Iman-Taqwa Dengan Mengintensifkan Peramalan Dzikir & Ibadah (I'tikaf)
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com
goesmul@gmail.com
Taqwa
Kata taqwa
berasal dari waqa, yaqi, wiqayah, yang berarti takut, menjaga, memelihara dan melindungi.
Sesuai makna etimologis tersebut, maka taqwa
dapat diartikan sebagai sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam
pengamalan ajaran agama Islam secara utuh (kaffah)
dan konsisten atau istiqomah.[1]
Sesungguhnya taqwa itu juga berasal
dari kata “waqa wa tawaqqa wa ittaqa”
yang meliputi makna menjaga, menjauhi, takut dan hati-hati.
Taqwa kepada Allah,
maknanya adalah menjaga diri dari sesuatu yang ditakuti yang datang dari Allah berupa kemurkaan dan azab-Nya. Taqwa juga mencakup sikap hati-hati
dengan meninggalkan hal-hal yang dilarang dan menjalankan apa-apa yang disuruh Allah, karena takut akan tergelincir
pada hal-hal yang mendatangkan murka dan azab. Taqwa juga meliputi aktivitas pendekatan diri kepada Allah karena takut akan dijauhi dan
tidak dicintai oleh Allah. Wal hasil dalam taqwa itu ada kepatuhan atau taat dengan rasa takut, sekaligus
cinta kepada-Nya, semua itu menyatu dan berjalan seiring.
Seseorang tidak memiliki keutamaan atas yang lainnya kecuali dengan ketaqwaan, Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa” (QS. Al-Hujurat : 13). Demikian pula Allah Ta’ala berfirman sembari
menganugrahkan ni’mat ini dan mengingatkan pula pada kondisi sebelum kedatangan
Islam yang artinya: ”Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali (agama)
Allah semuanya dan janganlah kalian bercerai berai” (QS. Ali-'Imran : 103).
Bagi mereka yang tidak mengikuti dan
tidak beriman kepada para Rasul,
tidak membenarkan berita-berita yang dibawa Rasul, dan tidak mentaati perintahnya, maka orang-orang
seperti itulah disebut bukan sebagai orang-orang yang beriman. Mereka
adalah orang-orang yang dihubungi dan dihampiri oleh
setan-setan dan juga dapat mengungkapkan beberapa perkara ghaib
serta memiliki beberapa perilaku luar biasa yang merupakan bagian dari
sihir. Mereka itu kebanyakan tukang sihir yang dihampiri
setan-setan. Allah Ta'ala
berfirman: "Apakah akan Aku
beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun?
Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka
menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang pendusta" (As-Syu'ara: 221-223). Mereka
bersandar kepada Mukasyafat
(penyingkapan perkara- perkara yang ghaib) dan hal-hal yang luar
biasa. Apabila mereka tidak mengikuti Rasul,
tentu amalan-amalan mereka mengandung dosa seperti kemusyrikan, kedzaliman,
kekejian, sikap berlebihan, atau bid'ah
terutama dalam ibadah. Mereka dihampiri dan didatangi
setan-setan, sehingga mereka menjadi wali-wali dari setan. Allah Ta'ala berfirman: ”Barangsiapa
yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami
adakan baginya setan (yang menyesatkan), dan setan itulah yang menjadi teman
yang selalu menyertainya" (QS. Az-Zukhruf :36).
Pengajaran Allah (Dzikrur Rahman)
adalah pengajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya,
yakni dalam Al-Quran. Barangsiapa tidak beriman (percaya) kepada Al-Quran, tidak membenarkan
beritanya, dan tidak meyakini kewajiban perintahnya, berarti dia telah
berpaling dari Al-Quran,
kemudian setan datang menjadi teman setia baginya. Seseorang
yang selalu berdzikir
kepada Allah, baik malam
maupun siang, disertai dengan puncak kezuhudan dan kesungguhan beribadah kepada-Nya,
namun tidak mengikuti dzikir yang
Allah turunkan, sesuai Al-Quran dan petunjuk Rasul, maka dia termasuk walinya setan,
meskipun dia mampu terbang di angkasa atau berjalan di atas air. Setanlah yang
membawanya ke angkasa sehingga ia mampu terbang.
Coba
renung-renungkanlah kembali, setelah ber-iman
(percaya), apakah selanjutnya diri kita sudah ber-taqwa ? Seharusnya dengan berbekal iman, seluruh aktifitas yang dijalani harus lebih bermakna,
berpengaruh dan berbekas. Ada semacam kerinduan akan keridhaan-Nya, kecintaan, ketaatan dan ketakutan akan azabNya serta
usaha untuk meningkatkan kualitas hidup. Tentunya sebagai manusia muslim
seharusnya kita demikian dan juga meningkat. Realitas taqwa harus menjadi hikmah, selalu dan senantiasa diperhatikan
terutama oleh masyarakat sekelilingnya dan menjadi tolok ukur di dalam menjalankan
agamanya (Islam), untuk itu perlu diusahakan, diperhatikan dan diupayakan
secara maksimal agar terealisasi di saat menjalankan suatu aktivitas ibadah
umum dan tertentu . Disamping itu harus pula ditanamkan ke dalam diri sendiri
ke-taqwa-an tersebut sebagai
perlindungan (pakaian) pribadi. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian" (QS
An-Nisaa' : 59).
Yang pertama kali harus dipahami orang bertaqwa seperti dinyatakan dalam beberapa ketentuan Islam, bahwa dien (Islam) dibangun di atas pondasi
yang dinamakan at-taslim, yakni
penyerahan diri secara totalitas kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Sedangkan at-taslim sendiri bermakna
membenarkan seluruh yang diberitahukan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, tunduk dan patuh kepada perintah-perintah-Nya serta
menjauhi larangan-larangan-Nya. Kemudian membenarkan apa-apa yang disampaikan Rasul-Nya, tunduk kepada perintah
beliau, menjauhi larangannya dan mengikuti semua petunjuk-petunjuk beliau. Jika
kita sudah memahami kaidah-kaidah di atas, maka hendaklah seorang muslim untuk
bertaslim terhadap apa-apa yang
dibawa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
Sallam.
Setelah bertaslim, merasa tenang
denganNya dan percaya penuh dengan yang dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Iman dengan segala yang disyari’atkan-Nya dan mewujudkan dalam
perbuatannya, maka tidak dilarang baginya untuk mencari dalam sebab dan
musababnya, yaitu mempertanyakan mengapa semua itu diharuskan. Oleh karena itu
dapat dikatakan, bahwa faktor yang menyebabkan sesuatu dilarang sebagian besar
dapat diterima oleh akal sehat dan fitrah yang suci. Adapun penyebab timbulnya
larangan tersebut, diantaranya adalah semua perbuatan orang kafir pada dasarnya
dibangun di atas pondasi kesesatan dlalalah
dan kerusakan fasad. Inilah
sebenarnya titik tolak semua perbuatan dan amalan orang-orang kafir, baik yang
bersifat menakjubkan atau tidak, baik kerusakannya yang dzahir (nampak nyata)
ataupun terselubung. Karena sesungguhnya yang menjadi dasar semua aktivitas
orang-orang kafir adalah dlalal
(sesat), inhiraf (menyeleweng dari
kebenaran), dan fasad (rusak). Baik
dalam aqidah, adat-istiadat, ibadah,
perayaan-perayaan hari tertentu, ataupun dalam tingkahpolah lakunya. Adapun
kebaikan yang mereka perbuat hanyalah merupakan suatu pengecualian saja. Oleh
karena itu jika ditemukan pada mereka perbuatan-perbuatan baik, maka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberi
arti apapun baginya dan tidak diberi pahala sedikitpun. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya:
“Dan
Kami hadapi amal yang mereka kerjakan kemudian Kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang beterbangan.” (QS:
Al-Furqan: 23)
Dengan bertasyabbuh (meniru)
terhadap orang kafir, maka seorang muslim akan menjadi pengikut mereka. Yang
berarti dia telah menentang atau memusuhi Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Dan dia akan mengikuti jalur orang-orang yang tidak beriman. Padahal dalam
perkara ini terdapat peringatan yang sangat keras sekali, sebagaimana Allah SWT berfirman, yang artinya: “Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk dan
mengikuti jalannya orang-orang yang tidak beriman, Kami biarkan ia leluasa
dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang
kafir) kemudian Kami seret ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (QS: An-Nisa’:
115)
Musyabbahah (meniru-niru) itu mewariskan mawaddah
(kasih sayang), mahabbah (kecintaan),
dan mawalah (loyalitas) terhadap
orang-orang yang ditiru tesebut. At-Tasyabbuh
secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah
yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan
mengikuti. At-Tasybih berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya
serupa dengannya, meniru dan mengikutinya. Karena bagi seorang muslim jika
meniru adalah perbuatan yang baik-baik dan mencontoh apa yang dikerjakan Rasulullah, dalam hatinya akan ada rasa ilfah (akrab dan bersahabat). Dan rasa
akrab dan bersahabat ini akan tumbuh menjadi mahabbah (cinta), ridla
serta bersahabat kepada terutama kepada Rasul
dan orang-orang yang beriman. Dan akibatnya dia akan mendekat kepada
orang-orang yang shaleh, orang-orang
yang bertakwa, orang-orang yang mengamalkan As-Sunnah,
dan orang-orang yang lurus dalam berislam, beriman dan berikhsan. Hal tersebut
merupakan suatu hal yang naluriah, manusiawi dan dapat diterima oleh setiap
orang yang berakal sehat. Khususnya jika muqallid
(si pengikut) merasa sedang terkucilkan atau sedang mengalami kegoncangan
jiwa. Pada saat yang demikian itu apabila ia mengikuti yang haq maka ia akan merasa bahwa yang
diikutinya agung, akrab, bersahabat dan terasa menyatu atau beserta dengannya.
Kalau tidak, maka keserupaan lahiriah saja sudah cukup baginya. Keserupaan
lahiriah ini direfleksikan ke dalam bentuk kebudayaan dan tingkah laku. Dan
tidak bisa tidak, kelak dikemudian hari akan berubah menjadi penyerupaan batin.
Hal ini merupakan proses yang wajar dan dapat diterima oleh setiap orang yang
mau mengamati permasalahan ini dalam pola tingkah laku manusia (human being).
Kalau seseorang bepergian ke negeri lain maka ia akan menjadi orang asing
di sana. Jika dia bertemu dengan seseorang yang berpakaian sama dengan
pakaiannya, kemudian berbicara dengan bahasa yang sama pula pasti akan timbul mawaddah (cinta) dan ilfah (rasa akrab bersahabat) lebih
banyak. Jadi apabila seseorang merasa serupa dengan lainnya, maka rasa
persamaan ini akan membekas di dalam hatinya.
Karakteristik orang ber-taqwa terdapat dalam firman Allah
SWT dalam surat Al Baqarah ayat
177 yang secara umum menjadi indikator ketaqwaan
adalah sebagai berikut : “Laisal birra an tuwalluu wujuuhakum qibalal
masyriqi wal maghribi wa laakinnal birra man aamana billaahi wal yaumil aakhiri
wal malaa-ikati wal kitaabi wan nabiyyiina wa aatal maala ‘alaa hubbihii dzawil
qurba wal yataamaa wal masaakiina wabnas sabiiliwas saa-iliina wa fir riqaabi
wa aqaamash shalaata wa aataz zakaata wal muufuuna bi ‘ahdihim idzaa ‘aahaduu
wash shaabiriina fil ba’saa-i wadh dharraa-i wa hiinal ba’si ulaa-ikal ladziina
shadaquu wa ulaa-ika humul muttaquun”, artinya: ”Bukanlah kebaikan itu
menghadapkan wajah kamu ke arah timur dan barat, tetapi kebaikan itu adalah
barangsiapa yang beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada para
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang (terlantar) dalam
perjalanan, orang-orang yang meminta-minta dan membebaskan perbudakan,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan orang-orang yang memenuhi janjinya
bila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesengsaraan,
penderitaan dan pada waktu peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka
itulah orang-orang yang ber-taqwa”.
Allah memperingatkan kita sebagai manusia untuk selalu bertaqwa yaitu mematuhi dengan
melaksanakan segala perintah dan
meninggalkan segala larangannya. Firman Allah
dalam QS. Ath-Thalaaq: 10 yang
berbunyi “A’addallaahu lahum ‘adzaaban
syadiidan fat taqullaaha yaa ulil albaabil ladziina aamanuu qad anzalallaahu ilaikum dzikraa”
artinya: “Allah menyediakan bagi mereka azab yang sangat keras, maka
ber-taqwa-lah kamu kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai pikiran (yaitu)
orang-orang yang beriman. Sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu peringatan”. Dan dalam kitab kitab Sunan
diriwayatkan dari Irbadh bin Saariyah rodhiAllahu
‘anhu bahwasanya Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati kami dengan nasehat yang
mantap, (jika mendengarnya) hati kami bergetar, dan air mata kami akan
berlinang, maka kami berkata kepadanya : wahai Rasulullah, seakan akan nasehat itu seperti nasehatnya orang yang
akan berpisah, maka berilah kami nasehat, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku
wasiatkan kepada kamu sekalian agar selalu bertakwa kapada Allah, mendengarkan
dan mentaati perintahNya, walaupun yang memerintah kamu itu seorang hamba,
sesungguhnya barang siapa diantara kalian hidup ( pada masa itu ), maka ia akan
menjumpai banyak perselisihan, maka ( ketika ) itu kamu wajib berpegang teguh
pada sunnahku dan sunnah para Khulafaurrasyidin yang telah mendapat petunjuk
sesudahku, pegang dan gigitlah dengan gigi gerahammu sekuatnya, dan sekali kali
janganlah mengada ada hal yang baru ( dalam agama ), karena setiap pengadaan
hal yang baru itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat”. Ketika Allah telah mewajibkan
orang-orang muslim itu agar saling nasehat menasehati dan saling menerangkan
apa yang telah disyari’atkan Allah dalam agama, serta mengharamkan
penyembunyian ilmu, maka dipandang perlu untuk mengingatkan akan kebenaran
dan menyebarnya, sehingga tercipta
kedamaian dan kebahagiaan di dunia dan akherat nanti. Hanya Allah lah dan Rasulullah tempat bermohon, untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin
ini, dan memberi kepada mereka kemudahan dalam memahami agama Islam secara kaffah. Sesungguhnya jika selama di dunia tidak beramal sholeh dan tidak mencari keterangan yang benar, seperti halnya
orang buta. Firman Allah “Dan
Kami mengumpulkan mereka pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, ‘Ya
Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan kami dalam keadaan buta, padahal aku dulu (di
dunia) dapat melihat” (QS.
Thaahaa: 124-125). Para ulama ada berbeda pendapat tentang maksud buta
dalam ayat di atas; apakah buta hati atau buta mata? Mereka yang berpendapat bahwa itu adalah buta hati
mengambil dalil dari firman Allah SWT,
“Alangkah
terangnya pendengaran mereka dan alangkah tajamnya penglihatan mereka pada hari
mereka datang kepada Kami” (QS.
Maryam: 38). Dan lagi firman-Nya, “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai
dari hal ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu,
hingga penglihatanmu pada hari itu amat tajam” (QS. Qaaf: 22). “Pada hari mereka melihat malaikat, di hari
itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa” (QS. al-Furqaan: 22). “Niscaya
kamu benar-benar akan melihat neraka Jahanam, dan sesungguhnya kamu benar-benar
akan melihatnya dengan ‘aunul yakin” (QS. at-Takaatsur 5-7). Ayat-ayat semisal
lainnya yang menegaskan bahwa pada hari kiamat manusia akan melihat dengan mata
kepala adalah, “Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan duduk
karena (merasa) hina. Mereka melihat dengan pandangan lesu” (QS. asy-Syuuraa: 45). Juga “Pada
hari mereka didorong ke neraka dengan sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada
mereka), ‘Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakaanya. Maka apakah ini
sihir ataukah kamu tidak melihat?” (QS.
ath-Thuur: 13-15). “Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka,
maka mereka meyakini bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya” (QS. al-Kahf: 53). Sedangkan kelompok
yang berpendapat bahwa buta yang dimaksud adalah buta mata, mengatakan bahwa
susunan kalimat dalam surah Thaahaa
ayat 124-125 hanyalah menunjukkan kebutaan mata kepala. Hal ini sebagaimana
terlihat dalam kata-kata, “Dia berkata, ‘Ya Tuhan mengapa Engkau
mengumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu melihat?’” (QS. Thaahaa: 125). Jadi orang tersebut
tahu bahwa ketika di dunia ia buta dari kebenaran bukannya buta matanya,
sehingga ia mengatakan, “Dan sungguh dulu
aku melihat” Lalu bagaimana ketika kata-katanya itu dijawab dengan
firman-Nya, “Demikianlah, karena kamu telah didatangi ayat-ayat kami, lalu kamu
melupakannya. Maka, demikian pula hari ini kamu dilupakan” (QS. Thaahaa: 126). Jawaban ini
menunjukkan bahwa kebutaan di akhirat tersebut adalah buta mata. ini adalah
balasan baginya yang setimpal dengan perbuatannya. Yaitu, ketika dia enggan
mengikuti apa yang diwahyukan kepada Rasul-Nya
dan mata hatinya buta, maka pada hari kiamat Allah SWT membutakan matanya. Allah
SWT membiarkannya di dalam siksaan karena dia telah meninggalkan
petunjuk-Nya di dunia. Karena itu, Allah
membalas kebutaaan hatinya dengan kebutaan matanya pada hari kemudian. Dia
membalas keengganannya mengikuti petunjuk dengan membiarkannya tersiksa alam
azab. Ini juga sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya, “Barangsiapa yang diberi petunjuk
oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk. Dan barangsiapa yang Dia
sesatkan, maka sekali-kali dia tidak akan mendapat penolong-penolong bagi
mereka selain dari Dia. Kami akan mengumpulkan
mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu,
dan tuli” (QS. al-lsraa:
97).
Akan tetapi, kelompok lainnya mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah
mereka buta, bisu dan tuli dari petunjuk, bukan buta, bisu, dan tuli yang
sesungguhnya. Hal ini juga mereka katakan pada ayat, “Dan Kami mengumpulkan mereka pada
hari kiamat dalam keadaan buta” (QS.
Thaahaa: 124). Kelompok ini mengatakan bahwa pada hari kiamat orang-orang
tersebut berbicara, mendengar, dan melihat.
Kelompok berbeda lainnya lagi, berpendapat hahwa kebutaan, kebisuan, dan
ketulian tersebut bersifat terbatas tidak mutlak. Artinya, mereka hanya tidak
bisa melihat dan mendengar apa yang membahagiakan mereka. Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas r.a. bahwa a berkata, “Mereka
tidak melihat sesuatu yang dapat menyenangkan mereka”. Ada juga yang
berpendapat bahwa orang-orang tersebut dikumpulkan dalam keadaan buta ketika
para malaikat mencabut nyawa mereka dan ketika mereka dikeluarkan dari
kehidupan dunia, serta ketika mereka bangkit dari kubur menuju ke padang
mahsyar. Baru setelah itu mereka dapat mendengar dan melihat. Pendapat ini
diriwayatkan dari Hasan Bashri. Pendapat lain mengatakan bahwa kebutaan ini
terjadi tatakala mereka memasuki neraka dan berada di dalamnya. Pendengaran,
penglihatan, dan kemampuan bicara dicabut dari mereka tatkala Allah SWT berkata kepada mereka, “Tinggallah
dengan hina di dalamnya dan janganlah kamu berbicara dengan Aku” (QS.al-Muminuun: 108). Ketika itu harapan
mereka terputus dan akal mereka tidak berfungsi. Menjadilah mereka semua orang
buta, bisu, dan tuli. Mereka tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak
berbicara. Tidak ada yang terdengar dari mereka kecuali hembusan dan tarikan
nafas. Pendapat ini dinukil dari Muqatil
bin Sulaiman.
Sedangkan yang dimaksud oleh pendapat yang mengatakan bahwa mereka buta
dari argumen, adalah bahwa mereka tidak mempunyai argumentasi sama sekali,
bukan maksudnya mereka memiliki argumen dan mereka tidak mampu melihatnya. Akan
tetapi, yang dimaksud pendapat ini adalah bahwa mereka buta dari petunjuk
sebagaimana keadaan mereka di dunia yang buta dari petunjuk tersebut. Pendapat
ini dikuatkan dengan alasan bahwa manusia mati sesuai dengan kondisinya ketika
hidup, dan akan dibangkitkan sesuai dengan kondisinya ketika mati. Dari seluruh
paparan di atas, maka tampak bahwa pendapat yang benar adalah kebutaan tersebut
kebutaan mata kepala. Pasalnya pada hari kiamat orang kafir mengetahui akan
kebenaran dan mengakui apa yang dia dustai ketika di dunia. Oleh karena itu,
pada hari kiamat orang kafir tersebut tidak buta dari kebenaran.
Adapun al-hasyr (pengumpulan)
terkadang yang dimaksud adalah ketika dikumpulkan pada hari kiamat, seperti
sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya
kalian dikumpulkan menuju Allah dalam keadaan telanjang kaki, telanjang
pakaian, dan tidak dikhitan” (HR
Bukhari dan Muslim) “Dan
Kami kumpulkan mereka dan tidak meninggalkan satu pun juga” (QS.
al-Kahfi: 47). Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan al-hasyr adalah bahwa mereka dihimpun, dikumpulkan, dan digiring
menuju tempat kediaman yang abadi. Bagi orang-orang yang bertaqwa, maka mereka dihimpun dan digiring
menuju ke surga. Sedangkan orang-orang kafir dikumpulkan dan digiring menuju
neraka. Allah SWT berfirman, “(Ingatlah)
hari
ketika Kami mengumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Pemurah sebagai perutusan yang terhormat” (QS.
Maryam: 85). “(Kepada para malaikat diperintahkan), ‘Kumpulkanlah orang-orang yang
zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka
sembah selain Allah, maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka” (QS. ash-Shaffaat: 22-23). Dalam ayat ini, al-hasyr (pengumpulan) tersebut adalah setelah mereka
dikumpulkan di Padang Mahsyar, yaitu ketika mereka dikumpulkan di neraka,
karena sebelumnya Allah SWT berfirman, “Dan mereka berkata, “Aduhai celakalah kita”
Allah berkata, ‘Inilah hah pembalasan. Inilah hah keputusan yang selalu kamu
dustakan” (QS. ash-Shaffaat:
20-21). Kemudian Allah SWT berfirman,
“Kepada
malaikat diperintahkan, ‘Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman
sejawat mereka” (QS.ash-Shaffaat:
22). Penghimpunan dalam ayat terakhir ini, adalah penghimpunan yang kedua.
Dengan demikian, orang-orang zalim mereka “berada di antara dua al-hasyr (penghimpunan). Pertama, ketika
mereka digiring dari kubur menuju Padang Mahsyar. Kedua, dari Padang Mahsyar menuju neraka. Ketika
dikumpulkan pertama kali mereka mendengar, melihat, berdebat, dan berbicara.
Sedangkan, ketika dikumpulkan kedua kalinya mereka dikumpulkan dan diseret di
atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu, dan tuli. Jadi setiap kondisi
mempunyai bentuk penyiksaan yang cocok dan yang sesuai dengan keadilan Allah.
Dan ayat-ayat Al-Qur’an saling
mendukung satu sama lainnya, “Seandainya Al-Qur’an
ini bukan dari sisi Allah, pasti
mereka mendapatkan pertentangan yang banyak.” (QS. an-Nisaa: 82). Cucu Nabi
Muhammad SAW, Al-Hasan, pernah mengatakan, bahwa orang yang bertaqwa adalah orang yang takut atau
menjaga diri dari apa yang diharamkan dan menunaikan apa yang diwajibkan
kepadanya. Senada dengan itu, Umar bin
Abdul Azis berkata, bahwa : “Taqwa
kepada Allah itu bukan dengan terus
atau seringnya shaum di siang hari,
seringnya shalat malam atau seringnya
melakukan keduanya, tetapi taqwa
kepada Allah adalah meninggalkan apa
saja yang Allah haramkan dan
menunaikan apa saja yang Allah
wajibkan. Siapa yang melakukan kebaikan setelah itu, maka itu adalah tambahan kebaikan di atas
kebaikan. Sahabat Nabi, Ali bin Abi
Thalib kw, sering menyatakan
bahwa taqwa itu adalah: “ al-khawf min al-jalil wa al-amal bi
at-tanzil wa al-isti’dad li yawm ar-rahil “, yakni rasa takut kepada zat
yang Maha Agung, mengamalkan Al-Qur’an
dan menyiapkan diri untuk menyambut datangnya hari yang kekal / akherat. Dengan kata lain taqwa merupakan kesadaran akal dan jiwa serta pengetahuan yang syar’i akan wajibnya dalam mengambil halal-haram sebagai standar nilai bagi
seluruh aktivitas hidup dan merealisasikannya secara praktis dan amali di tengah-tengah kehidupan. Wujud
dari ke-taqwa-an itu merupakan
sesuatu yang mulia, juga mendatangkan jalan keluar dari permasalahan yang
dihadapi. Janji Allah SWT dalam Al-Qur’an pada QS. Ath-Thalaaq ayat 2 “wa
may yattaqillaaha yaj’al lahuu makhrajaa”
yang artinya: “ Siapa saja yang bertaqwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar”. Lanjut dalam QS. Ath-Thalaaq: 3 “wa
yarzuqhu min haitsu la yahtasibu wa may yatawakkal ‘alallaahi fa huwa hasbuhuu
innallaaha baalighu amrihii qad ja’alallaahu li kulli syai-in qadraa” artinya: “Dan Dia akan memberikan rezeki
kepadanya dengan tiada terkira. Dan barangsiapa
bertawakal kepada Allah, niscaya Dia mencukupkannya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah menjadikan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu”.
Sifat taqwa itu tercermin dalam sikap kesediaan seorang muslim untuk
selalu tunduk dan patuh pada hukum Allah,
menjalankan semua ketentuan hukum Allah
dan meninggalkan semua yang dilarang. Tunduk dan patuh itu merupakan realisasi
dari ketaqwaan dan kesalihan
personal. Termasuk ber-syariat yang
pelaksanaannya bisa dilakukan secara individu dan kelompok, seperti shalat, puasa, zakat, ber-akhlaq mulia,
berkeluarga secara Islami, beribadah haji bila mampu, berdakwah, amar makruf nahi
mungkar, ber-muamalah yaitu
jual-beli dan sebagainya.
Beramal Sholeh
Setelah jelas bahwa landasan atau sumber Islam itu yakni Al-Qur’an,
As-Sunnah dan Ijma’, maka dalam
hal pemahaman yang shahih adalah
pemahaman yang sesuai dengan pemahaman para sahabat, tabi’ien, dan tabi’it
tabi’ien. Karena merekalah sebagai generasi ummat yang terbaik, menurut hadits shahih yang menunjukkan: ”Barangsiapa hendak menjadikan teladan,
teladanilah para sahabat Rasulullah SAW. Sebab, mereka itu paling baik hatinya,
paling dalam ilmunya, paling sedikit takallufnya (tidak suka
mengada-ada), paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya.
Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani NabiNya dan menegakkan Dien-Nya.
Karena itu hendaklah kalian mengenal keutamaan jasa-jasa mereka dan ikutilah
jejak mereka, sebab mereka senantiasa berada di atas jalan (Allah) yang lurus.”
(HR Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
Islam yang benar
adalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Pemahaman Islam yang benar tersebut adalah
yang sesuai amalan Islam, yang landasannya adalah Al-Qur’an, As-Sunnah / Hadits
Nabi SAW, dan ijma’ [2] (kesepakatan) para sahabat. Setelah
jelas bahwa landasan atau sumber Islam itu adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’,
maka dalam hal sabda Rasul yang
artinya: “Allah telah menurunkan air
(hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya,
maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka
lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya
seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar
dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada
harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.
Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan” (Q.S. Ar-Ra’d :17). Dan karena merekalah
sebagai generasi ummat yang terbaik, menurut hadits shahih dari Nabi SAW
: “Sebaik-baik generasi ialah
generasiku, kemudian orang-orang sesudahnya, dan orang-orang sesudahnya lagi.
Lalu akan datang orang-orang yang kesaksiannya mendahului sumpahnya dan
sumpahnya mendahului kesaksiannya” (HR Al-Bukhari).
Ijma’ sahabat juga dijadikan sumber dalam Islam, karena ada ayat
yang mengatakan: “Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. Dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”
(QS An-Nisaa’ : 115). Dari catatan
kaki Mukhtashor Tafsir At-Thobari menjelaskan, ayat ini adalah dalil
yang jelas atas ulama yang beristidlal (berargumentasi)
tentang kehujahan ijma’ (sahnya ijma’ dijadikan dalil). Karena ummat Muhammad ini tidak menghendaki
atas kesesatan, sebagaimana terdapat dalam hadits
shahih tersebut. Mengikuti jalan Allah
dan Rasul dalam hal beribadah dan
beramal tentu dalam keadaan masih hidup dan berada di bumi, karena bila sudah
meninggal amalannya akan terputus, terkecuali sedekah, ilmu yang bermanfaat dan
anak yang sholeh.
Keseimbangan pada alam semesta yang telah tertata dengan baik dan sempurna, maka alam
akan selalu bersahabat dengan manusia karena pada diri manusia telah terbentuk
semacam ‘pola tawazun’ atau
keseimbangan. Dalam QS. Ar Rahman 7-8
berbunyi: "Langit Ia tinggikan dan diadakan-Nya neraca (keadilan atau
keseimbangan) supaya jangan kamu sebagai manusia melampaui batas timbangan".
Manusia harus memadukan dan menselaraskan serta mengaplikasikan segenap potensi
- potensi nikmat dengan:
1. Selalu berdzikirullah, maka akan merasa selalu diawasi dan dilindungi
oleh Allah (muraqabah). Selain itu dengan mengingat dan menyebut-nyebut serta
membesarkan nama-Nya, mengikrarkan keesaan-Nya (La ilaha illallah). Sehingga qalbu
tunduk dan bersih, kelak menumbuhkan iman yang dapat merundukkan jiwa-raga
kehadirat Allah dengan rasa haru,
syukur, khusyuk dan tawakal. Merasa selalu tertuju dan
terikat dengan karunia-Nya. Untuk selalu dapat mengenal Allah azza wajalla (marifat)
dan Rasulullah (dan ulama pewaris),
paradigmanya hanya untuk bergerak sebagai abdi-Nya, sehingga merasa mendekat
dan terbuka serta memperoleh sinar terang-benderang di bawah cahaya (nuur) Ilahi yang indah yang meraga-sukma, serta menyentuh qalbu membakar nafsu setan untuk mereguk
nikmat di dalam mahabbah-Nya,
sehingga membuat hati tenang dan yang ada hanyalah nafsu ketuhanan (mutmainnah), yang lain tenggelam
menghilang menuju ridha di sisi-Nya. Ilahi Anta maqshudi waridhaka math lubi,
A'thini MahabbataKa wa Ma'rifataKa.
(Ya Allah hanya Engkau yang kami tuju
dan keridhaan-Mu yang kami cari,
Berilah kami potensi untuk dapat Mencintai-Mu dan terang dalam Marifat-Mu).
2.Selalu berpikir ilmiah dan amaliyah, merenung serta tafakur,
dan mengobservasi ciptaan Allah dari
alam mikro-cosmos (alam kecil / buana alit) sampai alam makro-cosmos (alam besar / buana agung), sehingga akalpun kagum dan
tunduk akan kebesaran-Nya dan keperkasaan-Nya. Dengan berharap memperoleh ilmu
yang akan dapat mengantarkan jati diri manusia kepada tingkat martabat mulia
menjadi manusia mukmin sejati. Berada dalam posisi Ilmiyyah-Amaliyyah, beramal sholeh
dan berbekal ilmu yang shahih untuk
meraih sukses dalam mengarungi bahtera kehidupan. Keseimbangan yang konstruktif
disini dapat berfungsi mengeraskan daya tarik samawi (mental-spiritual) dan daya dorong bersifat ardhi (fisik-material). Sedangkan
ketimpangan antara dzikir dan pikir
akan melahirkan instabilitas dalam kehidupan. Dalam QS. An-Nahl: 97:” Barang
siapa yang berbuat kebaikan dari laki-laki atau perempuan dan dia mukmin,
niscaya Kami menghidupkannya dengan kehidupan yang baik; dan Kami memberi
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka
kerjakan”.
Dalam beramal sholeh, terdapat
istilah qiyamul lail yang berarti ‘berdiri atau berjaga malam’, adapun
maksudnya adalah orang-orang yang bangun waktu malamuntuk melaksanakan amal
ibadah, sholat, berdo’a dan berdzikrullah dengan menyebut-nyebut dan
membesar-besarkan nama-Nya, baik secara individual maupun berjama’ah di masjid atau surau. Berjaga
malam ini berarti juga menghidupkan waktu malam. Rasulullah SAW bersabda: ”Barangsiapa shalat Isya berjamaah, maka
seolah-olah dia telah talah berjaga-jaga
separoh malam; Dan barangsiapa yang shalat Isya dan Shubuh (fajar) berjama’ah ,
maka seolah-olah dia telah berjaga-jaga sepanjang malam” (HR. Malik dan Muslim). Nabi SAW menetapkan bahwa sepertiga malam
yang terakhir adalah waktu yang paling diberkati, berikut sabdanya: “Pada
setiap sepertiga malam yang terakhir tiba, Tuhan kita akan turun ke langit yang
terdekat dan berfirman, Barangsiapa bertanya kepada-Ku, maka akan Kujawab;
Barangsiapa berdo’a, maka akan Kukabulkan; Barangsiapa yang memohon ampun, maka
akan Kuampuni” (HR. Bukhari).
Dalam QS. As Sajdah: 15, 16, 17 &
19, Allah melukiskan orang-orang yang
berjaga malam dalam firmannya: “Hanya sesungguhnya orang-orang yang beriman
kepada ayat-ayat Kami, apabila diperingatkan dengannya, mereka tunduk sujut dan
mereka bertasbih dengan memuji Tuhannya sedang mereka tidak sombong. Mereka
meregangkan lambungnya dari tempat tidur, mereka menyeru Tuhannya dengan takut
dan penuh harap, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan
kepaanya. Maka tidak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka
dari penyejuk mata (nikmat) sebagai balasan terhadap apa yang mereka telah
kerjakan. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, maka bagi mereka
surga tempat kediaman sebagai anugrah terhadap apa yang telah mereka kerjakan”.
Kesabaran sebagai perbendaharaan hidup, dalam rangka perjalanan hidup
manusia harus bisa bersabar untuk menuju ridha
Allah dengan cara mengendalikan desakan hawa nafsu, memilihnya untuk bisa
eksis di jalan Allah, termasuk dalam
menghadapi berbagai cobaan dan ujian. Firman Allah dalam QS. An Nahl
ayat 96 disebutkan: ”Apa-apa yang ada pada kamu akan lenyap dan
apa-apa yang di sisi Allah adalah kekal. Dan sungguh Kami memberi balasan
terhadap orang-orang yang sabar akan pahala yang lebih daripada apa yang telah
telah mereka kerjakan”. Sabar bagi orang beriman merupakan tantangan
dan sekaligus ujian dalam berhadapan dengan benturan-benturan kehidupan. Al-Hadits: "Sungguh luar biasa urusan atau
perkara orang beriman, seluruh urusannya selalu baik. Bila bencana menimpa pada
dirinya maka ia bersabar, hal itu baik baginya. Bila karunia datang kepadanya
ia bersyukur, maka hal itu baik baginya”. Salah satu cobaan atau ujian
hidup yang dominan adalah masalah keluarga (anak dan istri) dan harta. Allah SWT berfirman, "Ketahuilah
bahwa kekayaanmu dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu, Dan bahwa Allah,
pada-Nya-lah pahala yang besar” (QS.Al-Anfal
: 28). Lalu: "Hai orang yang beriman, di antara istri-istrimu dan anak-anakmu, ada
yang menjadi musuh bagimu. Maka waspadalah terhadap mereka, akan tetapi bila
kamu maafkan, kamu tiada marahi mereka, dan ampuni kesalahan mereka, sungguh,
Allah maha pengampun, maha penyayang” (QS. At-Taghabun: 14). Sungguh mulia nan luhur tuntunan Ilahi
bagi insan pencari kebenaran yang hakiki dan fitri. Bila manusia mendapatkan
atau menghadapi ujian atau cobaan hidup, dengan bersabar dan ketabahan serta
dapat mempertahankan atau memadukan fungsi dzikir-pikir
dan iman-ilmu-amal, juga ibadah sholat
wajib dan sunnah taubat.
Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih pekerjaan yang baik dan
makanan yang halal serta menjauhi makanan haram. Rasulullah bersabda: “Dari
Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah saw bersabda: ” Sesungguhnya Allah baik tidak
menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada
orang-orang mu’min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah
berfirman: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan
kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
Banyak ayat dalam Al-Quran yang
menyatakan bahwa dimasukkan ke surga
disebabkan amal sholeh yang
dilakukan. Seperti: Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh, maka bagi
mereka surga tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang mereka kerjakan (Q.S
As Sajadah : 19). Lalu: ... tetapi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal saleh, mereka Itulah yang memperoleh balasan yang
berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman
sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga) (Q.S. Saba’ : 37). Dan: ….dan
diserukan kepada mereka: “ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa
yang dahulu kamu kerjakan” (Q.S.
Al-A’raf : 43). Juga: ”… masuklah kamu ke dalam syurga itu
disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S. An-Nahl : 32). Dan Itulah surga yang diwariskan kepada kamu
disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan (Q.S. Adz-Zukhruf : 72).
Manusia akan masuk neraka karena akibat perbuatannya sendiri, jadi harus
saling mengingatkan tersebut Q.S. Al-An’am
(6) ayat
70: ”…Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri
tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri”.
Dan apapun permasalahan yang dihadapi orang beriman haruslah dikembalikan
kepada Allah, yakni dengan mengakui
dan menyesali kesalahan serta kealfaan diri, maka semuanya akan selesai, karena
tiada lain merupakan takdir Allah.
Hubungan hablum-minallah dan hablum-minannas sekaligus, ini dapat
mengintrospeksi atau ber-muhasabah
dan mengambil pelajaran dari kesalahan serta kealfaan diri tersebut. Dengan berdzikirullah, termasuk sholat taubat dan tahajud serta hajat
sesungguhnya sebagai usaha untuk melepaskan ‘cobaan hidup’ yang dialami, agar Allah memantapkan dan menolongnya
menjadi hamba mukmin yang ulet, tabah, sabar dan gigih serta istiqamah. Allah berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, sabarlah kamu
dan teguhkanlah kesabaranmu (dalam menghadapi musuh) dan bersiap-siagalah
(untuk berperang) dan taqwalah kepada Allah agar kamu memperoleh kejayaan”
(QS. Ali Imran: 200).
Bila manusia mukmin mendapatkan dan merasakan kesenangan atau kenikmatan
hidup, dan dia bersyukur dengan menunjukkan kesadaran akan seluruh
nikmat-karunia Allah, karena dengan
rahmat-Nya manusia masih diberi hidup dan sehat hingga sampai saat ini. Dengan
rahmat-rahim Allah pulalah manusia
mukmin masih sanggup menjalani amal-ibadah serta merasa senang, karena Dia
masih menolong dan mengayomi orang beriman dalam menghadapi kesulitan hidup.
Sikap selalu mempertahankan dzikir-pikir
dengan amal-ibadah dan bersyukur serta mengaplikasikan segala potensi dan
karunia Allah yang dianugrahkan pada
diri manusia untuk dapat membuat kedamaian. Qalbu
yang hanya tunduk kepada Allah SWT Yang
Maha Mengetahui dan RasulNya (Ulama
pewaris) sebagai pembimbing ruhani dan bersifat metafisik (ghaib) serta
menghadapi misteri dalam kehidupan. Akal yang sehat tertuju kepada Allah SWT yang maha mengetahui segala
sesuatu yang nyata (Asy-Syahadah)
dalam kehidupan. Tubuh yang kuat dapat melaksanakan seluruh suruh Allah yang maha Asy-Syakur atau bersyukur sebagai realisasi dari hablum-minannas akan ‘nikmat hidup’,
agar Dia memantapkan dan menolongnya menjadi hamba yang pandai bersyukur, dan Allah berfirman dalam QS. Ibrahim ayat 7: ”Dan
(ingatlah) tatkala Tuhanmu memberitahukan, ’Sungguh jika kamu bersyukur’,
niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya,
sungguh azab-ku sangat keras”. Hanya dengan beramal sholeh bisa meneguhkan hati dan berdo’a,
QS. Al-Baqarah 250: “Ya
Allah Robb kami! Limpahkanlah kesabaran atas kami, kokohkanlah pendirian kami,
dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir” , dan “Ya
Allah Robb-kami! Ilhamilah kami, agar selalu mensyukuri nikmat yang Kau berikan
kepadaku dan kepada orangtuaku, dan agar aku melakukan amal saleh yang Kau
ridhai, masukanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba – hamba- Mu
yang sholeh” (QS. An-Naml :
19).
Janji Allah SWT
bagi orang-orang beriman yang beramal sholeh
adalah surga disebutkan dalam firman Allah
QS. Al Baqarah ayat 82 berbunyi: “Dan
orang-orang yang beriman serta beramal sholeh, mereka itulah penghuni surga.
Kekallah mereka di dalamnya“. Dalam praktek amaliyah yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW yang diteruskan oleh para Ahli
Dzikir (para Ahli Silsilah / Ulama Pewarisnya / dengan Wasilah-Nya) yang termasuk di dalam tarekat atau ilmu tasawwuf Islam. Hadits menyebutkan “Tidaklah mendekat kepada-Ku orang-orang yang
berusaha mendekat hanya dengan sebatas pelaksanaan apa-apa yang Saya wajibkan.
(Namun), hamba selalu mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnat hingga
mencintai-Ku dan Saya mencintainya. Jika Saya mencintainya, maka Saya baginya
adalah pendengaran dan penglihatan. Dengan Saya dia melihat dan dengan Saya dia
mendengar” (HR. Abu Hurairah,
Imam Bukhari, Al Hakim, At-Turmudzi). Amal-ibadah yang berhubungan kepada Allah SWT (habluminnallah) tersebut tidak bisa dengan berupa “hanya titip
salam” atau “diwakilkan dengan membayar orang lain” dalam pelaksanaannya
terutama dalam bertaubat, dzikir dan shalat, semua itu harus dikerjakan sendiri dengan aturan yang
benar.
Dalam QS. Al-Najm ayat 36-41 dikatakan: ”Belumkah
manusia diberi tahu tentang ajaran dalam lembaran-lembaran suci Nabi Musa, dan
ajaran Nabi Ibrahim yang setia, bahwa seseorang yang berdosa tidak akan
menanggung dosa orang lain, dan bahwa manusia tidak akan mendapatkan apa-apa
kecuali yang dia usahakan sendiri, dan usahanya itu akan diperlihatkan
kepadanya dan kemudian akan dibalas dengan balasan yang setimpal”.
Jelas disini tanggungjawab manusia di akherat nanti penekanannya bersifat
pribadi. Al-Qur’an memperingatkan: “Wahai
manusia, kamu harus hati-hati, waspada, dalam menghadapi hari ketika saat itu
tak seorangpun bisa membantu orang lain, dan ketika itu tidak diterima
perantaraan (syafa’at), dan ketika pada saat itu juga tidak diterima tebusan”.
Untuk
itulah orang Islam agar bertanya kepada ahlinya seperti diterangkan dalam QS. An Nahl: 43 “Fas aluu ahladz dzikri in kuntum laa ta’lamuun” yang artinya: “Maka
bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahuinya”.
Peramalan tersebut bersumber dari pada kehidupan Rasulullah “sebelum dan sesudah” menjadi Rasul, semua itu juga merupakan pancaran ilham dan wahyu dari Allah SWT.
Dzikirullah
Dzikrullah, berasal dari bahasa Arab ‘dzikr’
yang artinya mengingat, mengucap atau menyebut, dan apabila dikaitkan dengan
Islam sebagai dzikrullah yaitu
mengingat dan menyebut nama (asma) Allah
SWT.
Hukum dasar dari amaliyah
itu berupa dzikir yaitu mengingat Allah yang memang ada dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Perhatikan firman Allah
SWT dalam surat Al-Ahzab sebagai
berikut: “Ya ayyuhal ladzina aamanudz
kurullaaha dzikran katsiira. Wa sabbihuuhu bukrataw wa ashiilaa” artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman berdzikirlah (ingatlah) kamu kepada Allah dengan
dzikir yang sebanyak-banyaknya” (ayat
41) Dan ber-tasbihlah kepada-Nya di
waktu pagi dan petang (ayat 42).
Juga dalam QS. Al Baqarah: 152 “Fadzkuruunii adzkurkum wasykuruullii walaa
takfuuruun” artinya: “Dzikir-lah kamu kepada-Ku, niscaya Aku
dzikir kepadamu, bersyukurlah kamu kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari
akan nikmat-Ku”. Disebutkan pula dalam QS. Al A’laa:14 – 15 “Qad
aflaha man tazakkaa. Wadzakaras
marrabbihii fashallaa” artinya: “Sungguh beruntung orang yang mensucikan
dirinya. Dan dzikirlah akan Allah, lalu tegakkan
shalat”. Dalam QS. Al Jinn:
16-17: “Seandainya mereka istiqamah di atas Thariqah niscaya Kami beri minum
mereka dengan air yang melimpah (karunia yang banyak); untuk Kami uji mereka di
dalamnya, dan barang siapa tidak mau berdzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia
menimpakan azab yang sangat pedih”. Dan ditegaskan lagi oleh Allah bahwa dzikrullah merupakan amalan yang paling akbar dengan firmannya: wa ladzikrullaahi akbar, “Dan
sungguh dzikrullah itu maha akbar” (QS.
Ankabut: 45). Mengenai kedudukan sebagai amalan terbaik disebutkan dalam hadits riwayat Ahmad dengan sanad
hasan: ”Maukah kalian kuberitahu amal yang paling baik untuk kalian, amal yang
paling suci di sisi Tuhan kalian, amal yang paling mengangkat derajat kalian,
amal yang paling baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, dan
amal yang paling baik bagi kalian daripada menghadapi musuh di medan jihad yang
kemudian kalian dan musuh kalian saling menebas leher ?” Para sahabat
menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah”
Nabi bersabda:”Dzikrullah”[3] Rasulullah pun bersabda pula: ”Hendaklah lidahmu basah karena mengngat
Allah” (HR. Tirmidzi). Bahkan
dalam kegiatan apapun dianjurkan untuk selalu berdzikir, sebab tanpa dzikir sesuatu
itu yang akan dihasilkan sia-sia belaka, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Setiap sesuatu yang tidak disertai dzikir
kepada Allah adalah perbuatan main-main
dan kesia-siaan, kecuali empat hal: a) suami bercanda dengan istrinya, b) orang
yang melatih kudanya, c) orang yang berlatih memanah, dan d) orang yang
berlatih berenang” (HR. An Nasai).
Untuk itulah orang yang beriman berusaha untuk mendekatkan diri dan melalui
jalan Allah agar rahmat dan
anugrah-Nya dapat segera diraih. Sabda Rasulullah SAW “Tak
seorangpun akan masuk surga oleh amalnya”, Sahabat bertanya: ”Tidak
juga engkau hai Rasulullah?”. Beliau menjawab:”Akupun juga. Kecuali Allah
melimpahkan anugrah dan rahmat kepadaku. Karena itu, usahakanlah kamu benar dan
istiqamah dan bersahajalah” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Lebih lanjut beliau Nabi SAW bersabda: “Apabila kalian melewati pertamanan sorga,
maka ikutlah meramaikannya !” Ditanyakan: “Apakah pertamanan sorga itu ?
Rasulullah bersabda: “ Majelis-majelis
dzikir” (HR. Anas bin Malik –
At-Turmudzi). Dalam Hadits-hadits
lainnya disebutkan yang artinya sebagai berikut: “ Hai manusia, merumputlah kalian di kebun
surga! Kami bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa kebun surga itu?
Beliau menjawab: “Majelis dzikir, Kalian makan pagilah (dengan dzikir), makan sore dan
berdzikir. Barangsiapa cinta mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka
pandanglah bagaimana kedudukan Allah di sisinya (dihatinya). Sesungguhnya Allah
turun pada hamba menurut turunnya hamba di sisin-Nya” (HR. Abu Hurairah dan At-Turmudzi). Hadits berikutnya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu mempunyai
malaikat-malaikat yang berkelana di Dunia, selain makhluk. Apabila mereka
melihat majelis-majelis dzikir, sebagian mereka memanggil sebagian yang lain -
Kemarilah kepada kebutuhan kalian !, maka berdatanganlah para malaikat itu dan
mereka mengelilingi majelis dzikir, serta mendengarkan. Ingatlah ! Ber-dzikir kepada Allah dan
ingatlah diri kalian”.[4] Hadits yang diriwayatkan Abi Dzar radliyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda: “Menghadiri majelis dzikir itu lebih
utama daripada shalat seribu
raka’at, menghadiri majelis ilmu lebih utama daripada menengok seribu orang
sakit dan menghadiri majelis ilmu adalah lebih utama daripada menyaksikan
seribu jenazah”. Ada yang bertanya: ‘Ya Rasulullah ! Bagaimana kalau
dari membaca Al Qur’an ?” Rasulullah
bersabda: ‘Adakah bermanfaat membaca Al Qur’an, kecuali dengan “ilmu” ‘Athaa rahimahullah berkata: “Majelis
dzikir itu dapat melebur tujuh puluh majelis main- main”.[5] Sabda Rasulullah berikutnya : “Ingatlah, Saya akan memberitahu kalian
tentang sebaik-baik amal kalian, paling sucinya amal kalian di sisi Raja
kalian, paling tingginya amal kalian dalam tingkatan beberapa derajat, dan paling baiknya pemberian daripada emas dan
perak. Jika kalian bertemu musuh-musuh kalian, maka kalian memukul leher-leher
mereka dan mereka (ganti) memukul leher-leher kalian! Para sahabat
bertanya: “Apa itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Dzikrullah”.
(HR. Al Baihaqi dari Ibnu Umar).[6]
Karena tingginya dimensi dzikir dalam
hadits disebutkan: “Hari kiamat tidak akan datang kepada
seseorang yang mengucap Allah, Allah” (hadits ini diriwayatkan Anas
bin Malik dan dikeluarkan Imam Muslim
no: 148 tentang iman bab ”Hilangnya Iman
di Akhir Zaman”). Juga dalam hadits: “Kiamat tidak akan terjadi sampai di bumi ini
hingga tidak ada yang mengucapkan Allah, Allah” (HR.
Anas bin Malik dan dikeluarkan oleh At-Turmudzi ).
Keistimewaan dzikir tidak dibatasi waktunya, bahkan tidak ada waktu kecuali
seorang hamba diperintah dzikir, baik
bersifat wajib atau sunnat. Allah berfirman dalam QS. Ali Imran:190 -191 artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi dan silih bergantinya siang dan malam adalah tanda-tanda bagi orang yang
berfikir, (yaitu) Orang-orang yang mengingat (dzikir) Allah,
baik dengan berdiri, duduk, dan (atau) berbaring dan memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi”. Dengan dzikrullah seorang hamba bisa menyelamatkan
dari gangguan atau godaan setan yang menjadi musuh nyata manusia, seperti
ditegaskan oleh Nabi SAW: ”Seorang hamba tidak akan bisa melindungi
‘diri’-nya dari setan kecuali hanya dengan dzikrullah” (Shahih Ibn Hibban XIV:125 dan
Sunan At Tirmidzi V:148).
Di kalangan penganut terekat ada yang menyebut kata Huwa
sebagai hu (terdengar) sebagai amalan dzikir, sedangkan di hati terukir
goresan yang bermaksud Dia Allah,
jelas dihalalkan dalam syari’at dan akan memberi pengaruh
positif pada sang pelakunya atau pengamal. Kelompok Naqsyabandi juga meyakini bahwa goresan
hati mereka yang menyebut Dia Allah
ketika mulut mengatakan Huwa (hu) pasti akan diganjar sebagai sebuah
ibadah atau amalan di sisi Allah
Subhanallahu Wa Ta’ala, bila melalui saluran atau metode yang benar. Ilustrasi
ini jelas tergambar pada peristiwa Bilal
bin Rabah, Muadzin Nabi yang
mulia pada saat menerima siksaan dari Umayyah bin Khalaf dan antek-anteknya.
Beliau dijemur di padang pasir yang terik seraya dicambuk terus menerus. Namun
saat itu hati (qalbu) beliau tetap
teguh mengingat hanya Dia Allah tidak
ada yang selain itu. Sementara mulut beliau tiada hentinya mengucapkan Ahad .... Ahad.... Dalam pandangan
kelompok wahabi / salafy, yang secara hukum syari’at sebenarnya hal ini dianggap
salah, apakah kelompok wahabi / salafy
berani menyalahkan beliau ? Sebab menyebut nama Allah semestinya dengan memakai harfun nida’ (kata seru) “ي (YA)”. Jadi semestinya Sayyidina Bilal
harus menyebutkan “Ya Ahad...Ya Ahad”
atau “Allahu Ahad ....Allahu Ahad” bukan “Ahad...Ahad” saja. Tetapi kenyataannya, Sayyidina Bilal tetap hanya
menyebutkan Ahad Ahad saja, bukan? Perbuatan Sayyidina Bilal ini sesuai dengan hadits Nabi: “Sesungguhnya Allah tidak melihat
rupa kamu dan harta kamu, tetapi Allah melihat hatiI-mu dan amalmu” . Artinya meskipun di mulut secara dzahir beliau hanya mengucapkan Ahad Ahad,
namun hati beliau, sekali lagi hati beliau dengan tegas dan nyata menggambarkan
bahwa yang dimaksud adalah Allahu Ahad-
Allahu Ahad ! Demikian juga serupa dengan mengucap Allah ... Allah...Allah. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam justru
memuji dzikir yang dilakukan Bilal
saat itu, bahkan menjamin beliau dengan imbalan surga kelak di Akherat. Tidak
sedikit pun Nabi SAW mengkoreksi
ucapan Bilal tersebut, apalagi menuduh Sayyidina Bilal melakukan amalan bid’ah. Padahal Nabi sendiri tidak
pernah mengajarkan sayyidina Bilal untuk berdzikir
Ahad..Ahad, seharusnya, amalan Sayyidina Bilal ini bid’ah menurut paham wahabi
/ salafi, pasalnya Sayyidina Bilal
ini dianggap telah lancang dan terlalu berani membuat sebuah amalan yang tidak
dibuat atau diajarkan oleh Nabi SAW).
Di sisi lain Umayyah dan Abu Lahab berserta antek-anteknya pun memahami ucapan
Bilal .. Ahad ... Ahad (yang berarti satu ... satu atau Esa ... Esa) itu dimaksudkan adalah Allahu
Ahad ... Allahu Ahad. Sehingga kemarahan mereka semakin memuncak dan
berujung kepada siksaan yang lebih dahsyat mereka jatuhkan kepada Sayyidina
Bilal. Dahsyatnya, kelompok mereka yang sejak dulu sampai sekarang ini tidak
dapat memahami jenis-jenis dzikir
seperti ini. Bukankah ini berarti lebih pandai mengkoreksi amal ummat Islam dan
menuduh sesat alias bid’ah amalan
kaum muslimin di luar kelompoknya, dibandingkan pula dengan diri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri. Padahal
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam ada bersabda: “Aku diutus membawa agama yang cenderung kepada
perkara yang haqq dan penuh toleransi !”
Shalat meski kedudukannya sebagai ibadah yang paling mulia,
namun dalam waktu-waktu tertentu tidak boleh dilakukan. Sedangkan dzikir dilakukan sepanjang waktu dalam
berbagai keadaan. Pelajaran dalam Al
Qur’an itu seharusnya dikaji untuk dimengerti dan diamalkan atau dikerjakan,
tidak hanya untuk dibaca-baca saja seperti fiman Allah dalam Surat Yaasiin:
69 “Wa maa ‘allamnaahusy
syi’ra wa maa yambaghii lahuu in huwa illa dzikruw wa qur-aanum mubiin” artinya: “Dan kami tidak mengajarkan sya’ir kepadanya
(Muhammad) dan tidak lah pantas baginya (Al Qur’an tidak lain hanyalah
pelajaran / kajian, terkecuali dzikir / ingat Allah), berupa peringatan dan Al
Qur’an yang amat terang”. Keutamaan dzikir sebagai berikut:
a) sebagai tanda cinta Allah, b) sebagai tanda beserta Allah, c) sebagai tanda mempunyai martabat yang tinggi, d) tanda
lebih utama dari jihad (fi sabilillah), e) tanda tak kalah dari
pahala sedekah, f) sebagai tanda harta yang tak ternilai harganya, dan g) tanda
akan berbalas masuk surga. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW dalam beberapa hadits:
”Tanda
cinta Allah adalah menyukai dzikrullah (dzikir kepada Allah) Dan tanda
kebencian Allah adalah membenci dzikrullah azza wajalla” (HR.Baihaqi dari Anas ra). “Allah ta’ala berfirman, Aku bersama hamba-Ku
apabila ia menyebut nama-Ku” (HR.
Ibnu Majah, disahihkan oleh Ibnu
Hiban). “Akan selalu ada di antaramu orang-oprang yang mengingat Allah seraya
duduk di atas hamparan-hamparan, sehingga mereka dimasukkan ke dalam martabat
yang tinggi” (HR. Ibnu Hiban
dari Abu Sa’id ra). “Seandainya
seseorang memukulkan pedangnya kepada orang kafir dan musyrik hingga patah dan
berlumuran darah, tentulah orang-orang yang berdzikir kepada Allah lebih utama
daripadanya” (HR. Tirmidzi
dari Abi Said Al Khudri ra). “Sekiranya
seseorang mempunyai beberapa dirham yang dapat disedekahkan dan yang lain
mengingat Allah, sesungguhnya yang mengingat Allah itu lebih baik” (HR.Thabrani). “Harta yang tak ternilai harganya
adalah lisan yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur, dan istri
beriman yang mampu menegakkan keimanan suaminya” (HR. Ibnu Majah dan At Tirmidzi). Dan “Abdillah bin ‘Umar bertanya
kepada Nabi SAW: “Ya Rasulullah, apakah balasan bagi majelis-majelis dzikir itu
? Muhammad Rasulullah SAW bersabda: “Balasan bagi majelis-majelis dzikir adalah
surga” (HR. Ahmad).
Undang-undang
Al Qur’anul Karim adalah kitab yang
berlaku bagi orang-orang yang ruhaninya sudah
suci dan hidup. Sebagaimana firman
Allah sebagai berikut dalam QS.
Yaasiin: 70, “Li yundzira man kaana hayyaw wa yahiqqal qaulu ‘alal kaafiriin”
artinya: “Dia (Muhammad) agar memberi ingat kepada siapa-siapa yang hidup
hatinya; dan tetap la hukuman / siksa buat orang-orang yang ingkar”.
Tersebut dalam QS Al Waqiah: 77 – 81 “Innahuu la
qur-aanun kariim, fii kitaabim maknuun, tanziilum mir rabbil ‘aalamiin. A fa bi
haadzal hadiitsi antum mudhinuun” yang
artinya: “Sesungguhnya Kitabullah (Al Qur’an) yang paling mulya adalah kitab suci
yang disembunyikan, yaitu Al Qur’an yang tidak bisa disentuh kecuali
orang-orang yang hatinya sudah suci.
Salah satu kalamullah yang datang dari Allah Tuhan semesta alam. Bisakah
kamu cerita, kalau ini pekerjaan mudah ?”
Selanjutnya
pendidikan budi pekerti dalam Islam dilakukan melalui jalan tarekatullah (dalam ilmu tasawwuf) sebagai metode atau melalui
suatu “pendidikan ruhani” yaitu dengan dzikir,
wirid (dzikir bersama), melaksanakan I’tikaf / Suluk yaitu mengintensifkan
dzikirullah dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga Allah sendiri
yang mencerdikkannya dan memberi petunjuk sebagai ilmu Laduni yang akhirnya
membuahkan ahlaqul karimah.
Iman dan
taqwa saja tidaklah cukup untuk menjadikan orang yang berilmu dan ber-akhlaq mulia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
“Iman itu
telanjang, pakaiannya adalah taqwa, perhiasannya adalah malu dan buahnya adalah
imu” (HR. Al Hakim)[7]
hal. 110
[5] Imam Al Ghazali , Ibid,
hal 112
Amani,Jakarta,
2002: hal. 317.
MENGINTENSIFKAN PERAMALAN
Ada kecenderungan
banyak ummat Islam cenderung mengabaikan I’tikaf,
buktinya hanya sebagian kecil tak sampai 10% jema’ah suatu masjid/Surau/Pengajian melakukan
ibadah sunnah yang tergolong sunnah muakkadah (utama) itu[1]. I’tikaf
disebut juga Suluk atau khalwat yakni secara syar’i sekelompok jema’ah ummat Islam yang berdiam diri di masjid dan sibuk melakukan
dzikrullah (mengingat Allah), atau surau yang ditentukan oleh Guru Mursyid dalam melaksanakan peribadatan syariat Islam dan amal sholeh
(peramalan dzikrullah) yang bersifat
jasmani dan ruhani selama 10 hingga 40 hari.
Pada saat inilah, seorang muslim
berangkat memenuhi panggilan Allah
dengan menjalani i’tikaf / suluk, yang sebelumnya telah tumbuh
subur pertanyaan tentang Allah dengan
kegalauan lalu bertanya “Siapa diriku sebenarnya?”. Pertanyaan ini telah tumbuh
kokoh dalam diri Nabi Musa as., dan sebagaimana diketahui kisah lanjutannya, di
ujung padang pasir Madyan ada seorang pembimbing untuk menempuh jalan menuju Allah ta’ala, yaitu Nabi Syu’aib as,
yang lalu menyuruh anaknya untuk menjemput Musa dan membawa Musa kepadanya. Di
bawah bimbingannya, Musa dididik menempuh jalan taubat, supaya “arafa nafsahu”,
untuk “arif akan nafs (jiwa)-nya sendiri”. Dan dengan bimbingan Syu’aib akhirnya ia
mengerti dengan sebenar-benarnya (ia telah ‘arif),
bahwa dirinya diciptakan Allah
sebagai seorang Rasul bagi bangsa
Bani Israil, bukan sebagai seorang pangeran Mesir.
Dalam mengikuti i’tikaf atau berkhalwat hanya menyibukkan diri selama 10 - 40 hari, dengan
berbagai kegiatan ibadah dan beramal dari pagi, siang sampai malam. Orang-orang yang i’tikaf harus memahami bagaimana melindungi diri mereka dari semua
bisikan setan yang negatif di telinga, hati dan pikiran serta perbuatan dengan
memohon perlindungan Allah, Rasulullah (pewarisnya / Guru-Mursyid).
Seringkali manusia dihampiri berbagai
pertanyaan-pertanyaan, misalnya seperti untuk apa semua ini? Apakah
makna hidup saya? Kenapa hidup saya terasa datar saja, berputar-putar dari hari
ke hari? Merasa banyak melakukan dosa dan ingin bertaubat? Atau hanya
pergantian episode senang dan sedih? Mengapa saya seperti dikuasai oleh
kehidupan saya? Semua ini mulai muncul dan terlitas di hati. Sebenarnya, Allah setiap saat ‘memanggil-manggil’
manusia (hai.... orang beriman/percaya!) untuk kembali kepada-Nya. Dengan cara
apa saja. Dia, dengan kasih sayang-Nya, terkadang membuat suasana kehidupan
seorang anak manusia sedemikian rupa sehingga kalbunya dibuat-Nya ‘menoleh’
kepada Allah. Hanya saja,
teramat sedikit orang yang mendengarkan, atau berusaha mendengarkan,
panggilan-Nya ini. Allah terkadang
membuat kita terus-menerus gelisah, atau terus-menerus mempertanyakan ‘Siapa
diri saya ini sebenarnya? Apa tujuan hidup saya? Apa makna kehidupan saya?,’ dan
sebagainya. Bukankah kegalauan semacam ini adalah sebuah seruan, panggilan
supaya kita mencari kesejatian diri? Mencari akan kebenaran? Mencari ‘Al-Haqq? Percayalah, Allah akan selalu menurunkan taufik, hidayah, dan pancingan-pancingan
pada manusia untuk kemudian mencari-Nya. Dalam hal ini, Allah amatlah pengasih. Apakah seseorang percaya kepada-Nya atau
tidak, beragama atau tidak, Dia tidak pandang bulu. Apakah seseorang membaca
kitab-Nya atau tidak, percaya pada para utusan-Nya ataupun tidak, semua orang
pernah dipanggil-Nya dengan cara seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya
seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan. Bentuk
‘pancingan’ semacam ini pula yang dialami oleh para pencari, maupun para Nabi.
Nabi Ibrahim yang gelisah dan mencari tempat mengabdi (ilah), yang diabadikan dalam QS
6:74-79. Juga kita lihat Nabi Musa,
misalnya. Setelah hanyut di sungai nil, dia dibesarkan oleh salah seorang maha
raja yang terbesar sepanjang sejarah, Sethi I. Hidup dalam kemewahan,
kecukupan, hanya bersenang-senang. Tapi dia selalu ‘galau’ ketika melihat di
sekelilingnya, bangsa Bani Israil, yang ketika itu menjadi warga mesir kelas
rendahan, sebagai budak. Kisah Musa as., sebagaimana juga semua manusia yang
sejak kecil dibekali pertanyaan-pertanyaan dari dalam dirinya dan dibekali
kegelisahan dalam rangka pencarian akan
kebenaran. Bibit-bibitnya memang ada. Allah, menumbuhkan bibit-bibit pencariannya itu dengan menyiramkan
’air kebingungan’ yang lebih besar lagi. DipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya pernah
membantai jutaan bayi lelaki Bani Israil. Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa
ayahnya menganggap Bani Israil adalah warga kelas dua yang rendah, bodoh, dan
memang patut diperbudak. Puncaknya, ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa
dirinya sendiri ternyata merupakan seorang anak Bani Israil, keturunan warga
budak kelas dua, yang dipungut dari sungai Nil. Pada saat ini, pada diri
seorang Pangeran Musa lenyaplah sudah harga dirinya. Hancur semua masa lalunya.
Dia seorang tanpa sejarah diri sekarang. Ditambah lagi ia telah membunuh
seorang lelaki, maka larilah ia terlunta-lunta, menggelandang di padang pasir,
mempertanyakan siapa dirinya sebenarnya. Justru, pada saat inilah ia berangkat dengan pertanyaan terpenting bagi
seorang pejalan suluk, yang telah tumbuh disiram hingga subur oleh Allah dengan air
kegalauan: “Siapa diriku sebenarnya?”. Pertanyaan ini telah tumbuh kokoh dalam diri Musa as., dan sebagaimana kita
semua mengetahui kisah lanjutannya, di ujung padang pasir Madyan ada seorang
pembimbing untuk menempuh jalan menuju Allah ta’ala, yaitu Nabi Syu’aib as,
yang lalu menyuruh anaknya untuk menjemput Musa dan membawa Musa kepadanya. Di bawah bimbingannya, Musa dididik menempuh jalan taubat, supaya “arafa
nafsahu”, untuk “arif akan nafs (jiwa)-nya sendiri”. Dan dengan bimbingan
Syu’aib akhirnya ia mengerti dengan sebenar-benarnya (ia telah ‘arif), bahwa
dirinya diciptakan Allah sebagai seorang Rasul bagi bangsa Bani Israil, bukan
sebagai seorang pangeran Mesir. Ia menemukan kembali misi hidupnya, tugas
kelahirannya yang untuk apa Allah telah menciptakannya. Ia telah menemukan
untuk apa dia diciptakan, yang disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Setiap
orang dimudahkan untuk mengerjakan apa yang telah Dia ciptakan untuk itu.”
(Shahih Bukhari no. 2026)
Maka dari itu, sahabat-sahabat, jika ada diantara anda yang mungkin ingin
sekali bertemu seorang guru sejati, atau seorang mursyid yang Haqq untuk minta
bimbingannya, maka terlebih dahulu anda harus benar-benar mencari Allah,
mencari kebenaran, mencari Al-Haqq. Pertanyaan “Siapakan aku? Untuk apa aku
diciptakan?” harus benar-benar telah tumbuh dalam diri kita (dan itu pun bukan
menjadi jaminan bahwa perjalanannya akan berhasil). Anda memang telah
benar-benar butuh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Jika tidak demikian,
atau jika belum merasa benar-benar membutuhkan, percayalah, tidak akan ada
seorang mursyid sejati yang akan mengutus anak-anaknya untuk menjemput anda. “Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, bukan semata-mata artinya
“siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.” Kata ” ‘Arafa”, juga
“Ma’rifat,” berasal dari kata ‘arif, yang bermakna ’sepenuhnya memahami’,
‘mengetahui kebenarannya dengan sebenar-benarnya’; dan bukan sekedar
mengetahui. dan nafsahu berasal dari kata ‘nafs’, salah satu dari tiga unsur
yang membentuk manusia (Jasad, nafs, dan ruh). Jadi, kurang lebih maknanya adalah “barangsiapa yang ‘arif
(sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan ‘arif pula akan
Rabbnya”. Jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah, hanyalah
dengan mengenal nafs terlebih dahulu. Setelah arif akan nafs kita sendiri, lalu ‘arif akan Rabb kita, maka
setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas ‘Ad-diin’. ‘Arif akan Rabb, atau dalam bahasa Arab disebut ‘Ma’rifatullah’ (meng-
‘arifi Allah dengan sebenar-benarnya), sebenarnya barulah –awal– perjalanan,
bukan tujuan akhir perjalanan sebagaimana dipahami kebanyakan orang. Salah
seorang sahabat Rasul selalu mengatakan kalimat yang terkenal: “Awaluddiina
ma’rifatullah”, Awalnya diin
adalah ma’rifat (meng-’arif-i) Allah, sebagai awal menjalankan agama adalah mengenal Allah lebih dahulu lalu mempercayai /beriman dan taat /taqwa.
Seringkali manusia
disibukkan oleh pekerjaan, dibuai oleh kesibukan, mengejar kesuksesan kerja,
atau ditipu oleh dalih mengejar karir, atau kenyamanan lain bersama keluarga.
Sangat sering pula muncul pertanyaan-pertanyaan esensial seperti halnya potensi pencarian kebenaran yang dibawa sejak
lahir, ketika kanak-kanak sangat nyata, semuanya terkubur dan terlupakan begitu
saja seiring waktu berubah menjadi dewasa, terkadang ketika tua dan tak berdaya
pemikiran dan pertanyaan itu muncul kembali dan itu adalah ‘potensi mencari Allah’ yang Dia bekali untuk manusia
sejak lahir. Dan jangan biarkan semua itu menenggelamkan potensi pencarian kebenaran
yang telah Allah turunkan. Ketika manusia
tenggelam dalam urusan dunia seperti itu, bahkan tidak menyadari bahwa
kehidupannya berputar-putar saja dari hari ke hari. Pergi bekerja (mencari
nafkah), belajar, mengejar karir, pergi pagi dan pulang sore, terima gaji,
menikah, membesarkan anak, menyekolahkan anak, pensiun, dan seterusnya setiap
hari, selama bertahun-tahun. Apakah hanya itu manusia hidup? Bukankah manusia tanpa
sadar telah terjebak kepada pusaran kehidupan yang terus berputar-putar saja dan
tanpa makna? Celakanya, kebanyakan
manusia mencetak anak-anaknya untuk mengikuti pola yang sama. Pada saatnya
nanti, mungkin hidup mereka pun akan mengulangi pusaran-putaran tanpa makna
yang pernah ditempuh. Sangat jarang orang yang masih memiliki potensi
pencariannya akan Allah dan belum tenggelam.
Dalam hal ini, jika masih saja gelisah mencari makna kehidupan, maka
kegelisahan tersebut merupakan hal yang perlu disyukuri, dan segera mencarinya.
Berapa banyak manusia yang masih mau mendengarkan kegelisahannya sendiri?
Padahal kegelisahannya itu merupakan rembesan dari jiwa yang menjerit tidak
ingin terkubur dalam kehidupan dunia saja. Dia ‘menjerit’ ingin mencari Al-Haqq, dan ‘rembesannya’ kadang naik
ke permukaan dalam bentuk kegelisahan. Dengan demikian diperlukan suatu usaha
pencarian yang dapat memberi petunjuk dan bimbingan serta pencerahan, sehingga Ia
menemukan kembali visi dan misi dalam hidupnya, tugas kelahirannya yang untuk
apa Allah telah menciptakannya. Ia
telah menemukan makna untuk apa dia diciptakan, yang disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Setiap orang dimudahkan untuk
mengerjakan apa yang telah Dia ciptakan untuk itu.” (Shahih Bukhari no. 2026)
Firman
Allah SWT melaksanakan i’tikaf / suluk / halwat terdapat dalam Q.S. Al A’raaf: 142 “Wa waa’adnaa muusaa tsalaatsiina lailataw wa atmamnaahaa bi
‘asyrin fa tamma miiqaatu rabbihii
arba’iina lailataw “ artinya: “Dan telah kami janjikan kepada
Musa (memberi Taurat setelah Riazhah / Suluk ) tiga puluh malam dan kami
sempurnakan sepuluh (malam lagi). Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan
Tuhannya (Musa) empat puluh malam”. Dalam Q.S. Al Baqarah : 125 yang berbunyi “Wa ‘ahidnaa ilaa ibraahiima wa ismaa’iila an thahhiraa baitiya lith
thaa-ifiina wal ‘aakifiina war rukka’is sujuud” artinya: “Dan kami perintahkan kepada
Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumahku untuk orang-orang yang thowaf, yang
i’tikaf dan yang ruku’ sujud (sholat)”. Ber-i’tikaf yakni berdiam di masjid / surau untuk beramal dan
beribadah, Aisyah ra. menuturkan: “Rasulullah SAW biasa ber’itikaf sepuluh
(malam) yang terakhir pada bulan Ramadhan sampai beliau wafat. Kemudian
istri-istri beliau ber’itikaf juga sepeninggal beliau“ (HR.Bukhori dan Muslim). Lalu hadits lainnya berkenaan masalah halwat ini yakni “Nabi
Muhammad SAW diberi kesukaan menjalankan khalwat (bersunyi-sunyi) di gua Hira’,
lalu bertahanus di dalamnya, yaitu beribadat beberapa malam yang tidak sebentar”
(HR. Bukhari)[2]’[3]
Dalam
pelaksanaan i’tikaf, diakui memang
banyak orang Islam yang belum mengerti dan mengetahui serta bisa saja
menghalanginya, QS. An Naml ayat 4
menyebutkan bahwa “Sesungguhnya orang yang tidak beriman kepada
negeri akherat, Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka,
maka mereka bergelimang (dalam kesesatan). Dan QS. Az Zukhruf ayat 78: “...kebanyakan
di antara kamu benci kepada kebenaran itu“.
Di tempat
yang telah ditentukan seperti masjid atau surau (rumah suluk) tersebutlah, mereka-mereka yang i’tikaf berusaha dan melatih
diri (riadhah), berjuang (mujahadah), melepaskan diri dari hawa
nafsu dan kebendaan yang merupakan hijab
antara diri dengan Tuhannya. Juga mengintensifkan peramalan dzikrullah (training centre) dengan meningkatkan ilmu tentang ke Tuhan-an,
sehingga memperoleh ilmu laduni yaitu
Allah sendiri yang memberi pelajaran
dan mencerdikkannya, sehingga memperoleh semacam ‘kaji rasa’ yang setiap orang
tidak selalu sama atau bahkan bisa berbeda sama sekali, sesuai dengan
pengalaman hidup pribadinya masing-masing. Disinilah kita dapat mengenal akan
sesuatu dari bentuk perkampungan akherat
agar untuk bisa lebih percaya (iman) pada hari akhir dengan keikhlasan, dan
untuk introspeksi diri serta mengambil pelajaran dan manfaat. Mereka-mereka
yang i’tikaf itu seakan keluar dari
kuburnya (kelambunya) dan dikumpulkan, dimana wajah-wajah mereka seperti bulan,
pada bulan purnama, mereka ini melewati shirat
seperti kilat menyambar. Lalu ada pemanggil yang memanggil di hadapan dzat Yang
Maha Penyayang. Mereka ini adalah orang-orang yang beramal sholeh dan menjauhi kemaksiatan, serta menjaga sholat lima waktu dengan berjama’ah,
mereka “mati hakekat” (patuh) dalam keadaan bertaubat. Maka inilah pembalasan mereka, dan tempat kembali mereka
adalah surga (mereka dalam) pengampunan, keridhaan
dan rahmat serta kenikmatan, karena sesungguhnya mereka ini sama ridha pada Allah Ta’ala dan Allah Ta’ala
(juga ridha) kepada mereka. Dalam QS. Yusuf: 109-111 disebutkan: ”Kami
tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu
kepadanya diantara penduduk negeri. Maka tidaklah mereka bepergian di muka bumi
lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan
Rasul) dan sesungguhnya kampung akherat adalah lebih baik bagi orang-orang yang
bertaqwa. Maka tidaklah kamu memikirkannya? (109). Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang
keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah
kepada para Rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami
kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa
(110). Sesungguhnya pada kisah-kisah
mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an
itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab)
yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat
bagi kaum yang beriman (111)”. Dalam Al
Israa ayat 9 -10, 15, 18 - 21: ”Bahwa
sesungguhnya Al Qur’an ini memberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan
membawa kabar gembira untuk orang-orang mukmin yang beramal sholeh,
sesungguhnya bagi mereka pahala yang besar (9). Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, Kami
sediakan bagi mereka azab yang pedih (10). Bacalah bukumu. Cukuplah engkau sendiri pada hari ini menghitung
(amal)mu (15). Dan barangsiapa yang
menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha untuk itu dengan sungguh-sungguh dan
dia mukmin, maka mereka itulah yang usahanya disyukuri (diterima) (19). Kepada setiap golongan ini dan golongan itu
Kami bantu dari pemberian Tuhanmu. Dan tidaklah pemberian Tuhanmu itu dihalangi
(20). Perhatikanlah, bagaimana Kami
melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya
akhirat itu lebih besar (tinggi) derajatnya dan lebih besar keutamaannya
(21)”.
Kampung
akherat ini pemimpinnya adalah Wali -
Mursyid, yang memberikan petunjuk /
contoh / praktek keteladanan dalam ber-adab,
beribadah dan beramal sholeh, juga menekankan
perlunya berjama’ah dan bersilaturrahim
untuk jalinan ukhuwah serta
komunikasi yang terpimpin dan terjaga, secara persaudaraan dan kekeluargaan
serta persahabatan.
Di dalam merabith itu yang diamalkan adalah dzikir khafi. Perbandingan antara dzikir dzahar dengan dzikir khafi adalah 1 : 70. Sesuai
dengan hadist Nabi : Dari Aisyah r.a.
Rasulullah SAW bersabda : “Dzikir
yang tidak didengar oleh malaikat Hapazah (khafi) itu pahalanya lebih banyak
dari pada dzikir yang didengar oleh malaikat hapaszhah ( jahar ) dengan lipat
tujuh puluh kali”. Dalam ber-dzikir
atau mengingat Allah, menyebut-nyebut
Allah, diutamakan dengan dzikir yang tidak didengar oleh para
malaikat. Disamping itu dalam melaksanakan dzikir
khafi ini diutamakan berjamaah,
sesuai dengan hadist Nabi : “Telah
duduk suatu kaum dengan mengingat Allah SWT, maka melingkungi akan mereka
malaikat-malaikat dan meliputi akan mereka rahmat dan Tuhan mengingat mereka
pada sisiNya:”. (HR. Imam Muslim).
Amalan ini hanya bisa dilaksanakan didalam I'tikaf
atau khalwat atau tahnuts atau suluk di suatu halqah atau
surau tempat sesuai dengan hadist Nabi: ”Apabila kamu melalui taman-taman
surga, maka ikutlah atau masuklah kamu kepadanya. Bertanya salah satu sahabat : Apakah taman-taman surga itu ( ya
Rasulullah? ) Sabda Rasul : Yaitu
halqah-halqah dzikir. (HR. Ahmad
dan Tarmizi).
Jadi dalam hal
ini Rasulullah SAW bukan belajar ruhani
tetapi pelajaran utama adalah merabit,
menyatukan ruhani atau mengingat Allah
SAW. Sesungguhnya para Nabi dan Ulama pewaris ilmu Rasulullah atau Wali
tidaklah mati tetapi tetap hidup abadi disisi Allah SWT dan terus membimbing ummatNya. Para Wali atau kekasih Allah SWT
itu mempunyai 5 macam nama yaitu: 1.Wali
Qutub, 2. Wali Ghaust, 3. Wali Akhyar, 4.
Wali Al-Futoh, dan 5. Wali Afdhal.
Apabila
seseorang telah menetapkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka sebaiknya Ia
segera untuk mengikuti I’tikaf. Kitab
Mizan menyebutkan: “Tidak benar bagi seorang hamba sampai ke maqam yang tinggi melainkan dengan salah
satu dua perkara: Adakalanya dengan mabuk
ke Tuhan-an dan adakalanya dengan suluk
atas tangannya Para Syaikh Shiddiq.[4] Jika ada manusia terlihat dalam keadaan
mabuk, padahal tidak ada sesuatu yang menyebabkan memabukkan (mabuk ketuhanan)
atau seperti terlihat tersiksa (sedih), bagaikan anak-anak yang terlihat
beruban atau wanita hamil yang melahirkan anak bayi berjenggot (walau sudah tua
baru sadar bertaubat, ibarat kembali seperti
anak-anak), sebagaimana juga akan dirasakan firman-firman Allah
sebagai berikut:
1) surat Al-Muzammil ayat 17: “Maka
bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu, jika kamu tetap kafir kepada
hari yang menjadikan anak-anak beruban”.
2) surat Azzumar ayat 73: “Tidak ada siksa atas mereka,
melainkan satu teriakan saja”.
3) surat Al-Zilzalah ayat 4: “Pada
hari itu bumi menceritakan beritanya”.
4) surat An-Nur ayat 24: “Pada hari (ketika) lidah, tangan,
dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka
kerjakan”.
5) surat Yasin ayat 65: “Dan berkatalah kepada kami tangan
mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka
usahakan”.
6) surat Al-Infithar ayat 10, 11 dan 12: ”Padahal
sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu).
Yang mulia (disisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaan itu). Mereka
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
7) surat Al-Jaatsiyah ayat 29: ‘Inilah
kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar”.
Dikatakan
dalam hadits: “Setiap hari ada pemanggil; Aku
adalah hari yang baru, dan apa yang kamu kerjakan (lakukan) aku
menyaksikan(nya)”. Diceritakan dari Abu Dzrain ra. Sesungguhnya ia
berkata: Rasulullah SAW pernah
bersabda: “Tidak ada dari seorang mukmin kecuali baginya mempunyai (catatan) buku
baru, tatkala buku itu digulung dimana didalamnya tidak ada (bacaan) istighfar,
maka buku itu menjadi gelap. Dan tatkala buku itu digulung dimana didalamnya
terdapat (bacaan) istighfar, maka buku itu mempunyai nur
yang bercahaya”. Kitab lainnya
ada yang menyebut: “Berbohonglah orang yang mengaku cinta kepada-Ku apabila
malam telah larut dia tidur jauh dari pada-Ku. Apakah setiap orang yang
bercinta tidak suka bersunyi-sunyi dengan kekasihnya ?”.[5]
Juga terdapat dalam kitab lain yang bunyinya kurang lebih sama (Firman Allah dalam sebuah kitab yang diturunkan
kepada Rasul terdahulu).[6]
Dalam
menempuh perjalanan sufi ini diperlukan kesabaran-kesabaran dalam menghadapi
ujian bala’, Nabi SAW bersabda: ”Sesungguhnya besarnya pahala itu
tergantung pada besarnya ujian bala’ dan sesungguhnya siapa yang ridha (sabar)
maka akan mendapatkan keridhaannya Allah, dan barangsiapa yang murka (tidak
sabar) maka patutlah mendapat murka Allah”[7]
Peramalan
dzikrullah diintensifkan, dinafikan, secara terus menerus selama
waktu yang ditentukan dalam i’tikaf.
Dalam Al-Qur’an surat Al-A’raaf ayat 205 yang artinya: ”Sebutlah
(nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan rasa rendah diri dan rasa takut dengan tiada
bersuara, pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.
Dzikrullah adalah sentral amaliah
jiwa hamba Allah yang beriman,
merupakan keseluruhan dari getaran hidup yang digerakkan oleh qalbu dalam totalitas ilahiah. Totalitas inilah yang dapat
mempengaruhi setiap aktivitas, gerak-laku, semangat, tutur kata, kedudukan
hamba, kontemplasi dan istirah dalam tidurnya. Al-Qur’an mengungkap lebih dari 200 ayat yang menyebut kata yang
berakar dari dzikir, yang semuanya
bermuara pada proses dzikrullah itu
sendiri. Dzikrullah adalah gambaran
berkait dengan usaha peningkatan kualitas iman, disamping untuk menyongsong
manfaat yang dijanjikan Allah SWT dan
dapat mengembalikan kesadaran akan eksistensi sebagai seorang hamba. Dengan
ber-dzikrullah muncul efek ketenangan
jiwa, pencerahan ilmu pengetahuan dan efek psikologis yang positif serta
melahirkan harapan-harapan akan anugrah (karunia) Allah, dapat pula mengubah etika dan akhlaq kearah yang lebih baik serta tindakan preventif terhadap
kemungkaran-kemungkaran. Pentingnya dzikir
dalam hadits dikatakan bahwa Malaikat
Jibril a.s berkata kepada Rasulullah SAW: Sesungguhnya Allah SWT berfirman: “Aku berikan kepada ummatmu sesuatu yang
tidak pernah Ku-berikan kepada ummat yang lain”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya:”Apa
itu wahai Jibril ? “ Jibril
menjawab: ”Firman Allah, ingatlah (dzikir) kepada-Ku, Aku pun ingat (dzikir)
kepadamu, Allah yang Esa tidak pernah berfirman kecuali kepada ummat ini”.
Wahana dzikrullah berada dalam posisi
yang penting, namun memiliki pengalaman yang bersifat individual, dimana
perolehan perorangan yang satu dengan lainnya berbeda-beda, sesuai dengan kadar
serta tingkat maqam spiritualnya.
Dalam ber-munajat pada proses dzikirullah dan untuk mengagungkan
namaNya diperlukan bimbingan ruhani dari seorang Wali yang Mursyid (QS. Al-Kafi : 17) yang telah mencapai Kamil
Mukamil (sempurna dan dapat menyempurnakan yang lain). Para sahabat (khulafaur Rosyidin) sebelum berdzikir selalu ber-tawassul (ber-wasilah) kepada Rasulullah
SAW, demikian pula para Wali, Ulama, Guru spiritual (Mursyid) dan Sufi serta orang beriman lainnya. Tawassul dengan para Nabi dibolehkan dengan ijma^
(kesepakatan) ulama. Tawassul
ialah memohon kepada Allah akan
kedatangan suatu manfaat (kebaikan) atau penghindaran pada suatu mudarat (keburukan) dengan menyebut nama
seseorang Nabi atau Wali untuk memuliakan mereka disertai dengan iktikad bahwa
hakikatnya hanya Allah sajalah yang
mendatangkan mudarat dan manfaat. Allah ta^ala berfirman yang
maknanya: “Kamu carilah perkara-perkara
yang boleh mendekatkan diri kamu dengan Allah”. (QS. al-Ma'idah: 35). Dalam
satu hadits ada satu peristiwa yang
disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengajar seorang buta bertawassul dengan Baginda. Setelah orang
buta itu bertawassul bukan di hadapan
Rasulullah SAW, maka Allah SWT
mengembalikan penglihatannya seperti semula. Hadits yang menceritakan peristiwa ini diriwayatkan oleh al-Tabrani dan hukum hadits tersebut kata beliau sebagai sahih.
Bagaimana dengan tawassul kepada Wali Allah ? Tidak ada seorang pun di
kalangan orang-orang yang berada di jalan kebenaran (Ahlu`l-Haqq)
melingkupi generasi salaf dan generasi khalaf yang berlainan
pendapat bahwa tawassul dengan para Wali
itu memang dibolehkan. Dalam hadits
disebutkan bahwa Sayyidina Umar bertawassul
dengan al-^Abbas (bapak saudara Nabi) dengan berkata yang
artinya: “Ya Allah kami bertawassul kepada-Mu dengan bapa saudara Nabi kami
(supaya Engkau menurunkan air hujan)”.(Diriwayatkan oleh al-Bukhari). Tawasul
memiliki fungsi kemuliaan yang menghantarkan wushul (sampainya) hamba
kepada tujuan yaitu Allah SWT,
menjadikan hamba dengan kemuliaan dan kesalehan serta kecintaannya, juga
menjadikan sebuah pengakuan atau kesaksian bahwa dapat merasakan akan
kedekatannya (beserta) dengan Allah
yang sulit untuk digambarkan. Proses ruhani ini bukanlah berdasar pada kekuatan
intektual belaka, lebih dari itu memerlukan kekuatan hati yang dieksplorasi
lewat latihan (training) yang
dijalankan pengamal tarekat-sufi.
Karena itu Allah secara tegas memberi
peringatan agar tidak lupa dzikir, QS. Al-Maidah: 91: ”Sesungguhnya setan itu
menghendaki agar kamu terjerumus dalam permusuhan dan dendam, minuman keras dan
perjudian, dan menjauhkan dari dzikrullah”. Juga QS. Al-Munafikun: 9: ”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
harta-harta, anak-anakmu, membuat alpa dari dzikrullah”.
Berdzikir merupakan tradisi tarekat-tasawuf, tanpa Mursyid,
dunia batin mudah tergelincir oleh tipu daya setan yang sangat halus, lembut,
licik, tajam dan menyakitkan serta berbahaya. Jadi Mursyid ini merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan
menuju puncak spiritual (makrifatullah). Mereka yang menolak kemursyidan ini, sesungguhnya tak memahami tarekat dengan dzikir
yang penuh rahasia Allah, bahkan ada
yang mengklaim bisa ditempuh tanpa bimbingan ruhani. Dengan caranya sendiri,
tentu hasilnya meragukan dan bisa tertipu seperti fatamorgana di padang pasir yang luas dan tandus atau hanya peroleh
perkiraan-perkiraan belaka. Pandangan yang demikian itu hanya layak secara
teoritis-verbal, namun dalam praktek hampir dipastikan meraih kegagalan
spiritual. Ibarat sebuah perjalanan jauh menuju tempat yang kita idam-idamkan,
tempat itu terasa asing dan menarik perhatian, maka bila belum pernah kesana
perlu pembimbing (guide) yang paham
dan ahli serta bertanggungjawab,
sehingga kecil kemungkinannya untuk membuat bingung dan tersesat serta hasilnya
pun terukur, lebih jelas dan konkrit. Bahkan dengan menurut saja (patuh) pada
mursyid dan petugasnya sudah dapat membawa banyak manfaat, kenikmatan, menambah
ilmu dan pengetahuan serta kebahagiaan tersendiri. Fenomena ini seperti dalam
sebuah perjalanan, tentu yang pertama kali harus diyakinkan dahulu ialah ‘siapa’
supirnya, punya SIM apa tidak, cekatan dan berpengalamankah ? terutama dalam
hal pengendalian kendaraan yang akan membawa penumpangnya sampai tujuan. Lalu
jalan ‘manakah’ yang akan dilalui (darat, laut, udara), dan apa pula jenis
(merek dan kehandalan) kendaraannya yang akan dipakai pun ada berupa kendaraan
yang super cepat, cepat saja, sedang atau lambat. Kemudian hasil dari sebuah
pengalaman, setiap penumpang yang mengikuti perjalanan itu pun akan punya
cerita berbeda-beda, tidak sama satu dengan lainnya, dan itu tergantung
daripada letak duduknya (maqamnya)
yakni ada yang berkelas Vip, ekskutif,
ekonomi atau kelas I, 2, 3 dst... Misalnya perjalanan itu menggunakan bus
di pulau Jawa jalur pantura yaitu dari Banyuwangi menuju Jakarta, apabila ada
penumpangnya kebagian tempat duduk sebelah kiri kemungkinan Ia cerita tentang
gunung, lembah dan ngarai. Dan bila duduk di sebelah kanan mungkin akan cerita
pantai, laut, kapal dan perahu nelayan. Bagi yang duduk di depan tentu akan
cerita lalu lintas yang ramai, hilir mudiknya berbagai kendaraan. Yang duduk
ditengah-tengah hanya dapat melihat teman-teman penumpang lainnya di samping,
depan dan belakangnya, bisa cerita tentang kebaikannya, kecantikannya dan
bahkan sifat-sifat lainnya yang diperlihatkan temannya. Sedangkan bagi yang
duduk dibelakang akan melihat punggung dan rambut atau tingkah laku dari
penumpang lain yang ada didepannya. Bagi yang mabuk perjalanan dan sakit akan
cerita disekitar apa yang dirasakannya. Demikian pula yang tertidur, Ia akan
cerita bahwa perjalanan itu singkat saja atau seperti mimpi. Nah itulah sebagai
gambaran atau illustrasi dari sebuah fenomena perjalanan, dan yang terpenting
disini, walaupun ceritanya berbeda dari orang satu dengan yang lain, semua
penumpang pada akhirnya sampai juga ditujuannya. Apalagi jalan dimaksud itu
sebagai bentuk suatu perjalanan keruhanian, yang sama sekali awam dan sulit
untuk diceritakan, hanya tangan dan kaki, pancaran sinar raut wajah dan air
mata yang berbicara, ada yang tak berdaya dan taubat, rasa syukur dan rasa
cinta kepada Allah SWT atas
karuniaNya yang telah memberi kenikmatan ber-iman, ber-Islam, dan ber-ikhsan.
Bisa
saja berdzikir dilakukan sendiri
(tanpa mursyid), tetapi akibat
buruknya dari sebuah perjalanan ruhani ditanggung sendiri. Bahkan Abu Hamid
al-Ghazali (Hujjatul Islam) itu,
akhirnya menyerah pada pengembaraan spiritualnya sendiri, dan mengakui bahwa
dalam proses menuju Allah tetap
membutuhkan seorang Mursyid sebagai
pembimbing. Mursyid disini sebagai
metode dzikir, bahkan dalam tarekat mengandalkan pengetahuan yang
sebenarnya diperoleh dari ajaran Al-Qur’an
dan sunnah. Banyak ulama besar memberikan kesaksian bahwa
kehebatan ilmu agamanya tak mampu menempuh jalan tarekat-sufi ini, kecuali
atas bimbingan ruhani Mursyid. Seluas
apapun ilmu agamanya, tetap sebagai “dunia ilmu” yang lahir dari amaliyah lahir dan rasional saja, hanya
sampai pada tingkat ilmu yaqin dan ain’ul yaqin, belum sampai pada yang haqq al-yaqin. Seringkali ada yang
beranggapan telah sampai pada kehadiratNya (Allah),
jikalau sudah demikian tentu tidaklah mampu membedakan mana bisikan lembut (kawathif) yang datang dari sisi Allah, Malaikat, atau bisikan yang datang dari setan atau iblis atau Jin
sebagai jabakan dan tipu daya dalam jalan sufi
ini. Maka ada pernyataan kalam sufi
yang cukup terkenal: ”Barang siapa
menempuh jalan Allah tanpa disertai
seorang guru Mursyid, maka gurunya
adalah setan”.
Keutamaan dzikir
dalam hadits riwayat At-Turmudzi : Dari Anas ra., dari Rasulullah SAW yang bersabda: “Allah
SWT berfirman, ‘Keluarkan dari neraka orang yang pernah berdzikir kepadaku.
Pada suatu hari dan orang yang takut pada kedudukanku”. Juga dari Abu
Hurairah ra., dari Nabi Muhammad SAW
yang bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT berfirman, “Hai anak Adam, curahkan hidupmu
untuk ibadah kepadaKu, penuhi dadamu berdzikir kepada kepadaKU dan luruskan
pilihanmu, dan jika kamu tidak mengerjakan maka penuhi tanganmu dengan
kesulitan dan Aku tidak meluruskan pilihanmu” (HR At Turmidzi). Berikut ini hadits-hadits tentang Dzikir:
” Laillaha illallah”, Nabi
Muhammad SAW bersabda:
·
“Barangsiapa
setiap harinya mengucapkan “Lailla ha
illallah Muhammadur Rasullullah” : Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah sebanyak seratus kali bilangan, maka Allah memberikan cahaya pada wajah
orang yang membaca kelak di hari qiyamat sebagai cahaya bulan purnama”.
·
Abud-Dardaa r.a berkata: Nabi SAW bersabda:”Tiada seorang yang : La illaha illallah
seratus kali, melainkan akan dibangkitkan oleh Allah pada hari qiyamat dengan
wajah yang bagaikan bulan purnama, dan tiada seorang yang berbuat amal
lebih afdhal dari padanya pada hari itu kecuali yang membaca seperti itu atau
melebihi dari itu” (HR. Atthabarani)
·
Sebaik dzikir yaitu kalimat “Laillaha illallah” dan seutama do’a yaitu
kalimat “Alhamdullillah” (segala puji bagi Allah)
Jabir
r.a. berkata: Nabi SAW bersabda: ”Dzikir
yang utama ialah La ilaha illallah, dan do’a yang utama ialah: Alhamdu lillah”
(HR. Attirmidzi, Annasa’i)
·
Abuhurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: ”Perbaharuilah iman kepercayaanmu.
Ditanya: Bagaimana memperbarui iman ya Rasulullah ? Jawab Nabi SAW: “Perbanyaklah membaca : “La ilaha illallah” (HR.
Ahmad, Alhakim)
·
Usman bin Malik r.a Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan api
neraka terhadap orang yang telah berkata: La ilaha illallah benar-benar mengharap keridho’an Allah
(dengan ikhlas)” ( HR. Bukhari Muslim)
·
Um Hani’ r.a berkata: Nabi SAW bersabda: “Kalimat La ilaha illallah itu
tidak dapat dikejar oleh lain amal, dan tidak meninggalkan dosa (Ya’ni tidak ada amal yang lebih besar dari
padanya, dan semua dosa dapat dihapus sehingga tidak ada sisanya)”(HR. Ibn Majah)
·
Ali r.a berkata: Nabi SAW bersabda:”Jibril a.s
berkata: Allah ta’ala berfirman: La
ilaha illallah itu sebagai bentengku,
maka siapa yang masuk kedalamnya aman dari siksaKU” (HR. Ibn Asakir)
·
Allah SWT telah berfirman (hadist Qudsi) kalimah : “Laillaha
illallah sebagai kalamku, dan orang
yang mengucapkan termasuk dalam penjagaanku dan siapa yang masuk dalam
penjagaanku maka selamat dari siksaku “ (Rr. Syarodzi)
·
Abu Said Alkhudri r.a: Nabi SAW bersabda: Nabi Musa a.s. berdo’a: “ Ya Rabbi ajarkan padaku sesuatu untuk berdzikir padamu. Jawab Allah: Bacalah: La ilaha illallah. Musa berkata: Ya Rabbi semua orang membaca itu, dan aku
ingin yang istimewa untukku. Jawab Allah:
Hai Musa andaikata tujuh petala langit
dan penghuninya dan tujuh petala bumi
diletakkan disebelah timbangan La ilaha illallah, niscaya akan lebih berat
kalimat: La ilaha illallah melebihi dari semua itu. (HR.
Annasa’i)
·
Abubakar r.a berkata: “Lazimkan selalu kalimat: La ilaha
illallah dan istighfar, perbanyaknya
membaca keduanya, sebab iblis berkata: Aku telah membinasakan manusia dengan
dosa, dan mereka membinasakan aku dengan membaca La ilaha illallah dan
istighfar, ketika demikian maka aku binasakan mereka dengan hawa nafsu, maka
mereka mengira bahwa dirinya telah mendapat hidayat (dan benar)” .(HR. Abu Ya’la)[8]
·
Abuhurairah r.a berkata: “Ketika Malakul-maut menghadiri seorang yang
mati, maka ia menyelidiki semua anggautanya, dan tidak menemukan amal kebaikan,
kemudian membelah hatinya juga tidak menemukan amal kebaikan, kemudian dibuka mulutnya, tiba-tiba
menemukan lidah lekat pada bagian atas mulut membaca: La ilaha illallah, maka
diampunkan baginya karena ada kalimat ikhlas itu” (HR. Ibn Abi Dunia dan Albaihaqi).
·
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Supaya
kamu memberi zakat pada badan dengan mengucapkan : Laillaha illallah (tiada
tuhan selain Allah). Tidak ada hambaku yang telah mengucapkan kalimah tauhid :
(tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad utusan Allah), kecuali Allah
telah mengatakan, benar apa yang diucapkan oleh hambaku, sesungguhnya aku telah
dan tidak ada Tuhan selain aku dan saksikan wahai malaikat, sesungguhnya aku
telah mengampuni dosa hambaku yang telah lalu dan yang kemudian”.
·
“Barang
siapa mengucapkan “Laillaha illallah”
dengan hati yang suci dan ikhlas
maka akan masuk surga”.
Dzikir Khafi (dalam hati) :
Khairu dzikri al-khafiyyu wa khairu rizki ma
yakfi. “Sebaik-baiknya dzikir adalah yang khafi
(tersembunyi) dan sebaik-baiknya rizki adalah yang cukup”
‘An Aisyata radiyallahu ‘anha qolat, qola rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallama: Adzikrulladzi
la tasma’uhul hafazhah yadzidu ‘ala dzikri ladzi tasma’uhul hafazhah bi sab’ina
di’fain. “Dari Aisyah RA ia berkata, Rasulullah
SAW bersabda: Dzikir yang tidak didengar oleh malaikat Hafazhah (khafi) lebih utama
dari pada dzikir yang didengar oleh malaikat Hafazhah (Jahar) dengan tujuh
puluh kali lipat” (HR. Baihaqi).
Jika
berdzikir hendaklah menghitung dengan jari-jemari tangan, sabda Rasul: “Hendaklah engkau membaca tasbih,
tahlil, dan taqdis. Janganlah kamu melalaikannya. Jika kamu lalai, maka
lalailah Tuhan memberi rahmat kepadamu. Dan hitung bacaanmu itu dengan
anak-anak jari, karena anak-anak jari itu akan mempertanggung-jawabkan
perbuatannya” (HR. Ahmad dan Abu
Dawud). Jika menghitungnya pakai tasbih,
maka memutar tasbihnya sebaiknya
dengan tangan kanan. Ibnu Umar r.a. mengungkapkan, “Saya melihat Rasulullah
menyimpulkan tasbihnya dengan tangan kanan”.
[1] Wasil Abu Ali, Redaktur khusus Mimbar
Islam Bali Post, 2006
[2] Kitab: Matnul Bukhari, Hadits 3, Jilid 1
[3] Kitab: Mizan
al Kubra hal.21 lis Sayyidi
Abdilwahhab Asy Sya’rani
[4] Kitab: Mizan al
Kubra, hal: 21
[5] Kitab Al Mu’awanah wal muszhaharah wal muazarah, hal.8
[6] Kitab: Al Mu’awanah
wal Muzhaharah wal Muasarah hal. 8 lis
Sayyid Asy Syarif Abdillah bin
Alawi bin Muhammad al Haddad al Husaini
[7] Khalili Al-Bamar, dkk.
Ajaran Tarekat, CV. Bintang Remaja Surabaya, 1990, hal. 151
[8] Petunjuk Ke Jalan Lurus,
Darussaggaf, Surabaya, 1977, hal. 13
I ’ t i k a f atau Suluk (khalwat) : Sekelompok jema’ah ummat Islam berdiam diri di Masjid atau Surau yg ditentukan oleh Guru Mursyid melaksanakan peribadatan syariat Islam dan peramalan dzikrullah, bersifat jasmani dan ruhani selama 10 hingga 40 hari. Firman Allah SWT dlm Q.S. Al A’raaf : 142 “Wa waa’adnaa muusaa tsalaatsiina lailataw wa atmamnaahaa bi ‘asyrin fa tamma miiqaatu rabbihii arba’iina lailataw “ artinya: “Dan telah kami janjikan kepada Musa memberi Taurat setelah Riazhah / Suluk ) tiga puluh malam dan kami sempurnakan sepuluh (malam lagi). Maka sempurnalah waktu yg telah ditentukan Tuhannya (Musa) empat puluh malam”. Dlm Q.S. Al Baqarah : 125 berbunyi “Wa ‘ahidnaa ilaa ibraahiima wa ismaa’iila an thahhiraa baitiya lith thaa-ifiina wal ‘aakifiina war rukka’is sujuud” artinya: “Dan kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumahku untuk orang-orang yg thowaf, yg i’tikaf dan yg ruku’ sujud (sholat)”. Hadits masalah halwat ini yakni “Nabi Muhammad SAW diberi kesukaan menjalankan khalwat (bersunyi-sunyi) di gua Hira’, lalu bertahanus di dalamnya, yaitu beribadat beberapa malam yg tidak sebentar” (HR. Bukhari). Ditempat yg telah ditentukan mereka-mereka yg i’tikaf berusaha dan melatih diri (Riadhah), berjuang (Mujahadah), melepaskan diri dari hawa nafsu dan kebendaan yg merupakan hijab antara diri dengan Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar