MUSLIM HARUS BER-ILMU
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni. blogspot.goesmul.com.islam
goesmul@gmail.com
Ilmu yang berkembang di alam ini semuanya adalah milik Allah, manusia awalnya tidak memiliki
apa-apa. Mereka lahir dalam keadaan kosong (tidak mengetahui sama sekali) dan
untuk membantu manusia Allah
menganugrahi panca-indra seperti kuping untuk pendengaran, mata untuk penglihatan,
tangan dan kaki untuk beraktivitas seperti memegang dan berjalan / bergerak,
mulut untuk makan-minum dan merasakan nikmatnya hidangan serta berucap, hidung
untuk mencium bau-bauan, hati - nurani untuk merasakan atau berperasaan, otak
untuk berpikir, dan sebagainya. Fitrah manusia tersebut adalah potensi asasi
tertentu yang ada pada diri manusia sejak lahir. Firman Allah ta'ala: "Laqod
khalaqnal Insana fi ahsani taqwim”, artinya “Sungguh Kami telah ciptakan
manusia dalam sebaik-baiknya acuan”. Bentuk yang terbaik atau yang
hakiki (QS.Ath-Thin: 4). Dan Allah azza wajalla telah membuat agreement
(perjanjian) kepada seluruh arwah (ruh) di alam Azalie atau alam Lahut
(nuansa ilahi) di negeri asal (QS. 7:172
& 76:1). Suatu perjanjian Allah ta'ala dengan semua arwah manusia
untuk mengenal Allah saja, Robb sebagai Pencipta, Pemilik,
Pengatur, Pemelihara semesta alam, termasuk pendidik manusia. Maka esensi atau
hakikat insan adalah Ruh-Qudsie yang
memiliki sifat suci atau asli dan fitri yang hanya mengenal Allah. Dan tersimpan serta terpatri di
dalam lubuk hati (qalbu) dengan
seluruh sifat dan asma Allah. Ruh
sebenarnya telah menyaksikan atau musyhadah
ke seluruh sifat Ilahi yang Maha
Perkasa, Maha Kuasa, Maha Segalanya sehingga membentuk rasa takut atau khasyyah “…takutlah kepada-Ku dan agar
Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk” (Q.S. Al-Baqarah (2) :150). Lalu Allah Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang
dan Pengasih, Maha Pengampun sehingga membuat
adanya rasa harap (raja). Juga
Allah Yang Maha Indah dan Maha Mulia
sehingga melahirkan rasa senang dan bahagia (surur), senang keindahan dan kemuliaan. Allah Yang Maha Shamad,
Maha Tinggi dan Maha Besar serta Maha Benar sehingga menciptakan rasa
keberagamaan dan spirit kebenaran yang toleran (al-hanafiyyah As-samhah). Sungguh benar Sabda Rasul SAW, "Setiap bayi yang terlahir dalan keadaan
fitrah atau suci, memiliki watak hanief atau memiliki kecenderungan kepada
kebenaran, Maka kedua orangtuanya atau lingkungannya (syaitan dan hawa nafsu)
yang membentuk dan mempola jiwa manusia ke arah penyimpangan prilaku dan
pendangkalan intelektual.”
Ada pun fitrah
manusia antara lain:
1. Fitrah Tauhid yang merupakan
potensi dasar yang hanya mengenal keesaan Allah
azza wajalla (monotheisme).
2. Fitrah Hanief yang merupakan
potensi dasar yang hanya mengenal kebenaran dan jiwa yang lurus. Dalam QS.Ar-Rum.30: "Maka hadapkanlah dirimu (Nabi
Muhammad & umatnya) dengan lurus dan mantap kepada agama (sistem hidup),
Menurut fitrah Allah (ciptaan Allah) yang menciptakan fitrah itu pada manusia
(keserasian syariat Islam dengan fitrah insani). Tiada dapat diubah
(hukum-hukum) ciptaan AlIah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”
3. Fitrah Mempertahankan Hidup dengan sandang, pangan, dan papan (QS. Al Baqarah : 168 atau QS. An Nahl : 19). Dalam memenuhi fitrah yang ketiga ini, hendaknya
manusia melakukan pemenuhan kebutuhan dengan berbagai jenis makanan yang baik (thoyyib) dan halal sehingga membentuk tubuh yang kuat, sehat dan akal yang
cerdas. Memelihara, memanfaatkan dan mengembangkan hasil alam atau Bumi sesuai
dengan aturan main Allah SWT tanpa merusak ekosistem alam. "Jangan
merusak dimuka Bumi, sesudah Allah memperbaikinya, tapi berdo'alah kepada-Nya,
karena ketakutan dan kerinduan. Sesungguhnya rahmat Allah dekat kepada orang
yang berbuat kebaikan." (QS.AI-A'raf
56) Dan jangan memanfaatkan hasil bumi secara berlebihan atau israf. “Makan dan minumlah hendaknya
jangan berlebih-Iebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih
lebihan” (QS. 7 : 31 dan QS.
6 : 141). Disamping itu hiduplah
dengan pencarian nafkah, yaitu pekerjaan dan bermacam usaha yang diperoleh
dengan cara yang halal dan thoyyib
menurut Allah SWT, sehingga dapat
membentuk jiwa yang lurus, qolbu yang
tenang, dan akhlak- perilaku yang mulia.
4. Fitrah Berkeluarga. Dengan melangsungkan hidup sebagai
suami-istri, karena Allah SWT
menciptakan manusia berpasangan. (QS.16: 72). Dan menganjurkannya untuk
menikah sesuai dengan fitrah insani
bukan seperti hewan. (QS. An Nur :
32-33). Agar tercipta kehidupan dalam ketenangan dan kedamaian (sakinah), maka rumah tangga dibentuk
dengan rasa cinta dan kasih sayang, mawaddah-rahmah (QS. Ar Rum 21).
5. Fitrah Membela Hidup dengan memersiapkan segala macam kekuatan
untuk memertahankan eksistensi hidup (QS
Al Anfal 60). Al Islam hanya
membolehkan defensif, tidak boleh
atau membolehkan memulai sesuatu hal yang bersifat agresor (QS. Al Baqarah
194). Pembelaan hidup menurut Islam berlaku atas lima perkara yang utama:
Membela agama, jiwa, akal, nama baik (harga diri / kehormatan), keturunan, dan
harta-benda. Apabila mati karena membela atau berjuang dan mempertahankan
hidup, maka Islam memandang itu mati terbaik (syahid).
6. Fitrah Intelek atau Berakal.
Innad Dina huwal Aqlu. Intelek Islam
adalah ‘Agama dan akal’. Al Qur’an
mendorong manusia untuk berpikir, merenung, meneliti, dan sebagainya. Afala ta'qilun - afala tatafakkarun - afala
tanjhurun. Sehingga sampai kepada khulashah
atau kesimpulan: "Bahwa segala sesuatu ini ada Penciptanya
yaitu Allah SWT. dan diciptakan dengan maksud serta tujuan tertentu bukan
percuma. Robbana ma khalaqta
hadza bathil "a" (QS. Ali
Imran: 190-191). Pada orang yang akalnya belum berkembang adalah seperti
sifat dari anak-anak. Lalu orang yang akalnya tidak berfungsi maka ia adalah orang
yang sedang tidur. Bagi orang yang akalnya sudah rusak adalah orang gila atau
orang yang kejiwaannya terganggu, sehingga ia tidak dibebani hukum agama. (Hadits, Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah).
7. Fitrah Nilai Spiritual. Fitrah
asli dan perasaan yang semurni - murninya dalam jiwa manusia adalah pencarian
dan kerinduan kepada dekapan Allah Maha
Kuasa dan Maha Ghaib yaitu Al-Qadir-Al-Bathin.
Memadukan dan menselaraskan serta mengaplikasikan potensi - potensi nikmat
tersebut dengan selalu berdzikir,
maka akan merasa selalu diawasi oleh Allah
(muraqabah). Selain eksis dengan
mengingat-Nya dan menyebut-Nya, mengikrarkan keesaan-Nya (La ilaha illallah), sehingga qolbu
menjadi tunduk dan bersih, kelak akan menumbuhkan iman yang dapat merundukkan
jiwa-raga ke hadirat Allah dengan khusyuk dan tawakal, rasa haru, tangis dan bahagia. Diri selalu terikat dan
tertuju untuk mengenal dan mendekat kepada Allah
azza wajalla (marifat). Hanya
bergerak sebagai abdi-Nya untuk dapat mendekat, membuka jalan terang benderang
di bawah cahaya Ilahi, ilmu yang
indah dan tinggi tersebut menyentuh qolbu
dan membakar nafsu setan untuk mereguk kenikmatan dalam mahabbah-Nya, sehingga membuat ketenangan yang mutmainnah, dan seakan
tenggelam menghilang menuju ridha
di sisi-Nya. Ilahi Anta maqshudi
waridhaka math lubi, A'thini
MahabbataKa wa Ma'rifataKa (Ya Allah
hanya Engkau yang kami tuju dan keridhaan-Mu
yang kami cari, Berilah kami potensi untuk dapat Mencintai-Mu dan terang Marifat-Mu). Kemudian selalu berpikir,
merenung serta tafakur, dan mengobsesrvasi ciptaan Allah dari alam mikro cosmos sampai alam makro cosmos. Dengan
berharap memeroleh ilmu yang akan dapat mengantarkan jati diri manusia pada
tingkat martabat mulia menjadi manusia mukmin sejati, berilmu shahih yang berfikir ilmiah dan beramal sholeh untuk meraih sukses mengarungi
bahtera kehidupan. Keseimbangan konstruktif berfungsi sebagai daya tarik samawi (mental-spiritual) dan daya
dorong ardhi (fisik-material).
Ketimpangan dzikir dan pikir akan
melahirkan instabilitas dalam kehidupan (QS.An-Nahl
97). Qolbu yang hanya tunduk kepada Allah SWT yang maha mengetahui segala
yang ghaib serta misteri dalam kehidupan, akal sehat tertuju kepada Allah SWT yang maha mengetahui segala
yang nyata (Asy-Syahadah) tampak
dalam kehidupan. Tubuh yang kuat dalam melaksanakan seluruh perintah Allah yang maha Asy-Syakur atau bersyukur. Sebagai realisasi dari hablum-minannas dan hablum-minnallah sehingga Allah
selalu mengingat dan membalas kebaikan menjadikan hamba yang pandai bersyukur. (QS. Ibrahim: 7)
8. Fitrah Sosial. Al Qur’an menyatakan manusia adalah
ummat yang satu. (QS. Al-Baqarah
213), dan dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal
atau At-Taaruf. (QS.49:13). Dengan
keimanan, manusia dilarang saling memperolok satu dengan yang lain, karena
kemuliaan itu sesungguhnya hanya di sisi Allah
SWT. Dalam beramal sholeh bagi
orang bertaqwa, harus dilandasi dzikir dan ilmu pikir ilmiah-amaliah
serta saling tolong-menolong dalam kebaikan, bukan membantu dalam berbuat dosa
dan permusuhan (QS. Al-Maidah: 2).
9. Fitrah Susila (Akhlak). Akhlak menunjukkan sejumlah sifat tabiat
yang fitri (asli) pada manusia dan
sejumlah sifat yang diusahakan hingga seolah-olah menjadi fitrah. Dua bentuk akhlak yaitu ada yang bersifat basyariyyah (kejiwaan) dan bersifat jhohiriyyah yang terwujud dalam
perilaku. Ada pun menurut Islam, ada sejumlah prinsip (mabda) dan nilai yang mengatur perilaku seorang manusia yang
dibatasi oleh wahyu untuk mengatur kehidupan manusia dan menetapkan pedoman
baginya. Menurut hadits "Bagi
tiap-tiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu atau al-haya".
Demi merealisasikan tujuan dan kebenarannya di muka Bumi, dengan beribadah
kepada Allah SWT untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
10.
Fitrah Seni. Al Qur,an menganjurkan agar berlomba -
lomba dalam hal kebaikan (QS. Al-Baqarah
148). Allah mengutus para Nabi dengan
kebajikan dan ada ungkapan "Allah itu indah, Dia menyukai keindahan"
(Al-Hadits). Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk memakai perhiasan yang indah
setiap kali ke masjid. (QS. Al-A'raf
131), dan Ia juga menganjurkan kepada hamba-Nya untuk selalu membaca kalam-Nya
dengan suara bacaan yang baik dan indah. (QS.
Al-Muzammil, 4). Al Islam dan Al
Qur’an mengungkapkan fitrah
manusia selaras dengan fitrah agama
Islam sebagai agama yang mutlak kebenarannya. Untuk memahami sistem yang benar,
maka dituntut ‘keserasian yang benar’, karena hal tersebut merupakan tanda
keberagamaan yang benar pula. Adapun fitrah
kesucian merupakan himpunan dan akumulasi dari tiga anasir, yakni Benar, Baik dan Indah, sehingga
seorang hamba Allah sebagai penyembah
atau pengabdi selalu berada dalam fitrah Allah, diikuti dengan perilaku yang benar – benar baik dan
indah. Bahkan lewat kesucian jiwa akan bisa memandang segalanya dengan
pandangan yang positif dan selalu berusaha mencari sisi-sisi yang baik, benar
dan indah. Dengan mencari yang benar, maka akan menghasilkan ilmu. Untuk
pencarian yang baik, maka akan menghasilkan etika. Sedangkan untuk mencari yang
indah, maka akan menghasilkan estetika dan seni. Dengan pandangan demikian maka
ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan dan keburukan orang
lain. Kalaupun itu terlihat, maka ia
akan selalu mencari nilai-nilai positif dalam sikap negatif tersebut. Kalaupun
itu tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada yang
melakukan kesalahan.
11.
Fitrah
Harga Diri. Al Qur’an
memerintahkan agar manusia memelihara dan memertahankan harga diri serta
ketinggian martabatnya di sisi Allah SWT. Karena Dia telah menciptakan
manusia dan membuat ‘ikatan perjanjian sakral’ dalam bentuk yang terbaik,
sebaik-baiknya acuan. Ruh-Qudsie,
jiwa hanief dan agama fitri yaitu "Laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim”. Dengan kehendak atau iradah Allah yang kuasa menyempurnakan kemanusiaan dengan
pendekatan diri kepada Allah bahwa tempat kebenaran di sisi Allah Raja yang
menentukan (fi maq'adin Malikin
Muqtadir). Dan di alam Lahut menuju
tempat yang paling rendah (Asfala-safilin) yaitu ruh-jasmani di alam mulki atau Bumi (Tsumma radadnahu asfala
safilin)". Maka tertutuplah Ruh
Qudsie atau jiwa hanief dengan
dosa (rona titik hitam dalam qolbu)
dan terjadi penyimpangan perilaku di alam dunia karena dua ‘keping mata uang’
yang dominan dan inheren yaitu adanya hawa nafsu dan setan. Bila fondasi nilai
spiritual telah rapuh menyebabkan hawa nafsu tidak terkendali dan setan telah
menguasai kehidupan manusia menjadikan manusia lupa dari mengingat Allah (Dzikirullah).
Dalam konsep Islam, ilmu yang dimaksud
adalah ilmu yang bermanfaat, baik bagi kehidupan di Dunia maupun kehidupan di
Akherat kelak (lihat Bagan Pohon Ilmu Islam), bersifat fisik (jasmani) dan metafisik
(batin-ruhani), yang tersimpan dalam Al
Qur’an dan Sunnah-nya. Juga yang
terhimpun di dalam Jagat Raya atau Alam Semesta ini beserta isinya, yang
terus-menerus manusia merisetnya untuk menemukan dan mencari bukti-bukti
konkrit akan kebenarannya. Islam itu bersifat ilmiah (masuk akal) dan amaliah
(mengerjakan amal / taat akan perintah Allah
sehingga Allah sendirilah yang
mencerdikkannya dengan ilmu laduni).
Ummat
muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu, baik yang bersifat ruhani dan jasmani
maupun yang bersifat duniawi dan akherat, seperti tercantum dalam hadist Rasulullah SAW yang artinya: “Menuntut
ilmu diwajibkan bagi orang Islam
laki-laki dan orang Islam perempuan”. Hadits hasan riwayat Ahmad
dan Ibnu Majah menyebut demikian: ”Mencari
ilmu itu fardhu (wajib) atas setiap orang muslim”. Berikutnya: “Barang siapa yang menempuh satu jalan untuk
menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad). Juga yang artinya: Anas r.a
berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tuntutlah
ilmu walau di negeri China, sebab menuntut ilmu agama itu wajib atas tiap orang
muslim. Sesungguhnya Malaikat menghamparkan sayapnya pada orang yang menuntut
ilmu karena ridha (suka/senang) dengan apa yang dituntut / dicari” (HR. Ibn Abdul Barr). Berikutnya hadits yang artinya: “Barangsiapa
keluar dari rumahnya pada menuntut ilmu, maka ia pada jalan Allah (fi
sabilillah), sehingga ia kembali kerumahnya” (HR. At-Tarmidzi dari Anas). Dan yang artinya: “Barangsiapa berjalan pada jalan,
dimana ia mencari ilmu padanya niscaya dimudahkan oleh Allah baginya jalan ke
Sorga” (HR. Muslim). Hadits riwayat At-Tirmidzi menyebut: ”Keutamaan seorang Alim (ber-ilmu agama) atas
seorang ‘Abid (ahli ibadah) seperti keutamaan rembulan atas seluruh bintang.
Sesungguhnya Ulama itu pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidaklah
mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu (agama), maka
barang siapa mengambilnya (yaitu mengambil ilmu agam darinya) maka dia telah
mengambil keuntungan yang banyak”.
Seseorang yang mempelajari ilmu ketuhanan (agama Islam), memerlukan
seorang pembimbing (guru / mursyid)
yang peranannya sangat penting untuk menjadikan beriman, bertaqwa, berikhsan dan berakhlaq
mulia, maka hubungan itu harus dijaga sebaik-baiknya dengan cara menghormatinya
dan memuliakannya. Sabda Nabi SAW : “Muliakanlah orang
yang engkau belajar daripadanya” (HR.
Abu Hasan Al-Mawardi).
Dalam
kehidupan modern, sering dibedakan antara kebenaran Tuhan (Allah) dengan kebenaran manusia. Sehingga teologi kemudian harus diturunkan pada level kemanusiaan (antropomorfisme),
dimana ketuhanan itu baru berarti jika telah mampu menyelesaikan permasalahan
dan berangkat dari paradigma kemanusiaan, sehingga sekularisme menjadikan “hilangnya rasa ke-Tuhan-an, demi kemajuan
dunia”[1]. Muhammad
Bagir MA, dosen filsafat dan tasawuf
pada Islamic College for Advanced Studies
(ICAS) Jakarta, yang mengkritik paradigma seperti ini. Melalui sebuah disiplin
keilmuan yang menggabungkan antara rasionalitas filosofis dengan dimensi irfani dari tasawuf dari filsafat perenial,
ia mencoba mengklarifikasi salah paham dari akal modern, yang menciptakan
degradasi makna berpikir dari intelektual (akal-batin) kepada reason (rasio). Pemisahan antara akal
dan jiwa inilah yang membuat manusia modern, menjadi Raja-raja kecil diatas
bumi, yang sayangnya tak mampu melepaskan diri dari jerat kesengsaraan, akibat
daripada kedunguan spiritualitas, kebodohan dan arogansi egoisme. Manusia modern tengah mengalami transcendental homelessness yaitu hilangnya hubungan harmonis
antara keterkaitan jasmaniah dengan batiniyah, juga antara kepentingan dunia
dangan kepentingan akherat. Orang tidak lagi menemukan makna dan tujuan hidup,
justru kehadirannya itu ketika berbagai alat kemanusiaan yang memudahkan dan
memanjakan hidup telah banyak dikuasai. Menurut Bagir bahwa tasawuf bisa menjelaskan dan dapat
menyelesaikan masalah tujuan hidup di dunia dan akherat serta berbagai masalah
kemanusiaan itu sendiri yaitu ketika berada di jalan Tuhan. Makna dari antropomorfisme,
yakni Tuhan turun dalam form manusia.
Ketika Tuhan turun dalam form manusia, sepertinya Tuhan merasakan kesengsaraan
manusia, dan menunjukkan bahwa Tuhan dalam form
manusia bisa menyelamatkan dari kesengsaraan itu sendiri. Teo-morfisme dalam Islam bukan seperti antropomorfisme. Tuhan tidak “mendaging” dalam manusia, tetapi
manusia bisa memasuki alam jabarud, lalu
alam Malakut dan alam Robbani (melangit). Jadi teo-morfisme merupakan proses taholli-tahalli-tajalli, dari
pembersihan (pengosongan) diri, lalu
pengisian diri, hingga pada akhirnya merasakan alam ketuhanan.
Perbedaannya dapat dirasakan ada, yang penting mengikuti jalan-Nya dengan
petunjuk dan bimbingan Rasul, kalau
sudah demikian tidak lagi mencari mana yang benar dan mana yang salah. Disini
berarti manusia mengalami suatu proses refleksi dari perasaan yang menuju alam
ketuhanan. Dan ketika manusia itu merasakan dirinya sendiri sudah tidak ada
lagi atau manusia telah bisa menghilangkan ego-individualismenya, maka dalam tasawuf Islam ini ia telah mencapai pada
makam the divine (alam ketuhanan).
Kaitannya dengan individualisme,
karena semua suffering, dimana
masalah kehidupan di dunia menjadikan manusia sebagai individualitas dan
mengakui adanya “aku” (ego) yang bisa
merasakan sedih, sakit, stress dan sebagainya atau merasa bangga dan gembira,
namun apabila ’aku’-nya telah hilang lenyap maka tidak akan merasakan kesedihan
dan segala kesakitan itu dan merasakan sesuatu yang berlebihan, menjadikannya
sesuatu itu yang wajar adanya yang datangnya dari Allah, mendatangkan rasa ikhlas
dan ridha. Sehingga muncul istilah
Sufi bahwa ”Ada aku, Allah tiada” dan
”Tiada aku, Allah telah beserta (ada
Tuhan)”. Nah disinilah bisa membedakan antara ilmu bersifat jasmani dengan ilmu
ruhani (metafisik). Pada ilmu jasmani
lebih berkonsentrasi pada yang bersifat fisik-biologis dan material. Tapi irfani dan tasawuf konsentrasi pada diri ruhani (metafisik) yang bersifat gaib. Dengan cara itulah manusia bisa
selamat dari segala kesengsaraan di dalam kehidupan individualisnya, baik di
dunia sampai nanti di akherat.
Ilmu yang
selama ini kita pelajari ada yang accumulatif
knowledge, ada pula yang annihilatif
knowledge. Semakin banyak mencari ilmu akan terjadi akumulasi knowledge, menjadikan lebih mengetahui
dan lebih pintar. Tetapi annihilation,
yakni nihilasi (fana’) yaitu ilmu yang menghilangkan subjek (ego). Misalnya, laa ilaahaillallah,
tiada Tuhan selain Allah. Kenapa?
Karena Dia mutlak. Sesuatu yang mutlak, jelas tidak terbatas. Sesuatu yang
tidak terbatas, tidak mengizinkan dua realitas. Tidak ada realitas selain Dia (Allah), yang lain menghilang semuanya,
hilang subjek, hilang ego, tidak ada
lagi ’aku’. Dan akan terlihat seluruh alam ini dengan ’kaca mata’ Dia Yang Maha
Kuasa, bukan lagi kaca mata individualis lagi. Ketika sesuatu itu menjadi
terbatas, pasti ada sesuatu yang lainnya. Jadi konsep tauhid juga dipahami seperti itu. Jadi kalau ada masalah, justru
akan semakin mendekat kepadaNya atau bahkan sebaliknya seringkali lari dariNya
dan masuk pada masalah lain lagi. Yang harus dilakukan seharusnya adalah beyond (melampaui keterbatasan), mencari
sesuatu kekuatan terbesar yaitu apa yang bisa membawa keluar dari masalah yang
memberatkan dengan menaikkannya kepada maqam
(tingkatan) yang lebih tinggi dengan perasaan ikhlas dan ridha-meridhai.
Pada
masyarakat modern dalam menyelesaikan masalah ekonomi ya dengan ilmu ekonomi,
politik dengan ilmu politik, dan sebagainya. Pendekatan spiritual sesungguhnya
untuk menghadapi berbagai masalah, yang merupakan gambaran dari ketidak
berdayaan manusia dan bentuk keterbatasannya, sehingga ada kekuatan lain yang
lebih besar turut bergabung menyelesaikan, sebagai energi yang tak terhingga
yang datang dari sisi Allah. Ketika
manusia bergabung dengan faktor tak terhingga, sehingga dalam Al-Qur’an disebut bahwa Allah itu wahuwa ma’akum yaitu Dia
bersama dengan kalian, dan ainamaa
kuntum yaitu dimana saja kalian
berada. Menjadi manifestasi Tuhan, bukan hanya dengan keluarga, tetapi
bersama dengan semua manusia, pohon, hewan, alam lingkungan dan sebagainya.
Contoh Nabi Muhammad SAW (Rasulullah) sampai sekarang secara
ruhani tetap hadir bersama kita. Nabi Muhammad SAW sebagai manusia biasa dan keberadaannya temporal, namun juga
sebagai manusia luar biasa dan sekaligus manusia pilihan Allah. Assalamu’alaika
ayyuhan Nabi, tidak terputus dari kehidupan ini dan justru semakin terkait
dengan kehidupan hari sekarang dan masa
mendatang. Masyarakat juga sering kali memisahkan antara akal (rasio)
dengan hati (qalbu). Artinya ada
perbedaan fungsional antara reason
(rasio) dengan hati-nurani (qalbu).
Kalau reason, berada di wilayah ilmu hushuli atau konseptual. Padahal ilmu konseptual
sebenarnya produksi manusia sendiri. Tapi kalau menyangkut hati-nurani
(intelektual) itu adalah ilmu hudhuri,
dimana subjek dan objek tidak terpisah atau antara yang mengetahui dan yang
diketahui tidak pernah terpisah, dan bisa dikatakan ’menyatu’ atau ’bergabung’
atau ’beserta’. Realitasnya sebagai refleksi seperti didalam cermin, jadi tidak
terpisah dari Dia (Allah). Dalam hadist yang intinya “Bumi
tidak bisa menempatkan Aku, langit juga tidak bisa, kecuali qalbu mu’min”.
Jelas bagaimana menempatkan Tuhan yang tidak terbatas ini ? Yaitu dengan cara
memasukkan unsur yang dimensinya tak terhingga tersebut kedalam hati atau qalbu setiap orang mukmin, dengan
merefleksikan Dia tentunya.
Qalbu dapat memuat zat Allah yang divine, bukan human.
Dimana qalbu bisa menempatkan Tuhan
yang tidak terbatas, adalah ”man ‘arafa
nafsahu faqad ‘arafa Rabbah”. Ilmu hushuli
yang berupa konsep yaitu dapat melukis realitas. Kalau ilmu hudhuri adalah masukkan realitas itu dalam hati. Nabi
melihat segala urusannya dengan ’kaca mata Tuhan’. Jadi Nabi SAW setiap ada permasalahan selalu
bertanya kepada Allah dan
menyelesaikannya dengan petunjuk Allah
pula. Tetapi sebenarnya terjadi ’Aku adalah Dia’. Jadi bukan humanis lagi, tapi divine. Disini pandangan filsafat perennial, tasawuf, atau irfan, adalah menghidupkan divinity (ketuhanan) dalam diri manusia,
yaitu ketika Tuhan hadir, ”alaa bi
dzikrillahi tathmainnul qulub”. Salah satu nama Allah pun ada al-Mu’min
yaitu sebagai Yang Memberi Keamanan. Jadi ketika Allah hadir, Dia akan memberi keamanan pada semuanya. Hadist: ”:al-mu’min
miratul mu’min” (mukmin adalah cermin bagi mukmin). Disini yang bercermin
bukan antara dua manusia mukmin, tetapi antara mukmin manusia dengan al-Mukmin (Tuhan). Dalam Al-Qur’an ada ayat tentang Nabi
Muhammad, ”innama ana basyarun mistlukum”
(Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian). Disini jelas bahwa Muhammad
itu seperti manusia (seperti kalian) atau mistlukum.
Seperti, jadi sebenarnya persis sama dengan manusia dengan kualitas plus, yang
dikatakan sempurna dan dapat pula
menyempurnakan. Maksudnya, seperti dekat es dingin, dekat api panas,
dekat yang luar biasa juga menjadi luar biasa. Tapi ingat, kabel bukan listrik,
tapi kalau kabel sudah dialiri listrik maka bisa menyengat, bisa menghidupkan
lampu dan alat perlengkapan hidup lainnya. Tuhan tidak berserikat dengan
manusia. Seperti halnya air gula atau air asin, bila dipanaskan airnya menguap
dan yang tinggal gulanya atau garamnya. Seperti halnya dengan udara yang tanpa bentuk,
akan berbentuk seperti bentuk tempatnya, kalau wadahnya berbentuk kubus maka
udara itu berbentuk kubus. Maka yang harus membimbing manusia itu harus ’Aku’,
kata Tuhan. Makanya Aku akan jadikan manusia sebagai utusan dan khalifah di bumi. Dalam Al-Qur’an:
fi al-samaai Ilaahun fi al-ardli Ilaahun
(Tuhan menguasai di langit dan di bumi). Satu cara merefleksi adalah khalifatullah. Allah sendiri yang datang sebagai Al-Haadi, Yang Memberi Petunjuk, seperti yang Allah kehendaki. Sejalan dengan itu menyadur penjelasan Guru Besar
Sufi dan Ilmuwan, tentang air gula, api dan besi, sampai kawat dan listrik.
Penjelasannya sebagai berikut: bahwa air tidaklah pernah manis selama dunia
terkembang, namun dimana saja kita jilat air gula itu, detik itu juga manisnya
gula yang terasa, bukannya manisnya air, karena si air adalah beserta dengan si
gula, Karena si air adalah pengantarnya secara langsung, bukan perantara; namun
keduanya tidak bersyarikat, begitu air gula dipanaskan, airnya akan terbang
(menguap), gulanya akan tertinggal, dan gula tidak akan menjadi air selama
dunia terkembang, hanya keduanya adalah sangat rapat terhampir. Begitu juga api
dengan besi, yang membakar adalah api, bukan besi, namun kemana saja si besi
dihampirkan, detik itu juga langsung si api membakar. Api dengan besi tidak
bersyarikat, api adalah api, besi adalah besi (ferrum rumusnya) api tidak ada rumusnya karena api adalah energi,
dan api tidak akan menjadi besi, atau sebaliknya, besi tidak akan jadi api, dan
api dan besi tidak bersyarikat satu sama lain, hanya sangat rapat berhampir.
Demikian juga kawat dengan listrik yang berdaya guna adalah listrik bukan
kawat, namun kemana saja dicucukkan si Kawat, Langsung si listrik yang bekerja,
dimana saja kita sentuh si kawat, langsung si listrik yang menggigit, bukan si
kawat, kawat dengan listrik tidak bersyarikat, hanya sangat berhampir atau
saling ‘beserta’; apabila dimatikan kontaknya listrik pun hilang entah kemana,
kawatnya yang tinggal, tanpa mampu mengeluarkan daya apa apa lagi dan listrik
tak akan menjadi kawat, dan kawat tidak akan menjadi listrik , karena listrik
bukan kawat.
Al-Ghazali mengatakan bahwa cara
pencarian kebenaran tidak hanya melalui rasio, tetapi juga pengembaraan
(eksperimental) ruhaniyah, menyadari akan kehadiran intelektualitas atau paling
tidak memakai panca indera. Indera gunakan untuk melihat dan dapat merasakan (afalaa tadabbarun), kontemplasi rasio
untuk berpikir yang berada dibawah bimbingan wahyu, berproses dalam hal
berfikir dan berbuat, serta tidak terputus dari Allah dan Rasulnya, serta
diarahkan pada kesadaran intelektus berketuhanan yang harus menempatkan diri
dalam ruang agama.
Sekarang ini di
Barat ada suatu pemahaman yang tidak pakai agama, tetapi memakai semacam
‘spiritual universal’. Mereka menganggap kalau sudah terikat oleh suatu agama,
maka tidak bersifat universal lagi. Padahal terikat pada satu agama Islam yang bersifat
damai, akan tampak semakin universal. Karena ada unsur dhahir (jasmani) dan juga ada unsur batin (ruhani). Dhahir itu ada, karenanya pasti juga ada
batin, demikian sebaliknya. Dalam agama, ada jalan esoteris yakni jalan yang menghubungan manusia dengan al-Haq. Manusia harus ikut jalan Allah itu. Cara yang ada dalam diri
manusia, yakni himmah (aspirasi yang
tinggi). Syekh Ahmad Mustafa al-Alawy,
dalam buku Sufi Abad ke-20 (Mizan), syarat minimal jika manusia ingin menuju
Tuhan adalah himmah, aspirasi yang
tinggi untuk mendekatkan diri pada-Nya. Tidak ada yang mampu sampai atau
menyaingi sinar cahaya matahari, yang sampai matahari hanyalah sinarnya
sendiri. Dalam satu tempat yang gelap, maka satu lubang cahaya yang sedikit
saja sebenarnya sudah cukup memberi petunjuk. Cahaya itu akan masuk ke dalam
ruang sesuai dengan bentuk lubang yang ada di dindingnya, kalau berbentuk segi
lima akan memantulkan bentuk yang sama yaitu segi lima dengan efek yang
menerangkan ruang tersebut. Kalau tidak ada lubang sama sekali, semua tertutup,
maka tidak bisa melampaui ruang yang kegelapan itu. Firman Allah SWT dalam An Nuur
ayat 40 disebutkan: ”Atau (keadaan mereka) seperti gelap gulita
di laut yang dalam yang diliputi gelombang demi gelombang yang di atasnya awan
kegelapan yang tindih-bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya hampir
tidak melihatnya. Dan barangsiapa yang tidak dijadikan Allah cahaya baginya,
maka tidak ada cahaya baginya”. Dengan demikian orang yang tidak diberi
hidayah dengan cahaya Allah atau Nuur Muhammad sehingga jelas dan terang,
maka ia akan tersesat. Kejelasan itu
adalah dambaan bagi mereka yang ingin selamat di dunia dan akherat kelak.
Ketika ada
aspirasi baru dan ada respon, sebagai adzkuruunii
adzkurukum, yaitu jika kamu mengingat Aku (Allah), maka Aku pun mengingatmu. Kata hadist Qudsy, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku sejengkal, maka
Aku akan mendekatinya sehasta”. Setelah himmah, maka harus ada kepercayaan (iman) yang sebenarnya adalah
bentuk manifestasi dari Dia (Allah).
Oleh karena itu syariat datangnya
dari Tuhan, bukan dari manusia. Jalan thariqah
pun harus dari Allah melalui Rasul utusanNya (pewarisnya). Haruslah
manusia itu ekstra berhati-hati, bila unsur ego
telah hilang, jangan sampai digantikan atau disusupi oleh setan yang
ilmunya juga tinggi. Tidak ada yang bisa melawan setan, kecuali orang-orang
yang telah beserta Allah dan RasulNya.
Pencarian dan
usaha untuk menemukan alamat Tuhan (Allah
SWT), harus terus dilakukan. Ada cerita menarik yang dikutip Nurcholish Madjid, tentang seorang
perempuan tua yang datang kepada Nabi, perempuan itu ditanya Nabi, ”Kalau
kamu beriman kepada Allah, di mana adanya Tuhan itu ?” Lalu perempuan itu menunjuk ke langit.
Kemudian Nabi berkata dengan rileks, “Wanita ini benar” Para sahabat lalu
memprotes Nabi, “Al-Qur’an menyebut bahwa Tuhan itu ada dimana-mana. Mengapa Nabi
membenarkan perempuan yang berpendapat
bahwa Tuhan hanya berada di langit ?” Nabi menjawab: “Itulah yang dipahami wanita tua
itu. Kamu tidak usah mengganggu”.[2] Artinya ada
beberapa pengertian atau pemahaman, baik yang tercantum dalam Al Qur’an maupun dalam Al Hadtts semuanya harus dipahami secara
utuh dan tidak sepotong-sepotong, karena satu dengan lainnya saling terkait. QS. Al-Baqarah 2:148 yang artinya: “Tiap-tiap
ummat memiliki kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepada-Nya, maka
berlomba-lombalah dalam kebaikan”.
Dalam hadits qutsi yang berbunyi “Kuntu kanzan makhfiyan, fa uriidu an u’rafa,
fakhalaqtu al-khalq, bii ‘arafuunii’ artinya “Pada mulanya Aku (Allah / Tuhan)
bagai perbendaharaan tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Aku membuat
karya; melalui Aku kamu sekalian mengenal Aku”. Jelas sebelumnya Allah keberadaannya amat gaib atau
disebut ghaab’ib al-ghuyib.
MengenalNya diperlukan latihan yang intensif dan sungguh-sungguh untuk
memperoleh suatu kesadaran: “Udzkuru
rabbakum tadlarru’an wa khufyatan” yang artinya: “Ingatlah Tuhanmu dengan penuh
rasa haru dan secara diam-diam / rahasia”. Pemahaman-pemahaman tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Pengertian pertama, keberadaan Allah sangat dekat bahkan digambarkan tidak jauh dari urat leher (dalam diri), seperti firman Allah SWT dalam QS. Qaaf : 16 yang berbunyi “....Dan sesungguhnya telah kami jadikan
manusia, dan kami ketahui anjuran-anjuran (samar) apa yang disorongkan oleh
hatinya, sedangkan kami lebih dekat padanya daripada urat lehernya”.
Disini maksudnya ” Wa nahnu aqrabu ilayhi
min hablil wariid ” artinya: “Dan Kami (Allah) lebih hampir
(dekat) kepadanya (manusia) daripada urat leher-nya”. Tercantum pula
dalam QS. Al-Waqiah: 85 yang artinya
“Dan
Kami lebih dekat kepadanya daripada mereka”. Dan QS. Al-Baqarah: 186 “Fa-innii
qaribun ujiibu da’watad-daa’i idzaa da’aani” artinya: “Maka sesungguhnya Aku dekat. Aku
memperkenankan permintaan orang yang
meminta, apabila ia meminta (berdo’a) kepada-Ku”. Juga: “Wa’lamuu annallah yahuulu bayna al –mar’i wa qalbih” artinya:” Ketahuilah
bahwa Allah itu mengantarai antara
seseorang dengan hatinya sendiri”. Berikut dalam QS. Al Fath: 10 “.......yadullaahi
fauqa aidiihim............” artinya: “.....Tangan Allah berada di atas
tangan mereka......” (“Wajah Allah
berada di atas wajah mereka”), sehingga Rasulullah SAW pun bersabda yang
artinya: “Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia mengenal Tuhannya”.
Demikian tanda-tanda kekuasaan Allah
pada diri manusia seperti tercantum dalam
QS. Fushshilat : 53 “Sa nuriihim aayaatinaa fil aafaaqi wa fii
anfusihim hattaa yayabayyana lahum annahul haqqu a wa lam yakfi bi rabbika
annahuu ‘alaa kulli syai-in syahiid” artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami pada segenap penjuru dan pada diri mereka
sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa sesungguhnya itu adalah benar.
Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu ?
”
2.
Pengertian kedua, Allah
berada dalam qalbu-nya orang
alim, yang suci, mukmin, lunak dan tenang. Dalam hadits qutsi dinyatakan: “Allah
itu bersemayam dihati yang lunak dan tenang”: Bukan berada di otak.
Tentu hal tersebut berlaku bagi orang yang memiliki wasilah Allah atau faktor
yang tak terhingga seperti Ulama
Pewaris Nabi, Sang Wali-Mursyid, Para
Ahli Silsilah (Aulia-Aulia Allah) yang senantiasa dapat berhubungan dengan Allah SWT via atau melalui ruhani Muhammad SAW yang telah pula bergabung
dengan “Arwahul Muqaddasah Rasulullah”
atau himpunan ruhani dari orang-orang yang telah disucikan yaitu orang yang menempuh di”jalan”-Nya tersebut. Dalam hadits Qudsi R. Ath Thabrani, Al Hakim dan Abu Na’im: Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
Wali-Wali-Ku dari hamba-Ku dan kekasih-kekasih-Ku dari makhluk-Ku, yaitu mereka
yang disebut namanya, jika orang menyebut nama-Ku, dan Aku disebut bila orang
menyebut nama mereka”. Sebut nama Wali-Ku,
kekasih-Ku, Aku telah hadir pada sisimu; Jika kita sebut nama Muhammad dalam shalawat, Allah langsung hadir pada sisi kita untuk memberi pertolongan.
Jelas disini terlihat pemahaman bahwa: Nama-Ku tidak bercerai dengan nama
Muhammad dan nama Wali-Wali-Ku /
Kekasih-kekasih-Ku. Walaupun hubungan para Wali
atau Kekasih Allah itu antara satu
dengan lainnya berabad-abad lamanya dan berjauhan, namun Sang Wali / Mursyid atau Para Ahli Silsilah (Aulia-aulia Allah) dengan Rasulullah
SAW sesungguhnya tidak bercerai dan tidak ada lagi jarak dan waktu serta
tiada masalah. Rasulullah bersabda :
“Barang
siapa memuliakan orang alim, maka sesungguhnya dia telah memuliakan aku. Barang
siapa memuliakan aku, sesungguhnya dia telah memuliakan Allah dan barang siapa
yang memuliakan Allah surgalah tempatnya” [3], “Barang
siapa melihat wajah orang alim (jasmani dan ruhani) satu kali, dan dia
bergembira, senang, menghayati dengan penglihatan itu, maka Allah ta’ala akan
menjadikan dengan melihatnya itu, malaikat-malaikat yang memintakan ampun
untuknya sampai hari kiamat”.[4] Jika ada ruhani
(kita) yang bersentuhan dengan ruhaninya orang yang telah disucikan tersebut,
maka akan tersalur pulalah wasilah Allah
yang Maha Tinggi dan Agung. Sesungguhnya ruh (ruhani / arwah) dengan ruh dapat
bergabung dan bersatu, seperti halnya dengan nur atau cahaya. Tiada sinar (nur)
yang lain mampu mencapai kehadirat Allah,
terkecuali hanya sinar (nur) Allah
itu sendiri, yang diberikan kepada utusannya (unsur Muhammad). Firman Allah SWT dalam QS. An Nur: 35 yang artinya: “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Allah membimbing kepada cahaya-Nya Siapa yang Dia Kehendaki”. Ruhani
dengan ruhani (nuur atau unsur metafisik)
bisa bergabung dan tidak ada yang marah. Sedangkan bentuk fisik (jasmani)
dengan fisik untuk bergabung tentu tidaklah mungkin.
3.
Pengertian ketiga yaitu Allah berada dimana-mana
tempat, tidak terbatas dengan ruang dan waktu serta keadaan, dimana
memandang disana ada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an
Allah itu wahuwa ma’akum, yaitu ‘Dia bersama dengan kalian’, dan ainamaa
kuntum, ‘dimana saja kalian berada’. Allah tidak tidur dan tidak mengantuk, kepunyaannya langit dan bumi,
mengetahui apa-apa yang ada dihadapan, dibelakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki seperti yang
tertera dalam QS. Al Baqarah ayat 255
(lihat ayat Kursi). Firman Allah juga ada yang menyebutkan:
“Dan
Aku bersamanya jika dia mengingat-Ku”. Dalam surat QS. Al Hadiid ayat 4, firman
Allah tersebut mempunyai arti sebagai
berikut: “Dan dia bersama kamu di mana saja kamu berada dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu yang kamu kerjakan“. Dalam QS. Fushshilat : 53 “Sa
nuriihim aayaatinaa fil aafaaqi wa fii anfusihim hattaa yayabayyana lahum
annahul haqqu a wa lam yakfi bi rabbika annahuu ‘alaa kulli syai-in syahiid”, artinya: “Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami pada segenap
penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
sesungguhnya itu adalah benar. Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu sesungguhnya Dia
menyaksikan segala sesuatu ?”. Lagi disebutkan dalam QS. Al Baqarah : 115 “Wa lillaahil masriqu wal maghribu fa ainamaa tuwalluu fa tsamma
wajhullaahi innallaaha waasi’un ‘aliim” yang artinya: “ Dan
kepunyaan Allah Timur dan Barat, maka kemana saja kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatnya) lagi Maha Mengetahui”.
Kehadiran Allah dimana saja, seperti
dalam QS. Al-Mujadalah: 7 yang
artinya “Tidaklah engkau sadari, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang
dilangit dan apa yang di bumi. Tiadalah ada pembicaraan (rahasia) antara tiga
orang melainkan Dia-lah yang keempatnya, dan tidak lima orang melainkan Dia
yang keenam (diantara mereka), tidak kurang dan tidak lebih daripada itu,
melainkan Dia beserta mereka dimanapun mereka berada...”, dan inilah yang
disebut sebagai Tuhan (Allah) yang omnipresent-Tuhan yang Maha Hadir !
4. Pengertian
keempat, Allah menurut sangka hamba-nya. Sabda Rasulullah dalam hadits yang artinya sebagai berikut: Dari Abu Hurairah r.a, yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT, Aku menurut sangkaan
hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersamanya jika dia berdo’a (minta tolong)
kepada-Ku” (HR. At Turmudzi,
Husnu adz-Dzaan Billaah, 106). Hadits
lainnya yaitu: Dari Abu Hurairah r.a yang berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: ” Allah SWT berfirman, Aku menurut
sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Dan Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku.
Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Dan
apabila dia mengingat-Ku ditengah massa (golongan), maka Aku mengingatnya di
tengah massa mereka lebih baik dari mereka; Apabila dia mendekati-Ku dengan
satu jengkal maka Aku mendekatinya dengan satu hasta. Dan apabila dia
mendekati-Ku dengan berjalan maka aku mendatanginya dengan bergegas” (HR. Muslim). Jika ragu-ragu maka
hasilnya juga ragu. Persangkaan ini harus ada, sebagai bentuk dari pada
keimanan atau pun sebagai keyakinan.
5. Dan pengertian
kelima yaitu Allah berada atau bersemayam di Arasy (Kerajaan Allah, di langit yang agung dan tertinggi), tersebut dalam Al Hadiit: 4 ”Dialah yang menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy, Dia
mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepadaNya. Dan Dia bersama kamu dimana
saja kamu berada. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Di ‘Arsy ini tidak ada yang mampu sampai
kepada-Nya, hanya satu yang sampai yaitu Rasulullah,
Nabi Muhammad SAW, nur Muhammad. Dalam peristiwa akbar Isra’ Mi’raj, Rasulullah menerima perintah sholat,
setelah sebelumnya ruhani beliau disucikan
yang kemudian diantar oleh malaikat
Jibril ke Sidratulmuntaha dengan
kendaraan yang disebut Al Bouraq atau
Al Kilat. Dan malaikat pun akhirnya tak sanggup bertemu Allah langsung karena bisa terbakar. Apalagi kita sebagai manusia
lumrah yang kotor penuh gelimang dosa dan noda, bila ada orang mengatakan bisa
bertemu Allah sebenarnya berbohong
atau tertipu. Satu-satunya “jalan”
agar sampai kehadiratnya yang umumnya disebut sebagai “beserta Allah” yaitu beserta unsur (nur atau ruhani) Muhammad adalah dengan cara yaitu
menggabungkan diri ruhani kita dengan ruhani Waliyam-Mursyida (Guru-Mursyid)
yang juga telah bergabung dengan ruhani Rasulullah
(arwahul muqaddasah Rasulullah)
sebagai wasilah karier (sebagai ikutan
yang baik / sebagai imam ruhani) dan sebagai ‘metode’.
Bagi
orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, memang ada suatu
jalan yang harus ditempuh untuk sampai kepada-Nya. Agar tidak tersesat dan salah alamat yang mungkin tidak disadari, maka diperlukan adanya suatu “bimbingan” dan
“tuntunan” atau “guide” dari
seorang guru yang Mursyid yang
tentunya paham ruhani untuk dapat memberi petunjuk bahwa Islam itu adalah
agama wahyu & agama ruhani ! Dalam QS.
Ali Imran ayat 200: ”Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah
kamu (gigih terus menerus) dan kuatkanlah (tingkatkanlah) akan kesabaranmu
(pantang-mundur) dan perkuatlah berpegang pada rabithah (channel, saluran,
frekwensi : bukan perantara) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung
(menang)”. Mursyid itulah
yang dimaksud, seperti dalam hadits Rasul:
”Adakanlah
(jadikanlah) dirimu (ruhanimu) beserta Allah, jika engkau belum bisa menjadikan
dirimu (ruhanimu) beserta Allah, maka adakanlah (jadikanlah) dirimu (ruhanimu)
beserta dengan orang yang beserta Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang
menghubungkan engkau langsung pada Allah (yaitu ruhaninya)(HR. Abu Daud). Jadi jelas di dalam Mursyid itu ada tali Allah yang menghubungkan ruhani orang yang percaya pada Allah, Ia-nya bukanlah sebagai guru
biasa tetapi ‘guru yang mursyid’.
Sabagai konsumsi ruhaniah, bukan santapan jasmani atau kuping atau otak ! Untuk
menuju kehadirat Allah SWT dan yang
dapat mengantarkan ketujuannya tersebut bukan dengan pendekatan sosial, budaya
atau otak. Insafilah bahwa segala
akal-pikiran (otak) adalah baharu, tak mungkin sampai pada yang Qodim, walaupun dengan segala alat panca
indra yang ada pun tidak akan mampu.
Untuk membedakan
(furqaan) antara yang haqq dan yang bathil, atau membedakan ilmu mana
yang datangnya dari Allah atau
datangnya dari selain Allah memang
tidaklah mudah. Boleh dikata gampang-sulit, seperti halnya membedakan bayi
hasil nikah dengan bayi hasil zinah, karena ada unsur rahasia, dan untuk
membuktikan kebenaran harus dilakukan penelitian mendalam. Bacaan kitab suci
yang diucapkan (diproduksi) oleh manusia lumrah, para dukun, para pencuri akan
berbeda hasilnya dengan yang diucapkan oleh orang yang telah disucikan, para
alim-ulama atau Guru-Mursyid. Seringkali
manusia (kita) terperdaya oleh tipu-daya setan, karena setan dapat berbuat apa
saja dan mengabulkan yang kita minta, kecuali kepada Allah. Setan bisa berujud manusia atau makhluk hidup atau benda mati
lainnya, bisa berupa harta benda, kekayaan, uang, bisa bentuk api, air, angin,
marah, nafsu-kesenangan dan wanita, kedudukan serta jabatan atau pangkat
duniawi, bahkan masuk aliran darah, serta kehebatan-kehebatan yang memutar
balikkan mata dan otak (pikiran).
Antara
yang haqq dan yang bathil itu begitu tipis, terkadang
terlalu sulit untuk dapat membedakannya. Bahkan untuk menentukan satu pilihan
dari dua alternatif pilihan juga sulit,
seperti halnya pilihan mau mengambil jalan kiri (bathil) atau mau mengambil jalan kanan (haq), apalagi bila sama sekali tidak mengetahui apa perbedaan
diantara keduanya. Walaupun sudah menentukan sebuah pilihan, tatap saja
sama-sama memerlukan kesungguhan dan perjuangan serta pengorbanan untuk
mencapai kesuksesan. Dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan bermasyarakat,
bila ada orang-orang yang sedang marah atau sedang kalap atau gelap mata
seringkali dianggap orang sedang kesetanan. Dan bagi mereka-mereka orang yang
sabar dianggap sebagai kekasih Allah
adalah sesuatu yang benar dan wajar saja. Sesuatu bentuk alternatif yang memang
tidaklah mudah dalam memilih, terutama sebagai jalan yang benar, yaitu akan dan
harus ditempuh, apalagi sebagai manusia lumrah yang masih memiliki nafsu-nafsu,
keinginan-keinginan dan sebagainya sehingga mudah tertipu.
Ada beberapa tafsir tentang kalimat Al
Furqaan. Penafsiran umum adalah orang yang bertaqwa dan mendapat petunjuk untuk bisa membedakan antara yang benar (haq) dan yang bathil (batal). Juga dapat
ditafsirkan sebagai sesuatu pertolongan atau jalan keluar atau memperoleh nur atau cahaya – Nya. Untuk itulah
diperlukan suatu ilmu yang haqq
(benar) yang datangnya dari Rasulullah
(sisi Allah), yang pada akhirnya akan
dapat membedakan antara yang benar dan yang bathil.
Agar bisa menjadikan haqqulyakin
(sebagai Al Furqaan atau pembeda) tiada lain memang harus “berguru” dan mencari ilmu-nya seperti petunjuk dalam firman Allah SWT dalam Q.S. Al Anfal, 8 : 29 “Yaa ayyuhal ladziina aamanuu in
tattaqullaaha yaj’al lakum furqaanaw wa yukaffir ‘ankum sayyi-aatikum wa
yaghfir lakum wallaahu dzul fadhlil ‘azhiim”, artinya: ”Hai
orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya akan memberikan kepadamu Furqaan dan Dia akan
menghapus kesalahan-kesalahan kamu dan mengampunimu, dan Allah mempunyai
karunia yang besar”. Dalam hadits
hasan sahih lebih lanjut sabda Rasulullah:
“Inginkah
kamu sekalian tahu, siapa yang paling mulia diantara penghuni syurga?“.
Jawab para sahabat, “Baik, kami ingin tahu wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Adalah ummatKu yang berilmu”. Dan bagi mereka-mereka
yang mencari ilmu ketuhanan disebutkan dalam hadits “Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya pada pencari ilmu
sebagai bentuk (ungkapan) ridha terhadap apa yang dia perbuat” (HR. At Turmudzi, An-Nasai, Ibnu Majjah,
Al-Baihaqi). Dan untuk maksud tersebut harus ada ”guru-nya” atau “Mursyid-nya”
sebagai pembimbing ruhani, yang jelas
pula akan asal-usulnya atau sanat-nya (silsilah) sampai kepada Nabi Muhammad SAW , bukannya diperoleh (berasal) dari
bertapa atau menyepi di gunung Kawi, gunung Merapi, di laut Kidul, di gubug
terpencil (misal: kasus Musadeq, Lia Aminudin-Lia Eden) dll. Juga berasal dari
jimat keris, batu akik, batu ponari atau berupa ilmu tiban yang datang sendiri dan tidak jelas akan asal-usulnya, bahkan
pula dari mimpi orang lumrah dan lain sebagainya.
Tanwiir
al Quluub, hal 513 menyebutkan: “Sebaiknya para murid thariqah mengetahui nisbat guru mereka dan silsilah guru-guru di atasnya, mulai
dari mursyid mereka sampai dengan
Nabi Muhammad SAW; kerena apabila
mereka menginginkan pertolongan (syafaat) melalui gurunya tersebut sedangkan nisbat
mereka benar maka tercapailah pertolongan tersebut. Guru yang silsilahnya tidak bersambung hingga kehadirat Nabi SAW terputuslah ia dari faydh (berkah / pancaran ruhani) dan
tidak bisa menjadi pewaris Rasulullah SAW
“.[5]
Dalam
beribadah dan beramal tentu akan percuma saja tanpa disertai “ilmu tarekat” sebab merupakan “ilmu” yang
melengkapi. Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda: “Ilmu
itu imam amal dan amal itu makmumnya”. Juga Rasullullah bersabda: “Iman itu telanjang, pakaiannya adalah taqwa,
perhiasannya adalah malu dan buahnya adalah ilmu” (H.R. Al Hakim). Sabda Rasulullah
SAW dalam hadits: “Man aroodaddunyaa fabililmi waman
aroodalakhirota fabililmi” yang artinya: “Barangsiapa menghendaki dunia
dengan ilmu, dan barangsiapa menghendaki akherat juga dengan ilmu”.
Sehingga lebih lanjut Rasulullah SAW
bersabda yang artinya: “Menuntut ilmu diwajibkan bagi orang Islam
laki-laki dan orang Islam perempuan”.[6] Disamping itu ilmu
ruhani adalah merupakan ‘poros’nya - dimana segala sesuatu berputar
disekitarnya. Perlu diketahui bahwa ilmu
dan ibadah (ber-amal) itu adalah dua
permata, dan untuk ilmu dan ibadah (amal) itulah maka terjadi semua yang
terlihat dan yang terdengar untuk kemudian bisa merasakan. Ilmu dan ibadah
(amal) diibaratkan ”dua sisi mata uang”, seandainya tidak ada salah satunya
tentu tidak berlaku atau tidak bernilai. Keduanya tidak dapat dipisahkan,
karena orang yang berilmu kalau tidak beribadah dan beramal seperti halnya
pohon yang tidak berbuah, sebagai pekerjaan yang sia-sia di sisi Allah. Apalagi bila hanya sebagai
pengamat saja, paling banter hanya dapat sanjungan manusia.
Istilah
ilmu dalam hal keyakinan ada beberapa pengertian yang terdapat di dalam Al-Qur’an, yaitu dalam QS.
At-Takatsur: 5 yang artinya: ”Jika
kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin”, lalu dalam QS At- Takatsur: 7 yang artinya: “Dan
sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin”, dan
dalam QS. Al-Waqiah: 95 yang artinya:
“Sesungguhnya
(yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar (Haqq)”. Adapun
ilmu-ilmu keyakinan yang dimaksud itu berlapis-lapis atau bertingkat-tingkat
(ada tiga keyakinan) yakni: ‘ilmul yakin’, ‘ainul yakin’ dan ‘haqqul yakin’ sebagai berikut:
1.
Pada tingkatan pertama, bertumpu pada akal manusia yang dikendalikan oleh
bukti obyektif (argumen atau dalil) kebendaan (burhan) disebut Muhadlarah,
sebagai ‘ilmu yakin’ dan dalam lingkup pemikiran rasional saja. Bisa
diperoleh dengan belajar sendiri,
dan kini telah banyak buku-buku sebagai petunjuk atau pembimbing (ribuan),
namun kebenarannya masih diragukan.
2. Pada tingkatan
kedua, adalah mampu menerima pengetahuan
berdasarkan eksplanasi yakni pencarian. Dengan penjelasan atau
katanya si Anu (bayan) disebut Mukasyafah, tergolong sebagai ‘Ainul
Yakin’ dan merupakan
pandangan kebenaran obyektif yang masih bersifat mungkin, sehingga lebih maju
lagi selangkah dari ‘ilmu yakin’ yang
pertama dan menuju ainul yakin. Ini
juga masih “katanya” dan belumlah sepenuhnya benar.
3.
Tingkatan ketiga, adalah pengalaman pribadi (makrifat)
yang langsung bisa menyaksikan dan merasakan sesuatu hal (sifat terang atau
jelas) dan akhirnya bisa bersaksi. Pengalaman tersebut terbit dari bathin /
ruhani / hati dengan “jalan” pendekatan diri kepada Allah SWT sehingga terbuka hijab
(penghalang hati) dan memperoleh pengetahuan ‘Haqqul Yakin’, yang
disebut Musyahadah atau Al-Mu’ayanah. Makrifatullah ini bisa dipandang sebagai ‘kaji rasa’ sebagai maqam
yang lebih tinggi (dari tingkat pertama dan kedua) yang bisa merasakan atau
menggambarkan hubungan akan kecintaan kepada Allah SWT dengan
pengetahuan hati sanubari sehingga mengenal akan dirinya sebagai hamba. Pada
tingkatan ini telah memperoleh suatu kenyataan Tuhan dan menjadi kebenaran
sejati baginya, seperti sabda Rasulullah
SAW yang artinya: “Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia
mengenal Tuhannya”. Orang-orang yang telah mencapai tingkatan haqqul yakin tentu sudah bisa merasakan
akan manisnya Al Islam Mulia Raya,
sehingga Ia-nya tidak lagi mudah terpengaruh oleh hiruk-pikuknya Dunia. Tidak
mudah terpengaruh oleh hasut dan tidak terprovokasi oleh hal-hal yang negatif
sifatnya. Sebab segala sesuatunya sebelum bertindak dan berbuat memohon dan
berdo’a agar terhindar dari hal-hal yang kurang baik di mata Allah SWT, karena setiap saat Ia selalu
memohon bimbinganNya. Ia-nya tidak bisa bersembunyi dari Allah SWT, yang seakan-akan selalu mengawasinya, sehingga berbuat
sesuatu dengan kehati-hatian, menjaga akan tingkah-laku dan perangainya. Ada
sesuatu yang ditakuti yakni akan azab
(murka) Allah SWT.
Jika seseorang telah sampai pada
tingkatan ilmu di alam ketuhanan (maqam
robbani), ia bagaikan sebuah ”robot tuhan”, semua tingkah lakunya
terkendali dan bahkan dikendalikan oleh Allah.
Maka pengendalinya adalah firman-firman Allah: “Jangan kamu mengikuti hawa nafsu,
sebab itu menyimpangkan kamu dari jalan Allah”. Dan juga :”Wahai
jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan perasaan ridha dan diridhai
dan masuklah kedalam hamba-hambaKu dan masuklah kedalam surgaKu”.
Inilah yang disebut puncak kebahagian yang sesungguhnya, tiada lagi ego, dan telah meniadakan “diri nafsani” (hanya ada nafsu mutmainnah), maka berlakulah firman Allah QS. Al-Anfaal: 17 yang artinya ”Maka
(yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang
membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi
Allah-lah yang melempar”. Pengertiannya dari firman di atas adalah
dapat berlaku bagi orang yang sudah mampu beserta Allah dan memang benar adanya sebagai rahasia Tuhan. Bukanlah
disebut rahasia, kalau setiap orang bisa melaksanakan atau sampai ke
hadiratNya. Kalau itu rahasia, tentu jalannya juga rahasia. Yang rahasia tidak
akan diperoleh, kalau tidak ditunjuki oleh yang punya rahasia. Dan tidak akan
diperoleh suatu ilmu yang bersifat matafisika,
selama akal dan fikiran dipergunakan, karena ilmu metafisik (gaib) berjalan setelah otak berhenti aktif.
Rumah Zikir di Patas-Buleleng Singaraja-Bali
[2] Budi Munawar,
Rachman,Argumen Pengalaman Iman Neo-Sufisme Nurcholish Madjid, dalam Tsaqafah,
Vol.1, no.1, 2002, hal 54
[5] KH.A.Aziz
Masyhuri, Permasalahan Thariqah, Hasil-hasil Muktamar NU,
2006, hal: 186
Hidup dan Seni - blogspot.goesmul.com.islam
goesmul@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar