahirkan norma yang menjunjung nilai kebaruan, nilai keaslian dan nilai kreativitas yang lebih lanjut mendasari pandangan pada seni modern pada abad ke 19 – 20. Ketika seni telah menjadi komoditi dan tunduk pada hukum permintaan dan penawaran ekonomi, maka seni dianggap telah jatuh pada selera massa yang rendah dan seni itu menjadi seni “picisan” atau kitsch. Seni kitsch (bahasa Jerman), berarti trash atau “sampah”, secara harfiah berarti “memungut sampah dari jalan” atau “selera rendah” atau “seni palsu” (pseudo art). Kritikus Clemen Greenberg, awal keberadaan kitsch sangat didorong oleh semangat reproduksi sebagai akibat berkembangnya industri, produksi, konsumsi dan komunikasi massa serta lemahnya ukuran kriteria estetik. Status rendah ini dikarenakan seni telah kehilangan “roh seni” atau “jiwa seni”. Jelaslah kiranya pengertian “seni” yang sekarang dan sepadan dengan “art” adalah datangnya dari Dunia Barat yang terbentuk pada abad ke 18 sampai abad 20.

Penggunaan Istilah Seni Rupa                                                                               

            Istilah “seni rupa” di Indonesia muncul dalam surat-surat kabar untuk pertama kali pada masa pendudukan Jepang, dalam suatu laporan dan resensi tentang pameran lukisan. Sanento Yuliman (1983), menulis bahwa pemerintah pendudukan ketika itu secara resmi menggunakan istilah tersebut, dipakai dalam sebutan “bagian seni rupa” yaitu nama bagian dari Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan) yang berurusan terutama dalam hal lukis-melukis. Para seniman sebelumnya tidak begitu populer menggunakan istilah “seni” atau “seniman” yang sepadan dengan “art” atau “artis, yakni ketika itu masih mempergunakan istilah “ahli gambar” pada nama PERSAGI yakni singkatan Persatuan Ahli Gambar Indonesia, juga pada Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar dan sebagainya. Kamus Modern Bahasa Indonesia dari Mohammad Zain, terbit sekitar tahun 1950, menerangkan bahwa yang masuk seni rupa ialah seni lukis, seni pahat dan seni patung. Memang hingga kini dalam pemakaian populer, istilah “senirupa” sering digunakan dengan lingkup pengertian yang terbatas pada seni lukis, dan seni pahat atau seni patung. Akan tetapi pendidikan formal senirupa di Indonesia dalam perkembangannya telah pula memperluas lingkup pengertian istilah itu. Pendidikan tinggi seni rupa dapat menyelenggarakan sejumlah keahlian seperti seni grafis atau desain grafis atau desain komunikasi visual, desain industri atau desain produk, desain interior atau arsitektur interior, desain tekstil, seni keramik, seni lukis, seni patung dan seni kriya terdiri dari produk tekstil-kayu-logam-kulit-keramik dan sebagainya. Sanento Yuliman, kritikus dan pengajar perguruan tinggi seni di Bandung ini telah mempopulerkan istilah seni rupa atas (high art) di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa seni dihasilkan untuk keperluan kemewahan dan sebagai produk-produk eksklusif. Dan seni yang berhubungan dengan teknologi maju, industri impor, juga berkaitan dengan adanya pertumbuhan lapisan masyarakat atas dan menengah di kota-kota besar. Ia juga merujuk pada seni lukis, seni patung modern masuk pada golongan ini, begitu pula yang disebut desain (terdiri: interior, produk, grafis, dll). Disamping itu, ada yang disebut seni rupa bawah (low art), yaitu seni yang distribusinya, produksinya dan komsumsinya berlangsung di lapisan masyarakat sosial bagian bawah dan menengah pada kota-kota besar, terutama di kota kecil dan pedesaan. Jelasnya, ‘seni rupa bawah’ berhubungan dengan masyarakat ekonomi lemah dan taraf hidup rendah, yang dipraktekkan oleh golongan kurang mampu, kurang terpelajar, berhungan dengan teknologi sederhana atau bersifat lokal dan tradisi.

Namun pemahaman seperti di atas, terutama masa kini, dikala masuk era-globalisasi dan teknologi informasi yang berkembang, telah memperkecil sekat-sekat antar bangsa,  pemahaman seni pun tidak lagi terkotak-kotak, tidak terbatas, bersifat pluralitas, universal, demokratis, bahkan kebebasan dan keterbukaan. Bahkan ada yang mengedepankan industri kreatif dan berbasis lingkungan. Juga ada upaya-upaya lain untuk menstarakan pandangan dan penghargaan atau pengakuan dunia global tentang seni yang ada di Indonesia, dengan cara mengangkat budaya lokal ketingkat internasional. Komunitas-komunitas seni bermunculan dan saling berebut pengaruh serta bersaing untuk menunjukkan kekuatan baru dalam kancah seni rupa Dunia. Kini tidak lagi ada batas-batas yang ketat tentang seni itu sendiri, baik bersifat lokal, regional maupun global. Dengan kebebasan dalam cara berfikir dan mengemukakan pendapat personal di Era Reformasi, sesungguhnya telah membuka jalan yang seluas-luasnya untuk berkembangnya paradigma seni (kontemporer) dan bahkan telah melewati batas-batas antar jenis kesenian itu sendiri, perpaduan dari berbagai instrumen seni yang berbasis pada persoalan kreativitas dan inovatif serta kebutuhan yang bersifat khusus.

Konsep Penciptaan Seni                                                                                       

          Bermula dari penciptaan produk seni sebagai persembahan atau penghormatan kepada ruh nenek moyang dan yang bersifat spiritual (magis) serta sederhana sejak zaman batu prasejarah. Lalu memasuki masa perundagian (neolitik), sebagai awal dari kepandaian teknik (industri) yang memiliki ciri diantaranya produksi bahan logam-perunggu dan cetak mencetak, serta pola hias dan ukiran yang lebih bervariasi dari zaman sebelumnya. Dan kemudian berkembang dengan pesat ketika manusia memasuki zaman sejarah dan semakin beragam lagi ketika masuk zaman kemerdekaan, dimana pusat-pusat kegiatan seni bermunculan dan kegiatan seni mulai mengkhusus dan berciri khas serta bersifat individual dan modern. Kini seni memasuki zaman kebebasan, sesuai dengan perkembangan dan penguasaan  teknologi dan komunikasi serta informasi dunia yang telah mengglobal, telah meniadakan pengkotak-kotakan seni, bersifat lintas agama-komunitas-bangsa, social-ekonomi, dan menonjolkan industri-kreatif-ramah lingkungan serta menyiratkan persaingan.

          Seperti hanya lempung atau tanah liat. awalnya adalah bahan baku untuk benda atau produk tiga dimensi (trimatra) seperti patung, keramik dan produk lainnya, yang memiliki sifat plastis dan penurut atau mudah dibentuk untuk apa saja yang diinginkan. Sebenarnya, ini berangkat dari karakter awal yang tidak menentu  dan bersifat abstrak. Sehingga apapun yang terkandung dalam suatu benda atau produk – baik sebagai benda teknis, benda praktis (pakai), benda estetis, maupun sebagai benda spiritual (magis) – adalah berasal dari suatu imajinasi, yang datang dari  penciptanya. Kebebasan yang begitu luas membentang, memang merangsang daya cipta dan imajinasi serta pengembangan IPTEKS. Sisi lain dari dampak kebebasan itu bisa berakibat buruk, misalnya karena benda atau produk menjadi tidak bermutu dan kehilangan arah dan tujuannya dengan kata lain menjadi benda “iseng” tanpa arti, apalagi produk ciptaan itu menentang atau melanggar hukum formal.  Dan pandangan seni sampai saat ini masih terlihat atau dirasakan tumpang tindih (overlaping) atau terpadu dan sulit dibedakan. Bahkan ada yang sengaja mengaburkan identitas individu, kelompok, ras, kelokalan dan mencari hal-hal yang universal, bersifat plural serta bersifat multi tafsir. Ada yg bertahan dengan pengkotak-kotakan ragam-jenis seni, terutama untuk apresiasi dan pemaknaannya satu dengan lainnya. Umumnya belum banyak yang mempersoalkan ciri khas perbedaan, kecenderungan dalam mengolah seni. Konsep penciptaan seni seperti yang diuraikan, dalam dunia pendidikan di perguran tinggi memiliki tiga arah pengembangan — sebagai seni murni, seni kriya (kerajinan) seni pakai (desain).

Pada dasarnya ketiga bagian seni tersebut mempunyai ciri khas dan penonjolan masing-masing secara terpisah. Apabila ciri khas dikembangkan, terlihat dalam analisis pada bagan harus ditarik keluar, maka konsep penciptaan seni dapat berdiri sendiri tanpa ada kecenderungan dan perpaduan seni. Disamping itu suasana tumpang tindih atau terpadu, kurang mendukung perkembangan seni itu sendiri. Kedudukan seni kriya (kerajinan) berada ditengah-tengah yang menunjukkan bahwa seni ini umumnya lebih berupa kecenderungan, baik ke seni murni atau ke seni pakai dalam prosentase dan tergantung dari wawasan para kriyawan itu sendiri apabila ingin memiliki ciri khas serta harus berdiri sendiri.

Konsep penciptaan produk seni seperti arah kedudukan seni yang diuraikan bagan di atas, memiliki tiga arah pengembangan — pertama sebagai produk ekspresi (ungkapan seni); Kedua sebagai produk kriya yang menekankan craftsmanship (handicraft / craft); Dan ketiga sebagai produk pakai yang bernilai fungsi-guna.

Pada dasarnya ketiga bagian seni tersebut mempunyai ciri khas dan penonjolan masing-masing secara terpisah. Apabila ciri khas dikembangkan, simak dalam analisis pada bagan 1 & 2,  harus ditarik keluar untuk memiliki ciri khas, maka konsep penciptaan produk seni dapat berdiri sendiri tanpa ada unsur-unsur kecenderungan dan keterpaduan dalam pandangan seni. Suasana tumpang tindih seperti itu seringkali memang dapat memberi suatu gambaran yaitu betapa kompleksnya cara pandang seni dan memberikan kontribusi yang positif bagi pelaku seni, pengamat seni dan masyarakat penikmat seni.

Seni Rupa Murni                                                                                                  

Senirupa yang dibuat untuk tujuan yang murni dan bernilai ungkap, termasuk sebagai “seni murni” atau fine art, yang lazim disebut pula sebagai “seni ekspresi” karena identitas dan emosi penciptaannya yang menonjol serta tidak mengulang-ulang (tidak digandakan secara massal), dan dibuat oleh individu atau pribadi yang bebas tidak terikat (merdeka). Seni jenis ini melayani kebutuhan atau kehidupan jiwa seperti adanya suasana hati atau batin atau perasaan, hasrat dan ekspresi atau ungkapan serta emosi, secara sadar atau tidak merupakan perwujudan nilai-nilai tertentu dari kehidupan manusia itu sendiri. Bisa dikatakan seni ini sebagai “seni bebas” yang pembuatannya tidak terikat oleh kegunaan atau fungsi pakai tertentu, tetapi muncul sebagai karya itu sendiri.  Pencetus gaya ini, seperti L’art pour l’art atau “seni untuk seni” adalah seorang Perancis yang bernama Thephile Gautier (Lionella Venturi, 1964:237-266). Gautier bereaksi terhadap keadaan zamannya, dimana seni dimanfaatkan untuk tujuan dan tendensi politik, komersial materialistik maupun moralistik. Ia menginginkan agar seni “dimurrnikan”, dinikmati dan dihargai bukan karena alasan lain diluar seni itu sendiri. Demikian pula yang terjadi di Indonesia pada zaman LEKRA, dimana politik adalah sebagai panglima, maka seni harus mengabdi kepadanya. Seni yang “murni” seharusnya bebas propaganda dan tendensi di luar seni. Demikian pula kehadiran “seni murni”, merupakan suatu perwujudan yang original dan mengandung suatu kejujuran emosional secara individual, berdiri sendiri, secara khusus bereksistensi mandiri, merupakan proyeksi preferensi, apresiasi dan kesadaran akan nilai-nilai kehidupan dan kepribadian, baik secara rasional maupun irasional (intuitif).   
 

Karya Agus Mulyadio Utomo dan Laba ( foto 1) serta Hilda Sidharta (foto 2)   

Pembuatan “seni murni” mempunyai maksud untuk dapat mengkomunikasikan pemikiran atau penyampaian ekspresi (ungkapan) melalui bahasa rupa, lewat bahan, tekstur, warna, bentuk, ruang, bidang, garis, simbol dan lain sebagainya, yang menjadi suatu susunan dan dapat membangkitkan masyarakat apresiasi. Pembuatan seni jenis ini atas dasar kesenangan dan telah menjadi ciri khas yakni dibuat dalam jumlah terbatas, bahkan sebagai benda satu-satunya di Dunia. Dengan demikian kehadiran “seni murni” ini patut untuk diperhitungkan dan direnungi sebagai manifestasi kebudayaan bangsa, sebagai bagian dari kehidupan, yang juga ikut berperan dalam mencerdaskan masyarakat, dapat sebagai media untuk menyalurkan hasrat, emosi atau ekspresi atau pikiran sehingga kehidupan menjadi selaras dan seimbang, baik material maupun spiritual. Lebih lanjut pada perkembangannya, seni murni tidak lagi terkotak-kotak, bersifat universal, bebas dan dikatakan hidup dalam dinamika masyarakatnya. 
 
Seni Pakai                                                                                                              

Seni pakai atau ”applied art” atau ”seni terapan” dibuat untuk tujuan yang bersifat praktis dan fungsional, terutama untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagai “seni pakai”, jenis seni ini merupakan produk hasil dari suatu rancangan atau desain, baik untuk keperluan yang bersifat fisik atau material seperti peralatan rumah tangga (wadah atau perabotan), maupun sebagai bahan dan komponen suatu rancang bangun. Seni pakai bersifat umum dengan kegunaan yang khusus dan bervariasi, dimana setiap produknya mementingkan segi praktis dan fungsi yang optimal serta efisien. Karena bersifat umum yaitu untuk kepentingan masyarakat yang luas, maka seni pakai harus memenuhi standar industri dan mutu yang berlaku di setiap negara. Kalau dalam negeri disebut Standar Industri Indonesia (SII) atau Standar Nasional Indonesia (SNI), ada pula Standar Industri Internasional yang berlaku, misalnya ISO dan lain-lain. Semua itu untuk melindungi kepentingan konsumen, apalagi kini telah ada undang-undang yang mengatur hal itu. Dan para pengusaha harus melaporkan secara kontinyu hasil produksinya ke Departemen atau  Kementrian terkait, disamping untuk pengendalian mutu dan pengontrolan serta sebagai obyek pajak.

 Benda-benda seni pakai diproduksi oleh mesin-mesin (pabrik) yang menghasilkan produk massal dengan bentuk serupa (standar) dan diawasi oleh pemerintah atau lembaga konsumen. Hal-hal yang tercantum dalam SII atau SNI biasanya meliputi ruang lingkup dan prosedur, definisi, klasifikasi, cara pengambilan contoh (sample), cara uji, syarat lulus uji, syarat penandaan, cara pengemasan, dilengkapi dengan tabel-tabel dan gambar-gambar desain.

Untuk dapat bersaing dipasaran, produk seni pakai menawarkan berbagai keuntungan atau kelebihan, keterjangkauan daya beli (murah) atau berbagai kelas mutu produk, kepraktisan, pemenuhan kebutuhan dan juga perlindungan konsumen. Karena itu produk seni pakai harus direncanakan sedemikian rupa, dengan memperhatikan segi keamanan atau keselamatan, kenyamanan, kebersihan atau kesehatan dalam pemakaian produk. Pertimbangan lainnya dalam mendesain adalah dari sudut pandang ekonomi, sosial, budaya, fisiologis dan ergonomis, psikologi, teknologi dan estetikanya.
Seni pakai dalam memenuhi tuntutan fungsinya menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut ini: a) Bentuk sesederhana mungkin dan estetis atau indah; b) Bentuk pakai yang dihasilkan minim dari unsur ekspresi dan imajinasi; c) Dapat menampilkan keindahan yang mengikuti fungsinya; d) Keindahan muncul dengan sendirinya secara wajar disaat benda tersebut dipergunakan; Dan terakhir, e) Adanya hubungan antara barang dengan sipemakai.
Kebutuhan masyarakat akan produk seni pakai senantiasa berkembang dan semakin kompleks sifatnya, maka desain-desain alternatif dan baru selalu akan mengikuti, dimana bentuknya pun juga bervariasi sebagai pilihan (alternatif). Dalam hal ini konsumen bebas memilih sesuai dengan seleranya, baik bentuk, ukuran, warnanya dan harganya. Seringkali terjadi, benda pakai ini jarang dipergunakan karena bentuknya teramat indah atau hiasannya (dekorasi) berlebihan, sehingga fungsinyapun beralih menjadi benda pajangan di ruang tamu, tidak sesuai dengan fungsi sebenarnya.
Tampaknya tanggungjawab desainer cukup besar dan penting, terutama pada masyarakat konsumen, produsen dan kesempatan kerja. Sudah selayaknya hasil karya para desainer dihargai dan layak diberi perlindungan seperti yang diatur dalam Undang-undang HaKI (Hak akan Kekayaan Intelektual) seperti Hak Cipta, Paten, Produk Industri, dan lain-lainnya.
Demikian pula pada produk yang bersifat teknis, termasuk dalam seni pakai dengan penekanan khusus sebagai bagian dari keperluan desain atau rancangan teknis tertentu, bisa berupa material multifungsi, komponen konstruksi, tata laksana pembuatan bahan-bahan bangunan, peralatan elektrik dan lain-lain. Pengembangan IPTEKS, merupakan tim proyek yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Pada seni pakai yang bersifat teknis, desain harus disesuaikan dengan kebutuhan dan fungsi serta sistem teknologi yang dikehendaki tim proyek (bersama).


Seni Kriya                                                                                                             

Seni kerajinan yang memiliki ciri khas sebagai pekerjaan tangan (handicraft), termasuk kelompok seni kriya (craft). Sedangkan “kriya” atau “kria” yang berasal dari kata “creat” ini dalam bahasa Sansekerta berarti “kerja” dan bahasa Jawanya “pakaryan” dan masyarakat pada umumnya menyebut sebagai “kerajinan”. Jika diurai dari akar keilmuannya, masih terus terjadi perdebatan dikalangan praktisi maupun akademisi bidang seni rupa. Bidang kriya atau kerajinan ini menjadi ajang perebutan antara masuk disiplin ilmu seni murni atau desain sehingga muncul istilah “kriya seni”, “kriya desain” atau “seni kriya” dan “desain kriya”. Karena kriya memiliki fleksibilitas yang tinggi, bisa berupa kecendrerungan-kecenderungan, berada ditengah-tengah dan tergantung dari kedudukan dan wawasan yang dipergunakan, yang bisa pula berada di wilayah atau kubu dari seni murni atau seni pakai (seni terapan atau desain).

 Sudarso SP, mengatakan bahwa seni kriya adalah cabang seni rupa yang sangat memerlukan kekriyaan (craftmanship) yang tinggi, seperti ukir kayu, keramik dan anyaman, dsbnya (1988:14). Sedangkan Wardiman Djoyonegoro, Mendikbud R.I. dalam sambutan Pameran Seni Terapan 1994, menyatakan bahwa seni tersebut tidak hanya mengandalkan kerajinan dan ketrampilan tangan, melainkan hasilnya mengandung makna sebagai karya cipta seni yang kreatif dan inovatif. Seni kriya pada hakekatnya tertuju pada penekanan bobot kekriyaan (craftsmanship) yang memungkinkan lahirnya nilai seni terapan dalam bentuk ekspresi baru sesuai tuntutan budaya masa kini. Seni kerajinan ini sering pula disebut sebagai “seni rakyat” karena pendukungnya banyak dari rakyat biasa dan disebut “seni tradisional” karena banyak menghidupkan seni-seni tradisional. Juga disebut pula “industri rumah-tangga” atau home-industry yang memproduksi secara terbatas dengan peralatan sederhana. Dan disebut sebagai “seni ladenan” karena sering membuat atau melayani pesanan, yang segala sesuatunya (sedikit atau banyak) ditentukan oleh pemesan, baik motif, bentuk, warna, desain maupun teknologinya.

Tentu saja produk kerajinan bisa dipakai untuk kegunaan tertentu, tetapi bukanlah tujuan yang utama. Seringkali hadir sebagai benda yang bersifat dekoratif atau cenderamata. Karena ketidak jelasan batasan dari seni kerajinan ini, terjadi perpaduan antara seni seni pakai, seni murni dan seni kerajinan. Untuk menciptakan seni kerajinan keramik yang khas, diperlukan wawasan seni agar dapat mendudukkan posisinya secara mandiri dan dapat mengembangkan ciri-ciri yang menonjol dari visualisasi kegiatan kriya tersebut. Ciri khas yang sangat menonjol dari seni kerajinan ini adalah mengutamakan segi keindahan (ornamen dan dekorasi) yang menghibur mata, sebagai pajangan, pekerjaan tangan-tangan trampil yang luar biasa dengan produksi terbatas (manual-tradisional-sederhana). Prinsip dasar dari seni kriya ini menampilkan hal-hal berikut: a) Bentuknya indah; b) Terkadang dapat difungsikan sebagai benda pakai, tetapi bukan menjadi tujuan yang utama; c) Fungsi benda mengikuti bentuk dan keindahannya; d) Sebagai benda dekoratif atau aksesoris atau cenderamata (souvenir) atau pajangan; e) Dibuat dengan tangan-tangan trampil sebagai perkerjaan tangan tradisional; f) Menampilkan unsur-unsur seni tradisional atau ciri khas daerah; g) Memperlihatkan sifat-sifat rajin, tekun, sabar, rumit, artistik, trampil, halus dan unik; Dan terakhir, h) Dapat menjadi tradisi (mentradisi) sebagai kepandaian yang turun-temurun atau diwariskan.

Banyak kalangan merasakan bahwa Seni kerajinan sebagai pengulangan-pengulangan bentuk yang sudah ada, baik yang tradisional atau yang klasik, dan pada umumnya memperlihatkan atau mempertahankan nilai-nilai lama atau klasik. Kerajinan juga nenunjukkan konotasi negatif sebagai jenis suatu pekerjaan yang “mengulang-ulang” dari bentuk yang sama dan positifnya memiliki sifat “rajin” atau “teliti”. Kenyataan ini membuat perkembangan seni kriya termasuk lambat, terutama mengulang bentuk-bentuk yang laris dan laku dijual (selera massa) yang menambah kelambatan dalam pengembangannya, perubahan hanya sekitar pada bahan baku saja. Wiyoso Yudoseputro, ahli seni rupa, mengatakan dalam pengantar pameran seni terapan (1994) bahwa dalam pengembangan seni kriya Indonesia sebagai seni terapan masa kini, diharapkan mampu menampilkan nilai-nilai guna baru berdasarkan imajinasi dan daya kreasi atau ekspresi para perupa. Kecenderungan untuk memandang produk kriya sebagai hasil produksi massal dan karya ulang sering mengecilkan arti dari kandungan nilai sebagai karya seni terapan. Lebih lanjut Wiyoso mengharapkan lahirnya bentuk-bentuk baru dan orisinil tanpa harus mengulang-ulang kaidah seni lama yang tidak sesuai dengan kebutuhan budaya masa kini. Jadi makna dasar kriya tertuju pada penekanan pada “bobot kekriyaan” (craftsmanship) yang melahirkan nilai seni terapan baru sesuai tuntutan zaman. Ciptaan-ciptaan tangan trampil ini sering “ jatuh “ sebagai benda “iseng” atau kitsch tanpa arti, tanpa tujuan yang jelas, yang tidak lagi menarik bagi orang yang memiliki intelektualitas tinggi dan bagi mereka yang haus akan arti kehidupan dan ilmu pengetahuan. Namun demikian sentuhan tangan-tangan trampil ini justru merupakan daya tarik terbesar, karena menghasilkan barang yang tidak kaku dan “dingin” seperti buatan mesin, terasa “hangat” dan akrab serta sangat manusiawi. Walaun di zaman teknologi komputer canggih seperti sekarang ini dimana dapat dengan mudah memprogram barang dengan baik, indah dan sempurna, namun tetap saja berkesan “tidak hidup” serta terasa jauh dari manusia dan “kering” akibat buatan mesin-mesin. Kerinduan manusia modern terhadap sentuhan tangan, membuat seni lama hidup kembali atau mengalami perubahan dan pengembangan atau ada semacam himbauan untuk “kembali ke alam” (back to nature).
 Keramik F.Widayanto (foto 1) dan keramik Tradisional dari Bali Timur (foto 2)


 Benda-benda kerajinan, apabila difungsikan sebagai benda pakai belum tentu mengikuti standar mutu yang telah ditetapkan pemerintah dalam (SII atau SNI), karena dibuat dengan tangan yang sulit dikontrol dan sering terjadi penyimpangan-penyimpangan serta bukan buatan mesin (pabrik) yang mudah diawasi. Umumnya produk jenis ini dibuat dengan peralatan sederhana (manual) dan bahan bakunya dibuat berdasarkan pengalaman semata, bahkan hanya berdasarkan perasaan belaka; Sehingga proses pengerjaannya terkadang tidak terencana dan tidak tercatat pula serta tidak mudah untuk dikendalikan. Semua itu berdasarkan kepekaan semata, yang berdampak negatif, dimana kemungkinan produk dapat saja membahayakan (keracunan dan lain-lain) bagi kesehatan atau keselamatan konsumen maupun perajin itu sendiri, terutama penggunaan bahan-bahan yang beracun untuk tempat makanan dan minuman (cairan). Untuk itulah pemerintah diharapkan dapat membuka unit-unit pelayanan teknis dan bahan baku yang siap pakai, juga memberikan bimbingan terkait dengan desain kerajinan yang pengelolaannya dapat pula diserahkan kepada swasta atau instansi terkait.
 Hasil karya kriya atau kerajinan yang bermutu tinggi adalah sebuah dambaan. Kriyawan atau perajin dituntut untuk memiliki citarasa yang tinggi, ketrampilan yang tinggi, dapat mengembangkan seni lama dengan citarasa baru, unik dan eksklusif. Tentu dengan kesungguhan dan bantuan berbagai pihak hasilnya tentu tidak mustahil menjadi duta-duta seni dan budaya bangsa yang membanggakan. Kebutuhan artistik dan estetik baru dalam kriya masa kini menjadi tugas pakar-pakar seni dan kriyawan sehingga produknya menjadi komoditi ekspor non-migas yang handal serta mampu bersaing di pasar global.

 Agus Mulyadi Utomo di ISI Denpasar dan Karyanya
goesmul@gmail.com
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com/Senirupa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar