Laman

Pengikut

Kamis, 08 Maret 2012

TAREKATULLAH

TAREKATULLAH
 Oleh Agus Mulyadi Utomo
Hidup dan Seni - blogspot.goesmul.com - islam
goesmul@gmail.
                                                                                                                                                      

        Inti dari ilmu tasawuf adalah upaya untuk mendekatkan diri (taqarrub), musyahadah, dan makrifat kepada Allah SWT. Pandangan tasauf Islam, sebenarnya tidak terlepas daripada at-Tarikat-nya, adalah sebagai metodologi atau cara untuk membuktikan akan kebenaran dari Al Qur’an dengan energi yang tersimpan didalamnya. Karena itulah, Islam dikatakan “sangat ilmiah dan amaliah dan tidak ada yang melebihinya” (Hadits Riwayat Bukhari). Namun demikian banyak orang dari kaum muslimin yang kurang memahaminya atau “merasa telah menguasai” seluruh isi Al Qur’an dengan baik yang tanpa dibarengi dengan power dan energi yang datang dari sisi Allah
           Tarekat merupakan bahagian dari Islam. Tidak diragukan lagi bahwa sumber ajaran tarekat unsur pembentuknya adalah Al Qur’an dan Al Hadts dan kehidupan khulafaur rasyidin. Allah berfirman dalam QS. Al Jinn: 16: “Dan bahwasannya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas tarekat itu, benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air segar (rezki yang banyak)“. Dalil hadits yang berkenaan dengan tarekat diantaranya adalah sabda Rasulullah SAW: ”Aku tinggalkan untuk kamu dua pusaka, yaitu Al Mahajjah (syari’at) dan Al Thariqatul baidhai (tarekat yang putih bersih)[1]Tarekat adalah gerakan dari perasaan ber-iman, ber-Islam, dan ber-ihsan, dalam bentuk tasawuf-sufi yang bersifat tetap, semacam perkumpulan atau kelompok atau organisasi himpunan dari orang-orang yang menempuh jalan spiritual, dengan mengamalkan dzikrullah dan amal - ibadah yang bersifat jasmani dan ruhani secara keseluruhan berdasar petunjuk Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Tarekat esensinya adalah menempuh jalan hidup yang menuju akhlaqul karimah, bukan sebagai kelembagaan atau institusi keagamaan tersendiri, tapi bagian yang menyatu dengan pelaksanaan Islam secara kaffah. Pada umumnya tarekat mempertahankan dan memelihara silsilahnya sebagai suatu mata rantai dari penyampaian ilmu dari Rasulullah SAW sebagai guru kepada guru-guru pewarisnya atau penerusnya (khalifah yang 4: Abu Bakar, Ustman, Umar dan Ali ), yang dapat ditelusuri kembali asal muasalnya yaitu Nabi Muhammad SAW

Arti Tarekat

Tarekat / Tharikat / Thariqah / Toriqoh / Thoriq berasal dari bahasa Arab yaitu Thariiqatun, jamaknya Tharaiqun. Tarekat secara harfiah berarti “jalan”, yang mengacu kepada suatu sistem amalan dan ibadah lahir dan batin. Secara etimologis antara lain berarti: a) Jalan, cara  (Al Kaifiyah); b) Metode, sistem (Al Uslub); Dan c) Mazhab, aliran, haluan (Al Mazhab). Yaitu jalan atau metode yang ditempuh Nabi Muhammad SAW  menuju Allah SWT. Dan jalan inilah yang kemudian ditempuh oleh para sahabat, tabiin dan tabiut-tabiin serta orang-orang sholeh yang dikenal dengan kaum sufi. Dalam ilmu tasawwuf (tasauf): arti “Tarekat” ialah “Jalan” atau “petunjuk”  atau “metode” atau “tata cara” atau “bimbingan” dalam melakukan sesuatu ibadah & amalan sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan dikerjakan oleh sahabat-sahabat Nabi, Tabiit-tabiin, Ulama-ulama, Wali-wali, Guru-guru Mursyid, sambung menyambung hingga kini, secara rohaniah dan maknawi serta ragawi. Tarekat dikaitkan dengan ilmu tasawuf dapat diuraikan menjadi himpunan peraturan berupa syariat, dengan metode pelaksanaannya dalam tarekat, kemudian mengalami berbagai keadaan sebagai hakekat, dan menggapai tujuan akhir yang disebut makrifat.

Terdapat sejumlah thariqah Mu’tabarah (± 44 macam) sebagai wadah dan tidak kesemuanya berada di Indonesia.[2] Salah satunya adalah tarekat Naqsyabandiyah (TN) yang pengikutnya cukup banyak di Indonesia sebagai penganut Islam / muslim terbesar.

Cara atau metode pelaksanaan teknis dalam tarekat adalah untuk pencapaian hakikat ilmu tauhid sampai pada haqqul yakin- nya. Termasuk dalam masa perjuangannya ( jatuh - bangunnya ) dalam menghadapi pertempuran dengan Iblis. Suatu metode membersihkan diri yang batin ini secara total dari semua anasir setan-iblis dan semua gelombang serta pengaruhnya dalam diri, sehingga merasa ada kemurnian tauhid dalam beribadah dan beramal sholeh. Dengan mengitensifkan dzikrullah yang terbimbing akan tercapai suatu kemenangan hakiki dunia-akherat dan dapat melaksanakan sholat khusuk dengan hati ikhlas dan ridho. Umumnya tata cara para Syaikh Mursyid yang diikuti kelompoknya, meliputi aspek ubudiyah, seperti rukun Islam, rukun iman, unsur ikhsan, ibadah sunnah sampai pada aspek muamalah seperti kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang semuanya disesuaikan dengan syari’at Islam, dilaksanakan dengan niat lillahi ta’ala sampai mendapat ridhla Allah SWT.
.
Berkaitan dengan “jalan” tersebut, Muhammad bin Muhammad Baha’al-Din al-Uwaisi al–Bukhari Naqsyabandi (Tokoh tarekat yang terkenal 717 H / 1318 M - 791 H / 1389 M, sebagai ahli silsilah ke-15 dalam Tarekat Naqsyabandi Serumpun) mengatakan bahwa Ia berpegang teguh pada jalan yang ditempuh Nabi dan para sahabatnya.[3] Tokoh yang dikenal dengan sebutan Sayyidi Syaikh Bahaudin Naqsyabandi ini tidak dipandang sebagai pencipta tarekat Naqsyabandiyah, melainkan sebagai penerus ajaran, sebagai pewaris ilmu Rasulullah yang telah diturunkan melalui garis keguruan yang sambung-menyambung dan terus sampai kepada Nabi sendiri. Sebagai penerus ajaran keguruan Naqsyabandiyah adalah murid yang shiddiq / dipercaya  (al Amin) yang memiliki kualitas dan kemampuan spiritual dalam melukiskan nama dan kebesaran Allah di atas hati muridnya atau penjagaan atas kebahagiaan dan kesucian hati. Sedangkan Naqsaband sendiri secara harfiah berarti “pelukis, penyulam, penghias”[4]. Secara organisasi, aspek penting dari tarekat ini adalah afiliasi spiritualnya diturunkan kepada khalifah pertama yaitu Sayyidina Abu Bakar As Shiddiq [5] yang telah menerima ilmu keruhanian yang istimewa secara  langsung  dari Nabi SAW.

Tarekat sesungguhnya adalah “jalan” atau “petunjuk” dan “bimbingan” dari pelaksanaan suatu ibadah & amalan yang sesuai dan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW sesuai pula  dengan firman Allah SWT dalam surat Al Faatihah, ayat 6 – 7: “Ihdinash shiraathal mustaqiim. Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin” artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri mereka nikmat karunia dan bukan jalan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat”.

Tarekat merupakan jalan dan petunjuk yang benar atau “shiraathal mustaqiim” (jalan yang lurus), disini dimaksudkan adalah juga berdiri di atas syari’at yang juga benar atau lurus. Orang-orang yang ber-tarekat harus juga menjalankan syariat dan ber-akhlaqul karimah serta  melaksanakan Islam secara menyeluruh (kaffah). Sabda Nabi Muhammad SAW : Syariat itu perkataanku, Tarekat itu perbuatanku dan Hakekat itu ialah kelakuanku”.  Firman Allah SWT dalam Q.S. Al Jin: 16  “Wa al lawis taqaamuu ‘alath thariiqati la asqainaahum maa-an ghadaqaa”, artinya:  “Sekiranya mereka berketatapan hati pada jalan Allah (tarekat yang benar), niscaya Kami memberi minum mereka dengan air yang berlimpah (segar)”. Peringatan demi peringatan yang Allah sampaikan kepada kita manusia, sesungguhnya untuk meneguhkan hati. Dalam QS. Hud : 112 artinya: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu”. Lalu QS. Al Muzzammil : 19 “Inna hadzihii tadzkiratuw fa man syaa-at takhadza ilaa rabbihii sabiilaa” artinya: “Sesungguhnya ini adalah suatu peringatan, maka barangsiapa yang menghendaki, (tentulah) dia memilih jalan kepada Tuhannya”. Dengan menggunakan suatu metode / cara, yang dikerjakan para pendahulu, oleh para sahabat Nabi, diteruskan oleh para Khalifah-Khalifah Rasulullah, Ahli Silsilah, Ulama Pewaris Nabi, para Wali / Guru-Mursyid  sambung menyambung sampai akhir zaman, sehingga (kita) dimasa kini pun juga harus menggunakan metode yang sama. Silsilah tarekat adalah “Nisbah atau hubungan guru-guru yang sambung bersambung antara satu sama lain sampai kepada Nabi SAW secara keruhanian”, merupakan rangkaian nama-nama yang sangat panjang, yang satu bertali dengan yang lain [6], oleh karenanya anggota sebuah tarekat akan sangat menganggap penting sebuah silsilah, yaitu urutan para guru tarekat yang ajarannya memang berasal dari Nabi SAW sebagai legitimasi dari Guru-Mursyid dari tarekat yang muktabarah. Terjadi juga suatu pemahaman antara lain yang menyangkut masalah “pembaharuan” atau tajdid[7] Karena, tajdid itu sendiri direkomendasikan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa pada setiap di ujung 100 tahun ada seorang mujaddid (pembaharu) dari ummatnya, beliau bersabda yang artinya: Sesungguhnya Allah senantiasa akan membangkitkan untuk ummat ini pada setiap akhir seratus tahun (satu abad), orang yang akan memperbarui agamanya” (Hadits dari Abu Hurairah, Riwayat Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi, disahihkan oleh Al’Iraqi, Ibnu Hajar, As-Suyuthi, dan Nasiruddin Al-Albani). Menurut kitab  Mafhuum Tajdiidid Dien oleh Busthami Muhammad Said, pembaharuan yang dimaksud dalam istilah tajdid itu adalah mengembalikan Islam seperti awal mulanya. Abu Sahl Ash-Sha’luki mendefinisikan tajdid dengan menyatakan, “Tajdiduddin ialah mengembalikan Islam seperti pada zaman salaf yang pertama”[8] Atau menghidupkan sunnah dalam Islam yang sudah ‘mati’ prakteknya di masyarakat muslim.  Jadi bukannya mengadakan pemahaman-pemahaman baru apalagi yang aneh-aneh yang tak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan adapun menyimpulkan hukum sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengenai hal-hal baru itu namanya ijtihad. Jadi yang diperlukan dalam Islam adalah tajdid dan ijtihad, bukan asal pembaharuan dengan memperhatikan landasan Islam yang benar.

          Tarekat yang berasal dari Abu Bakar al-Shiddiiq, sahabat kesayangan Nabi dan menjadi khalifahnya yang pertama, dan yang dipercaya talah menerima ilmu istimewa, dalam hadits diterangkan oleh Nabi sendiri. Hal ini yang menunjukkan suatu pengertian yaitu mencurahkan Talqin Dzikir oleh Rasulullah SAW kepada Saidina Abu Bakar r.a. (sebagai ulama pewaris / ahli silsilah / sebagai pembawa wasilah akbar / khalifah Rasul yang pertama), merupakan pelimpahan / transfer ilmu Rasulullah dan berikut ini sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Tidak sesuatupun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku telah mencurahkannya kembali ke dalam dada Abu Bakar”. Dan firman Allah SWT dalam QS. Al Ankabut : 49 “Bal huwa aayaatum bayyinaatun fii shuduuril ladziina  uutul ‘ilma wa maa yadjhadu bi aayaatinaa illazh zhaalimuun”, artinya:  “Sebenarnya Al Qur’an itu ayat-ayat yang nyata (terang) di dalam dada (hati) orang –orang yang diberi ilmu. Dan tiada yang menyangkal ayat-ayat kami melainkan orang-orang yang zalim”. Berikut pula sabda Rasulullah SAW: yang artinya: “Barang siapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan, maka Allah menjadikan ia pandai mengenai Agama dan diilhami petunjuk-Nya“ (HR. Bukhari Muslim).Sanad dari para Wali kepada Rasulullah SAW itu benar (shahih) adanya dan shahih pula hadits bahwa Ali r.a., pernah bertanya kepada Nabi SAW  tentang jalan terdekat  (tarekat) kepada Allah SWT [9], kata Ali: “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan terdekat kepada Allah yang paling mudah bagi hamba-hambanya dan yang paling utama bagi Allah. Rasulullah bersabda: “Kiamat tidak akan terjadi ketika di muka bumi masih terdapat orang yang mengucapkan ”Allah”.[10] Berdzikir, mengingat, itulah yang dimaksud mengingat dengan mengucapkan ...Allah... ...Allah.... seakan-akan menunjukkan jalan menuju kepada Allah SWT (tarekatullah). Tentu mengingat Allah dengan berdzikir tidak secara awam, bahkan orang kafirpun dapat dengan mudah mengucapkannya, bahkan hewan-hewan  peliharaanpun seperti burung beo bisa dilatih untuk  mengucapkannya. Apalagi di zaman yang modern saat ini bisa melalui kaset dan rekaman elektronik, VCD, HP, komputer dan lainnya. Berikut simak sabda Rasulullah SAW yang maksudnya: “Dari Ali Karamallahu Wajhah , manakah jalan / tarekat / cara yang paling mudah untuk ber-taqarrub kepada Allah dan nilainya paling afdhol”. Jawab Rasulullah:Hendaklah kamu berkekalan dalam keadaan dzikrullah !. Jawab Ali:  ”Semua manusia ber-dzikir kepada Allah”. Sabda Rasulullah: ”Wahai Ali, kiamat itu tidak akan terjadi selama masih ada dipermukaan Bumi ini orang yang ber-dzikir Allah, Allah, Allah... ”. Kata Ali:  ”Bagaimana caranya wahai Rasulullah? Sabda Rasulullah: ”Pejamkan kedua matamu, tutup mulutmu dan tongkatkan lidahmu ke langit-langit dan dengarkanlah”, kemudian Rasulullah ber-dzikir la ilaha ilallah tiga kali dalam keadaan matanya terpejam, kemudian Ali pun mengikutinya dengan cara demikian. Berdzikir yang dimaksud disini harus ada yang mengajari atau ada gurunya, terutama adanya bimbingan yang bersifat ruhani yang sangat halus dan tinggi dimensi serta frekuensinya sampai yang tak terhingga, sebagai suatu metode atau cara atau teknik dalam ber-munajat kepada Allah SWT.  Berdzikir melalui “jalan-Nya”, yakni dzikir yang terbimbing dengan “menyebut dan sekaligus membesarkan nama-Nya ” itu akan memiliki kualitas dan kekuatan spiritual, itu berarti dzikir (kita) yang dilaksanakan beserta dengan yang Maha Kuasa sehingga memiliki daya yang lebih tinggi. Hal seperti itu disebut dalam hadits: “Dengan nama Allah yang tidak memberi mudharat apa-apa yang di bumi dan di langit bagi yang beserta dengan nama-Nya”( HR. Tirmidzi). Dengan demikian dapatlah dimengerti, bahwa semua “bimbingan” dan “petunjuk” dari guru (Mursyid) dinamakan “Tarekat” dan ‘guru’ yang pertama adalah Nabi Muhammad SAW  (dari malaikat Jibril). Sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi SAW dalam hadits shahîh: “Barangsiapa yang beramal tidak berdasarkan perintah (ajaran) kami, maka ia tertolak”. Syir‘ah dan syarî‘ah maknanya al-tharîqah al-zhâhirah (“jalan yang jelas dan terang”) yang menyampaikan kepada keselamatan (al-najâh). Secara etimologi, kata syarî‘ah adalah: jalan yang membawa kepada pengairan. Dan syariat adalah apa yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya, dalam bentuk agama. Sunnah dan al-Furqân (pembeda benardan salah), dimana Allah menghalalkan dan mengharamkan apa saja, yang terdapat di dalam kitabNya tersebut menurut apa yang dikehendaki-Nya, untuk mengetahui siapa yang “menaati-Nya” dan siapa yang “membangkang” kepada-Nya. Penganut agama Islam yang diterima oleh Allah adalah dengan “bertauhid dan keikhlasan” yang benar kepada-Nya, yang dibawa oleh Rasulullah dan pewarisnya. Dengan bersyariat tersebut merupakan jalan kebaikan (mashâlih) yang sesuai menurut pelbagai keadaan dan waktu, sembari mengakui bahwa Allah dengan menciptakan sedikit atau banyak perbedaan antar ummat Islam tersebut  berdasarkan suatu hikmah? Atau malah mengikuti “ketidakjelasan” (al-syubah) dan bersikap berlebih-lebihan ? Fastabiqû alkhayrât : bergegaslah dan berlomba-lombalah ke arahnya atau berbuat berbagai kebajikan.  Ilâ Allâhi marji‘ukum : kalimat pembuka (isti’nâf) dalam makna “sebab” untuk berlomba-lomba dalam melakukan berbagai kebajikan itu. Fayunabbi’ukum : niscaya Dia akan membeberkan apa yang tidak kalian ragukan bersama itu, yaitu ganjaran ‘pemisah’ (akhir, pemutus) antara orang yang benar dan salah di antara kalian, yang benar-benar beramal sholeh dan yang tidak pernah beramal.” Artinya disini ada semacam perbedaan-perbedaan, antara syir‘ah dan minhâj, semua itu merupakan “ujian” dari Allah SWT., apakah ummat Islam dan penganut agama sebelumnya mau ikut beliau Nabi SAW atau tidak mengikutinya Allah ingin menguji keimanan suatu kaum dan kekufuran kaum yang lain. Oleh karena itu, kata fastabiqû al-khayrat menurut Ibnu Katsir adalah: ketaatan kepada Allah dan mengikuti syariat-Nya yang dijadikannya sebagai “penghapus” (nâsikh) bagi kesalahan sebelumnya dan pembenaran kitab-Nya, dan Al-Qur’an merupakan kitab terakhir yang diturunkan.

          Adapun tujuan bertarekat adalah menjalankan Islam secara kaffah (lengkap), melalui Syariat (peraturan), Tarekat (pelaksanaan / jalan & metode), Hakekat (keadaan) dan Ma’rifat (puncak segala --- Tujuan yaitu Allah SWT, mengenal Allah SWT dan mencintainya).

Ber-tarekatullah

Dengan ber-tarekatullah, sebenarnya adalah mempelajari Islam secara kaffah.  Masuk tarekat adalah sebagai suatu usaha untuk menemukan yang namanya “Guru Sejati” (Waliyam Mursyida ) seperti firman Allah SWT dalam Al Qur’an yakni QS. Al Kahfi : 17 “Min aayaatillaahi may yahdillaahu fahuwal muhtadi wa may yudhlil fa lan tajida lahahuu waliyyam mursyidaa”, artinya: “Barang siapa yang ditunjuki Allah, maka dia mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka engkau tiada mendapat seorang penolong Wali – Mursyid (pembimbing agama / Wali – Guru / Mursyid / Pemimpin) yang membimbingnya”. Keberadaan Wali-Mursyid tidak bisa  dipungkiri dan keberadaanya adalah sebagai Rahmatan Lilalamiin. Termasuk rahmat untuk kaum muslimin sehingga dimanapun keberadaanya harus bisa menemui dan menjumpainya. Tujuannya tak lain tak bukan hanyalah bagaimana agar mendapatkan bimbingan serta petunjuknya seperti dalam surat Al-Kahfi 17 tersebut. Sehingga bisa dikatakan begitu pentingnya hidup di dunia ini untuk mencari panutan atau guru (wasilah) yang dapat menyelamatkan dari dunia sampai di akhirat kelak seperti yang disebutkan dalam Surat Al- Maidah ayat 35, yang pengertiannya adalah panggilan kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa, untuk mencari wasilah (chanel), kalau sudah menemukan itu  lalu berjihad seperti orang perang fisabilillah, dipastikan akan menang disisi Allah.

Dalam kehidupan terdapat banyak guru dari Tk, SMP, SMU-SMK sampai dengan profesor di Perguruan Tinggi, ada yang bersifat umum, universal, sampai dengan yang khusus pada bidang tertentu, yang membimbing adalah disebut ‘guru’, ada guru biasa sampai guru besar (profesor) yang banyak menghasilkan para intelektual muda, sarjana dan doktor dalam ilmu pengetahuan atau sain,  teknologi dan seni. Tapi itu semua tidak bisa disamakan dengan pengertian ayat Al-Kahfi: 17 di atas, karena unsur pembimbing (nur Allah atau unsur Muhammad) yang bersifat ruhani (pembawa ruh atau arwahul muqadhasah Rasulullah) belum diperoleh, yaitu sebagai insan kamil (yang sempurna) dan lagi dapat menyempurnakan lainnya (kamil mukamil), yang do’anya pun pasti makbul.

          Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, diperlukan seorang Wali atau Guru yang Mursyid, yang dapat memberi petunjuk, membimbing ruhani dan memberi syafaat mulai dari dunia sampai akhirat, yang dapat mensucikan jiwa, memperbaiki akhlaq, dapat menyempurnakan amal dan ibadah dan dapat membina kesejahteraan dalam mencapai kebahagiaan yang abadi.

Sabda Rasulullah SAW yang artinya: Dari Usman bin Affan r.a. Ia berkata, Rasulullah bersabda, “ Di hari kiamat, yang memberi syafaat ada tiga golongan yaitu para Nabi, para Ulama, dan para Syuhada”  ( HR. Ibnu Majah ). Berikut pula sabda Nabi  yang artinya: Dari Abu Sa’id, sesungguhnya Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari ummatku ada yang memberi syafaat kepada golongan besar dari manusia, sebagian dari  mereka ada yang memberi syafaat kepada satu suku, sebagian dari mereka ada yang memberi syafaat kepada satu kelompok, sebagian dari mereka ada yang memberi syafaat kepada satu orang, sehingga mereka masuk surga semuanya” (HR. Tarmizi).

          Di masa sekarang ini tidak ada lagi yang namanya Nabi, tetapi yang ada adalah Al Ulama Warashatul Ambiya (Ulama pewaris Nabi yang menjadi Guru - Mursyid dan bertanggungjawab). Itulah yang semestinya harus dicari !  Banyak yang mengaku Ulama, tapi apa ada tanda-tandanya sebagai pewaris ilmu Nabi (jasmani dan ruhani) ? Dan apa meraka juga berani bertanggungjawab kepada Allah tentang pengikutnya yang berwasilah kepadanya ?

          Menjadikah Rasulullah SAW sebagai wasilah dalam bertaubat dan mencapai hajat, sehingga Allah SWT membuka pintu taubat dan memperkenankan hajat-hajatnya. Allah SWT menyuruh muslim untuk bertawassul dengan Nabi SAW dalam bertaubat dari segala dosa, yang dinyatakan dalam firman-Nya: “Sekiranya mereka ketika menzalimi diri mereka (berbuat dosa) datang kepadamu, lalu mereka memohon ampun kepada Allah dan Rasulpun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka dapati Allah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang” (QS.An - Nisa’:  64). Ayat ini berlaku hingga sekarang, karena memang tidak ayat yang mansukhnya dan tidak ada ulama ahli yang mengatakan bahwa ayat tersebut dimansukh. Jadi makna ayat tersebut berlaku hingga sekarang. Ayat ini juga menjadi salah satu dalil perintah berziarah kepada Rasulullah SAW.                                             

          Tawassul berasal dari kata “wasîlah” (perantara). Tawassul dalam berdoa bermakna: memohon kepada Allah “melalui / dengan” sesuatu atau seseorang. Allah SWT menyuruh kita untuk bertawassul dalam berdoa dan beramal sholeh, bahkan dalam setiap melakukan kebajikan. Salah satu dalilnya adalah Allah menyuruh untuk membaca “Basmalah” dalam berdoa dan setiap melakukan amal sholeh dan kebajikan. Basmalah yakni mengucapkan Bismillâhir Rahmânir Rahim, artinya: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”. Dalam membaca basmalah mengandung makna tawassul dengan tiga nama Allah SAW dalam berdoa dan beramal-ibadah yang baik, yaitu: Allah, Ar-Rahman dan Rahman. Jadi setiap membaca basmalah dalam berdo’a dan beramal-ibadah dan berbuat kebajikan, berarti telah bertawassul dengan tiga Asma-Nya. Allah SWT berfirman: “Allah memiliki Asmaul husna, hendaknya kamu berdoa dengannya” (QS.Al-A’raf / 7: 180)  “Katakanlah, berdoalah kepada Allah atau berdoalah kepada Ar-Rahman.Dengan nama yang mana saja kamu berdoa, Dia mempunyai Asmaul husna.” (QS. Al-Isra’ /17: 110). Rasulullah SAW bersabda: “Allah azza wa jalla memiliki sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa yang berdoa dengannya doanya diijabah” (At-Tawhid, 195). Bertawassul dengan para wali dan kekasih Allah SWT, diucapkan dengan kalimat misalnya: Allâhumma innî atawassalu ilayka binabiyyika Muhammadin shallallâhu ‘alayhi wa âlihi an taqdhiya hâjatî. Artinya “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan nabi-Mu Muhammad SAW agar Engkau memenuhi hajatku”. Atau Allâhumma innî atawassalu ilayka bijâhi Muhammadin wa hurmatihi wa haqqihi an an taqdhiya hâjatî. Artinya “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan kedudukan Muhammad, kemuliaan dan haknya agar Engkau memenuhi hajatku. Tawasul dalam hadits, Usman bin Hanif berkata: “Pada suatu hari ada seseorang datang kepada Nabi SAW, lalu ia berkata: Doakan aku agar Dia menyembuhkan penyakitku. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu mau, berdoalah; dan jika kamu bersabarlah, ini lebih baik bagimu?” Lalu ia minta agar didoakan. Kemudian Rasulullah SAW menyuruhnya agar berwudhu’ dan melakukan shalat dua rakaat, dan membaca doa ini: Yang artinya; ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadap denganmu kepada Tuhanku untuk urusan hajatku agar hajatku dipenuhi. Ya Allah, jadikan dia pemberi syafaat padaku. Lalu Usman bin Hanif berkata: Demi Allah, kami berpisah denganya dan lama tak jumpa dengannya. Sehingga pada suatu hari ia datang kepada kami dan ia sembuh dari penyakitnya”. Hadits tersebut terdapat di dalam Sunan Ibnu Majah, jilid 1: 441, hadits ke 1385; cetakan Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyyah. Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 4: 134; cetakan Muassasah dar Shadir , Bairut. Mustadrak Al-Hakim, jilid 1: 313; cetakan Haidar Abad, India. Dalam kitab ini disebutkan bahwa Hadits ini shahih berdasarkan persyaratan Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya. Jami’ Ash-Shaghir As-Suyuthi: 59. yang meriwayatkan dari At-Tirmidzi dan Al-Hakim. Tarikh Al-Jami’, jilid 1: 286. Ini merupakan kitab kumpulan dari hadits-hadits shahih yang terhimpun kitab2 shahih selain dari shahih Ibnu Majah. Zaini Dahlan (Mufti Mekkah) mengatakan: Sanad hadits tersebut shahih berdasarkan kreteria yang ditentukan oleh Bukhari, Ibnu Majah, Al-Hakim dalam Mustadraknya, dan Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Jami’nya. Masih banyak lagi dalil-dalil hadits Nabi SAW tentang dianjurkannya bertawassul dalam berdoa. Dengan demikian tawassul itu bukan bid’ah. Hal itu berarti bahwa Tawassul mempunyai dasar dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hanya saja sebagian kecil kaum muslim ada yang berbeda dalam memahami teks-teks Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Berikutnya hadits Abu Daud dan Turmudzi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya: “Bahwa Rasulullah SAW, mendengar seorang laki-laki mendo’a:Ya Allah, saya mohon kepadaMu dengan mengakui bahwa Engkau adalah Allah, Tiada Tuhan melainkan Engkau, Tuhan Yang Maha Esa, yang bergabung kepadaNya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tiada seorangpun yang setara dengan dia”. Maka beliau bersabda: ”Sesungguhnya ananda telah bermohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan namaNya yang mulia”. 

Banyak orang yang mencontoh tingkah laku dan perbuatan setelah Muhammad menjadi Nabi. Hadits: Barang siapa yang tidak mencontoh Aku maka bukan umatku (H.R. Bukhari). Pertanyaannya adalah bagaimana bisa menjadi seorang Nabi ? Jawabannya bukan untuk menjadi nabi, tapi mencontoh prilaku perbuatan dan melaksanakan petunjuknya. Atau dengan kata lain contohlah seorang Nabi sebelum terbentuk, bagaimana telah membentuk dirinya? Tentunya harus belajar kepada seorang guru sesuai dengan hadits Qudsi yang disebutkan: ”Barang siapa yang tidak mempunyai Guru (Syekh) atau tidak berguru / belajar maka wajib setan gurunya”. Sebelum menjadi Nabi, Muhammad belajar kepada Jibril a.s dan apa yang dipelajari sedangkan Muhammad masih belum bisa membaca dan menulis (buta huruf). Pelajaran utama adalah hanya mengingat (dzikirullah) atau menyatu dengan Allah SWT sehingga bisa dikatakan wajah Allah SWT ada pada Nabi Muhammad SAW, atau rabithah kepada Allah SWT sesuai dengan Q.S Ali Imron 200, “Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah kamu (gigih terus menerus) dan kuatkanlah (tingkatkan) akan kesabaranmu (pantang mundur) dan perkuatlah berpegang pada rabithah = channel, saluran, frekwensi (bukan perantara) dan bertaqwalah kepada Allah SWT supaya kamu beruntung / menang”.

Menurut Imam Al Ghazali, yang menyatakan bahwa murid tak boleh tidak harus mempunyai syekh (Guru - Mursyid) yang memimpinnya, sebab jalan iman itu adalah samar, sedangkan jalan iblis itu banyak dan terang. Barang siapa yang tak mempunyai syekh (Guru-Mursyid) sebagai penunjuk jalan dia pasti akan dituntun oleh Iblis atau setan dalam perjalanannya itu. QS. An Naml ayat 24 menyebut “Setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk”. Juga QS. Az Zukhruf ayat 37 menyebut: “Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan  (yang lurus), dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk” Lagi dalam QS. An Nisaa ayat 120 menyebut: “Setan itu memberikan janji-janji dan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka, padahal syetan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka”. Dalam QS. Al Baqarah ayat 168 disebutkan: “.... dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu”.

Rasulullah SAW, bersama-sama dengan malaikat Jibril (sebagai guide) dalam ber-munajat kehadirat Allah SWT dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, dimana lebih dahulu Nabi Muhammad SAW menjalani tahsfiyat (penyucian diri) yakni disucikan “Jasmani dan Ruhaninya”, serta dibuang ” 7 darah kotornya”. Pada peristiwa Isra dan Mi’raj itulah Rasulullah diberi alat berupa frekuensi yang tak terhingga (~) yaitu Al Buraq / Al Kilat yang kecepatannya tak terhingga. Jelas disini bahwa beliau Baginda Rasulullah SAW oleh Allah SWT diberikan lebih dahulu secara istimewa suatu “alat” yang tak terhingga tersebut untuk mencapai kehadirat Allah SWT. Dan alat itu mutlak perlu diteruskan pada ruhani pengikutnya (kita) pula, alat tersebut pasti dan masih berada dalam diri ruhani Rasulullah atau arwahul muqadasah Rasullullah (ruh / arwah yang suci dan tidak mati) dan yang hidup pada sisi Allah SWT, berkekalan dan abadi beserta Allah SWT. Dan hal tersebut diteruskan oleh pewarisNya hingga masa kini. Inilah dia secara ringkas inti / nucleus dari Tarekat, sehingga menjadi pegangan ummat untuk mengikutinya seperti firman Allah SWT dalam QS. Al An’aam: 153 “Wa anna haadzaa shiraathii mustaqiiman fat tabi’uuhu wa laa  tattabi‘us subula fa tafarraqa bikum ‘an sabiilihii dzaalikum washshaakum bihii la’allakum tattaquun”, artinya: “ Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus maka turutilah ia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), maka kamu bercerai-berai dari jalan-Nya. Demikianlah yang diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ber-taqwa”.

Perintah untuk taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri serta rasa mencintainya memang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata, QS. At-Taubah ayat 24 artinya:  ”Katakanlah, Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan yang kamu khawatir merugi dan tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan (dari) ber-jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, Dan Allah tidak menunjuki kaum yang fasik”. Lalu dalam QS. An-Nisaa’ : 59 :”Yaa Ayyuhal ladziina aamanuu athii’ullaaha wa athi’urrasuula wa ulil ammri minkum. Fain tanaazatum fii syai in farudduu hu ilallaahi war rauuli inkuntum tu’minuuna billaahi wal yaumil aakhiri dzaalika khairuw wa ahsanu ta’wiilaa”, artinya “Wahai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Lalu Rasulullah bersabda: “Jaminlah untukku enam perkara dari diri kalian, niscaya kalian kujamin masuk surga. Enam perkara itu adalah: a) jujurlah jika berbicara; b) tepatilah apabila berjanji; c) peliharalah amanat; d) tundukkanlah pandangan mata kalian; e) peliharalah kemaluan kalian; dan f) cegahlah kedua tangan kalian (dari perbuatan terlarang)” (HR. Baihaqi dari Ubaidah ibnu Shomit ra.).

 Masuk Tarekat (B e r - t a u b a t )                                                                                                       

Islam memiliki peradaban yang baik Lalu apa kunci Rasulullah hingga mampu membangun suatu peradaban baru hanya dalam waktu 23 tahun ? Kuncinya seperti tergambar dalam surat Al Baqarah ayat 151 , “Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kamu seorang Rasul (Muhammad) dari golongan kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepada kamu Al Qur’an, hikmah dan mengajarkan kepada kamu apa-apa yang belum kamu ketahui”. Ternyata Rasulullah SAW telah menjalankan 3 tugas utama yaitu disebut: Kami (Allah) telah mengutus kepadamu Rasul dari golonganmu untuk :

1. Membacakan ayat-ayat-Nya kepadamu (tilawah). Tilawah, membacakan ayat-ayat Allah. Memperkenalkan kepada orang-orang tentang adanya petunjuk ‘langit’ dan meyakinkan mereka tentang kebenaran ayat-ayat ‘langit’ itu. Sekarang ini fungsi tilawah (membaca ayat-ayat Al Qur’an) telah banyak tergantikan oleh berbagai media. Kalau dulu hanya dibacakan oleh orang, sekarang ayat-ayat telah dibukukan, dikasetkan, di CD / VCD kan, di-digitalkan. Orang dapat mengaksesnya secara langsung dari TV, internet dan radio. Untuk membacanyapun sudah banyak tersedia kursus-kursus yang dapat melatihkannya dengan berbagai metode yang sangat cepat. Untuk tilawah dapat mempergunakan berbagai multi-media ayat yang banyak tersebar dengan harga murah.

2.   Mensucikan ruhani kamu (Tazkiah). Tazkiyah, adalah mensucikan jiwa pengikutnya. Tanpa kesucian jiwa-ruhani maka makna ayat-ayat yang dibacakan tak akan terpahami dengan baik, tak juga ayat-ayat itu terasakan sebagai penggerak yang memotivasi seseorang untuk mengamalkannya. Yang jadi masalah adalah fungsi tazkiyah (mensucikan) itu. Rasulullah SAW mentazkiyah qalbu dan jiwa para sahabat sebelum menta’lim mereka.  Jadi para sahabat, jiwa dan qolbunya dibersihkan / disucikan terlebih dahulu baru kemudian diberi ajaran kebenaran. Jiwa sahabat tentu sudah tersucikan lebih dahulu sebelum mendapatkan ta’lim.

3.   Ta’lim, yaitu mengajarkan ketentuan-ketentuan Allah (hukum, kitab) juga tujuan dan manfaat dari ketentuan-ketentuan tersebut (hikmah) serta apa-apa yang belum diketahui ummat. Mengajarkan kepada manusia al-Kitab dan al-Hikmah serta apa-apa yang belum diketahui (ta’lim). Fungsi ta’lim (mengajarkan) masih berjalan terus-menerus, bahkan masih banyak ustadz yang memimpin majelis-majelis Ta’lim, baik langsung maupun menggunakan fasilitas distance learning melalui radio, TV dan internet. Untuk ta’lim, dapat saja dengan mendatangi majlis ta’lim, halaqah (alqah / surau), liqa’ dan ma’bit; menjumpai para ustadz, da’i, kiyai dan murabbi, Tapi semua itu dilakukan dengan qalbu yang belum bersih karena tidak mengalami tazkiyah terlebih dahulu. Kemudian pertanyaannya adalah : siapa yang mentazkiyah diri kita saat ini ? Adakah para ustadz atau kiyai itu dapat mentazkiyah kita ? Apakah para murabbi juga telah tersucikan jiwanya sehingga mampu mentazkiyah kita? Kadang dikatakan, tak perlu tazkiyah secara formal, lakukan saja ibadah dengan ikhlas dan tekun, nanti jiwa akan tertazkiyah sendiri. Betulkah? Bagaimana akan dapat ikhlas kalau belum tazkiyah. Bagaimana akan termotivasi dan tekun beribadah, kalau masih ada kotoran-kotoran jiwa ? Jadi bagaimanakah ini !. Untuk tazkiyah perlu ibadah, tapi untuk ikhlas dan tekun beribadah dan beramal sholeh diperlukan tazkiyah lebih dahulu. Mungkin banyak yg berpendapat tak perlu ada tazkiyah secara formal, juga tak perlu ada orang yang mentazkiyah kita, itu semua karena kita belum mengetahui pentingnya dua hal itu. Tapi harus diketahui bahwa Rasulullah SAW mendapat Tilawah, Tazkiyah dan Ta’lim dari malaikat Jibril, Beliau tidak langsung mendapatkannya dari Allah SWT, akan tetapi lewat perantaranya yaitu malaikat Jibril. Para sahabat mendapatkannya dari Rasululah SAW. Para tabi’in dari para sahabatnya, begitu seterusnya. Tapi lagi-lagi, siapa yang mentazkiyahkan ummat hingga saat ini ? Kadang orang terlalu arogan dengan mengatakan tak perlu tazkiyah dari orang yang mentazkiyah, karena hubungan dengan Allah SWT bersifat langsung dan individual, tak memerlukan perantara. Tapi betulkah dengan segala kekotoran jiwa dapat terhubung langsung dengan Allah ? Allah Maha Suci, untuk berhubungan tentu haruslah suci juga, bila kotor maka akan tertolak. Bukankah Rasulullah SAW sebelum mi’raj pun di tazkiyah dulu qalbunya oleh Jibril ?

Ada ungkapan: “Masukilah rumah lewat pintunya”, ini sesuai fungsi sebenarnya dari pintu dan suatu bentuk kewajaran serta merupakan bagian dari pada akhlak. Pelajarilah agama itu melalui sumbernya. Dan seraplah cahaya (nuur) Ilahiah melalui salurannya. Kesimpulannya, harus bisa mendapatkan “kunci pembuka pintu hati“ melalui seorang pembimbing yang berpredikat Wali- Mursyid. Hal ini adalah sangat diperlukan dan wajib bagi orang terketuk hatinya serta bagi mereka yang benar-benar membutuhkan petunjuk dan bimbingan sesuai dengan Al Qur’an surat Al Kahfi ayat 17. Manusia tidak akan pandai tanpa guru (bukankah siapa yang belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan ?). Jiwa takkan terbersihkan tanpa ada yang mentazkiyahnya. Tentu jangan sembarangan orang pula untuk bisa dijadikan mursyid. Bagaimana Ia akan mentazkiyah diri kita kalau diapun belum tersucikan jiwanya. Jadilah murid yang baik dengan guru yang baik pula dan berkualifikasikan Wali-Mursyid.

Apabila seseorang telah berkejangkitan penyakit yang disebut “dosa” atau telah “berbuat maksiat” dan “melakukan kerusakan alam” dan lainnya, maka obatnya adalah ‘taubat’ kepada Allah SWT. Taubat adalah obat dari penyakit jiwa dan rusaknya amalAllah telah mensyaratkan taubat ini kepada hambaNya dan mencintai orang – orang yang suka ber-taubat ini disetiap saat. Simaklah beberapa firman Allah SWT dalam  QS. At Tahriim : 8  “Yaa ayyuhal ladziinaa aamanuu tuubuu ilallahi taubatan nashuuhaa” artinya:  “Wahai orang-orang yang beriman (percaya) ber-taubat-lah kepada Allah dengan taubat Nasuha (semurni-murninya)”. Lalu dalam QS. An-Nur: 31 yang artinya:  “Dan taubat-lah kalian semua kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. Juga dalam QS. Al-Baqarah: 222 yang artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan mencintai orang-orang yang suci”.

Kaum muslim, saudara, sahabat, handai-taulan, jika ada diantaranya yang mungkin ingin mendekatkan diri kepada Allah dan bertemu dengan seorang guru sejati, atau seorang mursyid yang haqq untuk meminta bimbingannya, maka terlebih dahulu harus benar-benar mencari Allah, mencari kebenaran, mencari al-haqq. Harus ada semacam pertanyaan yang membutuhkan sebuah jawaban “Siapakah aku? Untuk apa aku diciptakan?”. Bagaimana caranya ber-Tuhan yang benar menurut Allah dan RasulNya? Niat yang benar harus telah tumbuh dalam diri dan itu pun belum menjadi jaminan bahwa perjalanannya akan berhasil, terkadang ada saja cobaan menghadang. Jika tidak demikian, atau jika belum merasa benar-benar membutuhkan, percayalah, tidak akan ada seorang mursyid sejati yang akan membimbing jasmani dan ruhani yang akan memberi petunjuk dan menjemputnya.

Bukan hanya sekedar mendekat tetapi juga mengenal AllahMan ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, artinya “Siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.” Kata ” ‘Arafa”, juga “Ma’rifat,” berasal dari kata ‘arif, yang bermakna ’sepenuhnya memahami’, ‘mengetahui kebenarannya dengan sebenar-benarnya’; dan bukan sekedar mengetahui. Dan nafsahu berasal dari kata ‘nafs’, salah satu dari tiga unsur yang membentuk manusia (jasad, nafs, dan ruh). Jadi, kurang lebih maknanya adalah “barangsiapa yang ‘arif (sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan ‘arif pula akan Rabbnya”. Sebagai jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah, hanyalah dengan mengenal nafs terlebih dahulu. Setelah ‘arif akan nafsu sendiri, lalu ‘arif akan Rabb kita, maka setelah itu baru bisa memulai melangkah di atas ‘Ad-diin’. ‘Arif akan Rabb, atau dalam bahasa Arab disebut ‘Ma’rifatullah’ (meng-‘arifi Allah dengan sebenar-benarnya), merupakan awal dari perjalanan, bukan tujuan akhir dari sebuah perjalanan sebagaimana dipahami kebanyakan orang. Salah seorang sahabat Rasul selalu mengatakan dengan kalimatnya yang terkenal: “Awaluddiina ma’rifatullah”, awalnya agama (diin) adalah ma’rifatullah (meng-’arif-i atau mengenal Allah).

Pada malam hari yang ditentukan, Allah menurunkan ‘karunia hujan lebat dari langit’ untuk mensucikan kaum muslimin dan menaklukkan bumi di bawah kaki mereka. Sebaliknya, hujan tersebut menjadi bencana besar bagi kaum musyrikin. Dalam menggambarkan kondisi pada saat itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu)." (QS. Al-Anfal: 11) Salah satu nikmat yang juga telah Allah berikan kepada kaum muslimin adalah rasa kantuk yang menjadikan mereka merasa tentram dan tenang, sebagaimana yang tertulis pada awal ayat yang menjelaskan diturunkannya hujan, "(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentramanan dari pada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit .... ". Kisah serupa juga diriwayatkan oleh Ahmad dengan isnad yang sampai kepada Anas ibn Malik. Ia mengatakan: Abu Thalhah menceritakan: “Kami tiba-tiba mengantuk. Padahal, saat itu kami tengah berada di barisan-barisan kami untuk menghadapi perang Badar. Aku termasuk salah seorang yang dilanda rasa kantuk itu hingga pedang yang ada di genggamanku terjatuh dan kemudian aku mengambilnya. Namun, pedang tersebut kembali terjatuh dan aku pun mengambilnya”. Begitulah gambaran bahwa kemampuan jasmani (fisik) itu ada batas-batasnya dan bahkan akan mati. Kesadaran pun akan terasa seperti tertinggal oleh kehidupan ruhani (ruh bersifat metafisik, gaib), yang tidak pernah mati dan terus mencari jalan dan tempat sebagai tujuan akhir.  Selama hidup, manusia haruslah ‘mengenal diri’ dan mencari ‘tali Allah’ dan ‘jalan-Nya’, sehingga bila sudah berakhir dalam menjalani hidup di dunia, maka sudah tentu pula bersiap diri menerima dan telah bergabung pula di ‘jalan Allah’ tersebut, yang selanjutnya menjalani kehidupan di alam akherat, dan dipastikan tidak akan tersesat dan jelas akan tujuannya.

          Dalam sebuah kisah dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu ada seorang pembunuh yang membunuh 100 orang. Dia bunuh seorang Rahib / pendeta (ahli ibadah) sebagai korban yang ke-100, karena jawaban bodoh dari si Ahli Ibadah itu dalam menjawab, bahwa sudah tidak ada lagi pintu taubat bagi pembunuh 99 nyawa manusia. Akhirnya setelah membunuh ahli ibadah yang menjawab dengan bodoh itu, maka si pembunuh pergi ke seorang Alim dan disana ia ditunjukkan jalan untuk bertaubat, yaitu agar pergi ke tempat yang disana penghuninya menyembah Allah, ia agar ikut menyembahNya sebagaimana yang mereka lakukan dan jangan sampai kembali ke desa semula karena disana tempat orang jahat. Ditengah jalan ia mati, maka malaikat Rahmat bertengkar dengan malaikat Adzab. Lalu datang malaikat berujud manusia menjadi hakam (juru damai), menyuruh agar diukur mana yang lebih dekat, kampung baik atau kampung jelek. Ternyata mayat ini lebih dekat sejengkal ke kampung baik yang dituju untuk bertaubat itu, maka dibawalah ia oleh malaikat Rahmat. Demikianlah, dengan adanya orang Alim yang memberi petunjuk tentang kebenaran, maka dia pun mendapatkan penerangan bagi jalan hidupnya hingga mendapatkan jalan untuk bertaubat. Disinilah bila kita simak, betapa jauh bedanya antara yang ber-ilmu dan yang tidak, antara yang menyesatkan dan yang menunjukkan kebenaran.

Pengertian taubat adalah kembali kepada “jalan yang benar”, jalan yang diridhoi oleh Allah SWT. Bertaubat tidak sekedar mohon ampun (atubu ilaih), tapi juga harus beramal-sholeh dan menempuh jalan-Nya atau kembali Allah (bersandar kepada Allah). Maknanya seperti kutipan yang terjemahannya: ”... apabila ia telah dewasa dan umurnya telah 40 tahun, ia pun berdo’a. Ya Tuhanku tunjukilah aku untuk dapat mensyukuri nikmat Engkau, yang telah Engkau berikan kepadaku, kepada ibu bapakku, agar aku dapat berbuat amal yang sholeh yang Engkau ridhai, baguskanlah diriku yang dengannya akan membaguskan pula keluarga dan keturunanku, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada-Mu) (QS. 46 : 15). Betapa bahagia dan indahnya bila orang berdo’a seperti ayat tersebut di atas, yang karenanya kelak menjadi penghuni surga disebabkan memperoleh ampunan dan amal-sholehnya diterima dan mendapat ridha dari Allah SWT. Harapan dimulai dari kemampuan atau kepintaran untuk mensyukuri nikmat sampai bertaubat dan beserah diri kepada Allah melalui jalan-Nya. Suatu keinginan untuk beramal sholeh dalam rangka menggunakan karunia Allah itu, yang berimbas kepada kebaikan keluarga dan keturunan. Disela-sela upaya beramal sholah kemungkinan ada dosa, ada amal yang tidak sempurna, maka penghuni surga (calon) itu berkata: ”innii tubtu ilaika” (aku bertaubat kepada Engkau). Amal sholeh sesungguhnya juga menjadi syarat diterimanya suatu taubat yang dinyatakan dalam QS. Al Baqarah : 160 yang artinya:”.... kecuali mereka yang bertaubat dan beramal sholeh dan bersikap transparan, maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Aku Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. Dalam proses bertaubat yang benar dan beramal sholeh (berdzikrullah) harus ikhlas dan murni karena Allah, seperti terjemah QS. Annisaa, 146: “... kecuali orang-orang yang bertaubat dan beramal sholeh serta berpegang teguh kepada Allah dan tulus ikhlas beramal mengerjakan (perintah) agama karena Allah. Maka mereka pun masuk golongan orang-orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang beriman itu pahala yang besar”.

Lalu kita bertanya pada diri sendiri, umur berapakah pada saat ini ? Masih mudakah atau sudah tuakah ? Dalam bertaubat tidak kaitannya dengan umur, seberapakah semestinya melakukan taubat. Namun demikian dalam hadits Qutsi Allah SWT berfirman: “Aku suka mereka yang bertaubat dan sangat Aku suka jika yang bertaubat itu masih muda” (Hidayatul Mursyidiin). Hadits tentang taubat, Rasulullah bersabda Artinya:  “Wahai manusia ber-taubat-lah kepada Allah dan istighfarlah kepada-Nya, maka sungguh Aku bertaubat seratus kali dalam sehari” (HR. Muslim). Lalu yang artinya: “Siapa yang ber-taubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah menerima taubat-nya” (HR. Muslim). Disamping itu yang artinya:  “Seorang yang taubat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya” (Hadist diriwayatkan Ibnu Mas’ud dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah, Al-Hakim, At-Turmudzi). Berikut yang artinya : “Orang yang ber-taubat itu kekasih Allah SWT dan orang yang ber-taubat itu seperti orang yang tidak mempunyai dosa” (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Mas’ud). Juga disebutkan artinya: “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah melebihi seorang pemuda yang taubat[11](HR. Salman (daif / lemah). Nabi SAW bersabda: “Andaikan kamu berbuat dosa, sehingga dosamu mencapai langit kemudian kalian ber-taubat, niscaya Allah memberi ampun kepada kalian”(HR. Ibnu Majah). Nabi SAW lagi bersabda: “Sesungguhnya Allah Azzawa jalla tetap menerima taubat seseorang hamba selama belum naza”. Dalam riwayat At-Tirmidzi disebutkan :”Seseorang mungkin jika berbuat dosa maka berbintik hitam dalam hatinya, maka bila ia ber-taubat menghentikan dan membaca istighfar mengkilap kembali hatinya, dan bila menambah dosanya bertambah bintik hitamnya, sehingga menutup hatinya, maka itulah yang bernama ar roan yang hati mereka telah kotor (keruh,gelap) dari pada yang mereka lakukan” (HR. At-Tirmidzi). Taubat bagaimanakah yang bisa mengobati dosa ? Jawabnya adalah taubat nasuha atau taubat yang benar. Taubat yang benar itu mempunyai tiga unsur, antara lain:

1.  Menyadari (sadar) dengan betul-betul akan kejahatan, perbuatan-perbuatan dosa atau maksiat yang telah diperbuatnya dan merasa sangat menyesal telah melakukannya.
2.   Berjanji dalam diri untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan tidak terpuji tersebut selama-lamanya dan berusaha tidak mengulangi perbuatan dosa lagi.
3.  Berusaha untuk menghilangkan bekas-bekas dosanya yang telah lalu dengan menutupnya dengan ibadah dan amal sholeh serta perbuatan yang baik.

Dengan kesadaran ini, orang yang telah bertaubat dan berusaha segera mensucikan jiwanya, dengan banyak ber-dzikir atau meng-ingat Allah SWT dan banyak beramal sholeh serta mengurangi kesalahan-kesalahan yang diperbuat. Allah berfirman sebagai berikut:  QS. Ali ‘Imraan : 135 yang berbunyi “Wal ladziina idzaa fa’aluu faahisyatan auzhalamuu anfusahum dzakarullaaha fas taghfaruu li dzunuubihim wa may yaghfirudz dznuuba illallaahu wa lam yushirruu ‘alaa maa fa’aluu wa hum ya’lamuun” artinya: “Dan (juga) orang-orang yang bila berbuat keji atau zalim terhadap dirinya, mereka ingat kepada Allah, lalu mereka memohon ampun atas dosa-dosanya. Dan siapa lagi yang dapat mengampunkan dosa melainkan Allah ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu sedang mereka mengetahui”. Juga dalam QS. An Nisaa: 110 yang berbunyi: “Wa may ya’mal suu-an au yazhlim nafsahuu tsumma yastaghfirillaaha yajidillaaha ghafuurar rahiimaa” artinya:” Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan atau menganiaya dirinya, kemudian dia mohon ampun kepada Allah, niscaya dia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Berdasarkan hal tersebut, sesungguhnya dapat diambil suatu pelajaran bahwa Allah menyukai orang-orang yang ber-taubat atas dosa-dosanya dan pintu taubat terbuka hingga matahari terbit sampai akhirnya kiamat datang. Apabila telah bertaubat dengan benar dan dengan keikhlasan, sehingga Allah menerima taubatnya dan berkenan melimpahkan rahmatNya serta dapat membersihkan jiwa mereka hingga menjadi dekat dengan Allah, maka semua kejahatan akan berubah menjadi kenikmatan, kejelekan menjadi kebaikan dan diberi nur-cahaya yang menerangi serta memperoleh hidayah dan taufiq.

          Namun demikian ada juga taubat yang tidak diterima oleh Allah SWT, yaitu taubatnya orang-orang yang telah mencapai sakaratul maut dan dalam keadaan kafir. Allah berfirman dalam  QS. An Nisaa’: 18 yang berbunyi “Wa laisatit taubatu lil ladziina ya’maluunas sayyi-aati hattaa idzaa hadhara ahadahumul mautu qaala innii tubtul aana wa lal ladziina yamuutuuna wa hum kuffaarun ulaa-ika a’tadnaa lahum ‘adzaaban aliimaa” artinya: ”Dan tidak akan diterima taubat dari orang-orang yang berbuat kejahatan hingga ajal mendatangi salah seorang dari antara mereka, lalu dia berkata, “Sesungguhnya aku ber-taubat sekarang”. Dan tidaklah (pula akan diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka itu dalam kekafiran. Bagi mereka Kami sediakan  azab yang pedih”. 

Apabila seseorang hendak masuk Islam secara keseluruhan (kaffah / lengkap) pada hakekatnya berarti hendak ber-taubat, disunahkan baginya untuk melaksanakan mandi taubat. Orang-orang yang hendak bertaubat, sebelumnya diawali dengan niat dan dilanjutkan dengan mandi taubat. Dalam hadits Nabi diterangkan: ‘An Qais bin ‘Ashim qola: Ataihu Nabiyya sholallahu ‘alaihi wassalama uridul Islama fa amara an agtasila bimain wasidrin, artinya: Dari Qais bin Ashim; Ia berkata: Saya mendatangi Nabi SAW hendak masuk Islam, lalu Beliau menyuruh saya mandi dengan air dan daun bidara  (HR. Abu Dawuid dan Tirmidzi).[12]

Mandi Taubat

1.   Innallaaha Yuhibbut tawwaabina wa yuhibbul muthahhiriin” Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang  bersuci”. (QS. Al Baqarah ayat 222)
2.   Mandi taubat atas segala dosa dan noda, baik zahir maupun (terutama)  batin. Hukum mandi adalah sunnat. Tata cara mandi taubat seperti mandi biasa, seperti dalam Hadist: An Qaisibni ‘Aashimin annahuu aslama fa-amaran Nabiyyu SAW ayyaghtasila bimaa-in Wasidrin’. Artinya: Dari Qais bin Ashim, ketika Ia masuk Islam, Rasulullah SAW menyuruhnya mandi dengan air dan daun bidara (HR.Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai). Hadits lainnya: ‘Anibni’ Abbaasin ra Annan Nabiyya SAW qaala Filladzii saqatha ‘anraahilatihii famaata aghsiluuhu bimaa-in wasidrin’ artinya: Dari Ibnu Abbas; Bahwasannya Nabi SAW telah bersabda kepada orang yang mati terjatuh dari kendaraannya. Sabda beliau: Mandikanlah dengan air serta daun bidara (atau dengan suatu yang menghilangkan daki seperti sabun) (HR. Bukhari Muslim).
3.   Membaca surat Al Insyiraah (Alam Nasyrah dstnya) di dalam hati (terjemahkan!).
      Penjelasan: Mengurangi beban atau untuk kelapangan hati / dada.  Di dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika turun ayat ini (inna ma’al ‘usri yusron) Rasulullah SAW bersabda: ”Bergembiralah kalian karena akan datang kemudahan bagi kalian. Kesusahan tidak akan mengalahkan dua kemudahan” (HR. Ibnu Jarir).

Air Dzikir

Air dzikir adalah air yang telah dilarutkan di dalamnya dzikrullah, yaitu do’a dari para Guru-Mursyid. Seperti halnya air zam-zam yang juga telah dilarutkan dzikir dan do’a dari para Rasul dan berjuta-juta orang. Dalam hadits juga ada menyebutDari Saib bin Yazid; Ia berkata: Saya pergi dengan bibi saya kepada yang terbaik di dalam Islam, karena saya telah mendengar suara sandalmu di depanku di Surga Rasulullah SAW,  bibir saya berkata: “Ya Rasulullah ! Anak saudara perempuan saya (ini ) jatuh. Lalu Beliau mengusap kepala saya sambil mendoakan keberkatan kepada saya. Beliau lalu berwudhuk, lalu saya minum air bekas wudhuk Beliau. Kemudian saya berdiri dibelakang Beliau, lalu saya melihat ada cap (kenabian) diantara kedua bahu beliau. (HR. Bukhari) [13]


Shalat Sunnah

          Dalam rangkaian bertaubat, beberapa shalat sunnah dilaksanakan untuk menunjukkan kesungguhan antara lain:

a.  Sunnah Wudhu dalilnya hadits: Dari Abu Hurairah RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepada Bilal bin Rabah: Ya Bilal ceritakan kepadaku, amal apakah yang telah kau lakukan? Jawab Bilal: Tidak ada satu amal yang sangat saya harapkan di dalam Islam, selain jika saya selesai berwudhuk baik diwaktu malam atau siang maka saya shalatkan itu wudhu (HR. Bukhari Muslim). Juga : Dari Uqbah bin Amir Al Juhani; Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seseorang berwudhuk, lalu menyempurnakan wudhuknya dan shalat dua raka’at dengan menghadapkan hati dan wajahNya (khusuk), maka surga wajib baginya”. (Dalam hadist lain; “Diampuni baginya dosa yang telah lalu”). (HR. Abu Dawud) [14]
b. Sunnah Taubat dalilnya hadits yang berbunyi: “Ma mim rajulin yudznibu dzanaban tsuma yaqumu fayatatohharu tsumma yusholli tsumma yastagfirullaha illa ghafarallau lahu” artinya: “Tiada seorang laki-laki yang berbuat dosa, kemudian berdiri maka ia berwudhu, kemudian shalat, kemudian mohon ampun kepada Allah, melainkan diampuni baginya” (HR. Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Baihaqi). Juga : Dari Abu Bakar; Ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “ Apabila seseorang berbuat dosa kemudian bangun, lalu berwudhuk, shalat, kemudian minta ampun kepada Allah, maka Allah mengampuni kepadanya” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)[15]
c. Sunah Hajat dalilnya hadits: “An ‘Abdlillah ibni Aufa radiyallahu ‘anhuma qola, qota rasulullah shalallahu ‘alaihi  wa sallama : man kanat tahu ilallahi hajatan au ila ahadin min bani adam fal yatawadho’ wal yuhsil wudhu’a tsumma liyusholli rak’ataini”, artinya: Dari Abdullah bin Aufa RA ia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda: “Barang siapa yang mempunyai hajat kepada Allah atau berhajat kepada seorang dari Bani Adam  (manusia) maka hendaklah berwudhu dan baguskanlah wudhunya itu, lalu shalatlah dua rakaat” (HR. At- Tarmidzi). Berikutnya adalah: Dari Abdillah bin Abi Aufa Al Aslami; Ia berkata: Rasulullah SAW keluar menuju kami, lalu bersabda: ”Barangsiapa ada hajat kepada Allah atau kepada salahsatu makhluq-Nya, maka berwudhuklah dan shalatlah dua raka’at”(HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi) [16]

Tidur Taubat   

Untuk menghayati  dan meresapi sabda Rasulullah SAW ini: “Wa’udda nafsaka min ashabil qubur” yang artinya:  “Anggaplah / andaikanlah / rasa-rasakanlah dirimu dari golongan orang-orang penghuni yang di kubur (ahli kubur)”, oleh Ulama Tasawuf (Tarikat Naqsabandiyah) dilaksanakan serangkaian kaifiyat bertaubat, dengan melaksanakan tidur dalam keadaan bersuci, miring kekanan serta diselimuti kain putih. Tidur sesudah mandi dan berwudhuk serta shalat sunnah, tata caranya seperti orang mati, yaitu berbaring di atas lambung / rusuk kanan, seolah-olah mati  atau “matikan dirimu” yang artinya “patuh” atau “mati hakekat”, merupakan cerminan dari rukun iman bagi yang percaya pada hari akhir.  Firman Allah SWT QS. Az Zumar: 30 “Innaka mayyituw wainnahun mayyituun”, artinya: “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka juga akan mati”. Penjelasan: Hal ini dilakukan agar mereka memperoleh kesan yang mendalam, bahwa mereka satu kali kelak akan mati juga, hingga benar-benar harus bersiap-siap untuk itu, yakni harus hidup suci dan lurus senantiasa, karena mati datangnya tidak memberi tahu. Bagaikan timun yang bisa dipetik muda ataupun tua. Tidur dalam keadaan suci dari hadats (ber-wudhuk), dalam hadits: Dari Ibnu Abbas; Sesungguhnya Nabi SAW bangun malam, lalu masuk kakus menyelesaikan hajatnya, kemudian membasuh wajah dan kedua telapak tangannya (berwudhuk), kemudian tidur (lagi) (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).[17]  Ketika tidur berbaring di atas rusuk kanan ditutup kain putih seperti mayat terdapat dalam hadits Qaala lii Rasuulullaahi SAW: Idzaa ataita madhja’aka fatawaddha wudhuuaka lisshshalaati tsummadhthaji’alla syiqqikal aimani” (HR. Bukhari). Juga hadist yang berbunyi “‘Anil barra ibnu ‘Azib qola, qola lii rasulullahu shollallhu ‘alaihi wa salamma: idza ataitamddoji’aka fa tawadho’, katawadhu’ika lisholati tsummadhtoji’ ‘ala syaqqikal aima”, artinya: Dari Barra bin Azib; Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadaku: “Apabila engkau hendak tidur, maka berwudhuklah terlebih dahulu seperti wudhukmu untuk shalat, kemudian berbaringlah ke sebelah kananmu “(HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).[18] Lalu hadits yang berbunyi “Inna nabiyya shollallahu ‘alaihi  wa sallama kana idza aroda ay yarqudawadho’a yadahu yumma tahta khaddihi “, artinya: Dari Hafshah istri Nabi SAW; Sesungguhnya Rasulullah SAW apabila berkehendak untuk tidur, maka beliau meletakkan tangan  kanannya di bawah pipinya (HR. Abu Dawud).[19]  Selanjutnya sabda Rasulullah yang berbunyi “Ilbisu min tsiyabikumul bayadho fa innaha khairu tsiyabikum wa kaffinu fiha mautakum”, artinya: Pakailah olehmu pakaian yang putih (termasuk selimut), seungguhnya kain putih itu kain yang paling baik, dan kafanilah mayat kamu dengan kain putih pula (HR. Abu Daud). Demikian pula: Dari Ibnu Abbas, Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ”Pakailah olehmu pakaian kamu yang putih, sesungguhnya (pakaian putih itu adalah) pakaian kamu yang terbaik, kafanilah mayat kamu dalam kain putih (pula) dan sebaik-baik celakmu itu utsmud, Ia bisa memperjelas penglihatan dan menumbuhkan rambut” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi) .[20]  
Dzikir Khafi                                                                                                                                             

          Yang dimaksud dzikir khafi adalah dzikir yang samar tidak terdengar yaitu dzikirsirr’ didalam hati. Firman Allah SWT QS.Al A’raaf : 205 “Wadz kur rabbaka fii nafsika tadharru’aw wa khiifataw wa duunal jahri minal qauli  bil ghuduwwi wal aashaali wa laa takum minal ghaafiliin”, artinya: “Sebutlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri, takut dan dengan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan petang. Dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai”. Rasulullah SAW  bersabda: “Sebaik-baik dzikir itu yang samar dan sebaik-baik rizki itu yang mencukupi” (HR. Ahmad bin Hambal).[21] Lalu : Dari Qais bin Ubbad, Ia berkata: Para Sahabat Rasulullah SAW tidak suka meninggikan suara dalam tiga perkara, yaitu: tatkala berperang, ketika mengantar Jenazah dan dalam dzikir (HR. Baihaqi). [22] Juga : Dari Aisyah RA, Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Dzikir yang tidak didengar oleh malaikat Hafazhah (khafi) itu lebih banyak pahalanya daripada dzikir yang didengar oleh malaikat Hafazhah (jahar), dengan tujuh puluh kali lipat  (HR. Baihaqi).[23]  Dalam berdzikir taubat diharapkan untuk tidak berniat selain karena Allah SWT, bukan untuk kekeramatan dan bukan pula untuk memperoleh kekayaan atau pun memperoleh kesenangan seperti dalam hadits berikut: Dari Abu Hurairah, Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “ Perbanyaklah ingat akan yang memutuskan kelezatan-kelezatan  (maut) ” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Nasai). [24] Dan, “Campurkanlah majlismu dengan mengingat akan yang mengkeruhkan kelezatan-kelezatan (maut)” (HR.Ibnu Abiddunya dari Anas). [25] Allah berfirman, mutu kabla anta mu’tu, yaitu "Matilah (kuasai egomu) sebelum engkau mati". Nabi SAW berkata, "Jika engkau ingin melihat seseorang yang meninggal sebelum dia mati, lihatlah pada Abu Bakar ash-Shiddiq" Itu artinya Sayyidina Abu Bakar mampu menguasai egonya, karena bila ego tidak ada tentu yang adalah Tuhannya (Allah). Ketika seseorang mengikuti jejak Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, akan membawanya kepada Jalan Rasul (Nabi Muhammad SAW ), yang merupakan Jalan menuju Allah jua. Disamping itu, ada musuh yang empat yang harus pula dikendalikan: yakni nafs, dunya, hawa, dan setan.


[1] Kitab Thariqah Mu’tabarah An Nadhliyah, hal 50
[2] KH.A.Aziz Masyhuri, Permasalahan Thariqah, Hasil Muktamar NU, 2006, hal: 23
[3]  Dr,Hj.Sri Mulyati,MA (et.al), Ibid hal. 91
[4]  Dr,Hj.Sri Mulyati,MA (et.al), Ibid hal. 89
[5]  Dr,Hj.Sri Mulyati,MA (et.al), Ibid hal. 92 &  257
[6]   Dr. Hj. Sri Mulyati, MA (et-al), Ibid hal. 142                                                           
[7]   Busthami Muhammad Sa’id, Mafhum Tajdiduddin, terjemahan Ibnu Marjan dan Ibadurrahman, Gerakan Pembaruan Agama: Antara Modernisme dan Tajdiduddin, PT Wacana Lazuardi Amanah, Bekasi, cetakan pertama, 1416H/ 1995M, hal  15
[8]   Ibid, Gerakan Pembaruan Agama: Antara Modernisme dan Tajdiduddin
[9]   Al-Ma’aarif al-Muhammadiyah, halaman 81
[10]   KH.A.Aziz Masyhuri, Permasalahan Thariqah: Hasil Muktamar NU, 2006, hal. 3
[11] Risalah Qusyairiyah dalam Kajian Ilmu Tasawuf, 2002, Hal  116
[12] Kitab-kitab: Sunan Abi Dawud, hal. 98, Juz I dan Sunan At Tirmidzi hal 58, Jilid II
[13] Kitab Matnul Bukhari, Hadist ke 1534
[14] Kitab: Sunan Abi Dawud, hal. 238, Juz I
[15] Kitab: Sunan Abi Dawud hal. 86 Juz II dan Sunan At Tirmidzi
[16]   Kitab: Sunan Ibni Majah hal. 441 Jilid I dan Sunan At Tirmidzi hal. 297 Jilid I.
[17]  Kitab-kitab; Sunan Abi Dawud hal.310 Juz IV dan Sunan Ibnu Majah hal 169 Jilid I.
[18]  Kitab-kitab: Matnul Bukhari, Hadits ke 163 hal. 55 Jilid I. Shahih Muslim hal. 478, Jilid II dan Sunan Abi Dawud hal. 311 Juz 1
[19]   Kitab Sunan Abi Dawud hal. 310 Juz IV.
[20]  Kitab-kitab: Sunan Abi Dawud hal. 8 Juz IV, Sunan Ibni Majah hal. 1181 Jilid II dan Sunan At Tirmidzi hal.203 Jilid IV.
[21]   Kitab: Al Hikam terjemahan KH. Sholeh
[22]   Kitab: Sunan Al Kubra hal. 153 Jilid IX lil Baihaqi
[23]  Drs. Imron Aba, Disekitar Masalah Tariqat Naqsyabandiyyah (terjemahan ), hal. 34
[24]  Kitab-kitab: Sunan Ibni Majah hal.1422 Jidid II, Sunan At Tirmidzi hal.379 Jilid III dan Sunan An Nasai  hal.4 Juz IV.
[25]  Prof.Tk. H. Ismail Yakub SH, MA, Ihya Ulumiddin lil Imam Al Gazali Jilid VIII (terjemahan) terbitan CV.  Faizan, Semarang, hal.252

Hidup dan Seni - blogspot.goesmul.com - islam
goesmul@gmail.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar