Laman

Pengikut

Minggu, 04 Maret 2012

PEMAHAMAN SENI RUPA DENGAN KRIYA ARSITEKTUR

PEMAHAMAN SENI RUPA DENGAN KRIYA ARSITEKTUR
Ole Agus Mulyadi Utomo

Pengertian Senirupa
          Pada masyarakat agraris tradisional di masa yang lampau tidaklah membedakan atau mempermasalahkan antara seni, ilmu pengetahuan, teknologi dan keagamaan, melainkan lebih banyak menyatu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan itu sendiri. Indonesia pada peralihan zaman Batu ke zaman Perunggu, dikenal sebagai masa “Perundagian” yaitu suatu masa “kemahiran teknik” terutama mengolah bahan dan mengukir logam, dan para ahli ketukangan disebut sebagai “Undagi”. Orang-orang “cerdik pandai” atau “orang bijaksana” atau “ahli-ahli” pada masa lampau di Indonesia sering pula disebut sebagai “Empu”, yaitu sebagai orang yang menguasai akan ilmunya atau “mumpuni”. Pada masa di kerajaan Hindu ada disebut Empu Gandring sebagai ahli pembuat keris, Empu Tantular sebagai cerdik pandai dengan kitab sastra “Sutasoma”, Empu Prapanca dengan kitab “Negara Kertagama”  dan lain-lain.

          Bali yang merupakan bagian dari wilayah kerajaan Majapahit, pernah memperoleh sekotak wayang dari Raja Hayam Wuruk, yang diterima oleh Raja Gelgel, yaitu Dalem Semara Kepakisan, seusai upacara pensucian roh (Srada) dari Rajapatni, nenek Hayam Wuruk, pada tahun 1362. Tersebutlan nama Raden Sangging Prabangkara (Putra Brawijaya terakhir), yang telah melakukan perubahan dan penyempurnaan warna-warna pada pakaian wayang sesuai dengan martabat ketokohannya, sehingga ahli senirupa atau desainer zaman Majapahit ini,  namanya sering dipakai sebagai gelar atau sebutan untuk para ahli seni rupa atau perancang desain dengan sebutan “Sangging”  atau “Sungging”   atau “Prabangkara”.

       Pengertian “seni” bagi orang Jawa adalah “kencing” atau buang “air kecil” dan air kencing itu  sering pula disebut sebagai “air seni”. Juga perkatan “seni” juga untuk menyatakan suatu benda berukuran “kecil” atau “mungil” atau “Jlimet” atau “rumit”.  Orang Jawa sering pula menyebut suatu produk hasil dari kehalusan jiwa manusia yang indah-indah dengan istilah “kagunan” sebagai sesuatu yang bermanfaat. Sering pula disebut “ngrawit”, dimana pada umumnya produk yang dihasilkan memang mempunyai tekanan pada “halus” atau “remitan” atau “rumit” dalam pengerjaannya, yang umumnya disebut “kerajinan” atau “kriya’ yang memerlukan ketrampilan atau “keprigelan”.

          Cikal bakal senirupa dan industri yang bersumber dari Barat, dimulai dari kata ‘technic” atau “teknik” yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “techne” dipadankan dengan kata “ars” bahasa Latin, memiliki arti  atau makna “kecakapan” atau “ketrampilan” yang berguna, merupakan cikal-bakal dari sebutan “seni”, “ilmu pengetahuan” dan “teknologi” yang ada kemiripannya dengan arti “kagunan” dalam bahasa Jawa atau sesuatu yang berguna atau bermanfaat dalam arti luas. Orang Belanda sering menyebut “kepintaran” sebagai “Genie” atau “Jenius” yang mirip dengan “ketangkasan” atau “kemahiran” seperti istilah “techne” atau “ars” yang sepadan pula dengan pengertian “seni- kagunan” di Jawa. Sehingga sampai masa kini pun  pengertian “seni-kagunan“ sebagai “kepandaian” atau “kepintaran” atau “ketangkasan” atau “kemahiran” dan “ketrampilan” masih sering dipergunakan seperti istilah “seni mengajar”, “seni memasak”, “seni bela diri”, “seni berhitung”, “seni bercocok tanam”, “seni membaca” , “seni bangunan” dan lain sebagainya.
Sebelum Revolusi Industri di Eropa kata “ars” mencakup disiplin ilmu tata bahasa, logika, dan astrologi. Pada abad pertengahan di Eropa terjadi pembedaan kelompok ars  yaitu “artes liberales” atau kelompok “seni tinggi”  yang terdiri dari bidang tata bahasa, dialektika, retorika, aritmatika, geometri, musik dan astronomi; Dan “artes serviles” atau kelompok “seni rendah” yang mengandalkan tenaga kasar dan berkonotasi “pertukangan”. Dari tujuh bidang bidang keahlian hanya musik yang masuk “seni tinggi” , sedangkan lukis, patung, arsitektur, pembuatan senjata dan alat-alat transpor termasuk katagori “seni rendah”.  Kemudian Leonardo da Vinci (1452-1519), pelukis Italia dari masa Renaissance, mempelopori perjuangan dan berhasil memasukkan atau menaikkan seni lukis ke dalam status “seni tinggi”. Sebagai orang yang serba bisa dan memiliki kemampuan sebagai arsitek dan ilmuwan itu, Leonardo, beragumentasi bahwa melukis juga memerlukan pengetahuan “teoritis” seperti matematika, perspektif dan anatomi serta mempunyai tujuan moral seperti puisi lewat penggambaran sikap dan ekspresi wajah dalam lukisan. Suatu fenomena  kemudian terjadi bersamaan dengan Revolusi Industri di Eropa akhir abad ke 18 sampai awal abad ke 19, dimana masyarakat industri yang baru tumbuh menuntut adanya pembagian kerja dan spesialisasi kerja dalam mengembangkan proses produksi. Dalam masyarakat industri status “seni” menjadi tiga kelompok yaitu “seni tinggi” (high art), “seni menengah” (middle art), dan “seni rendah” (low art). Katagori ini masih memperlihatkan kelanjutan tradisi klasik, yaitu semakin tinggi kedudukan seni apabila semakin dekat atau tinggi tingkat integrasinya dengan industri, demikian pula sebaliknya semakin jauh tingkat hubungannya dengan industri maka semakin rendah pula kedudukan seninya. Pertemuan seni dan industri ini mengakibatkan banyak benturan, dimana penemuan-penemuan mesin-mesin produksi massal mendorong kalangan industri untuk mengembangkan teknik produksi dan hanya “menempelkan” reproduksi karya-karya seni klasik yang berstandar pada bentuk produk yang dihasilkan. Sehingga menimbulkan reaksi keras dan serius dari kalangan seniman, sebab standariasi dan mekanisasi serta penempelan begitu saja karya-karya klasik pada produk merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup seni, disamping tidak sesuai bentuk dan dengan motif dekorasi yang ditempelkan tersebut. Sehingga akhirnya seni harus memutuskan hubungan dengan ikatan-ikatan seni masa lalu yang dianggap membelenggu dan membatasi perkembangan seni, karena tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai estetika. Otonomi seni diharapkan dapat mempertegas  dan meningkatkan standar nilai estetik secara terus-menerus atau berkelanjutan. Pada akhirnya seni selalu melahirkan norma yang menjunjung nilai kebaruan, nilai keaslian dan nilai kreativitas yang lebih lanjut mendasari pandangan seni modern pada abad ke 19 – 20. Ketika seni telah menjadi komoditi dan tunduk pada hukum permintaan dan penawaran ekonomi, maka seni dianggap jatuh pada selera massa yang rendah dan seni itu menjadi seni “picisan” atau kitsch. Status rendah ini dikarenakan seni telah kehilangan “roh seni” atau “jiwa seni”. Jelaslah kiranya pengertian “seni” yang sekarang dan sepadan dengan “art” adalah datangnya dari Dunia Barat yang terbentuk pada abad ke 18 sampai abad 20.

       Istilah “senirupa” di Indonesia muncul dalam surat-surat kabar untuk pertama kali pada masa pendudukan Jepang, dalam laporan dan resensi tentang pameran lukisan. Oleh pemerintah pendudukan secara resmi istilah itu dipakai dalam sebutan “bagian senirupa” yaitu nama bagian Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan) yang berurusan terutama dalam lukis-melukis (Sanento Yuliman, 1983). Para seniman sebelumnya tidak begitu populer menggunakan istilah “seni” atau “seniman” yang sepadan dengan “ art ” atau “artis” yakni masih mempergunakan istilah “ahli gambar” pada nama PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar (kini menjadi FSRD-ITB) dan sebagainya. 

         Kamus Modern Bahasa Indonesia oleh Mohammad Zain, terbit sekitar tahun 1950, menerangkan bahwa yang masuk senirupa ialah seni lukis, seni pahat dan seni patung. Memang hingga kini dalam pemakaian populer, istilah “senirupa” sering digunakan dengan lingkup pengertian yang terbatas pada seni lukis, dan seni pahat atau seni patung. Akan tetapi pendidikan formal senirupa di Indonesia dalam perkembangannya telah memperluas lingkup pengertian istilah itu. Pendidikan tinggi seni rupa dapat menyelenggarakan sejumlah keahlian seperti seni grafis atau desain grafis atau komunikasi visual, desain industri atau desain produk, desain interior atau arsitektur interior, desain tekstil, seni keramik, seni lukis, seni patung dan seni kriya (kriya seni) kayu-logam-kulit-keramik dan sebagainya.          

       I Gusti Bagus Sugriwa dalam tulisannya Dasar-dasar Kesenian Bali,  mengatakan bahwa “seni” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “sani”, yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan atau pencarian yang jujur (IGB Sugriwa, 1957: 219-233). Seni menurut WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) yaitu suatu karya yang dibuat atau diciptakan dengan kecakapan yang luar biasa seperti sanjak,  lukisan, dan sebagainya. Atau kecakapan menciptakan sesuatu yang elok dan indah. Definisi seni menurut Ki Hadjar Dewantara adalah : “Segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya” (1962: 330). Sedangkan Thomas Munro mengatakan: “Seni adalah alat buatan manusia  untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lainnya yang melihat. Efek tersebut mencakup tanggapan-tanggapan yang berujud pengamatan, pengenalan imajinasi, rasional maupun emosional” (1963: 419).  Lebih lanjut Herbert Read  (1962), mengatakan bahwa lahirnya sebuah karya seni melalui beberapa tahapan sebagai suatu proses. Tahapan yang pertama adalah pengamatan kualitas-kualitas bahan seperti tekstur, warna dan banyak lagi kualitas fisik lainnya yang sulit untuk didefinisikan. Tahapan kedua yaitu adanya penyusunan hasil daripada pengamatan kualitas tadi dan menatanya menjadi suatu susunan. Dan ketiga yaitu proses suatu obyektifikasi dari tahapan-tahapan di atas yang berhubungan dengan keadaan sebelumnya. Keindahan yang berakhir pada tahapan pertama belum dapat disebut seni, karena seni jauh  telah melangkah ke arah emosi atau perasaan. Seni telah mengarah pada ungkapan sebagai “peng-ekspresian” dengan tujuan untuk komunikasi perasaan. 

      Berdasarkan uraian di atas dan pengertian secara umum senirupa dapat diterjemahkan (diinterpretasikan) sebagai ungkapan atau ekspresi, bentuk, arti, simbol, abstrak, indah, guna atau pakai, kepandaian atau kepintaran atau kemahiran atau ketangkasan, wakilan (representatif), cantik, molek, mungil atau kecil, rumit, halus, fungsi, kreasi, imajinasi, intuisi dan lain sebagainya yang dapat dilihat secara visual (memiliki rupa) tampak 2 atau 3 dimensional.

            Revolusi Industri (1745-1770 M) di Eropa, dimana industri massal ini kemudian menghasilkan barang-barang pakai yang menjadi murah baik dalam mutu maupun ekonomi. Memasuki suatu masa spesialisasi dan otonomi seni, dimana bidang teknik dipisahkan dengan bidang seni, sehingga seni bukan lagi bagian penting dalam keteknikan. Kejenuhan akan hasil industri, membuat orang – orang tertentu mulai menolak buatan mesin yang dianggap kaku dan polos tanpa sentuhan tangan manusia. Hal inilah yang membuat para pengusaha dan pemilik modal kembali menarik seni disaat barang atau produk pabrik tidak laku dan menjadi murah. Dalam hal ini agar supaya produk terjual atau dapat menarik pembeli kemudian para pengusaha atau industriawan membeli seni seperti barang lepas yang tidak ada hubungannya dengan produksi, kemudian menempelkan begitu saja pada benda produksinya. Mereka membeli seni dari berbagai masa seperti zaman klasik Yunani, gaya Neo-clasic, seni Barok, Rococo dan Renaissance dengan menerapkannya pada produk industri dengan seenaknya saja. Tindakkan yang keliru ini menunjukkan belum adanya  pengertian terhadap persoalan yang sebenarnya dan beranggapan bahwa seni tidak ada hubungannya dengan mesin. Saat itu belum disadari bahwa masalah tersebut dapat di atasi dengan “perencanaan” bentuk yang akan dihasilkan oleh mesin yang dikenal sekarang sebagai industrial design atau desain produk. William Morris (1870) adalah salah seorang yang mempertanyakan kembali hasil industri, dan menganjurkan untuk kembali kepada ketrampilan atau kriya atau kerajinan  tangan, yaitu mencari kemungkinan baru dengan memadukan atau mempertemukan antara fungsi yang praktis dengan seni sebagai unsur keindahan. Pertemuan antara seni dan industri sebagai “seni tengah”, yang awal kemunculannya disebut sebagai “seni industri” atau “seni dekoratif” atau “seni terapan” dan pada akhirnya disebut sebagai “desain”. Melalui gerakan “Art & Craft”  (seni dan kerajinan) memberikan nafas baru kepada barang pakai dengan menekankan pada faktor fungsi dan dekorasi sesuai dengan metode industri atau sistem  pembuatan produk dalam jumlah banyak. Selain “desain” juga “kriya”  yang termasuk “seni tengah” ini memiliki persamaan yang berkaitan dengan proses penciptaan obyek pakai. Sedangkan perbedaannya, desain menghasilkan rancangan yang berupa gambar-sketsa, foto, diagram, model, spesifikasi verbal dan numerik, maka kriya hasil akhirnya adalah benda pakai. Dalam proses desain industri realisasi produk dilakukan dengan proses manufaktur. Sedangkan kriya, produk dikerjakan secara tradisional dan manual mulai dari bahan mentah hingga menjadi produk benda pakai, sebagai tradisi techne di masa lalu. Muncullah kemudian suatu istilah “machine art” atau “Seni Mesin” yang menunjukkan perlunya unsur seni diterapkan pada produk yang dihasilkan mesin. Kemudian “seni industri” atau “industrial art” terjadi ketika mekanisasi semakin berkembang di berbagai industri manukfakturing. Sistem tersebut ternyata menuntut ketrampilan ketukangan dan wawasan industri si seniman dalam merangcang produk.


          Revolusi Industri di Inggris telah menyebabkan mekanisasi di dalam banyak hal. Barang-barang dibuat dengan sistem produksi massal dengan ketelitian tinggi. Sebagai dampaknya, keahlian tangan seorang seniman tidak lagi begitu dihargai karena telah digantikan kehalusan buatan mesin. Sebagai jawabannya, seniman beralih ke bentuk-bentuk yang tidak mungkin dicapai oleh produksi massal (atau jika bisa, akan biaya pembuatannya menjadi sangat mahal). Lukisan, karya-karya seni rupa, dan kriya seni diarahkan kepada kurva-kurva halus yang kebanyakan terinspirasi dari keindahan garis-garis tumbuhan di alam, bentuk unik dan yang rumit.



Seni, Kriya dan Arsitektur



Dalam buku Word Book Multimedia Encyclopedia, pendapat tentang ‘craft’ adalah sebagai benda kriya yang diciptakan untuk keperluan dekorasi, atau sebagai sarana ungkapan imajinasi pembuat atau ekspresi seni (Lois Moren, 1977).
Kriya memang tidak dapat dipisahkan dengan seni karena dalam produk kekriyaan ada terkadung muatan seni. Arti seni masih banyak yang memperbincangkannya, karena seni berkembang terus, masa kini kesepakatan hanya bersifat temporer dan kondisioner, semuanya tidak ada yang permanen. Seni bagaikan sesuatu yang misterius. Entah sudah berapa kali seni didefinisikan orang, tetapi sampai sekarang pandangan terhadapnya tidak pernah tuntas dan jelas. Masih saja terdapat perbedaan pendapat, tidak hanya diantara mereka yang baru saja menggeluti di dunia ini, tetapi sering kali justru diantara para pakarnya. Seni memang banyak ragamnya, yang satu dengan yang lain tidak selalu saling berdekatan, bahkan banyak juga yang berjauhan. Soedarso Sp,  Guru Besar ini, memaparkan betapa rumitnya pemahaman terhadap seni, sehingga dibutuhkan pengetahuan yang holostik untuk menjangkaunya. Dengan demikian, akan dapat secara proposional memandang terhadap kehadiran seni lain dari yang biasanya digeluti (Soedarso,Sp,1998). Ia dalam bukunya yang berjudul ‘Triologi Seni’, menjelaskan bahwa pada awalnya tidak ada istilah “Seni” maupun “Kriya” dan tidak pula ada pembagian atau perbedaan antara kedua istilah tersebut sebagaimana diartikannya sekarang. Kedua terminologi tersebut menjadi satu di bawah nama ”kegunan”, “ kerawitan” atau bahkan “kebudayaan adi luhung”.

 Dalam kamus besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa “ Kriya” adalah pekerjaan atau kerajinan tangan. “kriya atau “craft” atau “handicraft” adalah suatu yang dibuat dengan tangan, dengan kekriyaan yang tinggi, umumnya dibuat dengan sangat dekoratif atau secara visual sangat indah dan sering kali sebagai barang guna, dan dalam pembuatannya dapat menggunakan alat sepanjang si pembuat sepenuhnya dapat menguasai alat tersebut. Sesuai dengan namanya seni kriya, dibuat dengan rapi ataub halus, dengan kekriyaan atau crafmanship yang tinggi, dan dengan mengindahkan tatacara teknis yang benar, yakni penentuan bahan, dan teknik kerja yang sesuai dengan bentuk yang akan dicapai.

Seni kriya memiliki tedensi sebagai barang guna atau applied art karena seni kriya bermula dari pembuatan benda-benda yang diciptakan manusia untuk menyandang fungsi guna dalam kehidupan sehari-hari, juga berorientasi pada keindahan atau memiliki fungsi dekoratif.

Di masa yang lalu, khususnya di Indonesia, “Seni” maupun “kriya” tidak pernah dipersoalkan sebagai sebuah termologi dalam kebudayaan, juga tidak ada pembagian atau perbedaan antara kedua istilah itu sebagaimana artikulasinya sekarang. Keduanya masih menjadi satu di bawah nama “kegunan”, “kerawitan” atas kebudayaan “adiluhung”, dan yang dimaksud dengan istilah itu antara lain adalah patanggaring atau boman (penyekat ruang dari kayu berukir), wayang kulit, topeng, batik tulis, lukisan, tarian dengan gambelan pengiringnya.

 Pada zaman Jepang munculah kata “seni” sebagaimana artinya sekarang dan sementara itu karena adanya pengaruh seni dari Barat, ekspresi menjadi bagian seni yang terhormat.                                   

Dalam perkembangannya, keunggulan bersifat individual berimplikasi pada perbedaan yang tajam antara “art” dan “craft”. Art dipahami sebagai seni yang didorong untuk terus menerus untuk mencari secara kreatif dan eksploratif, sedangkan “craft” dipahami sebagai kerja ketrampilan semata, yang bisa dilatih sampai ke tingkat unggul, namun tidak segera memunculkan harapan yang menyuguhkan loncatan-loncatan kebaharuan. Dengan pandangan demikian itu, Sedyawati, berpendapat bahwa kriya dipandang rendah dihadapan seni murni (sebagai seni picisan), yang pada akhirnya berimflikasi lebih lanjut, dimana semua hasil karya seni rupa tradisi, dari daerah manapun itu adalah “hanya kriya” semata. Itupun karena sifatnya yang hanya meneruskan tradisi saja, harus dianggap lebih rendah daripada hasil kriya modern yang dihasilkan oleh orang intelektual (Sedyawati,1999,3).

 Terdapat beberapa kelompok masyarakat yang melihat bahwa kriya berbeda dengan seni, seperti apa yang terlihat di dunia Barat, dan bahkan paham ini sudah berpengaruh keseluruh dunia termasuk Indonesia. Dalam dunia Barat muncul wacana kesenian yang didasari oleh estetika ‘atres

liberals’ yang menempatkan kepekaan juga ketrampilan, telah memperoleh tempat yang penting dalam proses kreasi seni. Bandem, melihat ada kecendrungan bahwa seni merupakan ekspresi individual, dan kriya dipercaya sebagai jantung dari sebuah karya yang berguna bagi kehidupan. Seni adalah kepekaan rasa dan kriya adalah teknik, maka sesungguhnya antara seni dan kriya tidak terpisahkan dan saling melengkapi (Bandem,2002,1).


Ditinjau dari ide penciptaan, awalnya secara garis besar antara kriya dan seni memang sedikit berbeda. Kriya selalu dibuat dengan tujuan pragmatis, membuat benda yang mempunyai manfaat praktis dan psikologis tertentu. Pada kriya memang craftsmanship adalah segala-galanya Sedangkan seni diciptakan karena keinginan mengekspresikan ide dan tujuan yang ideal non praktis trasenden, dan subjektif. Seni ini timbul dari pengalaman yang subjektif manusia (Gustami, 2002: 17).


Adapun istilah “Kriya Seni” semula timbul dalam rapat konsorsium seni untuk mewadahi karya-karya dengan nilai artistik yang tinggi dan dipakai untuk membedakan dengan kriya dalam arti “Seni Kerajinan” dan “ Desain Kriya” yang akan dimassaproduksikan dan menitik beratkan teknik pembuatan serta kegunaan. Kriya seni terlahir sebagai dampak dari keinginan kriyawan akademik untuk ’menyertakan ekspresi’ yang kental pada karya-karyanya. Akhirnya, sebagaimana kondisi kriya dan seni di awal mula, kriya seni berbatasan dengan seni murni sangat tipis yaitu hanya aksentuasi pembuatannya, tekanannya pada ekspresi atau craftsmanship yang tinggi yang nota-bena keduanya mesti ada pada setiap karya seni. Yang kuat ekspresinya adalah seni murni, dan yang craftmashipnya yang kuat adalah kriya seni (Soedarso,1999:3). 

Sebetulnya yang dimaksud “kriya seni” tidaklah harus diterjemahkan sebagai seni kriya yang dalam objeknya mirip dengan seni murni, atau menjadikan seperti seni lukis atau seni patung dalam material kayu atau logam atau keramik atau benang / serat, yang merupakan bahan-bahan yang sudah lama diakrabi oleh kriyawan. Kriya seni bisa saja berbentuk batik atau keramik yang begitu indah buatannya dengan motif atau bentuknya yang merupakan ciptaan baru. Dapat disimpulkan bahwa kriya seni adalah produk seni yang bagus pembuatannya (craftmanshipnya tinggi), bentuknya indah dan dekoratif, namun satu syarat bagi eksistensi seni telah hilang, yaitu bahwa kriya jenis ini tidak lagi menyandang fungsi praktis atau fungsional, baik karena keindahanya sehingga si pemilik  merasa sayang untuk memakainya dalam kehidupan sehari-hari, maupun karena produk tersebut sejak didesain memang sudah melepaskan dari fungsi tersebut (Soedarso,2006:113).

          Bidang kriya, telah menjadi ajang perebutan antara masuk ke dalam disiplin ilmu seni atau ilmu desain. Penulis tidak ingin menambah kekusutan dari perang definisi, karena seni kriya dapat berada dan mencangkup kedua ilmu tadi, seni dan disain sehingga memungkinkan muncul dua istilah seperti: kriya seni dan kriya desain atau seni kriya dan desain kriya. Namun demikian kriya bisa dan diharapkan berdiri dan eksis tersendiri pula. Agar dapat lebih menjelaskan konsep ini, penulis mencoba mengambil contoh kasus objek ukir kayu yang berwujud sebuah lampu hias. Benda lampu hias ini akan memiliki penampilan, makna dan fungsi yang sangat berbeda dengan yang ada dipasaran, terasa unik dan khas, itu bisa berada di wilayah atau kubu mana saja atau memiliki kecenderungan-kecenderungan tertentu. Kondisi ini memberi kesadaran, seharusnya bahwa kriya memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam beraktivitas untuk memujudkan suatu karya.

         Jika produk kekriyaan telah menjadi barang-barang pesanan dalam jumlah besar, maka otomatis pertimbangan-pertimbangan seperti teknik produksi, cost, ergonomi, estetika dan nilai-nilai kepraktisan akan menjadi faktor yang penting.  Barang-barang ini cenderung dikelompokan sebagai produk kriya desain. Pada suatu saat kriyawan, bisa saja membuat hanya satu buah karya, seperti lampu hias yang unik. Jelas desain, konsep berkarya kriyawan tersebut berasal dari keinginan membuat satu benda lampu hias, sehingga lebih dekat kepada pola-pola kerja seni murni yang menghasilkan objek tunggal. Persoalan apakah benda lampu hias tersebut dikemudian hari akan diproduksi kembali dalam jumlah tertentu adalah masalah lain. Yang pasti, konsep awal pembuatannya tidak didasari oleh kriteria mass production. Bentuk kriya seperti ini lebih tepat jika masuk dalam wilayah produk kriya seni, yang diproduksi khusus atau terbatas.

           Mengkaji dan mengembangkan konsep kekriyaan dalam Komferensi Kriya di ITB Bandung (1999), berdasarkan sifatnya, kriya di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu Kriya Tradisional dan Kriya Modern / Kontemporer. Kriya Tradisional adalah segala bentuk produk hasil kebudayaan materi tradisional masyarakat, tanpa mengalami perubahan-perubahan yang berarti pada masa kini. Sebagai contoh kriya kelompok ini adalah aneka perhiasan, benda-benda perlengkapan upacara / religi, wayang kulit, senjata-senjata tradisional, seperangkat gamelan. Beberapa produk tradisional masih tetap diproduksi, terutama untuk kebutuhan pasar pariwisata. Adapun Kriya Modern/ Kontemporer adalah produk-produk kriya yang memiliki kebaruan-kebaruan dalam konsep pengembangan disain, teknik produksi dan perupaan. Bagaimanapun, Kriya Modern / Kontemporer dapat tetap berbasis tradisional, dalam arti produk tersebut merupakan hasil pengembangan dari teknik-teknik lama dan bentuk–bentuk tradisional atau bermuatan nilai-nilai filosofis masa lalu.

           Nilai teknik dalam kekriyaan erat hubungannya dengan keterampilan tangan para kriyawan. Keterampilan kriya termasuk juga kepandaian menggunakan peralatan sesuai dengan media yang dipakai. Namun seorang penganyam tidak dituntut pandai untuk menggunakan peralatan karena dalam menganyam pengrajin langsung bekerja dengan bahan. Lain halnya dengan kemampuan teknik dalam menenun. Seorang penenun harus pandai menggunakan alat tenun dalam menyusun jalinan benang-benang lungsi dan pakan. Pola tenunan dicapai berdasarkan keterampilan tangan dalam memakai alat tenun.  Dalam hal ini dibahas beberapa jenis kriya yang dibedakan antara hasil keterampilan tangan dengan hasil kepandaian menggunakan peralatan. Kadang-kadang keterampilan tangan dalam mengerjakan bahan tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan peralatannya. Karena itu akan dibahas pula jenis kriya yang kedua sarana tersebut saling berkaitan. Salah satu hasil kreativitas manusia diciptakan dengan tangan untuk berbuat sesuatu atas dasar kebutuhan hidupnya. Manusia dapat belajar dari pengalaman dalam menggunakan tangannya. Dengan pengalaman ini, tangan menjadi terampil dan dapat merangsang kreativitas dalam mencipta sesuatu, yang menjadi sarana utama dalam penguasaan teknik kriya sesuai dengan bahan yang dipakainya. Penguasaan teknik kriya berkembang bersamaan dengan perkembangan pengetahuan terhadap bahan yang biasanya, dimulai dari pengalaman mengenal karakter bahan.

           Tanah liat dari sawah semula tidak menarik perhatian para petani. Karena kebiasaan bergaul dengan tanah liat maka ia memperoleh pengalaman mengenal bahan tersebut, misalnya tanah liat bisa dibentuk dan mengeras jika mengering.

Selanjutnya pengenalan dengan tanah liat ini dapat menjawab tuntutan untuk memenuhi kebutuhan membuat wadah sebagai tempat air, tempat makanan dan sebagainya. Dengan pengalaman tersebut timbul keinginan membuat bentuk seperti yang sudah ada di sekelilingnya, misalnya bentuk bulat yang terinspirasi dari  buah-buahan atau batu-batuan. Batu-batuan yang keras dan buah-buahan inilah kemudian dipakai untuk mencetak tanah liat dalam membuat wadah yang bentuknya bulat. Semakin sering mengerjakan tanah liat orang makin mengenal karakternya seperti mudah dibentuk, dipilin dan ditempel. Maka timbul keterampilan untuk membuat benda gerabah dengan jalan memilin, menempel, membentuk, dan melicinkan tanah liat. Peralihan teknik membentuk benda gerabah dari cara memilin sampai mengenal teknik putar dengan papan pelarik adalah untuk efisiensi kerja dan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Dalam hal ini keterampilan tangan sudah dibantu dengan peralatan.

           Kebiasaan untuk memakai daun dari beberapa jenis tumbuh-tumbuhan dan pohon untuk berteduh, untuk alas tidur dan duduk atau untuk keperluan menyimpan sesuatu, menimbulkan keinginan membuat anyaman untuk keperluan serupa. Keterampilan menganyam, melipat dan merangkai daun atau serat dan kulit bambu merupakan langkah awal untuk mendapatkan keterampilan tersebut. Pemilihan terhadap bahan-bahan tersebut sebagai bahan baku anyaman dimulai dari pengalaman dalam mengenal bahan tersebut. Misalnya bahan serat dan kulit bambu sering dipakai untuk tali-temali karena keuletannya atau kelenturannya. Untuk kerajinan anyaman bahan perlu diolah dulu. Pengolahan bahan anyaman memerlukan pula kemampuan teknik tersendiri. Selesai bahan diolah keterampilan tanganlah yang dapat menjamin terwujudnya benda anyaman. Dalam hal ini pengalaman pula yang dapat mengembangkan berbagai macam teknik

menganyam dan melipat. Dengan berbagai cara menganyam berdasarkan keterampilan tangan timbulah ciri-ciri khas dari hasil keterampilan tangan tersebut. Jadi mutu kriyanya dikaitkan dengan keterampilan tangan pengrajin dalam mengerjakan bahan anyaman ini, pada tiap daerah berbeda-beda untuk diturunkan kepada anak cucunya. Kerajinan anyaman oleh beberapa pengamat dan peneliti sering dipandang sebagai pra-karya untuk kerajinan menenun. Dalam hal ini terasa bahwa untuk menenun tidak mungkin lagi hanya berdasarkan keterampilan tangan semata-mata. Perlu adanya peralatan untuk membantu cara-cara pengerjaan benang menjadi kain tenunan. Tidak dapat diketahui secara pasti mana yang lebih dahulu memulai, apakah membuat pakaian tenunan atau pakaian dengan kulit kayu. Yang jelas kerajinan mengerjakan kulit kayu untuk bahan pakaian dibutuhkan kemampuan teknik tersendiri. Dalam hal ini kualitas pakaian kulit kayu berbeda dengan pakaian tenunan karena karakter bahan yang berbeda. Keterampilan tangan dalam mengetok dan memukul kulit kayu menjamin kualitas pakaian tersebut. Semula batik sebagai hasil karya seni kriya merupakan hasil karya multi teknik dari tangan manusia. Dari teknik mengolah bahan kain katun, teknik menggambar, teknik menumpang malam, teknik mencelup, mengerok malam sampai pada teknik mencuci, semuanya berjalan berdasarkan keterampilan tangan. Mungkin sekali proses dari teknik kerja tersebut di atas dilakukan oleh seseorang secara bertahap sampai batik selesai. Bahkan kemudian tiap tahap dilaksanakan oleh orang-orang tertentu adalah karena pertimbangan efisiensi kerja dalam kriya batik mengingat proses pembuatan batik memakan waktu yang lama. Setiap tahap kerja dibutuhkan keterampilan khusus, misalnya dalam menutup kain dengan malam, dengan keterampilan menggunakan alat canting dan kepekaan dalam menarik garis-garis yang ritmik, dinamik, putus-putus dan sebagainya dikerjakan, semua berdasarkan keterampilan tangan yang bersifat sangat pribadi, yang tidak dapat diulang dan dicontoh oleh orang lain. Itulah sebabnya mengapa batik tulis lebih berharga daripada batik cap. Karena batik tulis masih mencerminkan keterampilan kerja tangan manusia yang memang masih berfungsi, tetapi dengan mempergunakan canting cap sebagai pengganti canting tangan, maka hasilnya sangat mekanis yang menghasilkan gambar yang berulang-ulang dan serba sama. Salah satu jenis kriya yang menuntut keterampilan tangan dalam mengolah bahan dan menggunakan peralatan ialah kriya logam. Membuat perhiasan dari logam mulia (emas) termasuk keterampilan tangan berdasarkan berbagai teknik pengerjaan. Kelembutan garis-garis dari hiasan pada permukaan bidang emas diciptakan oleh keterampilan tangan para “pande” emas. Demikian pula menempa besi campuran dengan logam meteor untuk batang mata keris dilaksanakan dengan tangan oleh para Empu yang menguasai teknik menempa. Hasil prestasi keterampilan tangan inilah yang membedakan dengan keris sebagai hasil karya cetakan. Seperti dalam “pande” emas, mengukir merupakan kriya yang menuntut keterampilan yang sifatnya sangat pribadi. Meskipun dalam keterampilan memahat dan mengukir tradisional, motif-motif ukiran selalu berulang, tetapi karya tangan pengukir satu dengan pengukir lainnya berbeda. Perhatikan pengukir kayu dari Asmat di Irian Jaya, dengan gaya yang sama, tampak perbedaan bekas torehan yang berbeda antara karya satu dengan lainnya. Kepekaan tangan dalam menoreh, mencukil, dan memahat permukaan kayu menentukan mutu dari kriya tersebut. Orang berkata tentang teknik ukiran yang kaku dan kasar, atau ukiran yang halus, lembut, dan sensitif. Hal ini menunjukan adanya bermacam-macam corak hasil keterampilan tangan pengukir kayu sesuai dengan bakat dan tradisi yang berlaku. Bandingkan misalnya dengan ukiran pada kursi yang dihasilkan dengan teknik mesin.


          Peralatan yang dipakai pada seni kriya adalah sarana yang dituntut untuk berproduksi dengan ciri-ciri khasnya. Hasil karya kerajinan tenunan memperlihatkan ciriciri khas dalam pola tenunannya sesuai dengan peralatan yang digunakan. Bentuk pahatan dan ukiran hanya memperlihatkan alat pahat apa yang dipakai. Bentuk bulat dan sentris dari bejana keramik diperoleh dari papan pelarik yang dipakai untuk membentuk tanah liat. Ketergantungan kriyawan dengan peralatan sebagai sarana bekerja adalah karena ingin mencapai watak dan kualitas yang khas dari karya kriyanya. Dari pengalaman mempergunakan peralatan tersebut timbul usaha untuk menyempurnakan hasil karya, baik untuk memperoleh corak baru maupun untuk memperoleh efisiensi kerja yang lebih baik. Dengan efisiensi kerja inilah dapat dijamin proses kerja yang lebih tepat yang dituntut oleh kepentingan untuk melipat gandakan hasil produksi. Papan pelarik, alat tenun, bermacam-macam jenis pahat, canting cap dan peralatan lain dalam seni kriya, adalah sarana produksi hasil teknologi tradisional. Untuk mengembangkan teknologi ini diperlukan penelitian dan usaha-usaha yang mengarah kepada mekanisasi karya agar hasil produksi bisa berlipat ganda. Hasilnya adalah diketemukan mesin-mesin yang dapat menggantikan peralatan semula yang harus dioperasikan dengan tangan. Dengan mesin ini keterbatasan kerja tangan dalam memperoleh hasil yang berlipat ganda dapat diatasi. Dengan mesin cetak atau mesin tenun dapat dicapai produksi massal dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan pada saat masih dikerjakan tangan. Mesin cetak untuk keramik mampu menghasilkan sejumlah benda keramik dengan bentuk yang sama dalam waktu singkat. Demikian pula dengan mesin-mesin cetak logam, waktu yang dipakai untuk menghasilkan benda dari besi atau kuningan dapat dipercepat. Dari segi kuantitatif perubahan waktu berproduksi tersebut memang sangat menguntungkan. Namun dengan pemakaian mesin sebagai sarana produksi maka nilainilai seni kriya menjadi berubah yang kadang-kadang dapat menghilangkan ciri khas dari karya seni kriya tersebut. Hakekat terhadap seni kriya dari pemakaian mesin sebagai sarana produksi merubah paradigma seni kriya menjadi seni industri. Permasalahannya nilai seni yang terkandung di dalamnya menjadi berubah pula. Hasil produksi dengan kemampuan teknik mesin berbeda dengan hasil karya berdasarkan keterampilan tangan. Kedua-duanya memang mampu menciptakan nilai-nilai keindahan, tetapi keindahan yang berbeda wataknya. Nilai keindahan dari keramik rakyat dari desa Pejaten di Bali, misalnya baik dalam disain bentuk maupun dalam hiasannya, hanya dapat ditampilkan melalui kepekaan tangan seniman yang sifatnya sangat pribadi dan tidak bisa dicapai dengan menggunakan mesin. Hasil kerajinan tenunan kain ikat gringsing di Tenganan, Bali menampilkan nilai-nilai keindahan yang khas lahir dari keterampilan tangan dalam menggunakan alat tenun bukan mesin. Meskipun ada kemungkinan untuk menghasilkan kain ikat dengan sarana mesin, namun ciri-ciri khas dari tenunan tersebut tidak dapat dicapai. Karena seni kriya memiliki ciri-ciri khusus yang ditimbulkan oleh keterampilan tangan, maka berdasarkan pertimbangan tertentu tidak semua jenis seni kriya dapat berubah menjadi seni industri. Kriya logam mulia misalnya selalu dipertahankan usaha kerajinan dengan mengandalkan kemampuan teknik tangan dari “pande” emas atau perak. Kadang-kadang kebutuhan untuk mendirikan industri tidak perlu meninggalkan atau mematikan usaha kerajinan. Seni keramik rakyat misalnya dapat dipertahankan terus meskipun telah berdiri industri keramik dengan pertimbangan bahwa dengan nilai-nilai yang khas dari keramik rakyat, maka usaha ini tetap memiliki hari depan yang baik sebagai bentuk usaha seni keramik. Seorang pengrajin harus dapat mengoperasikan mesin yang digunakan dengan baik, tanpa demikian apa yang diharapkan dari mesin tersebut mustahil dapat tercapai. Kemampuan mesinpun tidak akan maksimal untuk produk-produk kriya karena ada tempat-tempat yang memang tidak dapat dijangkau oleh mesin tersebut, dan di sini perlunya kelihaian tangan seorang kriyawan. Walaupun demikian, perubahan sarana teknik dalam seni kriya menjadi seni industri selain membawa perubahan dalam nilainilai seni juga berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi dan seni budaya masyarakat. Banyak bakat-bakat seni kriya di daerah tidak terbina dan akan punah. Daerah yang tadinya menjadi pusat seni kriya, tidak memiliki lagi usaha kerajinan karena tenaga pengrajin beralih profesi untuk memenuhi kebutuhan hidup baru.

           Alat tenun dan papan pelarik keramik adalah peralatan sebagai sarana usaha kerajinan yang memang tidak dapat ditinggalkan. Namun di sini peranan keterampilan tangan pengrajin masih sangat berperan dalam mengendalikan peralatan tersebut dan hasil keterampilan tangan itu masih tampak pada hasil akhirnya. Kepekaan tangan dalam menarik segumpal tanah liat yang sedang diputar di atas papan pelarik menghasilkan nilai-nilai keindahan tertentu pada hasil akhirnya. Dalam proses kerja tangan ini sering timbul hal-hal yang tak terduga sebelumnya (surprice) karena ketidaksengajaan teknik pelaksanaannya. Apa yang disebut keramik bercak (craquelure) karena ketidaksengajaan teknik pembakaran yang menimbulkan nilai keindahan. Demikian pula dengan keramik “Raku“ di Jepang misalnya, hasil seni keramik Jepang ini memperlihatkan tekstur dinding keramik yang khas yang timbul karena percobaan-percobaan teknik. Sesuai dengan perkembangan teknologi baru, adanya usaha-usaha untuk mencampurkan teknik mesin dengan teknik tangan dalam industri kerajinan, didorong oleh keinginan untuk tetap mendapatkan nilai-nalai seni kriya yang sifatnya eksklusif. 
           Dalam hal ini, teknologi ikut membantu proses kerja tanpa mengurangi nilai-nilai keindahan yang ditimbulkan oleh keterampilan tangan. Pada industri mebel ukiran, misalnya dengan bantuan teknik mesin dapat dihasilkan komponen-komponen mebel secara mekanis dalam waktu singkat dengan jumlah yang banyak. Selanjutnya untuk membuat hiasan ukiran pada komponenkomponen tertentu dari mebel tersebut, masih dikerjakan dengan teknik pahatan atau ukiran dengan tangan. Hal ini dilakukan agar mebel ukiran tetap memperlihatkan kualitas ukiran yang hanya bisa dicapai oleh tangan pengukir kayu. Hal serupa dapat dicapai pada industri kerajinan batik, setiap tahap dalam proses pembuatan batik dapat dilaksananakan secara mekanis dengan perantaraan mesin, misalnya dalam pengolahan kain katun, pencelupan warna dan pembersihan. Tetapi dalam penutupan garis-garis malam atau menembok, diusahakan agar tetap dikerjakan dengan tangan untuk mempertahankan nilai keindahan kriya batik. Ada jenis batik yang memperlihatkan motif yang mengandung bercak-bercak yang ditimbulkan oleh ketidaksengajaan dalam teknik membatik. Seperti pada keramik bercak, tekstur semacam ini timbul karena pengalaman teknik tangan yang apabila teknik batik sudah maksimal akan sukar dicapai tekstur bercak tersebut. Mencampurkan teknologi mesin dan keterampilan tangan dalam industri kerajinan, sebagian besar terbatas pada pengolahan bahan baku. Pengadaan dan pengolahan bahan baku industri kerajinan anyaman bambu, tenunan, keramik dan kerajinan kayu atau rotan, memang diperlukan untuk meningkatkan mutu bahan yang akan berpengaruh pula pada hasil karya akhir dari produk kerajinan tersebut. Hal ini memang tidak semudah yang disangka. Bagaimana tantangan dari seni kriya Indonesia dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dijawab dengan langkah-langkah penelitian dan percobaan sehingga mutu seni kriya masih dapat terjamin.

           Ekspresi dan Teknik Penciptaan dalam Seni Kriya, the art are one of the most important ways which we understand the world and ourselves, demikian dinyatakan Tamplin dalam bukunya The Arts: A History of Expression in the 20th Century, yang maksudnya adalah bahwa di dalam memahami fenomena dunia seni sebagai bahasa visual memiliki peran penting selain ilmu pengetahuan dan teknologi dengan bahasa verbalnya. Urgensi peran seni akan tampak jelas manakala rekonstruksi masa lalu sebagai anyaman atau rajutan dari berbagai pikiran, gagasan serta fantasi itu terobjektivikasi dalam beragam artefak. Arkeologi merupakan ilmu pengetahuan yang dekat terkait dengan produk-produk budaya, di dalamnya seni, sebagai objek formal sekaligus objek materialnya, sementara itu antropologi yang berobjek formal manusia, tetapi instrumen pendukungnya banyak dibantu oleh produk seni sebagai objek materialnya. Ungkapan bahwa bahasa visual lebih banyak berbicara, ketimbang bahasa verbal menjadi tidak terelakan arti pentingnya. Terlepas dari penafsiran gambar bagi masing-masing individu, yang jelas peninggalan atau apa yang telah dibahasa visualkan oleh peradaban memiliki makna yang sangat penting. Akan tetapi rupanya dalam upaya untuk memahami dunia seni demikian tidak terlalu mudah dilakukan. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, di mana bahasa sebagai ekspresi gagasan dan pikiran ditata sedemikian rupa dengan mendalilkan kaidah dan kode etik ilmiahnya, sehingga dalam pemahamannya selalu dapat diruntut pada struktur pengkalimatannya. Dalam dunia seni, ekspresi sebagai daya ungkap atas pikiran, gagasan, dan fantasi, seolah sedemikian berliku yang acap kali sulit untuk memahaminya. Seperti dinyatakan oleh Evelyn Virshup bahwa seni tidak selalu mudah diterjemahkan. Walaupun demikian dunia seni bukanlah tidak terjangkau pemahamannya oleh khalayak (audience), kecuali diri seniman sendiri. Berbagai definisi yang berkaitan dengan seni, ekspresi dan teknik penciptaan telah banyak diformulasikan ahli dari berbagai latar belakang keilmuan. Masing-masing dari filsuf, ilmuwan, budayawan, pendidik, dan seniman telah membeberkan berbagai batasan pengertian yang terkait dengan hal-hal tersebut. Akan tetapi banyaknya formulasi berbanding lurus dengan banyaknya celah yang tidak terengkuh dari masing-masing definisi yang ditawarkan, walaupun ada aspekaspek tertentu yang senada, sehingga kelahiran satu definisi akan disusul dengan kemunculan definisi lainnya. Pembahasan berikut tidak ingin memeperdebatkan perbedaan berbagai batasan pengertian tentangnya, akan tetapi mencoba mencari kejelasan peran dan korelasi antara ekspresi dan teknik penciptaan dalam seni kriya. Pembahasan terhadap masalah tersebut berangkat dari suatu pemahaman ekspresi sebagai aktivitas yang bersifat emosionalistik di satu sisi dan teknik penciptaan sebagai aktivitas yang bersifat intelektual di sisi lain. Persepsi seni kadangkala memenaragadingkan ekspresi pada puncak nilai karya absolut. sehingga menegaskan Evelyn Virshup bahwa teknik sebagai wahana (vehicle) pengungkapnya. Di samping itu adanya suatu asumsi bahwa seni sebagai suatu produk untuk sampai kepada menjadi (real / berwujud) tentu melalui proses psikis di satu sisi dan proses fisis di sisi lainnya. Bagi Thomas Munro pengklasifikasian yang berkaitan dengan proses dan juga kemampuan dalam berbagai seni akan mencangkup dua hal. Pertama, berkaitan dengan perilaku yang diamati secara eksternal yang mencangkup: somatik, gerakan anggota badan dan otot, dan sering kali penggunaan peralatan dan instrumen. Sedangkan yang kedua, berkaitan dengan bathin, psikis, aktivitas mental yang secara longgar dibimbing dengan otak dan sistem syaraf pusat.  Pada proses psikis berkaitan dengan symptom spiritual atau jiwa yang meliputi: ide, emosi, dan pikiran sedangkan proses fisis bertalian dengan persoalan teknis material. Ekspresi yang bermatra emosional dan teknik penciptaan yang berdimensi intelektual bukanlah fenomena yang berseberangan, keduanya akan mewarnai keberadaan seni. Bagaimana keberadaan masing-masing dalam karya seni merupakan permasalahan yang juga akan diungkap dalam bahasan ini. Ekspresi adalah ungkapan tentang rasa, pikiran, gagasan, cita-cita, fantasi, dan lain-lain. Sebagai suatu ungkapan, ekspresi merupakan tanggapan atau rangsangan atas berbagai fenomena sosial, kultural dan bahkan politik, yang memungkinkan terjalarnya pengalaman subjektif dari seniman kepada orang lain. Sebagai jiwa, ekspresi merupakan kristalisasi pengalaman subjektif seniman terhadap berbagai persoalan yang dipikirkan, direnungkan, dicita-citakan, diangan-angankan, dan apa yang difantasikan. Realitas itu menjadi sumber inspirasi lahirnya ide-ide dalam karya ciptaan seniman, sehingga ekspresi merupakan akumulasi ide yang membutuhkan sarana pengungkap, karena ide bukanlah sekedar ide tapi harus direalisasikan. Pada hakekatnya seni adalah bahasa komunikasi, baik bagi seniman itu sendiri dalam berdialog dengan karyanya secara internal, maupun dengan masyarakat secara eksternal. Seni sebagai wahana komunikasi antara seniman dengan masyarakatnya, secara mutlak harus menghadirkan karya sebagai media komunikasinya. Oleh karena itu komunikasi dengan karya menjadi penting artinya. Karya seni sebagai hasil belum sempurna jikalau karya tersebut tidak dikomunikasikan kepada penonton (audience), sehingga karya seni sebagai hasil dialog bagi seniman menjadi sarana komunikasi. Karena itu, ide, pikiran, fantasi, angan-angan dan lain-lain penting untuk diobjektivikasi, direalisasi, dimanifestasikan ke dalam bentuk konkrit lahiriah. Hal ini hanya mungkin dilakukan dengan menciptakannya, dan tentu untuk menciptakannya memerlukan apa yang disebut teknik.

           Teknik menjadi bagian sentral bagi seniman, karena betapapun tingkat kemampuan seorang seniman tidak dapat lepas dari persoalan ini. Ide, pikiran, cita-cita dan lain-lain menjadi pendorong tentang apa yang hendak diekspresikan dan teknik menjadi sarana bagaimana untuk mengungkapkannya. Teknik menjadi mutlak bagi seniman, karena tanpa teknik, ide, pikiran, fantasi dan lain-lain yang dipikirkan, direnungkan, dikhayalkan oleh seniman akan tetap tinggal ide, tidak membekas bagi orang lain. Karya sebagai wahana komunikasi untuk dapat dihayati, dicermati dan barangkali sampai ketingkat dipahami menuntut visualisasi dan realitas. Teknik merupakan kendaraan di mana ide hendak diantarkan. Sebagai suatu kendaraan seniman dituntut menguasai teknik untuk dapat mengendarainya ke tempat tujuan yang diinginkan. Akhirnya, ekspresi dan teknik penciptaan dalam seni adalah dua hal yang saling terkait. Ekspresi tanpa teknik akan berjalan gontai, sedangkan teknik tanpa ekspresi akan berjalan tanpa akhir atau dengan kata lain produktivitas yang hanya mengandalkan teknik akan menghasilkan karya yang kurang bermakna, kurang berbobot sedangkan kekayaan ide yang menjadi modal dasar ekspresi tanpa teknik dalam artian tidak merealisasikannya adalah suatu kualitas yang semu karena tidak diwujudkan. Kesulitan dalam memahami seni telah mendorong para pemikir dan pelaku seni mencoba menguraikan dan menjelaskan konsep yang bertalian dengannya. Oleh karena itu banyak definisi seni yang diformulasikan dalam upaya memahami persoalan tersebut. Batasan tentang seni telah banyak disodorkan oleh ahli yang masing-masing memiliki titik tekan yang bervariasi. Seni didefinisikan sebagai hasil karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman bathinnya yang disajikan secara indah atau menarik sehingga merangsang timbulnya pengalaman bathin pada manusia lain yang menghayatinya, yang dilahirkan oleh dorongan untuk melengkapi dan menyempurnakan derajat kemanusiaannya,memenuhi kebutuhan sepiritual seperti yang telah dirangkum Soedarso Sp. dari beberapa definisi terdahulu. Betapapun sensitifnya seorang seniman terhadap lingkungan di sekitarnya, ia tidak dapat mengkomunikasikan apa yang ia rasakan kecuali kalau ia melatih dirinya sendiri untuk mengontrol tangannya dan jenis peralatan yang digunakannya. Ia membuat sesuatu seperti halnya seorang kriyawan, ia menyesuaikan bahan dan metode terhadap makna yang ingin diekspresikan. Seni adalah suatu bentuk ekspresi. Sebagai suatu bentuk, seni hadir sebagai responsi realitas melalui serangkaian kegiatan, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah seniman. Masing-masing tataran kegiatan itu saling berhubungan, tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Untuk sampai pada bentuknya, kegiatan seni berawal dari pengamatan untuk menangkap substansi yang menggugahnya, menginkubasi serta merealisasikannya ke dalam suatu karya. Sebagai suatu bentuk ekspresi, ide, pikiran, emosi, fantasi dan lain-lainnya itu dapat merujuk (terinspirasi) melalui berbagai realitas, baik yang bersifat kasat mata maupun maya, yang menggugahnya. Visualisasinya dapat menggugah secara langsung melalui kesan kuat yang terindikasi melalui garis, bentuk, dan warnanya atau melalui subjek matter yang memotret realitas sosial yang memilukan. Atau dapat juga hadir melalui serangkaian langkah yang penuh pertimbangan dan perhitungan. Ekspresi hadir dalam berbagai medium ungkap seni, ia telah memilah dan memilih aliran tertentu untuk dapat dikatakan sebagai seni yang memiliki ekspresi. Karena ekspresi, dalam makna yang luas dapat hanya menunjuk karakter keekspresifannya (expressiveness) yang spontan menggetarkan semata, akan tetapi dapat juga gugahan untuk merasakan ekspresi itu tersembunyi di balik tampilannya. Sehingga ekspresivitas yang dibawakan tidak secara serta merta ditangkap oleh audience, akan tetapi pada perenungan yang tersisa dari amatan yang dilakukannya. Akan tetapi yang jelas untuk dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan, digagaskan, diimpikan, difantasikan, dan dirasakan seorang seniman tidak begitu saja mampu memberi bentuknya. Ekspresi sebagai bahasa ungkap bagi seniman mempersyaratkan keterampilan dan kemampuan. Ia tidak sekedar kemampuan menangis atau tertawa yang in born ability, akan tetapi melalui serangkaian latihan, percobaan sehingga mencapai penguasaan yang mahir. Panorama teknik penciptaan juga sangat menjolok hadir sebagai persyaratan dalam menghasilkan produk dalam seni kriya.

           Seni kriya yang pada situasi awal secara jelas dan tegas menunjukan ketidak terpisahannya dengan fungsi praktis. Teknik penciptaan sebagai wahana mengungkapkan ide bagi pelakunya menjadi bagian sangat penting. Hampir pada setiap langkah penciptaannya, seni kriya penuh pemikiran terkait dengan bahan, teknik serta konstruksinya, sehingga seolah-olah tidak ada ruang gerak bagi ekspresi. Akan tetapi bukan berarti bahwa produk seni kriya nihil ekspresi. Pencermatan terhadap produk-produk prasejarah melalui torehan garis pada tanah-tanah liat maupun bentuk-bentuk pahatan pada batu, misalnya karakter garis yang dihasilkan menyiratkan keekspresifannya. Dalam variasi produk yang lain, nilai keekspresifannya juga menghiasi relief atau ukiran pada elemen arsitektural rumah hunian. Seorang Empu, untuk menciptakan sebilah keris membutuhkan waktu tidak hanya dalam proses garapan, yang tekniknya dilakukan secara sistematis dalam pencapaian nilai-nilai eksetoriknya, akan tetapi membutuhkan waktu panjang dan dengan melalui tahapan-tahapan mistis untuk memberikan muatan nilai isetoriknya. Dalam relief candi seperti Borobudur, misalnya walaupun atmosfir religius demikian kuat akan tetapi fragmentasi yang hadir padanya membawa interpretasi keluasan makna. Relief tersebut tidak sekedar rangkaian komposisional yang berdemensi keagamaan, akan tetapi padanya juga mengekspresikan (dalam arti luas) gagasan atau

pikiran yang bersifat edukatif terhadap kehidupan yang lebih baik. Ajaran yang bersifat moral termanifestasikan ke dalam relief yang membantu memudahkan pemahaman hidup menuju ke nirwana. Teknik penciptaan untuk mengungkapkan ajaran moral keagamaan secara visual ilustratif itu memudahkan pemahaman terhadap gagasan, pikiran yang hendak disampaikan kepada umatnya, merupakan suatu ekspresi religius yang dikomunikasikan melalui fragmentasi relief. Jadi ekspresi bukanlah monopoli salah satu aliran maupun cabang seni, ia hadir dalam berbagai manifestasi dengan beragam medium ungkapnya. Demikian juga halnya persoalan teknik, ia akan selalu menyertai kehadiran karya seni. Persoalan teknik ini, seringkali memperoleh apresiasi komprehensipnya tanpa meninggalkan teknik. Kerena betapapun masalah teknik berkaitan dengan aspek improvisasi karya, sehingga dapat dikomunikasikan kepada orang lain, selain tujuan untuk memberi karakter dan isi karya seni. Sehubungan dengan itu, membedakan teknik karya sebagai wahana komunikasi emosional dengan nilai dan karakter emosi yang diekspresikan, yang pertama terkait dengan bentuk yang dapat dikomunikasikan secara efektif oleh seniman dalam karyanya dan yang kedua terkait dengan kemanfaatan emosi. Dan untuk menjiwai suatu karya perlu dipilih dan dipertimbangkan materi tertentu, karena materi mendukung atau bahkan menjiwai (menghidupkan) karya seni. Sementara itu ekspresi menuntut adanya perwujudan material, supaya seni tidak hanya berhenti sebagai imajinasi belaka. Sebagai wahana ekspresi, teknik penciptaan menyertai berbagai perwujudan karya, ia tidak memilah dalam peruntukannya bagi seni-seni modern semata, akan tetapi juga tampak pada seni-seni primitif maupun pada waktu-waktu sesudahnya. Demikian dalam seni murni maupun seni terapan, keduanya mutlak membutuhkan jasa teknik sebagai pembingkai ide yang digagaskan oleh seniman.


Dari buku : Produk Kekriyaan, 2011
Email: goesmul@gmail.com / Hidup dan Seni / Blogspot.goesmul.com 

                              Pustaka                                                                           

Anonim, 2006. Jurnal Ilmu Desain, dalam : Imam Buchori Zainudin, Desain, Sains Desain dan Sains tentang Desain: Telaah Filsafat Ilmu. hal. 17 – 34
Anonim,  2006. Jurnal Ilmu Desain, Widagdo, Estetika Dalam Perjalanan Sejarah: Arti dan Peranannya dalam Desain. hal. 3-16
Anonim, 1995. Creativity and Madness: Psychological Studies of Art and Artist  Burbank, Aimed Press, hal.18
Anonim, 2005, BAHASA DAN SENI, Tahun 33, Nomor 1, Februari 2005
Astuti, Ambar. 1997. Pengetahuan Keramik. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Atmosudiro, Sumijati, dkk, Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya, SPSP. Prv.JawaTengah dan Jur. Arkeologi FIB-UGM
Atmosudiro, Sumijati. 1984. Notes on the Tradition of Pottery Making in the Region of Kasongan, Regency of Bantul. dalam Satyawati
Donald Tamplin. 1991. The Arts: A History of Expression in the 20th Century. London: Harrap, hal. 7
Enget,dkk, 2008. Kriya Kayu untuk SMK, Jilid 2, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, hal. 421 – 424.
Francis, Abraham M. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum Pembangunan. Yogyakarta.
Feldman, B.F. 1967. Art As Image and Idea. Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice Hall Inc.
Gustami, Sp. 1985. et al., Pola Hidup dan Produk Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
Gustami, Sp. 1988. Seni Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta: Kontinuitas dan Perubahannya , Tesis S2 Universitas Gajah Mada.
http://www.google.co.id/produk, akses 3/08/2010
Haryono, Bedjo. 1995-1996. Pembuatan Kerajinan Tanah Liat Tradisional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman DIY.
Konperensi Kriya, 1999. Tahun Kriya dan Rekayasa 1999,  Institut Teknologi Bandung, 26 Nov” 99.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia Jakarta.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. (Terj. Hasti T. Champion), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Manhei, Karl. 1985. Sosiologi Sistematis. (Terj: Soerjono Soekanto), Rajawali, Jakarta.
Manuaba, Bunga Rampai Ergonomi Vol. 1, Kumpulan Artikel PS Ergonomi – Fisiologi Kerja, Unud Denpasar, 1998, Hal. 1
Manuaba, Catatan Kuliah S-2 Ergonomi, 2006
Muchtar, Bud. 1991. Daya Cipta di Bidang Kriya dalam Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. B.P. ISI. Yogyakarta.
Munro, Thomas,1969. The Arts and Their Interrelations. Cleveland and London: The Press of Case Western Reserve University
Soegondho, Santoso. 1995. Tradisi Gerabah di Indonesia: Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Kini. Himpunan Keramik Indonesia, Jakarta.

Stark, Miriam T. and William A. Longacre. 1993. Kalinga Ceramics and New Technologies: Social and Cultural Contexts of Ceramics Change, dalam W. D. Kingery (Ed), Ceramics and Civilizition: The Social and Cultural Contexs of New Ceramic Technologies. Volume VI, The American Ceramic Society, Westerville, OH.
Sritomo W. Subroto, Proceeding Seminar Nasional Ergonomi 2006, 21-22 Nopember 2006, Auditorium Ged. A-D Usakti, Jakarta, hal. 11
Soedarso Sp., 1987. Tinjauan Seni: Pengantar Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakarta
Tamplin, Donald, 1991. The Arts: A History of Expression in the 20th Century. London: Harrap
Virshup, Evelyn,1995. Jackson Pollok Art Versus Alchohol. dalam Barry Panter dan Virshup. Creativity and Madness: Psychological Studies of Art and Artist. Burbank: Aimed Press, 1995.
Wiyoso Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Wiyoso Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,  hal.151.
Yuswadi Saliya, 1999. Pendekatan Interdisiplin dalam Desain: Suatu Penjelajahan Awal. Hal. 785 – 8



Hidup dan Seni
blogspot.goesmul.com / Hidup dan Seni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar