Laman

Pengikut

Jumat, 09 Maret 2012

PERBEDAAN CARA PANDANG DALAM ISLAM

PERBEDAAN CARA PANDANG DALAM ISLAM
 Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni.blogspot.goesmul.com.islam
goesmul@gmail.com
 
        Manusia telah ditakdirkan untuk hidup dalam pergaulan antar individu, bermasyarakat, berkelompok-kelompok, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, baik bersifat lokal, nasional, regional maupun global dengan berbagai ciri khas masing-masing seperti adanya jenis ras, warna kulit, ukuran tubuh dan pola hidup dipengaruhi oleh lingkungan alam sekitar serta ragam budaya, adat dan agama, tata nilai yang turut menyertainya. Namun demikian sebagai manusia, tentu sama saja di hadapan Allah SWT.

          Manusia bisa saja sama persis rupa dan bentuknya, tetapi tetap ada perbedaannya satu dengan lainnya, terutama masalah batin-ruhaninya, cara berfikirnya, cara hidup dan memandang kehidupan. Apalagi tentang masalah keagamaan yang menyangkut keimanan (keyakinan) seseorang, ada yang sekedarnya saja, ada yang merasa ragu-ragu, dan ada yang memang bersungguh-sungguh, serta ada yang dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya, pengalamannya, pendidikannya dan sebagainya.

          Menyangkut cara pandang dan berfikir manusia, ini tergantung bagaimana cara dalam memandang dan pola berfikir sebelumnya yang telah membentuknya. Tentu setiap orang atau kelompok masyarakat tertentu mempunyai nilai-nilai tersendiri, yang sedikit banyak mempengaruhi dan mewarnai cara hidup atau pola berfikir tersebut. Apabila seseorang melihat sesuatu dengan kaca mata merah atau hijau atau biru atau kaca berwarna lainnya, tentu hasil dari penglihatannya itu pun akan sama atau menyesuaikan dengan warna-warna kacamata yang dipakai, dan juga dari sudut mana ia memandang (ke-atas, ke-bawah, kiri, kanan, muka atau belakang). Bila demikian tentu, pengaruh dari alat dan cara atau sudut pandang serta lingkungan yang membentuknya itu sangat dominan memberi andil, baik sedikit maupun banyak mempengaruhi cara atau pola dalam berfikir dan hasil opini. Apabila kita hendak menginginkan hasil yang mendekati akan kebenaran dan hasilnya sesuai dengan aslinya yaitu dengan cara melihat dari dekat seperti apa adanya atau harus menggunakan kaca mata yang juga netral dan itupun tergantung dari pada keterjangkauan dari jarak pandang yang tentunya bisa terlihat dengan jelas. Jika mata mengalami rabun atau tidak sehat bisa saja semuanya menjadi kabur dan kurang jelas. Kesahihan informasi dan komunikasi dengan sumber-sumber yang jelas merupakan syarat mutlak untuk mencapai kebenaran sejati. Cara berfikir orang juga demikian, banyak hal yang tidak sama, ada kemampuan, kebolehan, ada pula kelemahan dan ketergantungan serta ketidak-sempurnaan. Walaupun kini perkembangan ilmu dan teknologi dapat memperjelas dan mempercepat serta mempermudah penyelesaian masalah-masalah  kehidupan, namun tetap saja manusia itu bisa khilaf, lupa, tidur, tak sadar, sakit dan bisa tak berdaya sama sekali seperti orang yang tua-renta (uzur), dan juga bisa karena kemiskinan dan kebodohannya.

          Memang tidak dipungkiri adanya perbedaan dalam berbagai hal. Dan perbedaan itu terlihat hanya dari pandangan manusia semata, di karenakan adanya perasaan yang tidak puas akan sesuatu hal, lalu melahirkan perbedaan di sana-sini. Seringkali dikarenakan timbulnya perbedaan itu karena perasaan tidak puas yang ada pada diri maka terjadilah suatu perdebatan, perselisihan, pertengkaran, merasa paling benar dan sampai  berujung pada perkelahian dan pertumpahan darah. Jika demikian adanya, maka jalan yang membawa rahmat dan keselamatan agar tidak terjadi perselisihan, pertengkaran, merasa paling benar dan lain sebagainya, maka segera dikenali siapa yang mengadakan perbedaan itu kemudian di mengerti bahwa Allah SWT tidak menciptakan akan sesuatu dengan sia-sia. Semuanya tentu ada makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya, terutama bagi mereka yang mau merenungkannya dan memikirkannya. Sehingga ada yang berujar biarlah mawar tumbuh berduri, akan tetapi warna-warni atau merahnya terlihat merekah dengan indahnya dan baunya pun sangat khas wanginya serta menarik hati. Biarkan juga buah durian itu berduri yang terlihat mengerikan, akan tetapi bila dibuka dan menikmati rasa yang ada di dalamnya sungguh menggoda selera dan bau harumnya pun sudah tercium dari beberapa meter. Biarlah  manusia itu tempatnya salah dan lupa, karena memang itu adalah fitrahnya, tetapi ketahui dan renungkanlah bahwa di dalamnya terdapat rahasia (sirr) Allah sebagai pusat rahmat bagi sekalian alam. Maka tebarkanlah cara mengingat rahasia Allah (dzikir sirr) itu kepada manusia dan sekalian alam serta bersilaturahim, jangan pula berpecah belah,  jadilah Rahmatan Lil Allamin, terikat erat dalam satu keluarga besar ummat Islam yang indah. Sesungguhnya manusia itu tercipta dari sepasang laki laki dan perempuan lalu beranak cuculah dan menjadi bersuku-suku serta berbangsa-bangsa agar saling kenal-mengenal satu dengan yang lain, bersilaturahmilah dengan menebarkan cinta damai dan kasih sayang kepada sesama manusia karena mereka semua adalah saudara.

          Perbedaan dalam Islam adalah wajar saja dan bahkan dapat diharapkan untuk memperoleh hikmahnya. Perbedaan-perbedaan pandangan itu sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW. Pelaksanaan ibadah dan peramalan dari sumber yang sama, namun para sahabat Nabi (Abu Bakar, Usman, Ali dan Umar) pelaksanaannya ada yang sama ada pula yang berbeda dan itu semua dibenarkan oleh Rasulullah, tentunya dengan kebijakan, alasan dan pemahaman yang masuk akal.

          Al Qur’an dan Sunnah aslinya memang berbahasa Arab, di dalamnya terdapat beragam variasi kata dan kalimat sebagaimana layaknya pembicaraan orang-orang Arab, seperti adanya bentuk haqiqah dan majâz. Baik didalam bahasa Arab maupun dalam bahasa lainnya, ada tata bahasa dan ada juga gaya bahasa. Ada metafora, kiyas, personifikasi dll. Bila kemudian Al-Qur’an memiliki itu (gaya bahasa) adalah sangat wajar, bukankah Al-Qur’an diturunkan ketika kesusasteraan di Arab disana sedang marak. Dan mereka sampai terkagum-kagum dengan bahasa Al-Qur’an dan kemudian masuk Islam. Seharusnya demikian, karena tuntutan akal, ilmiah dan amaliah, ketinggian nilai dan saratnya dengan makna hidup dan kehidupan. Karena kajian yang beragam dengan cara pandang dan pola berfikir yang juga bertingkat-tingkat, berlapis-lapis, sedemikan banyaknya golongan dan kecenderungan, sehingga akhirnya banyak pula aliran dalam Islam. Permasalahannya adalah pada sekitar “membantah” dan “mendebat” setiap nash yang diajukan seseorang dalam upaya amar ma’ruf nahi mungkar, dan ini semua tidak terbantahkan. Jikalau demikian mestinya ada riset untuk membuktikan kebenaran ajaran itu yang bersifat ilmiah dan amaliah sehingga bisa merasakan hingga haqul yakin. Namun pada kenyataanya, ada yang berbalik arah dan meninggalkan nash tersebut, sambil berkata kami juga Islam, kami juga beriman, kami menjalankan shalat, kami puasa, kami berzakat dan kami berhajji. Maka renungkanlah ayat di bahwah ini: ”Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya. Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Qs. Al-A’raaf : 146-147). Lalu: ”Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Quran itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang” (Qs. Maryam : 97). Dan :”Sesungguhnya Kami mudahkan Al Qur’an itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran” (Qs. Ad Dukhaan : 58). Dari ayat diatas jelas tujuan Allah SWT. menggunakan bahasa Arab dalam perkataan-perkataanya tidak lain adalah agar Nabi Muhammad SAW. dan para sahabat-sahabatnya mengerti apa yang dimaksudkan dalam setiap firmannya : ”Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al Qur’an) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (Qs. Fushshilat : 45). Lalu, ”Alif laam raa”, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah, Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (Qs. Huud : 1).

           Apa yang diungkapkan disini pada saat ini dikenal sebagai ilmu tafsir, dan tidak ada ilmu yang diturunkan langsung dari Allah SWT, kecuali ilmu laduni (Allah sendiri yang mencerdikkan) kepada ummatnya dalam rangka menjaga agama yang disyariatkan-Nya, dan ilmu ini juga berguna bagi pembela kebenaran dalam membenahi berbagai kesalahan yang terjadi ditengah-tengah ummat. Namun tak jarang pula saat ini, ilmu tafsir digunakan juga oleh para ahli bid’ah dalam upayanya untuk membela dirinya sendiri atau kelompoknya dalam rangka mencari pembenaran dan bukan kebenaran. ”Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka” (Qs. Asy Syuura : 14). ”Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir” (Qs. Al-Mu’minun : 4).

          Sudah diketahui pada umumnya, bahwa seluruh ilmu pengetahuan itu untuk mendorong, menguatkan dan menjadikan seseorang muslim yang bersifat kaffah dan juga telah beramal sholeh seperti juga para sahabat Nabi, Tabi’in dan seterusnya sehingga kini. Atas dasar itulah Allah berfirman : ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Qs. 3. Ali ‘Imran : 110).

          Perbedaan-perbedaan dimasa kini, dengan begitu banyak kolompok / golongan yang ada, harus disikapi dengan bijaksana dan penuh kasih-sayang disertai akhlaq yang baik. Akan tetapi bila disikapi dengan arogansi seolah-olah menganggap bahwa dirinya atau kelompoknyalah yang paling benar, bahkan memvonis seseorang atau kelompok lain itu sesat dan kafir adalah sangat menyedihkan, apalagi hanya memperoleh informasi yang tidak lengkap serta dari sumber yang tidak benar pula.
         
          Dalam perkembangan sejarah Islam, H.A.R Gibb memberikan kesimpulan dalam tesisnya yang cukup menarik untuk disimak yaitu: ”Islam memiliki sejarah yang sangat panjang tidak hanya dari sudut pandang ekspansinya (pelebaran kekuasaan pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Usman, Umar dan Ali r.a) akan tetapi juga diwarnai dengan munculnya pertikaian dan perdebatan panjang mengenai faham antar elit yang sama-sama mewakili suatu otoritas, yaitu otoritas hukum agama (Ulama fikih) dan otoritas spiritual-Sufi (Ulama Tasauf, Syeakh). Pertikaian dan perdebatan panjang itu telah banyak mengorbankan sisi lain perkembangan peradaban Islam yang sangat hebat dan toleran” [1]  Dimana saat itu Islam melakukan ekspansinya hingga menguasai dua pertiga dunia. Dan sepanjang abad ke II H / 8 M sampai abad ke III / 9 M merupakan awal mula pergolakan perdebatan pemikiran fikih dan ke-sufi-an (spiritualis), sehingga muncul ‘rasa permusuhan’ atau ‘ketidaksukaan’ yang ditanamkan ahli hukum sampai-sampai mempengaruhi lintas politik dimana para penguasa turut melegitimasinya. Hal inilah yang menjadikan Islam mengalami ‘kemunduran’ baik intelektual maupun peradaban, sehingga para peneliti barat dan orientalis mengulas sisi ini yang kemudian mendiskriditkan Islam, memecah-belah ummat Islam dan sikap apriori hadir antar  golongan Islam. Sampai kini pun mereka para orientalis itu telah berhasil memberikan semacam ‘image Islam’ yang menyudutkan dan menyakitkan (seperti ‘teroris’), yaitu hasil kerja yang dilakukan oleh kelompok kaum Islam garis keras (Fundamentalis-Radikalisme) yang tidak toleran dan tidak menyebarkan perdamaian, melalui jalan panjang dan  berliku. Akhirnya, dimulai menjelang abad ke IV / 11 M, rekonsiliasi antar pemahaman mulai dilakukan antara syariah dan hukum Islam dengan jalan spiritual kesufian, seperti Abu Thalib al-Makki (990 M) dengan kitabnya ”Qut al-Qulub” sebagai panduan, dan berikutnya Al Ghazali (wafat 505 H / 1111 M) dengan buku “Ihya’ Ulum al-Din” yang mengubah kecurigaan dan permusuhan menjadi  pemberi pencerahan dan inspirasi baru terhadap hukum-hukum syari’ah dan jalan spiritual menuju jalan tarekat dalam tasauf Islam. Abd al-Qodir Al-Jilani (wafat 561 H / 1166 M) mengukuhkannya dengan kitabnya ”Al-Qhunyah”. Setelah abad ke IV dan seterusnya tarekat-sufi meluas mengakar di wilayah-wilayah muslim dan lebih mendalam lagi pada persoalan kehidupan sosial keagamaan. Seperti penjelasan Macdonald bahwa: ”...ketegangan itu semakin mereda dan memberi jalan masuknya sesuatu yang mirip keseimbangan. Tarekat-tarekat inilah dianggap telah dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan personal dan masyarakat dalam keberagaman keagamaan. Dikalangan ummat muslim seakan memberikan peranan penuh kepada emosi (ekspresi) keagamaan mereka tetapi umumnya sangat berhati-hati. Juga tarekat itu dapat menghindari timbulnya perselisihan dengan ilmu kalam ortodoks. Para Fuqaha dan teolog Islam (Mutakallimun), secara jalas dan bebas memasuki tarekat-sufi dan mereka membantu menciptakan keseimbangan untuk mencapai puncak abad 17 dan 18 M dalam bentuk korelasi dan interaksi yang harmonis”.[2] Lebih lanjut perkembangannya tidak ada lagi pemisahan antara otoritas ilmu-ilmu ke-Islam-an dan mendapat legitimasi kuat dari masyarakat muslim. Berbagai perkumpulan dan organisasi kemasyarakatan di dunia muslim kerap dipegang oleh syekh yang sufi-tarekat, ahli hadits, ahli tafsir, ahli fikih dan ahli ilmu kalam. Pada peradaban Melayu dimulai hingga mencapai puncak ketinggian kultural dan intelektual karena peranan sufi dengan tasaufnya dalam ilmu tarekat Islam pada kurun awal abad 10 H / 16 M sampai abad 11 H / 17 M. Diperkuat pernyataan Al-Attas yang mengatakan bahwa: “Tasawuf memainkan peran terbesar dan paling menentukan dalam membentuk pandangan religius, spiritual, dan intelektual di kepulauan Melayu.[3] Tasawwuf  telah dapat memelihara dan mempertahankan budaya serta penyebaran Islam, mempengaruhi kehidupan dari seni sampai pendidikan. Osman Bin Bakar menyimpulkan “.......dibawah pengaruh kolonialisme dan modernisme, warisan intelektual dan spiritual Melayu diwariskan oleh para sufi hanya hidup dikalangan tradisional. Belakangan, tampak muncul kebangkitan dan daya tarik di berbagai kelompok, termasuk elit-elit modern yang terpelajar. Barangkali demikianlah adanya, tasawuf tetap menjadi bagian integral dari kehidupan religius dan kultural Melayu dan sumber spiritualitas hingga kini.[4] Sehingga Syaikh Ali Ibn Ahmad al-Busyanji (kutipan Willam C. Chittick) yang berungkap bahwa ”Dahulu tasawuf adalah sebuah realitas tanpa nama, akan tetapi saat ini , ia adalah sebuah nama tanpa realitas.[5] Para penguasa dalam sejarah Islam, seperti Sultan-sultan kebanyakan berasal dari kalangan Sufi-Tarekat. Dan dalam peradaban tak kalah pentingnya kaum sufi sangat berperan dalam pengkayaan khasanah kesusastraan, seni, arsitektur, gaya hidup serta budaya Islam, seperti Jalaluddin Rummi dan An-Nuri dan lainnya.   Terjadinya asimilasi otoritas Ilmu ke-Islam-an yang ada menjadi faktor penentu bagi pengembangan peradaban Islam menjadi gerakan dak’wah Islam. Untuk itulah perlu kiranya pemahaman Islam yang tuntas dan keseluruhan (kaffah) sehingga menjadikan kaum Islam bersatu kembali dan disegani seperti masa kejayaan dahulu di zaman Nabi SAW serta dapat membentuk masyarakat dunia Islam yang damai, sejahtera dan maju atau ‘masyarakat madani’ yang kita idam-idamkan. 

               Suatu hal yang mengejutkan terjadi di Inggris pada hari Jum’at tanggal 8 Pebruari 2008, adalah syariah Islam menjadi perbincangan kontroversi dimana terdapat suatu pernyataan yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dari seorang Dr. Rowan Wiliams, beliau adalah sebagai pemimpin tertinggi dari Gereja Anglikan Inggris, yang mengatakan adopsi sejumlah syariah Islam dalam dasar hukum Inggris adalah hal yang tak terhindarkan.   Sebab, syariah Islam tak sering bertentangan dengan struktur dan pola hidup warga Inggris, Ia mengakui bahwa syariah Islam mencakup aturan yang luwes, tapi komprehensif. Dia mencontohkan, tiap muslim yang terlibat sengketa dari pernikahan sampai finansial dapat menemukan solusi yang menunjukkan betapa lengkapnya syariah Islam. [6]


          Melihat kembali adanya fenomena kehidupan dalam beragama dan keberagaman menjadi sebagai langkah  upaya dan kebutuhan yang mendesak. Agama yang diandaikan sebagai ajaran, simbol, doktrin dan metode, untuk menemukan kebenaran dan kesejatian itu, didalam realita prakteknya seringkali menimbulkan pelbagai ketegangan seperti adanya klaim kebenaran-kebenaran (sult hat al-hakiqah) baik secara normatif-formal maupun metodologis ilmiah, sampai dengan tingkatan sensitivitas tertentu dari berbagai pengalaman sepiritual yang bersifat kemampuan dari setiap individu. Untuk melengkapi renungan dengan mengutip ayat yang lain dari Al-Qur’an , seperti surat An Nuur, 24 ayat 39 : “Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memenuhi perhitungan-Nya dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. Dengan menambahkan ayat ini, maka sudah semakin kuatlah perhitungan atas orang-orang kafir, perbuatan mereka semuanya akan sia-sia dan semu bagaikan sebuah fatamorgana. Seolah-olah ada dan bermanfaat padahal tidak ada dan tidak berguna sama sekali, dan ia tertipu oleh pikirannya sendiri (setan) yang pada akhirnya penyesalan tidak berujung. 

          Sebenarnya ummat Islam di Dunia ini terdiri dari banyak kelompok-kelompok atau golongan, ada negara-negara Islam, organisasi-organisasi Islam, perkumpulan-perkumpulan pengajian dan sebagainya. Yang dalam QS. Al-Baqarah :148 disebutkan: ”Tiap-tiap ummat memiliki kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepada-Nya. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan”. Di dalam mashab Islam saja terdapat 4 sampai 7 imam, yang diakui misalnya yaitu Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam Hambali. Ditakdirkan pula ummat Islam ada tujuh puluh tiga (73) golongan yang  terdiri dari: 20 golongan Muktazilah, 22 golongan Syi’ah, 20 golongan Khawarij, 5 golongan Murji’ah, 3 golongan Najariah, 1 golongan Jabariah, 1 golongan Musyabihah dan 1 golongan Ahlussunah Wal-Jama’ah. Ke-73 golongan tersebut memiliki faham yang khusus dan sebagian lagi saling bertentangan pandangan atau ada perbedaan pendapat atau beda faham. Hal ini dapat dibaca dalam kitab Bugyatul Mustarsyidin karangan Mufti Syaikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar yang terkenal dengan gelar Ba’Alawi, pada halaman 398, yang diterbitkan atau dicetak oleh Mauthba’ah Amin Abdul Majid Cairo 1318 H. Maka sampai masa kini tidaklah mengherankan bahwa ummat Islam itu berbeda-beda faham, seperti di Indonesia, yang dalam menetapkan hari besar Islam terutama Idul Fitri kadang tidak ada kata sepakat diantara ormas Islam, walaupun pihak pemerintah telah berusaha menyatukannya. Namun demikian semuanya tetap berpegang kepada Al Qur’an dan Al Hadits, dan hal itu merupakan takdir Allah SWT [7] dan janganlah hal tersebut terlalu dipermasalahkan serta justru untuk bisa diambil hikmahnya, seperti yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam hadits Nabi sebagai berikut: Rasulullah SAW bersabda: Perbedaan pendapat diantara umatKu adalah Rahmat. Dengan demikian tidak perlu mempertajam atau membesarkan setiap perbedaan dan persamaan yang ditonjolkan.      
         
          Ada pendapat lain yang berbeda tentang tasawuf,  yang mengatakan bahwa paham tasawuf ini merupakam paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang pemeluk agama non-Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meskipun ada yang  sudah masuk Islam, namun hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan bersifat keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajaran, yaitu dalam kehidupannya yang berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme, atau paham tasawuf, dan orangnya disebut Sufi. Sebagian lagi berpendapat yang mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad, yaitu berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti yang telah disebutkan. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad. Kalangan Islamologi (orientalis) Barat membuat beberapa definisi sufisme antara lain: 
                                                                               -                                                                                
-   Pertama, Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr. P. Van De Woestijne yaitu: “Paham mistik dalam agama Islam     sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India".  
                                                                  
-   Kedua, Dr. C.B. Van Haeringen yaitu: “Aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam”.                                                                                                                                                                        
-   Ketiga, J. Kramers Jz yaitu: “Ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Parsi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan yang selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan Dia”.

          Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne, berpendapat dan mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar agama Islam. Dan sufisme berasal dari bahasa Arab yakni suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen, yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan. Juga dunia Kristen, neo-platonisme, dimana pengaruh Parsi dan India dianggap ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam. Melahirkan suatu anggapan bahwa Al Qur’an pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan lahir dan batin ummat muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan jumlah pemeluknya, maka Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik. Keyakinan tersebut mencari-cari suatu hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan oleh agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum muslim abad 2 Hijriyah, yang sebelumnya sebagian diantaranya menganut agama Non-Islam, semisal ada orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Parsi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi, tidak ketahuan telah masuk dalam kehidupan kaum muslim, karena pada diri mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum muslim, meski pun demikian mendapat tantangan juga dari ahli-ahli keagamaan dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikianlah berbagai aliran mistik ini mempengaruhi aliran-aliran yang ada dalam Islam secara perlahan-lahan, yang pada permulaannya dianggap ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Parsi dan India.

          MH. Amien Jaiz (1980), berpendapat  hampir senada dengan Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne bahwa paham tasawuf terbentuk dari dua unsur dari luar Islam, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam, (2) Adat kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non-Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya paham tasawuf itu dianggap bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur ajaran Islam, dengan kata lain dalam agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumah orang Islam yang menganutnya. Anggapan dan pendapat yang berbeda tersebut menyebutkan bahwa tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak (syi’ah), karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat dalam tasawuf, mereka mengatakan bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Seseorang yang berpendapat demikian menyudutkan sufi dan tasawuf adalah Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir yang berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang  keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin ummat manusia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" [8]

          Islam, kalau mau diterjemahkan secara harafiah dan literalisme, sekarang ini, menjadi kegemaran jutaan orang Islam di seluruh dunia. Sebab, literalisme memberi kesan akan “otentisitas”, memberi rasa mantap dan keyakinan diri akan kehidupan yang sesuai dengan “masa lampau” yang ideal dan suci. Masa depan Islam bisa saja bercorak Islam liberal, setelah menyaksikan sendiri versi modern dari literalisme. Literalisme dalam Islam yang melahirkan pemahaman keagamaan tersendiri. Sejarah bergerak secara progresif, menuju “finalitas” yang makin rasional, makin tercerahkan, makin liberal, masih menginginkan Islam relevan untuk kehidupan ini, diantaranya ada firqah Liberaliyah. Liberaliyah adalah sebuah paham yang berkembang di Barat dan memiliki asumsi, teori dan pandangan hidup yang berbeda. Dalam tesis yang ditulis Ahmad Suhelani, MA., berjudul “Pemikiran Politik Barat” menjelaskan prinsip-prinsip pemikiran ini. Pertama, prinsip kebebasan individual. Kedua, prinsip kontrak sosial. Ketiga, prinsip masyarakat pasar bebas. Keempat, meyakini eksistansi Pluralitas Sosio – Kultural dan Politik Masyarakat. [9] Islam dan Liberal adalah dua istilah yang saling berhadap-hadapan, ada yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits, juga ada yang belum mungkin bisa bertemu. Namun demikian, kelompok ini menamakannya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Suatu penamaan yang “pas” dengan orang-orang atau pikiran-pikiran dan agendanya. Sanad (asal-usul) Firqah Islam liberal menurut Charless Kurzman muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan permurnian, kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah. Pada saat ini muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan pcnduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar. Ide ini terus bergulir. Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum pendidikan Islam.[10] Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris. Pada tahun 1877 Ia membuka suatu colege yang kemudian menjadi Universitas Aligarh (1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit of Islam berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuja di Inggris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad adalah Pelopor Agung Rasionalisme.[11] Di Mesir muncullah M. Abduh (1849-1905) yang banyak mengadopsi pemikiran mu’tazilah berusaha menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh salaf. Lalu muncul Qasim Amin (1865-1908) kaki tangan Eropa dan pelopor emansipasi wanita, penulis buku Tahrir al-Mar’ah. Lalu muncul Ali Abd. Raziq (1888-1966). Lalu ada yang mendobrak sistem khilafah, menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik karena Nabi Muhammad dianggap hanyalah pemimpin agama. Lalu diteruskan oleh Muhammad Khalafullah (1926-1997) yang mengatakan bahwa yang dikehendaki oleh Al-Qur’an hanyalah system demokrasi tidak yang lain.[12] Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di Perancis, ia menggagas tafsir Al-Qur.an model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya Ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan keanekaragaman pemikiran Islam dengan keanekaragaman pemikiran diluar Islam.[13] Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan Al-Qur’an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh Al-Qur’an adalah ideal moralnya karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan.[14] Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago) yang mempelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wakhid.[15] Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun l970-an. Pada saat itu ia telah rnenyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: “Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh diatas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama” (Nurcholis Madjid, 1970: 239). Lalu sekarang muncullah apa yang disebut JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mengusung ide-ide Nurcholis Madjid dan para pemikir-pemikir lain yang cocok dengan pikirannya. Islam Liberal menurut Hamilton Gibb, William Montgomery Watt, Chanless Kurzman dan lain-lain, merupakan paham yang rasionalis dalam beragama. Sedang paham sekuleris dalam bermasyarakat dan bernegara pada masyarakat Eropa dianggap sebagai tokoh pendobrak yang melahirkan motto: Render Unto The Caesar what The Caesar’s and to the God what the God’s (Serahkan apa yang menjadi hak Kaisar kepada kaisar dan apa yang menjadi hak Tuhan kepada Tuhan). Karena itu ada pula yang mengatakan: “Cak Nur meminjam pendekatan rasional yang membidani lahirnya peradaban barat”.              

          Sedangkan paham pluralisme yang merujuk kepada lbn Arabi (468-543 H) yang merekomendasikan bentuk keimanan dan mengunggulkannya atas nabi Musa ‘alaihis salam.[16] Kemudian faham liberal adalah untuk menghadang, tepatnya untuk melemahkan gerakan Islam radikal-fundamentalis, dengan pernyataan: “Sudah tentu, jika tidak ada upaya-upaya untuk mencegah dominannya pandangan keagamaan yang militant itu, boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militant ini bisa menjadi dominan. Hal ini jika benar terjadi, akan mempunyai akibat buruk buat usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Sebab pandangan keagamaan yang militant ini biasanya menimbulkan ketegangan antar kelompok-kelompok agama yang ada. Sebut saja antara Islam dan Kristen, bahkan juga dengan antar kelompok Islam sendiri. Pandangan-pandangan kegamaan yang terbuka (inklusif) plural, dan humanis adalah salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis”[17]                                                                    

          Yang dimaksud dengan Islam radikalis-fundamentalis, adalah Islam yang keras dan menjadi lawan firqah liberal , yaitu orang yang memiliki ciri-ciri antara lain digerakkan oleh kebencian yang sangat mendalam (seperti seakan alergi) terhadap ‘Barat’, dan mempropagandakan bahwa Islam adalah agama dan negara, berusaha memaksakan kehendak kepada semua orang, apapun pertimbangan dan keputusannya diambil secara sepihak. Agenda dan Gagasan firqah Liberal, dalam tulisan berjudul “Empat Agenda Islam Yang Membebaskan” oleh Luthfi Asy Syaukani, salah seorang penggagas JIL yang juga seorang dosen di Universitas Paramadina Mulya memperkenalkan empat agenda Islam Liberal. Pertama, agenda politik, yang menurutnya urusan negara adalah murni urusan dunia, sistem kerajaan dan parlementer (demokrasi) adalah sama saja. Kedua, mengangkat kehidupan antar agama, yang menurutnya perlu ada pencarian teologi pluralisme mengingat semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negeri-negeri Islam. Ketiga, emansipasi wanita. Dan keempat adalah suatu kebebasan dalam berpendapat (secara mutlak). Sementara dari sumber lainnya, didapatkan juga empat agenda libralis adalah: (1) pentingnya konstekstualisasi ijtihad (2) komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan (3) penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama (4) permisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. [18]                                       

          Maka pantaslah mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang paling saya khawatirkan adalah atas orang munafik yang pandai bicara. Dia membantah dengan Al-Qur’an”. Allah pun berfirman:  “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” (QS. An-Nisaa’ 115).                                                               

          Untuk itulah, diperlukan Ulama yang bisa dan mampu memberi bimbingan Islam secara kaffah, yang menuntun secara fisik dan metafisik. Janganlah sampai ummat Islam memperturutkan kepada hawa-nafsunya sendiri. Jangan pula yang dapat memecah belah ummat Islam sehingga menjadi lemah. Dan bila tak mampu menyelesaikan masalah dan mempersatukan sebagai ukhuwah Islamiyah. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengucapkan yang baik atau hendaklah ia diam” (HR. Bukhari dan Muslim). Ahlul batil selain menghimpun kekuatan untuk memusuhi ahlul haq, Allah ta’ala berfirman: “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka pelindung bagi sebagian yang lain. JIka kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar” (QS. Al-Anfaal 73).                                          

          Mengenai “Muslim Rasionalis” (Aqlaniyyun), ada beberapa atsar dari para Sahabat Nabi r.a. tentang pengutamaan nash (dalil) diatas rasio. Dari Ali bin Abi Thalib r.a., dia berkata : “Andaikata agama itu cukup dengan ra’yu (akal), maka bagian bawah khuf (alas kaki) lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Aku benar-benar melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengusap bagian atas khuf-nya” (HR. Abu Daud dengan sanad yang baik. Dalam Al-Talkhishul Habir, 1/160 Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata hadits ini shahih, dan juga telah disepakati Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di dalam Shahihul Abu Daud, 1/33). Lalu dari Umar bi Al-Khaththab r.a., dia berkata tatkala mencium Hajar Aswad: ”Sesungguhnya aku tahu engkau hanya sekedar batu yang tidak bisa memberi madharat dan manfaat. Kalau tidak karena kulihat Rasulullah menciummu, tentu aku tidak akan menciummu”(HR. Bukhari dan Muslim). Dan dari Ibnu Umar r.a., dia berkata : “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian mencegah istri-istrimu (untuk mendatangi) masjid-masjid jika mereka meminta izin kepada kalian”. Salim bin Abdullah berkata, “Lalu Bilal bin Abdullah berkata, ‘Demi Allah, kami akan mencegah mereka’”. Salim berkata, “Lalu Ibnu Umar menghampiri Abdullah dan mengolok-oloknya dengan olok-olokan yang amat buruk, yang tidak pernah kudengar sebelumnya seperti itu. Dia berkata, “Aku mengabarkan kepadamu dari Rasulullah, lalu engkau berkata,’Demi Allah, aku benar-benar akan mencegahnya ?’.”(HR. Muslim). Dari Imran bin Hushain r.a., dia berkata : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,Malu itu adalah kebaikan seluruhnya”. Lalu Busyair bin Ka’ab berkata, “Sesungguhnya di dalam sabda beliau ini terdapat kelemahan”. Lalu Imran berkata, “Aku memberitahukan dari Rasulullah, lalu engkau datang untuk menentang ? Aku tidak akan memberitahukan satu hadits pun yang kuketahui.”(HR. Bukhari dan Muslim). Juga dari Urwah bin Az-Zubair, bahwa dia berkata kepada Ibnu Abbas r.a.: “Engkau telah menyesatkan manusia. “Apa itu wahai Urayyah ?”, tanya Ibnu Abbas.Urwah menjawab, “Engkau memerintahkan umrah pada sepuluh hari itu, padahal hari-hari itu tidak ada umrah. ”Ibnu Abbas bertanya, “Apakah engkau tidak bertanya mengenai masalah ini kepada ibumu ? Urwah menjawab, “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukan hal itu. ”Ibnu Abbas berkata, “Inilah yang membuat kalian rusak. Demi Allah, aku tidak melihat melainkan hal ini akan membuat kalian tersiksa. Sesungguhnya aku beritahukan kepada kalian dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun kalian menjawab dengan diri Abu Bakar dan Umar.”(HR Imam Ahmad dan Al-Khathib serta lainnya dengan sanad yang shahih). Ibnul Qayyim berkata, “Semoga Allah merahmati Ibnu Abbas. Bagaimana andaikata dia tahu sekian banyak orang yang menentang firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan menggunakan perkataan Aristoteles, Plato, Ibnu Sina, Al-Faraby, Jahm bin Shafwan, Bisyr Al-Maraisy, Abul Huzail Al-Allaf, dan orang-orang yang sealiran dengan mereka ?” Dapat kami katakan (Syaikh Ali Hasan), “Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim. Bagaimana jika dia tahu ada orang-orang rasionalis abad ke dua puluh, yang menentang sunnah hanya dengan menggunakan rasionya yang serba terbatas. Golongan Rasionalis masa kini, seorang diantara mereka berkata, “Para pemeluk Islam telah sepakat – kecuali sebagian kecil di antara mereka yang tidak perlu digubris—bahwa jika aqly dan naqly saling bertentangan, maka apa yang ditunjukkan oleh aqly harus diambil”. Yang dimaksudkan Al-Islam adalah bahwa rasio saja tidak bisa sampai kepada kebahagiaan ummat, jika tidak disertai petunjuk ilahi. [19]                                    

          Agama yang benar adalah yang berunsur kemanusiaan yang benar juga. Unsur kemanusiaan yang benar adalah rasio yang bisa menetapkan hakikat, yang bisa menjelaskan karena ilmu, yang memburukkan khurafat dan yang dijauhkan dari dugaan. Kami senantiasa menegaskan bahwa setiap hukum yang ditentang rasio, setiap jalan yang tidak dikehendaki kemanusiaan yang benar dan sejalan dengan fitrah yang lurus, mustahil bukan merupakan agama. Dan ’Islam’ itu telah pula melampaui dan membebaskan rasio manusia untuk menguasai nubuwah, dengan mengumumkan penghabisan dari masa nubuwah secara total dan sekaligus kebebasan manusia dari nubuwah”. Dengan “menyerap ruh Islam”, dan bukan hanya berkomitmen terhadap hukum-hukum tertentu, yang cukup bisa dijadikan tameng yang bisa membawa ke jalan yang lurus. Diantara pendukung paham rasionalis ini adalah seorang Doktor dalam bidang Hukum, Hasan At-Turaby, sebagai sumber yang perlu ditegaskan sekali lagi sebagai dasar adalah rasio.[20] Tidaklah mengherankan jika melihat kebebasan dalam pemikiran mereka, yang sampai-sampai menganggap bahwa Islam itu bukan satu-satunya agama Allah. [21]                             

          Ada juga yang berpendapat bahwa ada “Islam ibadah”, dan ada yang masuk dalam kategori wacana adalah “Islam peradaban” dalam suatu pengertian bahwa segenap perangkat nilai - yang tidak pernah atau tidak boleh selesai - yang digunakan secara sadar maupun dibawah sadar oleh penganutnya berdasarkan dari rekaman emosional, baik psikologis maupun logis. Masalahnya adalah pada “Islam peradaban” itu hanya salah satu peserta kompetisi sosio-kultural yang menghunjam segenap pribadi muslim, dengan segenap keniscayaannya. Di luar itu, ada sejumput nilai yang ikut mendobrak setiap detiknya dengan mesin-mesim  peradaban modern, yang sialnya lagi telah beroperasi lebih canggih ketimbang Islam sendiri. Apakah ini sebagai  gambaran dari inferioritas atau kekalahan ?

          Sementara kelompok lainnya menganggap serius bahwa seakan ada perintah fikih yang melarang untuk bermusik ? Dan di kalangan radikalis maupun fundamentalis pun isu ini tetap kontroversial. Toh seperti Rumi, bisa berasyik masyuk dengan musik dan tarian, yang justru katanya untuk mencapai ekstase (ekspresi keTuhanan) dengan Allah ? Atau bukankah nada sengit itu sekadar skeptisisme terhadap khazanah klasik, yang ditiru secara serampangan oleh kalangan radikalis-fundamentalis, yang dia sendiri juga merasa lebih sah memilikinya ? Tapi kemudian bahwa dunia hiburan dan leisure (baca: kenikmatan waktu senggang) menempati ruang yang begitu besar dalam kehidupan di zaman modern. Bahkan ruang publik modern dibentuk salah satunya oleh dunia leisure ini. Pengamat dan penikmat hiburan yang baik, hanyalah seorang manusia biasa. Tetapi dapat dirasakan ada hal yang juga sehat dalam suatu ruang publik di mana dunia “leisure” bisa ditampung, di mana hiburan bisa dikembangkan dengan sewajarnya dan tidak melampaui batas syari’at. Memang perlu ada sandarannya (konsideran) dalam salah satu jenis penafsiran atas Islam, jenis penafsiran yang literal, suatu penafsiran yang memusuhi dunia hiburan dengan obsesif. Hantu itu seakan lebih mengerikan karena pandangan-pandangan yang “medieval” (bersifat abad pertengahan yang maksudnya sudah tak sesuai lagi). Hal semacam itu tidak saja hendak diselenggarakan sebagai kebutuhan atau “keasyikan” pribadi, tapi mau ditegakkan melalui negara. Negara mau dijadikan aparatus pengawas dari “kesalehan” dengan memberangus dunia hiburan itu  oleh aliran keras dan yang radikalis ini. Sesungguhnya muslim yang baik dapat memilih alternatif hiburan yang sesuai, mengarahkan keluarga dan kerabat muslim terdekatnya untuk menentukan pilihan yang terbaik, tidak memaksakan kehendak pada pihak lain terutama yang beragama atau keyakinannya berbeda sebagai penghargaan atas hak asasi manusia untuk mengikuti / tidak mengikuti syari’at Islam. Tidak ada yang menganjurkan kehidupan yang permisif. Kritik atas dunia hiburan yang kerapkali membius “nalar yang cerah” jelas harus terus dilakukan dan disuarakan. Untuk hal ini, ummat Islam patut belajar dari studi-studi kebudayaan (dalam pengertian “cultural studies”) yang seringkali muncul belakangan ini. Yang menjadi keprihatinan juga adalah soal pengaturan ruang publik yang mau disesuaikan dengan standar kesalehan yang rigid, dengan meminjam negara sebagai aparatus penegaknya.      
        
   Ada pemahaman lain yang berbeda, yaitu mereka yang mengikuti jejak dari tarekat Mawlawiyah (Mavlevi), yang mempraktekkan sebuah bentuk dzikir gerak berputar yang mendorong mereka kepada suatu keadaan santai (ekstasi / trans). Dan mereka menganggap ketika Allah melepaskan tenaga suci kepada Nabi dan Nabi melepasnya kemudian kepada para Awliya. Kisah inilah yang dialami dan dikerjakan oleh Jalaluddin Rumi, seakan bergerak ke atas dan tidak bergerak lurus akan tetapi berputar. Dia menggambarkan seperti halnya ketika helikopter naik, baling-balingnya berputar, menimbulkan tenaga yang mengangkatnya lepas landas. Pengikut Jalaluddin Rumi tidaklah dianggap sedang menari, melainkan berputar mengikuti energi yang membawanya ke atas, adalah mengibaratkan seperti elektron berputar mengelilingi inti atom (nukleus). Menurut mereka, dari jema’ah mavlevi, Allah melepaskan energi kepada Jalaluddin Rumi yang berputar mengelilingi esensi dari diri mereka yang sesungguhnya dengan berhubungan langsung kepada jati dirinya yang berada di hadirat Ilahi, sebagai karunia Allah kepadanya. Ketika muslim melakukan ibadah hajji, yaitu melaksanakan thawaf, diibaratkan seakan elektron mengelilingi (circumambulate) nukleus, berlawanan arah dengan gerak jarum jam. Inilah yang membuat berputar, agar terasa terangkat ke langit. Pendapat mereka pengikut mavlevi ada tingkatan thawaf spiritual yang lebih tinggi, dimana para Awliya juga membuat thawaf secara spiritual lebih tinggi lagi, dan malaikat membuat thawaf di atas mereka, terus naik langsung seakan menuju Baytul Ma’mur dan sampai kepada `Arsy. Ini adalah kekuatan ilmu mata air ketujuh atau "mata air kesucian". Mata air kesucian, menurut aliran mavlevi, yang diberikan hanya pada yang orang percaya (iman) dengan semua manfaat yang diperoleh melalui cahaya spiritual khususnya dari Mursyid at-Tarbiyya. Ini tentang cara mereka menghidupkan sunnah, juga meliputi rakaat shalat sunnah, memakai cincin, memelihara jenggot, menggunakan miswak, dan sunnah Nabi yang mana saja. Itulah sebabnya ajrun (pahala) menjadi meningkat pada hari-hari terakhir ini. Jadi ini adalah ringkasan dari kepercayaan mata air ketujuh, yang katanya dapat dicapai melalui putaran di sekitar jati diri. Dan ketika feyd mendatangi yang akan dialami setiap saat berada dalam keadaan ekstasi berkesinambungan. Seperti sebuah tornado, terus berputar sampai tidak terlihat lagi, karena terangkat dari bumi. Pada level yang lebih tinggi, seseorang mendapatkan sebuah lingkungan ideal yang tidak memiliki friksi, tiada kegelapan, tiada nafsu buruk, tiada dosa, dan tiada dunia. Dalam lingkungan demikian dapat melanjutkan perjalanan menuju kehadirat Ilahi. Itulah sebabnya Awliya tidak mengejar dunia, karena bagi mereka, dunia tidak memiliki nilai. Mereka sibuk dengan kesuka-citaan surgawi, dalam keadaan ekstasi yang berkesinambungan selalu meningkat setiap saat, yang di  dalam lingkungan mereka mengecilkan dunia menjadi nihil. Banyak pihak yang mencela para darwis (sebutan untuk para pengikut Jalaluddin Rumi) yang duduk membaca dzikr-ullah, karena mereka itu tidak tahu kebahagiaan macam apa yang dialami para darwis ini! Jika satu berkas kecil cahaya saja yang terbuka dari cahaya Ilahi yang menyinari para darwis, itu dikatakan seakan menenggelamkan seluruh isi dunia ke dalam ekstasi itu. Mereka sudah puas dengan rasa estasi itu dan merasa telah berbuat amal sholeh dan berhadapan dengan Rabb-nya. Mereka berharap tidak terpenjara di dalam diri sendiri atau terbelenggu pada ego dan empat musuhnya serta menjadi manusia yang bebas bukan sebagai pecundang. Dalam seluruh kehidupan, darwis berharap jangan sampai mengalami nar al-hasra, yaitu ’api yang membakar dari dalam’, yang disebabkan oleh sebuah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Dan Mursyid at-Tarbiyya dianggap pembimbing dan sebagai ayah spiritual yang menunjukkan jalan menuju  feyd Ilahi Rabb.Sesungguhnya perbedaan-perbedaan pandangan di dalam masalah agama Islam, terutama aliran dalam setiap kelompok atau golongan (firqah) serta berbagai kontradiksi metodenya sehingga bisa merupakan “lautan yang amat dalamserta dapat menenggelamkan banyak ummat manusia yang tak selamat kecuali beberapa gelintir manusia atau sekelompok orang saja, yang masing masing kelompok tentu menduga kelompoknya itulah yang selamat.[22] Di dalam firman Allah SWT dalam  QS. Al Mu’minun: 53 “Fa taqaththa’uu amrahum bainahum zuburan kullu hizbim bi maa ladaihim farihuun” yang artinya: “Mereka berpecah-belah tentang urusannya menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka (masing-masing)”. Untuk itulah diharapkan manusia berfikir dan meriset serta mencari akan kebenaran yang sejati. Surat Al-Baqarah ayat pertama: ”Alif laam mim, dzaaliika al-kitaab-ulaa rayba fihi hudan li al-muttaqiin” artinya ” Alif laam mim, inilah kitab  yang ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa”. “Alladziina yu minuuna bi al-ghayb-ii” artinya “Mereka yang percaya kepada yang gaib”. Selanjutnya, Nabi SAW mengatakan soal menghidupkan sunnah, min ahiya sunnati inda fasadi ummati falahu ajrun sab’iina syahiid aw miya syahiid, yaitu "Ketika semua orang meninggalkan sunnah-ku, ketika korupsi melanda ummatku, Allah akan menganugerahkan kepada mereka yang menghidupkan satu sunnah, hadiahnya adalah pahala tujuh puluh atau seratus syuhada". Dalam menjalankan ajaran tarekat, haruslah mengikuti sunnah dan istiqomah, termasuk dzikir yang tidak berhenti sampai pada hari meninggalkan dunia atau pun dalam situasi ‘mati hakekat’ untuk pencapaian pada level di mana Allah berfirman, mutu kabla anta mu’tu, yaitu "Matilah (kuasai egomu) sebelum engkau mati", artinya patuh pada perintah Allah dan Rasul atau ibaratnya seperti ‘robot tuhan’. Nabi berkata, "Jika engkau ingin melihat seseorang yang meninggal sebelum dia mati, lihatlah pada Abu Bakar ash-Shiddiq" Itu artinya Sayyidina Abu Bakar mampu menguasai egonya dan  mengenal dirinya yang mempunyai musuh empat: nafs, dunya, hawa, syaythan. Ketika seseorang mengikuti jejak Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, itu akan membawanya kepada Jalan Sayyidina Muhammad. Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda: “Bacalah Al-Qur’an dan carilah yang ganjil-ganjil (ghara-ib) daripadanya”. Lebih lanjut bersabda Nabi SAW yang diriwayatkan Ali - dimuliakan Allah akan wajahnya: “Demi Allah yang mengutus aku dengan sebenarnya menjadi Nabi! Sesungguhnya akan bercerai-berai ummatku dari pokok agamanya dan kumpulannya kepada tujuh puluh dua golongan. Semuanya sesat menyesatkan, yang membawa mereka kepada neraka. Apabila telah ada yang demikian, maka haruslah kamu berpegang teguh dengan kitab Allah ‘Azza wa Jalla(Al Qur’an). Karena di dalamnya, berita-berita orang yang sebelum kamu dan berita tentang apa yang akan datang sesudah kamu. Dan hukum yang dijalankan diantara kamu, oleh orang-orang yang berkuasa, yang menyalahi akan Al Qur’an. Dia dibinasakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Barang siapa mencari ilmu yang lain dari Al Qur’an, niscaya dia disesatkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Al Qur’an itu, adalah tali Allah yang maha kokoh, Nur-Nya yang menerangkan, obat-Nya yang bermanfaat,  peliharalah bagi orang yang berpegang dengan Dia dan kelepasan bagi orang yang mengikutinya. Tiada ia bengkok maka Al Qur’an-lah yang meluruskan. Tiada yang menyeleweng maka Al Qur’an-lah yang membetulkan. Tidak akan habis-habis keajaibannya dan tidak akan diburukkan dia oleh banyak ulang-ulangan ... sampai akhir hadits” (Hadits ini gharib dan isnadnya majhul)[23]. Satu hal lagi yang perlu memperoleh perhatian dan penekanan dalam mencari kebenaran seperti sabda Nabi Muhammad SAW dalam Al-Hadits (shahih) sebagai berikut: “Sataf riku ummati salasan wasab’i nafir kotan, anna jiyatun minha wa hidah” yang artinya Ummatku akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan (firqah), sedangkan yang selamat hanya satu golongan”. Kalau sudah demikian haruslah dicari kebenaran itu sampai merasakan haqqul yakin. Apabila perlu bergurulah mencari ilmu sampai ke negeri Cina. Allah SWT dalam Surat Ar Ra’ad, ayat 11 mengatakan: “Innalaaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiruu maa bianfusihim” yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah nasib mereka sendiri” (Tidak akan Ku-ubah nasibmu sebelum engkau mengubah nasibmu sendiri !) Dan usaha tersebut tidaklah sia-sia seperti firman Allah dalam QS. Al An’aam : 132 “Wali kullin darajaatum mim maa ‘amiluu wa maa rabbuka bi ghaafilin ‘ammaa ya’maluun” yang artinya: “Dan masing-masing orang memperoleh derajat menurut apa yang mereka kerjakan, dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. Agama Islam sesungguhnya tidak pernah memaksakan untuk mencari kebenaran itu seperti dalam QS. Al Baqarah : 256 “Laa ikraaha fid diini qad tabayyanar rusydu minal ghayyi” yang artinya: “Tidak ada paksaan dalam agama (Islam), karena sungguh telah jelas  jalan yang benar dari jalan yang salah”. Selama ini sikap hidup kaum muslimin memang kurang memperhatikan terhadap apa yang disebut energi metafisika Islam sebagaimana di dalamnya terdapat akan kebesaran dari kalimah-kalimah Allah dalam Al Qur’an, yang diperkuat oleh Al Hadits, dan sesungguhnya Allah menyuruh manusia (kita) ini untuk senantiasa terus menerus memperdalam dan merisetnya (.....yatafakkaruun ...yatafakkaruun...) sebagai tameng dan benteng dalam kehidupan Dunia dan Akherat. Hal-hal yang seperti itu juga adalah harapan dan sikap hidup dari kaum sufi, yang intinya mengatakan bahwa tasawuf itu ilmunya, tarekat itu metodologi pengamalannya, i’tikaf (suluk) itu pelaksanaannya dan dzikrullah itu adalah isinya. Selama ini, kebanyakan kaum muslimin, hanya tenggelam dalam mengupas, menganalisa ayat-ayat Al Qur’an dan lain-lainnya dari sudut ilmu Sosialnya saja. Belum meriset sampai pada unsur-unsur metafisik (ruhani) dan hanya sampai pada persoalan fisik (jasmani) saja. Simak firman Allah SWT sebagai berikut: QS. Al Hasyir: 21 “Lau anzalnaa haadzal qur’aana ‘alaa jabalil laraaitahuu khaasyi’am mutashaddi’am min khasyyatil laahi wa tilkal amtsaalu nadhribuhaa linnaasi la’allahum yatafakaruun” yang artinya: “Andaikata Al Qur’an ini kami turunkan / kami letakkan di atas gunung / bukit, niscaya engkau akan lihat bukit itu tunduk lagi belah / hancur berantakan, karena takutnya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami jadikan kepada manusia agar supaya mereka berfikir”. Menyimak kandungan Al Qur’an tersebut, tersimpan suatu kekuatan energi yang amat dahsyat. Jika salah mengartikannya yakni dengan meletakkan satu buah kitab Al Qur’an yang sehari-hari dapat dibaca atau sekalipun segudang banyaknya diletakkan di atas bukit, bukanlah bukitnya yang akan hancur, tetapi justru kitab yang diletakkan di atas bukit tersebut yang akan hancur berantakan. Jadi Al Qur’an mana yang dimaksudkan tersebut ?  Jawaban yang masuk akal dan exact  adalah melalui metafisika Islam, yakni mengambil perbadingan dengan ilmu electricity. Misalnya Edison pernah berkata kitabku ini membuat gelap gulita menjadi terang benderang. Tentu yang dimaksud disini bukan benda “buku” karangan Edison yang karena bila diletakkan dalam gelap, buku tersebut akan hilang atau digelapkan orang. Begitu pula apabila buku tersebut hanya dibaca dan dihafal saja tentu tidak besar artinya. Tetapi bila metode yang diterapkan Edison dalam bukunya untuk membangkitkan energi elektronika dan kemudian disalurkan dengan bola-bola pijar lampu, maka akan terpijarlah cahaya yang cemerlang penghalau kegelapan. Demikian pulalah tenaga energi metafisika yang tersimpan dalam Al Qur’an, jangankan bukit yang sebuah benda mati akan hancur, bahkan dosa, syetanpun akan hancur, pendeknya apa saja akan hancur dihantam energi yang terbit dari ayat-ayat suci Al Qur’anul Karim apabila disalurkan dengan metode yang tepat dan benar, dalam hal ini Rasulullah bersabda: “Bismillaahi laazii laa yadhuru ma’asmihi syaiun fil ardhi wa laa fissamaa-i” yang artinya: “Dengan nama Allah yang tidak memberi mudharat apa-apa yang di bumi dan di langit bagi yang beserta dengan nama-Nya” (HR. Tirmidzi). 

Suatu ajakan kepada ummat Islam untuk bisa berfikir dan mempelajari serta memperoleh metafisika Islam. Metafisika Islam yang dimaksud adalah berhubungan dengan tali ruhani Rasulullah SAW (unsur Muhammad) yang sambung menyambung hingga akhir zaman, dengan menggunakan metode tarekatullah (dzikrullah) dengan bimbingan para Wali atau Guru-Mursyid yang nyata-nyata telah memiliki tali silsilah keguruan dengan guru-guru sebelumnya sampai kepada Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Rasulullah adalah utusan Allah. Jelas disini bahwa yang mengutus dan yang diutus pasti ada kontak hubungan yang tahkiq, dengan yang diutus inilah kita berusaha bersatu menggabungkan ruhani melalui ahli Silsilah yang sambung menyambung bertalian dengan arwahul muqadasah Rasullullah supaya sampai pada yang mengutus yaitu Allah SWT. Pelaksanaannya atau pengamalannya adalah di dalam ranah ilmu tarekatullah tersebut, yang masuk pada tingkatan (maqam) ikhsan. Status kedudukan manusia ketika hidup di dunia adalah sebagai ‘addun’ (hamba / abdi) dengan pengakuan dan kesadaran akan kehambaannya di hadapan Allah SWT seperti dalam QS. Adz Dzaariyaat: 56 yang berbunyi “Wa maa khalaqtul jinna wal insa illaa li ya’buduun” yang artinya “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Sedangkan peranan manusia-manusia pilihan dalam hidup di dunia ini sebagai “khalifah fi al-ardl” (wakil Allah di bumi). 

Kepemimpinan (Imamah) dalam Islam ada tujuh macam, yaitu disebut Khalifah, Malik, Wali, ‘Amir, Ra’in, Sulthan, Rais, dan Ulil ‘amri. Imam dan Khalifah adalah dua istilah yang ada dalam Al Qur’an untuk menunjuk pemimpin. Kata imam berasal dari amma-ya’ummu yang berarti menuju dan meneladani. Kata khalifah berakar dari kata khalafa yang berarti “di belakang” sebagai pembantu pemimpin. Khalifah juga berarti ”pengganti” karena yang menggantikan selalu berada dibelakang atau datangnya sesudah ada yang digantikannya. Sikap kepemimpinan ini,  ketika di depan adalah sebagai panutan, dan ketika dibelakang menjadi pendorong, sekaligus mengikuti jejak, kehendak dan arah yang ingin dituju ummat Islam dalam konsep Allah SWT. Pemimpin yang paling sholeh mempunyai sifat nubuwwah (sifat para Nabi) yaitu shiddiq, jujur dalam berucap dan bersikap dalam kepemimpinannya. Lalu amanah, menjaga kepercayaan yang diberikan. Kemudian fathonah, cerdas (intelektual, emosional dan spiritual), mampu menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul seketika. Dan tabligh, yaitu penyampaian ajaran agama yang benar dan bertanggungjawab serta bersifat terbuka. Disamping sebagai orang yang paling bertaqwa (atqo) dan paling kridibel (ashlah), dan tidak semena-mena serta banyak berzikir, kelak akan bertanggungjawab kepada Allah SWT.  QS. Al Baqarah : 30 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka Bumi”. Juga dalam QS. Fathir: 39 “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka Bumi”. Dan kepemimpinan Islam kriterianya dalam Al Qur’an:Dan sesungguhnya telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasannya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang sholeh“ (QS. Al Ambiya’: 105). Jadi mandat diberikan kepada orang-orang sholeh untuk mengurusi dan memimpin orang-orang beriman. Firman Allah QS. Al Maidah : 55.: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)” Pemimpin memang sangat diperlukan, Nabi bersabda: ”Apabila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka menjadi pemimpin” (HR. Abu Dawud). Firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 71 berbunyi: (Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil setiap ummat dengan pemimpinnya”. Setiap kepemimpinan ummat akan dipanggil menurut bendera-bendera dan siapa yang membawanya. Sabda Nabi SAW:  ”Neraca itu diletakkan menurut hitungan mereka yang masuk syurga. Adapun bendera “Ahmad” itu berada diatas langit”. Rasulullah SAW ditanya sahabat tentang bendera “Ahmad” tentang lebar dan panjangnya. Maka Nabi SAW menjawab: ”Panjangnya bendera itu (kira-kira) perjalanan seribu tahun dan di bendera itu terdapat tulisan “Laillahaillallah Muhammadarasulullah”, Sedang lebarnya bendera itu (kira-kira) jarak antara langit dan bumi, Jarumnya itu dari yakut merah dan peganganya dari perak putih dan zambrud hijau, bendera itu memiliki tiga ikatan bergaris dari nur, satu ikatan bergaris berada di timur, yang lain berada di tengah - tengah dunia, dan yang lain lagi berada di barat.  Dan dalam bendera itu terdapat tulisan tiga baris, Pertama tulisan ” Bismillahirrahmannirrahim ” kedua “Alhamdulillahirrabilalamin” Dan ke tiga tulisan “Laillahaillallah Muhammadarasulullah” panjangnya setiap baris itu kira-kira perjalanan 1000 tahun dan didekat bendera itu terdapat bendera (lagi) sebanyak 70.000 bendera, dibawah setiap bendera terdapat 70.000 baris (yang terdiri) dari para malaikat, dan setiap baris itu  terdapat 500.000 malaikat yang sama membaca tasbih kepada Allah Ta’ala dan mensucikan kepada Allah Ta’ala. Al-Jurjaniy berkata: Maknanya !, sabda Nabi SAW: ”Bahwa bendera “Ahmad” itu berada ditanganku”. Sesungguhnya ketika terjadi kiamat, maka bendera itu ditancapkan dihadapan Nabi SAW  sedangkan orang-orang mukmin itu berada  disekitar bendera, (mulai) dari Nabi Adam sampai ummat (yang mengalami peristiwa) terjadinya hari kiamat........”. Dalam hadits diceritakan ketika terjadi kiamat, maka ditegakkan:



-    Bendera ”Kebenaran” untuk Abu Bakar ra. dan setiap orang yang benar dibawah bendera itu.

-    Bendera “Fukaha’ untuk Mu’adz bin Jabal ra. dan setiap orang ahli fikih berada dibawah bendera itu.

-    Bendera “Zuhud” untuk Abi Darrin ra. dan setiap orang yang zuhud berada dibawah bendera itu.

-    Bendera “Fakir” untuk Abi Darda ra. dan dan setiap orang fakir berada dibawah bendera itu.

-    Bendera ”Dermawan’ untuk Usman ra. dan setiap orang dermawan berada dibawah bendera itu.

-    Bendera “Syuhada” untuk Ali ra. dan setiap orang yang mati syahid berada dibawah bendera itu.

-    Bendera “Qurra” (ahli baca Al Qur’an) untuk Ubaiy bin Ka’ab dan setiap Qarri berada dibawah bendera itu.

-    Bendera “Muadzdzin” untuk Bilal ra dan setiap muadzdzin berada dibawah bendera itu.

-    Bendera “Orang yang dibunuh dengan aniaya” untuk Husain ra dan setiap orang yang dibunuh dengan aniaya berada dibawah bendera itu. [24]



Kini telah dimasyhurkan oleh manusia-manusia yang beriman dan sholeh untuk mencari atau menemukan “Khalifah-khalifah Allah” atau “Khalifah-khalifah Rasul” sebagai pembimbing ruhani dengan mencari “Wali-Mursyid ”atau “Guru Sejati”, yang pengajarannya membekas dan diteruskan kepada murid-muridnya yang siddiq untuk kemudian bertugas sebagai “Khalifah-khalifah dari Gurunya” tersebut yang bertebaran di atas Bumi (lihat QS. Al Baqarah: 30), untuk memperbaiki akhlaq dan membawa orang-orang bertaubat demi kebaikan ummat.



Syekh Mursyid atau Tuan-tuan Syekh dalam lembaga tarekat yang dipimpin pada umumnya menetapkan peraturan-peraturan dilingkungannya dengan pola ajaran dan amal Islami, yang dilandasi jiwa ikhlas dan ukhuwah Islamiyah seperti yang dicontohkan Al Mujtama’ul Islam (masyarakat Islam di Madinah) pada masa Rasulullah, dimana penerapan dan pelaksanaan ditangani oleh Syekh Mursyid langsung dan dibantu para khalifahnya[25]















SAMBUTAN MENTERI AGAMA PERTEMUAN TAREKAT NAQSYABANDI SERUMPUN DI MEDAN 2003

 Diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad, dari Jabir bahwa Rasulullah bersabda: “Pada akhir ummatku akan ada seorang khalifah yang melimpahkan harta selimpah-limpahnya dan ia sama sekali tidak akan menghitung-hitungnya” Lalu Iman Ahmad  dan Tirmidzi meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:”Aku sampaikan kabar gembira kepada kalian dengan datangnya Al-Mahdi yang akan diutus (ketengah-tengah manusia) ketika manusia dilanda perselisihan dan kegoncangan-kegoncangan. Dia akan memenuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya bumi dipenuhi dengan penganiayaan dan kezaliman. Seluruh penduduk langit dan bumi menyukainya, dan dia akan membagi-bagikan kekayaan secara tepat (merata). Begitulah kondisinya waktu itu yang berlangsung selama tujuh, delapan, atau sembilan tahun. Kemudian tidak ada kebaikan lagi dalam kehidupan sesudah itu” Kemudian Ali r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Al-Mahdi itu dari golongan kami, Ahli Bait. Allah memperbaikinya dalam satu malam” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Hadits menyebutkan tanda kemunculan Al-Mahdi dimana Allah hendak menurunkan penolong dan pembebas yaitu ketika dunia dipenuhi kezaliman, penganiayaan, penipuan dan konspirasi sistematis menghancurkan agama Allah, yang kemudian akan menggantinya dengan kejujuran, keadilan dan kesejahteraan. Dalam hadits disebutkan diri Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda: “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tiupan ‘sanawaatun khaddaa ‘aatu’, dimana akan dibenarkan padanya orang yang berdusta, dan akan didustakan orang yang benar. Akan dipercaya orang yang berkhianat, dan akan dituduh berkhianat orang yang terpercaya. Serta akan bertutur padanya Ruwaibidhah. Maka, ada yang bodoh dan hina ditugaskan menangani kepentingan kepentingan umum” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Hakim). Dalam hadits juga dikatakan bahwa Rasulullah bersabda:” Akan berperang tiga orang di sisi perbendaharaanmu. Mereka semua adalah putra khalifah. Tetapi, tak seorangpun diantara mereka yang berhasil menguasainya. Kemudian muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lantas mereka memerangi kamu dengan suatu peperangan yang belum pernah dialami oleh kaum sebelummu”. Beliau Rasul SAW bersabda: “Maka jika kamu melihatnya, berbaitlah walaupun dengan merangkak di atas salju, karena dia adalah khalifah Allah, Al-Mahdi”.[26]



Menghindari ‘bala’ dan menghadapi cobaan dari Allah, terutama di zaman memuncaknya teknologi modern dewasa ini di era globalisasi dan komunikasi yang begitu canggih, seperti bala bencana alam (tsunami, gempa, longsor, banjir bandang,  galado,  letusan gunung berapi, lumpur panas, angin puyuh atau angin puting-beliung, dan lain-lain. Juga untuk menghindari bencana dari perbuatan manusia itu sendiri, yaitu mereka yang ingin menang atau benar sendiri atau ingin menguasai orang lain dan menguasai alam secara berlebihan sehingga menimbulkan adanya bencana, huru-hara, pertentangan ras dan golongan, teror dan penindasan terhadap kelompok tertentu, perbedaan kepentingan sosial-budaya-politik-ekonomi, tindakan untuk  memerangi orang lain yang tak sejalan, memadamkan api peperangan, penjajahan dan sebagainya yang banyak merugikan dan meresahkan.



Disamping itu juga untuk  menghadapi berbagai musibah dan penyakit (jasmani dan ruhani) seperti: penyakit hati, penyakit masyarakat, dendam-kesumat, antrax, kanker, sars, HIV / AIDS, flu-Burung, flu-Babi dan lain-lainnya. Bencana yang terjadi secara beruntun yang marak belakangan ini di akhir kurun 15 Hijriah, ternyata begitu amat dahsyatnya sebagai peringatan dan ujian Allah SWT.



Dengan banyaknya kejadian dan bencana yang  telah pula memperingatkan manusia, bahwa dalam rangka menghadapi bala bencana di akhir kurun 15 yang sangat luar biasa, dan agar bisa terhindar dari bala bencana dan huru-hara tersebut adalah dengan :



o   meningkatkan (intensifkan) wirid (dzikir) bersama atau sendiri-sendiri,

o   meluangkan waktu untuk bisa melakukan I’tikaf, dan

o   melazimkan untuk ber-ubudiyah dalam proyek Rasulullah.



Peringatan tersebut berupa bencana datang secara bertubi-tubi, tiba-tiba melanda Indonesia dan dunia, atau terjadi di banyak tempat, terbukti benar telah meluluh-lantakkan Aceh (2004), Yogya, Riau, Padang dan Jambi, Tasikmalaya, Lapindo–Sidoarjo, Situ-gintung, Haiti (2010) dan tempat-tempat di dunia serta Nusantara lainnya. 




[1]  H.A.R.Gibb, Modern Trends in Islam, Chicago, 1978
[2]   Subaidy. H. A., Sufisme dan Tasauf Islam, Seminar Nasionl,  Jakarta,  2004
[3]   S.M.N. Al-Attas, Preliminary Statement On a General Theory of the Islamization of Malay-Indonesian Archipelago, Kuala Lumpur, 1969
[4]  Osman Bin Bakar, Tasawuf di Dunia Melayu-Indonesia, terjemahan
       Indonesia dan Islamic Spirituality, Manisfestations, English, 1997
[5]  Subaidy. H. A, Ibid, 2004
[6] Jawa Pos, tanggal 10-2-2008, hal 5
[7]  Majalah Tarbiyah Sumatera Barat, 1995, hal 1-2
[8] Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc . At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.
[9] Gado-Gado Islam LiberalSabili no 15 Thn IX/ 81
[10]  Charless Kurzman: xx-xxiii
[11]    William Montgomery Waft, hal. 132
[12]   Charless hal xxi hal  l8
[13]  Mu’adz, Muhammad Arkoun Anggitan tentang cara-cara tafsir al-Qur’an, Jurnal Salam vol .3 No. 1/2000 hal 100-111; Abd. Rahman al-Zunaidi: 180; Willian M Watt: 143).
[14]  Fazhul Rahman: hal  21;, William M. Watt, hal 42-143
[15]   Adiyan Husaini dalam makalah Islam Liberal dan misinya menukil dari Greg Barton, Sabili no. 15: 88
[16]  Muhammad Fahd Syaqfah, hal  229-230
[17]  Http//www.islamlib.com
[18] Greg Bertan, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pustaka Antara Paramadina 1999: XXI
[19] Wan-Nashraniyyah, Risalatut-Tauhid, hal. 59
[20]  Hasan At-Turaby ,Tajdidul-Fikri-Islamy, hal. 26, Sudan.
[21]  Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Atsary – hafidhahullah , Muslim Rasionalis(Aqlaniyyun)
[22]  Imam Al Ghazali, Terjemahan Sunarto,  Al Munqidz Minad1dlalaal (Penyelamat Kesesatan), Bintang Pelajar, 1986, hal.6
[23]   Prof.  Tk. H. Ismail Jakub, SH, MA, terjm, Ihya’-Al Ghazali, Jilid II, CV. Faizan, Jakarta, 1989, hal.148-149
[24] Syekh Imam Abdurrahman bin Ahmad Al Qodli, Daqoiqul Akbar: Detik-detik Berita Dari Surga dan Neraka, Terjemahan: Fuad Kauma, PN, Karya Toha Putra, Semarang, 1993, hal 83-84
[25] Prof.Dr.KH.Djama’an Nur, Tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiyah Pimpinan Prof. DR .H. SS Kadirun Yahya, USU Press, Medan, 2004, hal. 133 dan 225
[26] Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan –Bab Khurujil Mahdi 2: 1467
 

goesmul@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar